• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identitas Diri Dalam Komunitas Punks (Studi Kasus Identitas Diri Anak Punk Yang Sudah Bekerja Dalam Konteks Komunikasi Antarpribadi Pada Komunitas Punks Di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identitas Diri Dalam Komunitas Punks (Studi Kasus Identitas Diri Anak Punk Yang Sudah Bekerja Dalam Konteks Komunikasi Antarpribadi Pada Komunitas Punks Di Kota Medan)"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Paradigma Konstruktivisme

Penelitian ini menggunakan pendekatan konstruktivisme yang diharapkan dapat menggambarkan hubungan interaksi sosial di dalamnya. Konstruktivisme, satu di antara paham yang menyatakan bahwa positivisme dan postpositivisme merupakan paham yang keliru dalam mengungkapkan realitas dunia. Karena itu, kerangka berpikir kedua paham tersebut harus ditinggalkan dan diganti dengan paham yang bersifat konstruktif. Paradigma ini muncul melalui proses yang cukup lama setelah sekian generasi ilmuwan berpegang teguh pada paradigma positivisme. Konstruktivisme muncul setelah sejumlah ilmuwan menolak tiga prinsip dasar positivisme: (1) ilmu merupakan upaya mengungkap realitas; (2) hubungan antara subjek dan objek penelitian harus dapat dijelaskan; (3) hasil temuan memungkinkan untuk digunakan proses generalisasi pada waktu dan tempat yang berbeda.

(2)

menjadi unit analisis dari variabel-variabel penelitian yang kaku dan steril; (6) penelitian lebih bersifat partisipatif dari pada mengontrol sumber-sumber informasi dan lain-lainnya (Muslih, 2004: 34).

Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui bagaimana cara seseorang melihat sesuatu (Morissan, 2009:107)

(3)

yang diamati seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang seperti yang biasa dilakukan kalangan positivis atau postpositivis.

Sejalan dengan itu, secara filosofis, hubungan epistemologis antara pengamatan dan objek, menurut aliran ini bersifat suatu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi di antara keduanya. Sementara secara metodologis, paham ini secara jelas menyatakan bahwa penelitian harus dilakukan di luar laboratorium, yaitu di alam bebas secara sewajarnya (natural) untuk menangkap fenomena alam apa adanya dan secara menyeluruh tanpa campur tangan dan manipulasi pengamat atau pihak penelitian. Dengan setting natural ini, maka metode yang paling banyak digunakan adalah metode kualitatif daripada metode kuantitatif.

(4)

Ditemukannya paradigma konstruktivisme ini dapat memberikan alternatif paradigma dalam mencari kebenaran tentang realitas sosial, sekaligus menandai terjadinya pergeseran model rasionalitas untuk mencari dan menentukan aturan-aturan ke model rasionalitas praktis yang menekankan peranan contoh dan interpretasi mental. Konstruktivisme dapat melihat warna dan corak yang berbeda dalam berbagai disiplin ilmu, khususnya disiplin ilmu-ilmu sosial, yang memerlukan intensitas interaksi antara penelitian dan objek yang dicermati, sehingga akan berpengaruh pada nilai-nilai yang dianut, etika, akumulasi pengetahuan, model pengetahuan dan diskusi ilmiah (Muslih, 2004: 35-36).

2.2. Kajian Terdahulu

Adapun kajian-kajian yang pernah dilakukan yang berkaitan dengan tema penelitian adalah sebagai berikut:

(5)

Identitas diri anggota komunitas punk di Bandung yaitu ingin menutupi ketidakpuasan atau ketidakberdayaan hidup maupun perasaan inferior mereka dalam bentuk penampilan yang superior dan unik di mata masyarakat. Anggota komunitas punk tersebut juga ingin mengekspresikan kemarahannya melalui suatu simbolisme berupa atribut bergaya punk dan pemikiran-pemikiran ideologi anti-kemapanan. Hal tersebut merupakan suatu bentuk kompensasi diri anggota komunitas punk untuk menutupi kemarahan dan rasa frustasi dari ketidakpuasan terhadap sistem yang telah diterapkan baik oleh orangtua maupun masyarakat (http://www.eprints.undip.ac.id).

(6)

Saat ini di Yogyakarta bermunculan anak muda yang tergabung dalam suatu kelompok yang mereka namakan dengan kelompok punk dengan gaya yang khas dengan rambutnya yang Mohawk, atribut rantai yang tergantung di saku celana, sepatu boot, kaos hitam, jaket kulit penuh badge, tindik (piercing) di hidung, bibir, telinga, alis dan tato. Mereka berkumpul dengan teman-teman sesama punk hingga larut malam bahkan sampai pagi hari, sekedar bermain gitar, merokok, minum-minuman keras, ngamen, mereka tidak mengetahui apakah yang mereka lakukan sesuai dengan pribadinya, yang mereka inginkan adalah menjadi punkers seumur hidupnya.

Subjek penelitian ini adalah remaja punk yang memiliki karakteristik yaitu berusia antara 13-19 tahun, berjenis kelamin laki-laki, berasal dan tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Subyek penelitian berjumlah lima informan penelitian, yang merupakan orang-orang yang dekat dan mengenal baik subjek penelitian.

(7)

3) Penelitian berjudul Keberadaan Komunitas Punk di Kota Bukit Tinggi, skripsi oleh Jhoni Akbar. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa perilaku komunitas punk yang berada di kota Bukit Tinggi dapat dilihat dari segi pengetahuan, sikap dan tindakan semua anggotanya. Dari segi pengetahuan, mereka sangat mengetahui dan memahami ideologi-ideologi yang dimiliki punk secara umum. Dari segi sikap, mereka menghayati dan menilai bahwa tidak semua ideologi dapat diterima, akan tetapi juga memikirkan kemampuannya di dalam menerapkan ideologi tersebut.

(8)

4) Penelitian selanjutnya berjudul Busana dalam lingkup kelompok punk, reggae dan black metal di Surakarta, skripsi oleh Yudhistira Ardi Nugroho. Dalam penelitian ini objek yang diteliti adalah pengembangan busana kelompok budaya “Punk”, “Reggae” dan “Blackmetal” di Surakarta. Selain memperlihatkan aspek historis penciptaan busana penelitian ini menekankan pada aspek-aspek simbolis dan filosofis yang dikandung dalam perwujudan busananya. Berdasarkan wujudnya busana kelompok budaya kawula muda “Punk”, “Reggae” dan “Blackmetal” diciptakan atas dasar konsep ‘anti kemapanan’

seperti latar belakang munculnya kelompok budaya “Punk” yang muncul sebagai bentuk melawan arus kemapanan menurut faham kapitalisme. Konsep ‘anti

kemapanan’ melahirkan tata busana yang jauh dari estetis di mata masyarakat

awam. Meskipun secara tampilan visual tata busana tidak estetis namun telah terbukti fashion “Punk”, “Reggae” dan “Blackmetal” telah menjadi bagian dari kehidupan kawula muda. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka data yang diperoleh diolah dan dianalisis melalui cara kualitatif.

(9)

rambut gimbal adalah penyatuan dengan alam dan keyakinan dalam ajaran “rastafara“. Sementara dalam busana “Blackmetal” seperti setan menjadi pesan

bahwa manusia bisa tidak ada bedanya dengan setan. Pakaian serba hitam dan lambang-lambang setan yang dikenakan menjadi peringatan bagi manusia terhadap kematian dan kegelapan (http://www.eprints.uns.ac.id).

5) Penelitian berjudul Tanggapan Masyarakat terhadap Perilaku Budaya Anak Punk di Kota Medan, skripsi oleh Fransiskus B.Marbun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan masyarakat Lingkungan II Kelurahan Sei Kambing C II – Medan Helvetia, terhadap perilaku budaya anak punk di Kelurahan tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komunikasi, komunikasi antar budaya, dan perilaku budaya. Metode penelitian ini adalah kuantitatif dengan menggunakan penyebaran kuesioner kepada sejumlah responden sebanyak 72 orang. Jumlah sampel didapat dengan menggunakan rumus Arikunto, dengan cara mengambil 20% dari total populasi sebanyak 362 orang.

(10)

yang menyimpang dan masih menganggap bahwa budaya yang diadopsi oleh anak punk tersebut adalah hal yang sangat berbeda dengan budaya yang ada pada masyarakat Indonesia pada umumnya (Fransiskus B. Marbun, 2012: 2-5).

2.3. Komunikasi Antarpribadi

2.3. Definisi Komunikasi Antarpribadi

Para ahli teori komunikasi mendefinisikan komunikasi antarpribadi secara berbeda-beda (Bochner,1978;Cappella, 1987;Miller, 1990) (dalam Devito, 2011: 252) ada tiga definisi pendekatan utama yaitu :

A.Definisi Berdasarkan Komponen (Componential)

Definisi berdasarkan komponen menjelaskan komunikasi antarpribadi dengan mengamati komponen-komponen utamanya, dalam hal ini penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dengan peluang untuk memberikan umpan balik segera.

B.Definisi Berdasarkan Hubungan Diadik (Relational dyadic)

Dalam definisi berdasarkan hubungan, kita mendefinisikan komunikasi antar pribadi sebagai komunikasi yang berlangsung di antara dua orang yang mempunyai hubungan yang mantap dan jelas. Jadi misalnya, komunikasi antarpribadi meliputi komunikasi yang terjadi antara pramuniaga dan pelanggan, anak dan ayah, dua orang dalam suatu wawancara, dan sebagainya. Dengan definisi ini hampir tidak mungkin ada komunikasi diadik (dua orang) yang bukan komunikasi antarpribadi. Tidaklah mengherankan, definisi ini juga disebut sebagai definisi diadik. Hampir tidak terhindarkan, selalu ada hubungan antara dua orang. Bahkan seseorang asing di sebuah kota yang menanyakan arah jalan ke seseorang penduduk mempunyai hubungan yang jelas dengan penduduk itu segera setelah disampaikan. Ada kalanya definisi hubungan ini diperluas sehingga mencakup juga sekelompok kecil orang, seperti anggota keluarga atau kelompok yang terdiri atas 3 atau empat orang.

C. Definisi Berdasarkan Pengembangan (Developmental)

(11)

2.3.2. Fungsi Komunikasi Antarpribadi

Menurut Miller dan Steinberg, fungsi adalah sebagai tujuan di mana komunikasi digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi utama komunikasi ialah mengendalikan lingkungan guna memperoleh imbalan-imbalan tertentu berupa fisik, ekonomi dan sosial. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa komunikasi insani atau human communication baik yang non-antarpribadi maupun antarpribadi yang antar pribadi semuanya mengenai pengendalian lingkungan guna mendapatkan imbalan seperti dalam bentuk fisik, ekonomi, dan sosial. Keberhasilan yang relatif dalam melakukan pengendalian lingkungan melalui komunikasi menambah kemungkinan menjadi bahagia, kehidupan pribadi yang produktif. Kegagalan relatif mengarah kepada ketidakbahagiaan akhirnya bisa terjadi krisis identitas diri (Budyatna, 2011: 27).

(12)

terima kasih kepada pihak lain. Rasa puas kalau kita dapat menolong orang dalam kesusahan sebagai imbalan dalam bentuk sosial.

Kita dapat membedakan pengendalikan lingkungan dalam dua tingkatan, yaitu:

1) Hasil yang diperoleh sesuai dengan apa yang diinginkan yang dinamakan compliance.

2) Hasil yang diperoleh mencerminkan adanya kompromi dari keinginan semula bagi pihak-pihak yang terlibat, yang dinamakan penyelesaian konflik atau conflict resolution (Budyatna, 2011: 28).

2.3.3. Ciri-ciri Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi juga memiliki ciri-ciri yang dapat membedakan komunikasi antarpribadi dengan model komunikasi lainnya, ada enam karakteristik komunikasi antarpribadi menurut Judy C. Pearson, yaitu:

1) Komunikasi antarpribadi dimulai dengan diri pribadi (self). Berbagai persepsi komunikasi yang menyangkut pengamatan dan pemahaman berawal dari diri kita, artinya dibatasi oleh siapa diri kita dan bagaimana pengalaman kita.

2) Komunikasi antarpribadi bersifat transaksional. Anggapan ini mengacu pada tindakan pihak-pihak yang berkomunikasi secara serempak menyampaikan dan menerima pesan.

3) Komunikasi antarpribadi mencakup aspek-aspek isi pesan dan hubungan antarpribadi. Maksudnya komunikasi antarpribadi tidak hanya berkenaan berkomunikasi dan hubungan kita dengan partner tersebut.

4) Komunikasi antar pribadi mensyaratkan adanya kedekatan fisik antara pihak-pihak yang berkomunikasi.

5) Komunikasi antarpribadi melibatkan pihak-pihak yang saling tergantung satu sama lain (interdependen) dengan isi pesan yang dipertukarkan, tetapi juga melibatkan partner dalam proses komunikasi.

(13)

Menurut Devito ada 5 ciri-ciri komunikasi antarpribadi yang umum yaitu sebagai berikut:

1) Keterbukaan (Openess)

Komunikator dan komunikan saling mengungkapkan ide atau gagasan bahkan permasalahan secara bebas dan terbuka tanpa ada rasa malu. Keduanya saling mengerti dan memahami pribadi masing-masing.

2) Empati (Emphaty)

Komunikator dan komunikan merasakan situasi dan kondisi yang dialami mereka tanpa berpura-pura dan keduanya menanggapi apa-apa saja yang dikomunikasikan dengan penuh perhatian. Empati merupakan kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya kepada peranan orang lain. Apabila komunikator atau komunikan mempunyai kemampuan untuk melakukan empati satu sama lain, kemungkinan besar akan terjadi komunikasi yang efektif.

3) Dukungan (Supportiveness)

Setiap pendapat atau ide serta gagasan yang disampaikan akan mendapatkan dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi. Dukungan membantu seseseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang diharapkan.

4) Rasa Positif (Possitivenes)

Apabila pembicaraan antara komunikator dan komunikan mendapat tanggapan positif dari kedua belah pihak, maka percakapan selanjutnya akan lebih mudah dan lancar. Rasa positif menjadikan orang-orang yang berkomunikasi tidak berprasangka atau curiga yang dapat mengganggu jalinan komunikasi.

5) Kesamaan (Equality)

(14)

2.3.4. Proses Komunikasi Antarpribadi

Berkomunikasi secara efektif memiliki arti bahwa komunikator dan komunikan memiliki pengertian yang sama tentang isi suatu pesan. Komunikasi antarpribadi dikatakan efektif apabila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan dan dalam proses komunikasi antarpribadi tersebut tercipta sebuah kebersamaan dalam makna yang secara langsung hasilnya dapat diperoleh, jika peserta komunikasi cepat tanggap dan paham terhadap setiap pesan yang dipertukarkan. Selain itu, Menurut Steward L. Tubs dan Sylvia Moss (dalam Rakhmat, 2005: 133) menambahkan bahwa tanda-tanda komunikasi yang efektif setidaknya menimbulkan hal sebagai berikut:

1) Saling pengertian

2) Memberikan kesenangan 3) Mempengaruhi sikap

(15)

1) Lambang Verbal

Lambang verbal ini biasanya dalam bentuk bahasa, oleh karena itu, dengan bahasa seorang komunikator dapat mengunggkapkan pikirannya mengenai hal atau peristiwa, baik yang kongkrit maupun yang abstrak yang terjadi pada masa lalu, masa kini dan masa depan kepada komunikannya.

2) Lambang Non Verbal

Lambang Non Verbal adalah lambang yang dipergunakan dalam komunikasi yang berbentuk isyarat dengan menggunakan anggota tubuh seperti kepala, mata, jari dan lainnya.

(16)

2.3.5. Sifat Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi sama halnya dengan ilmu-ilmu lain yang pasti memiliki sifatnya tersendiri sehingga menjadi suatu ciri khas pada ilmu tersebut. Beberapa sifat yang dapat menunjukan komunikasi antara dua orang, yang mengarah pada komunikasi antarpribadi yaitu didalamnya melibatkan perilaku verbal maupun nonverbal, yang dapat menunjukkan seberapa jauh hubungan antara pihak yang terlibat di dalamnya.

Berikut adalah beberapa sifat yang dimiliki oleh komunikasi antarpribadi: 1. Komunikasi antarpribadi melibatkan perilaku yang spontan, perilaku ini

timbul karena kekuasaan emosi yang bebas dari campur tangan kognisi. 2. Komunikasi antarpribadi harus menghasilkan umpan balik agar mempunyai interaksi dan koherensi, artinya suatu komunikasi antarpribadi harus ditandai dengan adanya umpan balik serta adanya interaksi yang melibatkan suatu perubahan di dalam sikap, perasaan, perilaku dan pendapat tertentu.

3. Komunikasi antarpribadi biasanya bersifat intrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik merupakan suatu standar perilaku yang dikembangkan oleh seseorang sebagai panduan melaksanakan komunikasi, sedangkan ekstrinsik yaitu aturan lain yang ditimbulkan karena pengaruh kondisi sehingga komunikasi antar manusia harus diperbaiki atau malah harus berakhir.

4. Komunikasi antarpribadi menunjukan adanya suatu tindakan. Sifat yang dimaksud adalah suatu hubungan sebab akibat yang dilandasi adanya tindakan bersama sehingga menghasilkan proses komunikasi yang baik. 5. Komunikasi antarpribadi menunjukkan adanya suatu tindakan. Sifat yang

(17)

2.3.6. Hubungan Antarpribadi

Hubungan antar pribadi dapat di identifikasikan dua karakteristik penting yang pertama hubungan antar pribadi berlangsung melalui berapa tahap, mulai dari tahap interaksi awal sampai ke pemutusan (dissolution). Kedua hubungan antarpribadi berbeda-beda dalam bentuk hal keluasan (breadth) dan kedalamannya (depth). Kebanyakan hubungan, mungkin semua, berkembang melalui tahap-tahap. Ada lima model tahap dalam hubungan antar pribadi yaitu kontak, keterlibatan, keakraban, perusakan, dan pemutusan. Tahap-tahap ini tidak mengevaluasi atau menguraikan bagaimana seharusnya hubungan itu berlangsung (Devito, 2011: 254-255):

1.Kontak

Pada tahap pertama kita membuat kontak. Ada beberapa macam persepsi alat indra yaitu mata, hidung, telinga, lidah dan kulit. Pada tahap inilah penampilann fisik begitu penting, karena dimensi fisik paling terbuka untuk diamati secara mudah. Meskipun demikian, kualitas-kualitas lain seperti sikap bersahabat, kehangatan, keterbukaan dan dinamis juga terungkap pada tahap ini. 2.Keterlibatan

Tahap keterlibatan adalah tahap pengenalan lebih jauh, ketika kita mengikatkan diri kita untuk lebih mengenal orang lain dan juga mengungkapkan diri kita. Jika ini adalah hubungan yang bersifat romantik, mungkin anda melakukan kencan pada tahap ini. Jika ini merupakan hubungan persahabatan, anda mungkin melakukan sesuatu yang menjadi minat bersama seperti ke bioskop, atau pergi ke pertandingan olahraga bersama-sama.

3.Keakraban

Pada tahap keakraban, maka ada ikatan diri yaitu membuatnya hubungan primer, di mana orang ini akan menjadi sahabat yang baik atau menjadi kekasih. Komitmen ini dapat mempunyai berbagai bentuk; perkawinan, membantu orang itu, atau mengungkapkan rahasia terbesar anda. Tahap ini hanya disediakan untuk sedikit orang saja, kadang-kadang hanya satu, dan kadang-kadang dua, tiga atau empat orang saja. Jarang sekali orang mempunyai lebih dari empat orang sahabat akrab, kecuali dalam keluarga.

4.Perusakan

Dua tahap berikutnya merupakan penurunan hubungan, ketika ikatan di antara kedua belah pihak melemah. Pada tahap perusakan mulai merasa bahwa hubungan tidak sepenting dan tidak seperti yang dipikirkan.

5.Pemutusan

(18)

Aplikasi dan implikasi dari hubungan antar pribadi (dalam Littlejhon, 2011: 312) diantaranya adalah:

1.Hubungan terbentuk, terjaga, dan berubah melalui komunikasi

Dalam interaksi maju mundur dari sebuah percakapan, banyak hal yang dan dapat diketahui dari makna gerak tubuh, mendefinisikan objek, menciptakan konotasi baru untuk kata-kata, mencapai tujuan dan mengubah gambar diri. Akan tetapi jika terlalu sering berbicara dengan orang lain, akan menciptakan sesuatu yang lain (sebuah hubungan). Hal ini dapat berupa pertemanan, hubungan antara rekan kerja, pernikahan, hubungan antara tua anak, hubungan dengan pelanggan, hubungan antar tetangga, atau sejumlah hubungan lain. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa setiap hubungan dibentuk oleh pelaku percakapan dalam sebuah percakapan. Hubungan tidak terjadi begitu saja, hubungan diciptakan dan dijaga melalui komunikasi.

2. Hubungan adalah sesuatu yang teratur

(19)

Koerner dan Fitzpatrick (dalam Littlejhon, 2011: 316) telah menunjukkan bahwa keluarga-keluarga pada akhirnya cenderung terbagi beberapa tipe. Beberapa tipe ini seperti keluarga protektif sangat stabil dan saling melengkapi dalam pola hubungan, sedangkan keluarga pluralistis akan cukup dinamis.

Ada dua pola dasar organisasional yang biasanya ditemukan dalam hubungan, yaitu simetri dan pelengkapnya. Setiap bentuk dapat bersifat fungsional dan nyaman atau bersifat merusak dan tidak nyaman, tetapi bagaimana pola-pola dalam sebuah hubungan saling merespon akan selalu mengatur interaksi tersebut. Bahkan, sebuah perebutan kekuasaan biasanya tidak nyaman adalah sebuah cara untuk menyusun sebuah hubungan. Walaupun sebuah hubungan selalu memiliki susunan, susunan tersebut tidak selalu diatur dengan cara yang sama dan susunan tersbut pasti akan berubah. Fitzpatrick dan koleganya lebih melihat pada susunan hubungan yang stabil, sedangkan Baxter dan koleganya melihat pada sifat hubungan yang dinamis dan berorientasi pada proses (Littlejhon,2011:317).

3.Hubungan bersifat dinamis

(20)

pandangan yang umum tentang bagaimana berinteraksi dan berhubungan. Dalam hal ini, sebagian besar aturan dibagi dan percakapannya pertalian, tidak seperti sebuah paduan suara. Kadang, mengatur pembicaraan adalah hal yang sulit karena adanya ketidakcocokan tradisi budaya yang sangat berbeda, pandangan politik yang berbeda yang harus didengar, dan suara-suara yang tidak tercampur dengan baik.

2.4. Teori Pengembangan Hubungan

(21)

Setiap hubungan bersifat unik beegitu juga masing-masing dari kita membina hubungan karena alasan yang unik. Meskipun demikian, dalam keragaman ini, ada beberapa prinsip umum yang berlaku. Pertama, kita membahas beberapa alasan umum untuk mengembangkan sebagian besar hubungan. Kedua, kita membahas proses memprakarsai hubungan dan beberapa saran non-verbal serta verbal untuk membuat jumpa pertama yang lebih efektif.

Self Disclosure atau proses pengungkapan diri yang tealah lama menjadi fokus penelitian dari teori komunikasi mengenai hubungan, merupakan proses mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang lain dan sebaliknya. Sidney Jourard menandai sehat atau tidaknya komunikasi antar pribadi dengan melihat keterbukaan yang terjadi dalam komunikasi. Mengungkapkan yang sebenarnya mengenai diri kita kepada orang lain yang juga bersedia mengungkapkan yang sebenarnya tentang dirinya, dipandang sebagai ukuran dari hubungan yang ideal (Senjaya, 2007: 244).

Setelah mengurangi penderitaan umum untuk pengembangan hubungan yaitu mengurangi kesepian, mendapatkan rangsangan, mendapatkan pengetahuan diri, dan memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan penderitaan. Alasan-alasan untuk pengembangan hubungan (dalam Devito, 2011: 268):

1. Mengurangi Kesepian

(22)

fisik, adakalanya secara emosional, dan lebih sering lagi kedua-duanya (Peplau dan Periman, 1982; Rubenstein dan Shever, 1982).

Sementara orang, dalam upaya, mengurangi kesepian, berusaha melingkungi dirinya dengan banyak kenalan. Kadang-kadang ini membantu, tetapi sering kali malah membuat rasa sepi makin parah. Satu hubungan yang dekat biasanya malah lebih baik. Kebanyakan dari kita mngetahui hal ini, dan itulah sebabnya kita berusaha membina hubungan antar pribadi (Perlman dan Peplau, 1981).

2. Mendapatkan Rangsangan (Stimulasi).

(23)

3. Mendapatkan Pengetahuan Diri (Self-Knowledge)

Sebagian besar melalui kontak dengan sesama manusia ialah kita belajar mengenai diri kita, belajar mengenai diri kita sendiri. Dalam diskusi tentang kesadaran diri telah dijelaskan bahwa kita melihat diri sendiri sebagian melalui mata orang lain. Jika kawan-kawan kita melihat kita sebagai orang yang hangat dan pemuarah, misalnya barang kali kita juga akan memandang diri sendiri sebagai hangat dan pemurah. Persepsi diri kita sangat dipengaruhi oleh apa yang kita yakini dan kita pikirkan orang tentang diri kita.

4. Memaksimalkan Kesenangan, Meminimalkan Penderitaan

(24)

2.4.1. Teori Penetrasi Sosial

Teori ini merupakan bagian teori dari pengembangan hubungan atau relation ship development theory. Teori penetrasi sosial dikembangkan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor. Menurut kedua pakar ini komunikasi adalah penting dalam mengembangkan hubungan pribadi. Teori penetrasi sosial menfokuskan diri pada pengembangan hubungan. Hal ini terutama berkaitan dengan perilaku antarpribadi yang nyata dalam interaksi sosial dan proses-proses kognitif internal yang mendahului, menyertai dan mengikuti pembentukan hubungan (Budyatna, 2011: 227).

Teori Penetrasi Sosial dipopulerkan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor. Teori penetrasi sosial secara umum membahas tentang bagaimana proses komunikasi interpersonal. Di sini dijelaskan bagaimana dalam proses berhubungan dengan orang lain, terjadi berbagai proses gradual, di mana terjadi semacam proses adaptasi di antara keduanya, atau dalam bahasa Altman dan Taylor: penetrasi sosial. Altman dan Taylor (dalam Griffin, 2003: 132) membahas tentang bagaimana perkembangan kedekatan dalam suatu hubungan. Menurut mereka, pada dasarnya kita akan mampu untuk berdekatan dengan seseorang yang lain sejauh kita mampu melalui proses “gradual and orderly fashion from superficial to intimate levels of exchange as a function of both immediate and forecast outcomes.”

(25)

Lapisan yang paling dalam adalah wilayah private, di mana di dalamnya terdapat nilai-nilai, konsep diri, konflik-konflik yang belum terselesaikan, emosi yang terpendam, dan semacamnya. Lapisan ini tidak terlihat oleh dunia luar, oleh siapapun, bahkan dari kekasih, orang tua, atau orang terdekat manapun. Akan tetapi lapisan ini adalah yang paling berdampak atau paling berperan dalam kehidupan seseorang.

Kedekatan kita terhadap orang lain, menurut Altman dan Taylor, dapat dilihat dari sejauh mana penetrasi kita terhadap lapisan-lapisan kepribadian tadi. Dengan membiarkan orang lain melakukan penetrasi terhadap lapisan kepribadian yang kita miliki artinya kita membiarkan orang tersebut untuk semakin dekat dengan kita. Taraf kedekatan hubungan seseorang dapat dilihat dari sini.

Dalam perspektif teori penetrasi sosial, Altman dan Taylor menjelaskan beberapa penjabaran sebagai berikut (Griffin, 2003: 133):

1. Kita lebih sering dan lebih cepat akrab dalam hal pertukaran pada lapisan terluar dari diri kita. Kita lebih mudah membicarakan atau ngobrol tentang hal-hal yang kurang penting dalam diri kita kepada orang lain, daripada membicarakan tentang hal-hal yang lebih bersifat pribadi dan personal. Semakin ke dalam kita berupaya melakukan penetrasi, maka lapisan kepribadian yang kita hadapi juga akan semakin tebal dan semakin sulit untuk ditembus. Semakin mencoba akrab ke dalam wilayah yang lebih pribadi, maka akan semakin sulit pula.

(26)

3. Penetrasi akan cepat di awal akan tetapi akan semakin berkurang ketika semakin masuk ke dalam lapisan yang makin dalam. Tidak ada istilah “langsung akrab”. Keakraban itu semuanya membutuhkan suatu proses yang panjang biasanya banyak terjadi dalam hubungan interpersonal yang mudah runtuh sebelum mencapai tahapan yang stabil. Pada dasarnya akan ada banyak faktor yang menyebabkan kestabilan suatu hubungan tersebut mudah runtuh, mudah goyah. Akan tetapi jika ternyata mampu untuk melewati tahapan ini, biasanya hubungan tersebut akan lebih stabil, lebih bermakna dan lebih bertahan lama. 4. Penetrasi adalah proses yang bertahap dengan semakin memudar. Maksudnya adalah ketika suatu hubungan tidak berjalan lancar, maka keduanya akan berusaha semakin menjauh. Akan tetapi proses ini tidak bersifat eksplosif atau meledak secara sekaligus, tapi lebih bersifat bertahap. Semuanya bertahap dan semakin memudar.

(27)

Keputusan tentang seberapa dekat dalam suatu hubungan menurut teori penetrasi sosial ditentukan oleh prinsip untung-rugi (reward-costs analysis). Setelah perkenalan dengan seseorang pada prinsipnya kita menghitung faktor untung-rugi dalam hubungan kita dengan orang tersebut, atau disebut dengan indeks kepuasan dalam hubungan (index of relational satisfaction). Begitu juga yang orang lain tersebut terapkan ketika berhubungan dengan kita. Jika hubungan tersebut sama-sama menguntungkan maka kemungkinan untuk berlanjut akan lebih besar, dan proses penetrasi sosial akan terus berkelanjutan.

(28)

Masa-masa awal hubungan kita dengan seseorang biasanya kita melihat penampilan fisik atau tampilan luar dari orang tersebut, kesamaan latar belakang, dan banyaknya kesamaan atau ketidaksamaan terhadap hal-hal yang disukai atau disenangi. Hal ini biasanya juga dianggap sebagai suatu “keuntungan”. Akan tetapi dalam suatu hubungan yang sudah sangat akrab seringkali kita bahkan sudah tidak mempermasalahkan mengenai beberapa perbedaan di antara kedua belah pihak dan kita cenderung menghargai masing-masing perbedaan tersebut. Karena kalau kita sudah melihat bahwa ada banyak keuntungan yang kita dapatkan daripada kerugian dalam suatu hubungan, maka kita biasanya ingin mengetahui lebih banyak tentang diri orang tersebut.

Teori pertukaran sosial memaparkan (dalam Griffin, 2003: 137-138) kita sebenarnya kesulitan dalam menentukan atau memprediksi keuntungan apa yang akan kita dapatkan dalam suatu hubungan atau relasi dengan orang lain. Karena secara psikologis apa yang dianggap sebagai “keuntungan” tadi berbeda-beda

(29)

Contohnya ketika kita mengobrol dengan kekasih kita melalui telpon. Jika kita biasanya berbincang melalui telpon dengan kekasih kita dalam hitungan waktu satu jam, maka angka satu jam akan menjadi tolok ukur kepuasan kita dalam hubungan tersebut. Jika ternyata kita mengobrol lebih lama dari satu jam, katakanlah satu jam tiga puluh menit maka kita akan menilai hal tersebut lebih dari memuaskan. Akan tetapi begitu pula sebaliknya, jika ternyata kita hanya berbincang kurang dari 1 jam kita cenderung menganggap obrolan kita tersebut kurang memuaskan. Ini memang hanya salah satu faktor saja dalam menilai kepuasan dalam hubungan via telpon tersebut.

Faktor lainnnya yang juga dijadikan pertimbangan adalah nada bicara, intonasi, topik yang dibicarakan, kehangatan bicara dan seterusnya. Selain itu, comparison level kita dalam hal pertemanan, asmara, hubungan keluarga, banyak dipengaruhi oleh bagaimana sejarah hubungan interpersonal kita di masa lalu. Kita menilai nilai suatu hubungan berdasarkan perbandingan dengan pengalaman kita di masa yang lampau. Kita cenderung menyimpan secara baik kenangan kita dalam hubungan interpersonal dengan pihak lain untuk dijadikan semacam perbandingan dalam hubungan interpersonal kita di masa sekarang dan di masa depan. Ini juga tolok ukur yang sangat penting.

(30)

berhubungan dengan orang yang lain?” atau pertanyaan “Kemungkinan terburuk

apa yang akan saya dapatkan jika saya tetap berhubungan dengan orang ini?”.

Semakin menarik kemungkinan yang lain di luar hubungan tersebut maka ketidakstabilan dalam hubungan kita akan semakin besar. Dalam hal ini terkesan teori pertukaran sosial ini lebih mirip dengan kalkulasi ekonomis tentang untung-rugi, memang. Banyak pihak yang menyebutkan teori ini sebagai theory of economic behavior. Tidak seperti comparison level, comparison level of alternatives tidak mengukur tentang kepuasan. Konsep ini tidak menjelaskan mengapa banyak orang yang tetap bertahan dalam suatu hubungan dengan orang yang sering menyiksa dirinya, sering menyakiti.

(31)
(32)

2.5. Teori Identitas Diri

Identitas diri adalah susunan gambaran diri sebagai seseorang. Teori- teori yang berfokus pada pada pelaku komunikasi akan selalu membawa identitas diri ke sejumlah tingkatan, tetapi identitas berada dalam lingkup budaya yang luas dan manusia berbeda dalam menguraikan diri. Misalnya di Afrika, identitas sering kali dipahami sebagai sebuah hasil dari pencarian keseimbangan dalam hidup dan sebagian bergantung pada kekuatan yang didapatkan manusia dari leluhur mereka. Di Asia, identitas sering kali didapatkan bukan melalui usaha perorangan, tetapi melalui kelompok dan timbal balik antar manusia. Dalam budaya Yunani, identitas dipahami sebagai sesuatu yang bersifat pribadi dan seseorang melihat diri bertentangan atau berbeda dengan identitas lain (Little Jhon, 2011: 130).

Michael Hecht (dalam Little Jhon, 2011: 131) teori komunikasi tentang identitas tergabunglah ketiga konteks budaya yaitu individu, komunal dan publik. Menurut Michael Hect identitas merupakan penghubung utama antara individu dan masyarakat merupakan mata rantai yang memperbolehkan huungan ini terjadi. Identitas adalah “kode” yang mendefinisikan seseorang dalam komunitas yang beragam, yang terdiri dari simbol-simbol seperti bentuk pakaian dan kepemilikan, kata-kata seperti deskripsi diri atau benda yang biasanya dikatakan, dan makna antara diri dan orang lain hubungkan terhadap benda-benda tersebut. Hecht memperkenalkan dimensi-dimensi identitas khusus, termasuk perasaan (dimensi afektif), pemikiran (dimensi kognitif), tindakan (dimensi perilaku) dan transenden (spiritual). Karena cakupannya yang luar biasa identitas adalah sumber bagi motivasi dan ekspetasi dalam kehidupan serta memiliki kekuatan yang tetap yaitu abadi. Hal ini tidak berarti bahwa identitas, sesudah dibuat, tidak pernah berubah. Ketika ada substansi dari identitas yang stabil, identitas tidak pernah diperbaiki, tetapi selalu berkembang.

(33)

Hecht menguraikan identitas melebihi pengertian sederhana akan dimensi diri dan dimensi yang digambarkan. Kedua dimensi tersebut berinteraksi dalam rangkaian empat lapisan (LittleJhon, 2011: 132):

1. Personel Layer

Tingkatan pertama yang terdiri dari rasa akan keberadaan diri dalam situasi sosial, dalam situasi tertentu melihat diri dalam kondisi-kondisi tertentu. Identitas tersebut terdiri dari berbagai perasaan serta ide tentang diri sendiri, siapa dan seperti apa diri sebenarnya.

2. Enactment layer

Tingkatan kedua dalam pengetahuan orang lain tentang diri anda berdasarkan pada apa yang dilakukan, apa yang dimiliki dan bagaimana anda bertindak. Penampilan diri adalah simbol-simbol aspek yang lebih mendalam tentang identitas diri serta orang lain akan mendefinisikan dan memahami kita melalui penampilan tersebut.

3. Relational

Tingkatan diri dalam kaitannya dengan individu lain. Identitas dibentuk dalam interaksi kita dengan orang lain. Kita dapat melihat dengan sangat jelas identitas hubungan ketika kita merujuk diri secara spesifik sebagai mitra hubungan, seperti ayah, suami istri, rekan kerja. Perhatikan bahwa identitas kita menjadi terikat kepada peran tertentu yang berhadap-hadapan dengan peran lain. Oleh karena itu, pada tingkatan hubungan, identitas sangat tidak invidualis, tetapi terikat pada hubungan itu sendiri.

4. Communal

(34)

2.5.1. Pengelolahan Identitas

Pengelolahan identitas (dalam Little Jhon, 2011: 294) dikembangkan oleh Tadasu Todd Imahori dan William R.Cupach menunjukkan bagaimana identitas terbentuk, terjaga dan berubah dalam hubungan. Dengan adanya orang-orang yang penting dalam kehidupan, maka akan terus memberikan jawaban yang dapat diterima secara umum untuk pertanyaan, “Siapakah kita dan apa sifat hubungan kita?”

Ketika membentuk identitas sebuah hubungan, perbedaan budaya sebenarnya terlihat jelas dan mereka akan menemukan diri mereka terlibat dalam komunikasi interkultural ketika mereka mempertimbangkan aspek-aspek budaya dari hubungan. Dalam suatu hubungan, hal ini bisa terjadi ketika pasangan harus melewati perbedaan budaya yang menonjol. Di lain waktu, ketentuan budaya tertentu akan mengambil alih mengharuskan adanya komunikasi interkultural, yang terjadi ketika identitas budaya yang umumnya mulai menonjol. Pada kesempatan lain, suatu hubungan juga memerlukan komunikasi interpersonal untuk terlibat dalam masing-masing tiga tipe komunikasi yaitu dengan keluarga, teman dan rekan kerja.

(35)

Ada tiga tahapan dalam pengelolahan identitas yaitu (dalam Little Jhon, 2011: 295-296) :

1. Percobaan

Dalam tahap ini mencoba untuk menghindari non-dukungan dan kebekuan, sementara tetap berusaha mengatur tekanan dalam dialektis diri orang lain dan rupa positif dan negatif. Tahap ini juga mempertaruhkan ancaman muka sebagai bagian alami dari pencarian keseimbangan yang diperlukan jika ingin memiliki hubungan.

2. Kecocokan

Sebuah identitas hubungan tertentu dengan bentuk fitur-fitur budaya secara umum, akan muncul. Di sini dalam hubungan seseorang akan menemuka tingkat kenyamanan dalam diri, berbagai aturan dan simbol serta mengembangkan pemahaman umum tentang yang satu dengan yang lain tentang hubungan itu sendiri. Dengan kata lain, mereka memiliki kebutuhan yang lebih kecil untuk komunikasi interkultural, tetapi menggunakan interaksi interkultural.

3. Tahap Negosiasi Ulang

Dalam tahap ini hubungan mulai melewati berbagai macam masalah identitas ketika masalah tersebut muncul dengan menggunakan sejarah hubungan yang telah dikembangkan. Memiliki identitas yang kuat pada titik ini dan mereka mampu menggunakan pada tingkatan yang lebih tinggi dari waktu-waktu sebelumnya. Dengan kata lain perbedaan diharapkan untuk dilihat sebagai aspek positif dalam hubungan.

2.6. Teori Disonansi Kognitif

(36)

Teori ini telah digeneralisir pada lebih dari seribu penelitian dan mempunyai kemungkinan menjadi bagian yang terintegrasi dari teori psikologi sosial untuk bertahun-tahun. Teori ini banyak mendapat perhatian dari para ahli psikologi sosial. Ahli psikologi sosial umumnya berpendapat bahwa manusia pada dasarnya bersifat konsisten dan orang akan berbuat sesuatu sesuai dengan sikapnya, sedangkan berbagai tindakannya juga akan bersesuaian satu dengan lainnya. Ada kecenderungan pada manusia untuk tidak mengambil sikap-sikap bertentangan satu sama lain dan kecenderungan untuk menghindari tindakan yang tidak sesuai dengan sikapnya.

Teori disonansi kognitif dari Festinger tidak jauh berbeda dari teori-teori konsistensi kognitif lainnya, namun ada dua perbedaan yang penting (Sarwono, 2009: 122):

1. Tujuan teori ini tentang tingkah laku umum, tidak khusus tentang tingkah laku sosial.

2. Pengaruhnya terhadap penelitian-penelitian psikologi sosial jauh lebih menyolok daripada teori-teori konsistensi lainnya.

(37)

Untuk menjelaskan teorinya ini Festinger mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan unsur kognitif adalah setiap pengetahuan, opini atau apa yang dipercayai seseorang mengenai diri sendiri atau mengenai perilakunya. Elemen-elemen kognitif ini berhubungan dengan hal-hal nyata atau pengalaman sehari-hari di lingkungan dan hal-hal yang terdapat dalam psikologis seseorang. Unsur kognitif atau kognisi-kognisi ini umumnya dapat hadir secara damai (konsisten) tapi kadang-kadang terjadi konflik di antara mereka (inkonsistensi). Sewaktu terjadi konflik di antara kognisi-kognisi terjadilah disonansi. Jika seseorang mempunyai informasi atau opini yang tidak menuju ke arah menjadi perilaku, maka informasi atau opini itu akan menimbulkan disonansi dengan perilaku. Apabila disonansi tersebut terjadi, maka orang akan berupaya menguranginya dengan jalan mengubah perilaku, kepercayaan atau opininya (Effendy, 2000: 262).

(38)

Roger Brown mengatakan, dasar dari teori ini mengikuti sebuah prinsip yang cukup sederhana ”Keadaan disonansi kognitif dikatakan sebagai keadaam

ketidaknyaman psikologis atau ketegangan yang memotivasi usaha-usaha untuk mencapai konsonansi”. Disonansi adalah sebutan ketidakseimbangan dan

konsonansi adalah sebutan untuk keseimbangan. Brown menyatakan teori ini memungkinkan dua elemen untuk melihat tiga hubungan yang berbeda satu sama lain. Mungkin saja konsonan (consonant), disonansi (dissonant) atau tidak relevan (irrelevant) (Turner, 2009: 138).

Teori ini memungkinkan adanya dua elemen (Sarwono, 2009: 122) untuk memiliki tiga hubungan yang berbeda satu sama lain, yaitu:

1) Hubungan tidak relevan, yaitu tidak adanya kaitan antara dua elemen kognitif dan tidak saling mempengaruhi.

2) Hubungan yang relevan, yaitu hubungan dua elemen kognitif yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Ada dua hubungan yang relevan yaitu: a) Disonan, yaitu jika terjadi penyangkalan dari satu elemen yang diikuti oleh atau mengikuti suatu elemen yang lain. Misalnya: seseorang yang mengetahui bahwa bila terkena hujan akan basah mengalami disonan ketika pada satu hari ia ternyata mendapati dirinya tidak basah saat terkena hujan. b) Konsonan, terjadi jika dua elemen bersifat relevan dan tidak disonan, dimana diikuti elemen yang selaras. Misalnya: seseorang yang mengetahui bahwa bila terkena hujan akan basah dan memang selalu basah bila terkena hujan.

(39)

2.6.1. Proses Disonansi Kognitif

` Ketika teoretikus disonansi berusaha untuk melakukan prediksi seberapa banyak ketidaknyaman atau disonansi yang dialami seseorang, mereka mengakui adanya konsep tingkat disonansi. Tingkat disonansi (magnitude of dissonance) merujuk kepada jumlah kuantitatif disonansi yang dialami oleh seseorang. Tingkat disonansi akan menentukan tindakan yang akan diambil seseorang dan kognisi yang mungkin digunakan untuk mengurangi disonansi (Turner, 2009: 140). Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi tingkat disonansi yang dirasakan seseorang, antara lain:

1. Kepentingan atau seberapa signifikan suatu masalah, berpengaruh terhadap tingkat disonansi yang dirasakan. Semakin penting unsur kognitif yang terlibat dalam disonansi bagi seseorang semakin besar pula disonansi yang terjadi. Disonansi dan konsonansi dapat melibatkan banyak unsur kognitif sekaligus. Jadi, besarnya disonansi tergantung pula pada penting dan relevansi unsur-unsur yang disonan dan yang konsonan.

2. Rasio disonansi atau jumlah kognisi disonan berbanding dengan jumlah kognisi yang konsonan.

3. Rasionalitas yang digunakan individu untuk menjustifikasi inkonsistensi. Faktor ini merujuk pada alasan yang dikemukan untuk menjelaskan mengapa sebuah inkonsistensi muncul. Makin banyak alasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi kesenjangan yang ada, maka semakin sedikit disonansi yang seseorang rasakan.

(40)

Menurut Festinger disonansi dapat terjadi dari beberapa sumber (Sarwono, 2009: 123-124), yaitu:

1. Inkonsistensi logis, yaitu logika berpikir yang mengingkari logika berpikir lain.

2. Norma dan tata budaya, yaitu bahwa kognisi yang dimiliki seseorang di suatu budaya yang kemungkinan berbeda dengan budaya lain.

3. Opini umum, yaitu disonansi mungkin muncul karena sebuah pendapat yang berbeda dengan yang menjadi pendapat umum.

4. Pengalaman masa lalu, yaitu disonansi akan muncul bila sebuah kognisi tidak konsisten dengan pengalaman masa lalunya.

2.6.2. Konsekuensi-Konsekuensi Disonansi

Pengurangan disonansi dapat dilakukan melalui 3 kemungkinan, yaitu: 1) Mengubah elemen tingkah laku.

Misalnya: seseorang yang akan piknik di luar ruangan, akan tetapi ternyata hujan, ia memilih untuk melakukan pekerjaan di dalam rumah.

2) Mengubah elemen kognitif lingkungan.

Misalnya: seorang perokok berat yang mempercayai bahwa merokok tidak mengganggu kesehatan dan mengetahui orang lain berpendapat berbeda, berusaha mempengaruhi orang lain yang berbeda pendapat tersebut untuk mendukung pendapatnya.

3) Menambah elemen kognitif baru.

(41)

Ketiga cara itulah yang pada akhirnya akan mengubah sikap seseorang ke arah yang lebih sesuai dengan yang dikehendaki oleh subyek. Kondisi ini terjadi hanya bila kondisi awal memang disonan. Untuk mengubah sikap pada orang yang sudah stabil (konsonan), maka langkah awalnya adalah membuat kondisi menjadi disonan terlebih dahulu (Faturochman, 2006: 49).

2.6.3. Penghindaran Disonansi

Adanya disonansi selalu menimbulkan dorongan untuk menghindari disonansi tersebut. Dalam hubungan ini caranya adalah dengan menambah informasi baru yang diharapkan dapat menambah dukungan terhadap pendapat orang yang bersangkutan atau menambah perbendaharaan elemen kognitif dalam diri orang yang bersangkutan. Penambahan elemen baru ini harus sangat selektif, yaitu hanya mencarinya pada orang-orang yang diperkirakan dapat memberi dukungan dan menghindari orang-orang yang mempunyai pandangan berbeda.

(42)

1) Terpaan Selektif (Selective Exposure)

Mencari informasi yang konsisten yang belum ada, membantu untuk mengurangi disonansi. Disonansi kognitif memprediksikan bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi dan mencari informasi yang konsisten dengan sikap dan prilaku mereka.

2) Pemilihan Perhatian (Selective Attention)

Merujuk pada melihat informasi secara konsisten begitu konsisten itu ada. Orang memperhatikan informasi dalam lingkungannya yang sesuai dengan sikap dan keyakinannya sementara tidak menghiraukan informasi yang tidak konsisten. 3) Interpretasi Selektif (Selective Interpretation)

Melibatkan penginterpretasian informasi yang ambigu sehingga menjadi konsisten. Dengan menggunakan interpretasi selektif, kebanyakan orang menginterpretasikan sikap teman dekatnya sesuai dengan sikap mereka sendiri daripada yang sebenarnya terjadi.

4) Retensi Selektif (Selective Retention)

Merujuk pada mengingat dan mempelajari informasi yang konsisten dengan kemampuannya yang lebih besar dibandingkan yang kita akan lakukan terhadap informasi yang konsisten dengan kemampuan yang lebih besar dibandingkan yang kita lakukan terhadap informasi yang tidak konsisten.

2.7. Teori Interaksi Simbolik

(43)

mereka, makna ini berasal dari interaksi sosial dengan seseorang teman dan makna ini dimodifikasi melalui proses penafsiran (Budyatna, 2011: 192).

Barbara Ballis Lal meringkaskan dasar-dasar pemikiran interaksi simolik (dalam Littlejohn, 2011: 231):

1) Manusia membuat keputusan dan bertindak sesuai dengan pemahaman subjektif mereka terhadap situasi ketika mereka menemukan diri mereka. 2) Kehidupan sosial terdiri dari proses-proses interaksi daripada susunan,

sehingga terus berubah

3) Manusia memahami pengalaman meraka melalui makna-makna yang ditemukan dalam simbol-simbol dari kelompok utama mereka dan bahasa merupakan bagian penting dalam kehidupan sosial.

4) Dunia terbentuk dari objek-objek sosial yang memiliki nama dan makna yang ditentukan secara sosial.

5) Tindakan manusia didasarkan pada penafsiran mereka, di mana objek dan tindakan yang berhubungan dalam situasi yang dipertimbangkan dan diartikan.

6) Diri seseorang merupakan sebuah objek yang signifikan dan layaknya semua objek sosial, dikenalkan melalui interaksi sosial dengan orang lain.

Ada tiga konsep utama dalam teori Mead yaitu masyarakat, diri sendiri dan pikiran. Kategori ini merupakan aspek-aspek yang berbeda dari proses umum yang sama disebut tindak sosial, yang merupakan sebuah kesatuan tingkah laku yang tidak dapat dianalisis ke dalam bagian-bagian tertentu. Sebuah tindakan dapat saja singkat dan sederhana, seperti mencoba sepatu atau dapat saja panjang dan rumit, seperti pemenuhan rencana kehidupan. Tindakan saling berhubungan dan dibangun seumur hidup. Tindakan dimulai dengan sebuah dorongan, repetisi mental, pertimbangan alternatif dan penyempurnaan (Littlejohn, 2011: 232).

(44)

“realitas di mata pemiliknya”, dan “jika orang mendefinisikan situasi itu nyata, maka nyatalah situasi itu dalam konsekuensinya”, menjadi paling relevan. Meski

agak berlebihan, nama IS itu jelas menunjukkan jenis-jenis aktifitas manusia yang unsur-unsurnya memandang penting untuk memusatkan perhatian dalam rangka memahami kehidupan sosial (Jones, 2002: 142).

Interaksi simbolik, menurut Herbert Mead Blumer, merujuk pada “karakter interaksi khusus yang berlangsung antar manusia.”. Oleh karenanya,

interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain. Dalam konteks itu, menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi di mana dan ke arah mana tindakannya.

Teori interaksionisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya “proses mental” atau proses berpikir bagi manusia sebelum mereka bertindak.

(45)

Teori interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis sosial manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Teori ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Dalam pandangan perspektif ini, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakan kehidupan kelompok.

Menurut teoritisi perspektif ini, kehidupan sosial adalah “interaksi

(46)

2.7.1. Prinsip-Prinsip Dasar Interaksionalisme Simbolik

Tidak mudah menggolongkan pemikiran ke dalam teori dalam artian umum karena seperti dikatakan Paul Rock, pemikiran ini “sengaja dibangun secara samar” dan merupakan “resistensi terhadap sistemasisasi”. Ada beberapa perbedaan signifikan dalam interaksionalisme simbolik. Menurut Dauglas Goodman yang mengutip dari beberapa tokoh interaksionalisme simbolik Blumer, Meltzer, Rose, dan Snow telah mencoba menghitung jumlah prinsip dasar teori ini, yang meliputi (Ritzer, 2004: 68):

1. Manusia tidak seperti binatang, manusia dibekali kemampuan untuk berpikir.

2. Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial.

3. Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka yang khusus itu.

4. Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus dan berinteraksi.

5. Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi. 6. Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian

karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif mereka, dan kemudian memilih satu di antara serangkaian peluang tindakan itu.

7. Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat.

(47)

berfikir dikembangkan dan diperlihatkan. Blummer (mengikuti Mead) membedakan dua bentuk interaksi yang relevan dikemukakan di sini, pertama: interaksi nonsimbolik, percakapan atau gerak isyarat menurut Mead tidak melibatkan pemikiran. Kedua: interaksi simbolik memerlukan proses mental. Karya Erving Goffman, karya terpenting tentang diri dalam interaksionisme simbolik adalah Presentation of self in everyday life oleh Evring Goffman, konsep Goffman sangat dipengaruhi oleh pemikiran Mead, khususnya dalam diskusinya mengenai ketegangan antara diri spontan, “I” dan “me” diri yang di atasi oleh

kehidupan sosial. Ketegangan ini tercermin dalam pemikiran Goffman tentang apa yang disebutnya” ketaksesuaian antara diri manusiawi kita dan diri kita sebagai

hasil proses sosialisasi. Goffman memusatkan perhatian pada pelaksanaan audiensi sosial dengan diri sendiri ini. Dalam hal ini Goffman membangun konsep Dramartugi atau pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukan drama, seperti yang ditampilkan di atas pentas.

2.8. Teori Dramaturgi

(48)

interaksi simbolik, Goffman (sebagaimana dikatakan Mulyana, 2005: 84) sering dianggap sebagai “penafsir teori diri” dari Mead dengan menekankan sifat

simbolik interaksi manusia, pertukaran makna di antara orang-orang melalui simbol. Varian lain dari teori interaksi simbolik selain yang dimunculkan George Herbert Mead adalah teori dramaturgis yang dipelopori Erving Goffman.

Dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Goffman membagi kondisi sebagai bagian depan (front) dan bagian belakang (back). Front mencakup setting, personal front (penampilan diri), dan expressive equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri). Adapun bagian belakang adalah the self, yaitu semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan acting atau penampilan diri yang ada pada front.

Goffman menggambarkan peranan orang-orang yang berinteraksi dan berhubungan dengan realitas sosial yang dihadapinya melalui panggung sandiwara dengan menggunakan skrip (jalan cerita) yang telah ditentukan. Menurut Erving Gofffman, di dalam situasi sosial, seluruh aktivitas dari partisipan tertentu adalah suatu penampilan (performance), sedangkan orang lain yang terlibat dalam situasi sosial disebut sebagai pengamat atau partisipan lainnya (Supardan, 2007:158).

(49)

berhasil. Hasilnya ialah bahwa di dalam suasana sehari-hari, diri yang kukuh selaras dengan para pemain sandiwara, dan ia “tampak” berasal dari sang pemain

sandiwara.

Goffman menerima bahwa ketika para individu berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu pengertian diri tertentu yang akan diterima oleh orang lain. Akan tetapi, bahkan selagi mereka menyajikan diri itu, para aktor sadar bahwa para anggota audiens dapat mengganggu sandiwara mereka. Oleh karena alasan-alasan itu, para aktor menyesuaikan diri dengan kebutuhan untuk mengendalikan audiens khususnya unsur-unsurnya yang dapat menimbulkan kekacauan. Para aktor berharap bahwa pengertian diri yang mereka sajikan kepada audiens akan cukup kuat bagi audiens untuk mendefinisikan para aktor seperti yang diinginkan para aktor itu. Para aktor juga berharap bahwa hal itu akan menyebabkan audiens bertindak dengan sengaja seperti yang diinginkan para aktor. Goffman mencirikan perhatian sentral tersebut sebagai “manajemen kesan”. Hal itu meliputi teknik

-teknik yang digunakan para aktor untuk memelihara kesan-kesan tertentu dalam menghadapi masalah-masalah yang mungkin mereka jumpai dan metode-metode yang mereka gunakan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, mengikuti analogi teatrikal demikian, Goffman berbicara tentang (dalam Ritzer, 2012: 637):

1. Panggung Depan (Front Stage)

(50)

Di dalam panggung depan, Goffman membedakan lebih lanjut bagian depan-latar (setting front) dan bagan depan-pribadi (personal). Latar mengacu kepada tempat atau situasi (scane) fisik yang biasanya harus ada jika para aktor hendak bersandiwara. Tanpa itu para aktor biasanya tidak dapat melakukan sandiwara. Contohnya, seorang ahli bedah pada umumnya memerlukan suatu ruang operasi, seorang supir taksi memerlukan taksi, dan pemain ski es memerlukan es. Bagian depan-pribadi terdiri dari item-item perlengkapan ekspresif yang diidentifikasi audiens dengan para pemain sandiwara dan mengharapkan mereka membawa hal-hal itu kedalam latar. Sebagai contoh, seorang ahli bedah diharapkan berpakaian jubah medis, mempunyai peralatan-peralatan tertentu, dan seterusnya.

Goffman kemudian memecah-mecah bagian depan pribadi menjadi penampilan dan sikap. Penampilanmeliputi item-item yang menceritakan kepada kita status sosial pemain sandiwara itu, misalnya jubah medis sang ahli bedah. Sikapmenceritakan kepada audiens jenis peran yang diharapkan dimainkan pemain sandiwara di dalam situasi itu, contohnya penggunaan kebiasaan fisik, dan kelakuan.

Goffman mendekati bagian depan dan aspek-aspek lain sistemnya sebagai seorang interaksionis simbolik, dia benar-benar mendiskusikan karakter strukturalnya. Contohnya, dia beargumen bahwa bagian depan cenderung menjadi terlembaga, dan begitu juga “representasi kolektif” muncul di sekitar apa yang sedang berlangsung di dalam suatu bagian depan tertentu. Sering kali ketika para aktor mengambil peran-peran yang sudah mapan, mereka menemukan bagian depan tertentu sudah mapan untuk sandiwara demikian. Hasilnya, Goffman berargumen, ialah bagian depan itu cenderung diseleksi, bukan diciptakan. Ide tersebut menyampaikan gambaran struktural yang lebih banyak daripada yang akan kita terima dari sebagian besar interaksionis simbolik.

(51)

sebenarnya. Para aktor berusaha memastikan bahwa semua bagian dari sandiwara bercampur bersama.

Teknik lain yang digunakan oleh para pemain sandiwara adalah mistifikasi. Para aktor sering memistifikasi sandiwara mereka dengan membatasi kontak di antara mereka dan audiens. Dengan menghasilkan ‘jarak sosial” di antara diri mereka dan audiens, mereka mencoba menciptakan suatu rasa kagum pada sang audiens. Hal itu, sebaliknya membuat audiens tidak mempertanyakan sandiwara itu.

2. Panggung Belakang (Back Stage)

Goffman juga mendiskusikan panggung belakang (back stage) tempat fakta-fakta yang ditindas di panggung bagian depan atau berbagai jenis tindakan-tindakan informal bisa kelihatan. Suatu panggung belakang biasanya berdekatan dengan panggung depan, tetapi diputus darinya. Para pemain sandiwara dapat berharap dengan cara yang dapat dipercaya tidak ada anggota audiens panggung bagian depannya tampak di panggung bagian belakang. Selanjutnya, mereka melakukan berbagai tipe manajemen kesan untuk memastikan hal itu. Suatu sandiwara kemungkinan besar sulit dilakukan bila para aktor tidak mampu mencegah audiens memasuki panggung bagian belakang. Ada juga bagian ketiga, ranah sisa, bagian luar, yang bukan bagian depan juga bukan bagian belakang.

Tidak ada wilayah yang selalu salah satu dari ketiga ranah tersebut. Juga suatu wilayah tertentu dapat menduduki ketiga ranah itu pada waktu-waktu yang berbeda. Contoh kantor profesor adalah panggung depan ketika dikunjungi seorang mahasiswa, panggung bagian belakang ketika sang mahasiswa pergi, dan bagian luar ketika sang profesor berada di pertandingan bola basket universitas.

(52)

sebagai presiden dari American Sociological Association dari tahun 1981-1982 (Ritzer, 2005 : 296).

Goffman dalam karyanya sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa, karya-karyanya sangat dipengaruhi oleh Mead yang memfokuskan pandangannya pada “the self”. Misalnya, The Presentation of Self in Everyday Life (1955), merupakan pandangan Goffman yang menjelaskan mengenai proses dan makna dari apa yang disebut sebagai interaksi (antarmanusia). Dengan mengambil konsep mengenai kesadaran diri dan “the self” Mead, Goffman kembali memunculkan teori peran sebagai dasar teori dramaturgi. Goffman mengambil pengandaian kehidupan individu sebagai panggung sandiwara, lengkap dengan setting panggung dan akting yang dilakukan oleh individu sebagai aktor kehidupan. Misi utama kaum dramaturgis sebagaimana dikatakan Gronbeck adalah memahami dinamika sosial dan menganjurkan kepada mereka yang berpartisipasi dalam interaksi-interaksi tersebut untuk membuka topeng para pemainnya untuk memperbaiki kinerja mereka.

(53)

Mead mendeskripsikan secara tegas bahwa "the self"merupakan makhluk hidup yang dapat melakukan tindakan, dan bukan sesuatu yang pasif yang semata-mata hanya menerima dan merespon suatu stimulus belaka. Secara hakiki, pandangan Mead merupakan isu sentral bagi interaksionisme simbolik. Dalam tulisan kami kali ini, tidak bisa begitu saja melepaskan diri dari pengaruh teori interaksi simbolik. Dramaturgi itu sendiri merupakan sumbangan Goffman bagi perluasan teori interaksi simbolik. Mead menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku”

untuk kemudian dikumpulkan dalam bentuk kesadaran diri individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung. Pendapat Mead tentang pikiran adalah bahwa pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara “aku” dengan

“yang lain” pada titik ini, konsepsi tentang “aku” itu sendiri merupakan konsepsi

orang lain terhadap individu tersebut. Atau dengan kalimat singkat, individu mengambil pandangan orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut adalah “dirinya” yang berasal dari “aku.”

(54)

Pada pandangan Goffman, kesadaran diri adalah hasil adopsi dari ajaran-ajaran Durkheim. Bagi Goffman, struktur sosial merupakan countless minor synthesis (sintesis-sintesis kecil yang tak terbilang), di mana manusia merupakan atom-atom atau partikel-partikel yang sangat kecil dari sebuah masyarakat yang besar. Ide serta konsep dramaturgi Goffman itu sendiri, menolong kita untuk mengkaji hal hal yang berada di luar perhitungan kita (hal-hal kecil yang tak terbilang tersebut), manakala kita menggunakan semua sumber daya yang ada di bagian depan dan bagian belakang (front and backregion) dalam rangka menarik perhatian orang-orang yang di sekeliling kita. Bentuk-bentuk interaksi, komunikasi tatap muka, dan pengembangan konsep-konsep sosiologi, merupakan sumbangan Goffman bagi interaksionis simbolik bahkan Goffman juga mempengaruhi tokoh-tokoh di luar interaksionis simbolik. Walaupun pada karya terakhirnya, Goffman terfokus pada gerakan-gerakan yang mengarah pada bentuk-bentuk strukturalisme masyarakat.

2.8.1 Manajemen Kesan

(55)

1. Ada sekumpulan metode yang mencakup tindakan-tindakan yang bertujuan menghasilkan kesetiaan dramaturgis dengan, misalnya menumbuhkembangkan kesetiaan yang tinggi dalam kelompok, yang mencegah anggota tim mengidentifikasi sang audiens dan mengubah audiens secara periodik sehingga mereka tidak dapat terlalu kenal dengan para pemain sandiwara

2. Goffman menyarankan berbagai bentuk disiplin dramaturgis, seperti memusatkan pikiran untuk menghindari salah ucap, menjaga pengendalian diri, dan mengatur ungkapan raut wajah dan novel sandiwara seseorang.

3. Mengenali berbagai tipe sifat hati-hati dramaturgis, seperti menentukan terlebih dahulu bagaimana suatu pementasan harus berjalan, merencanakan keadaan darurat, menyeleksi kawan seregu yang setia, menyeleksi para pendengar yang baik, melibatkan diri di dalam tim-tim kecil yang kurang mungkin dirundung perselisihan, hanya membuat penampilan-penampilan singkat, mencegah audiens mengakses informasi pribadi, dan memutuskan berdasarkan agenda yang komplet untuk mencegah kejadian-kejadian yang tidak teramalkan.

2.8.2 Jarak Peran

(56)

2.8.3 Stigma

Dalam teori Dramatugi menjelaskan bahwa identitas manusia itu tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Goffman membuat kategori tentang stigma, yaitu orang yang direndahkan (stigma diskredit) dan orang yang dapat direndahkan (discreditable stigma). Orang yang direndahkan adalah orang yang memiliki kekurangan yang dapat dipanjangkan dengan kasat mata, misalnya seperti orang cacat fisik dan orang buta. Sedangkan orang yang dapat direndahkan adalah orang yang memiliki aib yang tidak dapat di lihat secara langsung, misalnya seperti orang yang suka sesama jenis (Ritzer, 2012: 644).

2.9. Punk

(57)

mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu oleh kemerosotan moral oleh para tokoh politik yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun kadang-kadang kasar, bit yang cepat dan menghentak. Banyak yang menyalahartikan punk sebagai glue sniffer dan perusuh karena di Inggris pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra punk karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak kriminal.

(58)

Dick Hebdige (2002: 147), memandang punk adalah sebuah subkultur yang menghadapi dua bentuk perubahan yaitu:

1. Bentuk komoditas, dalam hal ini segala atribut maupun aksesoris yang dipakai oleh komunitas punk telah dimanfaatkan industri sebagai barang dagangan yang didistribusikan kepada konsumen untuk mendapatkan keuntungan. Dulu aksesoris dan atribut yang hanya dipakai oleh anak punk sebagai simbol identitas, namun kini sudah banyak dan mudah kita jumpai di toko yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat umum.

2. Bentuk ideologis, komunitas punk mempunyai ideologi yang mencakup pada aspek sosial dan politik. Ideologi mereka dahulu sering dikaitkan dengan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak punk. Ada beberapa perilaku menyimpang itu telah didokumentasikan dalam media massa, sehingga membuat identitas punk menjadi buruk dipandang sebagai seorang yang bahaya dan berandalan. Namun walaupun begitu, nilai-nilai dan eksistensi punk masih dipertahankan sampai sekarang.

Dalam artikel ”Philosophy of Punk”, Craig O’Hara (1999: 31) menyebutkan tiga pengertian Punk. Punk sebagai trend remaja dalam fashion dan musik. Punk sebagai pemula yang punya keberanian memberontak, memperjuangkan kebebasan dan melakukan perubahan. Punk sebagai bentuk perlawanan yang “hebat”, karena menciptakan musik, gaya hidup, komunitas dan

kebudayaan sendiri.

(59)

2.10. Kerangka Berpikir

Anak punk selalu dianggap sebagai komunitas yang dianggap sebelah mata, yang pekerjaannya hanya mengamen di persimpangan jalan, membaret mobil dan mabuk-mabukan. Seriring dengan perkembangan zaman ada sebagian anak punk memilih untuk bekerja di kantoran di mana hal itu tidak sesuai dengan ideologi mereka yaitu membenci sistem pemerintahan dan menyukai kebebasan. Dalam komunitas ada komunikasi antarpribadi di mana hal ini dapat mengungkapkan identitas diri masing-masing individu di dalamnya. Ada pun kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Komunikasi Antar Pribadi

Anak Punk yang Bekerja Dikantoran

Identitas Diri

Faktor yang mendorong bekerja

Pengembangan

hubungan antar pribadi

Gaya hidup Ideologi Fashion Musik Teori :

Referensi

Dokumen terkait