• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN HUKUM PROGRESIF DALAM PENEGAKA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENERAPAN HUKUM PROGRESIF DALAM PENEGAKA (1)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN HUKUM PROGRESIF DALAM PENEGAKAN

HUKUM DI INDONESIA

Disusun Oleh:

1. Antonius Mahendra Dewantara / 8111416345

2. Dika Kirana Larasati / 8111416349

FAKULTAS HUKUM

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan nikmat dan karunianya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik tanpa adanya hambatan.

Dalam makalah ini kami membahas tentang penerapan hukum progresif dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia. kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang ikut membantu dalam proses pembuatan makalah ini terutama dosen yang memberikan mata kuliah tentang hukum lingkungan.

Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami sebagai penyusun atau pembuat makalah mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar makalah ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum lingkungan dan sebagai referensi para mahasiswa mempelajari tentang hukum lingkungan.

Semarang, 22 September 2017

(3)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG ……….

1.2 RUMUSAN MASALAH ………

1.3 METODE PENULISAN……….

BAB II PEMBAHASAN

A. PEMBAHASAN I……….

B. PEMBAHASAN II………...

C. PEMBAHASAN III………..

BAB III KESIMPULAN

(4)

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Konsep hukum progresif Satjipto Rahardjo berawal dari kegelisahannya bahwa setelah 60 tahun usia negara hukum, terbukti tidak kunjung mewujudkan suatu kehidupan hukum yang lebih baik, dengan keprihatinannya dia berkata:1 “Saya merasakan suatu kegelisahan sudaah merenungkan lebih

dari enam puluh tahun usia Negara Hukum Republik Indonesia. Berbagai rencana nasional telah dibuat untuk mengembangkan hukum di negeri ini, tetapi juga tidak memberikan hasilyang memuaskan, bahkan grafik menunjukkan tren yang menurun. Orang tidak berbicara tentang kehidupan hukum yang makin bersinar, melainkan sebaliknya, kehidupan hukum yang makin suram”. Bertolak dari kenyataan pahit mengenai kehidupan dan peranan hukum yang ia konstatir di atas, maka muncullah keinginan untuk kembali kepada fondamental hukum di negeri ini, bahkan almarhum memikirkan tentang kemungkinan adanya kekeliruan bahkan kekurangtepatan dalam memahami fundamental hukum tersebut, sehingga almarhum menegaskan adanya perkembangan hukum tidak dapat diarahkan kepada yang benar.2

Kemudian padaTahun 2002 mulai dikenal komsep Hukum Progresif di Indonesia. Ide penegakan hukum progresif lahir dari ketidakpuasan pada praktik ajaran ilmu hukum positif di Indonesia. Hukum Progresif digagas sebagai solusi dari kegagalan penerapan hukum positif dan rasa keprihatinan terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia terutama sejak terjadinya reformasi pada pertengahan tahun 1998.

Progresivisme berlawanan dengan pandangan kemanusiaan yang menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama. Namun, dasar Hukum Progresif berpedoman pada hakikat dasar “hukum adalah untuk manusia”. Hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu hukum positif, melainkan untuk manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Progresivisme mengajarkan, bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi untuk memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Progresivisme tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan.3

Gagasan tersebut jelas berbeda dengan aliran hukum positif dimana kebenaran terletak dalam tubuh suatu peraturan dengan mengutamakan prinsif legalitas formal. Kehadiran Hukum progresif erat kaitannya antara hubungan manusia dengan masyarakat. Jika dikaitkan dengan developmental model hukum dari Nonet dan Selznick, Hukum Progresif memiliki tipe responsif, yaitu hukum

1 Satjipto Raharjo (dalam Romli Atmasasmita, Teori hukum Integratif), Genta Publishing, Yogyakarta, 2012, hlm 86

2 ibid

3 Satjipto Rahardjo, (dalam I Gede A.B.Wiranata, Hukum Bangun Teori dan Telaah dalam

(5)

selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar naskah tekstual hukum. Hukum progresif melihat hukum tidak dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan melihat dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. Oleh sebab itu, kehadiran hukum dikaitkan dengan tujuan sosialnya, maka hukum progresif juga dekat dengan Sociological Jurisprudence dari Roscoe Pound, yang menolak studi hukum sebagai studi tentang peraturan-peraturan.4 Reformasi serta kritik-kritik negatif terhadap

sistem dan penegakan hukum di Indonesia memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk memikirkan alternatif untuk keluar dari situasi buruk tersebut. Tetapi, bagaimanapun kondisi keterpurukan tersebut tetap memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk memikirkan perubahannya. Pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Hukum yang masih abstrak tersebut perlu untuk diwujudkan atau dijabarkan, pada tatanan inilah yang disebut dengan penegakan hukum(Law Enforcement). Realitas penerapan hukum yang ada, tatanan penyelesaian hukum tidak dapat lagi menggunakan cara-cara yang biasa dan konvensional, tetapi membutuhkan cara yang luar biasa. Salah satu cara di tawarkan oleh Satjipto Rahardjo dalam menghadapi problematika dalam dunia penegakan hukum Indonesia adalah suatu tipe penegakan hukum progresif. Penegakan hukum progresif mengajak Indonesia untuk melihat hukum secara komprehensif dan tidak memakai kacamata kuda. Penegakan hukum progresif menekankan pada dua hal, yaitu hukum ada untuk manusia dan bukan manusia ada untuk hukum. Hukum tidak bisa bekerja sendiri, hukum membutuhkan institusi atau manusia untuk menggerakannya.

Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam-putih dari peraturan melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam dari undang-undang atau hukum.5 Pembahasan

penegakan hukum progresif di atas menjadi titik awal kenapa penegakan hukum progresif dijadikan sebagai tipe penegakan hukum alternatif. pemaknaan yang dapat diambil bahwa “kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai kebenaran undang-undang, tetapi harus dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undang-undang“.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah konsep hukum progresif ?

2. Bagaimana penegakan hukum progresif bagi hukum lingkungan di indonesia ?

3. Bagaimana contoh penerapan hukum progresif bagi penegakan hukum linngkungan yang terjadi di Indonesia ?

1.3 Metode Penulisan

4 ibid

(6)

Dalam usaha mencari data-data sebagai bahan penelitian dan penulisan makalah ini, saya mengunakan Metode Referensi,yaitu dengan mengunakan buku-buku tentang hukum lingkungan seperti Bahan Hukum Primer mengenai pokok yang mengikat sesuai dengan bahasan yang diangkat mulai dari UUD 1945 yang tinggi hingga undang-undang yang rendah dan bahan Hukum Sekunder memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku, karya dari kalangan hukum.

Bab II Pembahasan

Pembahasan 1

(7)

Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter),melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to the very meaning) dari undang-undang atau hukum.6 Penegakan hukum tidak hanya dengan kecerdasan

intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan. Ide penegakan hukum progresif lahir dari refleksi intelektual yang cukup panjang. Pembahasan penegakan hukum progresif di atas merupakan salah satu rekam jejak refleksi intelektual yang menjadi titik awal kenapa penegakan hukum progresif dijadikan sebagai tipe penegakan hukum alternatif. Tibalah kita pada sebuah kesimpulan bahwa “kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai kebenaran undang-undang, tetapi harus dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undang-undang“. Hukum Progresif berarti hukum yang bersifat maju. Istilah hukum progresif, diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang dilandasi asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Hal ini akibat dari rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan.7 Pengertian sebagaimana

dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut berarti hukum progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasa atau keberpihakan dalam menegakkan hukum. Sebab, hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat. Pembebasan tersebut di dasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia. Hukum progresif bukan sebatas dogmatis belakang. Secara spesifik hukum progresif bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat dan hukum yang berkeadilan. Oleh karena itu, hukum progresif meninggalkan tradisianalytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek. Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada

6 Satjipto Rahardjo, 2008, Membongkar Hukum Progresif, Jakarta, Penerbit Kompas, hlm. 126-127

(8)

pada statuslaw in the making dan tidak bersifat final, ketiga hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.

Berdasar asumsi-asumsi di atas maka kriteria hukum progresif adalah :8

1. Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.

2. Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.

3. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan dimensi yang amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga teori.

4. Bersifat kritis dan fungsional.

Konsep hukum progresif yang dikemukakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo bila diartikan secara sederhana dapat diartikan sebagai “bagaimana” membiarkan hukum tersebut mengalir untuk menuntaskan tugasnya mengabdi pada manusia dan kemanusiaan. Adapun pokok-pokok pemikiran model hukum progresif ini dapat diuraikan sebagai berikut ini :

1. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada idealnya hukum.

2. Hukum menolak status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak berhati nurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.

3. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia.

4. Hukum progresif adalah, “hukum pro rakyat dan pro keadilan”

5. Asumsi dasar hukum progresif adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. berkaitan dengan hal ini, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih besar.

6. Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).

Sebagaimana disebutkan diatas, untuk menguji kualitas dari hukum, tolak ukur yang dapat dijadikan pedoman antara lain keadilan, kesejahteraan dan keberpihakan kepada rakyat semakin jauh dari kenyataan, mengingat banyaknya persoalan hukum yang tidak terselesaikan dengan baik. Banyaknya kasus korupsi yang terkuak namun tidak mendapatkan penyelesaian yang memuaskan menjadi pemicu utama lahirnya pemikiran hukum yang progresif. Kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin pudar sehingga hukum tidak lagi dianggap sebagai panglima dalam menyelesaikan persoalan. Sungguh sangat ironis bagi Negara yang mendasarkan dirinya pada hukum tetapi tidak dapat menegakkan hukum karena kepercayaan dari masyarakat tidak ada. Seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat yang terus berubah, memunculkan sebuah stagnasi, hukum saat ini tidak mampu memberikan solusi dalam zaman modern. Implikasinya ketika manusia dalam setiap proses perkembangannya selalu berubah sesuai dengan kebutuhan kehidupannya maka hukum pun harus mengikuti perubahan tersebut. Hal inilah yang menjadi perbedaan mendasar antara hukum progresif dengan hukum positivis yang selama ini diterapkan di Indonesia. Jika selama ini hukum selalu

(9)

tertinggal jauh terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat, maka hukum progresif lebih membuka diri dan respon terhadap perubahan dan tidak terikat pada hukum tertulis.Dalam hal ini hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusiaan. Dengan demikian peran hukum lebih menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap keadilan dan kesejahteraan. Artinya keberadaan hukum sudah seharusnya mencerminkan standar baku dari apa yang baik dan tidak baik, adil dan yang tidak adil. Perihal tersebut dalam konteks ke Indonesiaan tidak boleh terlepas dari jati diri bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai bangsa yang diterima semua lapisan masyarakat, semua generasi bahkan semua budaya sehingga sangat layak dijadikan standar utama dalam kehidupan hukum berbangsa dan bernegara.

Pembahasan 2

Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktifitas kehidupan” yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai prilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata di anggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun proses penegakan hukum mempunyai demensi yang lebih luas dari pada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi prilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”.

Adapun tujuan penegakan hukum lingkungan menurut Santoso adalah penataan (complance) terhadap nilai-nilai perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup yang pada umumnya diformalkan ke dalam peraturan perundang-undangan, termasuk ketentuan yang mengatur baku mutu limbah atau emisi. Nilai-nilai perlindungan daya dukung lingkungan ekosistem dan fungsi lingkungan hidup tidak selamanya terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagai binding principles atau binding norms. Tidak sedikit nilai-nilai tersebut hanya berwujud peinsip-prinsip (nonbinding principles) yang terdapat pada sebuah deklarasi internasional (soft law) seperti halnya prinsip kehati-hatian (precautionary principles) yang terdapat dalam Deklarasi Rio (prinsip ke-15). Pelaksanaan secara efektif prinsip (nonbinding principles) secara ideal harus didahului dengan penerjemahannya ke dalam norma-norma operasional yang bersifat binding. Namun upaya penerjemahan prinsip-prinsip non binding tersebut tidak selamanya mudah. Oleh karenanya, pengendalian diharapkan mampu untuk secara proaktif menerjemahkan atau menafsirkan prinsip-prinsip tersebut kedalam putusan pengadilan.9 Saat ini penegakan hukum lingkungan di Indonesia begitu suram.

Batapa banyak kerusakan lingkungan yang terjadi dengan jumlah penjahat lingkungan yang semakin merajalela tetapi tindakan hukum terhadap mereka tidak dilakukan. Sebenarnya hal ini tidak harus terjadi kalau hukum lingkungan benar-benar ditegakan. Mewujudkan supremasi hukum melalui upaya

(10)

penegakan hukum serta konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan, baik di bidang ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional. Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum di bidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :

1. Penegakan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.

2. Penegakan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata. 3. Penegakan hukum ingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana. Undang-undang tersebut sifatnya pokok sehingga di kenal sebagai ketentuan hukum yang memayungi ketentuan hukum lain yang mengatur masalah lingkungan. Dengan demikian undang-undang tersebut menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan ketentuan hukum lain yang mengatur masalah lingkungan hidup yang sudah ada atau yang akan diadakan.

Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan melalui instrument hukum administrasi negara, hukum perdata dan hukum pidana. Penyelesaian masalah lingkungan hidup melalui instrumen hukum admisnistrasi bertujuan agar perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan, berhenti atau mengembalikan kepada keadaan semula (sebelum ada pelanggaran). Oleh karena itu, fokus dari sanksi administratif adalah perbuatannya, sedangkan sanksi dari hukum pidana adalah orangnya (dader, offender),. Selain itu, sanksi hukum pidana tidak hanya ditujukan kepada

b. UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. c. PP Nomor 20 Tahun 1990 Tentang Pengendalian Pencemaran Air Jo.

PP No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran air.

d. PP No. 19 Tahun 1994 jo. PP No.12 Tahun 1995 Tentang Pengelolaan limbah B-3, sebagaimana telah diubah dengan PP No. 18 Tahun 1999 dan PP No. 85 Tahun 1999.

Pembahasan 3

(11)

444 juta ton batubara dikeruk dari bumi Kal-Sel.10Masa Orde lama kebijakan

Nasional menutup perusahaan asing termasuk batubara di Kal-Sel. Sampai dengan berakhirnya masa regim pemerintahan Orde Lama ditahun 1965/1966. Tetapi Masa Orde baru kegiatan eksploitasi sumber daya alam secaraumum di Indonesia secara besar besaran di mulai dengan berkuasanya pemerintahan Soeharto. Di awali dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS Tahun 1966, Pembaharuan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Perubahan kebijakan ekonomi pada tahun 1966. Keluarnya UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang membuka pintu kepada negara melakukan eksploitasi sumber daya alam Indonesia. Kemudian UU tersebut di dukung oleh UU No 5 Tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan yang menyebabkan hutan diserahkan pemerintah kepada pengusaha.

Sektor pertambangan di Kalimantan Selatan di mulai dengan di keluarkannya kebijakan Kepres No. 49/1981 mengenai Kontrak Pengusahaan Batu bara Generasi I atau yang lebih dikenal dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B). Di Kalimantan Selatan ada 3 perusahaan yaitu PT. Arutmin, PT. Adaro dan PT. Chong Hua OMD (yang kemudian dicabut izinnya). Ketiga kontraktor ini diberi cadangan areal sekitar 230.000 hektar. Lokasi tambang Arutmin berada di Kabupaten Kota Baru, sementara Adaro di Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Tabalong, sedangkan Chung Hua OMD di Kabupaten Banjar. Pada tahun 1993, jumlah perusahaan pertambangan dengan menggunakan PKP2B bertambah dengan dikeluarkannya Kontrak Pengusahaan Batubara Generasi II melalui kebijakan Kepres No. 21/1993 terdiri dari 5 perusahaan yaitu PT. BCS, Bantala CM, Antang Gunung Meratus, Jorong Barutama, Borneo Indobara. Kontrak Pengusahaan Batubara Generasi III di keluarkan dengan kebijakan Kepres No. 75/1996 terdiri dari 11 perusahaan yaitu PT. Mantimin Coal Mining, Bara Pramulya Abadi, PT. Generalindo Prima Coal, Wahana barata Mining, Ekasatya Yanatama, Lianganggang Cemerlang, Sinarindo Barakarya, Adibara Bansatra, Bukit Kalimantan Indah, PT. Senamas Energindo Mulai, PT. Kalimantan Energi Lestari. 11 Hingga sekarang hutan

Kal-Sel dieksploitasi khusus pertambangan batu bara, sebelumnya ekploitasi hutan kayu Kal-Sel secara besar-besaran, baik secara legal dan illegal. 8 Bagian terakhir ini sering disebut dengan Penambangan Liar (PETI). Menurut Ketua ASPERA (Asosiasi Penambang Rakyat) Kal-Sel untuk tahun 2004 produksi batu bara yang dihasilkan oleh PETI mencapai 10 juta metrik ton. 12Sementara

hukum hanya menyentuh pada penambangan liar. Ironisnya kasus penahanan para tersangka tidak pernah ada di daerah ini. Beberapa orang yang dijadikan tersangka secara tidak diketahui tidak diproses sampai ke pengadilan.Beberapa konplik tanah adat dan masyarakat sekitar pertambangan sering terjadi. Kenyataannya ketika adanya upaya pemberdayaan Hutan Tanaman Industri (sesuai dengan UU Kehutanan No.41 Tahun 1999) belum selesai ditanami sudah ada blok-blok konsesi pertambangan di kawasan hutan. Menurut data dari dinas kehutanan tahun 2006 kawasan tambang yang tumpang tinduh dengan kawasan pengusahaan

10 Bambang Prabowo Soedarso, Potret Hukum Pertambangan di Indonesia Dalam Era UU No.4 Tahun 2009, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Universitas Indonesia, Jakarta, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 6 No.3, April 2009, hlm. 411

11 Supriadi, hukum lingkungan di Indonesia, Sinar Grafika, 2008, hlm 48

(12)

hutan baik itu HPH maupun HTI terdapat sedikitnya 18.101 Ha. Akibatnya Hutan di Kal Sel mengalami krisis. Berdasar data peta Repprot dari tahun 1985 – 1997 hutan di Kal-Sel menyusut sebesar 44,4 % untuk dua belas tahun atau seluas 769.713 Ha dengan kata lain 3,7 % per tahun. Menurut Santoso Kanwil Kehutanan Kal-Sel dari luasan lahan HPH di Kalsel tercatat 868 ribu Ha dan yang masih merupakan hutan yang baik tinggal 150 ribu Ha pada tahun 1997. Sedangkan pada tahun 2004 deforestasi sebesar 90.752 ribu ha pertahun. UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara tetap melegalisasikan pengerukan tambang batubara. UU ini bila dibaca secara kerangka ilmu hukum harus tidak berdiri sendiri sebab ia masih masuk dalam ranah hukum lingkungan yang berarti sangat erat berhubungan dengan UU Kehutanan maupun Lingkungan atau umbrella provision bagi peraturan perundang-undangan lainnya. Sebut saja UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang diganti dengan UU N0. 26 tahun 2007. demikian pula UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan di samping peraturan lainnya yang terkait dengan upaya penciptaan lingkungan yang mendukung hidup sejahtera bagi setiap warga negara. Hanya persoalannya bagi Pengusaha dan pemerintah daerah mungkin saja dalam pelaksanaannya bersifat tersendiri. Memperhatikan apa yang di muat dalam Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2009 bagian asas dan tujuan disebutkan bahwa Pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan:

 manfaat, keadilan, dan keseimbangan;  keberpihakan kepada kepentingan bangsa;  partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;

(13)

0,23%. Artinya perizinan terhadap batu bara masih dianggap sedikit. Tetapi hutan Kal-Sel telah berkurang 51.141 Ha atau setiap harinya kehilangan 140 ha luas hutan atau 141kali luas lapangan sepak bola. Angka yang sama juga terjadi pada tahun 2003, sehingga estimasi luasan hutan yang tersisa pada tahun 2007 adalah 884.758,86 ha. Berdasarkan analisis dan SK Menhut 453 luasan hutan lindung Kal-Sel 2008 hanya mencapai 433.677 hektar dan itupun sebesar 142 523 hektare telah di rambah oleh pertambangan. Jika berdasar data di atas dimana izin pertambangan dikeluarkan sebanyak 228.556,25 Ha, Kal-Sel sekarang ini berarti telah kehilangan hutannya sebagai pelindung kehidupan. Terbukti parah rusaknya hutan yang berdampak pada penurunan kualitas SDM, rusaknya infrastruktur, hilangnya hak ulayat dan perkebunan, sebagai berikut :

1.SDM Menurun, Indeks Pembangunan Manusia Kalimantan Selatan turun peringkatnya dari urutan ke 24 tahun sebelumnya menjadi ke urutan 26 dari 33 provinsi. Faktor yang sangat dominan dalam menentukan indeks Pembangunan Manusia adalah kesehatan dan pendidikan. Dengan kata lain, pendapatan daerah tidak lebih baik atau tidak berdaya guna untuk perbaikan kesehatan dan pendidikan. Sementara daerah lainya yang tidak memprioritaskan batu bara justru berada pada peringkat lebih tinggi.

2.Problem Infrastruktur, rusaknya jalan negara mengakibatkan problem baru dalam lalu lintas kerja dan kestabilan masyarakat pengguna jalan lain atau kepentingan publik . Bahkan meningkatnya kecelakaan di jalan dan penderita sesak nafas yang berkepanjangan sementara Pemerintah tak dapat berbuat apapun untuk menanggulanginya. Meskipun sekarang Kepala Daerah Kal-Sel saat ini telah memberlakukan Perda No. 3 Tahun 2008 yang melarang angkutan batubara melintasi jalan umum. tetap saja terjadi kerusakan jalan yaitu daerah-daerah desa menjadi rusak hingga ke areal tambang.

3.PLN Uap, sebagain besar produksi batu bara ini tak dinikmati warga. Hanya lima persen yang digunakan di Kalimantan Selatan untuk pembangkit listrik, selebihnya memasok Pembangkit Listrik Tenaga Uap di pulau Jawa dan di ekspor ke luar negeri. Padahal listrik menjadi masalah serius disini. PLN tidak dapat melayani kebutuhan listrik baru, yang ada sekarangpun sudah terjadi pemadaman bergilir yang makin sering.

(14)

kerusakan hutan yang ada dan menyebabkan daya tahan air hampir bisa dikatakan tidak ada. Ditambah karena DAS (daerah aliran sungai), tidak mampu lagi menjadi buffer zone yang efektif untuk mencegah bencana banjir. kerusakan yang cukup parah di antanya adalah Sub DAS Tabalong, Tapin, Riam Kiwa, Maluka, Kintap, Tabonto, Satui, Kusan dan Sebamban.

5.Rusaknya Perkebunan Rakyat, daya rusak yang luar biasa bagi lingkungan dan penduduk sekitar. Dibuktikan Infiltrasi air di areal pertambangan adalah nol padahal dimusim kemarau. Ini artinya, kalau ada hujan, semua air hujan akan masuk ke badan air, lubang-lubang bekas tambang yang jumlahnya ribuan. Kalau lubang-lubang bekas tambang penuh dan air meluber, maka akan mencemari areal sungai, perkebunan dan pertanian masyarakat. Tanamannya akan mati. Hilangnya Hak Ulayat. Dengan banyaknya HPH maupun sekat kawasan Pertambangan, atas alasan legalistik Kuasa Pertambangan (KP) ataupun Agreement of Work on Coal Mining (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara = PKP2B), hak ulayat tak dapat lagi berharga. Minimnya Pendapatan Daerah. Pada Rapat Paripurna Pemda 2008 terungkap, total pendapatan daerah KalSel Rp.1.616.748.000.000. Belanja daerah diperkirakan Rp 1.606.450.000.000. Sedangkan pembiayaan daerah Rp 14.500.000.000.22 Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2009 tetap dipatok tinggi. Dibandingkan 2008, APBD Kal-Sel anggaran 2009 mengalami kenaikan sebesar Rp 400 milyar. Sebelumnya APBD Kalsel Rp 1,2 triliun pada 2009 mencapai Rp 1,6 triliun. Kelebihan Rp 400 milyar tak akan dapat mengubah infrastruktur yang rusak, penebusan dosa atas rusaknya hutan dan perbaikan segala SDM dan akibat kerusakan yang berkelanjutan maupun cita perbaikan pembangunan ekonomi. Dan terbukti

Reklamasi yang selama ini disuarakan dalam regulasi hukum tidak memadai untuk memperbaiki lingkungan. Kehancuran sumberdaya hutan maupun akibat pengerukan pertambangan batu bara Kalsel tidak dapat dielakkan dan dirasakan langsung sebagian besar masyarakat. Saat ini saja seseorang melihat dari atas kawasan pertambangan seperti gurun pasir hitam disertai lubang-lubang besar yang dalamnya tak terukur dalamnya. Tidak ada kemungkinan untuk dapat direklamasi karena lubangnya begitu besar dan sangat dalam.

(15)

Kenyataan semakin hari semakin parah rusaknya lingkungan telah merisaukan Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi (Minerpabum) Departemen ESDM sehingga mengeluarkan surat Nomor 03.E/31 DJB/2009 tanggal 30 Januari 2009 mengenai pelarangan kepala daerah (Bupati dan Walikota) mengeluarkan izin KP. Tetapi niat baik Dirjen Minerpabum tersebut dijegal oleh gugatan bupati Kalimantan Timur yang memenangkannya. Keputusan MA yang memenangkan gugatan terhadap surat Dirjen tersebut terjadi karena bertentangan dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 yang mengizinkan pengerukan pertambangan. Secara formalistik hukum putusan tersebut sudah benar namun ide hukum yang dikehendaki Dirjen Minerpabum sebenarnya progresif karena pro pada kerakyatan dan lingkungan.

Persoalan Mineral dan batu bara bukan hanya persoalan masyarakat tetapi juga persoalan lingkungan yang kedepan juga berdampak pada masyarakat. Adanya keluasan perizinan pada UU Minerba amat bergantung pada nurani kepala daerah. Realitas ini pula selama ini di Kal-Sel menjadikan dampak negatif dan kritisnya hutan dan bumi Kal-Sel. Tak ada penyelesaian yang signifikan terhadap masalah pertambangan selama ini kecuali semakin parah kerusakan lingkungan. Untuk itu diperlukan pemahaman dan revisi pada substansi hukum khususnya UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba maupun cara berpikir para pejabat yang berwenang sekaligus pelaku usaha pertambangan. Suatu cara yang progresif yang pro pada rakyat maupun kebijakan daerah yang juga harusnya pro rakyat.

Menurut Lili Rasjid, hukum nasional positif yang digunakan sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat masih memerlukan pembaharuan dan pembinaan. Dalam istilah David M. Trubek hukum telah mati dan ia selalu mempertanyakan bahwa ``Is Law Dead.`` 13

Menurut Satjipto Raharjo, hukum hanya dilihat sebagai peraturan prosedur yang lekat dengan kekuasaan. Padahal di balik hukum juga sarat dengan nilai, gagasan sehingga ia menjadi partikular. Pandangan beliau tersebut mensaratkan muatan hukum harus luas dalam cakupan moralitas. Prosedur formal belum tentu dapat mengantarkan penyelenggaraan hukum secara baik kepada tujuannya. Bahkan ia dapat saja mendorong ditempuhnya tindakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum. Oleh karenanya, hukum harus pula dipahami substansinya agar wilayah kemanusiaan tidak terganggu. Ukuran substansi hukum tidak hanya pada maksud pembuat undang-undang tetapi juga lebih luas memasuki keadilan yang pro-rakyat.

Bab III Kesimpulan

Maksud dari hukum lingkungan berbasis hukum progresif sesungguhnya memberikan dua tawaran hukum, satu sisi ingin memperjelas hukum substansif tentang hukum lingkungan dan sisi lain agar ada penerapan secara progresif sesuai prinsip dasar dari konstitusi UUD 1945 dalam Pasal 28H ayat (1). Hukum Lingkungan yang berbasis hukum progresif mengajarkan adanya kesadaran bahwa memelihara lingkungan adalah persoalan yang utama dari semua

(16)

legalitas formal yang berdampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat. 0leh karenanya hendaknya dalam pelaksanaan UU No. 4 Tahun 2009 tetap mengedepankan hukum lingkungan sebagai umbrella provision bagi peraturan perundang-undangan lainnya. Progresivisme berlawanan dengan pandangan kemanusiaan yang menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama. Namun, dasar Hukum Progresif berpedoman pada hakikat dasar “hukum adalah untuk manusia”. Hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu hukum positif, melainkan untuk manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Progresivisme mengajarkan, bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi untuk memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Progresivisme tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan. Progresivisme berlawanan dengan pandangan kemanusiaan yang menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama. Namun, dasar Hukum Progresif berpedoman pada hakikat dasar “hukum adalah untuk manusia”. Hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu hukum positif, melainkan untuk manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Progresivisme mengajarkan, bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi untuk memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Progresivisme tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan.

Pembahasan penegakan hukum progresif di atas menjadi titik awal kenapa penegakan hukum progresif dijadikan sebagai tipe penegakan hukum alternatif. pemaknaan yang dapat ambil bahwa “kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai kebenaran undang-undang, tetapi harus dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undang-undang“.

(17)

dengan hukum positif. Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat final, ketiga hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa pokok-pokok hukum progresif adalah sebagai berikut:

 Hukum menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatick dan berbagi paham dengan aliran seperti legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence, interressenjurisprudenz di jerman, teori hukum alam dan critical legal studies.

 Hukum menolak pendapat, bahwa ketertiban (order), hanyaa bekerja melalui institusip-institusi kenegaraan.

 Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum

 Hukum menolak status-quo serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.  Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia

kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.  Hukum progresif adalah “hukum yang pro rakyat” dan “ hukum yang pro

keadilan”.

(18)

Daftar Pustaka

Soedarso, Bambang Prabowo Potret Hukum Pertambangan di

Indonesia Dalam Era UU No.4 Tahun 2009, Lembaga Pengkajian Hukum

Internasional Universitas Indonesia,Jakarta, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 6 No.3, April 2009

Akhmad Sukris Sarmadi, Penerapan Hukum Berbasis Hukum Progresif pada

Pertambangan Batu Bara di Kalimantan Selatan, Jakarta, 2012

Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif, PT. Kompas, Jakarta, 2006 Rahardjo, Satjipto. Membongkar Hukum Progresif, Penerbit Kompas, Jakarta, 2008

Santoso. Penegakan Hukum Lingkungan, Erlangga, Surakarta, 2001

Triana. Pndecta, Research Law Journal. Vol 9, No 2, 2014

Referensi

Dokumen terkait

(a) Tuliskan ungkapan Boolean bagi pernyataan logik yang diberikan dalam jadual di atas. [3

Data yg merupakan jawaban responden harus menggunakan satuan ukuran yg seragam, jika tdk maka akan terjadi kesalahan dlm pengolahan dan analisis

Wilayah pesisir pantai timur Kabupaten Tulang bawang Lampung dan Kabupaten Ogan Komering Ilir, memiliki potensi yang begitu besar untuk melejitkan pasar udang putih (

Jikalau batas-batas apa yang di- bicarakan dan siapa yang berbi- cara sudah tidak jelas lagi, apa yang kemudian menjadi ukuran sehingga suatu hal dapat terbe- dakan dengan hal

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) tema cerita rakyat Kalantika meliputi, ide tentang pandangan manusia dengan alam semesta dan ide tentang sistem

JL Soekarno Hatta KM 2 Loa Janan Gg Kasiani ± 100 m dari jalan utama. Wisma Loajanan

Hal yang diamati dari guru dalam penelitian ini adalah dari persiapan, membuka pelajaran, arpesepsi dan memotivasi siswa, penguasaan materi, penguasaan kelas,

Dari penelitian dihasilkan sebuah perangkat lunak ( software ) baru tentang sistem pakar yang mampu sebagai pendukung untuk mengambil keputusan dengan