• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Spektral dan Korelasi Silang

Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) dengan Anomali Pentad Outgoing Longwave Radiation(OLR) Metode yang paling sering digunakan dalam menganalisis gelombang adalah analisis spektral. Analisis spektral berfungsi untuk memunculkan periode dari setiap osilasi yang terjadi. Setiap gelombang mempunyai periode osilasi tersendiri. Fenomena MJO terlihat jelas pada variasi OLR yang terukur dari sensor inframerah satelit (Hermawan, 2007).

Berbagai penelitian telah menjelaskan tentang propagasi dan struktur vertikal MJO di atas Indonesia, namun data yang digunakan

cenderung hanya menggunakan data Outgoing Longwave Radiation (OLR) dan radiosonde. Banyak cara yang dilakukan orang untuk memprediksi MJO. Satu diantaranya adalah dengan melihat perilaku data MJO indeks. Secara global fenomena MJO dapat terlihat berdasarkan metode Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) yang hingga kini digunakan pihak Badan Meteorologi Australia (BoM, Australia) dalam menganalisis fenomena MJO. RMM1 dan RMM2 adalah suatu indeks untuk memonitoring MJO yang didasarkan pada sepasang fungsi ortogonal empiris gabungan dari kecepatan angin pada 850 mb dan 200 mb, serta data Outgoing Longwave Radiation (OLR) (Wheeler dan Hendon, 2004).

Gambar 8 Power Spectral Density (PSD) RMM1, RMM2, OLR 80°BT, OLR 100°BT, OLR 120°BT, dan OLR 140°BT p eriode 3 Maret 1979 – 3 Maret 2009

Hasil analisis spektral RMM1 dan RMM2 dengan OLR pada posisi 80°BT, 100°BT, 120°BT, dan 140°BT menunjukkan adanya osilasi dominan dengan periode sekitar 45 harian (Gambar 8). Nilai kerapatan spektral yang paling besar yaitu pada OLR 100°BT. Periode osilasi 45 harian dari PSD RMM dan OLR tersebut menunjukkan adanyafenomena Madden Julian Oscillation (MJO).

Secara umum RMM diaplikasikan untuk mengetahui perkembangan aktivitas MJO.

Dengan menggunakan indeks ini, dapat diperoleh pula peluang terjadinya hujan lebat di beberapa kawasan barat Indonesia (studi kasus: Kerinci, Palembang, Lampung, dan Jakarta) saat terjadinya fenomena MJO. Berdasarkan grafik PSD terlihat adanya keterkaitan antara Real Time Multivariate MJO dengan OLR pada posisi 100°BT karena diperoleh periode osilasi yang sama yaitu sekitar 40-50 hari.

(2)

Gambar 9 Power Spectral Density (PSD) RMM1 dan RMM2 periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009

Hasil analisis Power Spectral Density (PSD) data Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009 (Gambar 9) menunjukkan bahwa osilasi dominan dari data RMM1 dan RMM2 tersebut sekitar 40 harian, yang menunjukkan adanya fenomena MJO. Dalam penelitian ini akan ditunjukkan bahwa dalam analisis MJO di kawasan Indonesia juga dapat menggunakan data RMM1 dan RMM2. MJO memiliki peran akt if terhadap distribusi curah hujan yang terjadi di kawasan barat Indonesia (Hermawan, 2007). Pada Gambar 10 dan 11 ditunjukkan hubungan korelasi silang (cross correlation) antara RMM dan OLR pada posisi 100°BT (mewakili kawasan Barat Indonesia).

MJO dominan terjadi di kawasan barat Indonesia, oleh karena itu perlu dilakukan pengujian korelasi apakah RMM memiliki keterkaitan erat dengan OLR pada posisi 100°BT. Estimasi hubungan antara RMM dan OLR dilakukan dengan menggunakan metode korelasi silang. Data yang digunakan adalah data pentad RMM dan OLR pada periode 3 Maret 1979 – 3 Maret 2009. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut:

Gambar 10 Korelasi silang antara RMM1 dengan OLR 100°BT periode 3 Maret 1979 – 3 Maret 2009 Korelasi silang antara RMM1 dan OLR 100°BT dilakukan dengan jumlah data sebanyak 2191 data (n=2191) maka selang kepercayaan adalah yaitu sebesar -0.043 sampai 0.043. Dapat dilihat dari Gambar 10 hampir semua nilai korelasi silang berada di luar selang kepercayaan.

(3)

Tabel 2 Hubungan korelasi silang antara RMM1 dan OLR 100° BT

Dari Tabel 2 terlihat bahwa sifat korelasinya adalah linear, karena pada lag nol nilai korelasinya berada di luar batas selang, dengan nilai korelasi -0.147. Artinya terjadi korelasi negatif antara OLR dan RMM1, yang menunjukkan bahwa pada saat nilai OLR kecil, maka nilai RMM1 akan tinggi.

Selanjutnya juga dilakukan analisis statistik keterkaitan antara RMM2 dengan OLR pada posisi 100°BT menggunakan metode korelasi silang. Hasil dari korelasi silang tersebut dapat dilihat pada Gambar 11 dan Tabel 3.

Gambar 11 Korelasi silang antara RMM2 dengan OLR 100°BT periode 3 Maret 1979 - 3 Maret 2009

Tabel 3 Hubungan korelasi silang antara RMM2 dan OLR 100° BT

Hasil korelasi silang antara OLR 100°BT dengan RMM2 menunjukkan hasil yang berbeda dengan hasil korelasi silang antara OLR 100°BT dengan RMM1. Pada Gambar 11 terlihat bahwa pada lag ke nol nilai korelasinya melebihi batas selan g, dan nilainya positif yaitu 0.64. Artinya bahwa jika nilai OLR 100°BT kecil maka nilai RMM2 juga akan kecil (mengalami penurunan). Hal ini sesuai dengan diagram dua dimensi dari Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) yang menunjukkan ketika MJO aktif melewati Indonesia barat yaitu pada fase 4 maka nilai RMM1 dan RMM2 berkebalikan (RMM1 positif, RMM2 negatif), yaitu nilai RMM1 lebih besar dari negatif RMM2, dengan RMM1>0 dan RMM2<0.

4.2 Model Prediksi Berbasis ARIMA 4.2.1 Uji Stasioneritas Data

Data yang digunakan untuk membuat model prediksi ini yaitu data harian Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009. Pada penelitian ini analisis yang digunakan adalah ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average ), karena melibatkan data deret waktu, sehingga diperoleh model yang menggambarkan data deret waktu tersebut. Lag Cross Correlation Std. Errora -7 .209 .021 -6 .230 .021 -5 .136 .021 -4 -.084 .021 -3 -.392 .021 -2 -.670 .021 -1 -.598 .021 0 -.147 .021 1 .234 .021 2 .355 .021 3 .302 .021 4 .176 .021 5 .034 .021 6 -.083 .021 7 -.135 .021 Lag Cross Correlation Std. Errora -7 -.047 .021 -6 -.198 .021 -5 -.354 .021 -4 -.437 .021 -3 -.352 .021 -2 -.008 .021 -1 .458 .021 0 .640 .021 1 .466 .021 2 .182 .021 3 -.046 .021 4 -.164 .021 5 -.174 .021 6 -.121 .021 7 -.044 .021

(4)

Gambar 12 menampilkan plot deret waktu dari data RMM1 dan RMM2. Berdasarkan

plot data tersebut terlihat bahwa variasi data cukup besar.

Gambar 12 Plot data RMM1 (a) dan RMM2 (b) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009 Uji stasioneritas perlu dilakukan sebelum

pembentukkan model karena peramalan pada data deret waktu mensyaratkan bahwa data harus bersifat stasioner. Jumlah pembedaan data deret waktu akan menjadi nilai orde d dalam model ARIMA yang digunakan. Suatu data dikatakan stasioner apabila nilai rata-rata

dan variansnya konstan sepanjang waktu. Dengan kata lain, data stasioner tidak mengalami kenaikan atau penurunan. Data yang tidak stasioner perlu dimodifikasi (dilakukan pembedaan) untuk menghasilkan data yang stasioner.

Gambar 13 Fungsi Autokorelasi (ACF) RMM1 (a) dan RMM2 (b) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009

Kestasioneran dalam rataan dan ragam dari suatu proses deret waktu dapat dilihat secara visual dari plot data, fungsi autorelasi (ACF), dan fungsi autokorelasi parsial (PACF). Berdasarkan Gambar 12, terlihat adanya trend datar/hampir datar dan membentuk pola menyebar. Yang ke-2 untuk mengidentifikasi kestasioneran dapat dilihat

berdasarkan plot ACF data RMM1 dan RMM2 pada Gambar 13, dimana pada gambar tersebut terlihat adanya pola alternating (naik turun secara teratur). Selanjutnya yaitu mengidentifikasi kestasioneran dengan melihat plot fungsi PACF.

(a) (b)

(5)

Gambar 14 Fungsi Autokorelasi Parsial (PACF) RMM1 (a) dan RMM2 (b) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009

Pada Gambar 14 terlihat jelas bahwa setelah lag pertama nilai PACF menurun drastis dan seluruh PACF setelah lag 1 tidak signifikan secara statistik. Tiga fakta tersebut menunjukkan bahwa data bersifat non-stasioner. Plot ACF dan PACF mengidentifikasikan adanya ketidakstasioneran dalam varian. Untuk

menghilangkan pola musimannya sehingga data menjadi lebih stasioner maka dilakukan pembedaan pertama. Berikut ini adalah deskriptif data asli, deskriptif data pembedaan pertama, plot ACF dan PACF pembedaan pertama. Dari plot data pembedaan pertama akan terlihat jelas apakah data telah stasioner atau belum.

Tabel 4 Deskripsi statistik data Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) 30 tahun (1 Maret 1979-1 Maret 2009) dan data pembedaan 1

Variabel

N Minimum Maximum Mean Std. Dev Variance

Statistic Statistic Statisti c Statistic

Std.

Error Statistic Statistic RMM1 RMM2 dif1_RM M1 dif1_RM M2 Valid N (listwise) 10959 10959 10958 10958 10958 -3.5079 -3.3625 -1.0471 -.8783 3.9406 3.8504 .8069 1.0120 .003757 -.008161 .000034 .000032 .0096820 .0096405 .0022481 .0021556 1.013565 7 1.009216 5 .2353361 .2256462 1.027 1.019 .055 .051

Setelah dilakukan pembedaan pertama ternyata terlihat pada T abel 4 bahwa variasi data mengecil menjadi 0. 055 untuk pembedaan data RMM1 dan 0.51 untuk data

RMM2, begitu pula dengan nilai standar error data yang menurun setelah dilakukan pembedaan pertama.

(6)

Gambar 15 Plot data pembedaan 1 RMM1 (a) dan RMM2 (b) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret2009

Gambar 16 Fungsi Autokorelasi (ACF) pem bedaan 1 RMM1 (a) dan RMM2 (b) p eriode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009

Gambar 17 Fungsi Autokorelasi Parsial (PACF) pembedaan 1 RMM1 (a) dan RMM2 (b) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009

Hasil pembedaan pertama ternyata lebih baik, terlihat dari gambar plot data lebih

stasioner dan nilai variansinya lebih kecil dari data asli. Melalui plot ACF dan PACF data

(a) (b)

(a) (b)

(7)

asli yang dilakukan pembedaan pertama, ditentukan model sementara data RMM1 dan RMM2 periode 1 Maret 1979-1 Maret 2009. 4.2.2 Identifikasi dan Penaksiran Model

Dari plot ACF (Gambar 16) dan PACF (Gambar 17) diperoleh informasi bahwa ACF RMM1 dan RMM2 signnifikan pada lag 1, 2, 3, 4, dan 5. Sedangkan PACF RMM1 dan RMM2 signifikan pada la g 1 dan 2. Dengan demikian model sementara dari plot data RMM1 dan RMM2 adalah campuran dari autoregresif, pembedaan pertama, dan moving average atau model ARIMA (p, 1, q). Dengan nilai p adalah 1 dan 2 sedangkan nilai q dipilih 1, 2, 3, 4, dan 5. Selanjutnya dilakukan estimasi terhadap lag-lag yang ada untuk mendapatkan model terbaik. Setelah

menetapkan identifikasi model sementara, selanjutnya parameter-parameter AR dan MA harus ditetapkan. Lampiran 1 menampilkan penaksir parameter untuk model-model deret waktu RMM1 dan RMM2 yang mungkin. 4.2.3 Uji Diagnostik

Tahap selanjutnya yaitu uji diagnostik untuk membuktikan bahwa model tersebut cukup memadai. Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan trial and error, melihat nilai Mean Absolute Deviation (MAD) dan Sum Square Error (SSE) untuk 10 model ARIMA yang mungkin. Mean Absolute Deviation (MAD) adalah rata-rata error (galat) hasil prediksi dengan nilai aktual. Sedangkan Sum Square Error (SSE) adalah jumlah kuadrat galat hasil prediksi dengan nilai aktual. Tabel 5 Mean Absolute Deviation (MAD) dan Sum Square Error (SSE) untuk Model ARIMA

data RMM1 dan RMM2 p eriode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009 Model ARIMA RMM1 dan RMM2

MAD

SSE

RMM1

RMM2

RMM1

RMM2

(1,1,1) 0.146241 0.143841 3854.43 3817.43 (1,1,2) 0.146216 0.143818 3853.32 3817.33 (1,1,3) 0.146192 0.144398 3852.80 3826.96 (1,1,4) 0.146861 0.143691 3859.88 3815.16 (1,1,5) 0.145766 0.143683 3846.83 3815.28 (2,1,1) 0.146220 0.783519 3853.23 8941.40 (2,1,2) 0.146200 0.143817 3852.73 3816.82 (2,1,3) 0.309278 0.14377 8 5799.44 3816.48 (2,1,4) 0.153393 0.141573 3941.58 3792.73 (2,1,5) 0.147356 0.140379 3869.22 3781.25 Pemilihan model prediksi didasarkan atas

besarnya MAD dan SSE masing-masing model. Berdasarkan Tabel 5 diketahui model yang memiliki nilai MAD dan SSE yang kecil yaitu ARIMA (2,1,2), yang menggambarkan orde dari AR dan Ma adalah 2, dan derajat differencing sebesar 1. Pemilihan model ini juga didasarkan pada kesederhanaan persamaan model. Dengan melihat nilai MAD dan SSE sebagai ukuran model prediksi yang terbaik, maka model ARIMA (2,1,2) layak dipilih sebagai model prediksi terbaik. Secara lengkap model ARIMA (2,1,2) dapat dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:

Zt = (1+Ø1)Zt-1 + (-Ø1+Ø2)Zt-2 – Ø2 Zt-3– ?1 at-1 – ?2 at-2.

Berdasarkan Tabel 6 maka diperoleh model prediksi ARIMA (2,1,2) untuk RMM1 yaitu Zt = 1.681 Zt-1 – 0.722 Zt-2 + 0.041 Zt-3– 0.02 at-1 - 0.05 at-2. Model prediksi ARIMA (2,1,2) untuk RMM2 yaitu Zt =1.714 Zt-1 – 0.764 Zt-2 + 0.05 Zt-3 - 0.109 at-1 - 0.05 at-2. Model ARIMA (2,1,2) mempunyai arti bahwa prakiraan data RMM1 dan RMM2 untuk waktu-waktu mendatang tergantung dari data RMM tiga hari sebelumnya dan galat dua hari sebelumnya.

(8)

Tabel 6 Parameter m odel ARIMA (2,1,2)

Estimate SE t Sig.

RMM1-Model_1 Constant 3.883E-5 .005 .009 .993

AR Lag 1 (Ø1) .681 .388 1.753 .080 Lag 2 (Ø2) -.041 .220 -.185 .854 Difference 1 MA Lag 1 (?1) .020 .388 .051 .960 Lag 2 (?2) .050 .040 1.244 .213 RMM2-Model_2 AR Lag 1 (Ø1) .714 .342 2.090 .037 Lag 2 (Ø2) -.050 .199 -.249 .804 MA Lag 1 (?1) .109 .342 .319 .750 Lag 2 (?2) .050 .018 2.771 .006 Constant 6.982E-5 .004 .016 .987 Difference 1

Dengan menggunakan model ARIMA (2,1,2) maka diperoleh nilai prakiraan. Lebih jelasnya perbandingan data asli, nilai prakiraan, dan nilai galat terlihat pada Tabel 7 dan Tabel 8. Hasil ini menunjukkan bahwa

metode ARIMA dapat mengenali dengan baik pola pada data Real Time Multivariate MJO dan dapat melakukan peramalan dengan kesalahan yang relatif kecil.

Tabel 7 Perbandingan data asli, nilai prakiraan, dan nilai galat RMM1 periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009

No

Tanggal

RMM1

(Zt)

Žt

Galat

(at)

1

01/03/1979

0.682

-

-

2

02/03/1979

0.714

-

-

3

03/03/1979

0.997

-

-

4

04/03/1979

0.861

1.189

-0.328

5

05/03/1979

0.782

0.763

0.019

6

06/03/1979

0.860

0.750

0.110

7

07/03/1979

1.212

0.913

0.299

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

10958 27/02/2009

0.977

0.621

0.356

10959 28/02/2009

1.043

1.236

-0.193

10960 01/03/2009

1.057

1.058

0.000

MAD = 0.146

SSE = 3852.73

(9)

Tabel 8 Perbandingan data asli, nilai prakiraan, dan nilai galat RMM2 periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009

No

Tanggal

RMM2

(Zt)

Žt

Galat

(at)

1

01/03/1979

-0.568

-

-

2

02/03/1979

-0.448

-

-

3

03/03/1979

-0.490

-

-

4

04/03/1979

-0.524

-0.526

0.003

5

05/03/1979

-0.593

-0.546

-0.048

6

06/03/1979

-0.703

-0.637

-0.066

7

07/03/1979

0.753

-0.768

0.015

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

10958 27/02/2009

-0.829

-0.877

0.048

10959 28/02/2009

-0.366

-0.742

0.376

10960 01/03/2009

-0.216

-0.088

-0.128

MAD = 0.144

SSE = 3816.82

Gambar 18 Histogram nilai galat RMM1 (a) dan RMM2 (b) Gambar 18 memperlihatkan bahwa nilai

galat berdistribusi normal dengan mean di sekitar nol yaitu 0.000167 untuk galat RMM1 dan -0.000471 untuk galat RMM2. Tabel 7 dan 8 memperlihatkan SSE data RMM1 sebesar 3852.73 dan SSE data RMM2 sebesar 3816.82. Ini berarti semua asumsi dalam uji diagnostik sudah terpenuhi, sehingga persamaan model ARIMA (2,1,2) bisa digunakan dalam langkah selanjutnya yaitu memperkirakan besarnya nilai RMM1 dan RMM2 untuk hari berikutnya.

4.2.4 Peramalan

Setelah melalui tahap identifikasi, pembedaan, dan pengujian maka diperoleh suatu model terbaik untuk memprediksi nilai RMM1 dan RMM2, yaitu model ARIMA (2,1,2). Selanjutnya model ARIMA ini digunakan untuk memprakirakan nilai RMM1 dan RMM2 untuk hari berikutnya. Validasi dengan menggunakan model ARIMA (2,1,2) untuk data RMM dari tanggal 2 Maret 2009 sampai 2 Juni 2009 dapat dilihat pada Tabel 9 dan 10.

(10)

Tabel 9 Validasi data RMM1 dengan hasil prakiraan m odel ARIMA (2,1,2) periode 2 Maret 2009 – 2 Juni 2009

Tanggal RMM1 (data asli) Nilai Prediksi RMM1 Galat 02/03/2009 1,106 1,074 0,032 03/03/2009 0,974 1,138 -0,164 04/03/2009 0,842 0,883 -0,042 05/03/2009 0,680 0,766 -0,086 06/03/2009 0,731 0,579 0,151 07/03/2009 0,438 0,773 -0,335 . . . . . . . . . . . . 29/05/2009 0,264 0,095 0,169 30/05/2009 0,587 0,493 0,094 31/05/2009 0,521 0,781 -0,260 01/06/2009 0,435 0,463 -0,028 02/06/2009 0,582 0,393 0,189 Mean Absolute Deviation (MAD) = 0,178

Tabel 10 Validasi data RMM2 dengan hasil prakiraan model ARIMA (2,1,2) periode 2 Maret 2009 – 2 Juni 2009

Tanggal RMM2 (data asli) Nilai Prediksi RMM1 Galat 02/03/2009 -0,151 -0,136 -0,015 03/03/2009 0,125 -0,105 0,229 04/03/2009 0,112 0,294 -0,182 05/03/2009 0,007 0,098 -0,091 06/03/2009 -0,128 -0,049 -0,079 07/03/2009 0,168 -0,205 0,373 . . . . . . . . . . . . 29/05/2009 0,535 0,252 0,282 30/05/2009 0,814 0,648 0,166 31/05/2009 0,893 0,972 -0,079 01/06/2009 1,178 0,936 0,243 02/06/2009 1,248 1,356 -0,107 Mean Absolute Deviation (MAD) = 0,148

Gambar 19 Plot data asli RMM1 dan RMM2 dengan hasil prediksi ARIMA (2,1,2) p eriode 2 Maret 2009 - 2 Juni 2009

Berdasarkan Gambar 19 dapat dilihat bahwa plot data prakiraan mendekati data asli dengan korelasi sebesar 0.983 atau 98.3% untuk RMM1 dan 0.986 atau 98. 6% untuk RMM2. Hasl prediksi dengan model ARIMA (2,1,2) ini cukup baik karena menghasilkan nilai galat yang kecil. Prediksi RMM1 dan

RMM2 ini sangat penting mengingat bahwa RMM merupakan suatu indeks untuk memonitoring MJO. MJO dibangkitkan oleh awan-awan Cumulonimbus, sehingga MJO juga berpengaruh terhadap curah hujan di Indonesia.

(11)

4.3 Model Program Penentuan Fase Pergerakan MJO

Pada pembahasan sebelumnya telah diperoleh model statistik untuk memprediksi nilai RMM1 dan RMM2, yaitu ARIMA (2,1,2). Pergerakan MJO dari Samudera Hindia ke arah timur dibagi menjadi 8 fase. Untuk mendukung model prediksi MJO, maka

perlu juga dibuat suatu program untuk mengetahui fase pergerakan dan kekuatan MJO yang diprediksi. Model ini dibuat dengan memanfaatkan software Microsoft Visual Basic. Tampilan dari model program penentuan fase pergerakan MJO adalah sebagai berikut:

Gambar 20 Interface program penentuan fase pergerakan MJO Input dari program ini yaitu data RMM1

dan RMM2 dengan format .csv, sedangkan outputnya berupa fase pergerakan dan power MJO (lemah dan kuat ). Model ini berguna sekali mengingat cukup sulitnya menentukan fase pergerakan dan kekuatan MJO secara langsung, apalagi jika datanya banyak. Model ini sangat sederhana dan dapat digunakan oleh

siapa saja yang ingin mengetahui fase MJO. Ada beberapa syarat dari pembagian 8 fase tersebut dimana diagram fase pergerakan MJO dapat dilihat pada Bab II. Coding program ini terdapat di Lamp iran 3.

4.4 Analisis Jangka Panjang

(12)

Tipe curah hujan di wilayah Sumatera bagian selatan dan Jawa merupakan tipe curah hujan jenis Monsun. Periode musim hujan dan musim kemarau memiliki perbedaan yang jelas. Musim hujan terjadi pada bulan Desember, Januari, dan Februari. Sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Gambar 21 memperlihatkan distribusi curah hujan bulanan di wilayah Jakarta yang diwakili oleh Stasiun Tanjung Priok, Stasiun Halim Perdanakusuma, Stasiun Kemayoran, dan Stasiun Cengkareng dari tahun 1995 sampai tahun 2008. Pada gambar tersebut terlihat bahwa curah hujan dengan intensitas tinggi di wilayah Jakarta terjadi pada bulan Januari-Februari-Maret.

Pada bulan Februari dan Maret hujan lebat terjadi hampir setiap hari. Sebagian berpendapat, ini adalah gejala alam biasa yang hampir terjadi setiap musim hujan. Bahkan ada yang menyatakan ini terkait erat dengan siklus lima tahunan yang menyebabkan Jakarta dan sekitarnya ”tenggelam” akibat curah hujan dengan intensitas cukup tinggi. Hingga saat ini belum ada penjelasan ilmiah yang secara utuh, runut, terpadu, serta mudah dimengerti masyarakat awam mengapa terjadi hujan lebat dengan intensitas tinggi.

Prof. Manabu D. Yamanaka dari Universitas Kobe, Jepang pada acara ”Workshop on Toward the Establishment of Hydrological Array for Intraseasonal Variation Monsoon Automonitoring (HARIMAU) and Its Application pada tanggal 6 Februari 2007 di BPPT, Jakarta mengatakan bahwa akibat tertahannya massa udara dingin oleh gunung Salak yang ada di Bogor, menyebabkan massa udara dengan kandungan uap air tadi kembali jatuh di Jakarta dan sekitarnya. Kalaulah skenario ini benar, mestinya hanya Kota Jakarta dan sekitarnya yang akan menerima hujan lebat secara terus -menerus. Namun, kenyataannya tidaklah demikian, justru curah hujan dengan intensitas tinggi lambat laun bergerak ke arah timur yang ditandai dengan banjir hampir di sepanjang Pantai Utara P. Jawa seperti Bekasi, Cikampek, Karawang (hampir seluruh Pantai Utara Jawa Barat) hingga Jawa Tengah. Jika menggunakan teori cold surge , fenomena ini menjadi sulit dijelaskan.

Ada beberapa faktor lain yang menyebabkan intensitas curah hujan tinggi di daerah Jakarta. Secara geografis di utara Jakarta terbentang laut sebagai sumber uap air, sementara di bagian selatan Jakarta ada pegunungan di Bogor. Pengaruh lokal itulah

yang kemudian memberikan andil besar semakin besarnya intensitas curah hujan di Jakarta pada Januari dan Februari.

Menurut Dr. Fadli Syamsudin, koodinator program Hydrometeorological Array for Intraseasonal Variation Monsoon Auto Monitoring (Harimau) Indonesia, salah satu faktor yang menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi adalah kiriman uap air jenuh dari Samudera Hindia akibat Madden Julian Oscillation (MJO). Menurut Beliau MJO dalam fase aktif memiliki korelasi terjadinya intensitas curah hujan yang tinggi terhadap wilayah yang dilaluinya. MJO merupakan osilasi dominan yang terjadi di hampir seluruh kawasan ekuator dengan nilai Power Spectral Density (PSD) berkisar antara 30 hingga 60 harian. Sejak peristiwa El-Nino pada tahun 1982-1983, variasi frekuensi rendah di wilayah tropis, baik itu waktu intraannual (kurang dari setahun) dan inter-annual (lebih dari setahun), mendapatkan banyak perhatian dan hubungannya dengan MJO berkembang dengan cepat.

Dalam penelitian ini, analisis jangka panjang dilakukan dengan melihat bagaimana pengaruh MJO terhadap curah hujan di Indonesia, yaitu berdasarkan analisis data Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2). Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab II bahwa MJO dikatakan dalam

fase aktif jika .

Analisis jangka panjang ini hanya difokuskan pada wilayah Indonesia bagian barat (studi kasus:Jakarta), sehingga fase pergerakan MJO juga hanya difokuskan pada fase 4 dan 5 (dapat dilihat pada diagram fase pergerakan MJO di Bab II). Data RMM yang dianalisis yaitu periode Januari 1995 - Desember 2008. Plot data RMM1 dan RMM2 (data asli) dengan nilai prediksi ARIMA (2,1,2) pada periode tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5. Berikut ini plot RMM yang ditampilkan yaitu pada tahun 1996, 2002, dan 2007.

(13)

(a)

(b)

(c)

Gambar 22 Plot data RMM1/2 dengan nilai prediksi periode 1 Januari - 31 Desember 1996 (a), 2002 (b), dan 2007 (c)

Gambar 22(a) terlihat bahwa pada awal bulan Februari dan Juni 1996 MJO berada dalam fase aktif. MJO aktif yang terjadi pada bulan Februari tersebut menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi, namun tida k sama halnya dengan MJO aktif pada bulan Juni. Pada bulan Juni 1996, curah hujan di wilayah

Jakarta khususnya sangat rendah. Begitu juga pada bulan kering lainnya (Juli-Agustus), MJO yang aktif tidak menyebabkan curah hujan tinggi pada saat itu.

MJO aktif yang terjadi pada bulan basah (Desember-Januari-Februari) berpeluang meningkatkan curah hujan. Hal itu dikarenakan posisi matahari pada ketiga bulan tersebut yaitu berada di sebelah selatan yang meny ebabkan penguapan tinggi. Sedangkan MJO aktif pada bulan kering (Juni-Juli-Agustus) tidak menyebabkan curah hujan tinggi. Sehingga salah jika dikatakan bahwa MJO selalu menyebabkan intensitas curah hujan tinggi, karena hal itu tidak selalu, kecuali ketika matahari berada di sebelah selatan khatulistiwa.

4.5 Analisis J angka Pendek

Analisis jangka pendek difokuskan pada curah hujan bulan basah (Desember -Januari-Februari-Maret) tahun 1996, 2002, dan 2007. Curah hujan yang tinggi pada saat itu akan dianalisis apakah ada pegaruh dari fenomena Madden Julian Oscillation (MJO).

Setiap Januari hingga Februari, intensitas curah hujan di wilayah Jakarta m encapai puncaknya. Hujan dengan intensitas sangat tinggi di Jakarta pada tahun 1996 terjadi pada awal Februari, mencapai 200 mm/hari. Pada tahun 2002 curah hujan tinggi terjadi pada akhir Januari (15-30 Januari), mencapai 200 mm/hari sedangkan pada tahun 2007 curah hujan tinggi mencapai 250 mm/hari terjadi pada 1-5 Februari (Lampiran 6) . Tahun 1996, 2002, dan 2007 terjadi banjir besar di Jakarta. Definisi banjir dalam tulisan ini adalah banjir besar yang hampir melumpuhkan kota Jakarta. Di luar tahun tersebut, Jakarta tentu saja mengalami banjir tetapi dengan skala, dampak, dan peningkatan kerugian yang jauh lebih kecil.

Penyebab banjir di Jakarta menurut Dr. Armi Susandi, MT (Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung) yaitu curah hujan tinggi, topografi Jakarta, dan Gelombang Pasang (ROB) . Dalam tulisan ini hanya akan dibahas penyebab banjir dari pengaruh curah hujan tinggi.

Banjir akibat hujan lebat di daerah Jakarta berpotensi terjadi pada bulan Januari dan Februari. Perlu dianalisis apa penyebab dari hujan sangat lebat pada tiga tahun itu. Diduga ada pengaruh dari fenomena MJO yang menyebabkan curah hujan lebat tersebut. Berikut ini adalah plot dari RMM1 dan RMM2 untuk mengetahui fase aktif dan lemah MJO.

(14)

(a) (b)

Gambar 23 Plot data RMM1/2 (a) dan diagram fase MJO (sumber: Bureau of Meteorology Research Centre, 1996) (b) periode 1 Desember 1995 – 31 Maret 1996

(a) (b)

Gambar 24 Plot data RMM1/2 (a) dan diagram fase MJO (sumber: Bureau of Meteorology Research Centre, 2002) (b) periode 1 Desember 2001 – 31 Maret 2002

(a) (b)

Gambar 25 Plot data RMM1/2 (a) dan diagram fase MJO (sumber: Bureau of Meteorology Research Centre, 2007) (b) periode 1 Desember 2006 – 31 Maret 2007

awal Februari MJO aktif awal Februari MJO lemah akhir Januari MJO aktif

MJO aktif

MJO aktif

MJO lemah

(15)

Diagram pergerakan MJO pada Gambar 23, 24, dan 25 (b) memperlihatkan bagaimana fase MJO ketika curah hujan tinggi pada tahun 1996, 2002, dan 2007 yang menyebabkan banjir di Jakarta . Pada awal Februari 1996 tepatnya tanggal 3, 9, 10, 11 Februari MJO berada pada fase aktif, begitu pula pada akhir Januari 2002 (Gambar 24). MJO aktif tersebut berpengaruh pada meningkatnya curah hujan. Salah satu wilayah yang terkena dampaknya yaitu Jakarta.

Menurut Dr. Fadli Syamsudin, ada empat faktor pemicu curah hujan tinggi yang berdampak banjir di Jakarta dari sisi klimatologi, yaitu cold surge, fenomena MJO, El Nino/La Nina Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) dari Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, dan faktor lokal seperti Jakarta yang memiliki pola harian curah hujan yang dipengaruhi lingkungan maritim di sekitarnya juga memicu tingginya curah hujan. Pada awal Februari 2007 terjadi banjir besar akibat sangat lebatnya curah hujan harian, terutama pada tanggal 1-5 Februari. Dugaan awal yatu bahwa ada pengaruh dari fenomena MJO pada saat itu, seperti yang terjadi pada tahun 1996 dan 2002. Namun dugaan awal itu salah karena berdasarkan data RMM dan melihat diagram fase pergerakan MJO, ternyata pada awal Februari 2007 MJO berada dalam fase lemah.

Nilai RMM1 dan RMM2 juga berhubungan dengan angin, sehingga pada penelitian ini dianalisis pula vektor angin saat kejadian curah hujan ekstrim tahun 2007. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Rahmat Genorwo tahun 2009, pola pergerakan angin menunjukkan adanya pergerakan vortex di Selatan Pulaw Jawa saat kejadian curah hujan ekstrim tahun 2002 dan 2007. Fenomena vortex dimulai tanggal 23 Januari 2002 hingga berakhir 26 Januari 2002 dan tanggal 1 Februari untuk periode tahun 2007. Gerak turbulensi vektor angin akan menyebabkan terjadinya curah hujan tinggi. Namun fenomena vortex bukan merupakan efek dominan penyebab curah hujan ekstrim.

MJO terlihat jelas dari aktivitas awan-awan Cb yang dapat dilihat berdasarkan data radiasi gelombang panjang (OLR). Untuk itu perlu dilihat bagaimana anomali OLR pada awal Februari 2007. Warna biru pada Gambar 26 menunjukkan anomali OLR negatif (MJO aktif), sedangkan warna orange menunjukkan anomali OLR positif (MJO tidak aktif).

Gambar 26 T i m e-longitude section anomali OLR pada 3°LU–8°LS dan 105°BT-108°BT Januari–Maret 2007 (sumber: NOAA, 2007) Pada Gambar 26 terlihat bahwa awal Februari 2007 anomali OLR positif, sehingga tidak menunjukkan adanya kumpulan awan-awan tinggi (Super Cloud Cluster ). Analisis data RMM dan OLR semakin menguatkan argumen penulis bahwa curah hujan tinggi di Jakarta awal Februari 2007 bukanlah disebabkan oleh fenomena MJO.

Fakta ini sekaligus membantah apa yang pernah diungkapkan oleh Erwin Mulyana (2008), bahwa kejadian banjir pada Februari 2007 disebabkan oleh adanya MJO aktif. Diduga ada fenomena lain yang menyebabkan curah hujan sangat lebat pada awal Februari 2007. Hasil penelitian Peiming Wu et al. (2007), curah hujan sangat lebat yang menyebabkan banjir pada aw al Februari 2007 disebabkan oleh pengaruh massa udara dingin yang bergerak dari Siberia ke kawasan ekuator melalui pesisir Jawa (cold surge ), dan adanya pengaruh dari pergerakan Monsun yang melewati ekuator.

anomali OLR (+)

MJO lemah

(16)

Di daerah tropis aktivitas konveksi di atas lautan lebih aktif dibanding di daratan dengan variasi yang besar. Sebagai akibat pertumbuhan awan konvektif yang besar, maka curah hujan variasinya sangat besar, namun untuk tahun 2007, konveksi pada tanggal 1 Februari 2007 sedikit melemah. Hal yang perlu diperhatikan adalah terdapat delay waktu kejadian hujan sebelum terjadi curah hujan ekstrim tersebut, secara fisis dianalisis sebagai pengumpulan energi di atmosfer sebagai penyebab curah hujan ekstrim.

Analisis jangka pendek untuk melihat peluang hujan lebat pada saat MJO difokuskan hanya di empat kota kawasan barat Indonesia, yaitu Jakarta, Palembang, Lampung, dan Kerinci pada tahun 2006, 2007, dan 2008.

Tabel 11 Peluang kejadian curah hujan > 50 mm/hari saat MJO aktif dan tidak aktif di wilayah Jakarta, Lampung, Palembang, dan Kerinci

Stasiun Tahun A (%) B (%) Halim P. 2006 1.33 2.16 2007 0.95 3.23 2008 0.97 0.78 Kemayoran 2006 2.21 2.88 2007 3.33 3.23 2008 2.2 0.72 Tj. Priok 2006 1.77 0 2007 3.81 3.23 2008 2.64 1.45 PD. Betung 2006 0.99 1.8 2007 2.38 2.58 2008 3.08 0 Palembang 2006 1.77 2.16 2007 2.38 3.23 2008 3.08 2.17 Lampung 2006 2.46 0.99 2007 4.09 1.5 2008 2.2 0.72 Kerinci 2006 0.88 0.72 2007 1.03 0 2008 0.88 0 Ket:

A = Peluang CH > 50 mm/hari saat MJO aktif B = Peluang CH > 50 mm/hari saat MJO tidak aktif

Tabel 11 menunjukkan bahwa peluang hujan lebat saat terjadinya MJO aktif adalah kecil (kurang dari 5%). Pertumbuhan awan

sampai mencapai tingkat matang dan menjadi hujan dibutuhkan inti kondensasi, uap air, energi dalam jumlah yang besar. Sehingga jika MJO aktif tetapi tidak menimbulkan curah hujan, hal itu dikarenakan awan-awan tersebut belum mencapai inti kondensasi sehingga terus bergerak dan bergabung dengan butir awan lain dan membentuk ukuran butir yang lebih besar lagi sehingga gaya berat mampu melawan daya angkat ke atas, dan butit dapat turun sebagai hujan. Tabel 11 juga sekaligus menunjukkan bahwa M JO tidak selalu identik dengan intensitas curah hujan yang tinggi.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Melalui metode Box Jenkins, model prediksi yang mendekati untuk data deret waktu RMM1/2 adalah ARIMA (2,1,2), yang artinya bahwa prakiraan data RMM1/2 untuk waktu mendatang tergantung dari data dan galat dua hari sebelumnya.

2. Hasil validasi nilai RMM dengan nilai prediksi untuk per iode 2 Maret 2009 – 2 Juni 2009, menunjukkan bahwa nilai prediksi dengan model ARIMA (2,1,2) mendekati nilai RMM data asli, dengan rata-rata galat yang diperoleh yaitu 0.17 (RMM1) dan 0.15 (RMM2).

3. MJO fase aktif tidak selalu diikuti dengan hujan deras di Indonesia. MJO aktif berpeluang menimbulkan hujan deras di Indonesia ketika terjadi pada bulan basah (DJFM). Pada tahun 1996 dan 2002 MJO menjadi salah satu penyebab hujan deras (mencapai 200 mm/hari) yang menyebabkan banjir (studi kasus: Jakarta). Namun kejadian hujan deras yang menyebabkan banjir pada Februari 2007 terjadi ketika MJO dalam fase lemah, sehingga diduga ada fenomena lain yang menyebabkan hujan deras tersebut. 5.2 Saran

• Untuk meningkatkan keakuratan dalam prakiraan selanjutnya, sebaiknya model diperbaharui dengan data baru yang diperoleh.

• Penulis menyarankan untuk menggunakan metode prediksi (berbasis statistik) yang lebih baik lagi pada penelitian selanjutnya.

Gambar

Gambar  8    Power Spectral Density  (PSD) RMM1, RMM2, OLR 80°BT, OLR 100°BT, OLR  120°BT, dan OLR 140°BT p eriode 3 Maret 1979 – 3 Maret 2009
Gambar  9    Power Spectral Density (PSD) RMM1 dan RMM2  periode 1 Maret 1979 – 1 Maret   2009
Gambar    11    Korelasi  silang antara RMM2   dengan OLR 100°BT periode  3 Maret   1979 - 3 Maret  2009
Gambar  12  menampilkan plot deret waktu  dari data RMM1 dan RMM2. Berdasarkan
+7

Referensi

Dokumen terkait

tidak signifikan dengan keputusan pembelian (Y) laptop Acer. 3) Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai korelasi variabel. lingkungan sosial dengan keputusan pembelian

.Analisis mlai merupakan suatu teknik manajemen yang menggunakan pendekatan sistematis dan terorganisasi dengan menggunakan analisis lungsi pada suatu produk untuk mencapai

Peningkatan tekanan perfusi ini selain meningkatkan aliran koronaria juga bermanfaat membuka kolateral sehingga gangguan pasokan darah ke kawasan miokard yang terjadi

Pendidikan jasmani dan olahraga adalah laboratorium bagi pengalaman manusia, karena dalam pendidikan jasmani menyediakan kesempatan untuk memperlihatkan mengembangan

Kecemasan merupakan suatu kondisi afektif negatif yang dicirikan oleh gejala fisik dan perasaan takut akan masa depan (Basant dkk., 2011). Kecemasan merupakan suatu faktor

tersebut, pada kapal selam juga sudah dilaksanakan optimasi gyro inersial dengan menggunakan data output gyro tersebut sebagai sumber data PNT untuk seluruh perangkat yang

saran Bagi Orang tua diharapkan bagi orang tua untuk memberikan stimulasi pendidikan anak usia dini berupa play group supaya tingkat kemandirian anak berkembang

Pada Penjualan dan obat pada Apotek Anugrah ini membutuhkan pencatatan, pencarian, penjualan dan pencetakan laporan obat yang lebih baik tanpa membuang waktu yang