• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Makrozoobentos dan Kualitas Perairan di Kawasan Mangrove Desa Lubuk Kertang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman Makrozoobentos dan Kualitas Perairan di Kawasan Mangrove Desa Lubuk Kertang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

Hutan Mangrove merupakan ekosistem yang unik dan berfungsi ganda dalam lingkungan hidup. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh lautan dan daratan, sehingga terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika, sifat kimia dan sifat biologi. Hutan mangrove tergolong salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan terdapat hampir di seluruh perairan Indonesia yang berpantai landai. Meskipun demikian hutan mangrove merupakan ekosistem yang mudah rusak jika terjadi perubahan pada salah satu unsur pembentuknya sehingga dikenal sebagai fragile ecosystem (Arief, 2003).

Kondisi fisik yang tampak jelas di daerah mangrove adalah gerakan air yang minim sehingga mengakibatkan partikel-partikel sedimen yang halus sampai di daerah mangrove cenderung mengendap dan mengumpul di dasar berupa lumpur halus yang menjadi dasar (substrat) hutan. Sirkulasi air dalam dasar (substrat) yang sangat minimal, ditambah dengan banyaknya bahan organik dan bakteri penyebab kandungan oksigen di dalam dasar sangat minim, bahkan mungkin tidak terdapat oksigen sama sekali di dalam substrat (Kusmana, 1997).

(2)

pada habitat mangrove. Vegetasi yang tidak terikat dengan habitat mangrove antara lain adalah Acanthus sp., Baringtonia sp., Callophyllum sp., Calotropis sp., Cerbera sp., Clerodendron sp., Derris sp., Finlaysonia sp., Hibiscus sp., Ipomoea sp., Pandanus sp., Pongamia sp., Scaevola sp., Sesuvium sp., Spinifex sp., Stachytarpheta sp., Terminalia catappa, Thespesia sp. dan Vitex sp. (Gunarto, 2004).

Makrozoobentos

Makrozoobentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan atau tinggal dalam sedimen dasar perairan. Organisme bentos mencakup organisme nabati yang disebut fitobentos dan organisme hewani yang disebut zoobentos (Odum, 1993). Selanjutnya menurut Arief (2003) beberapa makrozoobentos yang umum ditemukan di kawasan mangrove Indonesia adalah makrozoobentos dari kelas Gastropoda, Bivalvia, Crustaceae, dan Polychaeta.

(3)

Klasifikasi Bentos

Berdasarkan ukurannya, Lind (1979) mengklasifikasikan zoobentos menjadi dua kelompok besar yaitu mikrozoobentos dan makrozoobentos. Sejalan dengan ukurannya, Hutabarat dan Evans (1985) juga mengklasifikasikan zoobentos ke dalam tiga kelompok berdasarkan ukurannya, yaitu :

1. Mikrofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran lebih kecil dari 0,1 mm yang digolongkan ke dalam protozoa dan bakteri.

2. Meiofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran 0,1 hingga 1,0 mm. Digolongkan ke dalam beberapa kelas protozoa berukuran besar dan kelas crustacea yang sangat kecil serta cacing dan larva invertebrata.

3. Makrofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran lebih besar dari 1,0 mm. Digolongkan ke dalam hewan moluska, echinodermata, crustacea dan beberapa filum annelida.

Berdasarkan tempat hidupnya, zoobentos dibagi atas dua kelompok, yaitu : epifauna yaitu organisme bentik yang hidup dan berasosiasi dengan permukaan substrat dan infauna yaitu organisme bentik yang hidup di dalam sedimen (substrat) dengan cara menggali lubang (Nyabkken 1992).

Menurut Odum (1993) mengklasifikasikan zoobentos berdasarkan kebiasaan makannya ke dalam dua kelompok yaitu :

(4)

b. Deposit-feeder yaitu hewan bentos yang memakan partikel-partikel detritus yang telah mengendap di dasar perairan misalnya Terebella dan Amphitrile (Polychaeta), Tellina dan Arba (Bivalvia).

Sejalan dengan kebiasaan makannya, Knox (1986) membagi ke dalam lima kelompok yaitu : hewan pemangsa, hewan penggali, hewan pemakan detritus yang mengendap di permukaan, hewan yang menelan makanan pada dasar dan hewan yang sumber makanannya dari atas permukaan.

Makrozoobentos sebagai Indikator Kualitas Lingkungan Perairan

Menurut Ayu (2009) dalam mengkaji kondisi perairan, selain ikan, penggunaan struktur komunitas avertebrata seperti makrozoobentos untuk menggambarkan kondisi ekosistem akuatik yang terintegrasi sudah mulai berkembang. Untuk dapat menduga kualitas perairan secara tepat melalui penggunaan komunitas biota perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Keberadaan atau ketiadaan organisme harus lebih merupakan fungsi kualitas air daripada faktor ekologis.

2. Metode yang digunakan harus diyakini dapat menduga kualitas air sehingga dapat diperbandingkan.

3. Pendugaan harus terkait dengan kualitas air untuk jangka waktu yang cukup lama, bukan hanya pada saat sampling.

4. Perlu diperhatikan bahwa pendugaan harus lebih dikaitkan dengan tujuan sampling.

(5)

Distribusi bentos dalam ekonomi perairan alam mempunyai peranan penting dari segi aspek kualitatif dan kuantitatif. Untuk distribusi kualitatif, keadaan jenis dasar berbeda terdapat aksi gelombang dan modifikasi lain yang membawa keanekaragaman fauna pada zona litoral. Zona litoral mendukung banyak jumlah keanekaragaman fauna yang lebih besar daripada zona sublitoral dan profundal. Populasi litoral dan sublitoral, khususnya bentuk mikroskopik. Terdapat banyak serangga dan moluska, dua kelompok ini biasanya sebanyak 70% atau lebih dari jumlah komponen spesies yang ada. Dengan peningkatan kedalaman yang melebihi zona litoral, jumlah spesies bentik biasanya berkurang. Pengaruh perbedaan jenis substrat dasar dimodifikasi oleh massa alga filamen yang menutupi luas area. Substrat dasar lumpur sering digambarkan sebagai pendukung jumlah spesies (Welch, 1952).

Menurut Mason (1981) beberapa alasan makrozoobentos sering digunakan sebagai bioindikator pencemaran di suatu lingkungan perairan adalah sebagai berikut:

a. Prosedur samplingnya relatif sudah berkembang dimana telah tersedia kunci identifikasi untuk sebagian besar kelompok biota.

b. Hidup menetap (sesil) dan mobilitasnya rendah sehingga dapat digunakan untuk menduga kualitas suatu perairan dimana komunitas organisme tersebut berada.

c. Organisme ini mudah ditangkap dan dianalisis.

(6)

menciptakan kondisi lingkungan yang berbeda dan menghasilkan komunitas akuatik yang berubah secara suksesif di perairan tersebut. Struktur komunitas makrozoobentos dalam kondisi perairan tertentu disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Struktur Komunitas Makrozoobentos dalam Kondisi Perairan Tertentu (Wilhm, 1975)

Kondisi Perairan Penjelasan

Tidak Tercemar Komunitas makrozoobentos yang seimbang dengan beberapa

spesies intoleran hidup dengan diselingi populasi fakultatif, tidak ada 1 spesies yang mendominasi.

Tercemar Sedang Penghilangan sejumlah jenis intoleran dan beberapa

fakultatif, serta 1 atau 2 spesies toleran mulai mendominasi.

Tercemar Komunitas makrozoobentos dengan jumlah yang terbatas

yang diikuti oleh penghilangan dari kelompok intoleran dan fakultatif. Kelompok toleran mulai berlimpah merupakan tanda perairan tercemar bahan organik.

Tercemar Berat Penghilangan hampir seluruh hewan makroinvertebrata,

kemudian diganti oleh cacing Oligochaeta dan organisme yang mampu bernapas ke udara.

Penggunaan makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan dalam bentuk indeks biologi. Kemudian oleh para ahli biologi perairan, pengetahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas perairan (Rosenberg dan Resh, 1993).

Asosiasi Makrozoobentos pada Hutan Mangrove

(7)

Golongan invertebrata merupakan komponen penting ekosistem mangrove, menyediakan berbagai sumber makanan bagi hewan lain yang lebih tinggi tingkat trofiknya. Fungsi ekologis invertebrata bentos dapat dilihat dari produksi berjuta larva invertebrata dalam bentuk meroplankton (hidup sebagai plankton hanya pada stadium larva), larva ini merupakan sumber makanan bagi populasi ikan. Di samping itu, invertebrata bentos juga menjaga keseimbangan ekosistem dengan membuat lubang pada substrat, sehingga air dan udara dapat masuk ke dalam substrat karena itu dapat menambah oksigen dan unsur hara ke dalam substrat (Chaudhuri dan Choudhury, 1994).

Kelompok fauna perairan/akuatik yang berkoeksistensi di ekosistem hutan mangrove terdiri atas dua tipe yaitu; biota yang hidup di kolam air, terutama berbagai jenis ikan dan udang; dan yang menempati substrat baik keras (akar dan batang mangrove) maupun lunak (lumpur) terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya. Beberapa jenis invertebrata makrobentik yang bisa dijumpai di habitat mangrove antara lain dari jenis crustacea seperti lobster lumpur (Thalassina sp.), kepiting bakau serta beberapa jenis dari gastropoda, polychaeta, brachyurans dan sipunculida. Masing-masing dari invertebrata makrobentik tersebut ada yang hidup sebagai epifauna (hidup di atas permukaan substrat) maupun infauna (hidup di dalam substrat) (Irwanto, 2006).

(8)

yang secara periodik terkena pasang surut air laut, sehingga organisme yang hidup di dalamnya menunjukan pemintakatan.

Makrobentos adalah salah satu komponen dalam ekosistem hutan mangrove yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap kelestarian hutan mangrove karena perannya dalam proses dekomposisi awal bahan organik. Peran makrobentos sebagai dekomposer awal mampu memproses 50% dari total produksi serasah, sehingga menjadi penyumbang penting dalam siklus hara dan aliran energi pada ekosistem mangrove (Allongi, 2009).

Serasah mangrove akan mengalami dekomposisi oleh mikroorganisme untuk menghasilkan detritus dan mineral bagi kesuburan tanah, serta menjadi sumber nutrisi bagi produsen primer dalam tingkat tropik. Kemudian zooplankton, benthos dan ikan akan memanfaatkan sebagai sumber energi dalam kedudukannya sebagai konsumen primer. Hubungan jaring makanan ini terus terpelihara dengan baik dan meningkat dengan bertambahnya jumlah masing-masing komponen yang bersiklus tadi, karena kunci kesuburan perairan kawasan mangrove terletak pada stabilitas setiap komponen ekosistemnya (Nybakken, 1993).

Parameter Kualitas Air 1. pH

(9)

berasal dari kata potenz, yang berarti pangkat dan H adalah lambang atom hidrogen) (Sumardjo, 2008).

pH tanah di kawasan mangrove sangat berpengaruh terhadap keberadaan makrozoobentos. Tanah akan sangat peka terhadap proses biologi seperti dekomposisi bahan organik oleh makrozoobentos jika keasaman tanah berlebih. Proses dekomposisi bahan organik pada umumnya akan mengurangi suasana asam, sehingga makrozoobentos akan tetap aktif melakukan aktivitasnya (Arief, 2003).

Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH berkisar antara 6,5-7,5. Air limbah dan bahan buangan dari berbagai kegiatan manusia yang dibuang ke suatu badan perairan akan mengubah pH air yang pada akhirnya dapat mengganggu kehidupan organisme di dalamnya. Bagi hewan bentos pH berpengaruh terhadap menurunnya daya stress (Wardhana, 1994).

Pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan ditunjukkan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan (Effendi, 2003)

Nilai pH Pengaruh Umum

6,0 - 6,5 Keanekaragaman bentos sedikit menurun.

Kelimpahan total, biomassa, dan produktifitas tidak mengalami perubahan.

5,5 - 6,0 Penurunan nilai keanekaragaman bentos semakin tampak.

Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti.

5,0 - 5,5 Penurunan keanekaragaman dan komposi jenis bentos semakin besar. Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa bentos.

(10)

2. Suhu

Suhu air permukaan diperairan nusantara kita umumnya berkisar antara 28-31°C, dan suhu air didekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi dari pada dilepas pantai. Selanjutnya dikatakan bahwa hewan laut hidup batas suhu tertentu, ada yang mempunyai toleransi besar terhadap perubahan suhu, disebut bersifat euriterm, sebaliknya ada pula toleransinya sangat kecil disebut bersifat stenoterm. Hewan yang hidup pada zona pasang surut dan sering mengalami kekeringan mempunyai daya tahan yang besar terhadap perubahan suhu (Nontji, 1987). Kemudian Nybakken (1992) menambahkan bahwa umumnya suhu di atas 30̊ C

dapat menekan pertumbuhan populasi hewan bentos.

Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi pertumbuhannya. Aktivitas mikroorganisme memerlukan suhu optimum yang berbeda-beda. Setiap peningkatan suhu sebesar 10̊ C akan meningkatkan proses dekomposisi dan konsumsi oksigen menjadi 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan metabolisme dan respirasi. Dengan kata lain, makin tinggi kenaikan suhu air, makin sedikit oksigen yang terkandung di dalamnya (Effendi, 2003).

3. Salinitas

(11)

perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem (Odum, 1993). Brotowidjoyo, dkk (1995) juga menambahkan bahwa salinitas berpengaruh terhadap reproduksi, distribusi, osmoregulasi. Perubahan salinitas tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku biota tetapi berpengaruh terhadap perubahan sifat kimia air.

Salinitas air tanah dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti genangan pasang, topografi, curah hujan, masukan air tawar dan sungai, run-off daratan dan evaporasi (Annas, 2004). Menurut Mudjiman (1981), kisaran salinitas yang dianggap layak bagi kehidupan makrozoobentos berkisar 15-45‰, karena pada perairan yang bersalinitas rendah maupun tinggi dapat ditemukan makrozoobentos seperti siput, cacing (Annelida) dan kerang-kerangan.

4. Substrat

Jenis substrat berkaitan dengan kandungan oksigen dan ketersediaan

nutrien dalam sedimen. Pada substrat berpasir, kandungan oksigen relatif lebih besar dibandingkan dengan substrat yang halus, karena pada substrat berpasir terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya percampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya. Namun demikian, nutrien tidak banyak terdapat pada substrat berpasir. Sebaliknya, pada substrat yang halus, oksigen tidak begitu banyak tetapi biasanya nutrien tersedia dalam jumlah yang cukup besar (Bengen, 2004).

(12)

dan kehidupan makrozoobentos, karena partikel-partikel liat sulit ditembus oleh makrozoobentos untuk melakukan aktivitas kehidupannya. Selain itu, tanah liat juga mempunyai kandungan unsur hara yang sedikit (Arief, 2003).

5. Kecerahan

Kecerahan air merupakan ukuran kejernihan suatu perairan, semakin tinggi suatu kecerahan perairan semakin dalam cahaya menembus ke dalam air. Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, padatan tersuspensi dan kekeruhan serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Tingkat kecerahan air dinyatakan dalam suatu nilai yang dikenal dengan kecerahan secchi disk (Effendi, 2003).

6. Kedalaman

Kedalaman perairan berhubungan dengan intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom perairan. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman perairan (Effendi, 2003). Pada umumnya beberapa jenis makrozoobentos dapat ditemukan pada kedalaman yang berbeda (Odum, 1993).

(13)

DO menunjukkan banyaknya oksigen terlarut yang terdapat di dalam air yang dinyatakan dalam ppm. Oksigen di perairan berasal dari proses fotosintesis dari fitoplankton atau jenis tumbuhan air dan melalui proses difusi dari udara. Senyawa oksigen di air terdapat dalam dua bentuk; yaitu terikat dengan unsur lain (NO3-, NO2-, PO4-, CO2 dan CO3-) dan dalam bentuk senyawa bebas (O2). Kadar

oksigen terlarut dalam perairan alami tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer (Effendi, 2003).

Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) masa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke dalam badan air. Penurunan DO di air dapat terjadi karena suhu yang tinggi, proses respirasi, masukan bahan organik, proses dekomposisi serta tingginya salinitas. Penurunan oksigen terlarut dalam air dapat disebabkan karena suhu yang tinggi, proses respirasi, masukan bahan organik, proses dekomposisi serta tingginya salinitas. Kelarutan oksigen dan gas-gas lainnya juga berkurang dengan meningkatnya salinitas sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah dari pada kadar oksigen di perairan tawar (Effendi, 2003).

(14)

Gambar

Tabel 1. Struktur Komunitas Makrozoobentos dalam Kondisi Perairan Tertentu (Wilhm, 1975)
Tabel 2. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan (Effendi, 2003)

Referensi

Dokumen terkait

 msrsisÿ lsrSfï jevigyka" iduqysl boslsrSñ" iudchSh /iaùñ jeks foa j,g iñnkao ùfuka wfma odhl;ajh ,ndosh yel'. f;a lïy,la ixúOdkh l, iudchSh msrsisÿ lsrSfï

Target tersebut dapat dicapai dengan asumsi pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 5,4% s/d 6,1% dengan angkatan kerja baru kurang dari 2 juta pada 2018.. Tingkat Pengangguran

[r]

Hasil perhitungan dan korelasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara PsyCap dengan kepuasan kerja pada anggota Polri yang

Terkait dengan hal tersebut, maka salah satu upaya dari P3M adalah dengan melaksanakan sebuah Program Penguatan Budaya Penelitian dalam bentuk penugasan semi-kompetisi

fenomena di atas yang memerlukan pengkajian lebih lanjut maka penulis tertarik untuk melakukan pengkajian dan penelitian lebih dalam dengan judul: “ Pengaruh

[r]

(2) Pembentukan BPPD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah..