• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP DASAR BUNGA BANK (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSEP DASAR BUNGA BANK (1)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

KONSEP DASAR BUNGA BANK

Makalah ini dibuat guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Muamalah Kontemporer

Dosen Pengampu : Imam Mustofa, SHI., M.S.I.

Disusun Oleh

Kelompok I

Kelas B

NAMA NPM

WAHID NUR HIDAYAT (14125059)

Jurusan Hukum Ekonomi Syariah (HESy)

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

METRO

(2)

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam perekonomian Indonesia sudah menjadi suatu pengetahuan yang umum mengenai system ekonomi yang digunakan untuk mencapai tujuan untuk mensejahterakan masayarakat. Ada yang menggunakan system ekonomi barat dan ada pula yang menggunakan system ekonomi yang berbasis syariah. Seperti halnya lembaga keuangan yang ada diindonesia ada bank konvensional dan bank syariah.

Akan tetapi setelah semakin berkembangnya lembaga keuangan banyak persolan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat umum, khususnya umat muslim dimana Indonesia sendiri merupakan Negara muslim terbesar dunia. Persoalan yang terjadi disini seperti halnya mengenai bunga yang diterapkan oleh bank konvensional sebagai tambahan atas pinjaman.

Permasalahannya ada sebagian masyarakat ataupun cendikiawan muslim yang menyatakan bahwa bunga itu haram karna sama halnya dengan riba. Adapula yang mengatakan bahwa bunga bank itu tidak haram dalam arti diperbolehkan karna jika tidak menggunakan bunga suatu bank atau lembaga akan mengalami kerugian.

(3)

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Bunga Bank

1. Pengertian Bunga Bank

Bank adalah suatu lembaga bisnis, dan sistem bunga adalah satu mekanisme bank untuk pengelolaan peredaran dana masyarakat. Anggota masyarakat yang memiliki dana, dapat – bahkan diimbau untuk - menitipkan dana mereka yang tidak digunkan pada bank untuk jangka waktu tertentu. Kemudian bank meminjamkan dana itu kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkan dana untuk usaha dalam jangka waktu tertentu pula. Anggota masyarakat yang meminjam dana dari bank pada umumnya untuk dipergunakan sebagai modal usaha, bukan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. Dan dia akan mendapat keuntungan dari usahanya yang dimodali oleh bank tersebut.1

Pengertian bank menurut Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan ialah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan bunga bank adalah kelebihan jasa yang harus dibayarkan kepada bank dari pihak peminjam atau pihak yang berhutang.2

Pada umumnya dalam ilmu ekonomi, bunga itu timbul dari

sejumlah uang pokoknya, yang lazim disebut dengan istilah “kapital” atau “modal” berupa uang. Dan bunga itu juga dapat disebut dengan istilah “rente” juga dikenal dengan “interest”.3

Menurut Goedhart bunga

1 Munawir Sjadzali, MA, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997, Hlm. 14. 2 Ahmad Sarjono, Buku Ajar Fiqh, Solo: 2008, hlm. 50.

3

(4)

4

atau rente itu adalah perbedaan nilai, tergantung pada perbedaan waktu yang berdasarkan atas perhitungan ekonomi.4

Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga kepada deposan (yang memiliki simpanan) dan kreditur (nasabah yang memperoleh pinjaman) yang harus dibayar kepada bank. Institusi bunga bank yang dalam hal ini adalah bunga yang bukan termasuk riba

atau dapat dikatakan dengan bagi hasil menurut syari’at Islam (perbankkan syari’ah) telah menjadi bagian penting dari sistem

perekonomian bangsa Arab seperti halnya sistem ekonomi di negaranegara lain (non muslim).

Sesungguhnya, bunga telah dianggap penting demi keberhasilan pengoperasian sistem ekonomi yang ada bagi masyarakat. Tetapi Islam mempertimbangkan bunga itu sebagai kejahatan yang menyebarkan kesengsaraan dalam kehidupan.5 Al-Qur'an mengakui bahwa meminum-minuman keras itu bukan tidak ada manfaatnya sama sekali, tetapi Islam mengharamkannya karena akibat-akibat buruk yang diakibatkan oleh minuman-minuman keras itu jauh lebih besar daripada manfaatnya. Kita mengakui bahwa sistem bunga dalam bank itu dalam pelaksanaanya tidak selalu baik, dan dapat mencelakakan nasabah yang meminjam uang dari bank, tetapi jumlah yang merasa tertolong oleh sistem bunga yang diperlakukan oleh bank-bank konvensional itu jauh lebih banyak dari pada mereka yang dirugikan. Maka analog dengan hukumnya minum-minuman keras, sistem bunga dalam bank konvensional itu tidak haram.6

Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga bagi bank juga dapat diartikan

4 Ibid, Hlm. 19.

5 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid III, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima

Yasa, cet. II, 2002, Hlm. 76.

(5)

5

sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dan harga yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman).

2. Pendapat Ulama Tentang Bunga Bank

Banyak pendapat dan tanggapan di kalangan para ulama dan ahli fiqh baik klasik maupun kontemporer tentang apakah bunga bank sama dengan riba atau tidak.

Keputusan Lembaga Islam Nasional. Antara lain:

a. Nahdhatul ‘Ulama’, pada bahsul masa’il, munas Bandar Lampung, 1992, memutuskan bahwa:

1). Sebagian ulama mengatakan bunga sama dengan riba, sebagian lain mengatakan tidak sama, dan sebagian lain mengatakan syubhat.

Rekomendasi: agar PBNU mendirikan bank Islam NU dengan sistem tanpa bunga.

Muhammadiya, pada Lajnah Tarjih Sidoarjo, 1968. Memutuskan bahwa: bunga yang diebrikan oelh bank-bank milik negara kepada nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara “mustasyabihat”.

2). Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan yangs esuai kaidah Islam.

b. Majelis Ulama Indonesia pada Lokakarya Alim Ulama, Cisarua 1991, memutuskan bahwa:

1). Bunga bank sama dengan riba;

2). Bunga bank tidak sama dengan riba; dan

3). Bunga bank tergolong syubhat. MUI harus mendirikan bank alternatif.

c. Lajnah Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia, Majelis Ulama Indonesia,

pada Silaknas MUI, 16 Desember 2003, memutuskan bahwa “Bunga

(6)

6

d. PP Muhammadiyah, fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah No. 8 Juni Tahun 2006. Diumumkan pada RAKERNAS dan Business Gathering

Majelis Ekonomi Muhammadiyah, 19-21 Agustus 2006, Jakarta,

memutuskan bahwa “Bunga bank haram”.7

(7)

7

B. Riba

1. Pengertian Riba

Secara etimologis riba berasal dari Bahasa Arab, yaitu dari kata

raba-yarbu-rabwan yang berarti az-ziyadah (tambahan) atau al-fadl

(kelebihan), berkembang (an-numuww), meningkat (al-irfa’) dan membesar (al-‘uluw). Dengan kata lain riba adalah penambahan, perkembangan peningkatan dan pembesaran atas pinjaman pokok yang diterima pemberi pinjaman dari peminjam sebagai imbalan karena menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu tertentu.

Riba juga dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil yang bertentangan dengan prinsip muamalat dalam islam.8

Menurut syari’ah riba yaitu merujuk pada “premi” yang harus

dibayarkan oleh peminjam kepada yang memberikan pinjaman bersama dengan jumlah pokok utang sebagai syarat pinjaman atau untuk perpanjangan waktu pinjaman.9

Sedangkan menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fikih Sunnah

mengatakan bahwa yang dimaksud dengan riba adalah tambahan atas modal baik penambahan itu sedikit ataupun banyak. Demikian juga, menurut Ibn Hajar Asqalani, riba adalah kelebihan baik dalam bentuk barang maupun uang. Sedangkan menurut Muhammad al-Hasan Taunki, riba adalah kelebihan atau pertambahan dan jika dalam suatu kontrak penukaran barang lebih dari satu barang yang diminta sebagai penukaran barang yang sama.10

Selanjutnya menurut M. Umer Chapra, riba secara harfiah berarti adanya peningkatan, pertambahan, perluasan, atau pertumbuhan.

8 Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta; Sinar Grafika, 2008)

9 Zamir Iqbal, DKK. Pengantar Keuangan Islam Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana,

2008)

10

(8)

8

Menurutnya, tidak semua pertumbuhan terkarang dalam Islam. Akan tetapi, keuntungan juga merupakan peningkatan atas jumlah harga pokok tetapi tidak dilarang dalam Islam.11

Istilah lain yang dibuat para ulama yang menunjuk kata riba adalah bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berutang (debitur) kepada orang yang berpiutang (kreditur), sebagai imbalan untuk menggunakan sejumlah uang milik kreditur dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Abdul Mannan mengemukakan pengertian riba secara

lughawi bahwa penggunaan kata sandang al di depan riba dalam

al-Qur’an menunjukkan kenyataan bahwa al-riba mengacu pada perbuatan mengambil sejumlah uang berasal dari seseorang yang berutang, secara berlebihan.12

Kemudian, Menurut Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, M.A.

Diharamkannya riba karena dua hal yakni, pertama, adanya kedzaliman;

kedua, adanya eksploitasi dalam kebutuhan pokok atau adanya garar,

ketidakpastian dan spekulasi yang tinggi, oleh karena itu tidak diharamkan selama tidak bertentangan dengan dua hal di atas.13

Dari berbagai perbedaan definisi di atas mengenai riba. Salah satu sebabnya adalah perbedaan yang dipengaruhi penafsiran atas pengalaman dari masing-masing ulama dalam memahmi riba di dalam konteks hidupnya. Walaupun demikian terdapat perbedaan defininya, substansinya adalah sama. Secara umum para ekonom muslim tetap menegaskan bahwa riba adalah penambahan yang dibayarkan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam yang sangat bertentangan dengan

prinsip syari’ah.

11

Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 25-29.

12 M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima

Yasa, 1997), hlm. 118.

13Rachmat Syafe’i.

(9)

9 satu harta sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syara’”, yang dimaksud ukuran syara’ adlah timbangan atau ukuran tertentu. Misalnya,

satu kilogram beras dijual dengan seperempat kilogram. Kelebihan seperempat kg tersebut disebut riba fadl. Jual beli semacam ini disebut barter.

Sedangkan riba an-nasi’ah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang berutang kepada pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Apabila waktu tempo telah tiba, ternyata orang yang berutang tidak sanggup membayar hutang dan kelebihannya, maka waktu bisa diperpanjang dan utangnya pun bertambah.

Hakikat larangan tersebut tegas, mutlak dan tidak mengandung perdebatan. Tidak ada ruang untuk mengatakan bahwa riba mengacu sekedar pinjaman dan bukan bunga, karena Nabi melarang mengambil, meskipun kecil, pemberian jasa atau kebaikan sebagai syarat pinjaman, sebagai tambahan dari uang pokok. Meskipun demikian, jika pengembalian pinjaman poko dapat bersifat positif atau negatif tergantung pada hasil akhir suatu bisnis, yang tidak diketahui terlebih dahulu. Ini diperbolehkan asal ditanggung bersama menurut prinsip-prinsip keadilan

yang ditetapkan dalam syari’ah.14

Dua jenis riba di atas jelas diharamkan karena merupakan suatu pendapatan yang diperoleh secara tidak adil. Rasulullah Saw. Menyamakan riba dengan menipu orang bodoh agar membeli barangnya dan menerangkan sistem ijon secara sia-sia dengan bantuan agen. Hal ini

14

(10)

10

mengandung arti bahwa tambahan uang yang diperoleh dengan cara eksploitasi dan penipuan adalah suatu keharaman.

3. Dasar Hukum Larangan Riba Dalam al-Qur’an dan Hadis

a. Riba Dalam al-Qur’an

Ada sejumlah ayat al-Qur’an dan beberpa hadis Nabi Saw. yang membicarakan tentang riba. Akan tetapi, ayat al-Qur’an tersebut hanya menyinggung riba yang berhubungan dengan hutang-piutang. Sementara riba yang berhubungan dengan perdagangan dibahas dalam sunnah Nabi Saw. dalam hal ini Abu Zahrah mengklasifikasi sunnah Nabi yang membicarakan tentang riba menjadi dua. Pertama, sunnah yang berfungsi sebagai tafsiran pada ayat al-Qur’an yang membahas tentang riba dan Kedua, sunnah Nabi yang menggambarkan jenis lain riba.15

Di dalam al-Qur’an kata riba beserta bentuk derivasinya disebut sebanyak dua belas kali, delapan diantaranya berbentuk kata riba itu sendiri. Quraisy Shihab menyebut kata riba termaktub dalam al-Qur’an sebanyak delapan kali dalam empat surat yaitu al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa’ dan ar-Ruu. Tiga surat pertama adalah madaniyah, sedangkan ar-Ruum adalah Makkiyah.16 Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah ar-Rum ayat 39.

Ayat-ayat al-Qur’an yang pada umumnya dicatat oleh para ulama dan fuqaha ketika berbicara tentang riba adalah surat al-Baqarah ayat 275-279. Ali Imran ayat 130-131, an-Nisa’ ayat 160 -161, dan ar-Ruum ayat 39.

15 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami (Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad

Abduh), (Yogyakarta: Pustaka Fajar, 1996) hlm. 41.

(11)

11 dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.(QS. Ali

(12)

12

dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

(Ar-Rum: 39)

Dengan memperhatikan ayat-ayat tersebut diatas, ada ayat yang memang secara eksplisit tegas mengharamkan riba, ada juga yang tegas melarangnya, akan tetapi masih berupa gambaran umum dan kurang komprehensif. Dilihat dari periodesasinya ke semua ayat tersebut mempunyai masa berbeda, baik itu tempat maupun waktunya. Ada satu ayat yang turun di Makkah di masa awal perjuangan Islam (sebelum Nabi hijrah) dimana ajarannya masih berkutat mengenai keimanan dan ketauhidan. Sedangkan tiga ayat lainnya turun di Madinah, dimana ajaran sosial kemasyarakatannya lebih luas dan banyak.

Dari perpektif di atas maka pelarangannya mengalami tahap demi tahap sebagaimana keharaman minuman keras (khamr). Hal ini dimaksudkan untuk membimbing manusia secara perlahan dan mudah dalam mengalihkan kebiasaan orang Arab yang telah berakar dari nenek moyangnya. Pertama-tama diadakan secara temporal, kemudian diadakan secara tuntas.

b. Riba Dalam Hadis

Pelarangan riba dalm Islam tidak hanya merujuk pada

(13)

13

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Bank adalah lembaga bisnis, sedangkan bunga bank adalah penambahan dari pinjaman pokok yang harus dibayarkan. Dan bunga bank menurut mayoritas ulama adalah termasuk riba. Dan riba adalah sesuatu yang

tidak ada dalam ketentuan syara’. Sehingga keberadaannya diharamkan.

riba membagi dua macam, yaitu riba fadl dan riba an-nasi’ah. Riba fadl adalah riba yang berlaku dalam jual beli yang didefinisikan oleh para

ulama fiqh dengan “kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syara’”, yang dimaksud ukuran syara’ adlah

timbangan atau ukuran tertentu. Sedangkan riba an-nasi’ah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang berutang kepada pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Apabila waktu tempo telah tiba, ternyata orang yang berutang tidak sanggup membayar hutang dan kelebihannya, maka waktu bisa diperpanjang dan utangnya pun bertambah.

B. Saran

(14)

14

DAFTAR PUSTAKA

Sjadzali, Munawir. 1997, Ijtihad Kemanusiaan, Paramadina, Jakarta.

Harahap, Syahirin. 1993, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam, Pustaka al-Husna, Jakarta.

Rahman, Afzalur. 2002, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid III, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, cet. II, Yogyakarta.

Sudarsono, Heri. 2004, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Ekonisia, Yogyakarta.

Wirdyaningsih, 2005, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta M. Abdul Mannan, 1997, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Dana Bhakti Prima

Yasa, Yogyakarta.

Syafe’i, Rachmat. 2004, Fiqh Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum,

Pustaka Setia, Bandung.

Muhammad, 2003, Bank Syari’ah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan

Ancaman, Ekonisia, Yogyakarta.

Nasution, Khoiruddin. 1996, Riba dan Poligami (Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh), Pustaka Fajar, Yogyakarta.

(15)

15

Zamir Iqbal, DKK. 2008. Pengantar Keuangan Islam Teori dan Praktik, Kencana, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Rimpang lempuyang wangi mengandung tannin, saponin, flavonoid, dan glikosida.Tujuan penelitian ini untuk memanfaatkan rimpang lempuyang wangi sebagai sediaan yang

Pada alat tenun ini benang lusi dalam posisi vertikal dan selalu tegang karena ada pemberat atau beban, sedangkan benang pakan disisipkan dengan suatu alat yang disebut

para mujtahid, karena para mujtahid hanya terbatas pada memperjelas atau memunculkan hukum Allah serta menemukannya melalui jalan Istimbath (penetapan hukum yang berdasarkan

As inbred ZPPL4 in all combinations has a good value for popping volume could be concluded that this inbred may be used as parent in further crosses.. Analysis of

• H3-2: keselarasan Strategis memiliki hubungan yang signifikan dengan sukses SISP dalam organisasi publik.

Daya inverter tiga fasa yang akan digunakan harus sesuai dengan besarnya daya maksimum dari beban yaitu minimal sebesar 28.775 kW, oleh karena itu dipilih

yaitu jenis herbisida yang diaplikasikan pada lahan pertanian setelah tanaman budidaya tumbuh di lahan tersebut, dengan tujuan untuk menekan pertumbuhan gulma yang tumbuh

(3) Dalam menjalankan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Ketua dibantu pengelola keuangan Sekolah Tinggi wajib menatausahakan dan mempertanggungjawabkan