REKAYASA AKUAKULTUR
POTENSI KEPITING BAKAU DI INDONESIA
OLEH MUTAWALI
130330014
BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting bakau sebagai berikut;
Filum : Arthropoda Sub Filum : Mandibulata Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Sub Ordo : Pleocyemata Famili : Portunidae Genus : Scylla sp Spesies : Scylla serrata
Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Ciri- ciri kepiting bakau menurut Kasry (1996) adalah sebagai berikut: karapas berwarna sedikit kehijauan, pada kiri-kanannya terdapat Sembilan buah duri-duri tajam, dan pada bagian depannya diantaranya tangkai mata terdapat enam buah duri, sapit kanannya lebih besar dari sapit kiri dengan warna kemerahan pada kedua ujungnya, mempunyai tiga pasang kaki pejalan dan satu kaki perenang yang terdapat pada ujung abdomen dengan bagian ujungnya dilengkapi dengan alat pendayung.
supra orbital, bergigi dua samapi enam buah, sungut kecil terletak melintang atau menyerong. Pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung terutama dua ruas terakhirnya. Perbedaan kepiting jantan dan betina terletak pada ruas abdomennya. Ruas abdomen kepiting jantan berbentuk seperti segitiga sedang pada betina berbentuk sedikit membulat dan lebih melebar
Habitat dan Daur Hidup
Tingkat perkembangan kepiting bakau dapat dibagi atas tiga fase yaitu fase telur (embrionik), fase larva dan fase kepiting. Selanjutnya Moosa et.al. (1985) dalam Mulya (2002) menyatakan perkembangan Scylla spp. mulai dari telur hingga mencapai kepiting dewasa mengalami beberapa tingakat perkembangan. Tingkat perkembangan tersebut antara lain tingkat zoea, tingkat megalopa, tingkat kepiting muda dan tingakat kepiting dewasa, pada tingkat zoe membutuhkan waktu 18 hari selanjutnya berganti kulit menjadi megalopa yang bentuk tunuhnya sudah mirip kepiting dewasa. Dari tingkat megalopa ke tingkat kepiting muda membutuhkan waktu 11-12 hari.
Perairan di sekitar mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau karena sumber makanannya seperti benthos dan serasah cukup tersedia. Di alam biasanya kepiting bakau yang besar akan memakan kepiting bakau yang kecil, waktu makan kepiting bakau tidak beraturan tetapi malam hari lebih aktif dibanding siang hari sehingga kepiting bakau digolongkan sebagai hewan nocturnal yang aktif makan di malam hari (Queensland Departement of Primary Industries, 1989).
Preferensi Kepiting Bakau terhadap Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat
Parameter fisik-kimia air adalah faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan kepiting bakau. Kepiting bakau di alam menempati habitat yang berbeda-beda berdasarkan stadia pada daur hidupnya. Untuk mengetahui kekhususan habitat kepiting bakau maka perlu diketahui parameter fisik-kimia air dimana organisme ini berada.
Salinitas
redndah. Sebaliknya kepiting dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan yang mempunyai salinitas 15‰ – 20‰ dan selanjutnya akan beruaya ke laut untuk memijah (Kasry, 1996).
Suhu
Suhu air mempengaruhi pertumbuhan (molting), aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau . Suhu air yang lebih rendah dari 20◦C dapat mengakibatkan aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau turun secara drastis (Queensland Departement of Primary Industries, 1989). Wahyuni dan Sunaryo (1981) melaporkan di perairan Muara Dua, Segara Anakan kepiting bakau didapatkan pada kisaran suhu 28◦C-36◦C.
Derajat Keasaman (pH)
Kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam yaitu pada daerah bersubstrat lumpur dengan pH rata-rata 6,50. Pendapat ini didukung oleh Walsh (1967) dalam La Sara (1994) yang menyatakan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kisaran pH 6,5-7,0, sedang Toro (1987) mendapatkan kepiting bakau pada pH 6,16 – 7,50.
Kedalaman Air dan Pasang Surut
Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat terjadi perkawinan, namun demikian kepiting bakau juga dapat hidup pada perairan yang dangkal Mulya (2002). Wahyuni dan Ismail (1987) mendapatkan kepiting bakau pada kedalaman 30-79 cm di perairan dekat hutan mangrove dan kedalaman 30 cm- 125 cm di muara sungai.
Kepiting bakau akan terlihat menuju ke perairan dangkal pada waktu siang hari. Kepiting bakau tahap juvenile (first crab) mengikuti pasang tertinggi di zona intertidal untuk mencari makanan kemudian kembali ke zona subtidal pada saat surut (Hutching dan Sesanger, 1987).
Substrat Dasar Perairan
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Prospek Keuntungan
Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu jenis komoditas perikanan yang potensial untuk dibudidayakan. Kepiting bakau banyak dijumpai di perairan payau yang banyak ditumbuhi tanaman mangrove. Kepiting bakau sangat disenangi oleh masyarakat mengingat rasanya yang lezat dengan kandungan nutrisi sejajar dengan crustacea yang lain seperti udang yang banyak diminati baik di pasaran dalam negeri maupun luar negeri.
Begitu banyak hasil laut dan air tawar yang merupakan komoditas andalan suatu daerah bahkan suatu negara seperti, ikan, kerang, udang, lobster dan kepiting. Khusus untuk kepiting sangat jarang masyarakat kita yang membudidayakan kepiting secara khusus, padahal jika dikelola dan dikembangkan secara terpadu, maka kepiting ini sangat menjanjikan.
Potensi pasar yang cukup besar memberi peluang bagi pengembangan budidaya kepiting bakau secara lebih serius dan komersial. Di sisi lain produksi kepiting selama ini secara keseluruhan masih mengandalkan tangkapan dari alam, sehingga kesinambungan produksinya tidak dapat dipertahankan.
Saat ini budidaya kepiting bakau ini tidak harus di laut dan di daerah bakau, namun dapat juga dan telah berhasil dibenihkan pada bak-bak terkontrol dan dapat diproduksi di hatchery ikan laut maupun udang windu. Kepiting bakau atau yang lebih dikenal dengan kepiting lumpur merupakan salah satu sumber daya perikanan pantai yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi bila dikembangkan dan dibudidayakan. Pembudidayaan atau pemanfaatan secara komersil dari komoditas ini semakin meningkatkan baik untuk dikonsumsi dalam negeri maupun untuk diekspor.
yang berkulit keras ini selain memiliki rasa gurih, enak dan juga bergizi tinggi. Dengan alasan tersebut, pihaknya berharap kepada Pemkab agar dapat memprogramkan bantuan untuk budidaya kepiting para nelayan khususnya di pesisir, karena hal tersebut jelas akan membantu dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama nelayan serta penurunan angka pengangguran yang ada di Lampung Barat.
Budidaya kepiting ini tentunya akan menyerap tenaga kerja yang lumayan banyak jika hal ini dikelola dan dikembangkan secara terpadu dan dalam skala besar. Oleh karena itu komoditi ini sangat menjanjikan untuk dilaksanakan dan dicoba di Lampung Barat, terutama di daerah pesisir barat. Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan pantai yang mempunyai nilai ekonomis penting. Pada mulanya kepiting bakau hanya dianggap hama oleh Petani tambak, karena sering membuat kebocoran pada pematang tambak. Tetapi setelah mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, maka keberadaannya banyak diburu dan ditangkap oleh nelayan untuk penghasilan tambahan dan bahkan telah mulai dibudidayakan secara tradisional di tambak. Mengingat permintaan pasar ekspor akan kepiting bakau yang semakin meningkat dari tahun ke tahun maka usaha ekstensifikasi budidaya kepiting bakau mulai dirintis di beberapa daerah.
Kepiting bakau dapat dipelihara secara terus menerus sepanjang tahun, karena ketersediaan benih di alam saat ini cukup banyak juga lahan tambak pembesaran dapat disiapkan dengan mudah dan cepat. Diversifikasi usaha budidaya kepiting bakau di tambak akan menambah lapangan usaha dan mengoptimalkan potensi lahan tambak yang idle serta dapat menyerap tenaga kerja, sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat pembudidaya.
3.2 Konstruksi Tambak
Tambak kepiting harus mempunyai konstruksi yang berorientasi pada faktor lingkungan yang mendukung kehidupan dan pertumbuhan secara normal, sehingga efisiensi pemanfaatan lahan dan waktu saat pemeliharaan. Secara prinsip, bangunan tambak harus kuat & kedap air.
3.3 Teknik Budidaya mereduksi bahan organik dan gas-gas beracun yang dilakukan dengan sinar matahari hingga warna tanah coklat alami. Lama penjemuran selama 5 – 7 hari. Pengapuran bertujuan memperbaiki dan menstabilkan pH tanah hingga kisaran normal (pH 7 – 8). Jenis kapur yang digunakan harus sesuai dengan jenis tanah dasar setempat.
3.4 Pemeliharaan
A. Pemilihan dan Penebaran Benih
Benih yang digunakan berukuran berat 30 – 50 gr/ekor atau lebar cangkang (karapas) 3 -4 cm. Ciri-ciri benih yang baik adalah :
Anggota tubuh yang lengkap
Menunjukkan tingkah laku untuk menghindar atau melawan bila akan dipegang
Warna cerah hijau kecoklatan atau coklat kemerahan.
Penebaran benih sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari dengan padat tebar rasio perbandingan jantan dan betina 1 : 1 berkisar antara 1 -2 ek/m2. Untuk menjamin benih bebas dari parasit sebaiknya direndam dengan desinfektan (formalin 200 ppm selama 30 menit). Kemudian benih disebar merata dengan cara melepas ikatan satu per satu.
B. Pemberian Pakan
Khususnya untuk pakan ikan rucah, daging kerang dan hancuran daging siput dilakukan dengan cara memberikan ikan setengah kering dengan kadar air berkisar 30 – 40 %. Jumlah pakan diberikan disesuaikan dengan kebutuhan, dapat dilihat dari sisa pakan yang tidak termakan. Jika pakan dimakan seluruhnya, maka pemberian pakan selanjutnya sebaiknya ditambah.
c. Pengendalian hama dan penyakit
Tindakan pengendalian dapat dilakukan dengan cara pergantian air yang cukup, pengapuran secara rutin dan penyaringan air pasok dan pemberian feed aditive (vit. C 2-4 gr/kg pakan, bawang putih 15 – 20 gr/kg pakan secara periodik. Penggunaan obat-obatan kimia (pabrik) merupakan alternatif paling akhir jika dengan cara pencegahan tidak berhasil. 3.5 Panen Dan Pasca Panen
Panen kepiting biasanya dilakukan setelah masa pemeliharaan mencapai 4-5 bulan, dengan ukuran 3-4 ekor/kg. Cara panen kepiting dari kurungan bambu dengan menggunakan seser atau rakkang. Pasca panen dengan mengikat kaki dan capit kepiting dengan tali secara individu. Produk hasil panen ditempatkan di wadah yang berlobang-lobang dengan dialasi pelepah pisang yang dibasahi air laut guna mempertahankan tingkat kelembaban, selanjutnya kepiting dapat dipasarkan langsung ke pengumpul dalam keadaan hidup.
Sebagai komoditas ekspor kepiting memiliki harga jual cukup tinggi baik di pasaran dalam maupun luar negeri, namun tergantung pada kualitas kepiting (ukuran tingkat kegemukan). Penggemukan kepiting dapat dilakukan terhadap kepiting bakau jantan dan betina dewasa tetapi dalam keadaan kosong/kurus. Untuk dapat menghasilkan kepiting yang gemuk diperlukan waktu yang cukup pendek yaitu 10 – 20 hari. Harga jual kepiting gemuk menjadi lebih tinggi dengan demikian dapat meningkatkan nilai tambah bagi petani.
3.6 Teknik Budidaya Pembesaran
Faktor teknik yang perlu diperhatikan untuk menunjang keberhasilan budidaya pembesaran kepiting, antara lain :
Pemilihan lokasi budidaya harus tepat secara teknis operasional dengan mempertimbangkan beberapa aspek sebagai berikut :
Mutu air cukup baik
Salinitas 15 – 30 ppt
Ph air 7 – 8
Suhu 25 – 30 C
Kandungan O >3 ppm
Mudah diawasi
Substrat dasar tambak adalah lumpur berpasir
Untuk sistem karamba harus terhindar dari pengaruh banjir dan mudah terjangkau oleh pasang surut.
Merupakan wilayah penangkapan kepiting
Tempat Pemeliharaan
Tempat pemeliharaan kepiting bisa berupa kurungan bambu, waring, maupun bak beton. Untuk tempat pemeliharaan kepiting yang berasal dari kurungan bambu (karamba) disarankan berukuran 1,5x1x1meter atau 2x1x1meter, hal ini bertujuan memperrmudah pengelolaannya terutama pada waktu mengangkat karamba di waktu panen.
Pemilihan Benih
kepiting lainnya. Untuk itu maka harus dipilih benih yang mempunyai kaki masih lengkap. Benih kepiting yang kurang sehat warna karapas akan kemerah-merahan dan pudar serta pergerakannya lamban.
Pengangkutan Benih
Walaupun kepiting bakau merupakan hewan yang tahan terhadap perubahan lingkungan namun cara pengangkutan yang salah bisa menyebabkan kematian dalam jumlah banyak atau mengurangi sintasan. Pengangkutan benih sebaiknya dilakukan sewaktu suhu udara rendah dan kurang sinar matahari. Tereksposenya benih kepiting ke dalam sinar matahari bisa menimbulkan dehidrasi yang pada akhirnya cairan dalam tubuh kepiting akan keluar semuanya sehingga menyebabkan kematian. Tingginya kematian benih setelah sampai tempat tujuan biasanya disebabkan karena benih yang dibeli memang sudah lemah akibat sudah ditampung beberapa hari oleh pedagang pengumpul. Biasanya kematian kepiting terjadi setelah hari ke-4 dalam penampungan tanpa air. Wadah yang dipakai dalam pengangkutan kepiting sebaiknya tidak menyebabkan panas dan letakkan kepiting dalam posisi hidup. Wadah sterofoam dengan panjang 1 m dan lebar 60 cm dapat menyimpan benih sebanyak 100 – 150 ekor untuk benih yang diikat.Lakukan penyiraman sebanyak 2 – 3 kali penyiraman dengan air berkadar garam 10 – 25 ppt, selama pengangkutan 5 – 6 jam.
3.7 Penebaran
Penebaran kepiting dilakukan pada pagi atau sore hari pada karamba. Benih kepiting yang ditebarberukuran berat 200 – 300 gram per ekor. Untuk ukuran karamba 1,5 – 2 x 1 x 1 meter kepadatan tebar nya kurang lebih 15 – 25 kg atau sebanyak 60 – 70 ekor.
3.8 Pemeliharaan
Pemberian pakan rucah lebih diutamakan dalam bentuk segar sebanyak 5 -10% dari berat badan dan diberikan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore/malam hari.
Penggantian air dilakukan bila terjadi penurunan kualitas air.
Sampling dilakukan setiap 5 hari untuk mengetahui perkembangan pertumbuhan dan kesehatan kepiting.
Dengan pengelolaan pakan yang cermat, cocok dan tepat jumlah maka dalam tempo 10 hari pertumbuhan kepiting bisa diketahui.
3.9 Pemanenan
Pemeliharaan / penggemukan kepiting di karamba dapat dilakukan selama 15 hari, tergantung pada ukuran benih dan laju pertumbuhan. Laju pertumbuhan oleh jenis pakan yang diberikan dan kualitas air tambak. Untuk memanen kepiting digunakan alat berupa seser baik untuk tujuan pemanenan total maupun selektif. Pelaksanaan panen harus dilakukan oleh tenaga terampil untuk menangkap dan kemudian mengikatnya. Selain itu tempat dan waktu penyimpanan sebelum didistribusikan kepada konsumen menentukan kesegaran dan laju dehidrasi karena kehilangan berat sekitar 3 – 4% dapat menyebabkan kematian.
3.10 Analisa Usaha
Beberapa asumsi yang digunakan dalam menghitung biaya dan pendapatan dalam usaha penggemukan kepiting :
Lama pemeliharaan 15 hari.
Harga jual kepiting jantan Rp. 27.000,- dan kepiting betina Rp.
50.000,- Benih yang dibutuhkan 20 kg atau 60 ekor/keramba
SR 75% atau 88 ekor, jantan 44 ekor atau 22 kg dan betina 44 ekor atau 22 kg dengan ukuran 1-2 ekor/kg.
Pembuatan Karamba 2bh @ Rp.250.000 : Rp. 550.000 Pembelian Peralatan : 50.000
Sub total A : Rp. 550.000 B. Biaya Operasional
Benih 40 kg @ Rp. 19.000 : Rp. 760.000
Pakan 150 kg @ Rp. 1.000 : Rp. 150.000
Tenaga Kerja : 150.000
Sub total B : Rp.1.060.000
C. Penyusutan Modal 10% x A : Rp. 55.000 D. Total Biaya (B+C) : Rp.1.115.000 E. Hasil Penerimaan
Kepiting jantan 44 kg @ Rp. 27.000 : Rp. 594.000
Kepiting betina44 kg @ Rp. 50.000 : Rp.1.100.000
Sub total E : Rp.1.694.000
F. Laba Operasional (E-D) : Rp. 579.000
G. Laba dalam 1 tahun (Fx12bln) : Rp.6.948.000 3.12 Analisa Biaya
Cash Flow{G+A} : Rp.7.498.000
Rentabilitas {F:(A+B)*100%)} : 46%
B/C Rati0 {E :D} : 1,5
Pay BackPeriod {(A+B) : (G+A) x 1tahun} : 3 bulan
Cara lama menyantap kepiting telah berakhir. Anda tak perlu berjuang mengkorek-korek cangkangnya demi mengeluarkan dagingnya. Alih-alih, cangkang tersebut bisa dimakan. Kepiting inilah yang kerap disebut sebagai kepiting soka/lunak (soft shell). Semua bagian tubuh kepiting tersebut bisa dimakan, termasuk cangkangnya yang keras. Fakta itu tak ayal membuat popularitas kepiting soka naik.
Permintaannya terus melonjak meski harganya cukup tinggi. Harga per kilonya bisa mencapai sekitar Rp 60 ribu. Namun, hidangan ini belum banyak tersedia di restoran-restoran penyaji makanan akuatik.
Pasokan kepiting soka masih rendah karena usaha budidayanya belum berkembang. Alasannya terkendala oleh bibit yang selama ini hanya mengandalkan tangkapan alam. Kendati demikian, usaha budidaya kepiting soka tetap menyimpan peluang besar. Apalagi dengan kian bertambahnya penggemar Mr. crab dari hari ke hari. (fn/jp/lb/sc/tb)
BAB IV PENUTUP Kesimpulan
Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu jenis komoditas perikanan yang potensial untuk dibudidayakan. Kepiting bakau banyak dijumpai di perairan payau yang banyak ditumbuhi tanaman mangrove. Kepiting bakau sangat disenangi oleh masyarakat mengingat rasanya yang lezat dengan kandungan nutrisi sejajar dengan crustacea yang lain seperti udang yang banyak diminati baik di pasaran dalam negeri maupun luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Moosa, M.K., I. Aswandy dan A. Karsy. 1985. Kepiting Bakau-Scylla Serrata (Forskal) Dari Perairan Indonesia . LON-LIPI. Jakarta.
Sulistiono. N., Watanabe, S, Yokota and R. Fusera. 1996. The Fishing Gears And Methods Of The Mud Crab In Indonesia Cancer (S). Hal 23-26 (In Japanese)