• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reaksi Inflamasi Berdasarkan Perbedaan Tinggi Badan pada Anak Usia 9-12 Tahun di Kota Semarang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Reaksi Inflamasi Berdasarkan Perbedaan Tinggi Badan pada Anak Usia 9-12 Tahun di Kota Semarang"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

i

REAKSI INFLAMASI PADA ANAK STUNTED-OBESITY USIA

9-12 TAHUN DI KOTA SEMARANG

Proposal Penelitian

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

studi pada program studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro

disusun oleh

DANIEL KORRE 22030113120046

PROGRAM STUDI S1 ILMU GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG 2016

(2)
(3)

iii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………..i

HALAMAN PENGESAHAN ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi BAB 1 ... 1 PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Rumusan Masalah ... 3 Tujuan ... 3 BAB II ... 5 TINJAUAN PUSTAKA ... 5 Stunted Obesity ... 5

Patogenesis Stunted Obesity ... 10

Inflamasi ... 12

Inflamasi pada Stunted-Obesity ... 13

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Inflamasi ... 14

C-Reactive Protein (CRP) ... 15 Kerangka Teori ... 17 Kerangka Konsep ... 18 Hipotesis ... 18 BAB III ... 19 METODOLOGI PENELITIAN ... 19

Ruang Lingkup Penelitian ... 19

Rancangan Penelitian ... 19

Subjek Penelitian ... 19

(4)

iv

Definisi Operasional ... 21

Prosedur Penelitian ... 23

Alur Penelitian ... 24

Pengumpulan Data ... 25

Analisis Data Penelitian ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 28

(5)

v DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi indikator IMT/U……… 5

Tabel 2 Klasifikasi indikator TB/U……… 9 Tabel 3. Penggolongan Risiko Kadar CRP terhadap PJK………. 16

(6)

vi DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Formulir Inform Consent……….. 34 Lampiran 2. Judul Penelitian……….. 37 Lampiran 3. Formulir Pengukuran Data Antropometri……….. 38

(7)

1 BAB 1

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Stunting (short stature) atau yang disebut tinggi badan per panjang badan terhadap umur yang rendah digunakan sebagai indikator malnutrisi kronik yang menggambarkan riwayat kurang gizi anak dalam jangka waktu lama.1 Menurut

WHO, stunting ditetapkan yaitu apabila panjang badan atau tinggi badan menurut umur kurang dari minus dua standar deviasi sesuai dengan standar median.2 Anak

yang pendek dapat disebabkan asupan gizi yang buruk atau menderita penyakit infeksi berulang. Jika kecenderungan ini terus berlanjut, proyeksi menunjukkan bahwa 127 juta anak di bawah 5 tahun akan stunting pada tahun 2025.3

Anak yang menderita stunting berdampak tidak hanya pada fisik yang lebih pendek, tetapi juga berdampak pada fungsi kognitifnya. Penelitian yang dilakukan oleh Walker et al. menunjukkan bahwa anak stunting mengalami gangguan dalam fungsi kognitif dan penurunan pencapaian akademik pada masa remaja.4 Masalah anak stunting dapat menyebabkan masalah antar generasi karena ketika anak stunting menjadi remaja, selanjutnya dewasa, dan pada anak perempuan menjadi ibu yang akan melahirkan kembali anak stunting dan menciptakan lingkaran setan.3

Anak-anak yang stunting akan mengalami kenaikan berat badan yang cepat setelah usia dua tahun sehingga berisiko menjadi overweight atau obesitas di kemudian hari dengan risiko lebih tinggi penyakit jantung koroner, stroke, hipertensi dan diabetes tipe 2.5 Popkin dan Richards juga melaporkan bahwa anak yang stunting memiliki risiko 1,7-7,8 kali lebih tinggi untuk menjadi overweight dibandingkan dengan anak normal.6 Kekurangan gizi kronis selama pertumbuhan dan perkembangan berdampak kepada perubahan metabolisme energi dengan cara peningkatan metabolisme karbohidrat tetapi mengurangi oksidasi lemak.7 Adapatasi jangka panjang anak-anak stunting terhadap gizi

(8)

2 akan mempengaruhi fungsi enzim dan hormon. Perubahan pada fungsi hormon dan enzim menyebabkan gangguan oksidasi lemak sehingga mempercepat penumpukan lemak ketika mengonsumsi tinggi lemak.7 Menurut thrifty genotype hypothesis, individu yang mengalami kekurangan energi kronis akan beradaptasi untuk dapat bertahan hidup dengan memaksimalkan penyimpanan energi dan meminimalisir pengeluaran energi sehingga menyebabkan perubahan gen. Perubahan gen tersebut mengakibatkan terjadinya keseimbangan energi positif. Jika terjadi peningkatan asupan makanan maka risiko menjadi overwight atau obesitas menjadi lebih besar.8

Menurut data Riskesdas 2013, prevalensi stunted obesity pada usia balita secara nasional adalah 6,8 persen yang berarti terjadi penurunan 0,8 persen dibandingkan tahun 2010 (7,6%). Tetapi, prevalensi stunted obesity usia dewasa tahun 2013 (10,9 %) meningkat 1,3% dibandingkan tahun 2010 (9,6 %).9 Peningkatan prevalensi obesitas terjadi di semua tingkat ekonomi. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya transisi ekonomi dari negara berkembang ke negara maju, dan transisi gizi yang disertai dengan perubahan aktivitas fisik.10,11 Transisi gizi mengacu pada perubahan komposisi dari diet tradisional yang umumnya berasal dari sumber makanan nabati, rendah lemak dan tinggi serat ke diet tinggi energi tetapi rendah serat.11 Anak-anak yang tinggal di negara-negara yang mengalami transisi gizi dapat secara bersamaan mengalami stunting dan overweight atau obesitas.10

Pada anak stunting, inflamasi tingkat rendah dapat terjadi selama kehamilan dan pada tahun pertama kehidupan sehingga mempengaruhi tingkat insulin-like growth factor 1 (IGF-1) dan berdampak kepada penurunan pertumbuhan linear.12,13 Jika terjadi infeksi akut, inflamasi akan menjadi lebih

parah karena memicu respon sistemik dan mengaktivasi makrofag dan neutrofil untuk melepaskan sitokin proinflamasi. Respon ini akan mengarah langsung ke peningkatan produksi protein fase akut seperti protein C-reaktive (CRP).

(9)

3 Induksi dari respon fase akut dan produksi sitokin proinflamasi seperti TNF-a, IL-1 dan IL-6 dapat menyebabkan peningkatan produksi makrofag dan menurunkan produksi osteoklas.14 Anak stunting akan tumbuh dengan risiko

menjadi obesitas yang juga berhubungan dengan inflamasi sistemik kronis. Inflamasi akan mengaktivasi sistem imun di jaringan adiposa dan memicu peningkatan produksi serta pelepasan sitokin pro-inflamasi. Proses inflamasi yang disebabkan obesitas dapat menyebabkan komplikasi seperti hipertensi, atherosclerosis, dislipidemia, resistensi insulin, dan diabetes mellitus yang menjadi ciri sindrom metabolik.15

Beberapa mediator proinflamasi disekseri dalam jumlah yang banyak, diantaranya Tumor Necrosis Factor alpha (TNF-α), interleukin-6 (IL-6), Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1), dan CReactive Protein (CRP). C-reactive protein (CRP) merupakan protein fase akut dari pentraxin yang diproduksi di hati dalam menanggapi sinyal inflamasi, terutama interleukin-6 dan diilepaskan selama infeksi, inflamasi sistemik dan kerusakan jaringan.16 Fungsi dari CRP adalah mempertahankan tubuh terhadap agen infeksi. Dalam banyak studi yang berkaitan dengan risiko inflamasi penyakit kronis, CRP digunakan sebagai marker pilihan untuk mengukur status inflamasi karena kemudahan dalam pengukuran17 dan merupakan indikator yang paling sensitif pada inflamasi karena peningkatkan konsentrasi serumnya sebanyak 1.000 kali lipat.18

B. Rumusan Masalah

Bagaimana perbedaan reaksi inflamasi pada anak yang stunted-obesity dengan nonstunted-obesity usia 9-12 tahun?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

(10)

4 2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan obesitas pada anak usia 9-12 tahun.

b. Mendeskripsikan prevalensi anak yang stunted-obesity usia 9-12 tahun.

c. Mendeskripsikan kadar CRP pada anak yang stunted-obesity dan nonstunted-obesity usia 9-12 tahun

d. Menganalisis perbedaan kadar CRP pada anak yang stunted-obesity dan nonstunted-obesity usia 9-12 tahun.

D. Manfaat

1. Memberikan sumbangan ilmu tentang kejadian reaksi inflamasi pada anak stunted-obesity.

2. Bagi ilmu pengetahuan, sebagai dasar untuk penelitian-penelitian lebih lanjut.

(11)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Stunted Obesity

1. Obesitas

Obesitas merupakan keadaan dimana terjadi akumulasi lemak yang berlebihan di jaringan adiposa.19 Meningkatnya prevalensi obesitas pada anak-anak memberikan penekanan yang lebih besar pada berbagai kondisi komorbiditas dan komplikasi sebagai konsekuensi dari obesitas.20 Komplikasi ini dapat terjadi baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) mengumpulkan data tahun 2007-2008 pada anak-anak dan remaja usia 2-19 tahun menemukan bahwa prevalensi overweight dan obesitas hampir 32%, artinya satu dari tiga anak mengalami overweight atau obesitas.21 Secara nasional, masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 18,8 persen, terdiri dari gemuk 10,8 persen dan sangat gemuk 8,8 persen.9

Berdasarkan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-18 tahun, status gizi ditentukan berdasarkan nilai Z-score IMT/U. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score ini status gizi anak dikategorikan sebagaimana tercantum pada tabel 1 berikut.2

Tabel 1. Klasifikasi indikator IMT/U

Status gizi Z-score

Normal ≥-2,0 s/d ≤1,0

Gemuk > 1,0 s/d ≤ 2,0

Obesitas > 2,0

(12)

6 Kejadian obesitas disebabkan beberapa faktor risiko baik langsung maupun tidak langsung diantaranya:

a. Aktivitas Fisik

Pengeluaran energi menurun akibat kurangnya aktivitas akan mempengaruhi keseimbangan energi tubuh. Meta-analisis menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik antara menonton televisi dan bermain video atau games terhadap adipositas pada anak-anak.22 Data National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) menemukan bahwa anak-anak dan remaja usia 6-19 tahun yang menonton TV ≥4 jam/hari, berisiko memiliki lingkar pinggang yang signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan waktu acuan <1 jam/hari.23 Menonton TV adalah waktu yang rentan untuk mengonsumsi makanan atau minuman yang berenergi tinggi.24 Jahns et al. menemukan peningkatan mengemil di antara anak-anak di AS dari tahun 1977-1996 padahal makanan ringan padat energi, tinggi lemak dan rendah kalsium.25

b. Asupan

Makanan yang padat energi bersumber dari makanan olahan biji-bijian dan makanan yang tinggi lemak dan gula.26 Asupan kalsium yang rendah meningkatkan kadar serum calcitriol, yang dapat merangsang aliran kalsium dari adiposit. Peningkatan kadar kalsium intraseluler akan meningkatkan aktivitas sintase asam lemak dan menghambat ekspresi lipase hormon-sensitif, mendorong lipogenesis dan menghambat lipolisis, sehingga terjadi penumpukan lemak tubuh.27

(13)

7 c. Genetik

Faktor genetik diakui sebagai faktor risiko obesitas. Genetik berkontribusi kecil terhadap kejadian obesitas, tetapi menentukan bagaimana respon individu terhadap faktor lingkungan dari asupan dan aktivitas fisik. Faktor genetik meningkatkan kerentanan anak untuk obesitas karena dapat mempengaruhi metabolisme, asupan energi dan energy expenditure.28

d. Transisi Gizi

Diet di negara berkembang berubah dengan cepat, khususnya yang berkaitan dengan lemak, pemanis, dan makanan sumber hewani.29 Transisi gizi mengacu pada perubahan komposisi dari diet tradisional yang umumnya berasal dari dari sumber makanan nabati rendah lemak dan tinggi serat ke diet tinggi energi tetapi rendah serat.11 Urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, perkembangan teknologi dalam bekerja, food processing, dan perkembangan media massa berpengaruh terhadap transisi gizi.30 Transisi gizi terkait erat dengan transisi demografi dan epidemiologi.31 Transisi demografi yaitu pergeseran dari tingginya kelahiran serta kematian ke rendahnya kelahiran dan kematian sedangkan transisi epidemiologi yaitu pergeseran dari tingginya prevalensi penyakit infeksi yang berhubungan dengan gizi buruk, kelaparan, dan sanitasi lingkungan yang buruk ke tingginya prevalensi penyakit kronis dan degeneratif.32

e. Status Ekonomi

Peningkatan prevalensi obesitas terjadi di semua tingkat ekonomi. Di negara-negara maju, Obesitas umumnya terjadi pada orang dengan status ekonomi rendah tetapi di negara yang sedang

(14)

8 berkembang, obesitas lebih banyak ditemui pada orang dengan status ekonomi menengah keatas.10 Sebuah studi menggunakan data dari 67 negara yang mewakili semua wilayah di dunia, mengkaji bagaimana pembangunan ekonomi, status sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, pendapatan) dan obesitas terkait dan ditemukan bahwa obesitas meningkat seiring dengan pembangunan ekonomi suatu negara. Di negara-negara yang berpenghasilan rendah, orang dengan status sosial ekonomi tinggi cenderung menjadi obesitas. Sebaliknya, di negara-negara berpenghasilan tinggi, orang dengan status sosial ekonomi tinggi kecil kemungkinan untuk menjadi obesitas. Hal ini terjadi karena orang-orang di negara yang berpenghasilan rendah dengan status sosial ekonomi tinggi mengonsumsi makanan berkalori tinggi dan rendah aktifitas fisik tetapi di negara-negara berpenghasilan tinggi, individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi menerapkan pola hidup sehat dan olahraga teratur.33

2. Stunting

Stunting didefinisikan sebagai tinggi badan kurang dari minus dua standar deviasi (<-2SD) menurut standar pertumbuhan organisasi kesehatan dunia.2 Ini disebabkan oleh asupan gizi yang buruk atau menderita penyakit

infeksi berulang selama 1000 hari pertama kehidupan.34 Stunting memiliki

efek jangka panjang pada individu dan masyarakat, seperti mempengaruhi perkembangan fisik dan kognitif, mengurangi kapasitas produktif dan kesehatan yang buruk, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif seperti diabetes.4 Stunting umumnya digunakan sebagai indikator dari defisiensi zat gizi dalam jangka waktu yang lama.1

Berdasarkan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-18 tahun, status gizi ditentukan berdasarkan nilai Z-score TB/U. Selanjutnya

(15)

9 berdasarkan nilai Z-score ini status gizi anak dikategorikan sebagaimana tercantum pada tabel 2 berikut.2

Tabel 2 Klasifikasi indikator TB/U

Status gizi Z-score

Normal ≥-2,0

Pendek ≥-3,0 s/d <-2,0

Sangat pendek < -3

Sumber: WHO2

Assis et al. melakukan penelitian pada 461 anak berusia 7-14 tahun di Brazil dan menunjukkan bahwa asupan total protein kurang dari nilai median meningkatkan risiko stunting 1,59 kali lebih tinggi.35 Lee et al. yang menganalisis asupan gizi 143 anak usia 2-14 tahun di Korea Selatan menunjukkan bahwa asupan protein, lemak, kalsium dan zat besi dari anak stunting lebih rendah dibandingkan anak-anak normal.36

Stunting dikenal sangat lazim di lingkungan yang memiliki prevalensi penyakit infeksi.37 Stunting mengganggu imunitas anak, sehingga meningkatkan keparahan, dan lamanya penyakit infeksi. Anak yang mengalami infeksi atau memiliki riwayat infeksi berulang akan mempengaruhi penyerapan zat gizi pada saluran pencernaan sehingga berpengaruh pada pertumbuhan.38 Kejadian stunting dikaitkan dengan gender. Hal ini didasarkan pada perbedaan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki memiliki risiko yang lebih tinggi daripada anak-anak perempuan untuk menjadi stunting pada usia yang sama. Anak-anak laki-laki membutuhkan lebih banyak zat gizi seperti piridoksin, seng dan mangan namun tidak terpenuhi dengan baik.39

Tinggi ibu yang rendah dikaitkan dengan stunting pada anak usia sekolah. Ini adalah sugestif dari pentingnya kondisi awal kehidupan yang menyebabkan kekurangan gizi kronis pada ibu selama kehamilan dapat mempengaruhi keturunannya.40 Jika asupan gizi ibu rendah, maka

(16)

10 asupan tersebut akan digunakan untuk pemeliharaan metabolisme penting di dalam tubuh sehingga zat-zat yang penting untuk pertumbuhan kurang dan menyebabkan stunting.41 Tingkat pendidikan

ibu yang rendah adalah salah satu risiko stunting pada anak usia sekolah. orang tua berpendidikan tinggi akan lebih terbuka kepada media, edukasi, dan memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang gizi dan kesehatan.42 Selain itu, ibu yang berpendidikan lebih mungkin untuk

membuat keputusan untuk meningkatkan gizi dan kesehatan anak-anak mereka.43

Jarak antara kelahiran yang teralu pendek dapat berefek buruk pada gizi anak dan menyebabkan hambatan pertumbuhan dalam kandungan atau kualitas perawatan anak.Hal ini dihubungkan dengan distribusi jumlah makanan semakin kecil diperoleh oleh anak-anak, terutama di keluarga miskin. Selain itu, situasi ini juga meningkatkan risiko kepadatan penduduk yang akan menyebabkan penyebaran penyakit seperti infeksi saluran pernapasan akut dan diare yang dapat menyebabkan kekurangan gizi.44 Rumah tangga dengan status sosial ekonomi rendah lebih rentan terhadap kerawanan pangan karena konsumsi makanan rendah dan akan memiliki akses terbatas ke makanan dalam periode jangka panjang karena rendahnya daya beli makanan serta akses terbatas untuk pelayanan kesehatan karena tingginya biaya perawatan kesehatan.43 Orang tua dari rumah tangga kelas sosial yang lebih rendah biasanya memiliki tingkat pendidikan rendah.44

B. Patogenesis Stunted Obesity

Stunted Obesity adalah kondisi obesitas yang dilatarbelakangi stunting. Anak-anak yang stunting akan mengalami kenaikan berat badan yang cepat setelah usia dua tahun sehingga berisiko menjadi overweight atau obesitas di kemudian hari dengan risiko lebih tinggi penyakit jantung koroner, stroke,

(17)

11 hipertensi dan diabetes tipe 2.5 Anak-anak yang tinggal di negara-negara yang mengalami transisi gizi dapat secara bersamaan mengalami stunting dan overweight atau obesitas.44 Di Yaounde, anak stunting prasekolah memiliki

risiko 1,6 kali untuk menjadi overweight.45

Gangguan oksidasi lemak menjadi faktor risiko kenaikan berat badan. Penelitian Hoffman et al. di Brazil menemukan bahwa anak-anak stunting mengalami gangguan oksidasi lemak dibandingkan dengan anak-anak tidak stunting yang tinggal di lingkungan yang sama.46 Kekurangan gizi kronis selama pertumbuhan dan perkembangan berdampak kepada perubahan metabolisme energi dengan cara peningkatan metabolisme karbohidrat tetapi mengurangi oksidasi lemak. Lemak yang tidak teroksidasi harus disimpan sehingga mengarah ke obesitas.7

Secara teori, gangguan oksidasi lemak akan mempercepat penumpukan lemak dengan cepat ketika mengonsumsi tinggi lemak karena asupan lemak berlebih akan disimpan. Terganggunya oksidasi lemak membuat anak-anak stunting akan mengalami peningkatan berat badan dengan cepat ketika mereka mengkonsumsi makanan tinggi lemak. Adapatasi jangka panjang anak-anak stunting terhadap gizi akan mempengaruhi fungsi enzim dan hormon. Perubahan pada fungsi hormon dan enzim menyebabkan gangguan oksidasi lemak.7 Sebagai contoh, kekurangan gizi jangka panjang diiringi dengan berkurangnya konsentrasi faktor insulin-like growth factor I (IGF-1). IGF-1 berfungsi meningkatkan aktivitas lipase hormon-sensitif terhadap hormon lipolitik. Apabila terjadi penurunan IGF-1 dapat mengakibatkan penurunan oksidasi lemak.47

Menurut thrifty genotype hypothesis, individu yang mengalami kekurangan energi kronis akan beradaptasi untuk dapat bertahan hidup dengan memaksimalkan penyimpanan energi dan meminimalisir pengeluaran energi. Adaptasi tersebut akan menyebabkan perubahan gen yang disebut thrifty gen.

(18)

12 Perubahan gen tersebut mengakibatkan terjadinya keseimbangan energi positif. Jika terjadi peningkatan asupan makanan maka risiko menjadi overwight atau obesitas menjadi lebih besar.8

C. Inflamasi

Inflamasi didefinisikan sebagai respon fisiologis dari jaringan hidup terhadap infeksi atau iritasi untuk melindungi kerusakan dan perbaikan jaringan. Inflamasi melibatkan aktivasi enzim, pelepasan mediator, migrasi sel, kerusakan dan perbaikan jaringan.48 Inflamasi umumnya dibagi menjadi tiga tahap, yaitu inflamasi akut, respon imun, dan inflamasi kronis. Reaksi inflamasi akut biasanya berlangsung cepat dengan membersihkan agen merugikan dan sedikit kerusakan jaringan. Reaksi inflamasi kronis terjadi apabila proses inflamasi akut gagal dan bertahan selama durasi yang lebih lama dengan berbagai tingkat kerusakan jaringan dan melibatkan pelepasan sejumlah mediator. Keadaan inflamasi kronis terjadi di lokasi metabolik bersangkutan, seperti hati, otot dan yang paling menonjol, jaringan adiposa. Inflamasi juga mungkin memiliki sifat sistemik. Tidak terbatas hanya untuk jaringan tertentu tetapi melibatkan endotelium (lapisan pembuluh darah) dan banyak sistem organ lain.49

Fagosit utama seperti neutrofil, monosit, dan makrofag memegang peran kunci terhadap kejadian inflamasi. Ketika monosit (dilepaskan dari sel mast) meninggalkan darah dan memasuki jaringan selama inflamasi, monosit ini akan berkembang menjadi makrofag. Makrofag tersebut memproduksi mediator sendiri (sitokin pro dan anti-inflamasi seperti IL-6, IL-8, 1L-1 dan TNF-a). Selanjutnya, sitokin merangsang hati untuk membentuk sejumlah protein yang disebut protein fase akut yang terdiri dari a1-antitripsin, komplemen (C3 dan C4), CRP, fibrinogen dan haptoglobin.50

(19)

13 1. Inflamasi pada Stunted-Obesity

Infeksi akut pada anak stunting memicu respon sistemik sehingga terjadi aktivasi makrofag dan neutrofil oleh produk mikroba atau oleh mediator proinflamasi (misalnya, prostaglandin) yang diproduksi oleh sel-sel yang rusak. Pelepasan sitokin proinflamasi tumor necrosis factor (TNF)-a, interleukin (IL) -1 dan IL-6 hasil induksi merupakan respon dari inflamasi sistemik fase akut. Respon ini akan mengarah langsung ke respon sistem saraf pusat (misalnya, induksi demam dan produksi kortisol untuk mengatur inflamasi) dan hati, yang meliputi peningkatan produksi protein fase akut seperti protein C-reaktive (CRP). Induksi dari respon fase akut dan produksi sitokin proinflamasi seperti TNF-a, IL-1 dan IL-6 dapat menyebabkan peningkatan produksi makrofag dan menurunkan produksi osteoklas.14

Inflamasi tingkat rendah dapat terjadi pada tahun pertama kehidupan. Dua periode penting yang berhubungan dengan stunting: pertama, gangguan pertumbuhan intrauterin, yang dipengaruhi oleh kesehatan ibu dan tingkat IGF-1 dalam kandungan; kedua, gangguan pertumbuhan postnatal terkait dengan inflamasi kronis, mulai sangat awal pada masa bayi.12 IGF-1 adalah

hormon yang, bersama dengan hormon pertumbuhan, membantu mempromosikan pertumbuhan dan pengembangan tulang normal dan jaringan. Inflamasi selama kehamilan dapat mempengaruhi tingkat IGF-1 pada awal kehidupan. Hubungan antara inflamasi kronik tingkat rendah dan penekanan hormon pertumbuhan IGF terlihat setelah melahirkan dan dapat menjelaskan penurunan pertumbuhan linear yang terjadi sejak lahir.13

Obesitas berhubungan dengan inflamasi sistemik kronis yang menyebabkan terjadinya aktivasi sistem imun di jaringan adiposa dan memicu peningkatan produksi serta pelepasan sitokin pro-inflamasi.15 Jaringan adiposa adalah campuran heterogen adiposit, preadiposit stroma, sel-sel kekebalan tubuh, dan endotelium sehingga dapat merespon dengan

(20)

14 cepat dan dinamis melalui hipertrofi dan hiperplasia adiposit. Terjadinya pembesaran adiposit menyebabkan suplai darah ke adiposit berkurang sehingga menyebabkan hipoksia. Hipoksia menjadi etiologi nekrosis dan infiltrasi makrofag di jaringan adiposa dan mengarah pada kelebihan produksi faktor proinflamasi seperti kemokin inflamasi. Hal ini menyebabkan inflamasi lokal di jaringan adiposa menyebar menjadi inflamasi sistemik yang terkait dengan perkembangan komorbiditas.51

Proses inflamasi yang disebabkan obesitas dapat menyebabkan komplikasi seperti hipertensi, atherosclerosis, dislipidemia, resistensi insulin, dan diabetes mellitus yang menjadi ciri sindrom metabolik.15

2. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Inflamasi

Aktivasi inflamasi akut dapat disebabkan oleh trauma (cedera atau luka bakar), infeksi mikroba, alergi yang menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast dan autoimun (kompleks imun dengan aktivasi komplemen sitotoksitas sel T). Infeksi atau cedera dapat memacu produksi peptida vasoaktif yang berperan dalam peningkatan permeabilitas vaskular dan enzim yang dapat mengaktifkan komplemen. Akibat aktivasi komplemen, sel-sel polimorfonuklear limfosit dan monosit dapat bermigrasi dari sirkulasi masuk ke jaringan. Ekstravasasi tersebut diatur oleh sitokin pro inflamasi yang diproduksi oleh sel mast dan makrofag. Pencetus inflamasi dapat berbeda, tetapi respon inflamasi pada umumnya adalah sama.50

Diet tinggi lemak (59 % lemak) bisa mendorong terjadinya inflamasi. Diet tinggi lemak dapat mempengaruhi tindakan pro-inflamasi oleh asam lemak jenuh atau trans, yang dapat memberi efek berbeda pada protein fase akut dan sitokin inflamasi. Dalam penelitian Basu et al. melaporkan subyek yang mengkonsumsi buah-buahan segar, sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian dan minyak zaitun mengalami penurunan konsentrasi serum CRP dan 1L-6.52

(21)

15 3. C-Reactive Protein (CRP)

C-reactive protein (CRP) merupakan protein fase akut dari pentraxin yang diproduksi di hati dalam menanggapi sinyal inflamasi, terutama interleukin-6 dan diilepaskan selama infeksi, inflamasi sistemik dan kerusakan jaringan.16 Bagian utama dari CRP berada dalam plasma berasal dari hati. Sintesis CRP terutama diatur oleh interleukin-6 (IL-6), interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF)-α. CRP juga diproduksi secara lokal pada lesi aterosklerotik oleh limfosit SMCs dan sel monositik.53 Fungsi dari CRP adalah mempertahankan tubuh terhadap agen infeksi. CRP adalah garis pertahanan pertama dari patogen karena kemampuannya untuk mempromosikan aglutinasi, aktivasi komplemen, pembengkakan kapsuler bakteri, fagositosis dan pengendapan senyawa polikationik dan polianionik.54

Pada subyek sehat, rata-rata konsentrasi serum CRP adalah kurang dari 1 mg/L, jika konsentrasi diatas 10 mg/L menunjukkan terjadinya inflamasi kronis. Setelah stimulus, dalam waktu 6 jam kadar CRP plasma meningkat di atas 5 mg/L dan mencapai kadar maksimum dalam waktu 48 jam.55 CRP dapat naik hingga 1.000 kali lipat dalam peradangan akut, seperti

selama infeksi. Waktu paruh CRP di plasma adalah sekitar 19 jam dan konstan pada orang sehat. Oleh karena itu satu-satunya faktor yang menentukan tingkat CRP adalah kecepatan produksi, yang langsung mencerminkan intensitas proses patologis.56 Dalam banyak studi yang berkaitan dengan risiko inflamasi penyakit kronis, CRP digunakan sebagai marker pilihan untuk mengukur status inflamasi karena kemudahan dalam pengukuran17 dan merupakan indikator yang paling sensitif pada inflamasi karena peningkatkan konsentrasi serumnya sebanyak 1.000 kali lipat.18

(22)

16 Tabel 3. Penggolongan Risiko Kadar CRP terhadap PJK

Risiko Nilai

Rendah < 1 mg/L

Sedang 1-3 mg/L

Tinggi > 3 mg/L

Tanda inflamasi > 10 mg/L

Sumber: The Egyptian Heart Journal, 2015 53

Komponen dari sindrom metabolik seperti obesitas sentral, peningkatan konsentrasi plasma trigliserida, konsentrasi plasma HDL-C yang rendah, hipertensi, dan peningkatan konsentrasi glukosa darah berkorelasi dengan peningkatan konsentrasi plasma CRP. Peningkatan CRP pada anak obesitas disebabkan oleh infiltrasi jaringan adiposa oleh makrofag yang melepaskan sinyal inflamasi dan sitokin seperti interleukin-6, stimulus utama untuk produksi CRP.5

(23)

17 D. Kerangka Teori

• Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu

• Paritas dan Jumlah anggota keluarga • Tingkat sosial-ekonomi Asupan Obesitas Autoimun Genetik Stunting Reaksi inflamasi Aktivitas fisik Infeksi Asupan tinggi lemak Trauma Alergen

(24)

18 E. Kerangka Konsep

F. Hipotesis

Ada perbedaan reaksi inflamasi pada anak yang stunted-obesity dengan nonstunted-obesity usia 9-12 tahun.

(25)

19 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian

1. Ruang Lingkup penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah gizi masyarakat 2. Ruang Lingkup Waktu

a. Pembuatan proposal : April-Mei 2016 b. Pengambilan data : Juli-Agustus 2016 c. Analisis data : Agustus 2016

d. Penyusunan KTI : Agustus-september 2016 3. Ruang Lingkup Tempat

Tempat penelitian diadakan di SD negeri di kota Semarang, yaitu SD Negeri Cangkiran 01, SD Wonotingal 01, SD Negeri Sekaran 01, dan SD Negeri Barusari 01.

B. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan penelitian cross sectional dimana peneliti melakukan pengukuran setiap variabel sebanyak satu kali.

C. Subjek Penelitian 1. Populasi

a. Populasi target : Seluruh anak yang berusia 9-12 tahun di kota semarang

b. Populasi Terjangkau : Siswa usia 9-12 tahun di SD Negeri Cangkiran 01, SD Wonotingal 01, SD Negeri Sekaran 01, dan SD Negeri Barusari 01.

(26)

20 2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah siswa yang stunted obesity dan non-stunted obesity yang bersekolah di SD Negeri Cangkiran 01, SD Wonotingal 01, SD Negeri Sekaran 01, dan SD Negeri Barusari 01 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan. a. Besar Sampel

Estimasi besar sampel dihitung berdasarkan rumus besar sampel penelitian analitis numerik tidak berpasangan58 sebagai berikut:

n1 = n2 = 2 (Z ∝ +Z β)S

n1 = n2 = 2 (1,64 + 1,28)1,731,7 = 18

Keterangan

Zα : deviat baku alfa Zβ : deviat baku beta

S : simpang baku gabungan

X1 – X 2 : selisih minimal rerata yang dianggap bermakna

n : besar sampel minimal yang diperlukan

Berdasarkan hasil perhitungan, maka didapatkan besar sampel minimal masing-masing kelompok yang harus diambil sebanyak 18 Orang. Untuk menghindari kemungkinan subjek penelitian drop out, maka perlu dilakukan koreksi dengan ditambah 10% sehingga jumlah keseluruhan sampel yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 40 orang.

b. Cara pengambilan sampel

Penentuan SD ditentukan dari 16 kecamatan di kota semarang. Kemudian kecamatan dicluster menjadi urban dan

(27)

sub-21 urban sesuai dengan kepadatan penduduk dan bisa merepresentasikan kejadian stunted obesity seluruh kota semarang. Penentuan dua wilayah urban dan dua sub-urban yang akan dilakukan dengan simple random sampling. Setelah keempat kecamatan tersebut terpilih, memilih satu sekolah disetiap kecamatan dengan menggunakan simple random sampling. Selanjutnya dilakukan skrining dan subjek dipisahkan menjadi dua kelompok, dimana kelompok pertama merupakan subjek yang stunted obesity, sedangkan kelompok kedua yaitu subjek yang nonstunted-obesity. c. Kriteria inklusi

1. Anak SD usia 9-12 tahun di kota semarang.

2. Mengalami obesitas yang ditandai dengan nilai Z-score indeks massa tubuh terhadap umur (IMT/U) > 2,0.

3. Orang tua bersedia anaknya menjadi subjek penelitian dengan mengisi atau menandatangani inform consent

4. Tidak sedang mengonsumsi obat-obatan yang berpengaruh terhadap respon inflamasi seperti kortikosteroid

d. Kriteria eksklusi

1. Anak yang tidak mau diwawancarai

2. Mengundurkan diri selama penelitian berlangsung 3. Dalam keadaan sakit selama penelitian berlangsung 4. Pindah sekolah

D. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas: Stunted obesity dan non-stunted obesity 2. Variabel terikat: kadar C-Reactive Protein (CRP)

(28)

22 E. Definisi Operasional

Variabel Definisi operasional Hasil ukur Skala

A. Variabel Independen

Stunted-obesity

Stunted obesity merupakan kondisi obesitas yang dilatarbelakangi stunting Stunted-obesity dan nonstunted obesity Nominal Sub-variabel

a.Stunting Tinggi badan lebih dari minus dua standar deviasi (<-2SD). Hasil perhitungan berdasarkan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-18 tahun, status gizi ditentukan berdasarkan nilai Z-score TB/U

Z-score Rasio

b.Obesitas Obesitas merupakan keadaan dimana terjadi akumulasi lemak yang berlebihan di jaringan adiposa. Hasil perhitungan berdasarkan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-18 tahun, status gizi ditentukan berdasarkan nilai Z-score IMT/U

Z-score Rasio

B. Variabel Dependen

CRP CRP adalah marker sensitif untuk inflamasi sistemik yang diproduksi oleh hati. Nilai kadar CRP didapatkan dengan teknik double antibody sandwich ELISA. Kadar CRP. Kadar CRP dapat dikategorikan untuk resiko rendah jika kadarnya ≤1 mg/L, risiko sedang jika kadarnya 2-3 mg/L, dan risiko tinggi jika kadarnya mencapai > 3 mg/L.

(29)

23 F. Prosedur Penelitian

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Informed consent

2. Formulir penyaringan yang berisi nama, usia, berat badan, tinggi badan, dan status gizi

3. Microtoise dengan ketelitian 0,1 cm

4. Timbangan berat badan (BB) dengan ketelitian 0,1 kg 5. Software WHO AntroPlus

(30)

24 G. Alur Penelitian

Melakukan clustering pada 16 kecamatan di kota Semarang berdasarkan wilayah urban dan

sub-urban

dengan random sampling mencari 4 kecamatan (dua urban dan 2 sub-urban)

Ekslusi

Analisis Data

dengan random sampling mencari salah satu SD yang akan dijadikan sampel dari tiap kecamatan terpilih

Inklusi

Melakukan skrining dengan pengukuran tinggi badan (TB) dan berat badan (BB) serta identitas subjek di SD terpilih

Pengambilan sampel darah vena anak stunted obesity dan non-stunted obesity dan diukur menggunakan teknik

enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

(31)

25 H. Pengumpulan Data

1. Data Primer

a. Identitas diri subjek yang meliputi nama, tempat tanggal lahir/umur, jenis kelamin, nama sekolah, kelas, dan alamat. Data ini didapatkan melalui wawancara yang dicatat pada kuisioner.

b. Data antropometri meliputi tinggi badan, dan berat badan. 1) Pengukuran Berat Badan

Pengukuran dilakukan sebelum makan dan setelah kantung kemih dikosongkan. Menggunakan Timbangan badan elektronik yang terkalibrasi. Timbangan diletakkan dalam permukaan keras yang datar dan dalam posisi 0 sebelum penimbangan. Subyek berdiri di tengah platform tanpa berpegangan, pandangan lurus ke depan, rileks, dan pakaian seminimal mungkin. Berat badan diukur dengan skala 0,1 kg.

2) Pengukuran Tinggi Badan

Subjek berdiri lurus dengan kedua kaki, lutut lurus, dan kepala dalam posisi frankfurt plane (didapat saat orbitale/sisi bawah dari lubang mata segaris dengan tragion/tonjolan teratas tragus). Pastikan tumit, pantat, dan bahu menyentuh permukaan vertikal dari stadiometer atau dinding. Lengan pada posisi tergantung dengan posisi telapak tangan menghadap ke paha. Bahu harus rileks. Headboard digerakkan turun sampai menyentuh ujung kepala. Pandangan mata pengukur harus dalam level ketinggian yang sama dengan posisi papan kepala ketika membaca hasil pengukuran. Pengukuran diukur hingga mm terdekat.

(32)

26 c. Data Biokimia

Data biokima yang akan di ukur yaitu kadar C-reactive Protein (CRP) yang diambil dari sampel darah vena sebanyak 3 cc oleh analis kesehatan dan diukur menggunakan teknik enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) di Laboratorium GAKI Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Uji ELISA: Antibodi pertama (antibodi pelapis) dilapiskan pada fase padat, kemudian ditambahkan serum penderita. Selanjutnya ditambahkan antibodi kedua (antibodi pelacak) yang berlabel enzim. Akhirnya ditambahkan substrat, dan reagen penghenti reaksi. Hasilnya dinyatakan secara kuantitatif.

2. Data sekunder

Sebaran sekolah dasar di kota Semarang yang diambil dari website resmi Dinas Pendidikan kota Semarang 2015/2016.

I. Analisis Data Penelitian 1. Analisis Univariat

Analisis univariat adalah analisis yang dilakukan untuk menganalisis setiap variabel hasil penelitian untuk memperoleh mean, standar deviasi dan uji normalitas data. Data akan diuji menggunakan Kolmogorov-Smirnov.

2. Analisis Bivariat

Data dipisahkan menjadi dua kelompok , dimana kelompok pertama merupakan subjek yang stunted obesity, sedangkan kelompok kedua yaitu subjek yang non-stunted obesity. Rerata kedua kelompok tersebut kemudian di uji beda dengan kadar CRP pada masing-masing kelompok. Bila data berdistribusi normal maka uji yang digunakan adalah uji independen T-test. Bila salah satu atau kedua variabel tersebut

(33)

27 tidak normal maka menggunakan uji komparatif numerik Mann-Whitney test.

3. Semua uji statistik atau hipotesis diatas menggunakan taraf signifikasi 5% untuk interpretasi hasil penerimaan atau penolakan Ho.

(34)

28 DAFTAR PUSTAKA

1. Vaktskjold A, Doanvan, Ngdu O, Phng, Sandanger T. Original Research Stunted Growth in a Cohort of Two-Year Olds in the Khanh Hoa Province in Vietnam – a Follow-Up Study. 2010;9:77–81.

2. World Health Organization (WHO) Child Growth Standards. Methods and development.

3. World Health Organization (WHO). Weise A. WHA Global Nutrition Targets

2025: Stunting Policy Brief. 2012; Available

from:http://www.who.int/nutrition/topics/globaltargets_stunting_policybrief.pf 4. Walker P, Wachs T, McGregor S, Black M, Nelson C, Huffman S et al.

Inequality in Early Childhood: Risk and Protective Factors For Early Child Development. Lancet. 2011; 378: 1325-1338.

5. Black RE, Victora CG, Walker SP, Bhutta ZA, Christian P, de Onis M, et al. the Maternal and Child Nutrition Study Group: Maternal and child undernutrition and overweight in low-income and middle-income countries. Lancet 2013;371:243–260.

6. Popkin BM, Richards MK. Stunting is associated with overweight in children of four nations that are undergoing the nutrition transition. Journal Nutrition.1996; 126 (12): 3009-3016.

7. Frisancho AR. Reduced rate of fat oxidation: A metabolic pathway to obesity in the developing nations. American Journal Human Biology. 2003;15(4):522–32. 8. Kaur J. A comprehensive review on metabolic syndrome. Cardiol Res Pract.

2014;2014

9. Balitbang Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI;2013.

10.Hoffman DJ, Sawaya AL, Verreschi I, Tucker KL, Roberts SB. Why are nutritionally stunted children at increased risk of obesity? Studies of metabolic

(35)

29 rate and fat oxidation in shantytown children from Sao Paulo, Brazil. American Journal Clinical Nutrition. 2000;72(3):702–707.

11.Kimani-Murage EW, Kahn K, Pettifor JM, Tollman SM, Dunger DB, Gómez-Olivé XF et al. The prevalence of stunting, overweight and obesity, and metabolic disease risk in rural South African children. BMC Public Health. 2010;10(1):158

12.Prendergast AJ, Rukobo S, Chasekwa B, Mutasa K, Ntozini R, Mbuya MNN, et al. Stunting is characterized by chronic inflammation in zimbabwean infants. PLoS One. 2014;9(2)

13.Victora CG, de Onis M, Hallal PC, Blössner M, Shrimpton R. Worldwide timing of growth faltering: revisiting implications for interventions. Pediatrics. 2010;125(3):e473–80.

14.Frongillo Jr. EA. Symposium: Causes and Etiology of Stunting. Introduction. J Nutr. 1999;129(2S Suppl):529S – 530S.

15.Emanuela F, Grazia M, Marco DR, Maria Paola L, Giorgio F, Marco B. Inflammation as a link between obesity and metabolic syndrome. J Nutr Metab. 2012;2012.

16.Bucova M, Bernadic M, Buckingham T. C-reactive protein, cytokines and inflammation in cardiovascular diseases. Bratisl Lek Listy 2008;109:333–40. 17.Nelms M, Sucher KP, Lacey K RS. Nutrition Theraphy & Patophysiology. 2nd

ed. Wadsworth: Cengage Learning; 2010. p.719.

18. Ardies M. Diet, Exercise, and Chronic Disease. Francis: Taylor and Francis Group; 2014. p.67.

19.Zhou S-S, Zhou Y. Excess vitamin intake: An unrecognized risk factor for obesity. World Journal Diabetes. 2014;5(1):1–13.

20.Daniels SR. Complications of obesity in children and adolescents. International Journal Obesity. 2009;33

21.Matthews VL, Wien M, Sabaté J. The risk of child and adolescent overweight is related to types of food consumed. Nutrition Journal. 2011;10(1):71.

(36)

30 22.Marshall SJ, Biddle SJH, Gorely T, Cameron N, Murdey I. Relationships between media use, body fatness and physical activity in children and youth: a meta-analysis. International Journal Obesity. 2004;28:1238–46.

23.Carson V, Jansen I. Volume, patterns, and types of sedentary behavior and cardio-metabolic health in children and adolescents: a cross-sectional study. BMC Public Health 2011;11:274.

24.Chaput JP, Klingenberg L, Astrup A, Sjödin AM. Modern sedentary activities promote overconsumption of food in our current obesogenic environment. Obesity Review journal. 2011;12:12 20.

25.Jahns L, Siega-Riz AM, Popkin BM. The increasing prevalence of snacking among us children from 1977 to 1996. Journal Pediatrics. 2001, 138:493-498. 26.Care D, Press I. Diabetes Care In Press, published online March 15, 2007.

2007:1–23.

27.Cunha KA da, Magalhaes EI da S, Loureiro LMR, Sant’Ana LF da R, Ribeiro AQ, Novaes JF de. Calcium intake, serum vitamin D and obesity in children: is there an association?. Revista Paulista Pediatria. 2015;33(2):222–229.

28.Zhao J, Grant SFA. Genetics of childhood obesity. J Obes. 2011;2011

29.Popkin BM. Symposium : Obesity in Developing Countries : Biological and Ecological Factors The Nutrition Transition and Obesity in the Developing World 1. 2001;871–873.

30.Popkin BM, Adair LS, Ng SW. Now and Then: The Global Nutrition Transition: The Pandemic of Obesity in Developing Countries. Nutrition Review Journal. 2013;70(1):3–21

31.Popkin BM, Gordon-Larsen P. The nutrition transition: worldwide obesity dynamics and their determinants. International Journal Obesity Relat Metabolic Disorder. 2004;28.

32.Omran AR. The epidemiologic transition: a theory of the epidemiology of population change’. Milbank Mem Fund Q 1971; 49: 509–538.

(37)

31 33.Fred CP, Justin T, Denney, Patrick M, Krueger. Obesity, SES, and Economic Development: A Test of the Reversal Hypothesis. Social Science and Medicine. 2012; 74(7): 1073-1081.

34.Prendergast AJ, Humphrey JH. The stunting syndrome in developing countries. Paediatr International Child Health. 2014;34(4):250–265.

35.Assis AMO, Prado MS, Barreto ML, Reis MG, Conceic SM, Pinheiro AO et al. Childhood stunting in Northeast Brazil: the role of Schistosoma mansoni infection and inadequate dietary intake. European Journal Clinical Nutrition. 2004; 58:1022-1029.

36.Lee EM, Park MJ, Ahn HS, Lee SM. Differences in dietary intakes between normal and short stature Korean children visiting a growth clinic. Clinical Nutrition. 2012; 1:23-29.

37.Verhoef H, West CE, Veenemans J, Beguin Y, Kok FJ. Stunting may determine the severity of malaria associated anemia in African children. Pediatrics journal. 2002; 110:48.

38.Dewey KG, Cohen RJ. Does birth spacing affect maternal or child nutrition status? A systemic literature review. Maternal child Nutrition. 2007; 3:151-173. 39.Ozaltin E, Hill K, Subramania SV. Association of maternal stature with offspring mortality, underweight and stunting in low-to middle income countries. JAMA. 2010; 303: 1507-1516.

40.Aslam M, Kingdon G. Parental education and child health-understanding the pathways of impact in Pakistan. World Development. 2012; 40: 2014-2032. 41.United Nations Children’s Fund. Female education. The state of the world’s

children 2000. New York: United Nations Children’s Fund; 2000. p.120. 42.Murray CJL, Vos T, Lozano R, Naghavi M, Flaxman AD, Michaud C et al.

Disability-adjusted life years (DALYs) for 291 diseases and injuries in 21 regions: a systemic analysis for the Global Burden of Disease study 2010. Lancet. 2012;380:2197-2223.

(38)

32 43.Dekker LH, Mora M, Marin C, Baylin A, Villamo E. Stunting associated with poor socioeconomic and maternal nutrition status and respiratory morbidity in Colombian school children. Food and Nutrition. 2010; 31: 2.

44.Said-Mohamed R, Bernard JY, Ndzana AC, Pasquet P. Is overweight in stunted preschool children in Cameroon related to reductions in fat oxidation, resting energy expenditure and physical activity? PLoS One. 2012;7(6).

45.Pasquet P, Allirot X, Froment A. Determinants of overweight in preschool children of societies in nutrition transition in Central Africa. Bulletins et Me de Paris. 2001; 13: 181.

46.Hoffman DJ, Sawaya AL, Verreschi I, Tucker KL, Roberts SB. Why are nutritionally stunted children at increased risk of obesity? Studies of metabolic rate and fat oxidation in shantytown children from Sao Paulo, Brazil. American Journal Clinical Nutrition. 2000;72(3):702–707

47.Mbuya MNN, Humphrey JH. Preventing environmental enteric dysfunction through improved water, sanitation and hygiene: An opportunity for stunting reduction in developing countries. Matern Child Nutr. 2015;12:106–20.

48.Pretorius RA. Body composition and systemic low-grade inflammation in children (Disertasi). Potchefstroom: North-West University; 2006.

49.Hotamislighi GS. Inflammation pathways and insulin action. International journal of obesity. 2003;27:533-555.

50.Baratawidjaja GK, Rengganis I. Imunologi Dasar. Edisi ke-10. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2010. p. 257-283

51.Halberg N, Wernstedt-Asterholm I, Scherer PE. The adipocyte as an endocrine cell. Endocrinology and Metabolism Clinics of North America. 2008. 37(3): 753–768.

52.Basu A, Devaraj S, Jialal I. Dietary factors that promote or retard inflammation. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2006;26(5):995–1001.

(39)

33 53.Shrivastava AK, Singh HV, Raizada A, Singh SK. C-reactive protein, inflammation and coronary heart disease. The Egyptian Heart Journal; 2015;67(2):89–97

54.Ansar W, Ghosh S. C-reactive protein and the biology of disease. Immunol Res 2013;56:131–42.

55.Marnell L, Mold C, Du Clos TW. C-reactive protein: ligands, receptors and role in inflammation. Clin Immunol 2005; 117: 104–111.

56.Schlenz H, Intemann T, Wolters M, González-Gil E, Nappo A, Fraterman A, et al. C-reactive protein reference percentiles among pre-adolescent children in Europe based on the IDEFICS study population. Int J Obes. 2014;28:s26–31. 57.Rodriguez H, Simental LE, Rodriguez G, Reyes MA. Obesity and inflammation:

Epidemiology, risk factors, and markers of inflammation. Int J Endocrinol. 2013;2013.

(40)

34 Lampiran 1

JUDUL PENELITIAN

1. FAKTOR RISIKO ASUPAN MAKANAN TINGGI KALORI TERHADAP KEJADIAN STUNTED OBESITY PADA ANAK SEKOLAH DASAR USIA 9-12 TAHUN DI KOTA SEMARANG

2. SEDENTARY LIFESTYLE SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERHADAP KEJADIAN STUNTED OBESITY PADA ANAK USIA 9-12 TAHUN DI KOTA SEMARANG

3. KEJADIAN RESISTENSI INSULIN PADA ANAK STUNTED OBESITY USIA 9-12 TAHUN DI KOTA SEMARANG

4. PROFIL LIPID DAN TEKANAN DARAH ANAK STUNTED OBESITY USIA 9-12 TAHUN DI KOTA SEMARANG

5. REAKSI INFLAMASI PADA ANAK STUNTED OBESITY USIA 9-12 TAHUN DI KOTA SEMARANG

Persetujuan Setelah Penjelasan (INFORMED CONSENT)

Berikut ini naskah yang akan dibacakan pada Bapak/Ibu/sdr responden penelitian.

Dalam rangka penyususan skripsi dengan judul –judul penelitian seperti diatas, maka kami mohon bantuan Bapak/Ibu/sdr untuk meluangkan waktu guna pemeriksaan lebih lanjut.

Kami akan melakukan wawancara, pemeriksaan fisik, dan pengambilan darah. Pengambilan darah digunakan untuk pemeriksaan kadar glukosa darah puasa (GDP), kadar trigliserida, kadar HDL-Kolesterol, dan kadar CRP.

(41)

35 Semua jawaban hasil pemeriksaan yang diberikan oleh responden, kami akan jamin kerahasiaannya dan segala biaya pemeriksaan dalam penelitian ini ditanggung sepenuhnya oleh peneliti.

Atas kesediaan Bapak/Ibu/sdr ikut serta dalam penelitian ini, kami ucapkan banyak terima kasih.

Hormat kami, 1. Daniel Korre 2. Hana Asnelviana 3. Indah Puspasari 4. Rahma Medina WP 5. Ratih Pusvitasari Tujuan Penelitian

1. Mengetahui Hubungan Asupan Makanan Tinggi Kalori Terhadap Kejadian Stunted Obesdity Pada Anak Usia 9-12 Tahun

2. Mengetahui Besar Faktor Risiko Sedentary Lifestyle Pada Anak Stunted Obesity Usia 9-12 Tahun

3. Mengetahui Kejadian Resistensi Insulin Pada Anak Stunted Obesity Usia 9-12 Tahun

4. Mengetahui Profil Lipid Dan Tekanan Darah Anak Stunted Obesity Usia 9-12 Tahun

(42)

36 Tindakan yang akan dialami bapak/ibu sdr:

1. Wawancara dan pemeriksaan fisik 2. Pengisian kuisioner

3. Pengukuran tekanan darah 4. Pengambilan darah

Terima kasih atas kerjasama Bapak/Ibu/Sdr

Setelah mendengar dan/atau memahami penjelasan penelitian, dengan ini saya menyatakan

SETUJU / TIDAK SETUJU

Untuk mengikutsertakan anak saya sebagai responden/sampel penelitian.

Semarang,…..

(43)

37 Lampiran 2

JUDUL PENELITIAN

1. FAKTOR RISIKO ASUPAN MAKANAN TINGGI KALORI TERHADPA KEJADIAN STUNTED OBESITY PADA ANAK SEKOLAH DASAR USIA 9-12 TAHUN DI KOTA SEMARANG

2. PROFIL LIPID DAN TEKANAN DARAH ANAK STUNTED OBESITY USIA9-12 TAHUN DI KOTA SEMARANG

3. REAKSI INFLAMASI PADA ANAK STUNTED OBESITY USIA9-12 TAHUN DI KOTA SEMARANG

4. KEJADIAN RESISTENSI INSULIN PADA ANAK STUNTED OBESITY USIA 9-12 TAHUN DI KOTA SEMARANG

5. SEDENTARY LIFESTYLE SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERHADAP KEJADIAN STUNTED OBESITY PADA ANAK USIA 9-12 TAHUN DI KOTA SEMARANG

(44)

38 Lampiran 3

FORMULIR PENGUKURAN ANTROPOMETRI

Tanggal pengukuran :……….. Nama Subjek :……….. Tanggal lahir :……….. Jenis kelamin :……….. Alamat :……….. No. telp :………..

Nama orang tua :………..

Tinggi badan (TB) :………..

Berat Badan (BB) :………..

Lingkar pinggang :………..

Z-Score TB/U :………..

(45)
(46)

i

SEMARANG

Artikel Penelitian

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada program studi S-1 Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro

disusun oleh

DANIEL KORRE

22030113120046

PROGRAM STUDI S1 ILMU GIZI

DEPARTEMEN ILMU GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG 2017

(47)
(48)

2 Latar belakang: Anak yang stunting akan berisiko menjadi overweight atau obesitas di kemudian hari. Obesitas berhubungan dengan inflamasi sistemik kronis yang menyebabkan terjadinya aktivasi sistem imun di jaringan adiposa dan memicu peningkatan produksi serta pelepasan sitokin pro-inflamasi seperti CRP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar C-Reactive Protein (CRP) pada anak usia 9-12 tahun berdasarkan perbedaan tinggi badan (TB) di Kota Semarang.

Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional pada 2 kelompok: Anak Tinggi Badan bawah median-lingkar pinggang tinggi (TBBM-LPT) dan tinggi badan atas median-lingkar pinggang tinggi (TBAM-LPT). Skrining dilakukan pada 602 anak usia 9-12 tahun di wilayah urban dan suburban di Kota Semarang. Penentuan status gizi berdasarkan tinggi badan menurut umur dan lingkar pinggang. Pengukuran Kadar c-reactive protein(CRP) melalui pengambilan serum darah yang kemudian dianalisis dengan metode ELISA(Enzymelinked Immunosorbent Assay). Analisis data menggunakan uji t independen, mann-whitney dan korelasi pearson-spearman

Hasil: Angka kejadian obesitas sebesar 24.9%, dan stunted obesity 0.2%. Rerata kadar C-Reactive Protein (CRP) pada anak TBAM-LPT (3.83±2.85) lebih tinggi dari kelompok TBBM-LPT (2.18±2.31) dengan nilai p=0.005. Total subjek yang mengalami inflamasi tinggi (CRP>3mg/L) sebesar 47.5% dan ditemukan lebih tinggi pada laki-laki. Lingkar pinggang memiliki korelasi terhadap kenaikan CRP (r=0.36 p=0.02) daripada Z-score TB/U (r=0.22 p=0.15).

Simpulan: Subjek yang mengalami inflamasi tinggi sebesar 47.5%. Ada perbedaan bermakna kadar CRP pada kedua kelompok, dimana kelompok TBAM-LPT memiliki rerata kadar CRP lebih tinggi. Tinggi badan tidak berkorelasi terhadap kenaikan kadar CRP. Lingkar pinggang memiliki korelasi terhadap kenaikan kadar CRP.

Kata kunci: Obesitas, C-Reactive Protein (CRP), Inflamasi, tinggi badan bawah median-lingkar

pinggang tinggi (TBBM-LPT), tinggi badan atas median-lingkar pinggang tinggi (TBAM-LPT). 1Mahasiswa Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro

(49)

3 Introduction: Stunted children are at risk of overweight and obesity in the future. Obesity is related to chronic systemic inflammation that causes activation of immune system in the adipose tissue and triggers increased production and release of pro-inflammatory cytokines such as C-Reactive Protein (CRP). This study aimed to determine CRP levels based on height differences in children aged 9-12 years in Semarang. Methods: This study used a cross-sectional design with two groups: height below the median-high waist circumference (TBBM-LPT) and height above the median-high waist circumference (TBAM-LPT). Screening was done in 602 children aged 9-12 years in urban and suburban areas of Semarang. Nutritional status was determined with measurements of z-scores of height-for-age (HAZ) and waist circumference. CRP levels were assessed by ELISA (Enzymelinked Immunosorbent Assay) analysis on serum samples. Data were analyzed by independent t test, mann-whitney and pearson-spearman correlation

Results: The prevalence of obesity was 24.9%, with stunted obesity was 0.2%. Mean of CRP levels in TBAM-LPT children (3.83±2.85) was significantly higher than TBBM-LPT children (2.18±2.31) with a p=0.005. Subjects with high inflammation of 47.5% and was found more in males. Waist circumference has a correlation on the increased levels of CRP (r=0.36 p=0.02) compared to height (p=0.02 and 0.15).

Conclusion: Subjects with high inflammation was 47.5%. A significant difference was found in CRP levels between the two groups where the TBAM-LPT surprisingly had higher CRP levels. Waist circumference has a correlation effect on the increased levels of CRP. Height has not correlation to increased levels of CRP

Keywords: Obesity, C-Reactive Protein (CRP), Inflammation, height below the median-high waist circumference (TBBM-LPT), height above the median-high waist circumference (TBAM-LPT). 1Student of Bachelor Program of Department of Nutrition Science, Faculty of Medicine, Diponegoro University

(50)

4 disebabkan asupan gizi yang buruk atau menderita penyakit infeksi berulang.2 Anak yang menderita stunting berdampak tidak hanya pada fisik yang lebih pendek, tetapi juga berdampak pada fungsi kognitifnya. Penelitian yang dilakukan oleh Walker et al. menunjukkan bahwa anak stunting mengalami gangguan dalam fungsi kognitif dan penurunan pencapaian akademik pada masa remaja.3

Anak yang stunting akan mengalami kenaikan berat badan yang cepat setelah usia dua tahun sehingga berisiko menjadi overweight atau obesitas di kemudian hari.4 Kekurangan gizi kronis selama pertumbuhan dan perkembangan berdampak kepada perubahan metabolisme energi dengan cara peningkatan metabolisme karbohidrat tetapi mengurangi oksidasi lemak.Adaptasi jangka panjang anak-anak stunting terhadap gizi akan mempengaruhi fungsi enzim dan hormon. Perubahan pada fungsi hormon dan enzim menyebabkan gangguan oksidasi lemak sehingga mempercepat penumpukan lemak ketika mengonsumsi tinggi lemak.5 Menurut thrifty genotype hypothesis,

individu yang mengalami kekurangan energi kronis akan beradaptasi untuk dapat bertahan hidup dengan memaksimalkan penyimpanan energi dan meminimalisir pengeluaran energi sehingga menyebabkan perubahan gen. Perubahan gen tersebut mengakibatkan terjadinya keseimbangan energi positif. Jika terjadi peningkatan asupan makanan maka risiko menjadi overwight atau obesitas menjadi lebih besar.6

Menurut data Riskesdas 2013, prevalensi stunted obesity pada usia balita secara nasional adalah 6,8 persen yang berarti terjadi penurunan 0.8 persen dibandingkan tahun 2010 (7.6%). Tetapi, prevalensi stunted obesity usia dewasa tahun 2013 (10.9%) meningkat 1,3% dibandingkan tahun 2010 (9.6 %).7 Peningkatan prevalensi obesitas terjadi di semua tingkat ekonomi. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya transisi ekonomi dari negara berkembang ke negara maju, dan transisi gizi yang disertai dengan perubahan aktivitas fisik. Anak-anak yang tinggal di negara-negara yang mengalami transisi gizi dapat secara bersamaan mengalami stunting dan overweight atau obesitas.8

(51)

5 berdampak kepada penurunan pertumbuhan linear. Jika terjadi infeksi akut, inflamasi akan memicu respon sistemik dan mengaktivasi makrofag dan neutrofil untuk melepaskan sitokin proinflamasi. Respon ini akan mengarah langsung ke peningkatan produksi protein fase akut seperti C-reaktive protein (CRP). Induksi dari respon fase akut dan produksi sitokin proinflamasi seperti TNF-a, IL-1 dan IL-6 memiliki efek langsung terhadap proses remodeling tulang yang diperlukan dalam pertumbuhan panjang tulang.10

Obesitas berhubungan dengan inflamasi sistemik kronis yang menyebabkan terjadinya aktivasi sistem imun di jaringan adiposa dan memicu peningkatan produksi serta pelepasan sitokin pro-inflamasi. Jaringan adiposa adalah campuran heterogen adiposit, preadiposit stroma, sel-sel kekebalan tubuh, dan endotelium sehingga dapat merespon dengan cepat dan dinamis melalui hipertrofi dan hiperplasia adiposit. Terjadinya pembesaran adiposit menyebabkan suplai darah ke adiposit berkurang sehingga menyebabkan hipoksia. Hipoksia menjadi etiologi nekrosis dan infiltrasi makrofag di jaringan adiposa dan mengarah pada kelebihan produksi faktor proinflamasi.11 Beberapa penelitian sebelumnya membuktikan bahwa ada hubungan yang kuat antara obesitas dengan kadar CRP.12,13 Lingkar pinggang yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan kadar CRP.14 Dalam banyak studi yang berkaitan dengan risiko inflamasi penyakit kronis, CRP digunakan sebagai marker pilihan untuk mengukur status inflamasi karena kemudahan dalam pengukuran15 dan merupakan indikator yang paling sensitif pada inflamasi karena peningkatkan konsentrasi serumnya sebanyak 1.000 kali lipat.16 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar C-Reactive

Protein (CRP) pada anak usia 9-12 tahun berdasarkan perbedaan tinggi badan di Kota Semarang.

(52)

6 di SD/sederajat Kota Semarang. Clustering dilakukan untuk menentukan wilayah urban dan suburban. Dari masing-masing wilayah urban dan suburban dilakukan random sampling untuk menentukan kecamatan dan sekolah yang akan digunakan. Penentuan subjek dilakukan dengan purposive sampling. Besar sampel untuk setiap kelompok adalah 20 sampel sehingga jumlah keseluruhan sampel dalam penelitian ini adalah 40 orang. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah perbedaan tinggi badan dan variabel terikatnya adalah kadar C-Reactive Protein (CRP).

Pemilihan sampel dilakukan sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Pada awalnya, kriteria inklusi masing-masing kelompok meliputi z-score TB/U >-2 SD dan lingkar pinggang >70.2 cm untuk subjek obesity serta z-score TB/U <-2 SD dan lingkar pinggang >70.2 cm untuk subjek stunted-obesity, bersedia menjadi subjek penelitian, tidak sakit serta orang tua bersedia anaknya menjadi subjek penelitian dengan menandatangani informed consent. Setelah melakukan skrining, terjadi kesulitan di lapangan menemukan subjek yang sesuai dengan cut-off point z-score TB/U dan lingkar pinggang di atas. Maka pemilihan subjek dilakukan dengan melihat sampel yang memiliki z-score TB/U di bawah median dan lingkar pinggang terbesar yang kemudian disebut sebagai kelompok tinggi badan dibawah median dan lingkar pinggang tinggi (TBBM-LPT), lalu subjek yang memiliki z-score TB/U diatas median dan lingkar pinggang terbesar kemudian disebut sebagai kelompok tinggi badan di atas median - lingkar pinggang tinggi (TBAM-LPT).

Tahapan dalam penelitian ini meliputi skrining, pengambilan darah, uji laboratorium, analisis data, dan pembuatan laporan. Pengukuran antropometri pada skrining meliputi tinggi badan (TB) dan lingkar pinggang (LP). Pengukuran tinggi badan menggunakan microtoise, sedangkan pengukuran lingkar pinggang menggunakan metline dilakukan pada bagian tengah antara tulang pelvis iliaka dan kosta paling akhir. Z-score TB/U dihitung dengan aplikasi WHO AntroPlus.

(53)

7 WIB sebanyak 3 cc. Kemudian CRP diukur menggunakan metode ELISA (Enzymelinked Immunosorbent Assay) menggunakan ELISA kit (Medical & Biological Laboratories Co., LTD., Nagoya, Japan) dianalisis dengan Dynex MRX II microplate-reader (DYNEX Technologies, Inc. Chantilly, VA USA) yang dibaca pada panjang gelombang 450 nm di Laboratorium GAKI Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Analisis data menggunakan uji independen T-test, uji korelasi Sprearman dan pearson, dan Mann Whitney.

HASIL PENELITIAN Karakteristik Subjek

Skrining dilakukan terhadap 602 anak 9-12 tahun dari 4 SD/sederajat di wilayah urban dan sub-urban Kota Semarang sehingga didapatkan angka kejadian untuk masing-masing status gizi anak. Gambaran status gizi anak ditampilkan pada tabel 1.

Tabel 1. Gambaran Status Gizi Anak di Kota Semarang Status Gizi Urban

N=447 Suburban N=155 Total Normal 285(47.3%) 110 (18.3%) 395 (65.6%) Stunted 39 (6.4%) 18 (3.0%) 57 (9.5%) Obesity 122 (20.3%) 27(4.5%) 149 (24.7%) Stunted obesity 1 (0.2%) 0 (0.0%) 1 (0.2%)

Total anak stunted dalam penelitian ini sebesar 9.5 %, yang tersebar di wilayah urban 6.4% dan sub urban 3.0%. Prevalensi anak yang obesitas sebesar 24.9 % dan lebih banyak ditemukan di wilayah urban (20.3%). Anak yang mengalami stunted dengan latar belakang obesity memiliki prevalensi yang sangat kecil yaitu hanya satu anak (0,2%) dan berada di wilayah urban.

(54)

8 Wilayah Urban 13 (65%) 17 (85%) Sub Urban 7 (35%) 3 (15%) Jenis Kelamin Laki-Laki 7 (35%) 13(65%) Perempuan 13 (65%) 7 (35%)

Tabel 2 menunjukkan gambaran sebaran wilayah dan jenis kelamin subjek penelitian. Di wilayah urban lebih banyak ditemukan subjek TBAM-LPT, sedangkan di wilayah sub-urban banyak ditemukan subjek TBBM-LPT. Kelompok TBBM-LPT didominasi oleh perempuan (65%) dan pada kelompok TBAM-LPT didominasi oleh laki-laki (85%).

Tabel 3. Karakteristik Nilai Antropometri Subjek Karakteristik TBBM-LPT(n=20)

TBAM-LPT(n = 20)

Median Min Maks Median Min Maks P

Berat Badan (Kg) 39.60a 28.40 76.10 52.70 39 63.40 0.009b

Tinggi Badan (m) 1.39a 126 153.3 1.47 118 156 0.006b

TB/U (z-score) -0.87a -2.85 -0.55 0.72 -0.55 3.38 0.000b

IMT/U (z-score) 1.18a -0.85 3.24 2.40 -1.10 3.22 0.007c

Lingkar Pinggang 69.65a 65 99 84.30 66 100 0.001b

aMedian;; TB/U:tinggi badan menurut umur; IMT/U:indeks massa tubuh menurut umur; bMann-Whitney test; cIndependent t-test.

Karakteristik nilai antropometri berat badan (BB), tinggi badan (TB), tinggi badan terhadap umur (TB/U), indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U), dan lingkar pinggang kedua kelompok menunjukkan ada perbedaan yang signifikan karena nilai p<0.05.

(55)

9 Total (n=20) (n=20) Total Inflamasi Tinggi 7 (35%) 12 (60%) 19 (47.5%) Inflamasi Sedang 3 (15%) 6 (30%) 9 (22.5%) Inflamasi Rendah 4 (20%) 1 (5%) 5 (12.5%) Tidak Inflamasi 6 (30%) 1 (5%) 7 (17.5%) Laki-Laki Inflamasi Tinggi 4 (20%) 8 (40%) 12 (30.%) Inflamasi Sedang 0 (0%) 5 (25%) 5 (12.5%) Inflamasi Rendah 1 (5%) 0 (0%) 1 (2.5%) Tidak Inflamasi 2 (10%) 0 (0%) 2 (5%) Perempuan Inflamasi Tinggi 3 (15%) 4 (20%) 7 (17.5%) Inflamasi Sedang 3 (15%) 1 (5%) 4 (10%) Inflamasi Rendah 3 (15%) 1 (5%) 4 (10%) Tidak Inflamasi 4 (20%) 1 (5%) 5 (12.5%)

>3 mg/L: Inflamasi Tinggi; 1-3 mg/L:Inflamasi Sedang; > 0.6 s/d < 1 mg/L Inflamasi Rendah; <0.6 mg/L: Tidak Inflamasi

Tabel 4 merupakan tabel distribusi berdasarkan nilai CRP yang telah dikelompokan menjadi 4 kategori yaitu tingkat inflamasi tinggi (>3 mg/L), tingkat inflamasi sedang (1-3 mg/L), tingkat inflamasi rendah (> 0.6 s/d < 1 mg/L), dan tidak inflamasi (< 0.6 mg/L). Hasil tabulasi didapatkan bahwa kategori tingkat inflamasi tinggi paling banyak terjadi pada kelompok TBAM-LPT (60%) dibandingkan kelompok TBBM-LPT (35%). Persentase subjek yang mengalami inflamasi tinggi sebesar 47.5%. Inflamasi tinggi paling banyak ditemukan pada laki-laki (30%) dibandingkan perempuan (17.5%).

Tabel 5. Uji perbedaan Kadar CRP antara kelompok TBBM-LPTdan TBAM-LPT N Rerata P

Status Gizi TBBM-LPT 20 2.18±2.31

0.005a

TBAM-LPT 20 3.83±2.85

(56)

10 (2.18±2.31) lebih kecil dibanding kelompok TBAM-LPT (3.83±2.85).

Tabel 6. Uji korelasi CRP, lingkar pinggar, TB/U, dan Usia Subjek

Lingkar Pinggang TB/U Korelasi CRP 0.36 0.22 p 0.022a 0.155b apearson’s correlation; bspearman’s correlation; TB/U: tinggi badan menurut umur.

Tabel 6 menunjukkan hasil uji korelasi lingkar pinggang dan TB/U dan dengan kadar CRP. Ada hubungan positif antara lingkar pinggang dengan kadar CRP (r=0.36; p=0.02). Tidak ada hubungan antara TB/U dengan kadar CRP (r=0.22; p=0.15).

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan prevalensi anak usia 9-12 tahun (n=602) yang mengalami obesitas sebesar 24.9 % dan stunting 9.5 %. Persentasi anak yang obesitas dengan latar belakang stunting sangat kecil yaitu 0.2 %. Ini menunjukkan bahwa anak yang stunting untuk menjadi obesitas pada masa anak-anak belum terlihat. Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional 2013 menunjukkan bahwa ada kecenderungan penurunan prevalensi pendek-gemuk (0,8 %) pada balita dari tahun 2010 tetapi berbeda pada usia dewasa (>18 tahun) yang mengalami peningkatan 1.3 %.7 Prevalensi sunting di penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi stunting secara nasional (usia 5-12 tahun) yaitu 30.7 %. Meskipun prevalensi obesitas tinggi, tetapi rendahnya prevalensi anak stunting di kota Semarang menyebabkan kesulitan mendapatkan sampel yang mengalami stunted-obesity.

Prevalensi obesitas (24.9%) dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan prevalensi nasional yaitu 18.8%.7 Obesitas dihubungkan dengan diet yang berubah, khususnya yang berkaitan dengan lemak, pemanis, dan makanan sumber hewani.17 Urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, perkembangan teknologi dalam bekerja, food processing, dan perkembangan media massa berpengaruh terhadap transisi gizi.18 Transisi gizi mengacu pada perubahan komposisi dari diet tradisional yang umumnya

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi indikator IMT/U
Tabel 1. Gambaran Status Gizi Anak di Kota Semarang
Tabel  2  menunjukkan  gambaran  sebaran  wilayah  dan  jenis  kelamin  subjek  penelitian
Tabel  4  merupakan  tabel  distribusi  berdasarkan  nilai  CRP  yang  telah  dikelompokan  menjadi  4  kategori  yaitu  tingkat  inflamasi  tinggi  (&gt;3  mg/L),  tingkat  inflamasi sedang (1-3 mg/L), tingkat inflamasi rendah (&gt; 0.6 s/d  &lt; 1 mg/L),

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan bahwa berat badan lahir rendah dan pendidikan ayah yang rendah merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap stunting pada anak usia 6-24 bulan di Kota

Tinggi badan secara progresif menurun seiring dengan bertambahnya usia karena penyusutan urat-urat tulang belakang 15 , sehingga mungkin dalam penelitian rumus

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh aktifitas fisik : bersepeda terhadap penurunan berat badan pada anak dengan obesitas usia 6-11 tahun.. Metode penelitian

Secara teori, mengatakan bahwa terjadi peningkatan asam lemak bebas pada orang yang mengalami obesitas sentral sehingga risiko terjadinya resistensi insulin juga

Tinggi badan ibu dan asupan sumber zinc berhubungan dengan kejadian stunting dan tidak terdapat hubungan sosial ekonomi dengan stunting pada anak usia 3-5 tahun

Mengenai skor fungsi fisik anak dengan obesitas cenderung memiliki skor kualitas hidup yang lebih rendah dari pada anak dengan berat badan normal.. Terbukti anak dengan berat

Frekuensi Kunjungan Posyandu dan Riwayat Kenaikan Berat Badan sebagai Faktor Risiko kejadian Stunting pada anak Usia 3 - 5 tahun Media Gizi Indonesia 2015;10

Tinggi badan secara progresif menurun seiring dengan bertambahnya usia karena penyusutan urat-urat tulang belakang 15 , sehingga mungkin dalam penelitian rumus Thummar et al 9