• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Mitra Usaha dalam Perusahaan Berbasis Penjualan Langsung terhadap Pemberian Garansi atas Produk yang Diperdagangkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Mitra Usaha dalam Perusahaan Berbasis Penjualan Langsung terhadap Pemberian Garansi atas Produk yang Diperdagangkan"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEMITRAAN DALAM HUKUM

DI INDONESIA

A. Perjanjian Pada Umumnya

1. Pengertian Perjanjian

Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau satu pihak yang membuat perjanjian, sedangakan perikatan yang lahir dari undang-undang di buat atas dasar kehendak yang saling berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak.25 Dalam bahasa Belanda perjanjian disebut juga overeenkomstenrecht.26

Pengertian singkat diatas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum

(rechtsbetreking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon)

atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. Kalau demikian, perjanjian (verbintenis) adalah hubungan hukum rechtsbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum

25

Suharnoko, Hukum Perjanjian (Jakarta : Prenada Media, 2004), hlm. 117.

26

(2)

antara perorangan/ persoon adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum . Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai dalam harta benda kekeluargaan.27

Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.28

Buku III KUHPerdata berjudul “Perihal Perikatan” Perkataan Perikatan

(verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “Perjanjian” sebab

dalam buku III itu, diatur juga prihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu prihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming). Tetapi sebagian besar dari buku III ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi berisikan

hukum perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan “perikatan” oleh buku III

KUHPerdata ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.29

27

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 6-7.

28

Subekti, Hukum Perjanjian (Bandung : Intermasa, 2002), hlm. 1.

29

(3)

Undang-undang perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata yang mengatur tentang perikatan. Hal ini karena perjanjian merupakan salah satu peristiwa yang melahirkan hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua pihak yang disatu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban (perikatan). Definisi perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih.”

J. Satrio mengatakan perjanjian adalah perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih atau

dimana satu orang lain atau lebih saling mengikatkan dirinya.”30

Dengan pertimbangan agar perbuatan-perbuatan yang tidak mengandung unsur kehendak atas akibatnya tidak masuk dalam cakupan perumusan, seperti perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), perwakilan sukarela (zaakwarneming) dan agar perjanjian timbal balik bisa tercakup dalam perumusan tersebut.

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu hal.31

Menurut M. Yahya Harahap, mengemukakan Perjanjian atau verbintenis

mengandung suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang

30

J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1996), hlm 12.

31

(4)

atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.32

Menurut Wirjono Prodjodikoro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.33 Perjanjian tidak terjadi seketika atau serta merta dan perjanjian dibuat untuk dilaksanakan, oleh karena itu dalam suatu perjanjian yang dibuat selalu terdapat tahapan yaitu:

a. pracontractual, yaitu perbuatan-perbuatan yang mencakup dalam negosiasi dengan kajian tentang penawaran dan penerimaan;

b. contractual, yaitu tentang bertemunya dua pernyataan kehendak yang saling mengikat kedua belah pihak;

c. post-contractual, yaitu tahap pada pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang hendak diwujudkan melalui perjanjian tersebut.34

Perjanjian terdapat unsur janji, janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Kalau orang terikat pada suatu kewajiban, yang diletakkan pada dirinya atas dasar, bahwa undang-undang menentukan demikian seperti onrechtmatigedaad tidak dapat dikatakan, bahwa ia menjanjikan hal seperti itu dan karenanya tak mungkin didasarkan atas suatu perjanjian. Dalam

32

M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 6.

33

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian (Bandung : Sumur, 1981), hlm. 9.

34

(5)

perjanjian orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

2. Jenis-Jenis perjanjian

KUHPerdata mengenal adanya beberapa jenis perjanjian, antara lain :

a. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban

Dikatakan dengan perjanjian cuma-cuma adalah “suatu persetujuan dengan

mana pihak yang satu memberi suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa

menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri”.35

Abdulkadir Muhammad

mendefenisikan perjanjian ini dengan “perjanjian percuma, yaitu perjanjian

yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja.”36 Kata “memberi

keuntungan” sebenarnya lebih tepat kalau diganti dengan kata “prestasi”,

karena apakah prestasi tersebut pada akhirnya menguntungkan atau tidak,

tidak menjadi soal. Sedangkan pada pihak lain, terhadap prestasi yang satu,

tidak ada kewajiban apa-apa. Kemudian yang termasuk di dalam perjanjian

cuma-cuma adalah perjanjian-perjanjian dimana memang ada prestasi pada

kedua belah pihak, tetapi prestasi yang satu adalah tidak seimbang atau

sebanding, sehingga prestasi itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu kontra

prestasi terhadap yang lain.

Masalah lain adalah apabila terhadap prestasi yang satu ada kontra prestasi

pada pihak lain, yang walaupun tidak seimbang, tidak dapat dikatakan bahwa

disana tidak ada kontra prestasi sama sekali. Menurut Vollmar, hal ini sering

disebut dengan “perjanjian campuran”, yaitu antara perjanjian cuma-cuma

35

J. Satrio., Hukum Perikatan, Perikatan Lahir Da ri Perjanjian (Bandung : Citra Aditya Bakti,1995). hlm. 38.

36

(6)

dengan perjanjian atas beban.37Menurut Pasal 1314 ayat 2 (dua) KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian atas beban adalah “suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu,

berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”. Perbedaan antara perjanjian

cuma-cuma dengan perjanjian atas beban, yaitu bahwa pada perjanjian cuma-cuma, untuk menuntut pembatalan perjanjian yang merugikan kreditur, yang telah ditutup oleh debitur, debitur tahu bahwa perbuatan merugikan kreditur dan debitur itu sendiri tidak mau tahu apakah perbuatannya itu diketahui atau tidak. Sedangkan pada perjanjian atas beban, debitur wajib membuktikan dulu, apakah baik debitur atau pihak ketiga yang mendapat keuntungan tahu bahwa perjanjian yang dituntut pembatalannya merugikan kreditur.

b. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak berprestasi secara timbal balik, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa dan tukar-menukar. Sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi, misalnya perjanjian hibah.38

Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing pihak akan memperoleh hak dan akan melaksanakan kewajibannya.

37

J. Satrio, Op.Cit., hlm. 149.

38

(7)

Kriteria kewajiban untuk berprestasi bagi kedua belah pihak. Perjanjian sepihak, yang mempunyai kewajiban untuk berprestasi adalah hanya satu pihak saja, dan pihak yang lain hanya berhak untuk menerima prestasi dari pihak yang satu, misalnya dalam perjanjian hibah, A berkewajiban memberikan benda yang dihibahkannya kepada B. Kewajiban tersebut merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh si A. dalam hal ini bank hanya berhak untuk menerima benda yang dihibahkan oleh si A.

c. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil

Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara kedua pihak sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu timbul cukup dengan adanya kesepakatan diantara para pihak. Dalam perjanjian riil, kesepakatan itu tidak cukup untuk dijadikan sebagai dasar timbulnya suatu perjanjian, tetapi juga harus diikuti dengan penyerahan barang yang menjadi objek perjanjian tersebut barulah dapat dikatakan perjanjian itu ada.

d. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama

(8)

bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan dilihat dari jumlahnya tidak terbatas.39

e. Perjanjian kebendaan

Seperti diketahui bahwa perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian yang objeknya menyangkut dengan kebendaan. Sedangkan perjanjian obligator adalah merupakan realisasi dari perjanjian kebendaan tersebut, dalam arti perjanjian yang menimbulkan perikatan.

Tujuan Kebendaan ini adalah untuk mengetahui keberadaan dalam perjanjian tersebut sebagai realisasi, perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.

f. Perjanjian obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu lembaga lain, yaitu penyerahan. Perjanjian jual beli itu dinamakan perjanjian obligatoir karena membebankan kewajiban kepada para pihak untuk melakukan penyerahan.

g. Perjanjian yang bersifat hukum keluarga

39

(9)

Walaupun perkawinan di dalam hukum perdata diatur dalam buku II Kitab

Undang-undang Hukum Perdata, namun kalau dilihat dari proses terjadinya

perkawinan itu, maka perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk

perjanjian. Dimana dengan adanya perkawinan itu secara hukum dapat atau

akan menimbulkan akibat hukum lagi bagi kedua belah pihak. Namun akibat

hukum dalam perjanjian perkawinan ini hanya menyangkut dengan akibat hukum dalam keluarga saja. Perkawinan timbul karena adanya kesepakatan diantara pihak pria dan wanita dan menimbulkan hak dan kewajiban sebagai ikatan lahir dan batin. Hal tersebut sama halnya dengan syarat-syarat dalam perjanjian. Bahkan dalam perkawinan para pihak yang akan mengadakan perjanjian perkawinan tersebut telah ditentukan, seperti antara pria dan wanita, tidak boleh sedarah dan sebagainya.

Mengingat bahwa perkawinan merupakan perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban yang bersifat pribadi antara suami dan istri, kemudian hak dan kewajiban tersebut bukan merupakan kehendak dari undang-undang atau ketentuan hukum yang mengaturnya, maka secara juridis dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak berlaku bagi hak dan kewajiban suami dan istri yang terikat dalam suatu perkawinan.

(10)

juridis tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3. Asas-Asas Perjanjian

Hukum perjanjian mengatur beberapa prinsip atau asas sebagai suatu landasan pikir dan pandangan untuk menginterprestasikan maksud yang terkandung dari ketentuan hukum perjanjian itu, dimana asas-asas tersebut merupakan pedoman bagi para pihak pembuat Undang-undang dalam menentukan sikap untuk membuat peraturan hukum. Didalam kamus ilmiah asas diterjemahkan sebagai pokok, dasar, dan pundamen.40 Sedangkan Solly Lubis menyatakan asas adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembangan nilai-nilai yang disyaratkan menjadi landasan antara hubungan sesama anggota masyarakat.41

Asas ialah pikiran-pikiran dasar yang terdapat didalam dan belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan kedalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hukum yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.42 Dengan demikian, setiap peraturan perundang-undangan diperlukan adanya suatu asas, karena asas ini yang melandasi atau menjiwai ataupun menghidupi peraturan perundang-undangan dan dengan asas tersebut

40

Pius A Partono dan M Dahlan, Al-Berr, Kamus Ilmiah Favorit (Jakarta : Anka, Surabaya, 1994), hlm. 48.

41

Solly Lubis, Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas Hukum Nasional (Jakarta : BPHN, Depkeh, 1995), hlm. 29.

42

(11)

dimaksud dan tujuan peraturan menjadi jelas.43 Selanjutnya Sri Sumantri Martosuwigjo berpendapat bahwa asas mempunyai padanan kata dengan

“beginsel” (Belanda) atau “principle” (Inggris) sebagai suatu kebenaran yang

menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir.44 Asas hukum adalah dasar normatif untuk membedakan daya ikat normatif dan memaksa. Dengan demikian dalam melakukan perjanjian selain memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada juga harus memperhatikan asas-asas terdapat pada hukum perjanjian pada umumnya.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan dengan jelas mengenai beberapa asas-asas perjanjian, diantaranya dalam Pasal 1315 menentukan asas personalia perjanjian; Pasal 1337 menentukan asas kesusilaan dan ketertiban umum; Pasal 1338 ayat (1) menentukan asas mengikatnya perjanjian; Pasal 1338 ayat (3) menentukan asas itikad baik; Pasal 1339 menentukan asas kepatutan dan kebiasaan. Namun menurut Rutten hanya ada tiga asas yang sangat pokok dalam hukum perjanjian, yaitu asas konsensualisme, asas kekuatan mengikatnya perjanjian, dan asas kebebasan berkontrak.45

Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah:

a. Asas konsensualisme

Asas konsesualismeadalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian telah terjadi atau lahir sejak terciptanya sepakat para pihak, artinya suatu perjanjian

43

Rooseno Harjowidigji, Presfektif Peraturan Franchise (Jakarta : BPHN, 1993), hlm. 12.

44

Sri Sumantri, Perbandingan Antar Hukum Tata Negar. (Bandung : Alumni, 1971), hlm. 20.

45

(12)

telah ada dan mempunyai akibat hukum dengan terciptanya kata sepakat dari para pihak mengenai hal-hal pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.46

Asas kesepakatan ini disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa, untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Pada saat ini ada kecendrungan mewujudkan perjanjian konsensuildalam bentuk perjanjian tertulis baik di bawah tangan maupun dengan akta autentik. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pembuktian jika dalam pelaksanaannya nanti salah satu pihak melakukan pelanggaran. Menurut asas ini perjanjian sudah lahir atau terbentuk ketika para pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Walaupun undang-undang telah menetapkan bahwa sahnya suatau perjanjian harus dilakukan secara tertulis (seperti perjanjian perdamaian) atau dibuat dengan akta oleh pejabat berwenang seperti akta jual beli tanah) semua ini merupakan pengecualian.

Bentuk konsensualisme adalah suatu yang dibuat secara tertulis, salah satunya dengan adanya pembubuhan tanda tangan dari para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Tanda tangan berfungsi sebagai bentuk kesepakatan dan bentuk persetujuan atas tempat, waktu dan isi perjanjian yang dibuat. Tanda tangan juga berkaitan dengan kesengajaan para pihak untuk membuat suatu perjanjian sebagai bukti atas suatu peristiwa.47

46

Subekti, Op.cit., hlm. 15.

47 http://www.dheanbj.com/2012/09/asa s-asas-hukum-perjanjian.html?m= 1 ,DheanBJ,

(13)

Adapun menurut Qirom Syamsudin, asas konsensualisme mengandung arti bahwa dalam satu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal.48 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perjanjian itu sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian tidaklah sah tanpa adanya kesepakatan dari para pihak.

b. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menurut ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata dinyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Sumber dari asas kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak.

Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia menetapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, tanpa sepakat perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Menurut hukum perjanjian di Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak yang di kehendaki nya. Undang-undang yang mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian,

48

A Qirom Syamsuddin M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya

(14)

pengaturan hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam Pasal 1331 KUHPerdata tersebut, Maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.49

Asas kebebasan berkontrak ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. “Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal ataupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. asas kebebasan berkontrak

(contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian yaitu kebebasan menentukan

“apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang yang dibuat

sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian maka asas kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian. Kebebasan berkontrak ini adalah perwujudan kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.50

Asas kebebasan berkontrak (contracts vrijheid atau partijautonomie)

adalah suatu asas yang menetapkan bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian. Asas

49

http://m.kompasiana.com/post/read/238895/3/asas-kebebasan-berkontrak-dalam-hukum-perjanjian-di-indonesia (terakhir diakses 2 Maret 2016)

50

(15)

ini disimpulkan juga dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”Subekti mengatakan,

bahwa dengan menekankan kata “semua”, maka ketentuan tersebut seolah-olah

berisikan pernyataan pada masyarakat bahwa, setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam undang-undang.

Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam- macam hak atas benda terbatas dan peraturan mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.51

Pasal-Pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap (optimal law), yang berarti bahwa Pasal-Pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka di perbolehkan membuat ketentuan - ketentuan mereka sendiri yang menyimpang dari Pasal-Pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Asas ini dalam hukum perjanjian di kenal dengan asas kebebasan berkontrak.

Dalam Pasal-Pasal yang mencantumkan mengenai batasan-batasan asas kebebasan berkontrak ini dapat dibaca dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata

51

(16)

khususnya syarat keempat, yaitu yang mengatur mengenai suatu sebab (oorzaak/causa) yang diperbolehkan, di mana pengaturan persyaratan adanya sebab yang halal (diperbolehkan) ini harus sesuai dengan (tidak bertentangan dengan) Pasal-Pasal 1335 – 1337 KUHPerdata.

Pasal 1335 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu persetujuan tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau dilarang, tidak mempunyai kekuatan, kemudian dalam Pasal 1336 KUHPerdata dinyatakan bahwa jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain daripada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah. Sedangkan dalam Pasal 1337 KUHPerdata diatur mengenai suatu sebab yang terlarang, yaitu apabila bertentangan dengan undang-undang atau apabila bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

(17)

KUHPerdata, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian.

Ketika membuat suatu kesepakatan, para pihak tidak boleh membuat perjanjian yang dilarang oleh undang-undang dan yang bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Jadi, bagaimanapun juga asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tetap ada batas-batasnya. Hal ini disebabkan karena kesusilaan dan hukum tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Oleh karena itulah dalam Pasal 1337 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan ataupun ketertiban umum.

Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan, mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

c. Asas mengikatnya perjanjian (pacta sunt servanda)

(18)

perjanjian yang telah disepakati bersama, seperti hal keharusan untuk mentaati undang-undang.52

Asas kekuatan mengikatnya perjanjian ini disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dijelaskan oleh Soedikno Mertokusumo, bahwa bunyi lengkap adagium tersebut adalah pacta sunt servanda , yang mempunyai arti bahwa kata sepakat tidak perlu dirumuskan dalam bentuk sumpah, perbuatan atau formalitas tertentu agar menjadi kewajiban yang mengikat.53

d. Asas itikad baik

Asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Asas itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama dalam membuat perjanjian, maksud itikad baik disini adalah bertindak sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepaturan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan patut dalam masyarakat.54

Kemudian menurut Munir Fuady, rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tersebut mengidentifikasi bahwa sebenarnya itikad baik hanya

disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan”

52

J. Satrio, Op.cit., hlm. 142.

53

Soedikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum (Yogyakarta : Liberty, 1984), hlm. 36.

54

(19)

suatu kontrak. Sebab unsur itikad baik dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah

dapat dicakup oleh unsur “ causa yang legal” dari Pasal 1320 tersebut.55

e. Asas kepercayaan

Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, membutuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan. Kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.56

f. Asas kesetaraan

Asas ini merupakan bahwa para pihak didalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan walaupun ada perbedaan warna kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.57

Asas ini dimaksudkan agar program kemitraan dapat memberikan hubungan yang asli bagi semua pihak. Karena kemitraan pada hakikatnya adalah sebuah kerjasama bisnis untuk mendapatkan tujuan tertentu dan antara pihak yang bermitra harus memiliki kepentingan dan posisi yang sejajar dengan ketentuan ini maka antara pembuat perjanjian atau para pihak ditekankan pada adanya kesetaraan dalam posisi tawar atau posisi tawar menawar yang seimbang.58

55

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 81.

56

Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hlm. 187.

57

Ibid., hlm. 88.

58 http://www.damandiri.or.id/file/arirahmathakimundipbab2c.pdf, (

(20)

g. Asas unconcionability

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, unconcinability artinya bertentangan dengan hati nurani. Perjanjian-perjanjian unconscionable seringkali digambarkan sebagai perjanjian-perjanjian yang sedemikian tidak adil (unfair) sehingga dapat mengguncangakan hati nurani Pengadilan (hakim) atau shock the conscience the court. Sebenarnya terhadap asas ini tidak mungkin diberikan arti yang tepat, yang diketahui hanyalah tujuannya yaitu untuk mencegah penindasan dan kejutan yang tidak adil.59

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, unconcionalbility atau doktrin ketidakadilan adalah suatu doktrin dalam ilmu hukum kontrak yang mengajarkan bahwa suatu kontrak batal atau dapat dibatalkan oleh pihak yang dirugikan manakala dalam kontrak tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak, sungguhpun kedua belah pihak telah menandatangani kontrak yang bersangkutan. Biasanya doktrin ketidakadilan ini mengacu pada posisi tawar menawar dalam kontrak yang sangat berat sebelah karena tidak terdapat pilihan dari para pihak yang dirugikan disertai dengan klausula dalam kontrak yang sangat tidak adil sehingga memberikan keuntungan yang tidak wajar bagi pihak yang lain.60

h. Asas Subsidaritas

Asas subsidaritas mengandung pengertian bahwa pengusaha menengah atau pengusaha besar merupakan salah satu faktor dalam rangka memberdayakan

59

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Pembangunan Seimbang bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit BANK di Indonesia (Jakarta : Institut Bankir, 1993), hlm. 105.

60

(21)

usaha kecil tentunya sesuai dengan ketentuan kopetensi yang dimiliki dalam mendukung mitra usahanya sehingga mampu dan dapat mengembangkan diri menuju kemandirian.61

4. Sumber Hukum Perjanjian

Menurut ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata, perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang

menurut Pasal 1352 KUHPerdata dibedakan atas perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan perikatan yang lahir dari undang-undang-undang-undang karena perbuatan manusia.

Kemudian perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia

menurut Pasal 1353 KUHPerdata dibedakan lagi atas perbuatan yang sesuai dengan hukum dan perbuatan yang melawan hukum.62

Sebagaimana dikutip R. Soetojo Prawirohamidjojo dalam Hukum Perikatan

mengatakan bahwa :63

“Antara perikatan yang bersumber pada perjanjian dan perikatan yang

bersumber pada undang-undang pada hakikatnya tidak ada perbedaan, sebab semua perikatan meskipun bersumber pada perjanjian pada hakikatnya baru mempunyai kekuatan sebagai perikatan karena diakui oleh undang-undang dan karena mendapat sanksi dari undang-undang.”

Vollmar, Pitlo, H. Drion dan Meyers dalam ajaran umum yang menyatakan bahwa tidak ada pertentangan yang hakiki antara perikatan yang bersumber dari perjanjian dan perikatan yang bersumber dari undang-undang. Sebab pada akhirnya selalu undang-undang yang memberi sanksinya meskipun yang menjadi sumbernya perjanjian. Meskipun demikian, tidak perlu ada

61

http://www.damandiri.or.id/file/arirahmathakimundipbab2c.pdf , (terakhir diakses 3 Maret 2016).

62

Ibid., hlm. 201.

63

(22)

keberatan terhadap pembagian yang didakan Pasal 1233 KUHPerdata. Pada umumnya, para ahli hukum perdata sependapat bahwa sumber perikatan sebagaimana disebut Pasal 1233 KUHPerdata yaitu perjanjian dan undang-undang adalah kurang lengkap. Sumber perikatan yang lain adalah Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, hukum tidak tertulis dan keputusan hakim.

Sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan melalui perjanjian pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk membuat segala macam perikatan.64 Perjanjian dan perikatan adalah dua hal yang berbeda, meskipun keduanya memiliki ciri yang hampir sama. Perjanjian menimbulkan atau melahirkan perikatan, sedangkan perikatan adalah isi dari perjanjian. Perjanjian lebih konkret daripada perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan didengar, sedangkan perikatan merupakan pengertian yang abstrak (hanya dalam pikiran). Perikatan yang berasal dari undang-undang dibedakan atas perikatan yang lahir dari :

a. undang-undang saja, adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum (perikatan) di antara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut, seperti lampaunya waktu yang berakibat bahwa seseorang mungkin terlepas dari haknya atas sesuatu atau mungkin mendapatkan haknya atas sesuatu.

64

(23)

b. undang-undang karena perbuatan manusia, bahwa dengan dilakukannya serangkaian tingkah laku seseorang maka undang-undang melekatkan akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut.

Undang-undang karena perbuatan manusia bersumber dari perbuatan yang sesuai dengan hukum, seperti Pasal 1354 KUHPerdata tentang zaak warneming atau pengurusan sukareala. Contoh, dokter mengoperasi pasien dalam keadaan darurat atau tanpa persetujuan pasien, kemudian perbuatan melawan hukum adalah perikatan yang lahir karena undang-undang, karena orang tidak berhati-hati sehingga merugikan orang lain. Unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum yaitu harus ada perbuatan, perbuatan itu harus melawan hukum, perbuatan itu harus menimbulkan kerugian, dan perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan.65

Penjelasan di atas telah menjelaskan bahwa suatu perikatan bersumber dari undang-undang dan perjanjian. Di dalam perikatan yang muncul karena undang-undang, lahirnya perikatan tersebut tanpa memperhitungkan kehendak para pihak dalam perikatan yang bersangkutan, namun kehendak itu berasal dari si pembuat undang-undang, sekalipun ada unsur perbuatan manusia namun perbuatan manusia itu tidaklah tertuju kepada akibat hukum (perikatan) yang muncul antara mereka sebagai akibat perbuatan mereka, sehingga dapat dikatakan bahwa pada umumnya mereka sama sekali tidak mengendaki akibat hukum seperti itu. Berbeda dengan perikatan yang lahir karena perjanjian, perikatan ini lahir karena para pihak yang menghendakinya dan para pihak tertuju kepada

65

(24)

akibat hukum tertentu yang mereka kehendaki, dengan kata lain munculnya perikatan yang bersumber dari perjanjian sebagai akibat hukum dari perjanjian yang mereka tutup.66

5. Syarat sah perjanjian

Syarat sahnya perjanjian dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang berbunyi untuk sahnya perjanjian-perjanjian , diperlukan empat syarat:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu pokok persoalan tertentu.

4. Suatu sebab yang terlarang

Syarat kata sepakat dan kecakapan para pihak disebut sebagai syarat subjektif karena menyangkut orang-orang yang membuat perjanjian tersebut, sementara dua syarat yang terakhir dinamanakan syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri.67

a. Kata sepakat

Kata sepakat merupakan hal yang pertama kali harus ada dalam suatu proses pembuatan perjanjian. Tanpa kesepakatan para pihak pembuat perjanjian, keabsahan suatu perjanjian dapat dipertanyakan. Kata sepakat atau kesepakatan para pihak menunjuk pada keadaan dimana kehendak para pihak saling diterima satu sama lain. Kedua belah pihak menerima dan tidak menolak untuk memenuhi apa yang menjadi keinginan pihak lawannya. Mereka menghendaki sesuatu yang

66Ibid

., hlm 75.

67

(25)

sama secara timbal balik. Dengan adanya kata sepakat, maka perjanjian itu telah ada. Sejak saat itu pula perjanjian mengikat kedua belah pihak dan dapat dilaksanakan.

Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Ketentuan ini menjelaskan bahwa perjanjian memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak pembuatnya dan tidak dapat ditarik kembali secara sepihak, atau karena alasan-alasan yang diperbolehkan oleh undang-undang.

(26)

penawaran karena perlu adanya kategori atau kriteria tertentu untuk dapat dikatakan sebagai suatu penawaran.68

Kesepakatan merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Suatu kehendak saja tidak serta merta menimbulkan perjanjian. Kehendak tersebut harus terlebih dahulu dinyatakan atau disampaikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain secara timbal balik. Suatu kesepakatan diawali dengan penawaran, yang merupakan pernyataan kehendak dari satu pihak kepada pihak lawan. Penawaran tersebut kemudian diikuti dengan pernyataan kehendak dari pihak lawan baik penawaran maupun penerimaan adalah perbuatan hukum sepihak. Perjumpaan dari kedua perbuatan hukum sepihak inilah yang kemudian membentuk suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum timbal balik.

Hal ini sejalan dengan pendapat Herlien Budiono bahwa penawaran adalah usulan yang disampaikan kepada pihak lainnya untuk membuat suatu perjanjian dan ketika usulan tersebut diterima, akan timbul dan terbentuk perjanjian. Pada dasarnya penawaran dan penerimaan tidak harus dilakukan dalam bentuk tertentu. Pernyataan penawaran dan penerimaan dapat dilakukan secara tegas, baik secara lisan maupun tulisan. Namun dalam beberapa hal pernyataan tersebut juga dapat dilakukan secara diam-diam. Bahkan dalam keadaan tertentu sikap berdiam diri atau tidak berbuat dapat diartikan sebagai suatu penerimaan.69

68

Samuel M.P. Hutabarat, Pena wa ran dan Penerimaan dalam Hukum Perjanjian

(Jakarta : Grasindo, 2012), hlm. 8.

69

(27)

Salah satu syarat sahnya perjanjian, kesepakatan memegang peran penting dalam proses terbentuknya suatu perjanjian. Untuk itu dapat dengan mudah mengenali terjadinya kesepakatan apabila terdapat kesesuaian antara penawaran dan penerimaan. Namun akan timbul suatu masalah apabila tidak terdapat kesesuaian antara penawaran dan penerimaan, misalnya terdapat kesalahan dalam menuliskan jumlah pesanan.

b. Kecakapan

Para pihak dalam suatu perjanjian haruslah memenuhi syarat kecakapan yang ditentukan oleh hukum. Menurut Subekti, pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.70 Dalam Pasal 1330 KUHPerdata, mereka yang dikategorikan sebagai tidak memenuhi syarat adalah:

1) orang-orang yang belum dewasa.

2) mereka yang ditaruh dalam pengampuan.

3) orang perempuan dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.71

Atas dua syarat sah yang pertama ini disebut sebagai syarat subjektif, jika tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian maka perjanjian yang dibuat dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak. Pihak yang dapat meminta

70

Subekti, Ibid., hlm. 17.

71

(28)

pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang tidak memberikan perizinannya secara tidak bebas.72

c. Hal tertentu

Syarat sahnya perjanjian yang berikutnya adalah perjanjian yang dibuat haruslah mengenai sesuatu hal tertentu. Hal tertentu dalam suatu perjanjian mengacu pada obyek perjanjiannya. Pasal 1333 KUHPerdata memberikan penjelasan mengenai hal tertentu bahwa untuk perjanjian yang mengenai barang paling sedikit ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat ditentukan kemudian.

Undang-undang tidak mewajibkan bahwa objek perjanjian harus telah ada ketika perjanjian dibuat, demikian juga mengenai jumlah dari objek perjanjian tersebut dapat ditentukan kemudian, hanya diwajibkan bahwa objek perjanjian haruslah dapat dihitung atau ditetapkan.

d. Sebab yang halal

Syarat yang terakhir untuk membuat suatu perjanjian menjadi sah menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah harus terpenuhinya unsur sebab yang halal. Sebab yang halal mengacu pada isi perjanjian. Undang-undang tidak menjelaskan sebab yang halal sebagai niat para pihak sebelum membuat perjanjian tersebut. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang ada dalam gagasan apa yang berada dalam gagasan seorang atau apa yang dicita-citakan seseorang.73

72

Subekti,Op.cit., hlm. 20.

73

(29)

Menurut Pasal 1339 Kitab KUHPerdata yang dimaksud sebagai sebab yang halal dalam suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan baik.74

Sebab yang halal dalam suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.75 Perjanjian memperkerjakan anak dibawah umur tanpa persetujuan orang tua atau walinya menjadi salah dan tidak memenuhi unsur sebab yang halal karena bertentangan dengan kesusilaan baik, ketertiban umum dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Semua perjanjian yang yang tidak memenuhi sebab yang halal akibatnya perjanjian menjadi batal demi hukum (null and void).

74

Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan: “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan : “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”

75

(30)

B.Perjanjian Kemitraan

1. Pengertian dan unsur perjanjian kemitraan

Kemitraan memiliki pengertian yang beragam sebagaimana dikemukakan oleh banyak sarjana. Menurut Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia76 kata mitra memiliki arti teman, kawan kerja, pasangan kerja, rekan, sedangkan

“kemitraan adalah perihal hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra”.

Dengan pendapat senada, Fletcher77 mengemukakan “partnership is the relation which subsists between persons carrying on a business in common with a view of

profit.” Kedua sarjana di atas menekankan kemitraan sebagai sebuah hubungan

atau relasi, meskipun Fletcher menambahkan tujuan dari kemitraan, yaitu keuntungan, dalam definisinya.

Sedangkan menurut Wie kemitraan merupakan kerjasama usaha antara perusahaan besar atau menengah yang bergerak di sektor produksi barang-barang maupun di sektor jasa dengan industri kecil berdasarkan atas asas saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.78

Pendapat lain dikemukakan oleh Hafsah79 yang menyebutkan:

“Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam

menjalankan etika bisnis.”

76

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 588.

77

Keint L Fletcher, The La w of Partnership (Sidney: The Law Book Company Limited, 1987), hlm. 27.

78

Thee Kian Wie. Ed. Dialog Kemitraan dan Keterkaitan Usaha Besar dan Kecil dalam Sektor Industri Pengolahan (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm 3.

79

(31)

Selain itu, Linton80 berpendapat:

“Kemitraan adalah sebuah cara melakukan bisnis di mana pemasok dan

pelanggan berniaga satu sama lain untuk mencapai tujuan bisnis

bersama”.

Kedua sarjana terakhir di atas, pengertian kemitraan lebih ditekankan pada sebagai suatu strategi atau cara melakukan bisnis untuk dari pihak yang bermitra untuk mencapai tujuan (keuntungan) bersama. Meskipun Hafsah menambahkan dalam definisi bahwa strategi bisnis tersebut dilandasi prinsip saling membutuhkan dan membesarkan. Pengertian tentang kemitraan yang secara spesifik menyangkut aspek hukum sebagaimana terdapat dalam black’s law dictionary.

black’s law dictionary81

menyebutkan bahwa kemitraan (partnership) adalah:

“A voluntary contract between two or more competent persons to place

their money, effects, labor, and skill, or some or all of them, in lawful

commerce or business, with the understanding that there shall be a

proportional sharing of the profits and losses between them.”

Pengertian dalam kamus tersebut di atas, dapat diketahui adanya penekanan bahwa kemitraan merupakan kontrak yang dibuat secara sukarela. Dua orang atau lebih yang kompeten yang bermitra dapat menempatkan dana, tenaga, dan atau keterampilannya, dengan pemahaman akan adanya pembagian proporsional keuntungan atau kerugian di antara mitra. Berbagai pandangan dan

80

Ian Linton, Kemitraan Meraih Keuntungan Bersama (Jakarta: Halirang, 1997), hlm.10.

81

(32)

pendapat sarjana di atas terdapat kesamaan sekaligus perbedaan dalam mendefinisikan kemitraan.

Undang- undang Republik Indonesia tentang Usaha Kecil 82 :

“Kemitraan adalah kerja sama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha

Menengah atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan

saling menguntungkan.”

Semua pengertian tentang kemitraan yang diuraikan di atas, baik dari para sarjana maupun yang tertera dalam peraturan perundang-undangan, menunjukkan adanya titik penekanan yang sama maupun berbeda satu sama lain. Pengertian yang lebih lengkap dan sempurna dapat dirumuskan apabila pengertian-pengertian yang ada tersebut dipadukan.

Mengacu pada berbagai pendapat dan ketentuan di atas, Penulis berpendapat bahwa pengertian kemitraan yang lebih padu dan lengkap adalah kerja sama usaha yang merupakan strategi bisnis yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki yang dilandasi prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Pengertian ini, sebagai sebuah strategi bisnis, sumber daya yang dimiliki oleh dua pihak atau lebih yang bermitra akan dimanfaatkan dengan prinsip saling memerlukan dan engan demikian diharapkan usaha atau bisnis para pihak akan menguat serta mendapatkan keuntungan.

82

(33)

Unsur pembinaan dan pengembangan dengan sendirinya sudah termaktub dalam prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Merujuk pada pengertian kemitraan yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia tentang Usaha Kecil di atas, maka kemitraan itu mengandung unsur-unsur pokok83 sebagai berikut:

a. Kemitraan adalah Kerja Sama Usaha

Dalam konsep kerja sama usaha melalui kemitraan ini, jalinan kerjasama yang dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan usaha kecil didasarkan pada kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama. Ini berarti bahwa hubungan kerja sama yang dilakukan antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil mempunyai kedudukan yang setara dengan hak dan kewajiban timbal balik sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada yang saling mengeksploitasi, serta tumbuh dan berkembangnya rasa saling percaya di antara para pihak dalam mengembangkan usahanya.

b. Para pihak adalah Pengusaha Besar atau Menengah dan Pengusaha Kecil Kemitraan, pengusaha besar atau menengah dapat menjalin hubungan kerja sama yang saling menguntungkan dengan pengusaha kecil atau pelaku ekonomi lainnya, sehingga pengusaha kecil akan lebih berdaya dan tangguh dalam berusaha demi tercapainya kesejahteraan bersama. Kemitraan disertai dengan Pembinaan dan Pengembangan oleh Pengusaha yang lebih besar. Dasarnya yang membedakan hubungan kemitraan dengan hubungan dagang biasa oleh pengusaha kecil dengan pengusaha

83

(34)

besar adalah adanya bentuk pembinaan dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil atau koperasi yang tidak ditemukan pada hubungan dagang biasa. Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain pembinaan dalam mengakses modal yang lebih besar, pembinaan manajemen usaha, pembinaan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), pembinaan manajemen produksi, pembinaan mutu produksi, serta menyangkut pula pembinaan dalam pengembangan aspek kelembagaan, fasilitas alokasi serta investasi.

c. Kemitraan dilandasi prinsip-prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan

1) Prinsip saling memerlukan

Menurut Mariotti,84 kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan mengenal calon mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya. Pemahaman akan keunggulan yang ada akan menghasilkan sinergi yang bedampak pada efisiensi, turunnya biaya produksi, dan sebagainya. Penerapannya dalam kemitraan, perusahaan besar dapat menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan yang kecil. Sebaliknya, perusahaan yang lebih kecil, yang umumnya relatif lemah dalam hal kemampuan teknologi, permodalan, dan sarana produksi, dapat menggunakan teknologi dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar.

84

(35)

Dengan demikian sebenarnya terdapat unsur saling memerlukan atau saling ketergantungan di antara para pihak yang bermitra.

2) Prinsip saling memperkuat

Sebelum para pihak bekerja sama, masing-masing pihak mempunyai keinginan untuk mendapatkan nilai tambah tertentu. Nilai tambah ini selain diwujudkan dalam bentuk nilai ekonomi seperti peningkatan modal dan keuntungan, perluasan pangsa pasar, tetapi juga ada nilai tambah yang bersifat non-ekonomi, seperti peningkatan kemampuan manajemen, penguasaan teknologi, dan kepuasan tertentu. Keinginan ini merupakan konsekuensi logis kemitraan. Kemitraan juga mengandung makna sebagai tanggung jawab moral, karena pengusaha besar atau menengah dituntut untuk membimbing dan membina pengusaha kecil mitranya agar mampu mengembangkan usahanya sehingga menjadi mitra yang handal dan tangguh dalam meraih keuntungan untuk kesejahteraan bersama. Hal ini harus disadari juga oleh masing-masing pihak yang bermitra bahwa para pihak memiliki perbedaan dan keterbatasan, baik yang berkaitan dengan manajemen, penguasaan ilmu pengetahuan maupun penguasaan sumber daya. Dengan bermitra nilai tambah yang diterima akan lebih besar. Oleh karena itu prinsip kemitraan harus didasarkan pada unsur saling memperkuat.

3) Prinsip saling menguntungkan

Salah satu maksud dan tujuan dari kemitraan usaha adalah “winwin

(36)

kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi yang esensial adalah adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masingmasing. Pada kemitraan usaha hubungan bersifat timbal balik, bukan seperti kedudukan antara buruh dengan majikan, atau antara atasan dengan bawahan. Dalam kemitraan ada pembagian resiko dan keuntungan yang proporsional. Letak kekhasan dan karakter dari kemitraan usaha tersebut. Berpedoman pada kesetaraan kedudukan bagi masing-masing pihak yang bermitra, maka tidak ada pihak yang tereksploitasi dan dirugikan tetapi justru terciptanya rasa saling percaya di antara para pihak sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan melalui pengembangan usaha bersama.

2. Para pihak dalam perjanjian kemitraan

Kemitraan sebagai solusi sebagaimana dimaksud, adalah suatu hubungan hukum kerjasama antara para pihak dengan didasari prinsip saling menguntungkan dan saling menghargai diantara mereka. Kemitraan memungkinkan bagi para pihak untuk saling menutupi dan saling member dalam menghadapi kekurangan diantara mereka. Perusahaan sebagai pemilik teknologi dan modal dapat bekerjasama/bermitra dengan pekebun, untuk dapat membantu pekebun perusahaan pun memperoleh keuntungan. Wujud kemitraan sangat beragam. Ada kemitraan yang sangat sederhana dan dibangun diatas kesepakatan tidak tertulis, namun dapat berjalan dengan transparan, sukarela dan setara.85

Kemitraan yang lebih kompleks terdiri dari beberapa pihak dan melibatkan banyak pihak. Kemitraan menjadi seperti ini tumbuh sebagai akibat dari

85

(37)

perkembangan dan tingkat kebutuhan yang juga meningkat. Kemitraan diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih luas dan besar bagi kesejahteraan masyarakat. Kemitraan dapat berlangsung dengan baik dan memenuhi harapan berbagai pihak yang bekerjasama, maka kemitraan harus dirumuskan dan dituangkan dalam suatu perjanjian yang memuat hak dan kewajiban para pihak secara jelas, sehingga membentuk pola kerjasama yang teratur dan mengikat.86

Kemitraan sebagai kerjasama usaha yang telah dipilih oleh pemerintah untuk dijadikan pola untuk memberdayakan usaha kecil, melibatkan beberapa pihak yaitu :

a. Pemrakarsa, para pemrakarsa adalah pengusaha besar baik swasta maupun BUMN yang bersedia menjalin kemitraan dengan pengusaha kecil.

b. Mitra Usaha yaitu pengusaha kecil termasuk koperasi dapat dipertimbangkan menjadi peserta dalam kemitraan usaha nasional dengan mempertimbangkan antara lain yaitu (a) kesediaan menjalin kemitraan dengan pengusaha besar, (b) mempunyai kinerja yang baik.

c. Pemerintah berperan dalam koordinasi, fasililitasi, dan pengawasan bagi kemitraan usaha nasional.

Kemitraan harus dilaksanakan secara terencana, terbuka, terpadu professional dan bertanggung jawab dan dengan prinsip-prinsip dasar antara lain, prinsip saling menguntungkan, saling menghargai, ketergantungan antara perusahan dan masyarakat sekitar. Atas dasar perjanjian yang telah disetujui oleh para pihak, secara yuridis para pihak akan terikat dengan hak dan kewajiban masing-masing, selanjutnya isi perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan

86

(38)

iktikad baik atau good faith dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Kewajiban dari perusahaan yang memberikan persetujuan perjanjian kerjasama adalah membina, mengawasi aktivitas. Sedangkan kewajiban dari pihak perusahaan kecil adalah menaati peraturan, syarat dan prosedur, serta pelaksanaan tugas sesuai dengan perjanjian. Perjanjian kerjasama tersebut berupaya untuk mengembangkan usaha kecil yang konsentrasi pada bidang perjasaan, di sisi lain telah memungkinkan untuk lebih optimal melakukan persaingan diantara usaha-usaha kecil lainnya, sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kesenjangan antara pengusaha besar dan pengusaha kecil, sehingga upaya dalam membangun kemitraan adalah terciptanya suatu penghubung antar berbagai perusahaan untuk meningkatan potensi usaha di Indonesia tidak hanya secara kuantitas, kualitasnya pun terus meningkat seiring dengan perubahan ekonomi. Ada hal yang sangat perlu diperhatikan dalam sebuah perjanjian kemitraan yakni tentang syarat sahnya suatu perjanjian yang dituangkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Hal tersebut adalah mengenai syarat subjektif dan syarat objektif.

(39)

3. Sahnya perjanjian kemitraan

Syarat sah perjanjian kemitraan yaitu: a. Kesepakatan (Toesteming/Izin)

Kedua belah pihak Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan antara pihak kemitraan. Kesepakatan pihak kemitraan yang dimaksud dengan kesepakatan berupa persesuaian kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Pada dasarnya, pihak kemitraan menggunakan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak kemitraan dan sebagai alat bukti yang sempurna, di kala timbul sengketa dikemudian hari.

b. Kecakapan bertindak

Kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Pihak kemitraan yang akan mengadakan perjanjian haruslah memiliki kecakapan dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Pihak kemitraan yang termasuk tidak cakap untuk membuat persetujuan perjanjian menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah anak di bawah umur (minderjarigheid), orang yang ditaruh dibawah pengampuan dan istri, akan tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum. c. Adanya objek perjanjian (Onderwerp der Overeenskomst)

(40)

positif dan negatif. Prestasi terdiri dari suatu hal memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). Objek perjanjian itu harus tertentu atau sekurang kurangnya dapat ditentukan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit sudah dapat diketahui jenisnya, bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat. Kejelasan mengenai pokok perjanjian atau objek perjanjian ialah memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban pihak-pihak.

d. Adanya sebab yang halal (Geoorloofde Oorzaak)

(41)

perjanjian pihak kemitraan merupakan kegiatan hukum yang melibatkan kedua belah pihak atau lebih, mengikatkan dirinya karena ada unsur kesepakatan yang menimbulkan suatu hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan yang berjanji dan harus dilaksanakan agar tidak terjadi suatu wanprestasi.87

Kemitraan usaha bukanlah penguasaan yang satu atas yang lain, khususnya yang besar atas yang kecil, melainkan menjamin kemandirian pihakpihak yang bermitra. Kemitraan usaha yang kita inginkan bukanlah kemitraan yang bebas nilai, melainkan kemitraan yang tetap dilandasi oleh tanggung jawab moral dan etika bisnis yang sehat, yang sesuai dengan demokrasi ekonomi. Adapun syarat-syarat kemitraan adalah sebagai berikut:88

a. Perusahaan mitra harus memenuhi syarat: Mempunyai itikad baik dalam membantu usaha kelompok mitra - Memiliki teknologi dan manajemen yang baik - Menyusun rencana kemitraan dan Berbadan hukum.

b. Kelompok mitra yang akan menjadi mitra usaha diutamakan telah dibina oleh pemerintah daerah.

c. Perusahaan mitra dan kelompok mitra terlebih dahulu menandatangani perjanjian kemitraan.

d. Isi perjanjian kerjasama menyangkut jangka waktu, hak dan kewajiban termasuk kewajiban melapor kemitraan kepada instansi pembina teknis di daerah, pembagian resiko penyelesaian bila terjadi perselisihan dan kepastian hukum bagi kedua belah pihak.

87

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt516f36437d214/keabsahan-perjanjian-yang-dibuat-di-bawah-ancaman, diakses tanggal 6 Maret 2016

88

(42)

e. Kelompok mitra dapat memanfaatkan fasilitas kredit program dari pemerintah, sedangkan perusahaan mitra bertindak sebagai penjamin kredit bagi kelompok mitra.

f. Perusahaan mitra dapat memanfaatkan kredit perbankan sesuai perundangundangan yang berlaku.

g. Pembinaan oleh instansi Pembina teknis baik di pusat maupun daerah bersama perusahaan mitra untuk menyiapkan kelompok mitra agar siap dan mampu melakukan kemitraan.

h. Pembinaan dilakukan dalam bentuk penelitian, pemecahan masalah sesuai dengan kebutuhan para pihak, pemberi konsultasi bisnis dan temu usaha.

4. Hak dan kewajiban para pihak

Pelaku kemitraan usaha dapat dikelompokan menjadi lima komponen, Yaitu penyedia dana (bank), kelompok (perusahaan) investor saprodi, koperasi primer, kelompok tani dan kelompok usaha penjamin pasar.89 Untuk mencapai model kemitraan yang menguntungkan, yang perlu diperhatikan adalah pihak-pihak yang terlibat dengan peran masing-masing sebagai berikut: 90

a. Perusahaan penjamin pasar dan penyedia saprodi (benih, pupuk,organik, dan pestisida).

b. Investor alsintan seperti traktor, pompa air, drayer, dan pemipil.

c. Koperasi atau kelompok tani merupakan penyedia lahan pertanian dan tenaga kerja.

d. Petani sebagai pemilik lahan sekaligus tenaga kerja.

89

Martodireso, S., Widada, AS. Terobosan Kemitraan Usaha dalam Era.Globalisasi. (Yogyakarta : Kanisius, 2001), hlm 20-23

90

(43)

Usaha besar, Usaha menengah dan usaha kecil yang melaksanakan kemitraan mempunyai hak untuk meningkatan efisiensi usaha dalam kemitraan, mendapat kemudahan untuk melakukakan kemitraan, membuat perjanjian kemitraan dan membatalkan perjanjian bila salah satu pihak mengingkari.91 Usaha besar dan usaha menengah yang melaksanakan kemitraan mempunyai hak untuk mengetahui kinerja kemitraan usaha kecil mitra binaannya.92 Usaha kecil yang bermitra mempunyai hak untuk memperoleh pembinaan dan pengembangan dari usaha besar dan atau usaha menengah mitranya dalam satu aspek atau lebih tentang pemasaran, sumber daya manusia, permodalan, manajemen dan teknologi.93

Pelaksanaan kegiatan tertentu oleh usaha besar dan usaha menengah diselenggarakan dengan kewajiban untuk bermitra dengan usaha kecil.94 Usaha besar dan usaha menengah yang melaksanakan kemitraan dengan usaha kecil berkewajiban untuk memberikan informasi peluang kemitraan, memberikan informasi kepada pemerintah mengenai perkembangan pelaksanaan kemitraan, menunjuk penanggungjawab kemitraan, mentaati dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam perjanjian kemitraan.95 Usaha kecil yang bermitra berkewajiban untuk meningkatkan kemampuan menajemen dan kinerja usahanya secara berkelanjutan, sehingga lebih mampu melaksanakan kemitraan dengan usaha besar dan atau usaha menengah dan memanfaatkan dengan

91

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, Pasal 12 ayat (1)

92Ibid.,

Pasal 12 ayat (2)

93

Ibid., Pasal 12 ayat (3)

94

Ibid., Pasal 13 ayat (1)

95

(44)

baiknya berbagai bentuk pembinaan dan bantuan yang diberikan oleh usaha besar dan atau usaha menengah.96

Usaha besar, usaha menengah dan atau usaha kecil yang melaksanakan kemitraan mempunyai kewajiban untuk mencegah gagalnya kemitraan, memberikan informasi tentang pelaksanaan kemitraan kepada menteri teknis dan menteri dan meningkatkan efisiensi usaha dalam kemitraan.97

C. Perjanjian Kemitraan dalam Hukum di Indonesia

1. Sumber hukum perjanjian kemitraan

Sumber-sumber Hukum Kontrak atau Perikatan tercantum dalam Pasal 1233 KUHPerdata yakni perjanjian dan undang-undang. Perikatan atau kontrak adalah suatu hubungan hukum di bidang hukum kekayaan dimana suatu pihak berhak menuntut suatu presentasi dan pihak lainnya berkewajiban untuk melaksanakan suatu presentasi. Sedangkan perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Sumber Hukum Perjanjian Kemitraan antara lain:

a. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat dan menguntungkan yang melibatkan pelaku usaha mikro, kecil

96

Ibid., Pasal 15

97

(45)

dan menengah dengan usaha besar.98 Pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat memfasilitasi, mendukung dan menstimulasi kegiatan kemitraan, yang saling membutuhkan, mempercayai, memperkuat dan menguntungkan.99 Kemitraan antar-usaha mikro, kecil dan menengah dengan usaha besar mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia dan teknologi.100 Menteri dan menteri teknis mengatur pemberian insentif kepada usaha besar yang melakukan kemitraan dengan usaha mikro, kecil dan menengah melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.101

Kemitraan dilaksanakan dengan pola inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan dan bentuk-bentuk kemitraan lain, seperti bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourching).102 Pelaksanaan kemitraan dengan pola inti-plasma usaha besar sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, danMenengah, yang menjadi plasmanya dalam penyediaan dan penyiapan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis produksi dan manajemen usaha, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan, pembiayaan, pemasaran, penjaminan, pemberian

98

(46)

informasi dan pemberian bantuan lain yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas dan wawasan usaha.103

Pelaksanaan kemitraan usaha dengan pola subkontrak untuk memproduksi barang dan/atau jasa, usaha besar memberikan dukungan berupa kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan/atau komponennya, kesempatan memperoleh bahan baku yang diproduksi secara berkesinambungan dengan jumlah dan harga yang wajar, bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan, pembiayaan dan pengaturan sistem pembayaran yang tidak merugikan salah satu pihak dan upaya untuk tidak melakukan pemutusan hubungan sepihak.104

Pemberi waralaba dan penerima waralaba mengutamakan penggunaan barang dan/atau bahan hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang disediakan dan/atau dijual berdasarkan perjanjian waralaba.105 Pelaksanaan kemitraan dengan pola perdagangan umum dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari usaha mikro, kecil, dan menengah oleh usaha besar yang dilakukan secara terbuka.106

Pelaksanaan kemitraan dengan pola distribusi dan keagenan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e, usaha besar dan/atau usaha menengah memberikan hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa kepada usaha

103Ibid.,

Pasal 27

104

Ibid., Pasal 28

105

Ibid., Pasal 29 ayat (2)

106

(47)

mikro dan/atau usaha kecil.107 Pelaksanaan kemitraan usaha yang berhasil, antara usaha besar dengan usaha mikro, kecil dan menengah dapat ditindaklanjuti dengan kesempatan pemilikan saham usaha besar oleh usaha mikro, kecil dan menengah.108

Perjanjian kemitraan dituangkan dalam perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya mengatur kegiatan usaha, hak dan kewajiban masing-masing pihak, bentuk pengembangan, jangka waktu dan penyelesaian perselisihan.109Perjanjian kemitraan dilaporkan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.110 Perjanjian kemitraan tidak boleh bertentangan dengan prinsip dasar kemandirian usaha mikro, kecil, dan menengah serta tidak menciptakan ketergantungan usaha mikro, kecil, dan menengah terhadap usaha besar.111 Usaha menengah dilarang memiliki dan/atau menguasai usaha mikro dan/atau usaha kecil mitra usahanya.112 Dalam melaksanakan kemitraan para pihak mempunyai kedudukan hokum yang setara dan terhadap mereka berlaku hukum Indonesia.113 Pelaksanaan kemitraan diawasi secara tertib dan teratur oleh lembaga yang dibentuk dan bertugas untuk mengawasi persaingan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.114

b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

Referensi

Dokumen terkait

memenuhi syarat materiil dalam proses perizinan terhadap barang dan/atau jasa yang mereka perdagangkan. Jika konsumen menderita kerugian berupa terjadinya kerusakan, pencemaran,

Sedangkan BSN bertugas melakukan standardisasi produk secara umum agar sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Dilihat dari segi segala prosedur yang harus dilalui

hasil kegiatan penjualan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh mitra usaha dan jaringannya sesuai dengan yang diperjanjikan. 8) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan