BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah
Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia
seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera,
dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera tersebut,
perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana umumnya serta tindak pidana korupsi khususnya.2
Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan
masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial
masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, dalam bentuk tindak pidana
yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan
fenomenal adalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan
negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat.3
Korupsi merupakan kata yang populer dimasyarakat dan menjadi tema
pembicaraan sehari-hari. Korupsi sudah terjadi sejak zaman dahulu dan
merrupakan suatu peristiwa universal yang dapat terjadi diseluruh dunia. Di
Indonesia, tindak pidana Korupsi sudah meluas dalam masyarakat.
Perkembangannya terus meningkat dari tahun ketahun baik dari jumlah kasus
2
Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.3 Tahun 1971,LN. No. 19 Tahun 1971,TLN. No. 2958, Penjelasan umum
3
yang terjadi maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin
sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Di berbagai belahan Dunia, korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih
dibandingkan dengan tindak pidana lainnya, hal ini dapat dimaklumi mengingat
dampak negatif yang ditimbulkan oleh korupsi dapat menyentuh berbagai bidang
kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius karena dapat membahayakan
stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial,
ekonomi dan politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas
karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya yang menjadi
ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.
Tindak pidana korupsi merupakan persoalan klasik yang telah lama ada.
Sejahrawan Onghokham pernah menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi ada
ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan
umum.4masih menurut Onghokham, pemisahan keuangan tersebut tidak ada
dalam konsep tradisional.5 Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tindak pidana
korupsi mulai ada pada saat sistem politik modern dikenal.6
Juniadi Suwartojo dengan tegas menyatakan bahwa tindak pidana korupsi
ialah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar
norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan
atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan, pungutan, penerimaan,
atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan
4
LPPNRI,Panduan Kegiatan Sadar Hukum Mengenai Korupsi Kolusi Nepotisme Bagi Aparatur Pemerintah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat, Jakarta, 2008, hlm.3-4
5
Ibid. 6
penerimaan dan/ atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau
kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tjuan untuk
memperoleh keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak
langsung merugikan kepentinngan dan/ atau keuangan negara/masyarakat.7
Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah
satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian di Indonesia yang terjadi secara
sistematik dan meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara
atau perekonomian negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas.8
Tindak pidana korupsi telah menjadi sesuatu yang sistemik, sudah menjadi
suatu sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara dan
bahkan dapat dikatakan bahwa pemerintahan justru akan hancur apabila tindak
pidana korupsi diberantas. Struktur pemerintahan yang dibangun dengan latar
belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup dan akan hancur manakala
korupsi tersebut dihilangkan.9
Berdasarkan data Political dan Economic Risk Consultancy (PERC) pada
tahun 2010, Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia
Pasifik. Jika dilihat dalam kenyataan sehari-hari, tindak pidana korupsi hampir
tejadi disetiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari mengurus
izin mendirikan bangunan, proyek pengadaan di instansi pemerintah sampai
7 Ibid. 8
Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Penelitian hukum tentang Aspek Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jakarta, 2008, hlm.1.
9
proses penegakan hukum. Tanpa disadari, tindak pidana korupsi sudah dianggap
suatu hal yang lumrah dan wajar untuk dilakukan oleh masyarakat umum.
Hal serupa terlihat pula dalamhal memberikan hadiah kepada pejabat
pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan.
Kebiasaan-kebiasaan itu dipandang lumrah dilakukan sebagai bagian dari budaya ketimuran.
Kebiasaan koruptif ini lama-lama akan menjadi bibit-bibit tindak pidana korupsi
yang nyata.10 Sejarah menorehkan catatan panjang perjuangan bangsa Indonesia
melawan tindak pidana korupsi. Namun demikian, hingga saat ini tindak pidana
korupsi masih merajalela bahkan semakin canggih dan semakin tersistematis.
Sebagai bangsa pejuang, bangsa Indonesia tidak pernah dan tidak boleh
menyerah. Perlawanan terhadap tindak pidana korupsi harus terus dilakukan.
Perlawanan terhadap tindak pidana korupsi ini tentunya harus dilakukan dengan
lebih masif, sistematis, konsiten, dan berkomitmen.11
Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah dilakukan
selama lebih dari 60 tahun, baik pada Orde lama, Orde Baru, maupun pada era
reformasi, serta era baru pemerintahan saat ini. Namun demikian, segala daya dan
upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat
dalam menanggulangi tindak pidana korupsi ternyata belum menunjukan hasil
seperti yang diharapkan.12
Meningkatnya tindak pidana korupsi akan membawa bencana tidak hanya
terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa
10
Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami untuk membasmi, Buku Saku untuk memahami tindak pidana korupsi, komisi pemberantasan korupsi, Jakarta, 2006, hlm.1.
11
Komisi Pemberantasan Korupsi, Optimalisasi pelayanan publik laporan tahunan KPK 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta,2008, hlm.14.
12
dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis
juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat dan karena itu semua, maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat
digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar
biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan
secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.13
Pemberantasan korupsi bukanlah hal yang baru dilakukan oleh pemerintah
Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya aturan-aturan hukum mengenai
Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi serta ancaman nyata pasti
akan terjadi, yaitu dampak dari tindak pidana korupsi ini,maka tindak pidana
korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan Nasional yang harus dihadapi
secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan
jelas, dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya
pemerintah dan aparat penegak hukum.
Di tengah upaya pembangunan nasional diberbagai bidang, aspirasi
masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya
semakin meningkat, karena dalam kenyataan, adanya perbuatan korupsi telah
menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat
berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan di
intensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan
masyarakat.
13
pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku saat ini. Diberlakukannya
undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dimaksudkan untuk
menanggulangi dan memberantas korupsi dimaksudkan untuk menanggulangi dan
memberantas korupsi baik oleh pemerintah, aparat penegak hukum dan
masyarakat. Pemberantasan tindak pidana korupsi dalam pasal 1 angka 3
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK di definisikan sebagai berikut:
“ serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Korupsi dalam praktik pelaksanaannya sangat erat kaitannya dengan
keuangan negara. Keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD,
keuangan negara pada Perjan, Perum, Perkebunan Nusantara, dan sebagainya.
Keuangan dalam arti sempit hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang
mengelola dan mempertanggung jawabkan keuangan negara.14
Korupsi adalah bagian dari aktivitas-aktivitas buruk yang menjauhkan
negara ini dari pemerintahan yang bersih, jujur dan jauh dari rasa keadilan.
Dengan kata lain, korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam praktiknya, tindak pidana
korupsi sering dilakukan oleh pejabat atau mantan kepala pemerintahan pada
pada masa pemerintahan/ kepemimpinannya, baik itu yang berada di pusat,
maupun yang berada di daerah, bahkan tidak jarang pula merambat sampai pada
Pejabat dilingkup Desa. Dalam ruang lingkup desa, praktik pelaksanaan tindak
14
pidana korupsi sangat erat kaitannya dengan Alokasi dana Desa, Pendapatan
Desa, Bantuan Sosial Desa dan lain sebagainya.
Terbukti dari ada yang namanya Hari Anti Korupsi Sedunia. Ini tentu
merupakan muara dari kekhawatiran dan keprihatinan bersama dari semua negara
atas praktek korupsi ini. Korupsi bukanlah penyakit budaya atau penyakit politik,
akan tetapi sebab semua itu tergantung cara dan dari sudut mana orang
memandang. Yang pasti korupsi ini adalah tindak pidana yang harus diganjar dan
diberi sanksi. Korupsi tidak terjadi hanya ditingkatan pusat melainkan juga terjadi
di daerah – daerah. Korupsi juga tidak mengenal profesi.
Salah satu permasalahan korupsi adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh
Parno, Kepala Desa Paya Itik Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang,
Sumatera Utara yang mengkorupsi Alokasi Dana Desa sehingga menimbulkan
kerugian negara sebesar Rp. 38.587.553.12 - . Penanganan kasus tersebut di
Pengadilan Negeri Medan hingga ke Pengadilan Tinggi Medan Untuk itu Penulis
memilih judul : “Analisis Hukum Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh
Kepala Desa Paya Itik dalam Perspektif Kriminologis.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai Tindak Pidana Korupsi Dana
Desa ?
2. Bagaimana faktor-faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana Korupsi yang
3. Bagaimana penerapan kebijakan hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi
dalam perspektif kriminologis?,
C. Keaslian Penulisan
Sepanjang penelusuran di perpustakaan Fakultas hukum USU skripsi
dengan judul ANALISIS HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG
DILAKUKAN OLEH KEPALA DESA PAYA ITIK DALAM PERSPEKTIF
KRIMINOLOGIS ( STUDI PUTUSAN No. 17/Pid.Sus/TPK/2016/PN-Mdn)
belum pernah diteliti dalam bentuk skripsi dari Departemen Hukum Pidana di
Fakultas Hukum USU, namun ada beberapa skripsi yang mengangkat tentang
korupsi tetapi ditinjau dari segi yang berbeda. Adapun skripsi yang terlebih
dahulu mengangkat tentang korupsi antara lain berjudul Pertanggung jawaban
Tindak Pidana Korupsi DPRD Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah Periode
1999-2004 ( Studi Putusan No. 37/Pid/B/2008/PN.Btg), Proses Pembuktian
Tindak Pidana Korupsi (Studi Dalam Lembaga Terkait Di Medan), Kajian Hukum
Tentang Ekstradisi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi, dan sebagainya.
Penulisan dalam skripsi ini berbeda dari penulisan skripsi sebelumnya yang
mengangkat tentang korupsi. Penulisan skripsi ini membahas tentang faktor
penyebab melawan hukum dalam tindak pidana korupsi serta kedudukan hukum
dalam studi putusan.
D. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum yang ingin dicapai adalah untuk memberikan suatu
gambaran atau pembahasan mengenai adanya suatu peluang terjadinya tindak
pelaku tindak pidana korupsi terhadap dana desa.
2. Tujuan Khusus
1. Untuk Mengetahui dan Menganalisa peraturan yang digunakan dalam
menjerat pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia;
2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab seseorang menyalah
gunakan wewenang dengan melawan hukum seperti tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa Paya Itik Kecamatan Galang
Kabupaten Deli serdang.
E. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Manfaat yang berkaitan dengan keilmuan, antara lain :
1. Bagi para peneliti untuk mengembangkan kembali apa yang telah
diangkat dalam tulisan ini serta pengembangan ilmu pengetahuan di
bidang Hukum Pidana.
2. Pengembangan bahan perkuliahan pada materi dalam hukum pidana atau
pun bidang hukum lain yang berkaitan.
3. Bahan publikasi ilmiah.
2. Manfaat Praktis
1. Bagi Kepala Desa serta jajarannya agar lebih berhati-hati dalam
mengelola dana desa yang jumlahnya besar tersebut.
2. Bagi Pemerintah Daerah agar terus melakukan pengawasan terhadap
jalannya pengelolaan dana desa di tiap desa.
3. Bagi pemerintah pusat serta aparat penegak hukum agar melakukan
efisien terhadap pengelolaan dana desa, agar turunnya dana desa yang
jumlahnya besar tersebut tidak disalahgunakan dikemudian hari.
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengaturan hukum Mengenai Tindak Pidana Korupsi
A. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia
Korupsi sudah terjadi sejak zaman dahulu dan merupakan suatu peristiwa
universal yang dapat terjadi diseluruh dunia termasuk Indonesia. Terminologi
korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio atau corruptus, berasal dari kata
corrumpere adalah suatu kata dari bahasa latin yang lebih tua.15 Selanjutnya istilah korupsi muncul dalam beberapa bahasa di Eropa seperti bahasa inggris
yaitu Corruption dan corrupt, bahasa Perancis dengan kata corruptie yang
selanjutnya menjadi “korupsi” dalam bahasa indonesia.16
Dalam Black’s Law Dictionary, pengertian korupsi adalah sebagai
berikut.17
15
H.Juni sjafrien jahja, Dr. SH,MH. Say no to korupsi. Visimedia meretas generasi bijak, Jakarta, hlm.7.
16
Ibid.hlm.8. 17
Henry Campbell Black, M.A, Black’s Law Dictionary, (St Paul, Minn, West Publishing Co.).,Sixth Edition, 1990, hal.191,345.
Corruption : An act is done with an intention to give someone advantage
inconsistent with oficial duty and the rights of others. The act of an
official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his
station or character to procure some benefit for himself or for
another person, contrary to duty and the rights of others. See
Korupsi : suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan
beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas dan hak
orang lain. perbuatan seorang pejabat atau seorang pemegang
kepercayaan yang secara bertentangan dengan hukum, secara keliru
menggunakan kekuasannya untuk mendapatkan keuntungan untuk
dirinya sendiri atau untuk orang lain, bertentangan dengan tugas
dan hak orang lain.
Praktik korupsi tidak hanya melanda negara-negara berkembang, tetapi
juga negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Hanya saja korupsi di Indonesia
sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extraordinary crimes),
sehingga tuntutan ketersediaan perangkat hukum yang sangat luar biasa dan
canggih serta kelembagaan yang menangani korupsi tersebut tidak dapat
dielakkan lagi. Kiranya rakyat Indonesia sepakat bahwa korupsi harus dicegah
dan dibasmi dari tanah air, karena korupsi sudah terbukti sangat menyengsarakan
rakyat bahkan rakyat sudah merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial
rakyat Indonesia.
Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya persoalan
hukum dan penegak hukum semata-mata melainkan persoalan sosial dan
psikologi sosial yang sungguh sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan
hukum, sehingga wajib segera dibenahi secara simultan. Korupsi juga merupakan
persoalan sosial karena korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerintah
kesejahteraan dan merupakan persoalan psikologi sosial karena korupsi
merupakan penyakit sosial yang sulit disembuhkan. 18
18
Tindak pidana korupsi adalah salah satu bagian hukum pidana khusus,
disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana
umum, yaitu dengan adanya penyimpangan hukum pidana formil atau hukum
acara. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum posif Indonesia
sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya kitab undang-undang
hukum pidana (Wetboek van Strafrecht) 1 Januari 1918, kitab undang-undang
hukum pidana (Wetboek van Strafecht) sebagai suatu kodifikasi atau unifikasi
berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asa konkordansi dan
diundangkan dalam staatbland 1915 Nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915.19
Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut hanya berlaku untuk sementara,
karena Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan bahwa Peraturan
penguasa perang pusat tersebut segera digantikan dengan peraturan
perundang-undangan yang berbentuk undang-undang. Dalam keadaan yang mendesak dan Selanjutnya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17
Agustus 1945 keberadaan tindak pidana korupsi juga diatur dalam hukum positif
Indonesia, pada waktu seluruh wilayah negara Republik Indonesia dinyatakan
dalam keadaan perang berdasarkan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 ,
UndangUndang Nomor 79 Tahun 1957 tentang penyelesaian pernyataan keadaan
perang sebagai yang telah dilakukan dengan keputusan Presiden Repbulik
Indonesia Nomor 225 tahun 1957 tanggal 17 Desember 1957, yang mana dalam
rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah diterbitkan tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi untuk yang pertama kali, yaitu peraturan
penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/PM/011/1957.
19
perlunya diatur segera tentang tindak pidana korupsi, dengan berdasarkan pada
pasal 96 ayat 1 undang-undang dasar sementara 1950, penggantian peraturan
penguasa perang pusat tersebut ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan
yang berbentuk pemerintah pengganti undang-undang Nomor 24 Tahun 1960
tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang
selanjutnya berdasarkan undang-undang Nomor 1 Tahun 1960 ditetapkan menjadi
undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang pengusutan penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.20
Dengan berdasarkan kepada ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998
tersebut, telah ditetapkan pada tanggal 19 Mei 1999, undang-undang Nomor 28
Tahun 1999. Selanjutnya pada tanggal 16 agustus 1999 telah ditetapkan undang-Ternyata dalam penerapan dan pelaksanaanya undang-undang Nomor Prp
Tahun 1960 belum mencapai hasil seperti yang diharapkan sehingga 11 (sebelas)
tahun kemudian digantikan dengan undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi. Setelah selama 28 (dua puluh delapan)
tahun berlaku ternyata undang-undang Nomor 3 tahun 1971 telah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan dn kebutuhan hukum mengenai pemberantasan tindak
pidan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi Negara pada waktu itu,
dengan menetapkan ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, yang antara lain
menetapkan agar diatur lebih lanjut dengan undang-undang tentang upaya
pemberantasan tindak pidan korupsi yang dilakukan dengan tegas dengan
melaksanakan secara konsisten undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
20
undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai pengganti undang-undang Nomor 3 Tahun
1971 yang dinyatakan telah dilakukan perubahan untuk pertama kalinya dengan
undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Atas undang-undang
Nomor 31 Tahun1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana korupsi (Lembaga
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4150), yang disahkan dan mulai
berlaku sejak tanggal 21 Nopember 2001.
Karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana
korupsi dianggap belum berfungsi secara efektif dan efisiensi dalam memberantas
tindak pidana korupsi, maka pada tanggal 27 Desember 2002 telah diundangkan
undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137,
Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4250). 21
A. Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :
Memperhatikan Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Undang-undang Nomor 20
tahun 2001, maka tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi yaitu
Korupsi Aktif dan Korupsi Pasif.
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi pasal 2 ayat (1) yang berbunyi “setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
Korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (Empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
21
(satu milyar rupiah)”. Dalam ayat (2) yang berbunyi, “dalam hal tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,
pidana mati dapat dijatuhkan”.
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi pasal 3 yang berbunyi,
“ setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau pearekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling lama sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Memberi hadiah Kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan
atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi
hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999). Percobaan pembantuan, atau
pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak pidana Korupsi (Pasal 15
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf
a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001). Memberi sesuatu kepada pegawai
negeri atau Penyelenggara negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6
ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001). Setiap orang yang pada
waktu menyerahkan barang keperluan Tentara nasional Indonesia atau Kepolisian
negara Reublik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf
c Undang undang Nomor 20 tahun 2001).
Setiap orrang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan
Tentara nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c
(pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001). Pegawai negeri
atau selain pegawai negeri yang di tugaskan menjalankan suatu jabatan umum
secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan
uang atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan
oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).
B. Sedangkan Korupsi Pasif adalah sebagai berikut :
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau
janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 20
tahun 2001). Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2)
Undang-undang nomor 20 Tahun 2001).
Orang yang menerima penyerahan bahan atau keparluan tentara nasional
indonesia, atau kepolisisan negara republik indonesia yang mebiarkan perbuatan
curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau c Undang-undang
nomor 20 tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor 20 tahun 2001).
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk mengerakkan agar melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,atau sebaga
akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 12 huruf a dan
huruf b Undang-undang nomor 20 tahun 2001).
Hakim yang menerima hadiah atau janji,padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (pasal 12 huruf c
Undang-undang nomor 20 tahun 2001). Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat uang diberikan berhubungan dengan perkara
yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (pasal 12 huruf d
Undang-undang nomor 20 tahun 2001). Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (pasal 12 Undang-undang nomor 20
2. Faktor-faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana Korupsi
A. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
Pada dasarnya terdapat banyak faktor penyebab tindak pidana korupsi,
oleh karenanya, merupakan suatu yang sangat sulit untuk menjelaskan
faktor-faktor penyebab dilakukannya tindak pidana korupsi secara keseluruhan. Pada
bagian ini, penulis akan mencoba menguraikan beberapa faktor dasar yang
menyebabkan tindak pidana korupsi.
Thomas Hobbes melihat tindak pidana korupsi sebagai persoalan biasa,
bukan kejahatan.22 Menurut filosofi ini tindak pidana korupsi merupakan suatu
yang alamiah sifatnya.23 Tindak pidana korupsi berkaitan erat dengan karakter
hakiki dalam diri manusia itu sendiri.24 Karakter hakiki manusia itu
mempengaruhi persfektif terhadap lingkungan atau masyarakatnya.25 Dengan
demikian, karakter hakiki manusia akan mempengaruhi sebuah sistem dimana pun
ia hidup.26
Baharudin Lopa menyatakan bahwa lemahnya sistem merupakan salah
satu sebab terjadinya tindak pidana korupsi diberbagai sektor.27
22
Adrian Blau, Hobbes on Corruption, UK, University of Manchester Publisher, 2009, page.52. 23
Baharuddin Lopa, kejahatan korupsi dan penegakan hukum, kompas,23 Maret 2002, hlm.15. Tidak dapat
disangkal bahwa lemahnya mekanisme diberbagai sektor birokrasi dewasa ini
seperti dikeluhkan oleh pengussaha nasional termasuk pengussaha kecil maupun
pengusaha asing karena masih banyaknya mata rantai yang harus mereka lalui
kredit).28keadaan yang kurang menggembirakan ini dalam praktiknya menyebabkan suburnya suap menyuap dan pemberian komisi sebagai salah satu
bentuk perbuatan tindak pidana korupsi, bahkan tanda berliku-likunya mekanisme
administrasi, tindak pidaana korupsi ini tetap saja berlangsung.29
Manusia dewasa ini sedang hidup di tengah kehidupan material yang
sangat mengedepan. Ukuran orang disebut sebagai kaya atau berhasil adalah
ketika yang bersangkutan memiliki sejumlah kekayaan yang kelihatan di dalam
kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang menempati suatu ruang untuk bisa
mengakses kekayaan, maka seseorang akan melakukannya secara maksimal. Di
dunia ini, banyak orang yang mudah tergoda dengan kekayaan. Persepsi tentang
kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang, menyebabkan seseorang akan
mengejar kekayaan itu tanpa memperhitungkan bagaimana kekayaan tersebut
diperoleh. Dalam banyak hal, penyebab seseorang melakukan korupsi adalah (1)
Lemahnya pendidikan agama, moral, dan etika, (2) tidak adanya sanksi yang keras
terhadap pelaku korupsi, (3) tidak adanya suatu sistem pemerintahan yang
transparan (good governance), (4) faktor ekonomi, (5) manajemen yang
kurang baik dan tidak adanya pengawasan yang efektif dan efisien serta, (6)
Modernisasi yang menyebabkan pergeseran nilai-nila kehidupan yang
berkembang dalam masyarakat.30
Leden Marpaung mengatakan : Untuk dapat membuat rintangan atau
hambatan tindak pidana korupsi, maka diperlukan pemahaman yang seksama
28 Ibid. 29
Ibid 30
terhadap semua hal-hal yang mendukung atau mempengaruhinya.31
Dengan demikian secara garis besar penyebab korupsi dapat
dikelompokan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Berikut ini
faktor-faktor tersebut diuraikan sebagai berikut:
Hampir
semua segi kehidupan terjangkit korupsi. Tindak korupsi pada dasarnya
bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai
hal yang bersifat kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal
pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang
kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi.
32
A. Aspek Perilaku Individu, terdiri dari :
1. Faktor internal, merupakan faktor pendorong korupsi dari dalam diri, yang
dapat dirinci menjadi :
1). Sifat tamak/rakus manusia.
Korupsi, bukan kejahatan kecilkecilankarena mereka membutuhkan
makan. Korupsi adalah kejahatan orang profesional yang rakus, tidak jujur.
Sudah berkecukupan, tapi serakah. Mempunyai hasrat besar untuk
memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang
dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus. Maka tindakan keras
tanpa kompromi, wajib hukumnya.
2). Moral yang kurang kuat.
31
Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi (Pemberantasan dan Pencegahan), Djambatan, Jakarta, 2004,hlm. 82
32
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk
melakukan korupsi. odaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat,
bawahannya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
3). Gaya hidup yang konsumtif.
Kehidupan di kota-kota besar sering mendorong gaya hidup seseorang
konsumtif. Perilaku konsumtif bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang
memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai
tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu
adalahdengan korupsi.
B. Aspek Sosial Kemasyarakatan
Perilaku korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum
behavioris mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat
memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik
seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini
malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang
ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.33
Pada umumnya jajaran mana-jemen selalu menutupi tindak korupsi
yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini
pelanggaran korupsi justru terus berjalan denganberbagai bentuk. Oleh karena 2. Faktor eksternal, pemicu perilaku korup yang disebabkan oleh faktor di
luar diri pelaku.
a. Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi.
33
itu sikap masyarakat yang berpotensi menyuburkan tindak korupsi terjadi
karena :
(1). nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi.
Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat.Misalnya, masyarakat
menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali
membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu
didapatkan.34
34
Ibid.hlm.65.
(2). Masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama korupsi adalah
masyarakat sendiri.
Anggapan masyarakat umum terhadap peristiwa korupsi, sosok yang paling
dirugikan adalah negara. Padahal bila negara merugi, esensinya yang paling
rugi adalah masyarakat juga, karena proses anggaran pembangunan bisa
berkurang sebagai akibat dari perbuatan korupsi.
(3). Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi.
Setiap perbuatan korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini
kurang disadari oleh masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa
terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun
tidak disadari.
(4). Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan
diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan
Pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa masalah korupsi
adalah tanggung jawab pemerintah semata. Masyarakat kurang menyadari
bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.
C. Aspek ekonomi.
Pendapatan/gaji tidak mencukupi kebutuhan. Dalam rentang kehidupan
ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi.
Keterdesakan
itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya
dengan melakukan korupsi.35
D. Aspek Politis.
Kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi
orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Kontrol
sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang
melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang
diorganisasikan secara politik, melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya.36
E. Aspek Organisasi:
Dengan demikian instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan
mempertahankan kekuasaan sangat potensi menyebabkan perilaku korupsi.
(1). Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan. Posisi pemimpin dalam suatu
lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi
bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di
hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar
bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
35 Ibid. 36
(2). Tidak adanya kultur organisasi yang benar. Kultur organisasi biasanya
punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak
dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif
mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif,
seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
(3). Kurang memadainya sistem akuntabilitas. Institusi pemerintahan umumnya
pada satu sisi belum dirumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya,
dan belum dirumuskan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam
periodetertentu guna mencapai hal tersebut. Akibatnya, terhadap instansi
pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai
sasarannya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada
efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan
situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
(4). Kelemahan sistim pengendalian manajemen. Pengendalian anajemen
merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah
organisasi. Semakin longgar/ lemah pengendalian manajemen sebuah oganisasi
akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di
dalamnya.
(5). Lemahnya pengawasan. Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua,
yaitu pengawasan internal (pengawasan fungsional dan pengawasan langsung
oleh pimpinan) dan pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif
dan masyarakat). Pengawasan ini kurang bisa efektif karena beberapa faktor,
kurangnya profesional pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum
maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri.
3. Penerapan Kebijakan hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi dalam
perspektif kriminologis
A. Kebijakan Hukum Pidana
Menurut E.Utrecht hukum adalah dihimpunan petunjuk hidup (perintah
atau larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya
ditaati oleh anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan
dari pihak pemerintah itu. Pidana (hukuman) adalah masalah yang pokok dalam
hukum pidana, sebab sejarah dari hukum pidana pada hakekatnya ada;ah sejarah
dari pidana dan pemidanaan. Menurut hukum pidana kita disamping pidana juga
dikenal apa yang dinamakan tindakan.
Perbedaan antara pidana dan tindakan secara tradisional dinyatakan
sebagai berikut : pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si
pembuat sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk
pembinaan atau perawatan si pembuat. Jadi, secara dogmatis pidana itu untuk
orang yang normal jiwanya, untuk orang yang mampu bertanggung jawab tidak
mempunai kesalahan dan orang yang tidak mempunyai kesalahan tidak mungkin
dipidana.37
J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastriparnoto mengungkapkan bahwa
hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badan-
badan resmi, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
37
masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya
tindakan hukuman.38
Hukum pidana atau the Criminal Law sering disebut sebagai hukum
kriminil, karena memang persoalan yang dibicarakan dan yang diaturnya
mengenai kejahatan-kejahatan dan hal-hal yang bersangkut paut dengan kejahatan
perilaku anggota masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat.Pengertian hukum
pidana menurut Prof. Moeljatno, S.H. adalah bagian daripada keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan
untuk :
39
a) Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
barangsiapa melanggar larangan tersebut.
b) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.
Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan
diancam dengan pidan, di mana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang
bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga
38
Chainur Arrasjid. 2004. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.halaman.21. 39
perbuatan yang bersifat pasif ( tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan
oleh hukum).
Secara umum , pengertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah
“Policy” atau “beleid” khususnya dimaksudkan dalam arti”Wijsbeleid” ,menurut
Robert R.Mayer dan Ernest Greenwood, dapat Dirumuskan sebagai suatu
keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan efisien untuk mencapai
tujuan yang ditetapkan secara kolektif,40 David L,Sills Menyatakan bahwa
Pengertian Kebijakan (Policy) adalah menyatakan bahwa pengertian
kebijakan(Policy) adalah suatu perencanaan atau program mengenai apa yang
akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan bagaimana cara
melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau
diprogramkan41
Menurut Marc Ancel, pengertian Penal Policy (kebijakan Hukum Pidana)
adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis
untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan lebih baik dan untuk
memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga
kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. .
42
40
Sultan Zanti Arbi , Dan Wayan Ardana ,Rancangan Penelitian dan kebijakan sosial , (Jakarta CV.Rajawali ,1997), Hal 63, yang Terjemahan dari “the Design Of Social Policy” Tulisan Robert R.Mayer dan Ernest Greenwood.
41
Barda Nawawi Arif ,Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan kejahatan dengan Pidana Penjara ,(Badan Penerbit Universitas Diponegoro,1994),Hal 63.
42
B. Tindak Pidana Korupsi Dalam Prespektif Kriminologis
Korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Tidak saja karena modus dan teknik yang sistematis, akibat yang ditimbulkan
kejahatan korupsi bersifat pararel dan merusak seluruh sistem kehidupan, baik
dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan bahkan sampai pada kerusakan
moral serta mental masyarakat. Kerugian secara ekonomi dari korupsi, jelas dapat
dirasakan oleh masyarakat, tercermin dari tidak optimalnya pembangunan
ekonomi yang dijalankan, selain itu hasil yang diperoleh dari berbagai aktifitas
ekonomi bangsa, seperti pajak, menjadi jauh lebih kecil dari yang seharusnya
dicapai. Kerugian dalam bidang politik, praktek korupsi menimbulkan
diskriminasi pelayanan publik ataupun diskriminasi penghargaan terhadap
hak-hak politik masyarakat. Sedangkan kerugian dalam bidang sosial-budaya dan
moral, praktek korupsi telah menimbulkan “penyakit” dalam masyarakat, bahwa
perbuatan tersebut seakan dianggap sebagai perbuatan yang halal dan wajar.
Sosiolog Raimon Aron mengatakan bahwa korupsi pada akhirnya
akan mengundang gejolak revolusi, serta menjadi alat yang ampuh untuk
mendiskreditkan pemerintah, jika pemerintah tidak mampu menyelesaikan
kasus-kasus korupsi. Peristiwa ini pernah terjadi di Indonesia, pada masa
pemerintahan presiden Soeharto. Kala itu pemerintah tidak mampu mencegah,
memberantas dan menyelesaikan kasus-kasus korupsi, akhirnya presiden Soeharto
harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden. Memberantas
korupsi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, perlu adanya usaha
yang bersifat luar biasa. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa memberantas
harus sebaliknya yaitu bertindak dan berfikir luar biasa. Oleh karena itu harus
tumbuh sikap keberanian dari para penegak hukum untuk melakukan
lompatan-lompatan yuridis dan diimbangi dengan kesadaran hukum masyarakat
untuk menerima putusan-putusan yang di luar kebiasaan.
Andi Hamzah juga berpendapat bahwa pemberantasa korupsi tidak
hanya bertumpu pada pembaharuan undang-undang, namun harus terdapat upaya
lebih dari itu. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Thomas More,
menunjukkan bahwa dalam 25 tahun terdapat 72.000 pencuri telah dihukum
gantung di daerah yang penduduknya tiga sampai empat juta orang, tetapi
kejahatan terus saja merajalela. More berpendapat, bahwa dengan kekerasan
saja tidak akan mampu untuk membendung kejahatan, maka harus diimbangi
dengan usaha lain, dengan mencari kausa dari kejahatan lalu mengurangi
kausa tersebut. Dengan demikian kejahatan korupsi tidak mampu ditanggulangi
hanya dengan upaya represif tetapi diintegrasikan dengan upaya preventif.
Barda Arief Nawawi mengkritik strategi pemberantasan korupsi yang
hanya difokuskan pada upaya memperbaharui undang-undang korupsi. Strategi
demikian lebih bersifat fragmenter, parsial, simptomatik dan represif, karena
seolah-olah hanya melihat satu faktor kondisi saja sebagai penyebab atau titik
lemah dari upaya pemberantasan korupsi selama ini. Padahal jika dilihat dari
sudut kebijakan criminal (crime policy), strategi dasar penanggulangan
kejahatan (the basic crime prevention strategy) seyogianya diarahkan pada
upaya peniadaan (mengeliminasi) atau menanggulangi dan memperbaiki
keseluruhan kausa-kausa dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk
tentang kejahatan, dapat ikut andil untuk menganalisa dan mencari penyebab
dari kausa kejahatan korupsi, yang akhir-akhir ini marak terjadi di Indonesia.
Hasil dari analisa tersebut, nantinya dapat dijadikan sumbangsih pemikiran
dalam mencegah kejahatan korupsi.
Kriminologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membahas tentang
kejahatan,eksistensinya tidak lebih awal dari permasalahan kejahatan itu
sendiri. Kejahatan merupakan suatu permasalahan umurnya setua peradaban
manusia. Sedangkan kriminologi keberadaannya baru dipopulerkan oleh P.
Topinard (1830-1911) seorang ahli antropologi dari Perancis pada abad
ke-19.43Bonger menguatkan eksistensi kriminologi dengan mengatakan bahwa
sebelum P. Topinard telah ada pelopor-pelopor yang mengkaji masalah
kejahatan, telah dimulai sejak zaman kuno sampai revolusi Perancis.44
J.E. Sahetapy, dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya di Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, mengatakan bahwa hal yang paling dianggap
gampang untuk menampik apa yang dinamakan kejahatan, tetapi tidaklah mudah
jika hendak bertindak sesuai dengan apa yang dinamakan kejahatan.45
43
Topo Santoso, dan Eva Achjani Z, Kriminologi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 9. 44
Baca bukunya W.A. Bonger, op. cit, hlm. 43-63 45
J.E. Sahetapy, Pisau Analisa Kriminologi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 1.
Namun,
yang paling sulit dan acap kali bahkan mengerikan, apabila kriminologi dipakai
untuk menganalisis apa yang dinamakan kejahatan. Ungkapan tersebut
menunjukkan adanya suatu kesulitan dalam menganalisa dan mengkaji
persoalan kejahatan. Tidak hanya dalam menganalisa, mendiskripsikan apa
yang dimaksud kejahatan, merupakan hal sulit bagi kriminologi, terbukti
seringkali ahli kriminologi terlibat perdebatan kontroversial mengenai
yang wajar dalam perdebatan khazanah keilmuan dan akan menjadi lebih
menarik apabila kontroversial tersebut dihubungkan dengan kejahatan tertentu
yaitu korupsi. Apakah korupsi merupakan tipologi kejahatan?
Soerjono Soekanto, mencoba mengkompilasi pandangan-pandangan para
ahli kriminologi dalam mendeskripsikan kejahatan dengan menjadi tiga golongan.
Pertama, golongan hukum atau yuridis; kedua, golongan non yuridis; dan ketiga,
golongan yang mengatas namakan sebagai kriminologi baru atau kriminologi
kritis.46
“An intentional act in violation of the criminal law (statutory or case law), committed without defence or excuse, and penalized by the state as a felony andmisdemeanor”.
Golongan yuridis berpendapat bahwa sasaran perhatian yang layak
bagi kriminologi terhadap kejahatan adalah mereka yang telah diputuskan oleh
pengadilan pidana sebagai penjahat karena kejahatan yang dilakukannya.
Seperti yang dikatakan oleh Paul W. Tappan dalam melihat kejahatan dari sudut
pandang yuridis:
47
W. A. Bonger, juga mengemukakan pendapatnya bahwa kejahatan
merupakan perbuatan anti-sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara
berupa pemberian derita, dan kemudian sebagai reaksi terhadap
rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai kejahatan.48
46
Soerjono Soekanto dkk, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 19-30.
47
Ibid, hlm. 21. 48
W.A. Bonger, op. cit, hlm. 21
Sutherland, juga
berpendapat bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh
Negara oleh karena merupakan perbuatan yang merugikan Negara dan terhadap
perbuatan tersebut Negara bereaksi, dengan hukuman sebagai suatu upaya
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, bahwa kejahatan dalam
prespektif golongan yuridis adalah perbuatan yang telah diatur oleh
perundang-undangan dan mendapatkan reaksi dari negara berupa pidana bagi yang
melanggarnya. Jika definisi kejahatan yang didiskripsikan oleh golongan yuridis
dihubungkan dengan korupsi, maka korupsi merupakan kejahatan, karena
perbuatan korupsi telah diatur secara jelas dalam undang-undang No. 31 Tahun
1999 Tentang Anti Korupsi, salah satu pasalnya adalah:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Siapa saja yang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara disebut
korupsi. Golongan yuridis berpendapat bahwa korupsi merupakan tipologi
kejahatan dalam kajian kriminologi. Menurut golongan non yuridis kejahatan
bukanlah perbuatan yang telah diatur dalam perundang-undangan seperti yang
telah didefinisikan oleh golongan yuridis. Kejahatan dapat dirumuskan sebagai
suatu “cap” atau “label” yang dilekatkan pada perilaku tertentu oleh pihak yang
berada dalam suatu posisi untuk melaksanakan kekuasaan.
Secara sosiologis, hal tersebut merupakan konsekwensi dari terjadinya
proses interaksi social, bahwa orang perorangan di dalam pergaulan sehari-hari,
secara sadar maupun secara tidak sadar mengadakan aktifitas-aktifitas dan
pola-pola perikelakuan yang dikaitkannya dengan kehidupan sehari-hari,
membahayakan masyarakat, maka masyarakat memberikan “cap” jahat pada
suatu perikelakuan tertentu.49
Golongan non yuridis sepakat berpendapat bahwa kejahatan bukanlah
merupakan suatu perilaku atau perbuatan tetapi kejahatan adalah status, cap atau
label, yang sengaja diberikan kepada orang tertentu yang melakukan
perbuatan, di mana perbuatan tersebut dianggap oleh masyarakat dapat
mengganggu eksistensi komunitas masyarakat tertentu. Korupsi jika dilihat dari
prespektif non yuridis merupakan kejahatan, karena korupsi merupakan “cap”
atau “label” seperti yang diungkapkan oleh para ahli kriminologi yang
Menurut Austin Turk, kejahatan merupakan suatu status bukanlah perilaku
atau perbuatan. Turk menekankan bahwa sebagian terbesar orang yang
mengerjakan perilaku yang secara hukum dirumuskan sebagai kejahatan,
maka data kejahatan yang didasarkan pada penahanan atau penghukuman tidak
berguna dalam menjelaskan siapa yang melakukan kejahatan, melainkan hanya
siapa yang diberikan cap atau label sebagai penjahat.
Howard Becker berpendapat lebih umum tentang kejahatan. Bahwa
kejahatan bukanlah merupakan suatu kualitas tindakan yang dilakukan
melainkan akibat penerapan cap atau label tertentu terhadap perilaku tertentu.
Richard Quinney mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu rumusan tentang
perilaku manusia yang diciptakan oleh yang berwenang dalam suatu masyarakat
yang secara politis terorganisasi. Kejahatan merupakan suatu hasil rumusan
perilaku yang diberikan terhadap sejumlah orang oleh orang-orang lain;
dengan begitu kejahatan adalah sesuatu yang diciptakan.
49
beranggapan kejahatan dari sisi non yuridis. Korupsi merupakan perbuatan
yang dapat menghancurkan tatanan social masyarakat yang telah permanen,
sampai digolongkan sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa).
Sadjipto Rahardjo, menganggap korupsi sebagai parasit, yang
menghisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan saat pohon itu mati
maka para koruptor pun akan ikut mati karena tidak ada lagi yang dihisap.
Terhadap perbuatan seperti itu masyarakat dalam interaksi sosialnya akan
memberikan cap atau lebel terhadap perbuatan itu, karena dapat mengganggu
masyarakat.
Golongan ketiga, yang mengatas namakan dirinya sebagai kriminologi
baru, memiliki pandangan yang bertolak dari anggapan bahwa kejahatan harus
dijelaskan dengan melihat pada kondisi-kondisi struktural yang ada dalam
masyarakat dan menempatkan kejahatan dalam konteks ketidak merataan
kekuasaan, kemakmuran dan otoritas serta kaitannya dengan
perubahan-perubahan ekonomi dan politik dalam masyarakat. Ukuran dari kejahatan atau
tidaknya suatu perbuatan bukan ditentukan oleh nilai-nilai dan norma-norma
yang dianggap sah oleh mereka yang duduk pada posisi-posisi kekuasaan atau
kewibawaan (yuridis), melainkan oleh besar kecilnya kerugian atau keparahan
sosial (social injuries) yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut dan dikaji dalam
konteks ketidak merataan kekuasaan dan kemakmuran dalam masyarakat.
Perilaku menyimpang sebagai proses sosial dianggap terjadi sebagai
reaksi terhadap kehidupan kelas seseorang. Meskipun tidak terlalu jelas
mendeskripsikan tentang kejahatan, golongan kriminologi baru ini telah
kepada kausa kejahatan yang diakibatkan oleh faktor struktural yaitu ketidak
merataan kekuasaan dan kesejahteraan. Potensi ini telah menjadi penyebab
terjadinya kejahatan sebagai reaksi terhadap kehidupan kelas seseorang.
Kejahatan yang dilakukan bukan semata-mata “kejahatan” tetapi lebih kepada
reaksi ketidak adilan terhadap kesejahteraan.
Korupsi jika ditinjau dari prespektif kriminologi baru, maka korupsi
merupakan kejahatan, karena korupsi memiliki dampak social (social injuries)
yang sangat luar biasa. Akan terjadi kesenjangan struktural yang diakibatkan oleh
kejahatan korupsi itu, hal tersebut akan terus berlaku selama kejahatan korupsi
tersebut dapat ditanggulangi. Ibarat “lingkaran setan”, kejahatan korupsi
cenderung dilakukan dengan cara berkorporasi, baik dari atasan ke bawahan
atau sebaliknya dari bawahan ke atasan. Amien Rais berpendapat bahwa skala
korupsi telah menjadi sedemikian menggurita dan dapat dikatakan bukan saja
korupsi telah membudaya, namun juga telah melembaga. Telah mengalami
proses institusionalisasi, sehingga hamper-hampir tidak ada lembaga Negara
atau pemerintah yang bebas dari korupsi. kenyataan tersebut dipertegas oleh
sebuah jurnal asing yang mengatakan bahwa “corruption is way of live in
Indonesia”.50
Analisa kriminologi terhadap korupsi menghasilkan sintesa bahwa
korupsi merupakan kejahatan, sintesa ini dihasilkan dari hasil analisis
deskripsi para ahli kriminologi tentang kejahatan, baik ahli kriminologi yang
berpandangan kejahatan merupakan perbuatan yang dilarang oleh peraturan
perundang-undangan dan mendapatkan sanksi pidana bagi yang
50
melakukannya, atau yang mendeskripsikan kejahatan bukanlah suatu
perbuatan tetapi status atau lebel yang diberikan oleh masyarakat terhadap
perbuatan yang mengganggu eksistensi komonitas masyarakat,atau yang
mendeskripsikan kejahatan dari prespektif akibat yang disebabkan oleh
struktural.
Menarik jika sintese di atas dihubungkan dengan pendapat Sadjipto51
Satjipto Rahardjo, memberikan contoh bahwa korupsi non
konvensional itu adalah “korupsi kekuasaan”, yaitu pelaksanaan kekuasaan
publik mana pun dan pada tingkat mana pun, yang berkualitas jahat, tidak jujur,
lemah empati, tidak bermutu, dan merusak kepercayaan public. Ia adalah
penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang (willekeur), ceroboh,
melakukan pekerjaan/proyek di bawah standar; bekerja asalasalan, tidak
perduli perasaan rakyat, dan sebagainnya.
Raharjdo tentang korupsi konvensional, mengatakan:
“Korupsi versi Undang-Undang Antikorupsi “hanya” merumuskan korupsi sebagai perbuatan yang merugikan keuangan Negara, baik untuk kepentingan sendiri maupun kelompok. tentu saja itu sudah lumayan, tetapi jika kita ingin menuntaskan pemberantasan korupsi dengan sekalian percabangannya, maka sasaran tembak yang demikian itu belum mencukupi. Yang kita tembak baru korupsi konvensional”
Dapat disimpulkan, bahwa korupsi yang dianalisa di atas adalah
korupsi konvensional, maka tidak menjadi perdebatan jika korupsi konvensional
itu ditetapkan sebagai kejahatan, pasti tidak akan ada yang menolak dan
menentang sintese itu. Lalu bagaimana dengan korupsi yang non konvensional,
apakah merupakan kejahatan atau tidak?.
52
51
Satjipto Rahardjo, op. cit, hlm. 135. 52
Ibid, hlm. 136.
Kualitas pelayanan menjadi parameter untuk menentukan korupsi
kekuasaan. Seorang pejabat public yang membiarkan rakyat menunggu adalah
contoh tingkah laku pelayanan yang buruk, demikian pula dengan pekerjaan
proyek-proyek fisik. Parameter korupsi kekuasaan adalah “menjalankan tugas atau
pekerjaan secaratidak memadai atau patut.”
Ukuran ini bisa dikenakan pada sekalian jabatan di ranah public, mulai
pimpinan proyek, akuntan, guru, dosen, rector, kepala rumah sakit, kepala desa,
bupati, jaksa, hakim, legislative, menteri dan seterusnya. Korupsi non
konvensional ini amat diduga akan terjadi setiap hari berdampingan dengan
korupsi konvensional, tetapi tanpa terdeteksi, apalagi mengangkatnya ke
dalamundang-undang. Lebih menakutkan lagi apabila difikirkan betapa
korupsi non konvensional tersebut dapat menjadi voorklas (taman
kanak-kanak) dari korupsi konvensional.
Lebih fatal lagi jika masyarakat tidak menganggapnya sebagai suatu
kejahatan, karena ada hubungan simbiusis mutualisme antara koruptor dan
masyarakat. Dengan begitu, korupsi non konvensional itu bukanlah suatu
kejahatan karena tidak terkriminalisasi dalam perundang-undangan korupsi,
korupsi non konvensional itu diamini atau disetujui oleh masyarakat, dengan
kata lain masyarakat tidak merasa dirugikan dan tidak merasa diusik
eksistensinya, dengan begitu dapat disimpulkan bahwa korupsi konvensional
tersebut bukanlah sebuah kejahatan.
Salah satu penyebab sulitnya korupsi dapat ditanggulangi, karena
penanggulangan korupsi hanyalah sebatas korupsi yang bersifat konvensional
dan dampak yang diakibatkannya, padahal korupsi non konvensional laksana
taman kanak-kanak yang akan berkembang kearah korupsi konvensional jika
tidak ditanggulangi.
Syed Hussein Alatas, telah memberikan gambaran dampak dari korupsi
itu, dengan mengatakan bahwa korupsi akhirnya akan menggerogoti habis
dan menghancurkan masyaakatnya sendiri (self-destruction). Korupsi sebagai
parasit yang menghisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan saat pohon
itu mati maka para koruptor pun akan ikut mati karena tidak ada lagi yang bisa
dihisap.53
Spesifikasi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang
dilakukan adalah metode penelitian hukum yang Yuridis Normatif dinamakan
juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Pada
penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat Masyarakat Indonesia harus disadarkan kembali kepada living law,
bahwa korupsi non konvensional merupakan kejahatan yang wajib untuk
dihindarkan. Masyarakat Indonesia juga harus disterilkan dari kontaminasi
nilai-nilai luar yang negative. Dengan begitu korupsi yang bersifat non
konfensional akan menjadi kriminalisasi meskipun ditingkat social dan ini
menjadi mudal utama dalam menciptakan ketertiban dan pencegahan dari
kejahatan korupsi.
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
53
merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tirtier.
Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada :
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.
b. Penelitian terhadap sistematika hukum.
c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum.
d. Penelitian terhadap sejarah hukum.
e. Penelitian terhadap perbandingan hukum.
Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap
peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang
berkaitan dengan permasalahan skripsi ini.
2. Metode Pendekatan
Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan yuridis normatif.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian penulis dalam menyusun skripsi ini adalah Pengadilan
Negeri Medan.
4. Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan pendekatan dan data dalam penelitian ini, maka metode
pengumpulan data yang dipakai adalah studi kepustakaan, yaitu menelaah bahan
hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala desa paya itik dalam perpektif
kriminologis.
5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Prosedur pengumpul dan pengambilan data yang digunakan dalam
penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library research), yaitu
dengan melakukan penelitian terhadap berbagai literatur yang relevan dengan
permasalahan skripsi ini seperti, buku-buku, makalah, artikel dan berita yang
diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh
konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan yang berkenaan dengan tindak
Pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala desa paya itik dalam perspektif
kriminologis.
6. Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan
cara kualitatif, yaitu dengan menganalisis data lalu diorganisasikan dalam
pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka
kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan