• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ciri Budaya Prasejarah pada Sistem Bercocoktanam Masyarakat Suku Dani di Lembah Baliem

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ciri Budaya Prasejarah pada Sistem Bercocoktanam Masyarakat Suku Dani di Lembah Baliem"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Ciri Budaya Prasejarah pada Sistem Bercocoktanam

Masyarakat Suku Dani di Lembah Baliem

Erlin Novita Idje Djami

(Balai Arkeologi Jayapura)

Abstract

Prehistoric featured life is still found in Dani tribe society who inhabit Baliem valley in the mountainous area of central Papua. The tribe’s simple life still maintain their gathered way of life. They live their nomadic cultivating while using sheer technology such as stone, digging stick and spade. In their cultivation activities, The Danis share strict rules between their male and female members. Men obliged to open new land, to build fench and shed, while women binded to do plantation until harvesting which makes women time are spent mostly in the fi eld.The Danis livelihood is so affected by environment and kinship factors in governancing and managing land, social strata in task division between men and women, and also their belief in their anchestor’s spirits which can bring about fortune and prosperity.

Key words: Prehistoric featured life, Dani Society, cultivation activities

Latar Belakang

Bercocoktanam merupakan suatu babak baru dalam kehidupan masyarakat prasejarah setelah cara hidup berburu dan mengumpulkan makanan dilampaui, kegiatan ini merupakan suatu gambaran revolusi budaya yang sudah terjadi sejak 3500-2500 SM atau pada masa neolitik (Prasetyo dan Djami 2006: 40). Hal ini terjadi sejalan dengan perkembangan pengetahuan manusia tentang sumber makanan, penciptaan teknologi peralatan yang semakin maju dan ketersediaan sumber makanan di alam yang semakin berkurang, sehingga mendorong mereka untuk mengubah pola adaptasi terhadap lingkungannya dengan pola-pola tertentu seperti pola hidup menetap dan penguasaan berbagai jenis tumbuhan dan hewan mulai dijinakkan dan dipelihara. Pada masa ini juga kegiatan tebas bakar hutan (slash and burn) untuk

dijadikan ladang mulai dilakukan walaupun masih bersifat sederhana. Memahami hal tersebut di atas memberi gambaran bahwa begitu besar ketergantungan manusia pada alam lingkungannya sehingga hampir seluruh waktunya diisi dengan kegiatan mencari makanan (Soejono, 1993:29-167).

(2)

Pola kehidupan berciri prasejarah tersebut masih dapat ditemukan pada masyarakat suku Dani yang berada di lembah Baliem – wilayah pegunungan tengah Papua. Kesan pertama yang didapat dengan melihat keberadaan suku tersebut adalah suatu gambaran kehidupan dengan corak budaya yang khas dan unik seperti pola hidup sederhana dan mengelompok dalam perkampungan-perkampungan (silimo).

Pola hidup seperti itu merupakan salah satu wujud kebersamaan yang menjadi pusat perhatian mereka, di sisi lain dapat juga disaksikan dalam berbagai aktivitas mereka seperti dalam suatu pesta atau upacara-upacara adat dan bahkan dalam kegiatan membuka dan mengerjakan kebun baru (Mualit, 2003:21-36).

Berbicara tentang masyarakat suku Dani, terdapat banyak hal menarik dari keberadaan mereka, seperti berkaitan dengan sistem mata pencahariannya berupa kegiatan bercocok tanam dengan sistem ladang berpindah dan menggunakan teknologi peralatan yang sangat sederhana seperti penggunaan alat batu dan kayu (Maulana, 1994:52-53). Pemanfaatan teknologi peralatan tersebut mulai mengalami pergeseran seiring dengan berjalannya waktu dan masuknya pengaruh asing, yang mana mereka diperkenalkan beberapa jenis peralatan dari besi seperti sekop, kapak dan parang, namun demikain penggunaan alat dari kayu masih tetap dipertahankan dan bahkan untuk beberapa wilayah yang terisolasi masih memanfaatkan alat batu serta pengolahan lahannya pun masih dilakukan secara tradisonal dan masih berpegang pada insting dan aturan-aturan adat.

Bercocoktanam bagi masyarakat Suku Dani merupakan mata pencaharian utama yang bersifat subsistem yaitu untuk memenuhi kebutuhan sendiri, dengan tanaman petatas (hipere) sebagai tanaman utamanya. Aktivitas bercocoktanammerupakan

bagian yang sangat penting bagi kaum perempuan, walaupun dalam pelaksanaannya ada pembagian tugas yang jelas antara laki-laki dan perempuan (Seda, 1994:90). Berdasar paparan tersebut, ada hal yang menarik untuk diungkapkan yaitu bagaimana pengaruh budaya prasejarah pada pola bercocoktanam masyarakat Suku Dani.

Metode Penelitian

Dalam sejarah peradaban masyarakat Suku Dani, mereka mulai mendapat kontak dengan dunia luar pada akhir tahun 1990 oleh tim ekspedisi yang dipimpin oleh H.A. Lorentz berkebangsaan Belanda dan pada tahun-tahun selanjutnya terus

(3)

dilakukan ekspedisi hingga ekspedisi yang dilakukan oleh R. Archobold 1938-1939 yang sampai di lembah besar Baliem dan ia memberikan nama pada lembah tersebut “Grand Valey”. Dari semua ekpedisi yang dilakukan ke wilayah tersebut tercatat 44

ekspedisi sebelum tahun 1945. Adapun kontak dengan Suku Dani secara intensif baru dilakukan tahun 1954 pada era kemerdekaan Indonesia hingga kini (Alua, 2003:1-4). Walaupun demikian dalam kehidupan masyarakat Suku Dani hingga kini masih menunjukkan pola hidup yang bersifat tradisional dan yang paling menonjol adalah yang berkaitan dengan aktivitas bercocoktanam sebagai matapencaharian utamanya.

Kehidupan bercocoktanam tradisonal pada masyarakat Suku Dani cukup terkenal, hal ini sejalan dengan sejarah perkembangan pengetahuan mereka tentang pertanian, yang sejak tergesernya keladi dan huwi sebagai makanan pokok diganti ubi

jalar (ipomae batatas).

Keberadaan ubi jalar menurut Powell (1987) adalah tanaman pendatang yang berasal dari daratan Amerika Selatan yang masuk ke pegunungan tengah Irian Jaya pada + 1200 tahun yang lalu. Namun ada pendapat lain dari Aditjondro (1987) yang mengatakan bahwa ubi jalar baru masuk tiga abad lalu yang dibawa melalui kepulauan-kepulauan di Asia Tenggara (Walujo, 1994: 127-128). Walaupun masih terdapat perbedaan pendapat para ahli mengenai kapan dan dari mana ubi jalar (hipere)

berasal, namun telah membawa perubahan besar dalam kehidupan mata pencaharian masyarakat Suku Dani yang berkaitan dengan sistem bercocoktanamnya.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang ciri budaya prasejarah pada sistem bercocoktanam masyarakat Dani, digunakan metode penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengungkapkan dan memahami suatu fenomena yang ada dibalik kehidupan bercocoktanam mereka. Di samping itu juga digunakan pendekatan etnoarkeologi untuk menjelaskan keberadaan tinggalan arkeologi berupa kapak batu dan tugal, tentang fungsi dan perannya dalam kehidupan bercocoktanam masyarakat Dani.

Sistem Bercocoktanam Masyarakat Dani

Masyarakat Suku Dani adalah masyarakat petani dengan kegiatan bercocok-tanam sebagai mata pencaharian utamanya. Kegiatan bercocokbercocok-tanam muncul setelah

(4)

mereka mulai hidup menetap dan mengenal beberapa jenis tanaman yang dapat dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan makanan seperti keladi yang menjadi makanan pokoknya, di samping itu juga mereka masih tetap melakukan kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan di hutan. Baru setelah mereka mengenal ubi jalar sebagai tanaman yang dapat dibudidayakan dengan jumlah produksi lebih banyak dari keladi telah mempengaruhi pola bercocoktanamnya, dan kedudukan keladi yang tadinya sebagai makanan pokok mengalami pergeseran oleh kehadiran ubi jalar atau ipomae batatas atau dalam bahasa daerah disebut hipere yang sampai

saat ini menjadi makanan pokok mereka. Kehadiran ubi jalar telah mempengaruhi pola bercocoktanam mereka dan bahkan mereka menemukan suatu pola bercocoktanam yang handal apalagi didukung oleh ubi jalar yang dapat memberikan hasil yang lebih banyak daripada keladi dan juga sebagai tanaman yang cocok untuk dikembangkan di daerah pegunungan. Dalam kegiatan bercocoktanam masyarakat Suku Dani sudah menjadi suatu aturan yang disepakati berkenaan dengan adanya pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki memiliki tanggungjawab untuk membuka lahan baru, membuat pagar dan bedeng, sedangkan perempuan bertanggungjawab untuk menanam hingga panen hasil, hal ini yang membuat hampir sebagian besar waktu perempuan dihabiskan di kebun.

Berkait dengan kegiatan bercocoktanam, ada beberapa tahap yang harus dilalui seperti: 1). Pemilihan lahan untuk dijadikan kebun; perlu untuk diketahui

bahwa tanah bagi masyarakat Suku Dani adalah milik bersama klen dan anggotanya hanya mempunyai hak pakai dan memungut hasil, sehingga dalam pemilihan lahan untuk dijadikan ladang harus berdasarkan atas persetujuan bersama anggota kelompok klen, dan tanah yang akan dijadikan lahan untuk berkebun pun disesuaikan dengan hak ulayatnya, dan tetap memperhatikan tanda batas hak dengan kelompok lainnya. 2). Pembukaan lahan; setelah lahan disepakati untuk dijadikan kebun, kemudian

lahan tersebut mulai dikerjakan dengan menebang pohon dan menebas semak belukar yang ada. Biasanya kayu-kayu pohon yang berukuran besar diambil untuk dijadikan kayu pagar, setelah itu lahan tersebut dibiarkan beberapa hari hingga ranting, daun, semak dan rumputnya menjadi kering kemudian dilakukan pembakaran lahan, dan sebelum itu biasanya diberikan tanda batas bakar dengan lahan milik kelompok lainnya sehingga api tidak melampaui batas. Pembakaran lahan bertujuan untuk membebaskan mineral yang terkandung dalam bahan organik tumbuhan sehingga abu

(5)

yang dihasilkannya dapat menjadi sumber hara bagi tanaman (Sumarwoto, 2004). 3). Pembuatan pagar; pekerjaan selanjutnya yaitu kegitan saat ditancapan ke tanah,

di samping itu juga ada beberapa kayu yang dibelah seperti papan dan dibiarkan tepat panjang. Patok-patok yang tersedia kemudian ditancapkan ke tanah dan disusun berpasangan hingga mengelilingi kebun dan belahan kayu yang panjang (papan) tadi ditata horizontal dengan cara memasukkannya di antara patok dan disusun dari bawah ke atas cukup rapat, kemudian patok-patok yang berpasangan diikat dengan menggunakan rotan sehingga kuat dan belahan kayu yang diletakkan horizontal dapat tertahan atau tidak jatuh. Setelah itu pada ujung-ujung kayu pagar yang runcing diberi tumpukan rerumputan atau ilalang yang berguna untuk melindungi kayu pagar agar tidak cepat rusak dan tahan lama. Pagar yang dibuat berfungsi sebagai pelindung tanaman dari binatang (babi) dan juga sebagai pembatas tanah. Namun untuk kebun yang pernah digunakan dan telah ditinggalkan selama 4-5 tahun biasanya dalam pembuatan pagarnya hanya dilakukan perbaikan saja. 4). Pengolahan lahan; setelah

kegiatan membuat pagar selesai dilakukan, pekerjaan selanjutnya adalah pengolahan lahan dengan pembuatan bedeng– bedeng/petak tanah dan parit. Pembuatan bedeng dilakukan dengan cara mencangkul tanah kemudian menumpuknya setinggi kira-kira setengah meter dengan luas bedeng 10x5 meter, bedeng yang dibuat disesuaikan dengan keadaan permukaan tanah bukit atau mengikuti alur bukit dan di antara bedeng dibuatkan parit yang berfungsi sebagai saluran air karena daerah Wamena umumnya memiliki curah hujan yang cukup tinggi sehingga air hujan yang turun tidak sampai menggenangi tanaman ubi dan dapat langsung mengalir melalui parit ke luar dari kebun. Namun untuk daerah lembah berawa ukuran bedeng hampir sama namun lebih tinggi sekitar 1-1,5 meter yang berfungsi untuk melindungi tanaman dari genangan air sehingga umbinya tidak busuk tetapi memberikan hasil yang baik. yang sederhana misalnya seperti pada masa sebelum masuknya pengaruh asing (Zending dan Misi), Suku Dani menggunakan kapak batu (kapak lonjong) baik untuk memotong maupun untuk membelah kayu sedangkan untuk menggali kebun digunakan tugal (digging stick). Namun setelah pengaruh asing masuk dan mereka diperkenalkan dengan

peralatan dari besi seperti parang dan kapak untuk memotong dan membelah kayu, serta sekop untuk mengolah tanah, namun demikian tugal masih tetap digunakan

bahkan hingga sekarang ini dalam kegiatan berkebunnya. Setelah bedeng-bedeng siap untuk ditanami, biasanya dilakukan pembagian bedeng/petak-petak tanah berdasarkan

(6)

keluarga-keluarga dalam klen untuk mengolahnya yang didasarkan atas keputusan bersama, setelah itu semua pekerjaan kaum laki-laki selesai dan dilanjutkan oleh kaum perempuan.

Sebelum penanaman bibit ubi jalar dilakukan, terlebih dahulu dilakukan upacara kesuburan. Upacara kesuburan dilakukan dengan memotong babi dan dagingnya dimasak serta dibagi-bagikan kepada seluruh masyarakat yang mengikuti upacara tersebut sesuai dengan kedudukan mereka dalam adat. Selain itu darah babi yang dibunuh ditampung dalam daun pisang yang dibentuk seperti mangkok. Pada tengah malam tiba biasanya kepala kesuburan mengambil darah babi tersebut dan mulai membacakan mantera-mantera yang ditujukan kepada ni-numpu atau roh

nenek moyang yang berkuasa atas ubi jalar, dengan tujuan agar arwah leluhur itu menyertai dan memberkati bibit ubi jalar dan jenis tanaman lainnya supaya hasilnya melimpah, setelah itu darah babi dibawa ke kebun dan dipercikkan pada setiap bedeng atau mengelilingi kebun mengikuti pagar. Pada malam itu juga pada setiap bedeng ditanami dengan satu bibit ubi jalar. Umumnya pada acara ritual tersebut disertai

endawi yang berlangsung tiga hari dan selama itu pula dilarang melakukan kegiatan

di kebun baru, dan baru pada hari ke-4 setelah upacara, baru diperbolehkan untuk mengolahnya. Kegiatan menanam diawali dengan pemilihan bibit-bibit ubi menanami kebun. Kegiatan bercocoktanam merupakan tugas kaum wanita, mulai dari kegiatan menanam, memelihara, memanen hasil dan jalar/petatas, baru yang dilakukan oleh seorang ibu dari keluarga inti dan kadang kala juga dibantu oleh ibu-ibu yang lain. Masyarakat Suku Dani mengenal ada sekitar 70 jenis tanaman petatas yang dapat dibedakan berdasarkan warna ubi dan bentuk daun serta rasanya. Penanaman stek ubi dilakukan dengan membuat rongga di tanah menggunakan sekop, kemudian memasukkan stek ubi dan menutup kembali dengan tanah yang gembur lebih tinggi dari permukaan bedeng yang ada, dan antara setiap tanaman diberi jarak yang bertujuan untuk memudahkan di saat panen. Selain tanaman petatas (hipere) sebagai tanaman

utama mereka juga biasanya menanam tanaman selingan seperti keladi (hom/kom), tebu

(el), pisang (haki) dan lain-lain. Setelah kegiatan menanam selesai dilanjutkan dengan

pemeliharaan tanaman yaitu dengan membersihkannya dari tanaman liar dan kegitan ini tidak rutin dilakukan karena mereka harus mengambil makanan untuk kebutuhan sehari-hari di kebun lama. Setelah itu kira-kira tanaman siap dipanen (6-9 bulan) dan biasanya ini terjadi secara naluriah karena tanaman petatas merupakan makan pokok

(7)

yang diwariskan turun temurun sehingga mereka tahu kapan untuk memanennya dan jika telah tiba saatnya panenpun mulai dilakukan. Aktivitas memungut hasil panen dilakukan sepanjang musim dengan jumlah hasil panen cukup untuk makan sehari-hari, sebab masyarakat Dani tidak mengenal adanya lumbung/gudang penyimpanan makanan. Hasil panen selain untuk konsumsi sendiri juga ada yang dijual ke pasar, dengan jumlah barang jualannya disesuaikan dengan kebutuhan uang untuk membeli sesuatu atau kebutuhan lainnya. Kegiatan pengolahan hasil panen ada dua macam cara yaitu dimasak di kolam masak (bekse) dengan menggunakan batu panas (barapen)

dan juga dibakar secara langsung di atas api.

Teknologi Peralatan yang Digunakan

Kegiatan bercocoktanam masyarakat Dani ditunjang oleh beberapa bentuk teknologi peralatan sederhana seperti:

1. Kapak batu

Yaitu peralatan kerja yang terbuat dari batu keras yang diperoleh dari sungai dan telah memiliki bentuk seperti mata kapak dan mereka hanya melakukan sedikit pemangkasan pada bagian ujung untuk membentuk tajaman kemudian diasah sehingga halus dan tajam. Mata kapak yang telah jadi sebelum digunakan terlebih dahulu diikatkan pada sebatang kayu dengan erat sehingga tidak lepas dan ada juga mata kapak yang bagian pangkalnya hanya dimasukkan ke dalam kayu yang telah dilobangi salah satu sisinya. Batang kayu tersebut berfungsi sebagai gagang kapak saat digunakan. Kapak yang dibuat memiliki dua fungsi yaitu untuk menebang atau memotong kayu (yaga fi lik) dan kapak batu yang digunakan untuk membelah

atau mencincang kayu (yaga).

Pada masyarakat suku Dani sebelum mandapat pengaruh asing (masuknya Zending dan Misi) mereka masih menggunakan kapak batu dalam kehidupan sehari-harinya dan setelah mereka diperkenalkan dengan parang dan kapak besi untuk menebang dan membelah kayu mereka jarang bahkan tidak lagi menggunakan kapak batu. Tetapi keberadaan kapak batu dalam kehidupan mereka masih dapat ditemukan hingga saat ini dan pada beberapa daerah terasing, mereka masih menggunakan kapak batu dalam kehidupan sehari-harinya.

(8)

2. Tugal (Yali/Vabi/Sege)

Alat yang terbuat dari batang kayu utuh berdiameter 8-10 cm dengan memiliki ukuran panjang 2 - 2,5 meter. Kayu tersebut pada bagian pangkalnya dipotong hingga tajam (runcing). Alat ini berfungsi untuk menggali tanah saat membuat bedeng dan parit serta untuk menggembur tanah.

3. Sekop

Sekop adalah alat yang digunakan untuk mengolah tanah, terbuat dari kayu bagian pegangannya dan besi pipih pada bagian ujungnya yang digunakan untuk menggembur tanah. Sekop merupakan alat bercocoktanam yang diperkenalkan oleh Zending dan Misi pada masyarakat suku Dani.

4. Noken (Su)

Yaitu tas jaring yang terbuat dari pintalan tali yang dijalin hingga berbentuk seperti tas besar. Noken digunakan dengan cara menggantungnya di kepala wanita dan

berjuntai ke belakang. Alat ini berfungsi sebagai tempat untuk membawa hasil kebun berupa betatas dan sayuran untuk dimasak dan dimakan oleh keluarga dan babi.

Aspek-aspek yang Mempengaruhi

Kegiatan mata pencaharian masyarakat Suku Dani banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan lingkungan, keadaan sosial masyarakat, kekerabatan dan kepercayaannya.

• Aspek Lingkungan

Lingkungan adalah suatu kesatuan areal dengan segala sesuatu yang berada di dalamnya. Kesatuan areal tersebut akhirnya membentuk suatu sistem hubungan antarakomponen satu dan lainnya. Manusia sebagai salah satu komponen di dalamnya berusaha memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk kepentingannya. Ketergantungan masyarakat Suku Dani terhadap lingkungan telah mempengaruhi berbagai macam aktivitasnya, dalam hal ini yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup akan makanan, mereka mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam tentang barbagai macam

(9)

tumbuhan dan binatang di wilayahnya yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Pemanfaatan sumber daya alam terjadi melalui proses interaksi yang cukup panjang sehingga menghasilkan perilaku budaya seperti dalam

sistem mata pencahariannya. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi bentuk mata pencaharian masyarakat Suku Dani seperti tersedianya fl ora dan fauna sebagai sumber makanan yang mudah dalam cara perolehan

nya, dan juga keberadaan bukit dan lembah sebagai tempat berladang. Di samping itu keadaan iklim merupakan salah satu unsur lingkungan yang cukup berpengaruh, seperti curah hujan yang tidak merata yang tidak hanya berpengaruh terhadap manusia tetapi juga pada tumbuhan, misalnya dalam hal pemilihan tanaman petatas sebagai tanaman yang cocok dengan kondisi iklim tersebut.

• Aspek Kekerabatan

Bentuk kekerabatan masyarakat Suku Dani adalah hidup berkelompok yang didasarkan pada garis keturunan dari satu nenek moyang sehingga mendorong mereka untuk selalu menciptakan pola hidup bersama dalam silimo-silimo.

Hal ini juga terlihat dalam kegiatan mata pencaharian mereka

seperti dalam hal penguasaan lahan, sebagai milik bersama kelompok dan setiap anggotanya hanya mempunyai hak pakai dan memungut hasil. Pada bagian lain, dalam kegiatan pembukaan lahan yang dilakukan bersama-sama, mulai dari pembukaan hutan, penebangan pohon, pembuatan pagar, dan pembuatan bedeng-bedeng sebagai kerja yang berat dilakukan oleh kaum laki-laki sedangkan kaum perempuan pada saat yang bersamaan menyediakan makanan untuk mereka, kemudian pekerjaan selanjutnya seperti menanam, memelihara, memanen dan mengolah hasil dilakukan

oleh kaum perempuan (ibu) yang biasanya dibantu oleh anak-anaknya. • Aspek Kedudukan Sosial

Dalam kehidupan masyarakat Suku Dani kedudukan sosial tidak terjadi secara turun temurun, tetapi berdasarkan suatu usaha dan kerja keras. Pada kenyataannya dalam adat budaya mereka terdapat penggolongan masyarakat sehingga menampakkan adanya orang-orang yang memiliki kedudukan tertentu dalam masyarakat seperti adanya kepala suku, kepala klen, kepala

(10)

perang dan lain sebagainya. Di samping itu juga terlihat secara jelas adanya perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan yang hingga kini masih terlihat pada sistem matapencahariannya yaitu adanya pembagian tugas yang jelas antara laki-laki dan perempuan.

• Aspek Kepercayaan

Kepercayaan kepada roh nenek moyang telah mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat Suku Dani. Keberadaan roh nenek moyang dilambangkan dengan batu-batu keramat (kaneke) yang sangat mereka hormati. Kaneke tersebut mereka simpan dalam honai adat di suatu perkampungan

(silimo kanekela) dan hanya dapat dikeluarkan pada upacara-upacara tertentu

saja seperti upacara untuk kesejahteraan hidup dan perang. Upacara-upacara tersebut dilakukan sebagai upaya permohonan berkat dan pertolongan dari roh nenek moyang sehingga mereka berhasil dalam berkebun, berhasil dalam beternak, berhasil/menang dalam perang dan sebagainya. Upacara kaneke

dilakukan juga sebagai upaya menyeimbangkan suatu keadaan yang tidak harmonis sehingga menjadi selaras kembali.

Simpulan

Sistem bercocoktanam masyarakat suku Dani merupakan warisan yang terus mentradisi hingga saat ini, tanaman petatas (hipere) sebagai tanaman utama dan

juga merupakan makanan pokok. Dalam kegiatan tersebut ada pembagian tugas yang jelas antara laki-laki dan perempuan, dan ini sudah merupakan aturan adat yang masih tetap dipegang hingga sekarang.

Masuknya pengaruh asing, telah membawa sedikit perubahan dalam sistem bercocoktanam mereka, terutama dalam hal teknologi peralatan dari penggunaan kapak batu dan tugal (budaya prasejarah) diganti dengan kapak besi, parang dan

sekop, walaupun demikian penggunaan tugal masih tetap dipertahankan, termasuk

juga teknik bercocoktanamnya. Peralihan teknologi peralatan bercocoktanam tersebut merupakan gambaran proses perkembangan peradabannya.

Hasil kegiatan bercocoktanam umumnya hanya untuk dikonsumsi dan untuk upacara-upacara adat. Adapun teknik pengolahan makananya dengan cara dimasak

(11)

dalam kolam masak (bekse) dengan bakar batu. Mata pencaharian masyarakat Suku

Dani dipengaruhi oleh faktor lingkungan sebagai tempat mereka memperoleh makanan, faktor kekerabatan dalam hal penguasaan dan pengolahan serta pemanfaatan lahan, faktor kedudukan sosial dalam hal pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan serta adanya kedudukan tertentu dalam masyarakat, juga faktor kepercayaan yang merupakan dasar keyakinan mereka pada roh nenek moyang yang akan memberi keberhasilan.

(12)

Daftar Pustaka

Aditjondro, G.J. 1987. “Perkebunan Pangan di Pegunungan Tengah: Suatu Penyesuaian Sosio-Ekologis Yang Sangat Baik”; dalam Walujo, Eko B. 1994,

Pembangunan Masyarakat Pedesaan – Suatu Telaah Analitis Masyarakat Wamena Irian Jaya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Alua, Agus A. 2003. “Sekilas Sejarah Kontak Orang Dani Dengan Dunia Luar” dalam

Nilai-Nilai Hidup Masyarakat Hubula di Lembah Baliem Papua. Jayapura:

Biro Penelitian STFT Fajar Timur. Hlm 1-20.

Maulana, Ratnaesih. 1994.”Hubungan-Hubungan Lukisan Gua-Gua Prasejarah dan Tradisi Masyarakat Balim di Jayawijaya”, dalam Pembangunan Masyarakat Pedesaan, Suatu Telaah Analitis Masyarakat Wamena. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan.

Mualit, Thadeus N. 2003.”Beberapa Pola Komunitas Tradisional di Lembah Balim”, dalam Nilai-NIlai Hidup Masyarakat Hubula di Lembah Baliem Papua.

Jayapura: Biro Penelitian STFT Fajar Timur.

Powell, J.M. 1976. “Ethnobotany”; dalam Walujo, Eko B. 1994, Pembangunan Masyarakat Pedesaan – Suatu Telaah Analitis Masyarakat Wamena Irian Jaya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Prasetyo, Bagyo dan Erlin Djami. 2006. “Resistensi Budaya Neolitik pada Suku Ekagi, Kabupaten Paniai”, dalam Berita Penelitian Arkeologi Vol. 4. Balai

Arkeologi Jayapura.

Seda, Eri. 1994. ”Beberapa Catatan Mengenai Konfederasi dan Aliansi Pada Masyarakat Balim di Lembah Balim Irian Jaya, dalam Pembangunan Masyarakat Pedesaan, Suatu Telaah Analitis Masyarakat Wamena. Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan.

Soejono, RP. 1993. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka

Soemarwoto, Otto. 2004. “Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan”, Ed.

(13)

Walujo, Eko B. 1994. “Masyarakat Mukoko di Lembah Balim Irian Jaya: Suatu Tinjauan Etno Botani”, dalam, Pembangunan Masyarakat Pedesaan – Suatu Telaah Analitis Masyarakat Wamena Irian Jaya, LIPI. Jakarta: Pustaka Sinar

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Lakukan pengecekan pengujian untuk membuktikan password baru sudah dapat digunakan untuk login pada user root!... Buatlah sebuah user baru dengan

pembuangan dan itu mengakibatkan dampak bagi lingkungan di sekitar tetapi sekarang banyak ditemukan cara atau solusi untuk menangani dampak-dampak yang dihasilkan oleh limbah,

Skrining fitokimia dari ekstrak tanaman menunjukkan terdapatnya kandungan alkaloid, flavonoid, kuinon, triterpenoid, dan tannin pada kedua sampel.. Sandoricum

Dalam rangka mendukung pencapaian prioritas nasional sebagaimana telah ditetapkan dalam visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang dijabarkan dalam RPJMN periode

Pada bab kedua menjelaskan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu mengenai Teori Kebijakan Program UPK MP, Syarat Penerima SPP,

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan

Perkembangan kehidupan sosial sektor agraris khususnya buruh tani di Desa Wadung ditandai dengan adanya perubahan pola perilaku yang ditunjukkan.. Perubahan perilaku sosial yang

Hasil pengujian didasarkan pada hasil uji dengan menggunakan Crosstabs (tabel silang) serta melihat hasil uji Pearson Chi- Square yang dibandingkan dengan nilai