• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Korban Kejahatan Menurut Hukum Pidana Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Korban Kejahatan Menurut Hukum Pidana Indonesia"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEJAHATAN MENURUT

HUKUM PIDANA INDONESIA1 Oleh: Tirsha Aprillia Sinewe2

ABSTRAK

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dan bagaimana perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan menurut hukum pidana Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif disimpulkan: 1. Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi terhadap anak adalah bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikis/emosional dan kekerasan seksual, antara lain berupa: dicubit, didorong, digigit, dicekik, ditendang, disiram, ditempeleng disuruh push-up, disuruh lari, mengancam, diomeli, dicaci, diludahi, digunduli, diusir dipaksa bersihkan wc, dipaksa mencabut rumput, dirayu, dicolek, dipaksa onani, oral seks, diperkosa dan lain sebagainya. 2. Sangatlah penting untuk mengatur perlindungan terhadap korban kejahatan terlebih anak yang merupakan korban yang sangat rentan, perlindungan ini diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang di dalamnya diatur perihal perlindungan korban kejahatan secara komprehensif, seperti perlindungan fisik, finansial, psikis maupun medis dan yang terpenting bahwa perlindungan ditujukan pada korban kejahatan terhadap semua jenis kejahatan. Seperti yang sudah diberikan oleh UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014, UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, UU No, 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Kata kunci: Perlindungan hukum, anak, korban kejahatan.

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kekerasan sering terjadi terhadap anak, yang dapat merusak, berbahaya dan menakutkan. Anak yang menjadi korban

1

Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Frans Kalesaran, SH, MH; Michael G. Nainggolan, SH, MH, DEA

2

Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 120711259

kekerasan menderita kerugian, tidak saja bersifat matertial, tetapi juga bersifat immaterial seperti goncangan emosional dan psikologis, yang dapat mempengaruhi kehidupan masa depan anak. Bentuk-bentuk kekerasan anak dapat berupa tindakan kekerasan baik secara fisik, psikis maupun seksual.3

Di dalam media massa maupun televisi begitu sering kita mendengar anak-anak yang menjadi korban kekerasan yang dilakukan terhadapnya, baik kekerasan fisik terlebih kekerasan seksual. Anak menjadi korban daripada tindakan dari mereka yang tidak bertanggung jawab. Padahal anak dalam keluarga merupakan pembawa kebahagiaan. Memelihara kelangsungan hidup anak merupakan tanggung jawab orang tua, dan hal ini tidak boleh diabaikan. Di dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan, dimana dalam pasal ini mengatur hal-hal mengenai kewajiban orang tua, sebagai berikut:

1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus menerus meskipun perkawinan kedua orang tua putus.

Dan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, berbunyi: ^KŒ vP šµ Ç vP o Z Ç vP pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani, maupun sos] o_X

Z v l[ sebagai bagian dari generasi muda merupakan mata rantai awal yang penting dan menetukan dalam upaya menyiapkan dan mewujudkan masa depan bangsa dan negara. Anak merupakan generasi yang akan meneruskan perjuangan dan cita-cita seluruh bangsa di belahan bumi ini. Hal ini secara tegas dirumuskan dalam butir c Konsiderans Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang Œ µvÇ]W ^ ZÁ v l o Z šµv •U‰}š v•]U

3

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan, Refika Aditama, Bandung, 2013, hlm. 2.

(2)

dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.4

Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai dilahirkan mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat perlidungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.5 Darwan Prinst mengatakan bahwa anak adalah bagian dari generasi muda, sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita bangsa. Anak memiliki peranan startegis dalam rangka menjamin pertumbuhan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.6

Pada hakekatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri terhadap berbagai ancaman mental, fisik dan sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Kalau ditelusuri dengan teliti, rasa kasih sayang adalah merupakan kebutuhan psikis yang paling mendasar dalam kehidupan manusia.

Dewa Ketut Sukardi dikatakan bahwa:

^ ‰ ]o v l-anak pernah atau kurang merasakan kasih sayang orang tuanya, maka tidak bisa dipungkiri akan menimbulkan penderitaan batin pada anak tersebut. Akibat adanya penderitaan batin pada anak karena tidak tercurahnya rasa kasih sayang dari orang tua, akan mengakibatkan kesehatan badan anak terganggu, kecerdasan anak berkurang, kelakuannya mengarah kepada keras kepala dan nakal. Hakekat dari pembinaan anak sesungguhnya bersandar pada hati nurani }Œ vP šµ _X7

Perlindungan hukum anak atau perlindungan anak secara yuridis dapat meliputi perlindungan hukum anak dalam bidang hukum perdata dan dalam bidang hukum publik. Perlindungan anak dalam bidang

4

Anonimous, UU Perlindungan Anak, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pustaka Mahardika, Yogyakarta, 2015, hlm. 2.

5

H.R Abdussalam dan Adri Deasasfuryanto, Hukum Perlndungan Anak, PTIK, Jakarta, 2014, hlm. 1.

6

Darwan Prinst, Hukum Anak di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 2.

7

Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan Perkembangan Jiwa Anak, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 63-64.

hukum publik diantaranya meliputi hukum pidana materil dan hukum pidana formil.

Jika menelusuri lebih dalam tentang pengertian perlidungan anak, terlihat bahwa telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang tealh diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, dimana Pasal 1 angka 2 memberikan batasan perlindungan anak sebagai berikut:

^W Œo]v µvP v v l o Z • P o l P] š v

untuk menjamin dan melindungi anak-anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan

Œ] l l Œ • v v ]•lŒ]u]v •]_X

Dari batasan tentang perlindungan anak yang diberikan oleh Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2002 yang diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, maka anak perlu untuk dilindungi dari apapun yang akan terjadi pada dirinya. Anak mudah sekali untuk menjadi korban dari segala bentuk tindakan kekerasan ataupun kejahatan karena anak belum bisa untuk melakukan hal-hal untuk melindungi dirinya

sendiri dengan baik.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan menurut hukum pidana Indonesia? C. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.8 Adapun data sekunder dalam skripsi ini mencakup :

- Bahan hukum primer, yang terdiri dari

peraturan perundang-undangan dalam hal ini berupa: UU No. 1/1974, UU No. 4/1979, UU No. 11/2012, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 /2002.

8

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 13.

(3)

- Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti, karya-karya tulis dari kalangan hukum, pendapat para pakar hukum yang berkaitan dengan isi dari skripsi.

- Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti, kamus hukum.

Bahan hukum yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisis secara normatif kualitatif. PEMBAHASAN

A. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) akan kita dapati pasal-pasal yang menyangkut tindakan kekerasan terhadap anak, baik itu berupa kekerasan fisik, kekerasan emosional atau mental maupun kekerasan seksual. Pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tergolong sebagai kekerasan fisik

1. Pasal 297 KUHP, tentang:

^‰ Œ P vP v Á v]š v ‰ Œ agangan anak laki-o l] Ç vP oµu Á • U_9 2. Pasal 301 KUHP, tentang:

^u u Œ] š µ u vÇ Œ Zl v l ‰ orang lain seorang anak yang dibawah kekuasaanya yang sah dan yang umurnya kurang dari dua belas tahun, padahal diketahuinya bahwa anak itu akan dipakai untuk atau di waktu melakukan pengemisan atau untuk pekerjaan yang berbahaya atau yang dapat merusak l • Z š vvÇ _10

3. Pasal 330 KUHP, tentang:

^• vgaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu dan bilamana hal tersebut dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap anak yang belum berumur dua

o • š Zµv_11

4. Pasal 331 KUHP, tentang:

9 KUHAP dan KUHP, Sinar Grfaika, Jakarta, 2013, hlm. 102.

10 Ibid, hlm. 103. 11 Ibid, hlm. 112.

^• vP i u vÇ u µvÇ]l v }Œ vP Ç vP belum dewasa yang ditarik atau menarik diri sendiri dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas

]Œ]vÇ _12

5. Pasal 332 KUHP, tentang:

^u u Á ‰ ŒP] • }Œ vP Á v]š Ç vP belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik didalam maupun di luar ‰ Œl Á]v v_13

6. Pasal 341 KUHP, tentang:

^• }Œ vP ] µ Ç vP l Œ v š lµš l v ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian dengan sengaja merampas vÇ Á v lvÇ _14

7. Pasal 351 KUHP, tentang:

^‰ vP v] Ç v Ç vP u vP l] šl v luka-oµl Œ š v l u š] v_15

8. Pasal 352 KUHP, tentang:

^‰ vP v] Ç v Ç vP š] l u v]u µol v ‰ vÇ l]š_16

9. Pasal 353 KUHP, tentang:

^‰ vP v] Ç v vP v ]Œ v v l v

terlebih dahulu yang mengakibatkan luka-oµl Œ š v l u š] v_

10.Pasal 354 KUHP, tentang:

^• vP i u oµl ] Œ š }Œ vP o ]v v Ç vP u vP l] šl v l u š] v_17

11.Pasal 355 KUHP, tentang:

^‰ vP v] Ç v Œ š Ç vP ]Œ v v l v • Z]vPP u vP l] šl v l u š] v_18 b. Tergolong sebagai kekerasan emosional

1. Pasal 310 KUHP, tentang:

^• vP i u vÇ Œ vP l Z}Œu š v š µ nama baik seseorang dengan u vµ µZl v • •µ šµ Z o_19

c. Tergolong kekerasan seksual 1. Pasal 281 KUHP, tentang:

^• vP i v š Œ µl u o nggar kesusilaan, juga di depan orang lain

12 Ibid, hlm. 113. 13 Ibid. 14 Ibid, hlm. 116. 15 Ibid, hlm. 118. 16 Ibid. 17 Ibid, hlm. 18. 18 Ibid. 19 Ibid, hlm. 107.

(4)

yang ada disitu dan bertentangan vP v l Z v lvÇ _20

1. Pasal 283 KUHP, tentang:

^• vP i u v Á Œl vU u u Œ]l v untuk terus atau untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa, dan membacakan isi tulisan yang melanggar kesusilaan di muka orang yang belum

Á • _21

2. Pasal 287 KUHP, tentang:

^ Œ• šµ µZ vP v • }Œ vP Á nita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya diduga bahwa µuµŒvÇ oµu o]u o • š Zµv_22

3. Pasal 289 KUHP, tentang:

^ vP v l l Œ • v š µ v u v

kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan ‰ Œ µ š v µo_23

4. Pasal 290 KUHP, tentang:

^u o lµl v ‰ Œ µ š v µo vP v seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa µuµŒvÇ oµu o]u o • š Zµv_24

5. Pasal 294 KUHP, tentang:

^u o lµl v ‰ Œ µ š v µo vP v anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya

]• Œ Zl v l ‰ vÇ _25

6. Pasal 295 KUHP, tentang:

^• vP i u vÇ l v š µ

memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan

20 Ibid, hlm. 95. 21 Ibid. hlm. 97. 22 Ibid, hlm. 98. 23 Ibid, hlm. 99. 24 Ibid. 25 Ibid, hlm. 100.

atau penjagaannya diserahkan l ‰ vÇ _26

B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Kejahatan Menurut Hukum Pidana Indonesia

Berikut ini akan dibahas tentang perlindungan hukum yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan terhadap anak sebagai korban kejahatan.

1. UU No. 35 Tahun 2014 yang mengubah UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, ditegaskan dalam Pasal 21 sampai Pasal 25, yang meliputi kewajiban dan tanggung jawab:

1. menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21);

2. memberikan dukungan sarana dan prasaran dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22);

3. menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kewsejahteraan anak dengan memeperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23);

4. menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (pasal 24). Dalam Hukum Nasional, perlindungan anak telah memperoleh dasar pijakan yuridis diantaranya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional serta UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang mengubah UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak.

Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 dengan tegas u vÇ µšl vW _^ š] ‰ v l ŒZ l š • kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan

26

(5)

dan diskriminasi, sedangkan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak memberikan pengaturan yang jelas dan komprehensif tentang perlindungan anak yang pada pokoknya bertujuan untuk memberikan jaminan dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaaan, serta memeproleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dalam Pasal 59 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 diatur perihal kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan lembaga negara lainnya, untuk memberikan perlindungan khusus kepada:

1. anak dalam situasi darurat;

2. anak yang berhadapan dengan hukum; 3. anak dari kelompok minoritas dan

terisolasi;

4. anak tereksploitasi secara ekonomi dan/aataus eksual;

5. anak yang diperdagangkan;

6. anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; 7. anak korban penculikan, penjualan dan

pedagangan;

8. anak korban kekerasan, baik fisik dan/atau mental;

9. anak korban kejahatan seksual; 10. anak korban jaringan terorisme; 11. anak penyndang disabilitas;

12. anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

13. anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan

14. anak yang menajdi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya.27

Sementara itu, perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana dilaksanakan melalui:

1. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;

2. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;

27

UU No, 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pustaka Mahardika, Yogyakarta, 2015, hlm. 25.

3. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial; dan

4. pemberian aksesibilitas utnuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

2. UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Memberikan perlindungan kepada korban tindak pidana terorisme terutama anak adalah sangat penting (urgent) karena pada kenyataannya bahwa memang korban kejahatan, kejahatan apa saja belumlah memperoleh perlindungan yang memadai. Di dalam Undang-undang ini, kepada korban kejahatan diberikan hak untuk mendapatkan Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi yang termuat dalam Bab VI Pasal 36 sampai dengan Pasal 42.28

Kompensasi merupakan bentuk tanggung jawab negara untuk melindungi setiap warga negara/setiap orang yang tinggal dalam negara tersebut sedangkan restitusi adalah bentuk tanggung jawab yang harus dipikul oleh pelaku atas akibat yang ditimbulkan karena kesalahan yang dilakukannya kepada korban atau ahli warisnya.

Dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 yang dengan UU No. 15 Tahun 2003 menjadi UU, pengertian kompensasi adalah pengertian yang bersifat materi dan immateril; tidak dicantumkan tentang berapa besarnya kompensasi yang harus diterima oleh korban; tidak menentukan bentuk kerugian immaterial yang bagaimana yang akan diberikan.

Tentang Restitusi, harus diajukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan. Sedangkan Rehabilitasi adalah pemulihan hak seseorang berdasarkan putusan pengadilan pada kedudukan yang semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, atau hak-hak lain. Dan tentang hal ini diatur dalam Pasal 37.

Dalam Pasal 36 disebutkan bahwa kompensasi yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan

28

Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tindak Pidana Pencucian uang dan Teroris, Fokus Media, Bandung, 2011, hlm. 200-202.

(6)

restitusi yaitu ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi ini dapat berupa: a. pengembalian harta milik;

b. pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau

c. penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

Selain pemberian kompensasi dan restitusi maka bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada korban adalah memberikan konseling. Konseling adalah merupakan suatu bentuk bantuan yang sangat cocok diberikan kepada korban kejahatan yang menyisakan trauma berkepanjangan dan juga sebagai akibat munculnya dampak negative yang sifatnya psikis dari suatu tindak pidana.

Bentuk perlindungan yang lain yang dapat diberikan kepada korban kejahatan termasuk adalah pelayanan/ bantuan medis, bantuan hukum yang merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban baik diminta maupun tidak diminta oleh korban kemudian pemberian informasi yang harus diberikan kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan yang dialami oleh korban.

3. UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 menganut pengertian korban dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan, tidak hanya secara fisik atau mental atau ekonomi saja, tetapi bisa juga kombinasi di antara ketiganya. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 3 yang menyebutkan bahwa: _< v

adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang

] l] šl v }o Z •µ šµ š]v l ‰] v X_29

Dalam Pasal 1 angka 8 disebutkan bahwa:

^W Œo]v µvP v adalah segala upaya pemenuhan

hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan saksi dan Korban atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-hv vP ]v]_X

29

UU No. 31 Tahun 2014 tentang perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hlm. 3.

Berdasarkan pada ketentuan yang disebutkan dalam UU No. 31 Tahun 2014 ini, jelas bahwa pembentuk undang-undang sudah bergeser konsep pemikirannya dengan memikirkan untuk memberikan perlindungan yang maksimal juga kepada korban bukan hanya untuk pelaku kejahatan saja sebagaimana yang sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), demikian halnya untuk anak yang rentan untuk menjadi korban kejahatan. Hal ini jelas terlihat pada Pasal 3 yang menyebutkan bahwa :

^W Œo]v µvP vSaksi dan Korban berasaskan pada:

a. penghargaan atas harkat dan martabat manusia;

b. rasa aman; c. keadilan;

d. tidak diskriminatif; dan e. kepastian hukum.

Berlandaskan pada ketentuan Pasal 3 UU No. 13 Tahun 2006 yang diubah dengan UU No. 31 Tahun 2014 ini maka selayaknyalah dan sangatlah penting untuk memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan, karena prinsip-prinsip dasar perlindungan terhadap korban kejahatan mengacu pada dilanggarnya hak asasi korban sendiri. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang ini mengatur beberapa hak yang diberikan kepada saksi dan korban, yang meliputi:

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang , atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan

menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah;

e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi mengenai

perkembangan kasus;

g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

i. dirahasiakan identitasnya; j. mendapat idenstitas baru;

k. mendapat temoat kediaman sementara; l. mendapatkan tempat kediaman baru;

(7)

m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n. mendapat nasehat hukum;

o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir dan/atau

p. mendapat pendampingan.

Selanjutnya dalam Pasal 6 disebutkan bahwa: (1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang

berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual dan korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan:

a. bantuan medis; dan

b. bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.

Dari bunyi Pasal 6, jelas bahwa UU No. 31 Tahun 2014 yang mengubah UU No. 13 Tahun 2006 ini memberikan perlindungan maksimal dan baik terhadap korban kejahatan, baik itu korban anak maupun korban orang dewasa. Selain perlindungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 dan Pasal 6, dalam Pasal 7 dan 7A disebutkan bahwa korban tindak pidana berhak µvšµl u v ‰ šl v ^W u Ç Œ v <}u‰ v• •]

v Z •š]šµ•]_X vtuk Restitusi yang diberikan kepada korban tindak pidana dalam Pasal 7A ayat (1) adalah:

a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;

b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.

Dalam UU ini pula diatur pula tentang sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban, yang dinamakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Lembaga ini merupakan lembaga yang mandiri dan berkedudukan di ibu kota Negara Republik Indonesia.

PENUTUP A. Kesimpulan

1. Bahwa bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi terhadap anak adalah bentuk kekerasan fisik, kekerasan

psikis/emosional dan kekerasan seksual, antara lain berupa: dicubit, didorong, digigit, dicekik, ditendang, disiram, ditempeleng disuruh push-up, disuruh lari, mengancam, diomeli, dicaci, diludahi, digunduli, diusir dipaksa bersihkan wc, dipaksa mencabut rumput, dirayu, dicolek, dipaksa onani, oral seks, diperkosa dan lain sebagainya.

2. Bahwa sangatlah penting untuk mengatur perlindungan terhadap korban kejahatan terlebih anak yang merupakan korban yang sangat rentan, perlindungan ini diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang di dalamnya diatur perihal perlindungan korban kejahatan secara komprehensif, seperti perlindungan fisik, finansial, psikis maupun medis dan yang terpenting bahwa perlindungan ditujukan pada korban kejahatan terhadap semua jenis kejahatan. Seperti yang sudah diberikan oleh UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014, UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, UU No, 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

B. Saran

Sudah waktunya KUHP dan KUHAP sebagai Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil di reformasi agar dapat memberikan perlindungan hukum yang maksimal kepada korban kejahatan terlebih anak yang merupakan generasi penerus bangsa, seperti halnya yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan lainnya, karena korban seperti halnya pelaku perlu untuk diperhatikan dalam hal memperoleh hak-haknya.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi., Perlindungan Hukum Bagi Anak, Makalah Seminar Nasional Peradilan Anak, FH UNPAD, Bandung, 1996. Abdussalam, H.R.dan Adri Desasfuryanto.,

Hukum perlindungan Anak, PTIK, Jakarta, 2014.

Atamasasmita, Romli., Problema Kenakalan Anak dan Remaja, Armico, Bandung, 1984.

(8)

Drajat, Zakiah., Kesehatan mental, Inti Idayu Press, Jakarta, 1983.

Gultom Maidin., Perlindungan Hukum terhadap Anak Dan Perempuan, Refika Aditama, Bandung, 2013.

Gosita, Arief., Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta, 1989.

..., Pengembangan Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam UU Peradilan Anak; Tanggung Jawab Bersama, Makalah Dalam Seminar Nasional peradilan Anak, FH UNPAD, Bandung, 1996.

Hurairah, Abu., Kekerasan Terhadap Anak, Fenomena Masalah Sosial Krisis di Indonesia, Nuansa, Bandung, 2006.

Irwanto, Perlindungan Anak dan Persoalan Mendasar, Makalah Dalam Seminar Kondisi dan Penanggulangan Aanak jermal, Medan, 1997.

Jono, Muh, dan Zuehaina Z Tanowas., Aspek Hukum perlindungan Anak (Dalam Perspektif Konvensi Hukum Anak), Citra Sfitya Bakti, Bandung, 1999.

Mansur, Dikdik M, Arief dan E. Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan; Antara Norma dan Realita, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.

Muladi., Perlindungan Korban Dalam Sistem Peradilan pidana; Kumpulan

Karangan HAM, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1997.

Prinst, Darwan., Hukum anak di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Soekanto, Soerjono, Intisari Hukum keluarga, Alumni, Bandung, 1980.

...dan Sri Mamudji., Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003.

Siregar, Bismar., Hukum dan Hak-Hak Anak, Rajawali, Jakarta, 1986.

Simanjuntak. B dan I.L. Pasaribu., Kriminolgi, Tarsito, Bandung, 1984.

Soeparman H. Parman., Pengaturan Hukum Menhajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, Refika Aditama, Bandung, 2007. Soemitro, Irma Setyowati., Aspek Hukum

perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990.

Sukardi, Dewa Ketut., Bimbingan Perkembangan Jiwa Anak, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.

Wahid Abdul dan Muh. Labil., Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007. Wadong, Maulana, Hasan., Pengantar Advokasi

dan Hukum Perlindungan Anak, Gramedia Widiaprasarana Indonesia, Jakarta, 2000. SUMBER LAIN:

UU No. 35 Tahun 2014 Tentang perobahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perobahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban.

KUHAP dan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2013. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan

Tindak Pidana Pencucian Uang dan Terorisme, Fokus Media, Bandung, 2011. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Referensi

Dokumen terkait

Research result: The research result shows 4 themes on female circumcision which includes perception towards female circumcision, time of implementation,

Untuk perusa haan ini jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan pada setiap periode dapat dikatakan sudah tertentu dan independen dari pasar modal.. Oleh karena itu

Dalam implementasi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 41 mengenai fungsi pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terhadap Anggaran Pendapatan dan

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai suatu bentuk konstribusi dalam pengembangan ilmu Matematika terapan, khususnya aplikasi metode beda hingga eksplisit

Pada tingkat pelayanan ini, tersedia ruang yang cukup bagi pejalan kaki untuk memilih kecepatan berjalan normal dan mendahului pejalan kaki lain terutama yang bergerak

Berdasarkan hasil pengolahan analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya mengenai pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan konsumen jasa

Dengan demikian maka menjaga kebersihan pesantren merupakan hal yang sangat penting dan sebagai upaya hidup sehat sekaligus penanaman karakter peduli terhadap lingkungan

The objective is to combine the benefits of case study method of teaching with online discussion forum to enhance the quality of learning while making this an assessment component