A. Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1
angka 14 adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja
yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian
kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan
dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan
kewajibanpengusaha
Subekti mengemukakan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara
seorang buruh dengan majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya
suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda “dierstverhanding”) yaitu suatu hubungan berdasarkan
mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus
ditaati oleh pihak yang lain (buruh).3
Menurut Djumadi bahwa perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda
sering disebut dengan istilah arbeidsovereenkoms dapat diartikan dalam beberapa
pengertian. Pengertian tersebut antara lain tertuang dalam Pasal 1601a Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu :
3
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu si buruh,
mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak lain, si majikan untuk
suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah”. dari
pengertian tersebut memang dapat dikatakan bahwa antara pemilik modal
(pengusaha) dengan pekerja/ buruh memang mempunyai hubungan yang saling
bergantung satu sama lain, pihak pekerja/ buruh akan mendapatkan upah jika dia
bekerja sesuai dengan perintah majikan dan majikan/ pengusaha akan memberikan
upah jika pekerja/ buruh bekerja sesuai dengan perintahnya.
Perjanjian kerja yang didasarkan pada pengertian Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak disebutkan bentuk perjanjiannya
tertulis atau lisan, demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak
sebagaiman sebelumnya diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997
tentang Ketenagakerjaan.4 bagi perjanjian kerja tidak dimintakan bentuk yang
tertentu. Jadi dapat dilakukan secara lisan, dengan surat pengangkatan oleh pihak
pengusaha atau secara tertulis, yaitu surat perjanjian yang ditandatangani oleh
kedua belah pihak. Undang-undang hanya menetapkan bahwa jika perjanjian
diadakan secara tertulis, biaya surat dan biaya tambahan lainnya harus dipikul
oleh pengusaha. Apalagi perjanjian yang diadakan secara lisan, perjanjian yang
dibuat tertulispun biasanya diadakan dengan singkat sekali, tidak memuat semua
hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata “overeenkomst”, Achmad
ichsan menerjemahkan „verbintenis‟ dengan „perjanjian‟ dan „overeenkomst‟
4
dengan „persetujuan‟. Menurut E. Utrecht dalam bukunya “Pengantar dalam
Hukum Indonesia‟, memakai istilah „Verbintenis‟ dengan „perutangan‟ dan
„overeenkomst‟ dengan „perjanjian‟. Verbintenis berasal dari kata kerja
„verbinden‟ yang artinya „ mengikat‟. Jadi, „verbintenis‟ menunjuk pada adanya
ikatan atau hubungan. Hal ini memang sesuai dengan definisi „verbintenis‟
sebagai suatu hubungan hukum. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka
cenderung digunakan istilah perikatan untuk terjemaham verbintenis. Sedangkan
istilah „overeenkomst‟ berasal dari kata „overeenkomen‟ yang artinya setuju atau
sepakat. Jadi „overeenkomst‟ mengandung arti kata „sepakat‟ sesuai dengan asas
konsensualisme yang dianut oleh KUHPerdata. Dengan demikian istilah yang bisa digunakan untuk „overeenkomst‟ adalah perjanjian dan „verbintenis‟ diartikan
sebagai perikatan.5
Hakekat antara perikatan dan perjanjian pada dasarnya sama, yaitu
merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun
pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab hubungan hukum yang ada
dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari aturan
perundang-undangan. Hal lain yang membedakan keduanya adalah bahwa
perjanjian pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan para pihak, jadi
sumbernya benar-benar kebebasan pihak-pihak yang ada untuk diikat dengan
perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata.
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, Perjanjian adalah perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
5
lebih. Maka, dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang
atau lebih yan disebut Perikatan yang didalamnya terdapat hak dan kewajiban
masing-masing pihak.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut
yang dinamakan perikatan. Perjanjian ini menerbitkan suatu perikatan antara dua
orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan dan
ditulis.6
Beberapa Sarjana Hukum yang memberikan definisi mengenai perjanjian
sebagai berikut:
1. Menurut R. Setiawan:
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di mana seseorang berjanji
kepada seorang lain atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih.7
2. Menurut R.Subekti:
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada
seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.8
6
R. Subekti ,Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.1
7
3. Menurut M.Yahya Harahap:
Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan
hukum kekayaan atau harta kekayaan antara dua orang atau lebih yang
memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh potensi dan
sekaligus kewajiban pada pihak ain untuk menunaikan prestasi.”9
Istilah “Hukum Perjanjian” mempunyai cakupan yang lebih sempit dari
istilah “Hukum Perikatan”. Jika dengan istilah “Hukum Perikatan” dimaksudkan
untuk mencakup semua bentuk perikatan dalam buku ketiga KUH Perdata, jadi
termasuk ikatan hukum yang berasal dari perjanjian dan ikatan hukum yang terbit
dari undang-undang, maka dengan istilah “Hukum Perjanjian” hanya
dimaksudkan sebagai pengaturan tentang ikatan hukum yang terbit dari perjanjian
saja.10
Menurut R.Soeroso, istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda
overeenkomst dan verbitenis. Di berbagai perpustakaan dipergunakan
bermacam-macam istilah seperti:
1. Dalam KUH Perdata digunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan
perjanjian untuk overeenkomst.
2. Utrecht, dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia menggunakan
istilah perutangan untuk verbintenis dan perjanjian untuk
overeenkomst.
8
R.Subekti , Op,Cit, hlm.2
9
M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1992, hlm.9
10
3. Ikhsan dalam bukunya Hukum Perdata Jilid I menerjemahkann
verbintenis dengan perjanjian dan overeenkomst dengan persetujuan.11
Hal tersebut berarti bahwa untuk verbintenis terdapat tiga istilah Indonesia,
yaitu perikatan, perjanjian, dan perutangan sedangkan untuk istilah overeenkomst
dipakai dua istilah, yaitu perjanjian dan persetujuan. Pasal 1313 ayat (1) KUH
Perdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Antara perikatan yang bersumber dari perjanjian dengan perikatan yang
bersumber dari undang-undang terdapat perbedaan sebagai berikut :
1. Perikatan yang lahir dari perjanjian menimbulkan hubungan hukum
yang memberikan hak dan meletakkan kewajiban kepada para pihak
yang membuat perjanjian berdasarkan atas kemauan dan kehendak
sendiri dari para pihak yang bersangkutan yang mengikatkan diri
tersebut; sedangkan
2. Perikatan yang lahir dari undang-undang adalah perikatan yang terjadi
karena adanya suatu peristiwa tertentu sehingga melahirkan hubungan
hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak yang
bersangkutan, tetapi bukan berasal atau merupakan kehendak para
pihak yang bersangkutan melainkan telah diatr dan ditentukan oleh
undang-undang.12
11
R Soeroso,Perjanjian Di Bawah Tangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal. 3
12
B. Asas-asas Perjanjian
Kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian)
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu
sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan
kepadanya kebebasan untuk berkontrak .
Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia
memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah
satu pihak yang membuat perjanjian, Tanpa sepakat maka perjanjian yang
dibuat dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan
sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio
interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin
dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu
untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak
mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan
tidak terlaksana (take it or leave it).
Menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat
perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang
hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat
Undang-Undang Hukum Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa
setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat
perianjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih
lanjut dalam pasal 1331, ditentukan bahwa andaikatapun seseorang membuat
perjianjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap menurut pasal 1330 KUH
Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut
pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi
sentral di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi
aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan
kontraktual para pihak. Asas ini dilatarbelakangi oleh paham individualisme
yang secara embrional lahir dari zaman yunani, dilanjutkan oleh kaum
Epucuristen dan berkembang pesat pada zaman renaissance (dan semakin
ditumbuhkembangkan pada zaman Aufklarung) melalui antara lain
ajaran-ajaran Huo dan Groot, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Rousseau.
Perkembangan ini mencapai puncaknya setelah priode revolusi Prancis13.
Sebagai asas yang bersifat universl yang bersumber dari paham hukum, asas
kebeban berkontrak (freedom of contract) muncul bersamaan dengan lahirnya
paham ekonomi klasik yang mengangungkan laissaez faire atau persaingan
bebas.
13
Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari
kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi
semangat liberalism yang mengagungkan kebebsan individu. Perkembangan ini
seiring dengan penyusunan BW di negeri belanda dan semangat liberalisme ini
juga dipengaruhi semboyan revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite” yang
artinya kebebsan, persamaan dan persaudaraan. Menurut paham individualism
setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementar itu di
dalam hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan
berkontrak.
Buku III KUHPerdata menganut system terbuka, artinya hukum member-
keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur untuk mengatur sendiri pola
hubungan hukumya. Apa yang diatur dalam buku III KUHPerdata hanya sekedar
mengatuur dan melengkapi (regelend recht-aanvullendrecht ). Hal ini berbeda
dengan pengaturan Buku II KUHPerdata yang menganut system tertutup atau
bersifat memaksa (dwinged recht), dimana para pihak dilarang menyimpangi
aturan-aturan yang ada di dalam Buku II KUHperdata tesebut.
Sistem terbuka Buku III KUHPerdata ini tercermin dari pasal 1338 (1) KUHperdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Menurut
Surbekti, cara menyimpulkan asas kebebasan berkontrak ini adalah dengan jalan menekankan pada perkataan “semua” yang ada di muka perkataan “perjanjian”.
Dikatakan bahwa pasal 1338 ayat (1) KUHperdata itu seolah-olah membuat suatu
undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dalamnya
terkandung asas partij autonomi, freedom of contract; beginsel van de contract
vrijheid; memang sepenuhnya menyerahkan kepada para pihak mengenai isi
maupun bentuk perjanjian yang akan mereka buat, termasuk penuangan dalam
bentuk kontrak standart. Kebebasan berkontrak disini memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apapun
(tertulis, lisan, scriptless, paperless, otentik, non otentik), serta dengan isi atau
subtansi sesuai yang diinginkan para pihak.
Asas kebebasan berkontrak seseorang pada umumnya mempunyai pilihan
bebas untuk mengadakan perjanjian14. Di dalam asas ini terkandung suatu
pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian,
bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang
diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian15. menurut
Sutan Remy Sjahdeini16 asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian
Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:
a. Kebebasan untuk membuat dan tidak membuat perjanjian;
b. Kebebasan untuk memillih pihak dengan siapa ia ingin membuat
Peter Mahmud Marzuki, batas-batas kebebasan Berkontrak, yurika, volume 18 No.3, Mei 2003, hlm. 195-196
15
Loc., Cit.
16
d. Kebebesan untuk menentukan objek perjanjian;
e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang
yang bersifat opsional (aanvulled, optional);
Suhardi17 mengemukakan bahwa kebebasan dan kesamaan yang diotoritas
oleh tertib hukum abad XIX yang jiwanya individualis tidak member garansi
untuk realisasi hakikat maupun eksistensi manusia sebagai bagian dari rakyat
terbanyak. Penguasa Negara tidak berkuasa mencampuri hubungan-hubungan
keperdataan karena dipandang melanggar hak kebebasan manusia. Untuk
kepentingan mempertahankan kodrat kebebasan, maka golongan terbanyak yang
social ekonominya lemah harus menderita berat dan mengorbankan kesempatan
realisasi hakikat eksistensi mereka sendiri. Kegamangan tentang eksistensi
kebebsan berkontrak juga diungkapkan oleh soepomo18 yang menyatakan bahwa:
“BW mempunyai landasan liberalism, suatu system berdasarkan
atas kepentingan individu. Mereka yang memiliki modal yang kuat
yang menguasai mereka yang lemah ekonominya. Di dalam system
liberal terdapat kebebasan yang luas untuk berkompetisi sehingga
golongan yang lemah tidak mendapat perlindungan”.
1. Asas Konsensualisme
Apabila dicermati ketentuan di dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
yang menyatakan bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
17
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1991, hlm. 43-44.
18
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Kata “secara sah”
bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah adalah mengikat (vide
pasal 1320 KUHPerdata), karena dalam asas ini terkandung “kehendak para
pihak” untuk saling meningkatkan diri dan menimbulkan kepercayaan
(vertrouwen ) di antara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Di dalam
pasal 1320 KUHPerdata terkandung asas yang esensial dari hukum perjanjian
yaitu asas konsensiualisme yang menentukan adanya perjanjian (raison d‟etre,
het bestaanwaarde).19 Di dalam pasal 1320 KUHPerdata terkandung kehendak
para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan
(vertrouwen) di antara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian asas
kepercayaan (vertrouwen) merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.20
Asas Konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas
kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Subekti 21yang
menyatakan bahwa asas Konsensualisme terdapat dalam pasal 1320 jo. 1338
KUHPerdata. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut akan mengakibatkan
perjanjian itu menjadi tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang.
Sementara itu Rutten22 menggarisbawahi bahwa perjanjian yang dibuat itu pada
19
Mariam Darus Badrulzaman, Op., Cit., hlm. 108-109.
20
Ibid, hlm. 37.
20
umumnya bukan secara formil tetapi konsensual, artinya perjanjian itu selesai
karena persesuaian kehendak atau consensus semata-mata.
Pasal 1320 KUHPerdata angka (1) menjelaskan bahwa Asas
Konsensualisme merupakan suatu kesepakatan dimana menurut asas ini
prjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakt. Disini yang
ditekankan adalah adanya persesuaian kehendak (meeting of mind) sebagai inti
dari hukum kontrak. Asas konsensualisme merupakan “ruh” dari suatu
perjanjian. Hal ini tersimpul dari kesepakatan para pihak, namun demikian
pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mencerminkan wujud
kesepakatan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya cacat kehendak
(wilsgebreke) yang mempengaruhi timbulnya perjanjian. Dalam KUHPerdata
cacat kehendak (wilsgebreke) meliputi 3 (tiga) hal, yaitu :
a. Kesesatan (dwaling);
b. Penipuan (bedrog);
c. Paksaan (dwang);
Asas konsensualisme sebagaimana yang tersimpul dari ketentuan pasal
1320 KUHPerdata angka (1), yang menyatakan bahwa perjanjian itu telah lahir
cukup dengan adanya kata sepakat, hendaknya tidak juga diinterpretasi
semata-mata secara gramatikal. Pemahaman asas Konsensualisme yang menekankan pada “sepakat” para pihak ini, berangkat dari pemikiran bahwa yang berhadapan dalam
kontrak itu adalah orang yang menjunjung tinggi komitmen dan tanggung jawab
“satunya kata satunya perbuatan”. Apabila kata sepakat yang diberikan oleh para
pihak tidak berada dalam kerangka yang sebenarnya, dalam artian terdapat cacat
kehendak (wilsgebreke), makahal ini akan mengancam eksisensi kontrak tersebut.
Pada akhirnya pemahaman terhadap asas Konsensualisme tidak terpaku sekedar
mendasarkan pada kata sepakat saja, tetapi syarat-syarat lain dalam pasal 1329
KUHPerdata dianggap telah terpenuhi sehingga kontrak tersebut menjadi sah.
2. Asas Pacta Sunt Servnda
Perkembangan asas kekuatan mengikat kontrak dapat ditelusuri sejalan
dengan perkembangan hukum romawi berdasarkan corak dan struktur masyarakat
yang paling sederhana sampai yang telah maju (modern). Menurut David Allan
sejak 450 tahun sebelum Masehi sampai sekarang telah terjadi empat tahap
perkembangan pemikiran mengenai kekuatan mengikatnya kontrak, yaiu :
a. Tahap pertama, disebut dengan contracts re;
b. Tahap kedua, disebut dengan contracts verbis;
c. Tahap ketiga, disebut dengan contracts litteris;
d. Tahap keempat, disebut dengan contracts consensus.
Tahap pertama (contracts re), atau menurut L.B. Curzon disebut
obligations re (real contracts-the world “real” is derived from res), didasarkan
padapendapat bahwa kekuatan mengikat kontrak ditekankan pada penyerahan
barang (res) bukan pada janji. Contracts re atau iobligations re ini meliputi 23:
a. Muttum, meminjamkan barang untuk dikonsumsi (termasuk di
dalamnya meminjam uang);
23
b. Commodatum, meminjamkan barang untuk dipakai;
c. Depositium, menyerahkan barang untuk dijaga tanpa imbalan dan
dikmbalikan sesuai permintaan pihak yang menyerahkan barang;
d. Pignus, menyerahkan barang sebagai jaminan pelaksanaan kewajiban.
Tahap kedua (contracts verbis atau obligations verbis), diasarkan pada
pendapat bahwa kekuatan mengikat kontrak digantungkan pada kata-kata (verbis)
yang diucapkannya. Contracts verbis atau obligations verbis ini meliputi24 :
a. Stipulation, yaitu interaksi kata-kata dari dua orang atau lebih yang
berupa pertanyaan dan jawaban;
b. Dicto Dotis, yaitu pernyataan sungguh-sungguh (solemn declaration)
yang melahirkan semacam tanda pengikat /mahar (dowry);
c. Ius Iurandium Liberti (jurata promissio liberti), yaitu semacam
kesaksian tersumpah oleh pihak ketiga untuk kepentingan dirinya;
d. Votum, yaitu janji dibawah sumpah kepada tuhan
Tahap ketiga (contracts litteris atau obligations itteris), didasarkan pada
pendapat bahwa kekuatan mengikat kontrak itu terletak pada bentuknya yang
tertulis. contracts litteris atau obligations itteris ini meliputi 25:
a. Expensilatio, yaitu suatu bentuk pemberitahuan yang dicatat dalam
b. Synographae atau Chirographae, yaitu kewajiban yang ditulis secara
khusus yang dipinjam dari kebiasaan bangsa Yunani dan tidak
terdapat dalam kebiasaan masyarakat Roma.
Tahap keemapat (contracts consensus atau obligations consensus),
didasarkan pada pendapat bahwa kekuatan mengikat kontrak karena adanya
kesepakatan atau consensus para pihak. Kontrak tipe ini kemudian diambil alih
dalam ius civile. Ada empat bentuk kontrak jenis ini, yaitu26 :
a. Empatio Venditio, yaitu kontrak jual beli;
b. Locatio Conduction, yaitu kontrak yang memperbolehkan
penggunaan atau penyewaan barang atau jasa;
c. Societas, yaitu kontrak kerja sama (partnership)
d. Mandatum, yaitu suatu mandate pelayanan yang dilakukan untuk
orang lain (misalnya:keagenan).
3. Asas Itikad Baik
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa “perjanjian-perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik (te goeder trouw; good faith)
perundang-undangan tidak memberikan definisi yang tegas dan jelas. Dalam kamus besar
bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan itikad adalah kepercayaan, keyakinan
yang teguh, maksud , kemauan (yang baik).
Pengaturan pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menetapkan bahwa
persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik(contractus bonafidei kontrak
26
berdasarkan itikad baik). Maksudnya perjanjian itu dilaksanakan dengan menurut
kepatutan dan keadilan
Pasal 1338 KUHPerdata tersebut, pada umumnya selalu dihubungkan dengan pasal 1339 KUHPerdata, bahwa “persetujuan tidak hanya mengikat apa
yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segal sesuatu yang
menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau
undang-undang”.
Wirjono Prodjodikoro membagi itikad baik menjadi dua macam, yaitu
1. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum.
Itikad baik disini biasanya berupa perkiraan atau anggapan
seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi dimulai
hubungan hukum telah terpenuhi. Dalam konteks ini hukum
memberikan perlindungan kepada pihak yang beritikad baik,
sedang bagi pihak yang beritikad tidak baik (te kwader trouw)
harus bertanggung jawab dan menanggung resiko. Itikad baik
semacam ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 1977 ayat (1)
KUHPerdata dan pasal 1963 KUHperdata, dimana terkait dengan
salah satu syarat untuk memperoleh hak milik atas barang melalui
daluwarsa. Itikad baik ini bersifat subjektif dan statis;
2. Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban
kewajiban yang termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian
itikad baik semacam ini sebagaimana diatur salam pasal 1338 ayat
situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik berat itikad baik disini
terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah
pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan suatu hal.
3. Syarat-syarat sahnya Perjanjian.
Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian yang sah adalah
perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-undang,
sehingga ia diakui oleh hukum (legally concluded contract)27. Adapun
syarat-syarat sahnya perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Dalam prakteknya, syarat ini lebih sering disebut dengan kesepakata
(toesteming). Kesepakatan merupakan persesuain kehendak dari para
pihak mengenai pokok-pokok perjanjian yang dibuatnya itu. Pokok
perjanjian itu berupa obyek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa
yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang
lain. Mereka mengkehendaki sesuatu yang sama secara timbale balik.
Dengan demikian kesepakatan ini sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam
perundingan28.
b) Cakap untuk membuat suatu perikatan
Mengenai syarat kecakapan ini, harus dituangkan secara jelas oleh pihak
dalan membuat sesuatu perikatan. Pasal 1330 KUH Perdata memberikan
27
Abdulkhair Muammad, Op Cit Hlm 80.
28
batasan orang-orang mana saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak
membuat perjanjian adalah:
a. Orang-orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang dibawah pengampuan;
c. Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
sudah melarang membuat perjanjian tertentu. Mereka ini apabila
melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka, dan
bagi isteri ada ijin suaminya29.
c) Suatu hal tertentu
Menurut Prof. Subekti,SH. Suatu perjanjian harus megenai suatu hal
tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban para pihak
jika timbul perselisihan30 Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian
yang memuat prestasi tersebut harus tertentu atau sekurang-kurangnya
dapat ditentukan.
d) Suatu sebab yang halal
Kata “sebab” adalah terjemahan bahasa latin “causa”. “sebab” adalah
suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian. Menurut pasal 1320 KUH Perdata, yang dimaksud dengan “causa” itu bukanlah sebab dalam
arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian,
29
Ibid hlm 92.
30
melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendii”, yang
menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.31
Dua syarat yang disebutkan pertama diutamakan dinamakan syarat
subyektif karena kedua syarat tersebut mengenai subyek perjanjian, sedangkan
dua syarat yang disebutkan terakhir dinamakan syarat obyektif karena mengenai
perjanjian sendiri atau obyek dari perjanjian yang dilakukan tersebut32. Semua
perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas di akui oleh
hukum, akan tatapi apabila tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat
unsure tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian,dan perjanjian tersebut
diancam kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat
pelanggaran terhadap syarat subyektif), mapun batal demi hukum (dalam hal
tidak terpenuhinya syarat obyektif). Dengan demikian perikatan yang lahir dari
perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaanya.
4. Macam-macam Perjanjian.
Macam-macam Perjanjian Kerja terdiri atas33 :
1. Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu (PKWT)
yaitu perjanjian kerja antara karyawan dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan
tertentu. Selanjutnya disebut dengan PKWT. Perjanjian Kerja untuk waktu
tertentu dapat dibuat:
a. Berdasarkan jangka waktu.
31
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit. Hlm 94.
32
Subekti, Op. Cit hlm 17
33
b. Berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Perjanjian kerja waktu tertentu terjadi karena perjanjian kerja antara
karyawan dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu
tertentu atau untuk pekerja tertentu. Perjanjian kerja waktu tertentu terdapat
hak-hak pekerja dan perlindungan tenaga kerja, hak dan perlindungan tenaga
kerja diperlukan oleh pihak yang melakukan pekerjaan agar pekerja dapat
menikmati penghasilan secara layak dalam memenuhi kebutuhan hidup baik
bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Pasal 56 ayat (2) dan pasal 59 ayat
(2) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
memungkinkan PKWT dengan tidak berdasarkan jenis, sifat atau kegiatan
yang bersifat sementara dapat dilaksanakan. Akibatnya perlindungan
terhadap pekerja menjadi lemah, hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi,
diantaranya pekerja tidak berhak atas sejumlah tunjangan (jamsostek,
asuransi kecelakaan dan pensiun), uang pesangon di saat pemuusan kerja atau
PHK, upah yang lebih rendah, tidak ada jaminan kerja adanya PHK, dan
penggantian status pekerja oleh perusahaan dari PKWT menjadi PKWTT.
2. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT)
yaitu perjanjian kerja antara karyawan dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja tetap. Selanjutnya disebut sebagai PKWTT.
Perjanjian Kerja Untuk waktu tidak tertentu terjadi karena hal-hal sebagai
a. Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu tidak dibuat dalam bahasa
Indonesia dan huruf latin.
b. Perjanjian Kerja waktu tertentu tidak dibuat untuk pekerjaan yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu, yaitu :
1. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatny;.
2. Pekerjaan yang diperkirakan dapat diselesaikan dalam waktu
yang tidak terlalu lama, paling lama 3 (tiga) Tahun;.
3. Pekerjaan yang bersifat musiman;.
4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan.
c. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu diadakan untuk pekerjaan
yang bersifat tetap.
d. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangka
waktu tertentu diadakan untuk lebih dari 2 ( dua ) tahun dan
diperpanjang lebih dari 1 ( satu ) tahun.
e. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu
tertentu, paling lama 7 ( tujuh ) hari sebelum perjanjian kerja untuk
waktu tertentu tersebut berakhir tidak memberikan maksudnya
secara tertulis kepada karyawan yang bersangkutan.
f. Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu diadakan tidak melebihi
kerja waktu tertentu yang lama. Pembaruan perjanjian kerja untuk
waktu teretentu ini diadakan lebih dari 1 ( satu ) kali dan lebih dari
2 ( dua ) tahun
Pada pasal 1329 KUHPerdata perjanjian dibedakan menjadi 2 macam, yaitu
perjanjian bernama (nominat) dan perjanjian tidak bernama (innominat).
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang terdapat dalam KUHPerdata
sedangkan perjanjian tidak bernama merupakan perjanjian yang timbul, tumbuh,
hidup dan berkembang dalam masyarakat. 34
Beberapa macam perjanjian yang termasuk di dalam perjanjian bernama
(nominat), yaitu:
1. Jual Beli
Pasal 1457 KUHPerdata Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.
2. Tukar Menukar
Pasal 1541 KUHPerdata Tukar menukar ialah suatu persetujuan dengan
mana kedua belah pihak mengikatkan diri untukk saling memberikan suatu
barang secara timbal balik sebagai ganti suatu barang lain.
34
3. Sewa Menyewa
Pasal 1548 KUHPerdata Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan
mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu
barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu
harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan
pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.
4. Persekutuan
Pasal 1618 KUHPerdata Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana
dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam
persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya.
5. Hibah
Pasal 1666 KUHPerdata Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana
seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara Cuma-Cuma tanpa dapat
menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang dapat menerima
penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan antara
orang-orang yang masih hidup.
6. Penitipan
Pasal 1694 KUHPerdata Penitipan adalah terjadi apabila seseorang menerima
sesuatu barang dari orang lain dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan
7. Pinjam Pakai
Pasal 1740 KUHPerdata Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dalam mana
pihak yang satu menyerahkan suatu barang untuk dipakai dengan cuma-cuma
kepada pihak lain, dengan syarat bahwa pihak yang menerima barang itu setelah
memakainnya atau setelah lewat waktu yang ditentukan, akan mengembalikan
barang itu.
8. Pinjam Meminjam
Pasal 1754 KUHPerdata Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian, yang
menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis
terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan
mengebalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan
yang sama.
9. Perjanjian Bunga
Pasal 1770 KUHPerdata Perjanjian bunga abadi ialah suatu persetujuan
bahwa pihak yang memberikan pinjaman uang akan menerima pembayaran bunga
atas sejumlah uang yang tidak akan dimintanya kembali.
10.Persetujuan Untung-Untungan
Pasal 1774 KUHPerdata Suatu persetujuan untung-untungan ialah suatu
perbuatan yang hasilnya, yaitu mengenai untung rugi yang baik bagi semua pihak
maupun bagi sementara pihak, tergantung pada suatu kejadian yang belum pasti.
Pasal 1319 KUHPerdata mengatur mengenai Perjanjian tidak bernama
“semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak
dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat
dalam bab ini dan bab yang lain”.
Perjanjian Kerjasama dikenal didalam perjanjian tidak bernama
(Innominaat). Namun perjanjian tersebut ada beragam bentuk diantaranya sebagai
berikut:
1. Joint Venture
Kerjasama Joint Venture merupakan kerja sama pemerintah dan swasta
dimana tanggung jawab dan kepemilikan ditanggung bersama dalam hal ini
penyediaan pelayanan infrastruktur. Dalam kerja sama ini masing-masing pihak
mempunyai posisi yang seimbang dalam perusahan. Kerja sama ini bertujuan
untuk memadukan keunggulan sektor swasta seperti modal, teknologi,
kemampuan manajemen, dengan keunggulan pemerintah yakni kewenangan dan
kepercayaan masyarakat. Perlu diperhatikan pemegang saham mayoritas dan
minoritas karena hal ini berkaitan dengan kekuasaan menjalankan perusahaan dan
menentukan kebijaksanaan perusahaan karena prinsip kerja sama ini satu saham
satu suara. Di bawah Joint Venture, pemerintah dan swasra dapat membentuk
perusahaan baru atau menggunakan perusahaan penyedia infrastruktur yang ada
(misal perusahaan pemerintah menjual sebagian modal kepada swasta). Adapun
perusahaan yang ada mewakili fungsi yang independen terhadap pemerintah. Joint
venture dapat digunakan secara kombinasi dari beberapa tipe kerja sama
bersama, khususnya dalam hal pelayanan, BOT, atau konssesi untuk penyediaan
infrastruktur.
2. Franchise
Franchise disebut juga waralaba. Istilah warasalaba itu sendiri berarti usaha
yang memberikan laba lebih/istimewa (privilege) dari pemberi waralaba
(franchisor) kepada penerima waralaba (franchise) dengan sejumlah kewajiban
atas pembayaran.
3. Leasing
Sewaguna usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan barang modal baik secara sewaguna usaha dengan hak opsi (finance
lease) maupun sewaguna usaha (operating lease) untuk digunakan oleh Lesse
selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. 35
Didalam suatu perjanjian juga dikenal terdapat beberapa jenis perjanjian
menurut isinya, antara lain adalah:
1. Perjanjian bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada
suatu syarat untuk kejadian di kemudian hari yang masih belum tentu
akan terjadi/tidak terjadi. Contoh : Saya mengizinkan Andi menempati
rumah saya, dengan ketentuan bahwa perjanjian itu akan berakhir bila
secara mendadak saya di PHK dari pekerjaan saya, (perikatan yang
digantungkan pada suatu syarat pembatalan).
35
Leasing, Baniabsurd.blogspot.com,diakses pada hari Jum‟at, 2 Juni 2017, pukul 16.00
2. Perjanjian ketetapan waktu, yaitu suatu perikatan yang digantungkan
pada suatu kejadian di kemudian hari, suatu hal yang akan datang,
meskipun belum dapat ditentukan kapan datangnya, (tentang matinya
seseorang, missal perjanjian asuransi jiwa).
3. Perjanjian alternatif, adalah suatu perikatan ketika terdapat dua atau
lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diberikan
pilihan yang mana akan ia serahkan.
Contoh : ia boleh memilih akan menyerahkan rumahnya atau tokonya
atau uang 100 juta.
4. Perjanjian tanggung-menanggung adalah suatu perikatan ketika
beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang
berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya.
Contoh : Ratna Rina secara tanggung-menanggung berhutang kepada
Sela sebesar Rp.5.000.000,- maka Ratna dan Rina masing-masing
dituntut membayar Rp.5.000.000,-
5. Perjanjian yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi:
Hal ini tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi dan
juga kehendak kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Persoalan
ini baru tampil ke muka, bilah salah satu pihak dalam perjanjian telah
digantikan oleh beberapa orang lain. Biasanya, ini terjadi karena
meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam
segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya. Pada asasnya, bila
perikatan tidak boleh dibagi-bagi, sebab si berpiutang selalu berhak
menuntut pemenuhan perjanjian untuk sepenuhya dan tidak perlu
menerima pembayaran sebagian demi sebagian.
6. Perjanjian dengan penetapan hukuman.
Dalam praktik, si berhutang dikenai hukuman bila ia tidak menepati
kewajibannya (dalam suatu jumlah uang tertentu sebagai ganti rugi
yang sudah ditetapkan sejak semula).36
Kata perjanjian dan kata perikatan merupakan istilah yang telah dikenal
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pada dasarnya
KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan, akan tetapi
pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian
perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang didefinisikan sebagai suatu
perbuatan hukum dengan mana salah satu oreng atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap suatu orang lain atau lebih.Hakekat antara perikatan dan perjanjian pada
dasarnya sama, yaitu merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat
didalamnya, namun pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab
hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari
perjanjian tetapi juga dari aturan perundang-undangan. Hal lain yang
membedakan keduanya adalah bahwa perjanjia pada hakekatnya merupakan hasil
kesepaatan para pihak, jadi sumbernya benar-benar kebebasan pihak-pihak yang
ada untuk diikat dengan perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal
36
1338KUHPerdata. Sedangkan perikatan selain mengikat karena adanya
kesepakatan juga mengikat antara orangtua dengan anaknya muncul bukan karena
adanya kesepakatan dalam perjanjian diantara ayah dan anak tetapi karena peintah
undang-undang.37
Perbedaan antara perikatan dan perjanjian juga terletak pada konsekuensi
hukumnya. Pada perikatan masing-masing pihak mempunyai hak hukum untuk
menuntut pelaksanaan prestasi dari masing-masing pihak yang telah terikat.
Sementara pada perjanjian tidak ditegaskan tentang hak hukum yang dimiliki oleh
masing-masing pihak yang berjanji apabila salah satu dari pihak yan berjanji
tersebut ternyata ingkar janji, terlebih karena pengertian perjanjian dalam Pasal
1313 KUHPerdata menimbulkan kesan seolah-olah hanya merupakan perjanjian
sepihak saja. Definisi dalam pasal tersebut menggambarkan bahwa tindakan dari
satu orang lain atau lebih, tidak hanya merupakan suatu perbuatan hukum yang
mengikat tetapi dapat pula merupakan perbuatan tanpa konsekuensi hukum.
Konsekuensi hukum lain yang muncul dari dua pengertian itu adalah bahwa
oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak, maka tidak
dipenuhinya prestasi dalam perjanjian menimbulkan ingkar janji (wanprestasi),
sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan
konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum (PMH).
Berdasarkan pemahaman tersebut jelaslah bahwa adanya perbedaan
pengertian antara perjanjian dan perikatan hanyalah didasarkan karena lebih
37
luasnya pengertian perikatan dibandingkan perjanjian. Artinya didalam hal
pengertian perjanjian sebagai bagian dari perikatan, maka perikatan akan
mempunyai arti sebagai hubungan hukum atau perbuatan hukum yang mengikat
antara dua orang atau lebih, yang salah satu pihak mempunyai kewajiban untuk
memenuhi prestasi tersebut.38 Bila salah satu pihak yang melakukan perikatan
tersebut tidak melaksanakan atau terlambat melaksanakan prestasi, pihak yang
dirugikan akibat dari perbuatan melawan hukum tersebut berhak untuk menuntut
pemenuhan prestasi atau penggantian kerugian dalam bentuk biaya, ganti rugi dan
bunga.
Uraian diatas memperlihatkan bahwa perikatan dapat meliputi dua arti, yaitu
pada satu sisi sebagai perjanjian yang memang konsekuensi hukumnya sangat
bergantung pada pihak-pihak yang terikat didalamnya, dan pada sisi lain
merupakan perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang jelas. Sekalipun
perjanjian sebagai suatu perikatan mucul bukan dari Undan-Undang tetapi
memiliki kekuatan hukum yang sama dengan perikatan yang muncul dari
Undang-Undang, yaitu berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang diikat
didalamnya.39
5. Pengertian Perjanjian Kerja waktu Tertentu
Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu diatur dalam pasal 1 angka 1
Peraturan Menteri KaryawanNo: KEP.100/MEN/VI/2004, yang dimaksud dengan
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu adalah Perjanjian kerja antara karyawan
38
Ibid, hlm.13
39
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau
untuk pekerja tertentu. (KEP.100/MEN/VI/2004). Dengan demikian yang
dinamakan sifat perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagai berikut;
1. Pekerja yang sekali selesai atau sifatnya sementara40
Pola hubungan kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan untuk
pekerja yang didasarkan atas selesainya pekerja tertentu untuk waktu paling lama
3 (tiga) tahun.
2. Diperkirakan penyelesaianya dalam waktu tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun. Pola hubungan kerja dengan perjanjian kerja waktu
tertentu dapat dilakukan untuk pekerja yang dipekirakan penyelesaianya dalam
waktu tidak terlalu lama dan paling lama 3 tiga (tahun). Dalam hal perkerjaan
tertentu yang diperjanjikan berakhir maka perjanjian kerja waktu tertentu tersebut
putus demi hukum.
3. Bersifat musiman
Pekerja yang bersifat musiman adalah pekerja yang pelaksanaanya tergantung
pada musim atau cuaca. PKWT yang dilakukan untuk pekerja yang musiman
hanya dapt dilakukan satu jenis pekerjaan waktu tertentu
4. Berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Pola hubungan kerja
dengan perjanjian kerja waktu tertentu dapat digunakan untuk melakukan
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
40
Lalu Husni SH.Mhum, Pengantar Hukum ketenagakerjaan Indonesia. Grafindo Persada
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Untuk ini perjanjian kerja
waktu tertentu hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua)
tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun dan tidak
dapat dilakukan perubahan Perjanjian ini dimaksudkan perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan” , perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri:
adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu “hubungan diperatas” atau “dienstverhouding” yaitu suatu hubungan berdasarkan
mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus
ditaati oleh yang lain. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetbok van
Koophandel) dalam Bab ke IV dari Buku II (Pasal 395 dan selanjutnya)
memberikan suatu perantara tersendiri mengenai “perjanjian kerja laut” , yang
disamping menyatakanberlakunya hampir semua ketentuan-ketentuan mengenai
perjanjian perburuhan dari B.W, memberikan banyak sekali ketentuan-ketentuan
khususuntuk buruh yang bekerja di kapal. Menurut Iman Soepomo dalam
bukunya Hukum Perburuhan dalam bidang hubungan kerja, merumuskan bahwa:
Bagi penyelenggara perjanjian kerja seperti halnya dengan semua macam
perjanjian ini dimintakan syarat-syarat tertentu mengenai orang-orangnya,
mengenai isinya dan kadang-kadang mengenai bentuknya yang tertentu. Sedang
perjanjian kerja adalah dimana pihak kesatu, buruh,mengikatkan diri untuk
bekerja menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan diri untuk
mempekerjakan itu dengan membayar upah41. Perjanjian kerja waktu tertentu
41
yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2
(dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling
lama 1 (satu) tahun. Perjanjian kerja waktu tertentu dapat diperpanjang atau
diperbaharui. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat diadakan untuk
pekerjaan tertentu. Munculnya Peraturan Menteri Karyawandan Transmigrasi
Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004 dilatar belakangi semakin banyaknya pengusaha yang “memaksa” karyawannya untuk membuat penjelasan dalam jangka waktu
tertentu (sistem kontrak), sebagai akibat pengusaha tidak mau disulitkan oleh
ketentuan tentang pemutusan hubungan kerja. Akibatnya, meskipun secara
objektif jenis, sifat dan kegiatan pekerjaan tidak mengharuskan dibuat perjanjian
kerja tertentu, untuk menghindari berbagai resiko, pengusaha membuat perjanjian
kerja tertentu dengan karyawan. Menurut Undang-Undang No.13 tahun tentang
Ketenagakerjaan pengusaha adalah sebagai berikut :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri.
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Sedangkan pengertian
perusahaan menurut Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang
a) Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan karyawan dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b) usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
6. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Setiap perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Dalam Pasal
52 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hal
perjanjian kerja ini dibuat secara tertulis, harus dilaksanakan sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku. Syarat-syaratnya adalah :
a. Kesepakatan kedua belah pihak;
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. Pekerjaan yang diperjanjiakn tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Perjanjian
kerja tanpa adanya kesepakatan para pihak atau salah satu pihak tidak
mampu atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum, maka perjanjian
kerja tersebut dapat dibatalkan. Sebaliknya, jika dibuat tanpa adanya
pekerjaan yang diperjanjiakn dan pekerjaan yang diperjanjikan tersebut
perundang-undangan yang berlaku, maka perjanjian tersebut batal demi
hukum.
Syarat-syarat tersebut sebenarnya sebagai isi dari perjanjian kerja, karena
dari syarat-syarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak.
Syarat-syarat yang dimuat dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu isinya tidak boleh
rendah dari syarat-syarat kerja yang termuat dalam peraturan perusahaan yang
bersangkutan. Apabila dalam perjanjain kerja untuk waktu tertentu yang isinya
lebih rendah dari Peraturan Perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama, maka
yang berlaku adalah isi dalam Peraturan Perusahaan atau Kesepakatan Kerja
Bersama. Perjanjian Kerja Bersama mempunyai kedudukan tertinggi dalam
perusahaan. Oleh karena itu, ini berarti bahwa perjanjian kerja yang dibuat tidak
boleh bertentangan dengan Perjanjian Kerja Bersama. Demikian pula Perjanjian
Kerja Bersama tidak boleh diganti dengan Peraturan Perusahaan Undang-undang
No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, mengatur syarat-syarat pembuatan
perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagai berikut :
a. Dibuat secara tertulis
Dalam pasal Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
pasal 57 ayat (1) disebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat
secara tertulis serta haruis menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Oleh
karena itu bila dibuat secara lisan, atau bukan dalam bahasa Indonesia danukan da
lam huruf latin, maka kesepakatan tersebut adalah tidak sah atau batal demi
hukum. Konsekuensinya pekerja tersebut haruslah dianggap sebagai pekerja tetap.
b. Tidak boleh ada masa percobaan
Pada pasal 58 ayat (1) Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan disebutkan bahwa dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu
tidak dapat mempersyaratkan adanya masa percobaan kerja. Apabila dalam
kesepakatan kerja tersebut disyaratkan masa percobaan kerja, maka perjanjian
kerja untuk waktu tertentu tersebut batal demi hukum.
7. Berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Telah diketahui bahwa hubungan kerja di Indonesia ini dilandasi oleh
falsafah pancasila, berjalan azas kekeluargaan dan gotong royong, buruh dan
majikan merupakan patner dalam memproduksi barang dan jasa, berakrinya
perjanjian kerja waktu tertentu sebagai berikut.
Batal demi hukum
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu berakhir demihukum karena
disyaratkannya masa percobaan kerja Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pasal 58 , atau dalam hal isi perjanjian kerja bersama
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
a. Hubungan kerja putus oleh pengusaha
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap karyawan
dengan alasan karyawan telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
a) melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau
uang milik perusahaan.
sehingga merugikan perusahaan;
c) mabuk, meminum-minuman keras yang memabukkan, memakai dan
atau mengedarkan narkotika psikotropika, dan zat adiktif lainnya di
lingkungan kerja;
d) melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e) menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman
sepekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f) membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan
yang bertentanagn dengan peraturan perundang-undangan;
g) dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam
keadaan bahaya barang milik perusahaan yangmenimbulkan kerugian
bagi perusahaan;
h) dengan ceroboh atau sengaja membiarakan teman sekerja atau
pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i) membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara;
j) melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
8. Wanprestasi
Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena
kesalahan debitur baik karena kesengajaan atau kelalaian. Menurut J Satrio,
tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan
kepadanya. Menurut yahya harahap wanprestasi sebagai pelaksana kewajiban
yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya, sehinga
menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar
ganti ruhi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu
pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian. 42
Perikatan yang bersifat timbal balik senantiasa menimbulkan sisi aktif dan
sisi pasif. sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditor untuk menuntut pemenuhan
prestasi, sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitur
untukmelaksanakan prestasinya. Pada situasi normal antara prestasi dan kontra
prestasi akan saling bertukar, namun pada kondisi tertentu pertukaran prestasi
tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa yang disebut
wanprestasi. Pelanggaran hak-hak kontraktual tersebut menimbulkan kewajiban
ganti rugi berdasarkan wanprestasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1236
KUHPerdata (untuk prestasi memberikan sesuatu) dan Pasal 1239 KUHPerdata
(untuk prestasi berbuat sesuatu). Selanjutnya, terkait dengan wanprestasi tersebut
Pasal 1243 KUHPerdata menyatakan, bahwa:
“Pengganti biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan,
barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai
memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu harus diberikan
42
atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang
telah dilampauinya.”
Debitur dinyatakan lalai apabila;
b. Tidak memenuhi prestasi;
c. Terlambat prestasi;dan
d. Berprestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya.
Biasanya untuk menindaklanjuti kondisi ini dicantumkan juga klausul
pemutusan kontrak sebagai salah satu bentuk sanksi yang mungkin
ditempuh pihak kreditor. Dengan adanya wanprestasi, pihak kreditor yang
dirugikan sebagai akibat kegagalan pelaksanaan kontrak oleh pihak debitur
mempunyai hak gugat dalam upaya menegakkan hak-hak kontraktualnya. 43
Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1267 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa:
Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa
pihak yang lain untuk memenuhi kontrak, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau
menuntut pembatalan persetujan, dengan penggantian biaya, kerugian dan
bunga.
Penerima kerja wajib membayar ganti rugi, setelah dinyatakan lalai berupa
ganti rugi kelalaian si debitur. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan
keuntungan, yang sudah dibayarkan atau dihitung oleh kreditur. Ganti rugi harus
43
mempunyai hubungan lagsung (hubungan kausal) dengan ingkar janji dan
kerugian dapat diduga atau sepatutnya diduga pada saat waktu perikatan
dibuat.yang terdiri dari biaya, rugi, dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran
atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh suatu pihak. Rugi
adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang
diakibatkan oleh kreditur. Ganti rugi harus mempunyai hubungan lagsung
(hubungan kausal) dengan ingkar janji dan kerugian dapat diduga atau sepatutnya