• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SISTEM SISTEM HUKUM DI INDONESIA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Hukum Indonesia adalah keseluruhan kaidah dan asas berdasarkan keadilan yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat yang berlaku sekarang di Indonesia. Sebagai hukum nasional, berlakunya hukum Indonesia dibatasi dalam wilayah hukum tertentu, dan ditujukan pada subyek hukum dan objek hukum tertentu pula. Subyek hukum Indonesia adalah warga negara Indonesia dan warga negara asing yang berdomisili di Indonesia. Sedangkan objek hukum Indonesia adalah semua benda bergerak atau tidak bergerak, benda berwujud atau tidak berwujud yang terletak di wilayah hukum Indonesia.

Hukum Indonesia sebagai perlengkapan masyarakat ini berfungsi untuk mengintegrasikan kepentingan-kepentingan anggota masyarakat sehingga tercipta ketertiban dan keteraturan. Karena hukum mengatur hubungan antar manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat dan sebaliknya, maka ukuran hubungan tersebut adalah keadilan.

Hukum Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu sistem, yang terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian yang satu sama lain saling berkaitan dan berhubungan untuk mencapai tujuan yang didasarkan pada UUD 1945 dan dijiwai oleh falsafah Pancasila. Sebagai satu sistem, sistem hukum Indonesia telah menyediakan sarana untuk menyelesaikan konflik diantara unsur-unsurnya.

Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku nasional di negara Republik Indonesia. Sistem hukum Indonesia tersebut bersifat majemuk, karena sistem hukum yang berlaku nasional terdiri dari lebih satu sistem. Sistem-sistem tersebut adalah sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat.

(2)

Hukum Islam baru dikenal di Indonesia setelah agama Islam disebarkan di tanah air. Belum ada kesepakatan oleh para ahli mengenai kapan Islam pertama kali masuk ke Indonesia. Ada yang mengatakannya pada abad ke-1 Hijriah (abad ke 7 Masehi), ada pula yang mengatakan pada abad ke-7 (abad ke 13 Masehi). Meski tidak ada kepastian yang jelas mengenai kapan masuknya Hukum Islam, namun dapat dikatakan bahwa begitu Hukum Islam masuk ke Indonesia, Hukum Islam langsung diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluk agama islam di Indonesia ini. hal ini dapat dilihat pada studi para pujangga yang hidup pada masa itu mengenai hukum Islam dan peranannya dalam menyelesaikan perkara-perkara yang timbul dalam masyarakat.

Hukum Barat diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan kedatangan orang-orang Belanda untuk berdagang di Nusantara ini. Pada awalnya hukum Barat hanya berlaku bagi penduduk Eropa beserta keturunannya, tetapi kemudian melalui berbagai upaya peraturan perundang-undangan hukum Barat itu dinyatakan berlaku juga bagi mereka yang disamakan dengan orang Eropa, orang Timur Asing (terutama Tionghoa) dan orang Indonesia. sebagai hukum golongan yang berkuasa pada waktu itu di Nusantara kita ini keadaan hukum Barat jauh lebih menguntungkan daripada keadaan dua sistem hukum yang sudah lebih dulu ada di masyarakat.

Hukum adat dan hukum islam adalah hukum bagi orang-orang Indonesia asli dan mereka yang disamakan dengan penduduk bumiputera. Keadaan itu diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda dahulu, sejak tahun 1854. Ketika masa penjajahan Belanda, perkembangan hukum Islam dan hukum Adat dikendalikan dengan adanya teori resepsi yang dikukuhkan dalam pasal 134 ayat (2) IS 1929. Akan tetapi setelah Belanda meninggalkan Indonesia dan Indonesia memerdekakan diri pada tahun 1945, hukum Adat dan hukum Islam sebagian kemudian menjadi berlaku dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang-undangan.

B. Rumusan Masalah

(3)

BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Perkembangan Hukum Adat di Indonesia

Sebelum Indonesia dijajah oleh Belanda, Hukum yang digunakan untuk menyelesaikan setiap sengketa yang terjadi di masyarakat adalah menggunakan hukum adat. Pada masa itu hukum adat diberlakukan oleh hampir seluruh masyarakat di Indonesia. Setiap daerah mempunyai pengaturan mengenai hukum adat yang berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain. Hukum adat sangat ditaati masyarakat pada masa itu karena mengandung Nilai-nilai baik nilai keagamaan, nilai-nilai kesusilaan, tradisi serta nilai kebudayaan yang tinggi.

Salah satu tokoh yang meneliti hukum adat adalah Van Vollenhoven dimana penelitiannya mengenai hukum adat dimulai sejak tahun 1906 dan selesai pada tahun 1931. Hukum adat di Indonesia menurut Van Vollenhoven diartikan sebagai :

“ hukum nonstatutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaaan dan sebagian hukum islam. Hukum adat itu pun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan, dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat berurat-berakar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai fitrahnya sendiri, hukum adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.”1

Hukum adat adalah sistem aturan berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berasal dari adat kebiasaan, yang secara turun temurun dihormati oleh masyarakat sebagai tradisi bangsa indonesia. Pada zaman sebelum VOC datang ke Nusantara, kedudukan hukum adat adalah sebagai hukum positip yang berlaku sebagai hukum yang nyata dan ditaati oleh rakyat yang pada saat itu Nusantara.

Indonesia terdiri dari berbagai kerajaan.2 Naskah hukum adat yang lahir pada waktu

itu antara lain Kitab Ciwakasoma yang dibuat pada masa raja Dharmawangsa pada tahun

1 Ade Maman Suherman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hal.245-246

(4)

1000 Masehi, Kitab hukum Gadjah Mada pada masa kerajaan Majapahit (1331-1364), Kitab Hukum Adigama pada zaman Patih Kanaka (1413-1430), dan Kitab Hukum Kutaramanawa di Bali. Selain itu ditemukan juga bukti peraturan-peraturan asli lainnya seperti Kitab Ruhut Parsaoran di Habatahon, Tapanuli (berisi kehidupan sosial di tanah Batak), Undang-Undang Jambi di Jambi, Undang-Undang simbur Cahaya di Palembang, Undang-Undang Nan Duapuluh di Minangkabau, Undang-Undang Perniagaan dan pelayaran dari Suku Bugis Wajo di Sulawesi Selatan, Awig-Awig yang berisi peraturan Subak dan Desa ) di Bali. Ditemukan juga berbagai peraturan-peraturan kerajaan atau kesultanan yang pernah bertahta antara lain: Kediri, Singosari, Mataram, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram II, Pakubuwono, Mangkunegoro, Paku Alam, Tarumanagara, Pajajaran, Jayakarta, Banten, Cirebon, Sriwijaya, Indragiri,Asahan, Serdang, Langkat, Deli, aceh, Pontianak, Kutai, Bulungan, Goa, Bone, Bolaang Mongondow, Talaud, Ternate, Tidore, Kupang, Bima, sumbawa, Endeh, Buleleng, Badung, Gianyar dan sebagainya.3

Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit. VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta. Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Memasuki Zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yaitu zaman dimana orang asing (Barat) mulai masuk ke Nusantara dan memberi perhatian terhadap hukum adat. Pada masa ini ditandai dengan kebijakan Kompeni terhadap hukum adat dengan cara saling menghormati. Hukum Barat (Belanda) pada awalnya hanya digunakan untuk daerah pusat pemerintahan Kompeni sedangkan untuk daerah yang belum dikuasai dipersilakan bagi pendudukan untuk menggunakan hukum adat mereka atau bagi yang mau tunduk pada hukum Belanda diperbolehkan. Namun jika akan melakukan hubungan dengan Kompeni maka harus menggunakan hukum Belanda. Dengan kata lain politik hukum Kompeni bersifat oportunis.4 Pada masa ini pemerintah Belanda memberikan hak

istimewa kepada VOC berupa hak octrooi (meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dan mencetak uang). Gubernur yang bernama Jenderal Pieter Both diberi wewenang untuk membuat peraturan

3 Ibid, hal.115-116

(5)

guna menyelesaikan masalah dalam lingkungan pegawai VOC hingga memutuskan perkara perdata dan pidana. Kumpulan peraturan pertama kali dilakukan pada tahun 1642, Kumpulan ini diberi nama Statuta Batavia. Pada tahun 1766 dihasilkan kumpulan ke-2 diberi nama Statuta Bara. Kekuasaan VOC berakhir pada 31 Desember 1799.5

Memasuki masa pemerintahan Daendels (1808-1811), hukum adat diperbolehkan dianut oleh penduduk bumi putera dengan syarat :

1. Hukum adat tidak bertentangan dengan kepentingan umum

2. Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan dasar keadilan dan kepatutan (dalam ukuran barat)

3. Hukum adat dapat menjamin tercapainya keamanan umum dengan persyaratan tersebut bahwa pemerintahan Deandels menganggap rendah kedudukan hukum adat dibanding Hukum Belanda

Memasuki masa pemerintahan Raffles (1811-1816) , Raffles menggunakan kebijakan atau politik bermurah hati dan bersabar terhadap golongan pribumi untuk menarik simpati dan merupakan sikap politik Inggris yang humanistis. Memasuki periode 1816- 1848, kedudukan hukum adat mulai terancam karena penguasa Hindia Belanda pada waktu itu mulai memperkenalkan dan menganut prinsip unifikasi hukum untuk seluruh wilayah jajahannya dengan pengecualian berlakunya hukum adat oleh bumiputera. Jadi secara prinsip hukum adat mulai terdesak oleh berlakunya hukum Hindia Belanda akan tetapi dalam praktis pemerintahan masih dianut persamaan kedudukan antara hukum adat dan hukum barat.6 Pada tahun 1816 Peraturan-peraturan

umum termuat dalam lembaran yang diterbitkan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang disebut dengan “Staatsblad” beserta “Bijblad”-nya. Staatsblad dan Bijblad yang pertama kali terbit dalam tahun 1816 sampai dengan 8 Maret 1942. Staatsblad tiap-tiap tahun mulai dengan nomor 1, Bijblad nomornya berturut-turut tidak memperdulikan tahunnya.7

Berbicara tentang masalah hukum yang berlaku terhadap golongan Bumi Putera, yaitu hukum adat bangsa Indonesia. Timbullah beberapa teori yaitu: Teori pertama

5 Sejarah Tata Hukum Indonesia Dan Politik Hukum Indonesia, http://hukum-hukumkeseluruhan.blogspot.com/2009/04/sejarah-tata-hukum-indonesia-dan.html diakses tanggal 22 November 2016

6 Ilham Bisri, Op.Cit., hal.120

(6)

diketemukan oleh beberapa sarjana Belanda seperti Carel Frederik Hunter (1799-1859), Salomo Kayzor (1823-1868) dan William Christian Van Berg (1845-1925). Teori ini menyatukan bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah hukum agamanya masing-masing. Jadi menurut teori ini bahwa hukum tentang berlaku bagi pribumi yang beragama Islam adalah hukum Islam, hukum yang berlaku bagi penduduk asli yang beragam khatolik adalah hukum agamanya, demikian juga bagi penganut agama lain, teori ini yang dikenal dengan teori receptio in complexu (RIC).

Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat Islam berlaku sejak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni ketika Belanda masih belum mencampuri semua persoalan hukum yang berlaku di masyarakat.

Materi teori ini kemudian dimuat dalam pasal 75 RR (Regering Reglement) tahun 1855. pasal 75 ayat 3 RR berbunyi “oleh hakim Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang-undang agama (Jadsdiensnge Wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu” pada masa teori ini berlaku, kemudian antara lain Stb. 882 No. 152 tentang pembentukan pengadilan agama (Priensterand) di samping pengadilan negeri (landrand). Berdasarkan pasal 75 dengan mengacu kepada teori RIC hukum waris yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum waris Islam dan menjadi kompetensi (wewenang) peradilan agama.

Pada mulanya, politik kolonial Belanda sebenarnya cukup menguntungkan posisi hukum Islam, setidaknya sampai akhir abad ke 19 M dikeluarkannya Staatsblaad No. 152 Tahun 1882 yang mengatur sekaligus mengakui adanya lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura, dengan tanpa mengurangi legalitas mereka dalam melaksanakan tugas peradilan sesuai dengan ketentuan fiqhi.8 hal ini merupakan indikasi kuat diterimanya

hukum Islam oleh pemerintah kolonial Belanda.

Dari sinilah muncul teori Receptio in Complexu yang dikembangkan oleh Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845 – 1925). Mr. L.W.C. van den Berg seorang sarjana hukum menegakkan suatu teori tentang hukum adat yang disebut “teori receptio in complexu”. Inti dari teori ini adalah sebagai berikut: “Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum agama itu dengan setia”. Tegasnya menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum Adat masyarakat

(7)

yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Kalau ada hal-hal yang menyimpang daripada hukum agama yang bersangkutan, maka hal-hal ini dianggapnya sebagai “perkecualian/penyimpangan” (sesuatu yang sudah diatur sebelumnya atau kesalahan pengalihan dari jalur yang sudah ada )daripada hukum agama yang telah “in complexu gerecipieerd” (diterima dalam keseluruhan) itu.9 Bukti-bukti teori ini dapat

dilihat dalam ketentuan-ketentuan berikut :

Statuta Batavia 1642 menyebutkan bahwa : “ sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari”. Untuk keperluan ini, D.W Freijer menyusun Compendium (buku ringkasan) mengenai hukum perkawinan dan kewarisan Islam, yang setelah direvisi dan diseempurnakan para penghulu, diberlakukan didaerah jajahan VOC. Compendium ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.

Menurut ahli hukum Belanda, hukum ini mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, maka hukun Islam-lah yang berlaku baginya. Dengan adanya teori receptio in Complexu maka hukum Islam sejajar dengan dengan sistem hukum lainnya. Kondisi tersebut tidak berlangsung lama, seiring dengan perubahan orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini telah mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis

Kecurigaan sementara pejabat pemerintah Hindia Belanda mulai dikemukakan melalui kritik terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan. Mereka memperkenalkan het Indische adat rech atau hukum adat Indonesia. Kritik ini dimulai Cornelis van Vollenhoven (1874-1933). Kemudian dilanjutkan oleh Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936) penasehat pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam dan anak negeri. Teori Receptie mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah di resepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam.

Sebelum Hurgronje ditunjuk sebagai penasehat, tahun 1859 telah dimulai politik campur tangan terhadap urusan keagamaan. Gubernur jenderal dibenarkan mencampuri masalah agama bahkan harus mengawasi setiap gerak-gerik para ulama, bila dipandang

(8)

perlu demi kepentingan ketertiban keamanan. Sebagai kolonialis, pemerintah Belanda memerlukan Inlandsch Politiek, yakni kebijaksanaan mengenai pribumi untuk memahami dan menguasai pribumi. Demikian Snouck Hurgronje menegaskan. Maka, dialah yang oleh Harry J. Benda, disebut sebagai arsitek keberhasilan politik Islam yang paling legendaris. Politik ini didasari oleh suatu anggapan, bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik.

Kemunculan teori kedua yaitu teori receptie sebenarnya berawal dari keinginan Snouck Hurgronje agar orang-orang pribumi dari daerah jajahan tidak memegang kuat ajaran Islam, karena orang-orang yang kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam tidak akan mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat. Snouck Hurgronje khawatir adanya pengaruh Pan Islamisme yang dipelopori Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh dan lain-lain.

Teori Receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat. Hukum Islam berlaku bagi rakyat pribumi kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori ini dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi jangan sampai kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam. . Jika mereka berpegang terhadap ajaran dan hukum Islam, dikhawatirkan mereka akan sulit menerima dan dipengaruhi dengan mudah oleh budaya barat. Ia pun khawatir hembusan Pan Islamisme yang ditiupkan oleh Jamaluddin Al-Afgani berpengaruh di Indonesia.

Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yang sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yang menganjurkan kepada hakim Indonesia untuk memberlakukan undang-undang agama.

Dalam I.S. tersebut, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Dan dalam pasal 134 ayat 2 dinyatakan: "Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya, dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi".10

(9)

Tata hukum Hindia Belanda pada saat itu terdiri dari : 1. Peraturan-peraturan tertulis yang dikodifikasikan, 2. Peraturan-peratauran tertulis yang tidak dikodifikasikan, 3. Peraturan-peraturan tidak tertulis (hukum adat) yang khusus berlaku bagi golongan Eropa. Pada masa ini, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan termasuk kekuasaan mutlak terhadap harta milik negara bagian yang lain. Kekuasaan mutlak raja itu diterapkan pula dalam membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan nama Algemene Verordening (Peraturan pusat). Ada 2 macam keputusan raja :

1. Ketetapan raja sebagai tindakan eksekutif disebut Besluit. Seperti ketetapan pengangkatan Gubernur Jenderal.

2. Ketetapan raja sebagai tindakan legislatif disebut Algemene Verodening atau Algemene Maatregel van Bestuur (AMVB)

Pada masa ini pula dimulai penerapan politik agraria yang disebut dengan kerja paksa oleh Gubernur Jenderal Du Bus De Gisignes. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda berhasil mengkodifikasikan hukum perdata yang diundangkan pada tanggal 1 Oktober 1838.11 Namun hukum adat secara berangsur-angsur tergeser dengan adanya

penggagasan diberlakukannya sistem hukum kodifikasi hukum Barat yang secara efektif berlaku sejak tahun 1848.

B. Sejarah Perkembangan Hukum Barat di Indonesia

Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang. Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda, pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter, dan perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.

Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan

(10)

hak dasar rakyat di Nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.

Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.

Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta

Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum, pembentukan Volksraad (lembaga perwakilan untuk kaum pribumi), penataan organisasi pemerintahan (khususnya dari segi efisiensi), penataan lembaga peradilan (khususnya dalam hal profesionalitas), dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan (1) Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan; (2) Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.

Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi:

(11)

2. Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah 3. Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan;

4. Unifikasi kejaksaan;

5. Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan; 6. Pembentukan lembaga pendidikan hukum;

7. Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.

C. Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terjadi perbedaan pendapat para ahli mengenai kapan pertama kali Islam measuk ke Nusantara.12 Menurut pendapat yang

disimpulkan oleh Seminar Masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau pada abad ketujuh/kedelapan masehi. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam baru sampai ke Nusantara ini pada abad ke-13 Masehi. Daerah yang pertama didatanginya adalah pesisir utara pulau Sumatera dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di Pereulak Aceh Timur dan kerajaan Islam pertama di Samudra Pasai, Aceh Utara.

Ketika singgah di Samudera Pasai pada tahun 1345 Masehi, Ibnu Batutah, seorang pengembara, mengagumi perkembangan Islam di negeri tersebut. ia mengagumi kemampuan Sultan Al-Malik Al-Zahir dalam berdiskusi tentang berbagai masalah Islam dan Ilmu Fiqh. Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja, Al-Malik Al-Zahir yang menjadi Sultan Pasai ketika itu adalah juga seorang fukaha (ahli hukum yang mahir tentang hukum Islam). Yang dianut di kerajaan Pasai pada waktu itu adalah hukum Islam Mazhab Syafi’i. Menurutt Hamka, dari Pasailah disebarkan paham Syafi’i ke kerajaan – kerajaan Islam lainnya di Indonesia. Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500 M) para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudra Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarakat.

Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan, peranan hukum Islam adalah besar. Kenyataan ini dilihat bahwa bila seorang saudagar Muslim hendak menikah dengan seorang wanita pribumi, misalnya, wanita itu diislamkan lebih dahulu dan perkawinannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan Hukum Islam.

(12)

Setelah agama Islam berakar pada masyarakat, peranan saudagar dalam penyebaran Islam digantikan oleh para ulama yang bertindak sebagai guru dan pengawal Hukum Islam. Salah satu contoh ulama yang terkenal adalah Nuruddin Ar-Raniri, yang menulis buku hukum Islam dengan judul Siratal Mustaqim pada tahun 1628. menurut Hamka, kitab Hukum Islam yang ditulis oleh Ar-Raniri ini merupakan kitab hukum Islam pertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia. oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang menjadi mufti di Banjarmasin, kitab hukum Siratal Mustaqim itu diperluas dan diperpanjang uraiannya dan dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di daerah kesultanan Banjar. Kitab yang sudah diuraikan ini kemudian diberi nama Sabilal Muhtadin. Di daerah kesultanan Palembang dan Banten, terbit pula beberapa kitab Hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka ditulis oleh Syaikh Abdu Samad dan Syaikh Nawawi Al-Bantani.

Pada akhir abad keenam belas, VOC merapatkan kapalnya di Pelabuhan Banten, Jawa Barat. semula maksudnya adalah berdagang, tapi kemudian haluannya berubah menjadi menguasai kepulauan Indonesia. VOC memiliki dua fungsi, pertama sebagai pedagang, kedua sebagai badan pemerintahan. Dalam kata lain, Sebagai badan pemerintahan VOC menggunakan hukum Belanda yang dibawanya. Akan tetapi hukum Belanda tidak pernah bisa diterapkan seluruhnya, sehingga VOC kemudian membiarkan lembaga – lembaga asli yang ada di dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. Pemerintah VOC terpaksa harus memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan mereka sehari – hari. Dalam statuta Jakarta (Batavia) tahun 1642 disebutkan bahwa mengenai soal kewarisan bagi orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari – hari.

(13)

Islam Muharrar karangan Ar-Rafi’i. Mogharraer memuat sebagian besar hukum pidana Islam. Posisi hukum Islam di zaman VOC ini berlangsung demikian, selama lebih kurang dua abad.

Waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan kolonial Belanda menguasai sungguh – sungguh kepulauan Indonesia, sikapnya terhadap hukum Islam mulai berubah. Perubahan ini khususnya tampak pada abad ke 19, dimana ketika itu banyak orang Belanda sangat berharap dapat segera menghilangkan pengaruh agama Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan berbagai cara, salah satunya adalah kristenisasi. Mereka berpendapat bahwa pertukaran agama penduduk menjadi kristen akan menguntungkan negeri Belanda. Selain itu, pemerintah Belanda memiliki keinginan yang kuat untuk menata dan mengubah hukum di Indonesia menjadi hukum Belanda, karena adanya anggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik daripada hukum yang telah ada di Indonesia. untuk melaksanakan maksud tersebut pemerintah Belanda kemudian mengangkat suatu komisi yang diketuai oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem yang bertugas untuk melakukan penyesuaian undang – undang Belanda itu dengan Indonesia.

Mengenai kedudukan hukum Islam dalam usaha pembaharuan tata hukum di Hindia Belanda, Scholten berpendapat bahwa hukum Islam sebaiknya tetap dibiarkan ada dalam masyarakat agar tidak terjadi hal – hal yang tidak menyenangan. Pendapat inilah yang mungkin menyebabkan pasal 75 RR menginstruksikan kepada pengadilan untuk mempergunakan undang – undang agama dan lembaga – lembaga kebiasaan mereka bila golongan bumi putera bersengketa, sejauh undang – undang dan kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan hukum Belanda. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan perkara perdata antara sesama orang bumi putera. Inti wewenang Pengadilan Agama ini adalah kelanjutan praktik pengadilan dalam masyarakat bumiputera yang beragama Islam yang telah berlangsung sejak zaman pemerintahan VOC dan kerajaan – kerajaan Islam sebelumnya.

(14)

sebuah komisi untuk meninjau kembali wewenang Priesterraad atau Raad Agama di Jawa dan Madura yang tahun 1882 secara resmi berwenang mengadili perkara kewarisan orang – orang Islam menurut ketentuan hukum Islam. Dengan alasan bahwa hukum kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, maka melalui pasal 2a ayat (1) S. 1937 : 116 dicabutlah wewenang Raad atau Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk mengadili perkara warisan. Usaha giat raja – raja Islam di Jawa menyebarkan hukum Islam di kalangan rakyatnya distop oleh pemerintah kolonial sejak 1 April 1937. wewenang untuk mengadili perkara kewarisan pun dialihkan ke Landraad.

Akan tetapi, Landraad ketika memutuskan perkara warisan dianggap sangat bertentangan dengan hukum Islam, sehingga menimbulkan reaksi dari berbagai organisasi Islam. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pun memprotes kehadiran S. 1937 : 116, karena staatsblad tersebut dianggap telah menggoyahkan kedudukan hukum Islam dalam masyarakat Muslim Indonesia. Meski begitu pemerintah Belanda tetap tidak menghiraukan protes tersebut.

Usaha untuk mengendalikan dan menempatkan hukum Islam dalam kedudukannya semula (sebelum dikendalikan oleh Pemerintah Belanda) terus dilakukan oleh para pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan yang terbuka. Salah satu contohnya adalah ketika sidang BPUPKI berhasil menghasilkan Piagam Jakarta (22 juni 1945) yang selanjutnya menjadi Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945. di dalam piagam ini, dinyatakan antara lain bahwa negara ‘berdasarkan pada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya’. Tujuh kata terakhir ini oleh PPKI diganti dengan kata ‘Yang Maha Esa’ dan ditambahkan pada ‘Ketuhanan’ sehingga berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.

D. Perbandingan antara Hukum Adat, Hukum Barat, dengan Hukum Islam

1. Dilihat dari Keadaannya

Hukum adat merupakan hukum yang tertua yang ada di Indonesia.

Hukum islam baru dikenal di Indonesia setelah agama Islam disebarkan di tanah air kita (kira-kira abad 1 Hijrah atau abad 7 Masehi).

(15)

sukarela, pemilihan hukum dlsb), hukum barat berlaku juga bagi pribumi dan orang-orang yang dipersamakan dengan mereka.

2. Dilihat dari Bentuknya

Hukum adat merupakan hukum yang tertua yang ada di Indonesia.

Hukum islam baru dikenal di Indonesia setelah agama Islam disebarkan di tanah air kita (kira-kira abad 1 Hijrah atau abad 7 Masehi).

Hukum barat diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan kedatangan orang-orang belanda yang berdagang di Nusantara ini. Semula hukum badar hanya berlaku bagi orang-orang eropa saja, tetapi kemudian dengan berbagai jalan melalui upaya peraturan perundang-undangan (pernyataan berlaku, penundukan diri dengan sukarela, pemilihan hukum dlsb), hukum barat berlaku juga bagi pribumi dan orang-orang yang dipersamakan dengan mereka.

3. Dilihat dari Tujuannya

Hukum adat bertujuan untuk menyelenggarakan kehidupan masyarakat yang aman, tenteram dan sejahtera.

Hukum islam bertujuan untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan. Ada yang berpendapat bahwa tujuan Hukum Islam ialah untuk memelihara Agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda.

Hukum barat bertujuan untuk mencapai kepastian dan keadilan hukum. 4. Dilihat dari Sumbernya

a. Sumber pengenal

Sumber pengenal hukum adat ialah keputusan penguasa adat. Menurut Prof. M. Koesnoe yang menjadi sumber pengenal hukum adat ialah apa yang benar-benar terlaksana dalam pergaulan hukum di dalam masyarakat yang bersangkutan. Sumber pengenal hukum islam dalam pengertian hukum syariat ialah Al- Qur’an dan kitab-kitab Hadist.

Sumber pengenal hukum barat ialah segala peraturan perundang-undangan sejak zaman kolonial beserta perubahannya yang dinyatakan dalam Stb atau lembaran negara.

b. Sumber isi

Hukum adat bersumber pada kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat adat.

Hukum islam bersumber kemauan Allah yang berupa wahyu yang kini terdapat dalam Qur’an dan Sunnah.

Hukum barat besumber pada kemauan pembentuk UU.

c. Sumber pengikat, yang dimaksud dengan sumber pengikat ialah sumber yang menjadi kekuatan mengikat orang untuk melaksanakan atau tidak melanggar hukum tersebut.

(16)

Sumber pengikat hukum islam ialah iman atau tingkat ketaqwaan seorang muslim. Sumber pengikat hukum barat ialah kekuasaan negara yang membentuk UU Dasar yang kini dilanjutkan oleh alat kekuasaan Negara RI.

5. Dilihat dari Strukturnya

Struktur hukum adat ditentukan menurut teori-teori struktur menurut pandangan ahli-ahli adat setempat.

Struktur hukum islam terdiri dari Qur’an, As-Sunnah dan hasil ijtihad manusia yang memenuhi syarat serta pelaksanaannya dalam konkreto masyarakat Islam baik yang berupa keputusan-keputusan maupun berupa amalan-amalan.

Struktur hukum barat ialah: kitab UU yang dibuat oleh lembaga legislatif, keputusan hakim, kemudian baru amalan-amalan keputusan tersebut.

6. Dilihat dari Pembidangannya

Hukum adat yang mengenal asas-asas kerukunan, kepatutan, keselarasan dalam pergaulan hidup yang bersifat religio magis tidak mengenal pembidangan hukum perdata dan hukum publik.

Hukum Islam mengenal pembidangan yang terdiri dari Hukum Ibadah dan Hukum Muammalah.

Hukum barat mengenal pembidangan hukum privat dengan hukum publik dimana pembidangan ini ditentukan pada pengaturan kepentingan perdata atau publik. Hukum barat bersifat induvidualis dan liberalistis serta terlepas dari ketentuan-ketentuan agama.13

(17)

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN

Dalam sejarah sistem hukum di Indonesia pada masa kerajaan sebelum VOC datang adalah menggunakan hukum adat sebagai hukum positip di tiap-tiap daerah nusantara Indonesia yang ditaati dan dilaksanakan sebagai suatu adat kebiasaan, yang secara turun temurun dihormati oleh masyarakat sebagai tradisi bangsa indonesia.

Masuknya VOC ke Indonesia dimana orang asing (Barat) mulai masuk ke nusantara, orang barat mulai memberi perhatian terhadap hukum adat. Pada masa ini Hukum Barat (Belanda) mulai digunakan walaupun pada awalnya hanya digunakan untuk daerah pusat pemerintahan Kompeni sedangkan untuk daerah yang belum dikuasai dapat menggunakan hukum adat mereka atau bagi yang mau tunduk pada hukum Belanda diperbolehkan.

Seiring dengan penjajahan Belanda, lambat laun Pemerintahan Hindia Belanda menggeser hukum adat sedikit demi sedikit digantikan dengan sistem hukum kodifikasi hukum Barat yang secara efektif berlaku sejak tahun 1848. Sejak tahun 1848, Kitab Undang Hukum Perdata, Kitab Undang Hukum Dagang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata dan Acara Pidana berdasarkan pada pola Belanda berlaku bagi penduduk Belanda di Indonesia. Pada perjalanannya kodifikasi semakin kuat dan hukum adat menjadi serba tidak pasti dan menimbulkan tidak adanya jaminan kepastian hukum pada hukum adat.

Pada masa penjajahan Jepangpun hukum kolonial Belanda masih digunakan karena Jepang tidak sempat mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan karena masa menjajah hanya 31/

2 (tiga setengah) tahun kecuali Undang-Undang Nomor 1 tahun 1942

yang berisi pemberlakuan berbagai peraturan perundangan yang ada pada zaman Hindia Belanda.

(18)
(19)

DAFTAR PUSTAKA BUKU:

Abddul Ghofur Anshori. 2008. Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Kreasi Total Media.

Ade Maman Suherman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ilham Bisri. 2004. Sistem Hukum Indonesia (Prinsip-Prinsip & Implementasi Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Kusumadi Pudjosewojo. 2008. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Mohammad Daud Ali. 1990. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Munawir Sjadzali. 1991. Landasan Pemikiran Politik Hukum di Indonesia dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia, dalam Tjua Suryaman, Politik

Hukum di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya. Bandung: Raja

Rosdakarya.

ARTIKEL DAN JURNAL:

Lastuti Abubakar. “Revitalisasi Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum dalam Membangun Sistem Hukum Indonesia”. Dinamika Hukum. Vol. 13 No. 2 Mei 2013

Murdan. “Prularisme Hukum (Adat dan Islam) di Indonesia”. Kajian Hukum Islam. Vol. 1 No. 1 Juni 2016

Mustaghfirin. “Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Adat, dan Sistem Hukum Islam Menuju sebagai Sistem Hukum Nasional Sebuah Ide yang Harmoni”. Dinamika

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan resiprokal atau qirā’ah tabāduliyah adalah sebuah perspektif dalam memandang teks keagamaan dengan mendasarkan kepada prinsip- prinsip universal, sehingga makna yang

Daftar Riwayat Hidup Cecep Jamaludin

Dimana saat ada gangguan pada BUS 8 yang pertama kali merespon adalah relai WTP & Office NEW 1 dengan men trigge r CB 9 untuk open sehingga gangguan bisa di lokalisir.

„A tantervi elméletnek nem lehet más feladata, mint a kiválasztás elvi szempontjainak kijelölése olymódon, hogy ezzel a tanterv egységes szelleme és aránya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas berbeda nyata terhadap peubah amatan tinggi tanaman 2,3,4 dan 6 Minggu Setelah Tanam (MST), tingkat kehijauan daun, umur berbunga,

Tidak terdapat perbedaan yang berarti pada perilaku perawat terhadap ODHA dan tingkat religiositas pada perawat yang memiliki lama kerja kurang dari atau lebih dari 11

Seperti halnya pada pengeplotan dengan grafik hubungan pada sistem pH-suhu-CaCO3 dan metode untuk menghitung ∆pH dan ∆T AC, maka nilai indeks kejenuhan terhadap

intervensi (B) dengan mean level 86, kondisi estimasi kecenderungan arahnya yang meningkat, estimasi jejak datanya mengalami kenaikkan karena skor-skor yang didapat