• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Uji Efek Imunomodulator Campuran Komponen Menyirih lUncaria gambir Roxb., Piper betle L. dan Ca(OH)21 dengan Pelarut Air terhadap Kadar CD19 dalam Darah RATNIKA SARI FKIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Uji Efek Imunomodulator Campuran Komponen Menyirih lUncaria gambir Roxb., Piper betle L. dan Ca(OH)21 dengan Pelarut Air terhadap Kadar CD19 dalam Darah RATNIKA SARI FKIK"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

UJI EFEK IMUNOMODULATOR CAMPURAN KOMPONEN

MENYIRIH [

Uncaria gambir

Roxb.,

Piper betle

L., dan Ca(OH)

2

]

DENGAN PELARUT AIR TERHADAP KADAR CD19

DALAM DARAH

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

RATNIKA SARI

1112102000089

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

JAKARTA

(2)

UJI EFEK IMUNOMODULATOR CAMPURAN KOMPONEN

MENYIRIH [

Uncaria gambir

Roxb.,

Piper betle

L., dan Ca(OH)

2

]

DENGAN PELARUT AIR TERHADAP KADAR CD19

DALAM DARAH

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

RATNIKA SARI

1112102000089

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

JAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)

Nama : Ratnika Sari Program Studi : Farmasi

Judul : Uji Efek Imunomodulator Campuran Komponen Menyirih [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L. dan Ca(OH)2] dengan

Pelarut Air terhadap Kadar CD19 dalam Darah

Menyirih merupakan kombinasi tanaman obat yang dipercaya nenek moyang dapat menjaga pertahanan tubuh. Kombinasi campuran menyirih yang paling sederhana terdiri dari gambir, daun sirih, dan kapur sirih. Ketiga bahan dibuat menjadi sediaan kapsul yang berfungsi sebagai imunomodulator dengan metode pencampuran kemudian di freeze dry. Pada penelitian ini dilakukan dilakukan pengembangan sediaan berupa kapsul. Dilakukan evaluasi terhadap sediaan kapsul komponen menyirih meliputi uji keseragaman bobot, uji waktu hancur, dan uji higroskopisitas. Kapsul komponen menyirih diberikan kepada responden sehat dengan dosis 972 mg dengan frekuensi pemberian 3 kali sehari. Digunakan Imboost® Force sebagai kontrol positif dan tidak ada perlakuan untuk kontrol negatif. Percobaan dilakukan selama 14 hari dengan parameter pengukuran kadar CD19 dalam darah. Pengujian CD19 dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan terhadap responden. Hasil dari evaluasi sediaan untuk uji keseragaman bobot dan uji waktu hancur memenuhi syarat, namun hasil uji higroskopisitas menunjukkan bahwa sediaan bersifat higroskopis. Berdasarkan analisa statistik, hasil pemeriksaan CD19 dalam darah didapatkan nilai ρ > 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa kapsul komponen menyirih tidak memiliki perbedaan secara signifikan terhadap peningkatan kadar CD19 dalam darah.

(7)

Name : Ratnika Sari Study Program : Pharmacy

Title : Immunomodulatory Effect trial of Mixture Component Chewing [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L. and Ca(OH)2] with water solvent to the levels of CD19 in the

blood.

Chewing is a combination of medicinal plants that is believed ancestors to maintain the body's defenses. The combination of chewing simplest mixture consisting of gambir, betel leaf, and slake lime. Three materials are made into a capsule that serves as an immunomodulator with the mixing method then freeze dry. In this research, the development of a capsule dosage form. Capsule evaluation of chewing components include weight uniformity test, disintegration time test, and hygrocopicity test. Capsule chewing components given to healthy respondents with immunomodulatory then tested to healthy respondents with a dose of 972 mg three times a day. Used Imboost® Force as positive control and no treatment for negative control. Experiments were carried out for 14 days with a measurement parameter CD19 levels in the blood. CD19 Tests performed before and after treatment of the respondents. The result of evaluation for weight uniformity test and disintegration time test qualified, but hygroscopicity test showed that preparation is hygroscopic. Based on statistical analysis, the result of CD19 in the blood obtained the value of p > 0,05. These results showed that the capsule chewing components have no significant difference to increased levels of CD19 in the blood.

(8)

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi

dengan judul “Uji Efek Imunomodulator Campuran Komponen Menyirih

[Uncaria gambir Roxb., Piper betle L. dan Ca(OH)2] dengan Pelarut Air terhadap

Kadar CD19 dalam Darah”. Skripsi ini telah diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program pendidikan tingkat Strata 1 (S1) pada Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. M. Yanis Musdja, M.Sc, Apt. dan Dr. dr. Syarief Hasan Lutfie, Sp.KFR selaku pembimbing yang telah memberikan waktu, tenaga, pikiran, bimbingan serta motivasi kepada penulis selama penelitian

2. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. dan dr. Alyya siddiqa, Sp.FK selaku penguji yang telah memberikan waktu, tenaga, pikiran, bimbingan serta motivasi kepada penulis selama penelitian

(9)
(10)
(11)

Halaman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Deskripsi Tanaman Gambir... 5

2.2 Deskripsi Tanaman Sirih ... 8

2.2.1 Klasifikasi... 8

2.2.2 Nama Daerah ... 8

(12)

2.2.6 Kandungan Kimia ... 10

2.2.7 Khasiat Tanaman ... 11

2.3 Kapur Sirih ... 11

2.4 Simplisia ... 12

2.4.1 Pengolahan Simplisia ... 13

2.4.2 Pemeriksaan Mutu Simplisia ... 15

2.5 Ekstrak dan Ekstraksi ... 15

2.5.1 Definisi ... 15

2.5.2 Metode Ekstraksi dengan Menggunakan Pelarut ... 16

2.5.2.1 Cara Dingin ... 16

2.5.2.2 Cara Panas ... 16

2.5.3 Pengeringan Ekstrak dengan Metode Freeze Drying ... 17

2.6 Kapsul ... 18

2.6.1 Definisi Kapsul ... 18

2.6.2 Keuntungan dan Kerugian Kapsul ... 18

2.6.3 Klasifikasi Kapsul ... 18

2.6.3.1 Kapsul Keras ... 18

2.6.3.2 Kapsul Lunak ... 19

2.6.4 Cara Penyimpanan... 20

2.6.5 Evaluasi Sediaan Kapsul ... 20

2.7 Sistem Imun ... 22

2.7.1 Respon Imun Non spesifik ... 24

2.7.2 Respon Imun Spesifik ... 25

2.7.2.1 Respon Imun Selular ... 26

(13)

2.10 Flowsitometri ... 34

2.11 Kontrol Pembanding ... 35

2.12 Literatur Review ... 36

2.13 Kerangka Teori Penelitian ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 38

3.1Desain Penelitian ... 38

3.2Varibel Penelitian ... 38

3.2.1 Variabel Independen ... 38

3.2.2 Variabel Dependen ... 38

3.3Tempat dan Waktu Penelitian ... 38

3.4Alat dan Bahan Penelitian ... 39

3.4.1 Alat Penelitian ... 39

3.4.2 Bahan Penelitian ... 39

3.5Alur Penelitian ... 39

3.5.1 Determinasi Gambir dan Daun Sirih ... 39

3.5.2 Penyiapan Simplisia yang digunakan ... 40

3.5.3 Karakteristik Ekstrak ... 40

3.5.4 Identifikasi Gambir ... 41

3.5.5 Identifikasi Cemaran Urea ... 41

3.5.6 Penapisan Fitokimia ... 41

3.5.7 Pembuatan Campuran Komponen Menyirih ... 44

3.5.8 Penentuan Dosis ... 44

3.5.9 Evaluasi Sediaan Kapsul ... 45

3.5.10 Pemeriksaan CD19 ... 45

3.5.11 Analisa Data ... 47

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48

4.1 Hasil ... 48

4.1.1 Hasil Determinasi Gambir dan Daun Sirih ... 48

4.1.2 Hasil Karakterisasi Gambir dan Daun Sirih ... 48

(14)

4.1.6 Hasil Penentuan Dosis ... 50

4.1.7 Hasil Evaluasi Sediaan Kapsul ... 50

4.1.8 Hasil Pemeriksaan CD19 ... 53

4.2 Pembahasan ... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

5.1 Kesimpulan ... 65

5.2 Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

(15)

Tabel 2.1Volume dan Kapasitas Cangkang Kapsul ... 19

Tabel 4.1 Hasil Pengujian Parameter Spesifik Gambir ... 48

Tabel 4.2 Hasil Pengujian Parameter Spesifik Daun Sirih ... 48

Tabel 4.3 Hasil Pengujian Parameter Non Spesifik Gambir ... 49

Tabel 4.4 Hasil Pengujian Parameter Non Spesifik Daun Sirih ... 49

Tabel 4.5 Hasil Identifikasi Gambir dan Cemaran Urea ... 49

Tabel 4.6 Hasil Penapisan Fitokimia ... 50

Tabel 4.7 Hasil Uji Keseragaman Bobot ... 51

Tabel 4.8 Hasil Uji Waktu Hancur ... 51

Tabel 4.9 Hasil Uji Higroskopisitas ... 52

Tabel 4.10 Hasil Evaluasi Sediaan Kapsul ... 52

Tabel 4.11 Karakteristik Responden ... 53

Tabel 4.12 Persentase CD19 dalam darah ... 53

(16)

Gambar 2.1 Tanaman Gambir ... 6

Gambar 2.2 Bongkahan Gambir ... 7

Gambar 2.3 Daun Sirih ... 9

Gambar 2.4 Kapur Sirih ... 12

Gambar 2.5 Diagram Sistem Imun ... 24

Gambar 2.6 Diagram Asal Sel B dan Sel T ... 26

Gambar 4.1 Grafik Persentase CD19 dalam Darah ... 54

(17)

Lampiran 1. Alur Penelitian ... 70

Lampiran 2. Hasil Determinasi Gambir dan Daun Sirih ... 71

Lampiran 3. Sertifikat Analisis (COA) Kapur Sirih ... 72

Lampiran 4. Alat dan bahan yang digunakan ... 73

Lampiran 5. Penyiapan Campuran Komponen Menyirih ... 75

Lampiran 6. Hasil Pengujian Parameter Non Spesifik ... 76

Lampiran 7. Hasil Penapisan Fitokimia ... 77

Lampiran 8. Perhitungan Pengujian Parameter Non Spesifik ... 78

Lampiran 9. Proses Pembuatan Campuran Komponen Menyirih ... 80

Lampiran 10. Perhitungan Hasil Freeze Drying ... 81

Lampiran 11. Perhitungan Dosis ... 82

Lampiran 12. Perhitungan Pengambilan Sampel ... 84

Lampiran 13. Perhitungan Hasil Evaluasi Kapsul... 85

Lampiran 14. Surat Persetujuan (Inform Concern) ... 86

Lampiran 15. Surat Pengajuan Izin Etik (Ethical Clearance) ... 87

Lampiran 16. Hasil Pemeriksaan CD19 ... 88

(18)

1.1Latar Belakang

Menyirih merupakan kombinasi tanaman obat yang banyak digunakan nenek moyang sejak jaman dahulu (Musdja et al., 2011). Menyirih merupakan proses meramu campuran dari bahan-bahan seperti sirih, pinang, kapur, gambir, kemudian dikunyah. (Gandhi et al., 2005). Kebiasaan menyirih dipercaya nenek moyang kita dapat menjaga pertahanan tubuh. Kebiasaan menyirih secara tradisional oleh masyarakat terutama untuk preventif dan terapi penyakit infeksi tetapi sebagian masyarakat meyakini juga menyirih dapat bersifat promotif terhadap sistem pertahanan tubuh. Komposisi menyirih sangat bervariasi dari satu wilayah dengan wilayah lainnya. Pada umumnya menyirih yang paling sederhana adalah terdiri atas 3 bahan, yakni daun sirih, gambir dan kapur sirih (Kumar et al., 2010).

Gambir memiliki khasiat sebagai campuran obat untuk mengobati luka bakar, sakit kepala, diare, disentri, obat kumur, sariawan, serta dapat mengobati sakit kulit (Hariana, 2006). Kandungan utama dari gambir adalah senyawa katekin, yaitu 40-80% (Amos, 2010). Katekin memiliki khasiat sebagai antioksidan (Anggraeni et al., 2011) dan dapat meningkatkan sistem imun (Dewi, 2012). Selain katekin, terdapat senyawa lain yaitu eugenol. Senyawa eugenol dapat digunakan sebagai antioksidan, antifungi, aromatik, dan stimulant (Juminar, 2012).

Daun sirih memiliki khasiat sebagai anti sariawan, anti batuk, adstringen, antiseptik (Depkes RI, 1980) dan imunomodulator (Dalimartha, 2006). Daun sirih juga memperlihatkan efek antioksidan (Jaiswal et al., 2014) Daun sirih memiliki kandungan kimia diantaranya hidroksi kavikol, kavibetol, estragol, eugenol, metil eugenol, karvakrol, terpinen, seskuiterpen, fenilpropan dan tannin (Depkes RI,1980).

Kapur sirih atau Ca(OH)2 merupakan senyawa atau bahan oksida,

(19)

pembentuk massa tulang. Ca2+ pada kapur sirih telah terbukti merupakan agen pembangkit imun dan pembentukan antibodi (Musdja et al., 2011). Kapur sirih bisa digunakan sebagai obat bersamaan dengan bahan lain, seperti untuk mengatasi gusi bengkak, bisul, masalah haid, digigit serangga serta penyakit kulit misalnya panu, kurap, dan kutil (Perpustakaan Negeri Malaysia, 2001). Kapur sirih atau kalsium hidroksida ini juga telah diuji dalam pengobatan radang pada pulpa anjing (Hendry et al., 2005), serta kapur sirih memiliki sifat sebagai imunomodulator (Putrisa, 2010).

Ekstrak gambir dapat berkhasiat sebagai imunomodulator secara in-vivo

diketahui ekstrak etanol gambir efektif pada dosis 400mg/kgBB untuk hewan (Amalia, 2009), sedangkan untuk ekstrak daun sirih memiliki efek imunomodulator secara in-vivo dari ekstrak etanol 70% daun sirih pada dosis 125, 250, 500 mg/kgBB yang dapat dilihat dari peningkatan terhadap aktivitas fagositosis (Dian, 2009). Komponen campuran menyirih dengan bahan gambir, daun sirih dan kapur sirih terbukti memiliki efek imunomodulator pada mencit. Masing-masing bahan terdiri dari daun sirih, gambir, kapur sirih sebanyak 421 : 70 : 9 gram. Ekstrak air dari campuran daun sirih, gambir dan kapur sirih berkhasiat sebagai imunomodulator pada dosis 200 mg/kgBB menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dosis 100 atau 400 mg/kgBB (Musdja et al., 2011). Efek yang paling baik diberikan oleh campuran bahan menyirih dosis sedang (200 mg/kg BB) (Musdja et al., 2011). Telah dilakukan juga penelitian mengenai nilai LD50 (letal dose)

gambir dan daun sirih. Batas maksimum penggunaan gambir dan daun sirih sebesar 13,99 g/kgBB (Sari, 2006) dan termasuk ke dalam kategori praktis tidak toksik.

(20)

sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang fungsinya berlebihan (Baratawidjaja, 2002). Sistem imun merupakan sebuah mekanisme dalam tubuh untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya benda asing atau antigen (Baratawidjaja, 2009). Mekanisme pertahanan kekebalan tubuh melibatkan aksi sel darah putih atau leukosit. Sistem pertahanan tubuh ada yang alamiah dan juga sistem pertahanan tubuh yang didapat. Sistem pertahanan tubuh yang didapat dalam hal ini berupa antibodi, memegang peranan utama (Raven et al., 2001) dalam mengambil alih kerja imunomodulator sebagai imunostimulasi. Dalam mengenal molekul asing yang masuk ke dalam tubuh reseptor dibentuk dengan cara menyatukan beberapa segmen dari gen sehingga terbentuk suatu reseptor yang spesifik untuk molekul tertentu (Handojo, 2003). Molekul yang bertanggungjawab dalam proses pembentukan antibodi adalah limfosit B dengan molekul penanda berupa CD19. Berdasarkan inilah CD19 dipilih sebagai salah satu parameter pengukuran kerja imunomodulator sebagai imunostimulan.

Masyarakat umumnya masih menyirih dengan cara yang tergolong kurang praktis. Cara tersebut kurang diminati hampir semua kalangan usia produktif sehingga perlu dilakukan inovasi baru untuk memudahkan saat penggunaan dan menarik minat kalangan usia produktif yang selama ini beranggapan menyirih itu hanya untuk kalangan lansia (lanjut usia).

Penelitian ini dilakukan dengan mencampurkan ketiga komponen tersebut dengan air sebagai pelarut. Pelarut air dipilih karena mengacu pada penggunaan masyarakat, terdapat kandungan air dalam daun sirih dan kapur sirih. Komponen menyirih diekstraksi dengan metode freeze drying kemudian dikemas dalam sediaan kapsul. Pemilihan sediaan kapsul bertujuan untuk menutupi rasa (Hadisoewignyo, 2013) dari ketiga bahan komponen menyirih yang cenderung kurang nyaman saat dikonsumsi.

Berdasarkan uraian inilah dilakukan penelitian untuk mengetahui manfaat campuran komponen menyirih, yaitu daun sirih (Piper betle L.), gambir (Uncaria gambir Roxb.), dan kapur sirih [Ca(OH)2]yang diharapkan

(21)

1.2Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah campuran komponen menyirih [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L., dan Ca(OH)2]

dengan pelarut air dapat meningkatkan kadar CD19 dalam darah?

1.3Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah campuran komponen menyirih [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L., dan Ca(OH)2] dengan pelarut air

dapat meningkatkan kadar CD19 dalam darah.

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah komponen menyirih [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L., dan Ca(OH)2] dengan

pelarut air dapat meningkatkan kadar CD19 dalam darah.

1.5Manfaat Penelitian

(22)

2.1 Deskripsi Tanaman Gambir 2.1.1 Klasifikasi

Kingdom : Plantae

Sub Kingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae

Genus : Uncaria

Spesies : Uncaria gambir Roxb

Sinonim : Ourouparia gambir Roxb. Nauclea gambir (Hariana, 2004).

2.1.2 Nama Daerah

Sumatera : Gambe, gani (Aceh), kacu (Gayo), sontang (Batak), gambe (Nias), gambie (Minangkabau), pengilom, sepelet

(Lampung).

Jawa : Santun, Gambir (Jawa), ghambhir (Madura). Kalimantan : Kelare (Dayak), abi (Kayan).

Sulawesi : Gambere (Sangir), gambele (Gorontalo), gambere

(Makassar), gaber (Majene).

Nusa Tenggara : Tagambe (Bima), gamur (Sumba), gabi (Sawu), gambe (Flores), nggame (Roti) (Depkes RI, 1989).

(23)

2.1.3 Uraian Tanaman

Gambir merupakan ekstrak yang dihasilkan dari daun dan ranting tanaman gambir yang dipanen atau dipangkas setelah tanaman berumur 1,5 tahun dan dilakukan 2-3 kali setahun dengan selang waktu 4-6 bulan. Pangkasan daun dan ranting harus segera diolah karena jika pengolahan ini ditunda lebih dari 24 jam, volume getahnya akan berkurang (Hayani, 2003).

Gambir berasal dari tumbuhan perdu yang membelit dan memiliki batang keras. Tinggi 1-3 cm. Batang tegak, bulat, percabangan simpodial warna cokelat pucat. Daun tunggal, berhadapan, bentuk elips, tepi bergerigi, pangkal bulat, ujung meruncing, panjang 8-13 cm, lebar 4-7 cm, warna hijau. Bunga majemuk, bentuk lonceng, di ketiak daun, panjang lebih kurang 5 cm, mahkota 5 helai berbentuk lonceng, tongkol-bulat, terdiri dari bunga kecil-kecil yang berwarna putih. Buah berbentuk bulat telur, panjang lebih kurang 1,5 cm berwarna hitam (Haryanto, 2009).

2.1.4 Morfologi

Gambir (Uncaria gambir Roxb.) merupakan salah satu tanaman yang telah lama ada di Indonesia. Tanaman ini termasuk salah satu tanaman atau obat tradisional yang sering digunakan oleh orang jaman dahulu. Tetapi masih banyak yang belum mengetahui apa itu gambir.

Gambir adalah sari getah yang diekstraksi dari daun tanamannya dengan cara pengepresan. Tanaman ini banyak tumbuh di Indonesia terutama Sumatera Barat yang merupakan penghasil gambir terbesar di dunia (Amos, 2004).

(24)

Gambar 2.2Bongkahan gambir (Sumber : dokumentasi pribadi)

Salah satu tumbuhan asal Indonesia yang telah digunakan sebagai obat tradisional yaitu Gambir (Uncaria gambir Roxb.). Manfaat gambir adalah sebagai campuran obat, seperti luka bakar, sakit kepala, diare, disentri, obat sariawan, serta obat sakit kulit. Selain itu juga gambir digunakan sebagai pelengkap untuk mengkonsumsi sirih. Saat ini penggunaan gambir berkembang menjadi bahan kebutuhan berbagai jenis industri, seperti industri farmasi, kosmetik, batik, cat, penyamak kulit, biopestisida, hormon pertumbuhan, pigmen dan sebagai bahan campuran pelengkap makanan (Ermiati, 2004).

2.1.5 Kandungan Kimia

(25)

2.2 Deskripsi Daun Sirih 2.2.1 Klasifikasi

Klasifikasi ilmiah atau taksonomi dari daun sirih adalah sebagai berikut. Sub Divisi : Angiospermae

Sinonim : Chavica auriculata Miq. Artanthe hixagona

(Haryanto, 2009).

2.2.2 Nama Daerah

Sumatera : furu kuwe (enggano); ranub (Aceh); blo, sereh (Gayo); belo (Batak Karo); demban (Batak Toba); burangir (Angkola Mandailing); tawuo (Nias); cabai (Mentawai); sirieh, sirih, suruh (Palembang, Minangkabau); canbai (Lampung).

Jawa : seureuh (Sunda); sedah, suruh (Jawa); sere (Madura).

Bali : base, sedah

Nusa Tenggara : nahi (Bima); kuta (Sumba); mota (Flores); oreangi (Ende); taa (Sikka); malu (Solor); mokeh (Alor).

Kalimantan : uwit (Dayak); buyu (Bulungan); uduh sifat (Kenya); sirih (Sampit); uruesipa (Seputan).

Sulawesi : ganjang, gapura (Bugis); baulu (Bare); buya, dondili (Buol); bolu (Parigi); komba (Selayar); lalama, sangi (Talaud).

Maluku : ani-ani (Hok); papek, raunge, rambika (Alfuru); nein (Bonfia); kakina (Waru); amu (Rumakai, Elpaputi,Ambon, Ulias); garmo (Buru); bido (Bacan).

(26)

mirtan (Berik); afo (Sentani); wangi (Sawe); freedor (Awija); dedami (Marind) (Depkes RI, 1980).

2.2.3 Uraian Tanaman

Saat ini telah banyak dilakukan penelitian mengenai bahan alam yang dimanfaatkan dalam mencegah dan mengatasi penyakit. Tanaman sirih merupakan salah satu tanaman herbal yang berhubungan erat dengan pengendalian karies, penyakit periodontal dan mengontrol halitosis. Daun sirih juga menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Streptococcus mutans dan Staphylococcus aurens (Nalina 2007, Moeljanto 2003).

2.2.4 Morfologi

Daun sirih (Piper betle L.) merupakan tanaman merambat yang bisa mencapai tinggi 5-15 m. Batang sirih berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat, beruas, dan merupakan tempat keluarnya akar. Daunnya berseling atau tersebar,helaian daun bulat telur sampai memanjang, dengan pangkal daun berbentuk jantung atau pangkal miring dan ujung meruncing. Panjang daunnya sekitar 5-8 cm dan lebar 2-5 cm. Bunga berkelamin 1, bulir berdiri sendiri, di ujung dan berhadapan dengan daun, daun pelindung ± 1 mm berbentuk bulat telur terbalik atau bulat memanjang. Pada bulir jantan panjangnya sekitar 1,5-3 cm dan terdapat dua benang sari yang pendek sedang pada bulir betina panjangnya sekitar 2,5-6 cm dan terdapat kepala putik 3 -5. Buah buni dengan ujung bebas dan berbentuk bulat, berwarna hijau kebau-abuan dan tebalnya 1-1,5 cm. Akarnya tunggang, bulat dan berwarna coklat kekuningan, biji berbentuk lingkaran (Van Steenis, 2008). Daun sirih memiliki warna yang bervariasi yaitu kuning, hijau sampai hijau tua dan berbau aromatis (Moeljanto, 2003).

(27)

2.2.5 Ekologi dan Penyebaran

Sirih ditemukan dibagian timur pantai Afrika, di sekitar Pulau Zanzibar, daerah sekitar sungai Indus ke Timur menelusuri sungai Yang Tse Kiang, Kepulauan Bonin, Kepulauan Fijji, dan Kepulauan Indonesia. Sirih tersebar di Nusantara dalam skala yang tidak terlalu luas. Di Jawa tumbuh liar di hutan jati atau hutan hujan sampai ketinggian 300 m diatas permukaan laut (Depkes RI, 1980).

2.2.6 Kandungan Kimia

Daun sirih mempunyai aroma yang khas karena mengandung minyak atsiri 1-4,2%, air, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, vitamin A, B, C, yodium, gula dan pati. Dari berbagai kandungan tersebut, dalam minyak atsiri terdapat fenol alam yang mempunyai daya antiseptik 5 kali lebih kuat dibandingkan fenol biasa (Bakterisid dan Fungisid) tetapi tidak sporasid. Minyak atsiri merupakan minyak yang mudah menguap dan mengandung aroma atau wangi yang khas. Minyak atsiri dari daun sirih mengandung 30% fenol dan beberapa derivatnya. Minyak atsiri terdiri dari hidroksi kavikol, kavibetol, estragol, eugenol, metileugenol, karbakrol, terpen, seskuiterpen, fenilpropan, dan tannin. Kavikol merupakan komponen paling banyak dalam minyak atsiri yang memberi bau khas pada sirih. Kavikol bersifat mudah teroksidasi dan dapat menyebabkan perubahan warna (Moeljanto, 2003).

Mekanisme fenol sebagai agen anti bakteri berperan sebagai toksin dalam protoplasma, merusak dan menembus dinding serta mengendapkan protein sel bakteri. Senyawa fenolik bermolekul besar mampu menginaktifkan enzim essensial di dalam sel bakteri meskipun dalam konsentrasi yang sangat rendah. Fenol dapat menyebabkan kerusakan padasel bakteri, denaturasi protein, menginaktifkan enzim dan menyebabkan kebocoran sel (Heyne, 1987).

(28)

2.2.7 Khasiat Tumbuhan

Daun sirih berkhasiat sebagai antiradang, antiseptik, antibakteri, penghenti perdarahan (hemostatis), pereda batuk, mencegah infeksi cacing, menghilangkan gatal dan penenang (Dalimartha, 2006). Juga memiliki khasiat sebagai antisariawan, anti batuk dan adstringen (Depkes RI, 1980). Ekstraknya dapat digunakan, baik secara internal maupun eksternal untuk varises serta mencegah radang gusi dan radang tenggorokan (Moeljanto, 2003).

2.3 Kapur Sirih

Kapur dalam arti luas adalah senyawa atau bahan oksida, hidroksida, dan karbonat dari kalsium (Ca). Kapur atau cunam (kapur mati) berwarna putih likat seperti krim yang dihasilkan dari cangkang siput laut yang telah dibakar. Hasil dari debu cangkang tersebut perlu dicampurkan dengan air untuk mempermudah pengolesan ke atas daun sirih. Selain dari cangkang siput, kapur dapat diperoleh dengan membakar batu kapur (kalsium karbonat/CaCO₃). Apabila dibakar dengan suhu tertentu CaCO₃ dapat

mengeluarkan gas yang disebut dengan karbondioksida (CO ) dan menjadi kalsium oksida (CaO). Kalsium oksida kemudian dicampur dengan sedikit air yang menyebabkan CaO mengembang dan menghasilkan panas serta menjadi serbuk kapur yang dikenal sebagai kalsium hidroksida [Ca(OH) ]. Proses tersebut disebut dengan slaking dan serbuk kapur adalah kapur terhidrat. Serbuk kapur akan menjadi cair jika campuran airnya berlebihan. Serbuk kapur jika didiamkan terlalu lama, kandungan airnya akan hilang dan mengikat karbondioksida di udara sehingga kembali menjadi kalsium karbonat seperti semula (Perpustakaan Negeri Malaysia, 2001).

Kapur sirih mempunyai rumus kimia Ca (OH) sehingga kandungan

(29)

Negeri Malaysia, 2001). Kapur sirih atau kalsium hidroksida ini juga telah diuji dalam pengobatan radang pada pulpa anjing (Hendry et al., 2005).

Gambar 2.4 Kapur sirih

(Sumber : dokumentasi pribadi)

2.4 Simplisia

Keberadaan simplisia atau sumber bahan baku obat tradisional di Indonesia cukup melimpah di setiap daerah tumbuh tanaman obat. Pemilihan simplisia yang mutunya baik merupakan langkah awal yang harus diperhatikan untuk menjamin mutu suatu obat tradisional. Masing-masing industri obat tradisional hendaknya mempunyai standar minimal untuk simplisia yang digunakan untuk memberi keyakinan akan kebenaran dan kualitas simplisia yang diperoleh (Depkes RI, 1999).

(30)

akan mempermudah pemilihan cairan penyari dan cara penyarian yang tepat (Depkes RI, 1999).

2.4.1 Pengelolaan Simplisia

a. Pengumpulan Bahan Baku

Tahapan pengumpulan bahan baku sangat menentukan kualitas bahan baku. Faktor yang paling berperan dalam tahapan ini adalah masa panen. Berdasarkan garis besar pedoman panen, pengambilan bahan baku tanaman dilakukan sebagai berikut (Gunawan, 2004) :

 Daun dan Ranting

Panen daun atau herba dilakukan pada saat proses fotosintesis berlangsung maksimal, yaitu ditandai dengan saat-saat tanaman mulai berbunga atau buah mulai masak. Untuk pengambilan pucuk daun, dianjurkan dipungut pada saat warna pucuk daun berubah menjadi daun tua.

b. Sortasi Basah

Sortasi basah adalah proses pemilahan hasil panen ketika tanaman masih segar yang dilakukan terhadap tanah, kerikil, rumput-rumputan, bahan tanaman lain atau bagian lain dari tanaman yang tidak digunakan, dan bagian tanaman yang rusak yang terdapat dalam simplisia. Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia.

c. Pencucian

(31)

kapur klor (Cl). Sebelum pencucian terkadang diperlukan proses pengupasan kulit luar, terutama untuk simplisia yang berasal dari kulit batang, kayu, buah, biji, rimpang dan bulbus.

d. Pengubahan bentuk

Tujuan pengubahan bentuk simplisia adalah untuk memperluas permukaan bahan baku. Semakin luas permukaan bahan baku, maka akan semakin cepat kering. Proses pengubahan bentuk meliputi perajangan untuk rimpang, daun dan herba; pengupasan untuk buah, kayu, kulit kayu, dan biji-bijian ukuran besar; pemiprilan untuk biji-bijian; pemotongan untuk akar, batang, kayu, kulit kayu dan ranting; dan penyerutan untuk kayu. e. Pengeringan

Tujuan proses pengeringan simplisia, yaitu untuk menurunkan kadar air agar simplisia tidak mudah ditumbuhi kapang dan bakteri, untuk menghilangkan aktivitas enzim yang dapat mengurai lebih lanjut kandungan zat aktif, dan memudahkan pengelolaan proses selanjutnya dalam hal mudah disimpan dan lebih tahan lama. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembapan udara, aliran udara, waktu pengeringan, dan luas permukaan bahan.

f. Sortasi kering

Sortasi kering adalah pemilihan bahan setelah mengalami proses pengeringan. Pemilihan dilakukan untuk memisahkan benda-benda asing seperti bahan-bahan yang rusak, benda-benda asing yang tertinggal atau dari kotoran-kotoran.

g. Penyimpanan

(32)

Untuk persyaratan wadah yang akan digunakan sebagai pembungkus simplisia adalah harus inert, artinya tidak mudah bereaksi dengan bahan lain, tidak beracun, mampu melindungi bahan simplisia dari cemaran mikroba, kotoran, serangga, penguapan kandungan aktif serta dari pengaruh cahaya, oksigen dan uap air.

2.4.2 Pemeriksaan Mutu Simplisia

Dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan organoleptik (makroskopik), pemeriksaan mikroskopik (anatomi histologi simplisia), memisahkan bahan organik lain, pemeriksaan cemaran mikroba, cemaran jamur dan cemaran pestisida. Faktor-faktor yang harus diperhatikan sehubungan dengan pemeriksaan mutu simplisia, yaitu simplisia harus memenuhi persyaratan umum dari pustaka resmi, tersedia contoh sebagai simplisia pembanding dalam jangka waktu tertentu, harus dilakukan pemeriksaan mutu lengkap dan fisik simplisia. Untuk memperoleh prosedur baku ketersediaan dan pengerjaan bahan yang memenuhi persyaratan umum maka harus didapat dari sumber-sumber resmi yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI (Gunawan, 2004).

2.5 Ekstrak dan Ekstraksi 2.5.1 Definisi

Ekstrak adalah sediaan cair yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukakn sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995).

(33)

senyawa-senyawa tersebut terhadap suhu, udara, cahaya, dan logam berat (Depkes RI, 2000).

2.5.2 Metode Ekstraksi dengan Menggunakan Pelarut (Depkes RI, 2000)

2.5.2.1 Cara dingin

a) Maserasi

Suatu metode ekstrak menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinyu (terus menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.

b) Perkolasi

Proses ekstraksi dengan pelarut yang baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bertahan.

2.5.2.2 Cara panas

a) Refluks

Proses ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

b) Soxhlet

(34)

c) Digesti

Proses maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40–50°C.

d) Infus

Proses ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98°C selama waktu tertentu (15-20 menit).

e) Dekok

Proses infus pada waktu yang lebih lama ≥30 menit dan temperatur sampai titik didih air.

2.5.3 Ekstrak dengan Metode Freeze Drying

Pengeringan secara umum bermaksud untuk menghilangkan pelarut dari material yang akan dikeringkan. Salah satu tipe pengeringan yaitu

freeze drying. Pengeringan-beku atau lyophilization adalah proses pengeringan di mana pelarut dan atau media suspensi yang mengkristal pada temperatur rendah dan sesudahnya mensublimasi dari padat langsung ke fase uap. Pengeringan-beku lebih banyak dilakukan dengan air sebagai pelarut. Pengeringan mengubah es atau air dalam fase amorf menjadi uap. Karena tekanan uap es rendah, volume uap menjadi besar. Tujuan pengeringan-beku adalah untuk memproduksi suatu substansi dengan stabilitas yang baik dan tidak berubah setelah rekonstitusi dengan air. Meskipun hal ini sangat tergantung juga pada langkah terakhir proses pengemasan dan kondisi penyimpanan. Keuntungan proses pengeringan-beku adalah sebagai berikut :

1. Pengeringan pada suhu rendah dapat mengurangi penurunan produk sensitif – panas

2. Produk cair dapat secara akurat terdosiskan

(35)

5. Produk obat dengan luas permukaan spesifik yang tinggi dengan cepat kembali (Oetjen & Haseley, 2004).

2.6 Kapsul (Hadisoewignyo, 2013)

2.6.1 Definisi Kapsul

Sediaan kapsul, menurut Farmakope Indonesia IV, 1995 adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin, bisa juga dari pati atau bahan lain yang sesuai.

2.6.2 Keuntungan dan Kerugian Kapsul

Ada beberapa keuntungan dari sediaan kapsul, antara lain dapat meningkatkan stabilitas dan menutup rasa dan bau yang tidak enak, efek cepat (dibanding dengan tablet), mudah penggunaannya (dibandingkan dengan serbuk), dapat mengubah obat bentuk cair menjadi bentuk padat, dapat dilakukan pengaturan pelepasan obat, dan cocok untuk peracikan

extemporaneous, dosis dan komposis obat mudah dikombinasi sesuai keperluan pasien. Sedangkan keterbatasan bentuk kapsul adalah kesukaran untuk menelan pada beberapa pasien, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang bersifat effervescent (kapsul akan menjadi lunak) dan

deliquescent (kapsul akan rapuh dan mudah pecah).

2.6.3 Klasifikasi Kapsul

Klasifikasi kapsul berdasarkan pada konsistensi, dibedakan menjadi

hard capsule (kapsul keras) dan soft capsule (kapsul lunak), sedangkan berdasarkan cara pemakaian, dibedakan menjadi kapsul yang dilakukan per-oral, per-rektal, per-vaginal, dan topikal.

2.6.3.1 Kapsul Keras (hard capsule)

Kapsul keras adalah kapsul yang terbuat dari cangkang keras yang umumnya dibuat dari gelatin, dengan bahan obat dan bahan tambahan di dalamnya.

(36)

untuk pelepasan yang cepat, mudah diformulasi, multiple filling sehingga memungkinkan untuk mencegah terjadinya inkompatibilitas dan memudahkan untuk kontrol pelepasan, dan cangkang kapsul keras merupakan barrier yang baik terhadap oksigen di atmosfer.

Keterbatasan kapsul keras, adalah harga relatif mahal, serbuk yang terlalu banyak (very bulky material) dapat menimbulkan masalah, perlu perhatian terhadap kelembapan dari cangkang (kelembapan yang baik untuk cangkang : 13-15%), jika terlalu kering cangkang akan rapuh, dan jika terlalu basah maka cangkang akan melunak dan lengket satu sama lain, menyebabkan kesukaran pada waktu menelan, pada beberapa pasien.

Cangkang kapsul keras terdapat dalam berbagai ukuran. Ada 8 macam ukuran cangkang seperti yang terlihat pada tabel berikut.

Tabel 2.1Volume (ml) dan kapasitas (mg) cangkang kapsul

Ukuran 000 00 0 1 2 3 4 5

2.6.3.2 Kapsul Lunak (soft capsule)

Keuntungan kapsul lunak adalah sesuai untuk obat bentuk cair, obat mudah menguap. obat dalam bentuk larutan atau suspensi; dengan pelepasan yang cepat dapat memperbaiki bioavailabilitasnya, dapat ditutup kedap udara sehingga sesuai untuk obat yang yang mudah teroksidasi, mengurangi debu dalam pembuatannya, memungkinkan untuk mengurangi iritasi lambung (dibandingkan dengan tablet dan kapsul keras), tersedia dalam banyak bentuk dan ukuran (tube form dan bead form), penampilan lebih elegan, dan mudah untuk ditelan.

(37)

2.6.4 Cara Penyimpanan Kapsul

Gelatin bersifat stabil di udara bila dalam keadaan kering akan tetapi mudah mengalami peruraian oleh mikroba bila menjadi lembab atau bila disimpan dalam larutan berair. Oleh karena itu, kapsul gelatin yang lunak pada pembuatannya ditambahkan bahan pengawet untuk mencegah timbulnya jamur dalam cangkang kapsul. Bila mana di simpan dalam lingkungan dengan kelembaban yang tinggi, penambahan uap air akan di absorpsi (diserap) oleh cangkang kapsul dan kapsul tersebut akan mengalami kerusakan dari bentuk dan kekerasannya (Ansel, 1989).

Cangkang kapsul kelihatannya keras, tetapi sebenarnya masih mengandung air dengan kadar 10-15% menurut Farmakope Indonesia edisi IV dan 12-16% menurut literatur dari Syamsuni 2006. Jika disimpan di tempat yang lembab, kapsul akan menjadi lunak dan melengket satu sama lain serta sukar dibuka karena kapsul itu dapat menyerap air dari udara yang lembab. Sebaliknya, jika disimpan di tempat yang terlalu kering, kapsul itu akan kehilangan airnya sehingga menjadi rapuh dan mudah pecah. (Syamsuni, 2006).

Oleh karena itu, menurut Syamsuni (2006), penyimpanan kapsul sebaiknya dalam tempat atau ruangan yang :

1. tidak terlalu lembab atau dingin dan kering

2. terbuat dari botol-gelas, tertutup rapat, dan diberi bahan pengering (silika gel)

3. terbuat dari aluminium-foil dalam blister atau strip.

2.6.5 Evaluasi Sediaan Kapsul

a. Uji Keseragaman Bobot

(38)

Bobot rata-rata isi kapsul

Perbedaan bobot isi kapsul dalam %

A B

120 mg atau lebih ± 10% ± 20%

Lebih dari 120 mg ± 7,5% ± 15%

b. Uji Waktu Hancur

Uji ini dimaksudkan untuk menetapkan kesesuaian batas waktu hancur yang tertera dalam masing-masing monografi, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet atau kapsul digunakan sebagai tablet isap atau dikunyah atau dirancang untuk pelepasan kandungan obat secara bertahap dalam jangka waktu tertentu atau melepaskan obat dalam dua periode berbeda atau lebih dengan jarak waktu yang jelas di antara periode pelepasan tersebut.

Uji waktu hancur tidak menyatakan bahwa sediaan atau bahan aktifnya terlarut sempurna. Sediaan dinyatakan hancur sempurna bila sisa sediaan, yang tertinggal pada kasa alat uji merupakan masa lunak yang tidak mempunyai inti yang jelas, kecuali bagian dari penyalut atau cangkang kapsul yang tidak larut (Roselyndiar, 2012).

Persyaratan uji waktu hancur untuk kapsul adalah kecuali dinyatakan lain tidak lebih dari 15 menit (Depkes, 1979).

c. Uji Higroskopisitas

Suatu sediaan dikatakan stabil secara fisik apabila tidak menunjukkan perubahan-perubahan sifat fisik selama masa penyimpanan. Salah satu sifat fisik yang perlu diamati adalah sifat higroskopisitas sediaan.

Uji higroskopisitas merupakan cara menguji kemampuan bahan obat untuk menyerap uap dari udara setelah dibiarkan dalam suatu kondisi dan satuan waktu yang diamati.

(39)

Pengamatan dilakukan terhadap perubahan bobot kasul, betuk kapsul, dan isi kapsul (Roselyndiar, 2012).

2.7 Sistem Imun

Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh, baik manusia maupun hewan, yang mempunyai kemampuan mengenal suatu benda asing terhadap tubuh dan selanjutnya tubuh akan memberikan respon dalam bentuk netralisasi, melenyapkan atau memasukkan dalam proses metabolisme dengan akibat dapat menguntungkan dirinya atau menimbulkan kerusakan bagi jaringan tubuhnya (Subowo, 1993).

Semua makhluk hidup vertebrata mampu memberikan tanggapan dan menolak benda-benda atau konfigurasi yang dianggap asing oleh tubuhnya. Kemampuan ini disebabkan oleh sel-sel khusus yang mampu mengenali dan membedakan konfigurasi asing (non-self) dari konfigurasi yang berasal dari tubuhnya sendiri (self). Sel khusus tersebut adalah limfosit yang merupakan sel imunokompeten dalam sistem imun. Konfigurasi asing tersebut dinamakan antigen atau imunogen, sedangkan proses serta fenomena yang menyertainya dinamakan respon imun (Subowo, 1993).

Mekanisme pertahanan tubuh dibagi atas 3 fase, yaitu :

1. Immediate phase, ditandai oleh terdapatnya komponen sistim imun kongenital (makrofag dan neutrofil), yang beraksi langsung terhadap patogen tanpa diinduksi. Jika mikroorganisme memiliki molekul permukaan yang dikenali oleh fagosit (makrofag dan neutrofil) sebagai benda asing, akan diserang atau dihancurkan secara langsung. Bila m.o dikenali sebagai antibodi, maka protein komplemen yang sesuai yang berada diplasma akan berikatan dengan mikroorganisme, kompleks ini kemudian dikenal sebagai benda asing oleh fagosit dan kemudian diserang atau dihancurkan.

(40)

hepatosit dan kemudian dikenali oleh protein komplemen. Kompleks mikroorganisme, APPs, dan protein komplemen kemudian dikenali oleh fagosit dan diserang serta dihancurkan.

3. Late phase, merupakan respon imun didapat timbul 4 hari setelah infeksi pertama, ditandai oleh clonal selection limfosit spesifik. Pada fase ini dibentuk molekul dan sel efektor pertama (Flachsmann, 2001).

Mekanisme pertahanan kekebalan tubuh melibatkan aksi sel darah putih atau leukosit. Leukosit ini mencakup neutrofil, eosinofil, basofil, dan monosit, yang semuanya fagositik dan terlibat dalam garis pertahanan kedua, serta dua jenis limfosit (sel T dan sel B), yang tidak fagositik tetapi sangat penting untuk respon imun spesifik (Raven et al., 2001).

Sistem imun dibagi atas dua jenis, yaitu sistem imun kongenital atau non spesifik dan sistem imun didapat atau adaptive atau spesifik. Mekanisme pertahanan tubuh oleh sistem imun kongenital bersifat spontan, tidak spesifik, dan tidak berubah baik secara kualitas maupun kuantitas bahkan setelah paparan berulang dengan patogen yang sama. Sedangkan sistem imun didapat muncul setelah proses mengenal oleh limfosit (clonal selection), yang tergantung pada paparan terhadap patogen sebelumnya. Adanya sistem imun kongenital memungkinkan respon imun dini untuk melindungi tubuh selama 4-5 hari, yang merupakan waktu yang diperlukan untuk mengaktivasi limfosit (imunitas didapat).

Tahap awal mekanisme tubuh dalam mengenal molekul asing adalah tahap pengenalan. Ada dua sistem pertahanan tubuh yang berperan dalam hal ini, yaitu:

1. Sistem pertahanan tubuh alamiah (innate immune system), yang dibawa sejak lahir. Komplemen memegang peranan penting dalam mengenal jasad mikroorganisme tertentu dan segera menghancurkannya.

(41)

cara menyatukan beberapa segmen dari gen sehingga terbentuk suatu reseptor yang spesifik untuk molekul tertentu (Handojo, 2003).

Bila sistem imun bekerja pada zat yang diangap asing, maka ada dua jenis respon imun yang mungkin terjadi, yaitu respon imun nonspesifik dan respon imun spesifik (Kresno, 2001).

Gambar 2.5 Diagram Sistem Imun (Baratawidjaja, 2001)

2.7.1 Respon Imun Non spesifik

Respon imun nonspesifik pada umumnya merupakan imunitas bawaan (innate immunity), artinya bahwa respon terhadap zat asing yang masuk ke dalam tubuh dapat terjadi walaupun tubuh belum pernah terpapar pada zat tersebut (Kresno, 2001). Respon imun nonspesifik dapat mendeteksi adanya zat asing dan melindungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkannya, tetapi tidak mampu mengenali dan mengingat zat asing tersebut.

(42)

Komponen-komponen utama respon imun nonspesifik adalah pertahanan fisik dan kimiawi. Pertahanan ini meliputi epitel dan zat-zat antimikroba yang dihasilkan dipermukaannya, berbagai jenis protein dalam darah termasuk komplemen-komplemen sistem komplemen, mediator inflamasi lainnya dan berbagai sitokin, sel-sel fagosit yaitu sel-sel polimorfonuklear, makrofag dan sel natural killer (NK) (Kresno, 2001).

2.7.2 Respon Imun Spesifik

Respon imun spesifik merupakan imunitas yang didapat (adaptive immunity) dimulai dari pengenalan zat asing hingga penghancuran zat asing tersebut dengan berbagai mekanisme (Subowo, 1993). Dalam respon imun spesifik, limfosit merupakan sel yang memainkan peranan penting karena sel ini mampu mengenali setiap antigen yang masuk ke dalam tubuh, baik yang terdapat intraseluler maupun ekstraseluler. Secara umum, limfosit dibedakan menjadi dua jenis yaitu limfosit T dan limfosit B. Respon imun spesifik dapat dibagi dalam 3 golongan, yaitu respon imun seluler, respon imun humoral dan interaksi antara respon imun selular dengan respon imun humoral (Kresno, 2001).

(43)

Gambar 2.6 Diagram Asal Sel B dan Sel T (Sherwood, 2001)

Sel B berasal dari limfosit yang matang dan berdiferensiasi di sumsum tulang, sedangkan sel T berasal dari limfosit yang berasal dari sumsum tulang tetapi matang di timus. Sel T dan B yang matang mengalir melalui darah dan berdiam di jaringan limfoid perifer dan membentuk koloni. Kedua sel ini akan berproliferasi setelah mendapat stimulasi dengan adanya invasi asing (Sherwood, 2001).

2.7.2.1 Respon Imun Selular

Respon imun selular merupakan fungsi dari limfosit T. Imunitas selular berfungsi untuk mengorganisasi respons inflamasi non spesifik dengan mengaktivasi fungsi makrofag sebagai fagosit dan bakterisid, serta sel fagosit lainnya; selain itu juga mengadakan proses sitolitik atau sitotoksik spesifik terhadap sasaran yang mengandung antigen. Imunitas selular berfungsi pula untuk meningkatkan fungsi sel B untuk memproduksi antibodi, juga meningkatkan fungsi subpopulasi limfosit T baik sel Th/penginduksi maupun sel Tc/sel supresor. Fungsi lainnya adalah untuk meregulasi respons imun dengan mengadakan regulasi negatif dan regulasi positif terhadap respons imun (Abbas et al., 1991).

Adanya antigen akan menyebabkan proliferasi dan diferensiasi sel T menjadi beberapa subpopulasi. Subpopulasi sel T yang disebut sel T-helper

(Th) akan mengenali antigen pada permukaan sel makrofag atau sel yang terinfeksi melalui T-cell receptors (TCR) dan molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas-II. Sinyal yang diberikan oleh sel terinfeksi akan menginduksi limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin yang dapat membantu menghancurkan antigen tersebut.

Sel B Sel T

Invasi asing

(44)

Subpopulasi sel T lain yang disebut sel T-cytotoxic (Tc) akan menghancurkan antigen melalui MHC kelas-I dengan cara kontak langsung dengan sel (cell to cell contact). Selain itu, sel Tc memproduksi -interferon yang mencegah penyebaran antigen lebih jauh (Kresno, 2001).

2.7.2.2 Respon Imun Humoral

Limfosit B adalah satu-satunya sel yang mampu memproduksi antibodi, mengenali antigen ekstraseluler dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi, berfungsi sebagai perantara imunitas humoral. Fungsi terpenting antibodi adalah mencegah mikroba yang ada di permukaan mukosal dan dalam darah, agar tidak masuk dan berkolonisasi dalam sel inang dan jaringan-jaringannya sehingga antibodi ini mencegah terjadinya infeksi tetap (Abbas et al., Abbas Lichtman, 2011).

Respon imun humoral dilakukan oleh sel B dan produknya, yaitu antibodi. Respon ini diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi suatu populasi sel plasma yang memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke dalam darah. Diferensiasi sel B dibantu oleh sel Th2. Adanya sinyal yang diberikan oleh makrofag, sel Th2 akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi. Sel T-supresor juga ikut berperan dalam pengaturan produksi antibodi agar seimbang dan sesuai dengan kebutuhan. Antibodi yang terbentuk akan berikatan dengan antigen membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut. Pada respon imun humoral juga terjadi respon primer yang membentuk populasi sel B memory (Kresno, 2001).

2.7.3 Limfosit T

Limfosit T atau sel T adalah sel yang bertanggung jawab dalam respon imun selular. Sel T dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Sel Thelper (Sel Th)

(45)

yang akan melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi, sedangkan sel Th2 berperan dalam memproduksi antibodi dengan menstimulasi sel B menjadi sel plasma.

b. Sel Tsuppresor (Sel Ts)

Sel Ts adalah sel yang berperan dalam membatasi reaksi imun

melalui mekanisme “check and balance” dengan limfosit yang lain. Sel Ts menekan akitivitas sel T lainnya dan sel B. Sel Th dan sel Ts akan berinteraksi dengan adanya metode umpan balik. Sel Th membantu sel Ts beraksi dan sel Ts akan menekan sel T lainnya. Dengan demikian sel Ts dapat menghambat respon imun yang berlebihan dan bersifat antiinflamasi.

c. Sel Tcytotoxic (Sel Tc)

Sel Tc adalah sel yang mampu menghancurkan sel cangkokan dan sel yang terinfeksi virus (Sherwood, 2001).

2.7.4 Limfosit B

Limfosit B atau sel B tidak melakukan perjalanan ke timus; sel ini menyelesaikan pematangan di sumsum tulang. Dari sumsum tulang, sel B dilepaskan bersirkulasi dalam darah dan getah bening. Sel B individual, seperti sel-sel T, yang khusus untuk mengenali antigen asing tertentu. Ketika sel B bertemu dengan antigen yang ditargetkan, sel B mulai membelah dengan cepat, dan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori. Setiap sel plasma adalah pabrik yang memproduksi antibodi yang menempel seperti bendera untuk antigen, menandai setiap sel membawa antigen untuk dihancurkan. Sel B merupakan prekursor sel plasma; khusus untuk mengenali antigen asing tertentu.

(46)

"ID cek" sistem sel B sendiri. Di awal respon imun, marker ditempatkan endositosis dan diproses. Sel Thelper yang mampu mengenali antigen spesifik akan mengikat kompleks protein antigen-MHC pada sel B dan melepaskan interleukin-2, yang merangsang sel B membelah. Di samping bersifat bebas, antigen yang belum diproses menempel antibodi pada permukaan sel B. Paparan antigen ini memicu lebih banyak lagi B proliferasi sel. Sel B membelah untuk menghasilkan sel-sel memori B berumur panjang dan sel plasma yang berfungsi pabrik antibodi sebagai berumur pendek. Antibodi yang dilepaskan ke dalam plasma darah, getah bening, dan cairan ekstraselular lainnya (Raven et al., 2001).

Limfosit B menanggapi antigen dengan memproduksi protein yang disebut antibodi. Antibodi protein yang dihasilkan disekresikan ke dalam darah dan tubuh lainnya cairan dan dengan demikian memberikan kekebalan humoral. (Humor istilah di sini digunakan dalam arti kuno, mengacu pada cairan tubuh). Limfosit lainnya yang disebut sel T tidak mengeluarkan antibodi melainkan langsung menyerang sel-sel yang membawa antigen spesifik. Sel-sel ini sehingga digambarkan sebagai menghasilkan imunitas seluler. (Raven et al., 2001).

2.8 Imunomodulator 2.8.1 Definisi

(47)

2.8.2 Mekanisme Kerja (Baratawidjaja, 2002).

Obat golongan imunomodulator bekerja menurut 3 cara, yaitu melalui : a. Imunorestorasi

b. Imunostimulasi c. Imunosupresi

Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up regulation, sedangkan imunosupresi disebut down regulation.

a. Imunorestorasi

Imunorestorasi ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, sepertI immunoglobulin dalam bentuk Immune Serum Globulin (ISG),

Hyperimmune Serum Globulin (HSG), plasma, plasmapheresis, leukopheresis, transplantasi sumsum tulang, hati dan timus.

1. ISG dan HSG

Diberikan untuk memperbaiki fungsi sistem imun pada penderita dengan defisiensi imun humoral, baik primer maupun sekunder. ISG dapat diberikan secara intravena dengan aman. Defisiensi imunoglobulin sekunder dapat terjadi bila tubuh kehilangan Ig dalam jumlah besar, misalnya pada sindrom nefrotik, limfangiektasi intestinal, dermatitis eksfoliatif dan luka bakar.

2. Plasma

Infus plasma segar telah diberikan sejak tahun 1960 dalam usaha memperbaiki sistem imun. Keuntungan pemberian plasma adalah semua jenis imunoglobulin dapat diberikan dalam jumlah besar tanpa menimbulkan rasa sakit.

3. Plasmapheresis

(48)

4. Leukopheresis

Pemisahan leukosit secara selektif dari penderita telah dilakukan dalam usaha terapi artritis

b. Imunostimulasi

Imunostimulasi yang disebut juga imunopotensiasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Biological Response Modifier (BRM) adalah bahan-bahan yang dapat merubah respons imun, biasanya meningkatkan. BRM ada yang berupa biologik, yakni :

 Hormon timus

Sel epitel timus memproduksi beberapa jenis homon yang berfungsi dalam pematangan sel T dan modulasi fungsi sel T yang sudah matang. Ada 4 jenis hormon timus, yaitu timosin alfa, timolin, timopoietin dan faktor humoral timus. Semuanya berfungsi untuk memperbaiki gangguan fungsi imun (imunostimulasi non-spesifik) pada usia lanjut, kanker, autoimunitas dan pada defek sistem imun (imunosupresi) akibat pengobatan. Pemberian bahan-bahan tersebut jelas menunjukkan peningkatan jumlah, fungsi dan reseptor sel T dan beberapa aspek imunitas seluler. Efek sampingnya berupa reaksi alergi lokal atau sistemik.

 Limfokin

Disebut juga interleukin atau sitokin yang diproduksi oleh limfosit yang diaktifkan. Contohnya ialah Macrophage Activating Factor (MAF),

Macrophage Growth Factor (MGF), T-cell Growth Factor atau Interleukin-2 (IL-2), Colony Stimulating Factor (CSF) dan interferon gama (IFN- ). Gangguan sintetis IL-2 ditemukan pada kanker, penderita AIDS, usia lanjut dan autoimunitas.

 Interferon

(49)

menghambat replikasi virus DNA dan RNA, sel normal dan sel ganas serta memodulasi sistem imun.

 Antibodi monoklonal

Diperoleh dari fusi dua sel yaitu sel yang dapat membentuk antibodi dan sel yang dapat hidup terus menerus dalam biakan sehingga antibodi tersebut dapat dihasilkan dalam jumlah yang besar. Antibodi tersebut dapat mengikat komplemen, membunuh sel tumor manusia dan tikus in vivo.

c. Imunosupresi

Merupakan suatu tindakan untuk menekan respons imun. Kegunaannya di klinik terutama pada transplantasi untuk mencegah reaksi penolakan dan pada berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik, seperti autoimun atau auto-inflamasi.

2.8.3 Uji Pemeriksaan Sistem Imun (Rahma, 2011)

Terdapat beberapa uji untuk menilai sistem imun, antara lain : a. Titer Antibodi

Uji titer antibodi ini berdasarkan uji hemaglutinasi. Hemaglutinasi merupakan cara untuk menemukan antibodi atas dasar aglutinasi sel darah merah. Sebagai antigen dapat di gunakan sel darah merah sendiri atau antigen yang mensensitisasi sel darah merah. Antibodi adalah imunoglobulin yang merupakan golongan protein yang dibentuk oleh sel plasma dan berasal dari proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen. Titer antibodi yang tinggi menunjukkan bahwa sediaan uji dapat meningkatkan sistem imun (Hargono, Winarno, dan Werawati, 2000).

b. Uji Proliferasi Limfosit

(50)

c. Reaksi Hipersensitivitas Tipe Lambat

Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas tipe lambat, Cell Mediated Immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberkulin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tersensitisasi dengan

2.9 CD19 (Cluster of Differentiation 19)

Respon imun spesifik meliputi aktivasi dan maturasi sel T, sel mediator dan sel B untuk memproduksi antibodi yang cukup untuk melawan antigen (Kresno, 1996). Pada hakikatnya respon imun spesifik merupakan interaksi antara berbagai komponen dalam sistem imun secara bersama-sama. Respon imun spesifik terdiri dari respon imun seluler (cell-mediated immunity) dan respon imun humoral. Perbedaan kedua respon imun tersebut terletak pada molekul yang berperan dalam melawan agen infektif, namun tujuan utamanya sama yaitu untuk menghilangkan antigen (Benjamini et al., 2000).

Respon imun selular merupakan fungsi dari limfosit T. Antigen akan menyebabkan proliferasi dan diferensiasi sel T menjadi beberapa subpopulasi. Subpopulasi sel T yang disebut sel T-helper (Th) akan mengenali antigen pada permukaan sel makrofag atau sel yang terinfeksi melalui T-cell receptors (TCR) dan molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas-II (Kresno, 2001).

Limfosit B atau sel B berperan dalam sistem imun spesifik humoral yang akan menghasilkan antibodi. Antibodi dapat ditemukan di serum darah, berasal dari sel B yang mengalami proliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Fungsi utama antibodi sebagai pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralisasi toksinnya (Baratawidjaya, 2006). Sel B memiliki reseptor yang spesifik untuk tiap-tiap molekul antigen dan dapat dideteksi melalui metode tertentu melalui marker seperti CD19, CD21 dan MHC II (Abbas et.al., 2007).

(51)

menghasilkan antibodi. Antigen dapat berupa molekul yang berada di permukaan unsur patogen maupun toksin yang diproduksi oleh antigen yang bersangkutan (http://bdbiosciensces.com).

Cluster of Diferentiation (kluster diferensiasi) adalah protokol yang digunakan untuk identifikasi dan investigasi molekul yang terdapat pada permukaan sel, khususnya sel darah putih. Molekul CD mempunyai beberapa fungsi, misalnya sebagai reseptor atau ligan, atau pada adhesi sel. Manusia dilengkapi sedikitnya 350 buah molekul CD (Zola et.al., 2005)

Nomenklatur CD dikembangkan HLDA (Human Leukocyte Antigen Diferensiasi). Tujuannya adalah untuk memberikan standarisasi antibodi monoklonal terhadap antigen manusia di laboratorium. Nomenklatur CD tergantung pada selnya. Untuk sel T, molekul penanda pada manusia berupa CD3, CD4,CD8; sel NK berupa CD56; dan sel B berupa CD19; dan lain-lain (http://bdbiosciensces.com).

2.10 Flowsitometri

Flow cytometry adalah teknik untuk menganalisis dan menghitung partikel secara mikroskopis yang tersuspensi dalam aliran fluida (Ningrum, 2010). Alat yang digunakan untuk metode ini dinamakan flow cytometer.

Flow cytometer adalah instrumen untuk menghitung jumlah sel dalam sekali analisis, instrumen ini dilakukan secara otomatis, waktunya relatif singkat yaitu kurang dari satu menit. Instrumen ini mampu mengukur ukuran sel, jumlah komponen seperti jumlah total DNA, DNA yang baru disintesis, ekspresi gen pada jumlah mRNA (messenger Ribonucleic acid), jumlah reseptor spesifik, dan jumlah protein intraseluler (Martz, 2003). Menurut Rowley (2013), flow cytometer digunakan untuk aplikasi dalam analisis ekspresi green fluorescent protein (GFP), analisis DNA, diagnosis kanker, penemuan obat, dan mikrobiologi.

(52)

dipancarkan akan dikonversikan menjadi sebuah grafik dengan suatu program yang ada pada flow cytometer. Flow cytometer terdiri dari fluidik, optik dan elektronik (Robinson, 2006). Flow cytometry bersifat preparatif, yaitu sel-sel yang hidup diurutkan ke dalam tempat yang terpisah berdasarkan sifat dari masing-masing sel (Martz, 2003).

Keuntungan dari metode flow cytometry yaitu waktu yang dibutuhkan untuk analisis sangat singkat, hasil yang didapat juga cepat, dapat memroses hingga 100.000 partikel per detik, dapat memisahkan partikel tunggal dari campuran populasi, dan adanya komputer yang modern dapat melakukan analisis multiparameter. Sedangkan kekurangan dari metode ini lebih mahal daripada radioimunoassay, lebih lambat dibandingkan dengan sistem otomatis imageprocessing (Robinson, 2004).

2.11 Kontrol Pembanding

IM® mengandung Echinacea purpurea 250 mg, ekstrak Black eldelberry 400 mg, dan Zinc picolinate 5 mg, dikemas dalam sediaan kaplet. IM®membantu memperbaiki daya tahan tubuh atau respon imun tubuh, juga digunakan sebagai terapi pendamping untuk infeksi yang akut dan kronis, terutama untuk infeksi saluran pernafasan dan genitalia seperti kandidadiasis dan vaginitis. Echinacea adalah tumbuhan pertama yang dibuktikan secara ilmiah khasiat stimulasinya terhadap sistem imun (Tjay et al., 2002).

Mekanisme Echinacea yang bekerja dengan cara menginduksi sitokin, sedangkan Zn picolinate mengaktivasi membran sel imun pada saat proses transkripsi, sehingga kombinasi Echinaceadan Zn picolinate merupakan kombinasi yang ideal untuk meningkatkan respon imun terutama pada keadaan infeksi (Anonim, 2006).

(53)

retikuloendotelial, telah digunakan sebagai indikator aktifitas imunostimulan dari Echinacea (Bradley, 2006).

2.12 Literatur Review

 Telah dilakukan penelitian oleh Musdja (2011) tentang uji efek

imunomodulator ekstrak air campuran daun sirih (Piper betle Linn.), gambir (Uncaria gambir Roxb.), dan kapur sirih pada sel fagositosis mencit, pada dosis sedang 200 mg/kgBB terbukti memberikan efek imunomodulator.

 Penelitian Fatimah (2010) pada uji pendahuluan tablet hisap campuran

daun sirih dan gambir dengan perbandingan 0,636 : 0,333 gr yang diberikan kepada 6 orang relawan selama 7 hari. Hasil pengukuran CD4 relawan sebelum pemberian dan sesudah pemberian 7 hari tablet hisap, diperoleh hasil uji T berbeda secara bermakna dibandingkan dengan control normal. Penelitian ini menunjukkan bahwa tablet hisap daun sirih dan gambir juga memiliki potensi untuk melawan virus, yaitu dengan meningkatkan kadar CD4 pada relawan.

 Penelitian Nurnabila (2011) pada uji pendahuluan tablet hisap campuran daun sirih dan kapur sirih (CaCO3) dengan mengambil darah 8 orang

(54)

Piper betle L.

Eugenol Katekin Ca2+

2.13 Kerangka Teori Penelitian

Uncaria gambir Roxb. Ca(OH)2

Antioksidan dan

Immunomodulator Antioksidan Imunomodulator

Campuran Komponen Menyirih Meningkatkan aktifitas

fagositosit & Meningkatkan kapasitas

fagositosit serta menetralisir radikal bebas

di dalam tubuh

Menetralisir radikal bebas di

dalam tubuh

Membentuk antibodi dan aksi antagonis pada sel poliferasi & sel diferensiasi

(55)

3.1 Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi experimentalresearch dengan non randomized control group pretest postest design. Desain penelitian ini menggunakan kelompok pembanding (kontrol), tetapi tidak berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-vaeriabel luar yang mempengaruhi penelitian. Penelitian ini menggunakan kelompok uji dan kelompok kontrol yang tidak dipilih secara random.

Penelitian ini dilakukan dengan melihat perbedaan pretest (sebelum) dan postest (sesudah) diberi perlakuan. Kelompok uji dan kelompok kontrol yang tidak dipilih secara random. Untuk kelompok kontrol terbagi menjadi kontrol positif dan kontrol negatif. Kelompok kontrol positif diberikan Imboost® Force Kaplet Salut Selaput, sedangkan kelompok kontrol negatif tidak diberikan perlakuan.

3.2 Variabel Penelitian 3.2.1 Variabel Independen

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kapsul ekstrak air komponen menyirih. Dosis yang digunakan adalah 972 mg sekali pakai. Intervensi dilakukan selama 14 hari.

3.2.2 Variabel Dependen

Variabel independen dalam penelitian ini adalah jumlah kadar CD19 pada responden sehat sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan atau intervensi.

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian

(56)

Syarif Hidayatullah Jakarta dan Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penelitian ini berlangsung mulai dari bulan Mei-Oktober2016.

3.4 Alat dan Bahan Penelitian 3.4.1 Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan terdiri dari alu,timbangan analitik, kertas saring, kertas perkamen, gelas beker, batang pengaduk, gelas ukur, kain flannel, tabung reaksi, pipet tetes, spatula, kaca arloji, kapas, cawan penguap, aluminium foil, corong, lemari asam, blender, freeze drier,

disintegration tester, sysmex pouch 100i danFACSCalibur.

3.4.2 Bahan Penelitian a. Bahan Tanaman

Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak air kering gambir (Uncaria gambir Roxb.) yang diperoleh dari Payakumbuh-Sumatra Barat, daun sirih (Piper betle L.) dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO) dan kapur sirih [Ca(OH)2] diperoleh dari

CV. Total Equipment Pharmacy Semarang.

b. Bahan Pereaksi

Bahan-bahan yang digunakan yaitu : aquadest, etanol 96%, asam sulfat pekat, asam sulfat 10 N, natrium hidroksi 5%, ammonia 10%, amonia 25%, FeCl₃ 5%, asam nitrat pekat, HCl, lempeng Mg, HCl pekat, eter, asam

asetat anhidrat, serbuk natrium asetat, NaOH 1 N, kloroform; pereaksi Stiasny, Dragendorf, Meyer, Buchard dan Liebermann-Buchard, reagen BD Tritest CD19 dan BD DACS lysing solution.

c. Bahan lain

Imboost® Force Kaplet Salut Selaput dan cangkang kapsul ukuran 00.

3.5 Alur Penelitian

3.5.1 Determinasi Gambir dan Daun Sirih

Gambar

Gambar 2.1 Tanaman Gambir ..........................................................................
Gambar 2.1 Tanaman Gambir
Gambar 2.2 Bongkahan gambir
Gambar 2.3 Daun Sirih
+7

Referensi

Dokumen terkait