LAPORAN HASIL PENELITIAN
PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI
PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU
INDONESIA, 2005
i
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA
WANITA PENJAJA SEKS
DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU,
INDONESIA, 2005
Ketua Pelaksana: Dr. Fonny J Silfanus, MSc Sub Direktorat AIDS&PMS Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Indonesia Peneliti Utama: Dr. Endang R. Sedyaningsih, Dr.PH Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Indonesia Pemantau Teknis: Prof. Dr. Sjaiful Fahmi Daili, SpKK (K) Departemen Kulit dan Kelamin, Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Peneliti: Dr. Flora Kioen Tanudyaya, MSc Dr. Atiek Sulistyarni Anartati, MPH&TM Dr. Kemmy Ampera Purnamawati Aang Sutrisna Siswadi Dr. Leny Senduk Hari Purnomo Vita Ayu Family Health International, Indonesia Aksi Stop AIDS (ASA) Program Nurjannah, SKM Sub Direktorat AIDS&PMS Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Indonesia Drs. Eko Rahardjo Drs. Syahrial Harun Dr. Roselinda, MEpid Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Indonesia
1
I
PENDAHULUAN
I
nfeksi Menular Seksual (IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) diketahuimempermudah penularan HIV. Selain itu, IMS juga merupakan petunjuk adanya perilaku seksual yang berisiko. Prevalensi IMS yang tinggi pada suatu populasi di suatu tempat merupakan pertanda awal akan risiko penyebaran HIV, walaupun prevalensi HIV masih rendah. Di Indonesia, epidemi HIV sudah bersifat terkonsentrasi, dengan prevalensi HIV pada WPS (Wanita Penjaja Seks) di beberapa tempat yang lebih dari 5%,
bahkan mencapai 26,5% di Merauke (Papua). 1,2 Dengan prevalensi IMS pada WPS yang
tinggi sebagaimana dilaporkan di beberapa tempat, 3,4,5,6,7,8 dikhawatirkan penyebaran HIV di Indonesia akan makin meluas. Oleh karena itu, data prevalensi IMS perlu diamati secara periodik melalui surveilans IMS. Data tersebut dapat menjadi informasi dalam merencanakan, melaksanakan, memonitor serta mengevaluasi program untuk meningkatkan mutu upaya penanggulangan IMS HIV/AIDS.
Di samping menunjukkan risiko penyebaran HIV, prevalensi IMS dapat memvalidasi data perilaku penggunaan kondom yang didapat dari surveilans perilaku. Kurangnya perilaku penggunaan kondom akan tergambar dengan tetap tingginya prevalensi IMS. Di lain pihak, peningkatan penggunaan kondom akan lebih cepat tergambar melalui penurunan prevalensi IMS daripada penurunan prevalensi HIV. Penurunan prevalensi IMS juga dapat mem berikan gambaran perluasan cakupan dan peningkatan kualitas program
penanggulangan IMS dan HIV/AIDS. 9 Data dari surveilans IMS yang dianalisis secara
terintegrasi dengan data dari surveilans perilaku dan HIV dalam sistem surveilans generasi kedua, sebagaimana direkomendasikan WHO pada tahun 2000, akan memberikan
informasi yang lebih lengkap mengenai kecenderungan (trend) perilaku seksual, potensi
penyebaran HIV, serta menjadi alat manajemen (perencanaan, pelaksanaan, monitor,
2
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
>
Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) pada WPS, yang diselenggarakan oleh Sub Direktorat AIDS & PMS, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Indonesia bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan Program ASA pada tahun 2003, melaporkan bahwa di 7 kota yang diteliti terdapat 54% 75% WPS lokalisasi, 48% 77% WPS tempat hiburan, dan 62% 93% WPS jalanan yang sedang terinfeksi satu atau lebih ISR yang diteliti. 11 Khusus untuk kota Tanjungpinang, dilaporkan terdapat 74% WPS lokalisasi dan 77% WPS tempat hiburan yang sedang terinfeksi salah satu atau lebih ISR yang diteliti. 12 Prevalensi tiap jenis ISR pada WPS di Tanjungpinang pada tahun 2003, dijelaskan pada tabel 1. Tabel 1. Prevalensi ISR Pada WPS, Tanjungpinang, 2003 * Koreksi Laporan Prevalensi ISR pada Wanita Penjaja Seks di Tanjungpinang, Indonesia, 2003 (Buku lama): Tertulis: berturutturut untuk WPS Lokalisasi dan Tempat Hiburan: Sifilis dini: 10% dan 3%; Sifilis laten lanjut: 4% dan 4%; BV: 58% dan 66%. 12 Laporan lain dari beberapa lokasi di Indonesia antara tahun 1999 dan 2001 menunjukkan prevalensi gonore dan klamidia yang tinggi, yaitu antara 2035%, 3,4,7,8 dan prevalensi serologi sifilis positif pada WPS di Tanjung pinang tahun 2000 – 2003 berkisar antara
6.3% 9,7%. 6 Angkaangka prevalensi yang dilaporkan dari pengamatan dan pengukuran yang masih bersifat sporadis tersebut di atas tergolong tinggi. ISR WPS lokalisasi (Langsung) WPS tempat hiburan (Tidak Langsung) Gonore 43% 13% Klamidia 29% 39% Infeksi ganda Gonore dan Klamidia 18% 4% Sifilis dini 11%* 5%* Sifilis laten lanjut 3%* 2%* Trikomoniasis vaginalis 13% 8% Bakterial vaginosis 34%* 43%* Kandidiasis vaginalis 6% 35%
3
Penelitian di kota Tanjungpinang kali ini merupakan bagian dari penelitian yang dilaksanakan di 10 kota/kabupaten di Indonesia, yaitu di Jayapura, Banyuwangi, Semarang, Medan, Palembang, Tanjung Pinang, Bitung, Jakarta Barat, Bandung, dan Surabaya. Di sepuluh kota/kabupaten tersebut, upaya penanggulangan HIV/AIDS mencakup surveilans oleh Departemen Kesehatan yang terdiri dari surveilans serologis HIV dan survei surveilans perilaku yang antara lain didukung oleh program ASAFHI/USAID. Di tujuh kota/kabupaten di antaranya, penelitian prevalensi ISR pada WPS ini merupakan yang kedua, kelanjutan dari penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2003. Kedua penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk pengembangan sistem surveilans IMS, sebagai bagian dari surveilans generasi kedua dengan menggabungkan data dari surveilans perilaku dan HIV. Dalam jangka pendek, data prevalensi dari penelitian ini dapat digunakan untuk mengevaluasi program IMS sejak tahun 2003, advokasi, dan perencanaan program oleh Dinas Kesehatan dan KPAD Provinsi Kepulauan Riau, serta Dinas Kesehatan Kota Tanjungpinang, LSM, maupun program dari lembaga donor.
4
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
5
II
TUJUAN
T
ujuan utama penelitian ini adalah untuk mengukur prevalensi infeksi gonore,klamidia, sifilis, herpes simpleks tipe dua, trikomoniasis vaginalis, bakterial vaginosis, dan kandidiasis vaginal pada WPS di kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau.
Di samping itu, penelitian ini juga mendeskripsikan karakteristik demografis dan perilaku seksual berisiko tinggi para WPS yang diteliti.
6
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
7
III
1 n = Jumlah sampel
Z = Nilai uji – t statistik pada batas kepercayaan 95% atau setara dengan 1.96 P = Proporsi praduga ISR yang akan diteliti
d = Perkiraan penyimpangan terhadap nilai prevalensi sebenarya (true prevalence) yang besarnya disesuaikan dengan prevalensi. Secara umum nilai d yang sering dianggap bermakna adalah 5%.
METODA
III.1 Rancangan Penelitian dan Populasi yang Diteliti
Penelitian ini mengukur prevalensi ISR secaracrosssectional.Populasi yang diteliti adalah WPS berusia 15 hingga 50 tahun, sedang tidak menstruasi, dan tidak hamil. Para WPS tersebut termasuk:
v PS langsung, yang secara langsung menjajakan seks baik di jalanan
maupun di lokalisasi atau eks lokalisasi
v WPS tidak langsung, yang mempunyai pekerjaan utama lain tetapi juga
secara tidak langsung menjajakan seks di tempattempat hiburan seperti
pramupijat, pramuria bar / karaoke
III.2 Strategi Penghitungan dan Pengambilan Sampel
Perhitungan besar sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan praduga
proporsi dalam satu sampel. 13 Ratarata proporsi praduga, yang dihitung dari ratarata
prevalensi beberapa ISR pada penelitian sebelumnya (gonore 27,12%, infeksi klamidiasis 24,71%, trikomoniasis 9,50%, sifilis 4,12%, bakterial vaginosis 27,35%) adalah 19 %. 11
Penghitungan besar sam pel dengan rumus i
(
)
2 2 1 d P P Z n= ´ ´ - dengan batas
kepercayaan (CI) 95% dan penyimpangan terhadap nilai prevalensi sebenarnya 5%, didapatkan besar sampel 237.
8
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
>
Untuk menjaga agar perkiraan penyimpangan tidak terlalu jauh dari 5% pada prevalensi ISR yang lebih tinggi dari proporsi praduga yang digunakan dan mempertimbangkan aspek pembiayaan maka jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini dinaikkan menjadi 250.
Diperkirakan 25% dari WPS yang diundang tidak hadir atau ternyata tidak memenuhi kriteria, maka sekitar 333 WPS akan diundang untuk berpartisipasi. Rasio sampel WPS langsung dan tidak langsung ditetapkan secara proporsional sesuai dengan besarnya populasi.
Pemetaan populasi yang akan diteliti dilakukan sebagai dasar penyusunan kerangka sampel. Berdasarkan proporsi besar populasi WPS langsung dan tidak langsung, ditetapkan jumlah masingmasing populasi yang akan diundang untuk berpartisipasi. Selanjutnya dilakukan proses pengambilan sampel dua tahap. Pada tahap pertama
dilakukan pengambilan sampel kluster secaraprobability proportional to size(pps). Pada
tahap kedua dilakukan pengambilan sampel WPS secara acak di dalam kluster terpilih.
III.3 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Tanjungpinang, Kepulauan Riau pada tanggal 29 April – 6 Mei 2005.
III.4 Tim Pengumpul Data
Data dikumpulkan oleh tim inti yang bekerja sama dengan tim keliling dan tim lokal. Tim inti terdiri dari ketua pelaksana dan peneliti utama yang dibantu oleh 5 dari 8 peneliti penyerta yang berasal dari Ditjen PP&PL, Badan Litbangkes, dan Program ASA/FHI. Tim keliling terdiri dari staf Badan Litbangkes dan staf dari beberapa LSM yang selama ini bekerja sama dengan Program ASA/FHI di Semarang dan Bitung. Tim lokal diatur oleh Provinsi masingmasing, yang dalam penelitian di Tanjungpinang terdiri dari staf Laboratorium Kesehatan Daerah Pakanbaru, Staf Dinas Kesehatan Kota Tanjungpinang,
9
wakil dari Persatuan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Tanjungpinang yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan Kota, Puskesmas Tanjungpinang, Puskesmas Batu 10, Puskesmas Sei Jang, dan LSM (Yayasan Bentan serumpun dan Yayasan AIDS Kepulauan Riau) . Kualitas teknis proses pengambilan data dipantau oleh pemantau teknis dari bagian Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo.
III.5 Alur Proses Pengambilan Data
WPS yang datang memenuhi undangan untuk menjadi peserta penelitian diminta menukarkan undangan dengan kartu nomor identifikasi. Tujuan, prosedur penelitian serta keuntungan yang akan didapat dan kemungkinan efek samping dijelaskan. Setelah memperoleh penjelasan, apabila WPS tersebut bersedia ikut dalam penelitian, ia diminta memberikan pernyataan persetujuan (informed consent) secara lisan. Seorang saksi akan ikut menandatangani surat persetujuan tersebut. WPS tidak dimintai persetujuan
secara tertulis dengan tanda tangan sebagai bagian dari upaya membuat penelitian ini
anonymousserta untuk melindungi WPS dari risiko mendapatkan perlakuan diskriminatif
maupun kekerasan lain yang tidak diinginkan dari pihak manapun.
Pengambilan data dimulai dengan wawancara tentang karakteristik demografis dan perilaku seksual, dilanjutkan dengan pengambilan spesimen darah, pemeriksaan fisik, serta pengambilan spesimen endoservikal dan servikovaginal. Setelah pemeriksaan laboratorium sederhana dan serologis sifilis selesai, peserta dikonseling untuk perubahan perilaku, diberi terapi sesuai diagnosis, dan diberi kondom. Agar pengobatan dapat diberikan pada hari yang sama, diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium sederhana. Diagnosis servisitis dianggap mencakup gonore dan klamidia, serta pengobatan yang diberikan adalah pengobatan untuk kedua penyebab infeksi tersebut sekaligus.
10
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
>
III.6 Diagnosis dan Pengobatan
15,16
Tabel 2. Daftar Diagnosis dan Pengobatan yang Diterapkan Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Tanjungpinang, 2005
Diagnosis
Dasar Diagnosis
Pengobatan
Servisitis Ditemukannya duh tubuh/cairan keputihan (muko/seropurulen) endoserviks atau ditemukannya diplococci intraseluler atau ditemukannya lebih dari 30 sel darah putih pada pemeriksaan mikroskopik sediaan apus endoserviks dengan pengecatan methylene blue. Cefixime 400 mg dosis tunggal dan Doxycycline 100 mg dua kali per hari selama 7 hari Trikomoniasis Ditemukannya morfologi dan
motilitas Trichomonas vaginalis pada pemeriksaan mikroskopik dengan sediaan basah dari cairan forniks posterior. Metronidazole 2 gram dosis tunggal per oral. Bakterial vaginosis Apabila 3 dari 4 indikator berikut positif. Indikator: adanya duh tubuh vagina keabuabuan, dari pemeriksaan cairan vagina ditemukan clue cells, whiff test, pH vagina lebih dari 4,5. Metronidazole 2 gram dosis tunggal per oral. Kandidiasis Ditemukannya ragi bertunas (budding yeasts) dan atau pseudohyphae pada pemeriksaan mikroskopik cairan vagina dengan KOH 10%. Nystatin 100.000 IU intra vaginal, satu tablet per hari selama 2 minggu. Sifilis Apabila uji serum darah RPR positif, dan uji serum darah TPHA positif. Benzathine Penicilline 2,4 juta IU, suntikan intra muskular, sekali seminggu selama 3 minggu berturut turut. Bila ada riwayat alergi penicillin, terapi diganti dengan Doxycycline 100 mg per oral, 2 kali per hari selama 30 hari.
11
III.7 Pemeriksaan Laboratorium
Dasar diagnosis yang digunakan untuk pengukuran prevalensi tidak sama dengan dasar diagnosis untuk kepentingan pengobatan seperti tertera dalam tabel 1 di atas, kecuali untuk bakterial vaginosis, kandidiasis vaginalis, dan sifilis. Pemeriksaan laboratorium yang
menjadi dasar diagnosis untuk pengukuran prevalensi ISR tertera dalam tabel 2 di bawah.
Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium Yang Menjadi Dasar Pengukuran Prevalensi ISR
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Tanjungpinang, 2005
Diagnosis Tes Laboratorium Sampel Biologis Tempat Tes
Gonore Polymerase Chain Reaction, Amplicor ® Cairan endoserviks Laboratorium Badan Litbangkes Klamidia Polymerase Chain Reaction, Amplicor ® Cairan endoserviks Laboratorium Badan Litbangkes Trikomoniasis Kultur, In Pouch ® Cairan endoserviks Klinik Setempat Herpes Simpleks
Virus Type 2 Deteksi Ig G, metoda EIA Serum
Laboratorium Badan Litbangkes
12
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
13
HASIL
IV.1 Rekrutmen
Sampel WPS tidak langsung diambil dari cafe, karaoke, dan panti pijat yang tersebar di kota Tanjungpinang. Sedangkan sampel WPS langsung diambil dari lokalisasi Batu 15 dan jalanan (Jl. H. Agus Salim). Realisasi proses pemilihan dan pengikutsertaan sampel tertera dalam tabel 4 di bawah. Tabel 4. Realisasi Sampel Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Tanjungpinang, 2005
Sesuai proporsi besar populasi (46% WPS langsung dan 54% WPS tidak langsung), undangan seharusnya diberikan kepada 135 WPS langsung dan 198 WPS tidak langsung. Tetapi karena jumlah WPS langsung yang ada di beberapa kluster terpilih melebihi jumlah
yang seharusnya diundang (cluster size), dan situasi di lapangan tidak memungkinkan
untuk mengundang sebagian saja, maka diputuskan untuk mengundang semua WPS langsung di kluster tersebut.
IV
Kelompok Besar
Populasi Diundang Hadir Menolak
Tidak penuhi kriteria Gugur dalam sampling Ikut Serta WPS Langsung 291 149 149 3 11 34 101 WPS Tidak Langsung 347 198 198 1 8 40 149 Total 638 347 347 4 19 74 250
14
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
>
Dari 149 WPS langsung yang diundang, semuanya hadir. Di antara mereka, terdapat 3 orang yang menolak ikut serta (1 orang tidak bersedia menjalani pemeriksaan fisik dan pengambilan cairan endoserviks, 1 orang karena takut diambil darahnya dan 1 orang tidak menyelesaikan rangkaian pemeriksaan) dan 11 orang yang tidak memenuhi kriteria (1 orang hamil, 10 orang haid). Dengan demikian tinggal 135 WPS langsung yang ikut serta. Di samping itu, hadir pula 2 orang yang tidak diundang. Mereka mendapatkan pelayanan, namun tidak diikutsertakan dalam penelitian.
Dari 198 WPS tidak langsung yang diundang, semuanya hadir. Di antara mereka terdapat 1 orang yang menolak ikut serta (tidak bersedia menjalani pemeriksaan fisik dan pengambilan cairan endoserviks) dan 8 orang yang tidak memenuhi kriteria (sedang haid).
Jumlah sampel yang memenuhi kriteria melebihi target yang ditetapkan, oleh karena itu dilakukan pemilihan secara acak 250 sampel dari 324 WPS yang hadir dan memenuhi kriteria.
IV.2 Karakteristik Populasi yang Diteliti
Secara umum, umur WPS di Tanjungpinang berkisar antara 16 36 tahun. Mungkin ada WPS yang berusia di bawah 15 tahun atau di atas 50 tahun, namun mereka tidak memenuhi kriteria untuk diikutsertakan dalam penelitian ini.
Umur WPS langsung berkisar antara 17 36 tahun, dengan median 23 tahun. Sedangkan umur WPS tidak langsung berkisar antara 16 33 tahun, dengan median juga 23 tahun. Data yang diperoleh memperlihatkan bahwa WPS tidak langsung di Tanjungpinang cenderung lebih muda dibandingkan dengan WPS langsung. Struktur umur WPS di Tanjungpinang pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian tahun 2003 (median umur WPS lokalisasi/langsung dan WPS tempat hiburan / tidak langsung 23 tahun) .12 Distribusi umur WPS penting untuk diperhatikan, karena makin muda umur seorang wanita, makin rawan tertular IMSHIV.
15
Median umur pertama kali berhubungan seks WPS langsung dan WPS tidak langsung sama, yaitu 17 tahun. Umur termuda saat pertama kali berhubungan seks WPS langsung adalah 10 tahun dan WPS tidak langsung adalah 9 tahun. Sebagian besar WPS langsung maupun WPS tidak langsung telah berhubungan seks sebelum usia 20 tahun. Umur termuda saat pertama kali berhubungan seks WPS langsung maupun tidak langsung pada penelitian ini lebih muda dibandingkan penelitian sebelumnya (umur termuda saat pertama kali berhubungan seks WPS langsung adalah 11 tahun dan WPS tidak langsung adalah 12 tahun). 12 Tingkat pendidikan WPS langsung dan WPS tidak langsung relatif sama. Tiga perempat WPS langsung dan tidak langsung berpendidikan SMP atau lebih rendah, bahkan 4% WPS langsung mengaku tidak pernah duduk dibangku sekolah. Hanya 8% WPS langsung dan 2% WPS tidak langsung yang berstatus menikah, tetapi ada 28% WPS langsung dan 27% yang tidak langsung yang mempunyai pacar. Status
menikah dan mempunyai pacar tidak bersifatmutually exclusive(yang berstatus menikah
dapat juga mempunyai pacar). Di antara WPS yang tidak menikah, sebagian besar berstatus cerai hidup, sebagian kecil cerai mati, dan sebagian lagi memang belum menikah. Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, proporsi WPS langsung yang menikah sekitar 6 kali lebih besar, sementara untuk WPS tidak langsung 3.5 kali lebih
rendah. Proporsi WPS langsung yang mempunyai pacar sedikit lebih rendah. 12
Lebih dari duapertiga WPS langsung (82%) maupun tidak langsung (81%) menggunakan alat kontrasepsi. Di antara yang memakai kontrasepsi, sebagian besar dengan metoda hormonal (suntik atau pil). Tidak ada satupun WPS langsung maupun tidak langsung yang menggunakan kondom sebagai alat kontrasepsi.
16
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
>
Tabel 5. Karakteristik Populasi yang Diteliti Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Tanjungpinang, 2005 (n = 1 0 1 ) (n = 1 4 9 ) (n = 2 5 0 ) < 2 0 T a h u n 1 1 ( 1 1 % ) 2 0 ( 1 3 % ) 3 1 ( 1 2 % ) 2 0 2 4 T a h u n 4 9 ( 4 9 % ) 7 6 ( 5 1 % ) 1 2 5 ( 5 0 % ) 2 5 2 9 T a h u n 3 2 ( 3 2 % ) 4 4 ( 3 0 % ) 7 6 ( 3 0 % ) 3 0 3 4 T a h u n 7 ( 7 % ) 9 ( 6 % ) 1 6 ( 6 % ) 3 5 3 9 T a h u n 2 ( 2 % ) 0 ( 0 % ) 2 ( 1 % ) R a ta ra ta u m u r ( ta h u n ) < 1 5 T a h u n 1 4 ( 1 4 % ) 3 1 ( 2 1 % ) 4 5 ( 1 8 % ) 1 5 1 9 T a h u n 7 0 ( 6 9 % ) 1 0 2 ( 6 8 % ) 1 7 2 ( 6 9 % ) 2 0 2 4 T a h u n 1 6 ( 1 6 % ) 1 6 ( 1 1 % ) 3 2 ( 1 3 % ) > = 2 5 T a h u n 1 ( 1 % ) 0 ( 0 % ) 1 ( 0 % ) R a ta r a ta ( ta h u n ) T id a k P e r n a h S e k o la h 4 ( 4 % ) 0 ( 0 % ) 4 ( 2 % ) S D 4 0 ( 4 0 % ) 5 3 ( 3 6 % ) 9 3 ( 3 7 % ) S M P 3 6 ( 3 6 % ) 6 9 ( 4 6 % ) 1 0 5 ( 4 2 % ) S M A 2 1 ( 2 1 % ) 2 7 ( 1 8 % ) 4 8 ( 1 9 % ) P a c a r 2 8 ( 2 8 % ) 4 0 ( 2 7 % ) 6 8 ( 2 7 % ) M e n ik a h 8 ( 8 % ) 3 ( 2 % ) 1 1 ( 4 % ) B e lu m M e n ik a h 2 3 ( 2 3 % ) 4 6 ( 3 1 % ) 6 9 ( 2 8 % ) C e r a i H id u p 6 4 ( 6 3 % ) 9 3 ( 6 2 % ) 1 5 7 ( 6 3 % ) C e r a i M a ti 6 ( 6 % ) 7 ( 5 % ) 1 3 ( 5 % ) p il 1 4 ( 1 4 % ) 2 9 ( 1 9 % ) 4 3 ( 1 7 % ) s u n tik 6 7 ( 6 6 % ) 8 7 ( 5 8 % ) 1 5 4 ( 6 2 % ) k o n ta p 1 ( 1 % ) 0 ( 0 % ) 1 ( 0 % ) tid a k p a k a i 1 8 ( 1 8 % ) 2 8 ( 1 9 % ) 4 6 ( 1 8 % ) la in n y a 1 ( 1 % ) 5 ( 3 % ) 6 ( 2 % ) < 6 b u la n 3 1 ( 3 1 % ) 4 5 ( 3 0 % ) 7 6 ( 3 0 % ) 6 b u la n 1 ta h u n 3 3 ( 3 3 % ) 4 8 ( 3 2 % ) 8 1 ( 3 2 % ) 1 2 ta h u n 2 0 ( 2 0 % ) 2 9 ( 1 9 % ) 4 9 ( 2 0 % ) 2 4 ta h u n 1 1 ( 1 1 % ) 2 3 ( 1 5 % ) 3 4 ( 1 4 % ) > 4 ta h u n 6 ( 6 % ) 4 ( 3 % ) 1 0 ( 4 % ) R a ta r a ta ( B u la n ) < 6 b u la n 3 8 ( 3 8 % ) 5 6 ( 3 8 % ) 9 4 ( 3 8 % ) 6 b u la n 1 ta h u n 3 7 ( 3 7 % ) 5 2 ( 3 5 % ) 8 9 ( 3 6 % ) 1 2 ta h u n 1 2 ( 1 2 % ) 2 7 ( 1 8 % ) 3 9 ( 1 6 % ) 2 4 ta h u n 8 ( 8 % ) 1 4 ( 9 % ) 2 2 ( 9 % ) > 4 ta h u n 6 ( 6 % ) 0 ( 0 % ) 6 ( 2 % ) R a ta r a ta ( B u la n ) A la t K o n tr a s e p s i 1 1 1 2 L a m a B e k e rja S e b a g a i W P S L a m a B e k e rja S e b a g a i W P S d i L o k a s i S e k a ra n g 1 7 1 4 1 5 1 5 W P S L a n g s u n g W P S T id a k L a n g s u n g T o ta l U m u r P e rta m a K a li B e rh u b u n g a n S e k s K e lo m p o k U m u r 2 4 2 3 2 3 P a s a n g a n T e ta p & S ta tu s P e rn ik a h a n 1 7 1 7 1 7 P e n d id ik a n
17
Median lama kerja WPS langsung 1 tahun dengan masa kerja terlama 12 tahun. Median lama kerja WPS tidak langsung 10 bulan dengan masa kerja terlama 7 tahun. Secara umum tampaknya masa kerja WPS langsung lebih lama dibandingkan WPS tidak langsung. Dalam penelitian ini dibedakan antara lama kerja sebagai WPS dan lama kerja sebagai WPS khusus di lokasi yang diteliti, karena dari penelitian terdahulu diketahui bahwa mereka sering berpindahpindah lokasi kerja. Sekitar setengah dari WPS yang diteliti baru bekerja di lokasi penelitian selama kurang dari setahun. Pada penelitian sebelumnya masa kerja WPS tidak langsung lebih lama dibandingkan WPS langsung. Sebagian besar WPS di Tanjungpinang berasal dari Jawa Barat. Namun ada juga yang berasal dari provinsi lain di pulau Sumatera seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Lampung, dan dari pulau lain seperti Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat dan NTB. Gambar 1. Provinsi Tempat Asal WPS Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Tanjungpinang, 2005
18
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
>
Sebanyak 10 WPS langsung menyatakan pernah menjual seks di provinsi lain dan 4 orang mengatakan pernah menjadi WPS di Malaysia. Provinsi yang pernah menjadi lokasi para WPS tersebut dalam 2 tahun terakhir antara lain Riau (3 WPS), Lampung (1), DKI Jakarta (3), Jawa Barat (1), NTB (1), dan Papua (1). WPS tidak langsung yang menyatakan pernah menjual seks di provinsi lain ada 30 orang dan 3 orang mengatakan pernah menjadi WPS di Malaysia. Provinsi yang pernah menjadi lokasi para WPS tersebut dalam 2 tahun terakhir antara lain Riau (6 WPS), Sumatera Utara (1), Jambi (1), Sumatera Selatan (1), DKI Jakarta (12), Jawa Barat (6), Bali (1), Sulawesi Selatan (1) dan Papua (1). Tempattempat tersebut kebanyakan merupakan provinsi asal WPS. Median jumlah pelanggan seminggu terakhir WPS langsung sebanyak 6 orang dan tidak langsung adalah 4 orang. Dibandingkan penelitian sebelumnya (WPS langsung 5 orang pelanggan dan tidak langsung 3 orang pelanggan), tampaknya terjadi peningkatan jumlah pelanggan baik pada WPS langsung maupun tidak langsung. 12 Gambar 2. Jumlah Pelanggan Dalam Satu Minggu Terakhir Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Tanjungpinang, 2005
19
Gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa terdapat berbagai macam kelompok lakilaki yang dinyatakan sebagai pelanggan terbanyak oleh para WPS. Hampir semua WPS tidak langsung (92% dan 5% WPS langsung menyatakan pelanggan terbanyak mereka adalah orang asing. Hal ini wajar karena kota ini berada dekat perbatasan dengan negara lain. Pelanggan terbanyak yang lainnya terdiri dari kelompok lakilaki yang selama ini dianggap berperilaku seksual risiko tinggi (orang asing, supir) dan yang selama ini dianggap kurang/ tidak berperilaku seksual risiko tinggi (karyawan swasta, TNI/Polri, PNS, pedagang, buruh, dan pelajar). Hal ini tidak berbeda dari hasil penelitian sebelumnya. 12 Gambar 3. Pelanggan Terbanyak WPS Langsung Dalam 1 Minggu Terakhir Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Tanjungpinang, 2005 Terdapat perbedaan proporsi jenis pelanggan antara WPS langsung dan tidak langsung. Proporsi WPS tidak langsung yang menyatakan pelanggan terbanyak mereka adalah
20
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
>
Gambar 4. Pelanggan Terbanyak WPS Tempat Hiburan Dalam 1 Minggu Terakhir Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Tanjungpinang, 2005
IV.3 Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik dengan spekulum untuk melihat vagina dan endoserviks, tanda yang didapatkan terbanyak adalah cairan tidak jernih dari vagina, yaitu pada 56 WPS langsung (55%) dan 100 WPS tidak langsung (67%). Cairan tidak jernih dari endoserviks ditemukan pada 67 WPS langsung (66%) dan 103 WPS tidak langsung (69%). Tidak ditemukan WPS dengan tanda klinis sifilis maupun herpes kelamin pada pemeriksaan fisik.
IV.4 Prevalensi ISR
Pada penelitian ini ditemukan prevalensi gonore dan klamidia secara umum pada WPS di kota Tanjungpinang sebesar 27% dan 43%. Pada WPS langsung prevalensi gonore dan klamidia ditemukan sebesar 43% dan 45%, sedang pada yang tidak langsung ditemukan sebesar 17% dan 43%. Infeksi ganda gonore dan klamidia dilaporkan sering terjadi, yaitu 16% secara umum; pada WPS langsung 25%, dan yang tidak langsung 10%.
21
Prevalensi trikomoniasis vaginalis secara umum 12%, pada WPS langsung 5% dan yang tidak langsung 17%. Prevalensi bakterial vaginosis secara umum 58%, pada WPS langsung 52% dan yang tidak langsung 61%. Prevalensi vaginal kandidiasis secara umum 5%, pada WPS langsung dan yang tidak langsung 5%.
Prevalensi sifilis laten secara umum 8%, pada WPS langsung 12%, dan yang tidak langsung 5%. Prevalensi serologi positif (Immunoglobulin G) herpes simpleks tipe 2 secara
umum 96%, WPS langsung 98% dan yang tidak langsung 95%.
Gambar 5. PrevalensiISR yang Diteliti
22
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
>
IV.5 IMS Tanpa Tanda
Dalam penelitian ini ditemukan 30 (22%) kasus positif gonore atau klamidia (pemeriksaan PCR), 4 (13%) kasus trikhomoniasis, 20 (100%) kasus sifilis, dan 240 (100%) infeksi
herpes simpleks tipe 2 yang tidak menunjukkan tanda pada pemeriksaan fisik.
IV.6 Perilaku Berisiko
IV.6.1 Pemakaian Kondom
Penggunaan kondom yang konsisten (selalu menggunakan kondom dalam setiap hubungan seks) merupakan perilaku efektif untuk mencegah penularan IMSHIV. Dalam kurun waktu seminggu terakhir, hanya 15% WPS langsung dan 33% WPS tidak langsung yang selalu menggunakan kondom waktu berhubungan seks dengan pelanggannya. Sebagian (17% WPS langsung dan 12% WPS tidak langsung) tidak menggunakan kondom sama sekali, perilaku yang paling berisiko untuk penularan IMSHIV. Perilaku kadang kadang menggunakan kondom ditemukan 68% pada WPS langsung dan 55% WPS tidak langsung. Gambar 6. Konsistensi Menawarkan Kondom Selama Seminggu Terakhir Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Tanjungpinang, 2005
23
Gambar 7. Konsistensi Menggunakan Kondom Selama Seminggu Terakhir Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Tanjungpinang, 2005
IV.6.2 Perilaku Pencegahan yang Keliru
Terdapat sedikitnya dua macam perilaku pencegahan terhadap IMSHIV yang keliru yang dipraktekkan oleh WPS di Tanjungpinang. Yang pertama adalah minum antibiotik dengan dosis tidak tepat (51% WPS langsung, 50% WPS tidak langsung); antibiotik yang diminum antara lain tetrasiklin, ampisilin, amoksilin, rifampisin dan siprofloksasin.
Perilaku pencegahan keliru yang kedua adalah mencuci vagina, yang dilakukan sendiri oleh 93% WPS langsung dan 90% WPS tidak langsung. Yang dimaksud dengan cuci vagina ialah membersihkan liang vagina dengan cara memasukkan cairan sampai mulut rahim. Cuci vagina dilakukan dengan menggunakan bermacam bahan seperti odol/pasta gigi, sabun, air sirih dan produk kimia cairan cuci vagina yang diiklankan di media massa.
24
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
>
IV.6.3 Perilaku Pengobatan IMS
Pada umumnya IMS tidak menimbulkan gejala pada wanita. Dalam penelitian ini 23% (WPS langsung 18%, WPS tidak langsung 27%) yang mempunyai keluhan ketika diperiksa. Dalam 3 bulan terakhir, ketika mengalami gejala IMS, sebagian besar WPS (66% WPS langsung, 90% WPS tidak langsung) tidak melakukan pengobatan yang benar (tidak diobati sama sekali, membeli obat sendiri atau menggunakan obat tradisional). Bagi yang berobat, terdapat 3 tempat berobat yang sering didatangi, yaitu klinik swasta,
puskesmas dan rumah sakit.
Gambar 8. Perilaku Pengobatan Ketika Terkena IMS Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Tanjungpinang, 2005
Terdapat sedikit perbedaan pola perilaku pengobatan antara WPS langsung dengan tidak langsung. Lebih banyak WPS langsung yang berobat ke puskesmas (dalam hal ini puskesmas yang melaksanakan program HIV/AIDS bagi WPS langsung/lokalisasi).
25
Ada 3 perilaku pengobatan yang salah yang dipraktekkan oleh para WPS. Yang pertama adalah tidak mengobati sama sekali yang dilakukan oleh sekitar sepertiga WPS (35% WPS langsung, 18% yang tidak langsung). Yang kedua, pengobatan tradisional oleh 12% WPS langsung dan 35% yang tidak langsung. Tidak diketahui apa jenis pengobatan tradisional yang dimaksud. Yang ketiga adalah membeli obat sendiri/mengobati sendiri, yaitu oleh 19% WPS langsung dan sekitar sepertiga yang tidak langsung.
IV.7 Cakupan Program
Dalam 2 tahun terakhir telah dilaksanakan program penjangkauan dan program klinik IMS bagi WPS langsung maupun tidak langsung di Tanjungpinang. Ternyata lebih banyak WPS langsung yang dicakup dalam program penjangkauan maupun program klinik. Baik WPS langsung maupun tidak langsung, lebih banyak dicakup oleh program penjangkauan daripada program klinik IMS.
Gambar 9. Cakupan Program Penjangkauan Bagi WPS dalam 3 Bulan Terakhir
26
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
>
Gambar 10. Cakupan Program Klinik IMS Bagi WPS dalam 3 Bulan Terakhir
27
V
DISKUSI
P
revalensi IMS dan ISR pada WPS di Tanjungpinang tahun 2005 tergolong tinggi.Pada tahun 2005, prevalensi klamidia lebih tinggi dari prevalensi gonore. Dibandingkan penelitian sebelumnya hasil ini tidak berbeda
Metoda pemeriksaan laboratorium yang digunakan sebagai dasar pengukuran prevalensi infeksi gonore, klamidia, dan trikomoniasis vaginalis pada tahun 2003 berbeda dari yang digunakan pada tahun 2005. Pada tahun 2003, infeksi gonore dan klamidia dites dengan deteksi DNA (GenProbe ® ), sedangkan pada tahun 2005 dengan PCR / Polymerase
Chain Reaction(Amplicor ® ). Metoda pemeriksaan laboratorium untuk trikomoniasis pada
tahun 2003 adalah sediaan basah, pada tahun 2005 adalah kultur (In Pouch ® ).
Untuk membandingkan prevalensi gonore dan klamidia tahun 2003 dengan 2005 dilakukan perhitungan konversi berdasarkan hasil tes GenProbe pada 70 sub sampel (20% dari total sampel). Diperoleh estimasi prevalensi gonore secara umum tahun 2005 sebesar 24% dan klamidia 25% (Lihat Tabel 6).
Untuk membandingkan prevalensi trikomoniasis tahun 2003 dan 2005 dilakukan pembandingan hasil pembacaan sediaan basah, dengan hasil prevalensi trikomoniasis pada tahun 2005 (6%) lebih rendah dari tahun 2003 (11%) (Lihat Tabel 7). Dibandingkan dengan hasil penelitian tahun 2003, prevalensi sifilis pada WPS langsung sedikit lebih rendah (14% dibandingkan dengan 12%), begitu juga pada WPS tidak langsung (7% dibandingkan dengan 5%). Prevalensi bakterial vaginosis pada WPS langsung maupun tidak langsung lebih tinggi (33% dibandingkan dengan 53%, dan 43% dibandingkan dengan 61%).
28
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
>
Tabel 6 . Perhitungan Perkiraan Prevalensi Gonore dan Klamidia dengan Genprobe
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Tanjungpinang, 2005 Tabel 7. Prevalensi ISR Pada WPS Langsung dan Tidak Langsung Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Tanjungpinang, 2005 **Prevalensi setelah penyesuaian Gonore Klamidia # Genprobe positif pada spesimen dengan Genprobe & PCR 14/70 17/70 # PCR positif pada spesimen dengan Genprobe & PCR 16/70 29/70 Rasio Genprobe : PCR 14/16 = 0.88 17/29 = 0.59 # spesimen positif pada spesimen tanpa Genprobe 52/180 79/180 Perkiraan Genprobe positif pada spesimen tanpa Genprobe 52 x 0.88 = 46 79 x 0.59 = 46 Perkiraan total spesimen positif dengan Genprobe 46 + 14 = 60/250 46 + 17 = 63/250 Perkiraan Prevalensi dengan Genprobe 24% 25% Prevalensi dengan PCR 27% 43% WPS Langsung WPS Tidak Langsung Total 2003 2005 2003 2005 2003 2005 Gonore 44% 39%** 13% 13%** 32% 24%** Klamidiasis 29% 16%** 39% 31%** 33% 25%** Trikomoniasis 13% 3%** 8% 9%** 11% 6%** Bakterial vaginosis 33% 53% 43% 61% 37% 58% Kandidiasis 6% 5% 35% 5% 17% 5% Sifilis 14% 12% 7% 5% 11% 8%
29
Kandidiasis vaginalis dan bakterial vaginosis tidak ditularkan melalui hubungan seksual, melainkan merupakan infeksi yang berlokasi di saluran reproduksi. Kedua infeksi ini mengakibatkan gangguan epitel vagina sehingga meningkatkan kerawanan terhadap infeksi HIV. Adanya bakterial vaginosis menunjukkan bahwa keseimbangan flora normal vagina
terganggu, yaitu berkurangnya jumlahlactobacillisehingga pH vagina menjadi basa, suatu
keadaan yang kondusif untuk infeksi HIV. 17
Prevalensi HSV2 tidak diukur pada penelitian tahun 2003. Hasil pengukuran prevalensi pada tahun 2005 ini sangat tinggi (96% total, 98% WPS langsung, 95% WPS tidak langsung). Hasil penelitian ini masih dalam kisaran yang sama dengan yang pernah dikutip oleh Ashley dan Wald bahwa prevalensi serologis HSV2 pada WPS di berbagai negara di seluruh dunia berkisar antara 60% dan 90%, 18 namun lebih tinggi dari yang pernah dilaporkan oleh Sulastomo pada tahun 2003 yaitu prevalensi Ig G HSV2 pada WPS Jalanan (n=79) di Jakarta sebesar 60%. 19 Dalam penelitian ini didapatkan hanya 17% WPS langsung dan 27% WPS tidak langsung dengan serologi positif HSV2 yang menyatakan pernah mengalami luka koreng di kelamin dalam waktu setahun terakhir. Menurut Patrick dan Money, sekitar 80% kasus serologis HSV positif tidak disertai riwayat gejala. 20
Infeksi virus herpes simpleks bersifat infeksi yang menetap seumur hidup, meskipun tidak selalu menunjukkan manifestasi klinis. Manifestasi klinis bersifat kambuhan dari waktu ke waktu, termasuk jika kekebalan seseorang menurun akibat infeksi HIV (menjadi infeksi oportunistis). Sifat kambuhan ini merupakan beban kesehatan maupun psikoseksual bagi penderitanya. Infeksi yang bersifat seumur hidup mempunyai arti si penderita menjadi sumber penularan seumur hidupnya, walaupun pada kasus subklinis/ tanpa gejala klinis daya penularannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang disertai gejala klinis berupa lesi atau ulkus herpetik. Namun justru karena tidak adanya lesi, aktivitas seksual tetap tinggi sehingga penularan infeksi virus herpes simplek terutama terjadi dari penderita tanpa gejala klinis. Walaupun gejala klinis infeksi ini ringan pada pihak sumber penularan, manifestasinya pada pihak yang tertular dapat lebih berat. 21,22, 23
30
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
>
Penelitian ini menunjukkan banyaknya ISR tanpa tanda dan gejala. Karena itu, dibutuhkan program penapisan IMS secara berkala di kalangan WPS dengan pemeriksaan penunjang, sekurangkurangnya pemeriksaan laboratorium sederhana. Sebagaimana diketahui, IMS dan ISR mempermudah penularan HIV. Prevalensi IMS yang tinggi pada WPS di Tanjungpinang merupakan pertanda risiko penyebaran HIV yang makin meluas melalui jejaring hubungan seksual antara WPS dengan pelanggan dan pelanggan dengan isteri/pasangan seks tetapnya. Tetap tingginya prevalensi IMS di Tanjungpinang menunjukkan bahwa memang perilaku seksual berisiko masih banyak terjadi. Gambar 7 menunjukkan rendahnya pem akaian kondom oleh para W PS ketika melayani pelanggannya, bahkan masih banyak WPS yang tidak memakai kondom sama sekali. Selain meningkatkan risiko penyebaran HIV, tingginya prevalensi IMS dan ISR disertai perilaku pengobatan yang keliru, seperti mengobati sendiri dan berobat tradisional (gambar 8) dapat menimbulkan beban penyakit yang tinggi maupun masalah sosial yang cukup besar di kemudian hari. Komplikasi yang dapat timbul, baik pada WPS maupun pelanggan serta isteri/anak pelanggan, antara lain: gonore dan klamidia dapat menyebabkan kelainan pada bayi dan neonatus, kebutaan pada anak dan dewasa, penyakit radang panggul, kehamilan ektopik / di luar kandungan, infertilitas / kemandulan pada lakilaki maupun wanita, dan striktura uretra / penyempitan saluran kencing pada lakilaki. 22,24 Ada dugaan terdapat infertilitas pada WPS yang diteliti akibat IMS berulang dan pengobatan yang tidak tuntas. Dugaan ini didasarkan pada angka kehamilan dan angka pemakaian kontrasepsi yang rendah, padahal mereka ada dalam usia reproduktif dan sangat aktif secara seksual. Namun hal ini perlu diteliti lebih lanjut. Koinfeksi IMS dengan HIV dapat mengubah perjalanan alamiah IMS secara umum, antara lain manifestasi klinis dapat lebih parah, IMS menjadi lebih mudah menular, masa penularan IMS menjadi makin panjang, respon terhadap pengobatan menurun, dan mempercepat perjalanan HIV menjadi AIDS. 2331
Program penanggulangan IMS di Tanjungpinang sangat penting dan perlu ditingkatkan. Secara umum, program penanggulangan IMS mempunyai 3 tujuan, yaitu untuk memutus rantai penularan IMS, memutus perjalanan alamiah penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi, serta menurunkan risiko penularan HIV. Strategi utama terdiri dari: pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan penguatan komponen pendukung. 23 Pencegahan primer terdiri dari intervensi perubahan perilaku untuk mengurangi perilaku seksual berisiko (termasuk promosi dan jaminan ketersediaan serta keterjangkauan kondom di lokasi transaksi seks), menghindari perilaku pencegahan yang keliru, dan
meningkatkan perilaku mencari pengobatan IMS yang benar. 23,25 Cakupan program
pencegahan primer secara umum telah cukup baik (gambar 9 dan 10) namun belum terjadi perubahan perilaku sebagaimana diharapkan.
Penapisan dan pengobatan IMS saja, tanpa peningkatan pemakaian kondom yang konsisten, tidak akan dapat optimal menurunkan prevalensi IMS. Hal itu terkait dengan risiko pekerjaan WPS yang selalu terpapar sumber penularan pada saat melayani pelanggannya. Makin banyak jumlah pelanggan, makin besar kemungkinan salah satu di antaranya menularkan IMSHIV kepada WPS. Penelitian ini menunjukkan bahwa kondom tidak banyak dipakai sebagai alat kontrasepsi, sehingga ada peluang untuk bekerja sama dengan penyedia layanan KB/kontrasepsi agar mereka menawarkan kondom sebagai metoda perlindungan ganda terhadap kehamilan maupun penularan IMSHIV. Program intervensi perubahan perilaku untuk menurunkan risiko perilaku seksual, terutama promosi penggunaan kondom, sangat perlu menjangkau kelompok pelanggan WPS, karena pelanggan lebih menentukan apakah kondom akan dipakai atau tidak pada setiap transaksi seks. Jika jumlah pelanggan relatif sedikit (seperti ditunjukkan pada penelitian ini – tabel 5), kekuatan negosiasi WPS untuk pemakaian kondom makin lemah, karena
32
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
>
Berbagai kelompok lakilaki perlu mendapat intervensi program, karena mereka semua berpotensi menjadi pelanggan WPS (gambar 3 dan 4) Oleh karena, itu kerja sama dengan berbagai instansi yang menjadi tempat bekerja atau berkumpulnya para pelanggan sangat diperlukan. Selain pelanggan, suami dan pacar WPS merupakan kelompok pasangan seks para WPS yang perlu diperhatikan dalam promosi penggunaan kondom. Sebuah penelitian di Vietnam menunjukkan bahwa WPS cenderung melakukan hubungan seks yang lebih berisiko (tanpa kondom) dengan pasangan yang mereka anggap aman (pacar atau suami). 27 Selain promosi kondom, program perlu juga mengoreksi perilaku pencegahan dan perilaku pengobatan IMS yang salah, seperti minum antibiotika dan cuci vagina. Perilaku minum
antibiotik yang bersifat under/mis treatment (pengobatan yang tidak tepat dosis maupun
tidak tepat pilihan) berpotensi menyebabkan resistensi mikroorganisme terhadap antibiotika. Sedangkan cuci vagina menyebabkan penipisan epitel vagina sehingga mempermudah terjadinya luka sebagai pintu masuk IMSHIV. Selain itu, cuci vagina mengubah pH vagina menjadi basa. Kondisi vagina yang basa ini kondusif untuk
pertumbuhan organisme penyebab IMS. 28,29
Secara umum perilaku dan persepsi yang keliru ini kontraproduktif terhadap perilaku pencegahan yang benar, yaitu penggunaan kondom secara konsisten untuk melindungi diri dari penularan IMSHIV, karena timbul rasa aman yang semu.
Pencegahan sekunder meliputi manajemen klinis IMS bagi penderita dengan diagnosis dan terapi yang akurat dan konseling serta rujukan pasangan seks, serta skrining/ penapisan berkala bagi kelompok berperilaku risiko tinggi. Untuk pencegahan sekunder dibutuhkan sarana penyediaan layanan IMS yang dapat diterima dan dimanfaatkan oleh mereka yang membutuhkan.
33
Beberapa hal berikut ini perlu diperhatikan oleh sarana penyedia layanan IMS 24,26 Kualitas layanan harus sesuai dengan standar prosedur tetap manajemen klinis IMS Sarana dan prasarana fisik harus terawat dengan baik Petugas dapat berkomunikasi dengan baik, bersifat ramah dan tidak menghakimi Privasi dan kerahasiaan pasien terjaga Jam buka sesuai waktu luang WPS Waktu antri tidak terlalu lama Lokasi mudah dijangkau secara geografis maupun sosial (tidak menimbulkan rasa takut) Biaya terjangkau
Di Tanjungpinang telah ada puskesmas yang menyediakan layanan IMS dengan
memperhatikan halhal tersebut di atas. 30 Puskesmas inilah yang diidentifikasi sebagai
yang dikunjungi oleh WPS (gambar 8 dan 9). Di antara pilihan perilaku pengobatan yang benar, yang dilakukan oleh sedikit WPS, berobat ke Puskesmas ini dipilih oleh lebih banyak WPS langsung.
Dalam tatalaksana IMS, apabila seorang WPS terinfeksi IMS, maka pasangan seks tetapnya perlu juga diobati untuk mencegah fenomena pingpong. Penelitian ini menunjukkan sebagian besar WPS mempunyai pasangan seks tetap, baik suami maupun pacar. Namun belum diketahui apakah mereka telah terjangkau layanan IMS.
Progam penguatan kom ponen pendukung, sebagai strategi ketiga program penanggulangan IMS, terdiri dari peningkatan kemampuan tenaga medis dan paramedis, peningkatan kualitas laboratorium sederhana untuk diagnosis IMS, jaminan ketersediaan obat dan manajemen program. Penguatan komponen pendukung ini akan sangat menentukan peningkatan kualitas pencegahan sekunder. Tanpa adanya komponen pendukung, program pencegahan sekunder akan sangat sulit dilaksanakan ataupun dijamin kualitasnya. 23,24
34
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
>
Di samping ke tiga strategi di atas, terdapat dua kegiatan lain yang penting untuk menunjang program penanggulangan IMSHIV, yaitu pengamatan penyakit/surveilans, dan pengamatan resistensi obat untuk gonore. Hasil pengamatan ini akan menjadi bahan
untuk revisi kebijakan program dan pengobatan IMS secara nasional. 23,24
Satu karakteristik WPS yang menarik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah umur yang muda saat pertama kali berhubungan seks (median 17 tahun, termuda 12 tahun, sebagian besar sebelum 20 tahun). Hasil ini tidak berbeda dengan laporan DKT (Dharmendra Kumar Tyagi) Indonesia yang menyatakan bahwa lebih dari 50% kawula muda di 4 kota besar di Indonesia berhubungan seks pertama kali menjelang usia 18 tahun, dan terdapat 16% yang berhubungan seks pertama kali pada umur antara 13 dan
15 tahun. 31 Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi remaja perlu
35
VI
KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 Kesimpulan
1. Prevalensi setiap jenis dari 7 ISR/IMS yang diteliti ternyata masih tinggi. 2. Sebagian besar kasus ISR/IMS tidak menunjukkan tanda dan gejala.
3. Konsistensi pemakaian kondom masih sangat rendah. Bahkan perilaku sama sekali tidak menggunakan kondom masih tinggi.
4. Proporsi perilaku pencegahan yang didasarkan pada persepsi yang salah tentang antibiotik dan cuci vagina masih tinggi. 5. Proporsi perilaku pencarian pengobatan IMS yang salah (tidak diobati, diobati sendiri, dan obat tradisional masih tinggi). 6. Pelanggan WPS ternyata bukan hanya kelompok lakilaki yang selama ini diasumsikan berperilaku seksual risiko tinggi (ABK, nelayan, sopir), melainkan juga kelompok lain seperti TNI/Polri, PNS, pegawai swasta, buruh kasar, pedagang, pelajar/mahasiswa. 7. Jangkauan program penanggulangan IMSHIV/AIDS masih terbatas
VI.2 Saran
1. Program pencegahan primer IMS di Tanjungpinang perlu diperkuat dan diperluas untuk meningkatkan jangkauan WPS jalanan maupun tempat hiburan, serta menjangkau sebanyak mungkin jenis kelompok lakilaki yang berpotensi menjadi pelanggan WPS. 2. Program pencegahan sekunder IMS di Tanjungpinang berupa tatalaksana klinis IMS bagi mereka yang terinfeksi perlu diperkuat dan dipermudah aksesnya bagi mereka yang membutuhkan (pekerja seks, pelanggan pekerja seks).
36
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
>
3. Program pencegahan sekunder IMS berupa skrining dan pengobatan periodik terhadap pekerja seks perlu diperkuat dan diperluas untuk menjangkau WPS jalanan dan tempat hiburan. 4. Institusi penyedia layanan IMS perlu dilengkapi dengan fasilitas laboratorium sekurang kurangnya laboratorium sederhana untuk menegakkan diagnosis IMS. 5. Program penguatan komponen pendukung bagi penanggulangan IMS di Tanjungpinang perlu dilaksanakan untuk meningkatkan keberhasilan program pencegahan primer dan sekunder yang sudah ada. 6. Pendidikan Kesehatan Reproduksi perlu diberikan sedini mungkin melalui berbagai cara dan saluran di sekolah maupun luar sekolah. 7. Pengukuran prevalensi ISR (surveilans) di Tanjungpinang perlu terus dilakukan secara periodik agar didapat data guna memonitor, mengevaluasi dan merencanakan upaya penanggulangan IMSHIV/AIDS selanjutnya.37
Referensi
1 Departem en Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Surveilans HIV. Jak arta; 2004.
2 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Republik Indonesia. HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual Lainnya di Indonesia: Tantangan dan Peluang Untuk Bertindak. Jakarta: KPA Nasional RI; 2001.
3 Surjadi C, Pariani S, Sumampouw J, Arief H. Penilaian Kedua Studi Prevalensi Penyakit Menular Seksual pada Pekerja Seks Perempuan di Jakarta Utara, Surabaya, Manado/Semarang. Jakarta: HIV/AIDS Prevention Project (HAPP)FHI IndonesiaUSAID dan Jaringan Epidemiologi Nasional; 2000.
4 Silitonga N, Donegan E, Wignall FS, Moncada J, Scachter J. Prevalence of N. gonorrhoeae and C. trachomatis Infection among Commercial Sex Workers in Timika, Irian Jaya, Indonesia. Denv e r : PT Freeport Indonesia, Timika, Irian Jaya and University of California San Francisco; 1999.
5 Rosana Y, Sjahrurachman A, Sedyaningsih ER, Simanjuntak CH, Arjoso S, Daili SF, Judarsono J, Ningsih I. Studi resistensi N. gonorrhoeae yang diisolasi dari pekerja seks komersial di beberapa tempat di Jakarta (Antimicrobial susceptibility pattern of N. gonorrhoeae isolated from female com
m ercial sex work ers in Jak arta). Jurnal Mik robiologi Indonesia 1999, 4:2, 6063.
6 Presentasi Surveilans Sifilis dalam Pertemuan Evaluasi Surveilans, Ditjen PPM&PL, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 2005.
7 Miller P, Otto B. Prevalence of Sexually Transmitted Infections in Selected Populations in Indonesia.
Jakarta: Indonesia HIV/AIDS and STD Prevention and Care Proj ect – AusAID; 2001.
8 Sedyaningsih ER, Rahardjo E, Lutam B, Oktarina, Sihombing S, Harun S. Validasi pemeriksaan infeksi menular seksual secara pendekatan sindrom pada kelompok wanita berperilaku risiko tinggi. Buletin Penelitian Kesehatan (2001) 28: 34, 460472.
9 World Health Organization and UNAIDS. Guidelines for Second Generation Surveillance for HIV: The
Next Decade. Geneva, World Health Organization (WHO/CDS/EDC/2000.05), 2000.
10 UNAIDS/WHO Working Group on Global HIV/AIDS/STI Surveillance. Guidelines for Effective Use of Data from HIV Surveillance Systems. Geneva: 2004.
11 Jazan S, Sedyaningsih ER, Tanudyaya FK, Anartati AS, Gultom M, Purnamawati KA, Sutrisna A, Nurjannah, Rahardjo E. Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi pada Wanita Penjaja Seks di Jayapura, Banyuwangi, Semarang, Medan, Palembang, Tanjung Pinang, dan Semarang, Indonesia, 2003. Jakarta: Direktorat Jendral PPMPLP Departemen Kesehatan Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Indonesia, dan Aksi Stop AIDS Program – FHI Indonesia – USAID; 2004.
12 Jazan S, Sedyaningsih ER, Tanudyaya FK, Anartati AS, Gultom M, Purnamawati KA, Sutrisna A, Nurjannah, Rahardjo E. Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi pada Wanita Penjaja Seks di Tanjungpinang, Indonesia, 2003. Jakarta: Direktorat Jendral PPMPLP Departemen Kesehatan Indo nesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Indonesia, dan Aksi Stop AIDS Program – FHI Indonesia – USAID; 2004.
38
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU, INDONESIA, 2005
>
13 Levy P & Lemeshow S. Sampling of populations: Methods and applications. New York, John Wiley & Sons, 1991.
14 Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual . Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan; 2004.
15 Guidelines for the Managem ent of Sexually Transmitted Infections. W HO; 2001.
16 Schmid G, Markowitz L, Joesoef R, Koumans E. Bacterial Vaginosis and HIV. Sexually Transmitted Infection 2003; 76(1):34.
17 Ashley RL, Wald A. Genital Herpes: Review of the Epidemic and Potential Use of TypeSpecific Serol ogy. Clinical Microbiology Reviews 1999, 12:1, 18.
18 Sulastomo E. Prevalens Serologik Imunoglobulin G Virus Herpes Simpleks1 dan Virus Herpes Simpleks2 Pada Pekerja Seks Komersial Wanita di Panti Rehabilitasi (Panti Sosial Karya Wanita “Mulya Jaya” Pasar Rebo, Jakarta Timur). Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2004.
19 Patrick DM, Money D. Should Every STD Clinic Patient Be Considered for Typespecific Serological Screening for HSV Herpes 2002; 9: 324.
20 Arya OP, Hart CA. Herpes Simplex Virus Infection. In O.P. Arya and C.A. Hart (eds). Sexually Transmit ted Infections and AIDS in the Tropics. Cabi Publishing, Liverpool, 1998.
21 Butina M R. Genital Herpes. Acta Dermatologica 2000; 9(1).
22 Donovan B. Sexually Transmissible Infections Other Than HIV. Lancet 2004; 363: 54556. 23 Meheus A. Control of STI, HIV and AIDS. In O.P. Arya and C.A. Hart (eds). Sexually Transmitted Infec
tions and AIDS in the Tropics. Cabi Publishing, Liverpool, 1998.
24 Sexually Transmitted Diseases: policies and principles for prevention and care. World Health Orga
nization/UNAIDS. WHO/UNAIDS/97.6, 1997.
25 Sedyaningsih ER. Perempuanperempuan Kramat Tunggak. Seri Kesehatan Reproduksi,
Kebudayaan, dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan – The Ford Foundation; 1999.
26 Thuy NTT, et al. HIV infection and risk factors among female sex workers in southern Viet Nam. AIDS 1998,12:425432.
27 Taha T, Hoover D, Dallabetta G, et al. Bacterial Vaginosis and Disturbances of Vaginal Flora: Associa tion with Increase Acquisition of HIV. AIDS 1998; 12:1699705.
28 Minim um standard for FHIIndonesia sponsored STI Clinic, FHI Indonesia 2002.
29 Subagreement between Family Health International (FHI) and Puskesmas Tanjungpinang Barat, pursuant to United States Agency for International Development (USAID) Cooperative Agreement
award number 497A00000003800.
30 Studi Mengenai Perilaku Seksual Kawula Muda di 4 Kota Besar di Indonesia, Jakarta: DKT Indonesia, KfW, Bill and Melinda Gates Foundation, Synovate, Summer Rosenstock; 2005.