• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Terhadap Perjanjian Angkutan Antara Perusahaan Angkutan Barang Dengan Pengirim Melalui Angkutan Darat (Studi Pada CV. Isma Karya Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Hukum Terhadap Perjanjian Angkutan Antara Perusahaan Angkutan Barang Dengan Pengirim Melalui Angkutan Darat (Studi Pada CV. Isma Karya Medan)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pengertian Perjanjian Dan Syarat Sahnya Perjanjian

Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan suatu persetujuan adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih. Perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) yang dimaksud dalam Pasal

1313 KUHPerdata hanya terjadi atas izin atau kehendak (toestemming) dari semua

mereka yang terkait dengan persetujuan itu, yaitu mereka yang mengadakan

persetujuan atau perjanjian yang bersangkutan.3

Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi

perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula

terlalu luas.4

Menurut R. Wirjono Projodikoro, suatu perjanjian diartikan sebagai suatu

perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak dalam Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai

perjanjian sepihak saja.Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup

perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan

perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam

KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III

kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dinilai dengan uang.

3

Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik Dan Penjelasannya, Cetakan 2, (Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, 1990), hlm. 430.

4

(2)

mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau

tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan

janji itu.5R. Wirjono Prodjodikoro, juga mendefinisikan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu

pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk

tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji

itu”.6

Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang

berjanji kepada seseorang lain atau dimana itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal.7

5

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertulis, Bandung: Subur,1991, hlm.1.

6

R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung: Subur, 1991, hlm. 9. 7

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1994, hlm. 1.

Dari pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang

memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum

(rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon)

atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain

tentang suatu prestasi. Kalau demikian, perjanjian/verbintennis adalah hubungan

hukum/ rechtbe-trekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara

perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum

antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam

lingkungan hukum. Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan

suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam

(3)

Salah satu sumber perikatan adalah perjanjian.Perjanjian melahirkan

perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam perjanjian

tersebut. Adapun pengertian perjanjian menurut ketentuan Pasal 1313

KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Rumusan dalam Pasal

1313 KUHPerdata menegaskan bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang

mengikatkan dirinya terhadap orang lain.8

Sebagaimana telah dinyatakan di atas bahwa perjanjian menimbulkan

prestasi terhadap para pihak dalam perjanjian tersebut. Prestasi merupakan

kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh salah satu pihak

(debitur)kepada pihak lain (kreditur) yang ada dalam perjanjian. Prestasi terdapat

baik dalam perjanjian yang bersifat sepihak atau unilateral agreement, artinya

prestasi atau kewajiban tersebut hanya ada pada satu pihak tanpa adanya suatu

kontra prestasi atau kewajiban yang diharuskan dari pihak lainnya.

Ini berarti suatu perjanjian

menimbulkan kewajiban atau prestasi dari satu orang kepada orang lainnya yang

berhak atas pemenuhan prestasi tersebut. Dengan kata lain, bahwa dalam suatu

perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana pihak yang satu wajib untuk

memenuhi suatu prestasi dan pihak lain berhak atas prestasi tersebut.

9

8

Karitini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian. (Jakarta :RajaGrafindo Perkasa), hlm. 92.

9

Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), (Jakarta : CV. Gitama Jaya, 2005), hlm. 150.

Prestasi juga

terdapat dalam perjanjian yang bersifat timbal balik atau bilateral (or reciprocal

(4)

berjanji mempunyai prestasi atau kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pihak

yang lainnya.10

Pengaturan hukum perikatan menganut sistem terbuka.Artinya setiap

orang bebas melakukan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun belum

diatur.Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkn bahwa semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagaiundang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Ketentuan tersebut memberikan kebebasan para pihak untuk:11 a. Membuat atau tidak membuat perjanjian

b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya

d. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, syarat sahnya perjanjian

sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dapat dibedakan syarat

subjektif, dan syarat objektif. Dalam hal ini kita harus dapat membedakan antara

syarat subjektif dengan syarat objektif.Syarat subjektif adalah kedua syarat yang

pertama, sedangkan syarat objektif kedua syarat yang terakhir.12

Sedangkan Saliman menjelaskan tafsiran atas Pasal 1320 KUHPerdata

yaitu:13

a. Syarat subjektif dimana syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat

dibatalkan, meliputi:

10Ibid

. 11

Martin Roestamy & Aal Lukmanul Hakim, Bahan Kuliah Hukum Perikatan, Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor, hlm. 5.

12

Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hlm. 98. 13

(5)

1) Kecakapan untuk membuat kontrak dimana para pihak diharuskan

dewasa dan tidak sakit ingatan.

2) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.

b. Syarat objektif dimana syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal

demi hukum meliputi:

1) Suatu hal (objek) tertentu.

2) Sesuatu sebab yang halal (kausa).

Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Munir Fuady terdiri

dari :14

a. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu.

b. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu.

c. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak

tertentu

d. Syarat izin dari yang berwenang.

Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata bahwa untuk sahnya

perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif karena syarat

tersebut mengenai subyek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat

14

(6)

obyektif, karena mengenai obyek dari perjanjian.Perjanjian yang sah diakui dan

diberi akibat hukum sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat

tersebut tidak diakui oleh hukum. Tetapi bila pihak-pihak mengakui dan

mematuhi perjanjian yang mereka buat, tidak memenuhi syarat-syarat yang telah

ditetapkan oleh undang-undang tetapi perjanjian itu tetap berlaku diantara mereka,

namun bila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakui sehingga timbul

sengketa maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.

Keempat syarat di atas merupakan syarat yang esensial dari suatu

perjanjian, artinya syarat-syarat tersebut harus ada dalam suatu perjanjian, tanpa

suatu syarat ini, perjanjian dianggap tidak pernah ada atau perjanjian itu tidak

sah.Namun dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka

berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.Dengan kata

sepakat suatu perjanjian sudah lahir. Sehubungan dengan syarat kesepakatan

mereka yang mengikatkan diri, dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal

yang merupakan faktor, yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan

tersebut, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Adanya kata sepakat berarti terdapat suatu persesuaian kehendak diantara

para pihak yang mengadakan perjanjian.Perjanjian sudah lahir pada saat

tercapainya kata sepakat diantara para pihak, dikenal dengan asas konsensualisme

yang merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian.Menurut Abdul Kadir

Muhammad persetujuan kehendak adalah kesepakatan seia-sekata. Pihak-pihak

(7)

dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan itu sifatnya sudah mantap, tidak

lagi dalam perundingan.15

Pernyataan kehendak atau persetujuan kehendak harus merupakan

perwujudan kehendak yang bebas, artinya tidak ada paksaan dan tekanan (dwang)

dari pihak manapun juga, harus betul-betul atas kemauan sukarela para

pihak.Dalam pengertian kehendak atau sepakat itu termasuk juga tidak ada

kekhilafan (dwaling) dan tidak ada penipuan (bedrog).Apabila ada kesepakatan

terjadi karena kekhilafan, paksaan atau penipuan maka perjanjian tersebut dapat

dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalan kepada hakim (vernietigbaar). Hal

ini sesuai dengan Pasal 1321 KUHPerdata yang bunyinya: “tidak ada sepakat

yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya

dengan paksaan atau penipuan”. Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang yang

melakukan kegiatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan

jasmani maupun dengan upaya menakut-takuti, sehingga dengan demikian orang

itu tidak terpaksa menyetujui perjanjian (Pasal 1324 KUHPerdata).Dan dikatakan

tidak ada kekhilafan atau kekeliruan mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat

penting obyek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian

itu.Dikatakan tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan penipuan menurut arti

Undang-undang (Pasal 1328 KUHPerdata).Penipuan menurut arti Undang-undang

ialah dengan sengaja melakukan tipu muslihat dengan memberikan keterangan

palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui.16

15

Abdul Kadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia. Bandung, Cipta Aditya Bhakti, 1990, hlm. 228-229.

16

(8)

2. Cakap untuk membuat suatu perikatan

Pada dasarnya semua orang cakap membuat perjanjian, sesuai dengan

ketentuan dalam Undang-undang Pasal 1329 KUHPerdata kecuali yang diatur

dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan

perbuatan hukum termasuk pula membuat perjanjian ialah bila ia sudah dewasa

yaitu berumur 21 tahun dan telah kawin. Ukuran orang dewasa 21 tahun atau

sudah kawin, disimpulkan secara a contrario redaksi Pasal 330 KUHPerdata.

Sedangkan mereka yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, sebagaimana

diatur Pasal 1330 KUHPerdata ialah:

a. Orang-orang yang belum dewasa

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh

undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa

undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

3. Adanya suatu hal tertentu

Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah

objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian

yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan

suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Di dalam KUH Perdata

Pasal 1333 angka 1 menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu

hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan

jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak masalah asalkan dikemudian hari di tentukan

(9)

Yang dimaksud dengan sebab/kausa di sini bukanlah sebab yang

mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu

perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, sedangkan

adanya suatu sebab yang dimaksud tidak lain daripada isi perjanjian. Pada pasal

1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah

apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban

umumdan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal

akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.17

B. Asas-Asas Hukum Dalam Suatu Perjanjian

Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan pikiran dasar

yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang

terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang

merupakan hukum positif.Asas hukum dapat diketemukan dengan mencari

sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.18

Menurut Maris Feriyadi setidaknya adalima asas yang harus diperhatikan

dalam membuat perjanjian, yaitu:19 1. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan

kepada para pihak untuk:20

17

Sri Soedewi Masjachan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 1980, hal. 319

18

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, 2006 19

M. Harianto, Asas-Asas Dalam Perjanjian,

diakses tanggal 10 Maret

(10)

a. membuat atau tidak membuat perjanjian

b. mengadakan perjanjian dengan siapapun

c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya

d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan

2. Asas konsensualisme

Dalam hukum perjanjian berlaku asas konsensualisme. Perkataan ini

berasal dari perkataan latinconsensus yang berarti sepakat. Arti asas

konsensualisme adalah perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah

dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.Perjanjian itu sudah sah apabila

sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok walaupun belum ada perjanjian

tertulisnya sebagai sesuatu formalitas. Asas konsensualisme tersebut lazimnya

disimpulkan dari pasal 1320 KUHPerdata, yang berbunyi untuk sahnya suatu

perjanjian diperlukan empat syarat:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal

Karena suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan,maka

perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte). Menurut

ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak

yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam

surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya

20

(11)

kesepakatan. Karena perjanjian sudah lahir maka tak dapat lagi ia ditarik kembali

jika tidak seizin pihak lawan.

Pengecualian terhadap asas konsensualisme yaitu penetapan

formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian, atas ancaman batalnya

perjanjian tersebut apabila tidak menuruti bentuk cara yang dimaksud, misalnya

perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tak bergerak harus dilakukan

dengan akta notaris dan perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis, dan

lain sebagainya. Perjanjian yang memerlukan formalitas tertentu dinamakan

perjanjian formil.21

a. Teori Pernyataan (utingstheorie), kesepakatan (toesteming) terjadi pada

saat yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima

penawaran itu. Jadi dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat

menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah

terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap

kesepakatan terjadi secara otomatis.

Asas konsensualisme berhubungan dengan saat lahirnya suatu perjanjian

yang mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata

sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, mengenai saat terjadinya

kesepakatan dalam suatu perjanjian, yaitu antara lain:

(12)

b. Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang

menerima penawaran mengirimkan telegram.

c. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), kesepakatan terjadi apabila yang

menawarkan itu mengetahui adanya penerimaan, tetapi penerimaan itu

belum diterimanya atau tidak diketahui secara langsung.

d. Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi pada saat pihak

yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

3. Asas pacta sunt servanda

Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya.Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan

perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mentaati undang-undang. Oleh

karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat

ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal

1338 ayat 2 KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain

dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh

undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

4. Asas itikad baik

Di dalam hukum perjanjian itikad baik itu mempunyai dua pengertian

yaitu:

a. itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam

(13)

batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam

arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata.

b. itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus

didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat

dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu

kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai

pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan.

Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan

salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya

bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan

memperhatikan norma-norma yang berlaku.

5. Asas kepribadian(personality)

Asas ini berhubungan dengan subyek yang terikat dalam suatu

perjanjian.Asas kepribadian dalam KUHPerdata diatur dalam pasal 1340 ayat 1

yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang

membuatnya.Pernyataan ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh

para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan mengenai hal

ini ada pengecualiannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata

yaitu, dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu

perjanjian dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,

mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini memberi pengertian bahwa

seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan

(14)

tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan

ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

Hukum benda mempunyai sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian

menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas

dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa,

sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada

masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak

melanggar undang-ndang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari

hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional

law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki

oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat

ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian

dan diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam

perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Apabila pihak-pihak yang membuat perjanjian-perjanjian

itu tidak mengatur sendiri sesuatu soal, maka berarti mengenai soal tersebut akan

tunduk kepada undang-undang. Karena itu hukum perjanjian disebut hukum

pelengkap, karena fungsinya melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara

tidak lengkap.

Sistem terbuka, yang mengandung asas kebebasan membuat perjanjian,

dalam KUHPerdata lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1), yang

berbunyi demikian:“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Penekanan pada perkataan

(15)

berupa dan berisi apa saja atau tentang apa saja dan perjanjian itu akan mengikat

mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang.

C. Sifat-Sifat Dan Cara Penyerahan Objek Perjanjian

Penyerahan sebagai perbuatan pengalihan hak milik atas suatu benda dari

seseorang pemilik semula kepada orang lain dalam sistim hukum perdata

Indonesia dapat ditemukan dasar hukumnya dalam Pasal 584 KUHPerdata.

Pasal 584 KUHPerdata menyatakan :

“Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat dan karena penunjukan atau penyerahan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu”.

Dari ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tersebut di atas jelas mengatur

bahwa penyerahan (levering) adalah salah satu cara memperoleh hak milik atas

sesuatu benda, di samping cara-cara lainnya yang telah diatur secara limitatif cara

perolehan hak milik atas sesuatu benda tersebut. Bahkan dari cara-cara perolehan

hak milik yang diatur dalam Pasal 584 KUHPerdata tersebut maka yang

terpenting dan bahkan yang sering terjadi di masyarakat cara perolehan hak milik

itu adalah dengan cara penyerahan (levering).

Vollmar berpendapat bahwa cara-cara untuk mendapatkan eigendom

dalam Pasal 584, yang terpenting adalah penyerahan dan diatur dalam Pasal

612-618 KUHPerdata.22

22

(16)

Subekti mengemukakan penyerahan yang sering juga disebut dengan

istilah “levering” atau “overdracht” mempunyai dua arti.Pertama perbuatan yang

berupa penyerahan kekuasaan belaka (“feitelijke levering”). Kedua perbuatan

hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (juridische

levering”).23

a. bahwa penyerahan itu haruslah berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk

memindahkan hak milik dan

Kedua pengertian tersebut akan tampak lebih jelas dalam

pemindahan hak milik atas benda tak bergerak, karena pemindahan hak milik atas

benda itu tak cukup hanya dilakukan dengan pengalihan/pengoperan kekuasaan

atas bendanya tetapi harus dibuat surat penyerahan yang disebut akte van

transport dan harus didaftar di lembaga pendaftaran yang diperuntukkan untuk

itu.

Perbuatan penyerahan atas sesuatu benda bukanlah suatu perbuatan yang

berdiri sendiri melainkan merupakan suatu perbuatan yang mengikuti perbuatan

yang mendahuluinya yang disebut sebagai peristiwa perdata untuk memindahkan

hak milik.Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tersebut di

atas yang menyatakan bahwa berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk

memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas

terhadap kebendaan itu.

Dari ketentuan pasal tersebut di atas jelas disyaratkan ada 2 (dua) hal yang

menjadi syarat utama dari penyerahan tersebut yaitu :

b. dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas atas kebendaan itu.

23

(17)

Peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik tersebut dimaksudkan

adalah perbuatan-perbuatan hukum berupa perjanjian yang bermaksud untuk

memindahkan hak milik seperti perjanjian jual beli, perjanjian tukar-menukar,

perjanjian hibah.Perbuatan-perbuatan hukum yang demikian inilah yang menjadi

dasar atau alas hak pemindahan hak milik.Penyerahan itu dilakukan oleh seorang

yang berhak berbuat bebas dimaksudkan bahwa orang yang akan menyerahkan

atau mengalihkan hak milik atas sesuatu benda tersebut harus orang yang

berkuasa atau berhak untuk memindahkan/mengalihkan yaitu sebagai seorang

pemilik ataupun seorang yang diberi kuasa untuk itu.

Subektimenyatakan bahwa menurut sistem KUHPerdata, suatu

pemindahan hak terdiri atas dua bagian.Pertama suatu “obligatoire overeenkomst

dan kedua suatu “zakelijke overeenkost”.Yang dimaksud dengan yang pertama,

ialah tiap perjanjian yang bertujuan memindahkan hak itu, misalnya perjanjian

jual beli atau pertukaran, sedangkan yang kedua, ialah pemindahan hak itu

sendiri.24

Mengingat dalam suatu pemindahan hak milik atas sesuatu benda ada 2

(dua) tahap atau perbuatan yang dilakukan yaitu tahap yang disebut sebagai

obligatoire overemkomst dimana pada tahap ini baru menimbulkan/ melahirkan

hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak misalnya dalam perjanjian jual beli

pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang yang dijualnya kepada si

pembeli.Hak milik atas barang itu belum berpindah kepada sipembeli sepanjang

belum dilakukan penyerahan oleh penjual kepada pembeli.Hal ini ditegaskan

(18)

dalam Pasal 1459 KUHPerdata.Pasal 1459 KUHPerdata yang menyebutkan “Hak

milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada sipembeli, selama

penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612,613 dan 616”.Tahap

selanjutnya adalah perbuatan pemindahan hak milik yang disebut penyerahan

(levering).Pada tahap ini pihak-pihak seolah-olah bersepakat lagi yaitu untuk

memindahkan hak milik, tahap ini disebut perjanjian kebendaan (zakelijke

overemkomst).

Mengingat penyerahan (levering) tersebut adalah suatu perbuatan hukum

yang mengalihkan hak milik atas sesuatu barang, maka persoalan penyerahan

(levering) menjadi sesuatu hal yang sangat essensial terutama menyangkut

keabsahannya, selain itu bahwa penyerahan (levering) adalah merupakan

perbuatan lanjutan dari perbuatan yang bermaksud memindahkan hak milik yaitu

berupa perjanjian seperti jual-beli, tukar-menukar dan penghibahan, maka

keabsahan dari penyerahan itu sendiri sudah barang tentu terkait dengan

keabsahan perjanjian dimaksud.

Penyerahan adalah merupakan cara memperoleh hak milik yang penting

dan yang paling sering terjadi di masyarakat. Penyerahan ini merupakan lembaga

hukum yang hanya dikenal khusus dalam sistem hukum perdata.H.F.A.Vollmar

mengemukakan arti dari perkataan penyerahan yang dipergunakan oleh

undang-undang, dibedakan atas penyerahan nyata (feitelijke levering) yaitu penyerahan

(19)

yuridis (juridische levering) yaitu perbuatan hukum pada mana atau dengan mana

hak eigendom diserahkan.25

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menyebutkan yang dimaksud dengan

penyerahan itu adalah penyerahan suatu benda oleh pemilik atau atas namanya

kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas benda

itu.26

Berdasar pada Pasal 584 KUHPerdata disebut bahwa dalam sistem

KUHPerdata penyerahan (levering) itu merupakan lembaga hukum ataupun

merupakan suatu perbuatan hukum memindahkan hak milik. Dalam sistem hukum

perdata yang lain misalnya Perancis tidak mengenal lembaga penyerahan ini.

Sistem hukum yang terbanyak diikuti ialah yang menganut sistem Code Civil, Dengan demikian penyerahan menurut sistem KUHPerdata adalah

merupakan suatu perbuatan hukum untuk memindahkan hak milik, namum

perbuatan hukum penyerahan ini haruslah didasarkan atas suatu peristiwa perdata

untuk memindahkan hak milik yang disebut alas hak, sebagaimana ditegaskan

dalam Pasal 584 KUHPerdata yang menyatakan bahwa berdasar atas suatu

peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik dan dilakukan oleh seorang yang

berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu. Dan yang merupakan alas hak yang

bermaksud memindahkan hak milik tersebut menurut KUHPerdata adalah

perjanjian jual beli, tukar-menukar dan perjanjian hibah.memindahkan hak milik

tersebut menurut KUHPerdata adalah perjanjian jual beli, tukar-menukar dan

perjanjian hibah.

25

H.F.A.Vollmar I., op-cit, hal 93. 26

(20)

yaitu perpindahan hak atas barang itu terjadi pada saat penutupan perjanjian

sedangkan penyerahan merupakan suatu feitelijk-daad saja.

Bahwa apa yang diserahkan itu adalah benda dalam arti kepemilikan atas

suatu benda beralih dari seseorang kepada orang lain yang menerimanya. Adapun

yang dimaksud dengan hak milik menurut KUHPerdata adalah hak untuk

menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas

terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan

dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu

kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang

lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak

itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan

pembayaran ganti-rugi (Pasal 570 KUHPerdata).

D. Hal-Hal Yang Membatalkan Perjanjian

Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus

dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus diberikan

bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaan.Suatu kesepakatan dikatakan

mengandung cacat, apabila kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar

sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam

memberikan kata sepakatnya.Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena

kekeliruan mengenai suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula

karena penipuan.Pendek kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan

(21)

kata sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat perizinan mana menjadi pincang

tidak sempurna.27

perjanjian itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang

diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap

tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang bersifat relatif,

dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti

kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada

perjanjian dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa perjanjian yang telah

diberikan itu adalah perjanjian yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi

syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Paksaan seperti inilah

yang dimaksudkan undang-undang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk

menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu paksaan yang membuat perjanjian atau

perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar.

Tentang halnya kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak

memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang

dimaksud dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu penulis harus melihat pendapat

doktrin yang mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap

sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain

bahwa kekeliruan itu terhadap unsur pokok dari barang–barang yang diperjanjikan

yang apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal

tersebut

27

(22)

bersangkutan untuk mengadakan perjanjian. Sesuatu kekeliruan atau kesilapan

untuk dapat dijadikan alasan guna menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah

dipenuhi persyaratan bahwa barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu

dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin

adalah adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata

lain bahwa kesilapan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak

lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan

seseorang yang silap.

Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya

mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia

memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi yang

mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah mengadakan

kontrak dengan penyanyi kesohor yang sama namanya.28

28Ibid.

, hlm. 24.

Kekeliruan atau

kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas adalah kekeliruan terhadap

orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang itu mengadakan perjanjian

justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut adalah orang yang

dimaksudkannya. Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat,

maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai

sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan

oleh pihak lawannya.Dalam hal penipuan inipun dapat pula diajukan sanksi atas

dasar perbuatan melawan hukum atau sebagaimana diatur Pasal 1365 KUH

(23)

Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut

ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata.Yuriprudensi dalam hal

penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan

atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan kebohongan

mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian

kebohongan.Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran

yang keliru dan membawa kerugian kepadanya.Syarat kedua untuk sahnya suatu

perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Untuk hal ini penulis kemukakan Pasal

1329 KUH Perdata, dimana kecakapan itu dapat kita bedakan secara umum

dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara sah dan secara

khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan

perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUHPerdata yang menyatakan batalnya

suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara suami isteri.

Sedangkan perihal ketidak cakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa

orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH

Perdata ada tiga, yaitu :

a. Anak-anak atau orang yang belum dewasa

b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan

c. Wanita yang bersuami

Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi

kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu

sendiri.Menurut pasal 1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada umumnya

(24)

oleh undang-undang.Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau

mendapat izin dari suaminya. Walau, demikian, melihat kemajuan zaman, dimana

kaum wanita telah berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi,

kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan Surat

Edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap Pasal

108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk

melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa

izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.

Dalam halnya perjanjian-perjanjian yang dibuat mereka yang tergolong

tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh mereka yang

dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa

perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu

sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu mengadakan bahwa

perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan konsekwensinya adalah segala akibat

dari perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap dalam arti tidak

berhak atau tidak berkuasa adalah bahwa pembatalannya hanya dapat dimintakan

oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat

suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut,

kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada

hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan

ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Maka demikianlah bilamana

(25)

wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh

perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan

tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit

diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu

adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang

pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyapi apa

sesungguhnya tanggung-jawab itu. Pembatasan termaksud di atas itu kiranya

sesuai apabila dipandang dari sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu

mengejar ketertiban hukum dalam masyarakat, dimana seseorang yang membuat

perjanjian itu pada dasarnya berarti juga mempertaruhkan harta

kekayaannya.Maka adalah logis apabila orang-orang yang dapat berbuat itu

adalah harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap

harta kekayaannya itu.Dimana kenyataan yang demikian itu tidaklah terdapat

dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah pengampuan atau

orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab lainnya ataupun

pada diri orang-orang yang masih di bawah umur.

Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya

hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan

harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam

perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat 1 KUH

Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal

(26)

Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi

perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja

yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang

mereka buat itu. “Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat

dilaksanakan , maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi

syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”.29

Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal 1320 KUH

Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab yang

halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri.

Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu azas-azas hukum

perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan

hal sesuatu keadaan belaka.Selanjutnya beliau mengatakan dalam pandangan

saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang

menyebabkan adanya perjanjian itu.30Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan

sesuatu hal yang terlarang.Sebagai contoh dari suatu perjanjian yang mengandung

causa yang terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si

pembeli membunuh orang”31

Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian

telah penulis kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat

subyektif, maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu

dapat dikatakan batal demi hukum.Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang

29

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 2000, hlm. 94. 30

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hlm. 36. 31

(27)

tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak

mempunyai hak untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.

Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka dapat

dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat subyektif yang tidak dipenuhi,

maka perjanjian itu batal demi hukum.Perjanjian juga dapat berakhir karena:

a. ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu

b. undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian

c. para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan

terjadinyaperistiwaertentu maka persetujuan akan hapus.

Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht)

yang diaturdalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata.Keadaan memaksa adalah

suatu keadaandimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur

yang disebabkanadanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya

karena adanya gempabumi, banjir, lahar dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat

dibagi menjadi dua macamyaitu:

1. keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama

sekalitidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena

adanya gempabumi, banjir bandang, dan adanya lahar (force

majeur).Akibat keadaan memaksa absolut (force majeur) mengakibatkan:

a. debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);

b. kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi

hukum bebasdari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi,

(28)

2. keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan

debiturmasih mungkin untuk melaksanakan prestasinya tetapi pelaksanaan

prestasi ituharus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak

seimbang ataumenggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan

manusia atau kemungkinantertimpa bahaya kerugian yang sangat besar.

Keadaan memaksa ini tidakmengakibatkan beban resiko apapun, hanya

masalah waktu pelaksanaan hak dankewajiban kreditur dan debitur.

Pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan

olehkedua belah pihak atau oleh salah satu pihak pada perjanjian yang

Referensi

Dokumen terkait

1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme otot bronkeolus yang ditandai dengan klien mengatakan sesak nafas atau sulit dalam bernafas, klien

Dalam ha1 ini Pusat Penelitian IKIP Padang berusaha mendorong staf pengajar untuk melakukan penelitian sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan

[r]

Linux Mandrake 10.0 telah menyediakan server dan client DHCP sehingga dapat menjadikan Linux sebagai server DHCP yang menentukan konfigurasi jaringan clientnya sebagai DHCP

Visualisasi dalam bentuk animasi ini diharapkan dapat membantu pengguna dalam pembelajaran dan membuat pengguna lebih tertarik pada materi yang disampaikan, yaitu algoritma Merge

Based on the discussion, the conclusion of this research as follows; (1) The use of QtA strategy indicated that the students’ achievement on reading comprehension of

a) Pemahaman, yakni penerimaan yang cermat atas kandungan rangsangan seperti yang dimaksudkan oleh pengirim pesan. b) Kesenangan, yakni perasaan yang didapatkan diwaktu

Dalam dimensi responsivitas yaitu pengetahuan RTSM terhadap program PKH di Kecamatan Bogor Selatan ini telah menunjukkan bahwa peserta PKH sudah cukup puas