• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Tindak yang dilakukan oleh Kepala Desa Paya Itik Dalam Persfektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.17 Pid.Sus-TPK 2016 PN.MDN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Hukum Tindak yang dilakukan oleh Kepala Desa Paya Itik Dalam Persfektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.17 Pid.Sus-TPK 2016 PN.MDN)"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah

Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia

seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera,

dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk

mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera tersebut,

perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana umumnya serta tindak pidana korupsi khususnya.2

Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan

masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial

masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, dalam bentuk tindak pidana

yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan

fenomenal adalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan

negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi

masyarakat.3

Korupsi merupakan kata yang populer dimasyarakat dan menjadi tema

pembicaraan sehari-hari. Korupsi sudah terjadi sejak zaman dahulu dan

merrupakan suatu peristiwa universal yang dapat terjadi diseluruh dunia. Di

Indonesia, tindak pidana Korupsi sudah meluas dalam masyarakat.

Perkembangannya terus meningkat dari tahun ketahun baik dari jumlah kasus

2

Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.3 Tahun 1971,LN. No. 19 Tahun 1971,TLN. No. 2958, Penjelasan umum

3

(2)

yang terjadi maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin

sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Di berbagai belahan Dunia, korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih

dibandingkan dengan tindak pidana lainnya, hal ini dapat dimaklumi mengingat

dampak negatif yang ditimbulkan oleh korupsi dapat menyentuh berbagai bidang

kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius karena dapat membahayakan

stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial,

ekonomi dan politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas

karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya yang menjadi

ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.

Tindak pidana korupsi merupakan persoalan klasik yang telah lama ada.

Sejahrawan Onghokham pernah menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi ada

ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan

umum.4masih menurut Onghokham, pemisahan keuangan tersebut tidak ada

dalam konsep tradisional.5 Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tindak pidana

korupsi mulai ada pada saat sistem politik modern dikenal.6

Juniadi Suwartojo dengan tegas menyatakan bahwa tindak pidana korupsi

ialah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar

norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan

atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan, pungutan, penerimaan,

atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan

4

LPPNRI,Panduan Kegiatan Sadar Hukum Mengenai Korupsi Kolusi Nepotisme Bagi Aparatur Pemerintah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat, Jakarta, 2008, hlm.3-4

5

Ibid. 6

(3)

penerimaan dan/ atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau

kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tjuan untuk

memperoleh keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak

langsung merugikan kepentinngan dan/ atau keuangan negara/masyarakat.7

Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah

satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian di Indonesia yang terjadi secara

sistematik dan meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara

atau perekonomian negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan

ekonomi masyarakat secara luas.8

Tindak pidana korupsi telah menjadi sesuatu yang sistemik, sudah menjadi

suatu sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara dan

bahkan dapat dikatakan bahwa pemerintahan justru akan hancur apabila tindak

pidana korupsi diberantas. Struktur pemerintahan yang dibangun dengan latar

belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup dan akan hancur manakala

korupsi tersebut dihilangkan.9

Berdasarkan data Political dan Economic Risk Consultancy (PERC) pada

tahun 2010, Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia

Pasifik. Jika dilihat dalam kenyataan sehari-hari, tindak pidana korupsi hampir

tejadi disetiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari mengurus

izin mendirikan bangunan, proyek pengadaan di instansi pemerintah sampai

7 Ibid. 8

Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Penelitian hukum tentang Aspek Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jakarta, 2008, hlm.1.

9

(4)

proses penegakan hukum. Tanpa disadari, tindak pidana korupsi sudah dianggap

suatu hal yang lumrah dan wajar untuk dilakukan oleh masyarakat umum.

Hal serupa terlihat pula dalamhal memberikan hadiah kepada pejabat

pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan.

Kebiasaan-kebiasaan itu dipandang lumrah dilakukan sebagai bagian dari budaya ketimuran.

Kebiasaan koruptif ini lama-lama akan menjadi bibit-bibit tindak pidana korupsi

yang nyata.10 Sejarah menorehkan catatan panjang perjuangan bangsa Indonesia

melawan tindak pidana korupsi. Namun demikian, hingga saat ini tindak pidana

korupsi masih merajalela bahkan semakin canggih dan semakin tersistematis.

Sebagai bangsa pejuang, bangsa Indonesia tidak pernah dan tidak boleh

menyerah. Perlawanan terhadap tindak pidana korupsi harus terus dilakukan.

Perlawanan terhadap tindak pidana korupsi ini tentunya harus dilakukan dengan

lebih masif, sistematis, konsiten, dan berkomitmen.11

Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah dilakukan

selama lebih dari 60 tahun, baik pada Orde lama, Orde Baru, maupun pada era

reformasi, serta era baru pemerintahan saat ini. Namun demikian, segala daya dan

upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat

dalam menanggulangi tindak pidana korupsi ternyata belum menunjukan hasil

seperti yang diharapkan.12

Meningkatnya tindak pidana korupsi akan membawa bencana tidak hanya

terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa

10

Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami untuk membasmi, Buku Saku untuk memahami tindak pidana korupsi, komisi pemberantasan korupsi, Jakarta, 2006, hlm.1.

11

Komisi Pemberantasan Korupsi, Optimalisasi pelayanan publik laporan tahunan KPK 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta,2008, hlm.14.

12

(5)

dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis

juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi

masyarakat dan karena itu semua, maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat

digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar

biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan

secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.13

Pemberantasan korupsi bukanlah hal yang baru dilakukan oleh pemerintah

Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya aturan-aturan hukum mengenai

Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi serta ancaman nyata pasti

akan terjadi, yaitu dampak dari tindak pidana korupsi ini,maka tindak pidana

korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan Nasional yang harus dihadapi

secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan

jelas, dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya

pemerintah dan aparat penegak hukum.

Di tengah upaya pembangunan nasional diberbagai bidang, aspirasi

masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya

semakin meningkat, karena dalam kenyataan, adanya perbuatan korupsi telah

menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat

berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya

pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan di

intensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan

masyarakat.

13

(6)

pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku saat ini. Diberlakukannya

undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dimaksudkan untuk

menanggulangi dan memberantas korupsi dimaksudkan untuk menanggulangi dan

memberantas korupsi baik oleh pemerintah, aparat penegak hukum dan

masyarakat. Pemberantasan tindak pidana korupsi dalam pasal 1 angka 3

Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK di definisikan sebagai berikut:

“ serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Korupsi dalam praktik pelaksanaannya sangat erat kaitannya dengan

keuangan negara. Keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD,

keuangan negara pada Perjan, Perum, Perkebunan Nusantara, dan sebagainya.

Keuangan dalam arti sempit hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang

mengelola dan mempertanggung jawabkan keuangan negara.14

Korupsi adalah bagian dari aktivitas-aktivitas buruk yang menjauhkan

negara ini dari pemerintahan yang bersih, jujur dan jauh dari rasa keadilan.

Dengan kata lain, korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam praktiknya, tindak pidana

korupsi sering dilakukan oleh pejabat atau mantan kepala pemerintahan pada

pada masa pemerintahan/ kepemimpinannya, baik itu yang berada di pusat,

maupun yang berada di daerah, bahkan tidak jarang pula merambat sampai pada

Pejabat dilingkup Desa. Dalam ruang lingkup desa, praktik pelaksanaan tindak

14

(7)

pidana korupsi sangat erat kaitannya dengan Alokasi dana Desa, Pendapatan

Desa, Bantuan Sosial Desa dan lain sebagainya.

Terbukti dari ada yang namanya Hari Anti Korupsi Sedunia. Ini tentu

merupakan muara dari kekhawatiran dan keprihatinan bersama dari semua negara

atas praktek korupsi ini. Korupsi bukanlah penyakit budaya atau penyakit politik,

akan tetapi sebab semua itu tergantung cara dan dari sudut mana orang

memandang. Yang pasti korupsi ini adalah tindak pidana yang harus diganjar dan

diberi sanksi. Korupsi tidak terjadi hanya ditingkatan pusat melainkan juga terjadi

di daerah – daerah. Korupsi juga tidak mengenal profesi.

Salah satu permasalahan korupsi adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh

Parno, Kepala Desa Paya Itik Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang,

Sumatera Utara yang mengkorupsi Alokasi Dana Desa sehingga menimbulkan

kerugian negara sebesar Rp. 38.587.553.12 - . Penanganan kasus tersebut di

Pengadilan Negeri Medan hingga ke Pengadilan Tinggi Medan Untuk itu Penulis

memilih judul : “Analisis Hukum Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh

Kepala Desa Paya Itik dalam Perspektif Kriminologis.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai Tindak Pidana Korupsi Dana

Desa ?

2. Bagaimana faktor-faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana Korupsi yang

(8)

3. Bagaimana penerapan kebijakan hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi

dalam perspektif kriminologis?,

C. Keaslian Penulisan

Sepanjang penelusuran di perpustakaan Fakultas hukum USU skripsi

dengan judul ANALISIS HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG

DILAKUKAN OLEH KEPALA DESA PAYA ITIK DALAM PERSPEKTIF

KRIMINOLOGIS ( STUDI PUTUSAN No. 17/Pid.Sus/TPK/2016/PN-Mdn)

belum pernah diteliti dalam bentuk skripsi dari Departemen Hukum Pidana di

Fakultas Hukum USU, namun ada beberapa skripsi yang mengangkat tentang

korupsi tetapi ditinjau dari segi yang berbeda. Adapun skripsi yang terlebih

dahulu mengangkat tentang korupsi antara lain berjudul Pertanggung jawaban

Tindak Pidana Korupsi DPRD Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah Periode

1999-2004 ( Studi Putusan No. 37/Pid/B/2008/PN.Btg), Proses Pembuktian

Tindak Pidana Korupsi (Studi Dalam Lembaga Terkait Di Medan), Kajian Hukum

Tentang Ekstradisi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi, dan sebagainya.

Penulisan dalam skripsi ini berbeda dari penulisan skripsi sebelumnya yang

mengangkat tentang korupsi. Penulisan skripsi ini membahas tentang faktor

penyebab melawan hukum dalam tindak pidana korupsi serta kedudukan hukum

dalam studi putusan.

D. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum yang ingin dicapai adalah untuk memberikan suatu

gambaran atau pembahasan mengenai adanya suatu peluang terjadinya tindak

(9)

pelaku tindak pidana korupsi terhadap dana desa.

2. Tujuan Khusus

1. Untuk Mengetahui dan Menganalisa peraturan yang digunakan dalam

menjerat pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia;

2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab seseorang menyalah

gunakan wewenang dengan melawan hukum seperti tindak pidana

korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa Paya Itik Kecamatan Galang

Kabupaten Deli serdang.

E. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

Manfaat yang berkaitan dengan keilmuan, antara lain :

1. Bagi para peneliti untuk mengembangkan kembali apa yang telah

diangkat dalam tulisan ini serta pengembangan ilmu pengetahuan di

bidang Hukum Pidana.

2. Pengembangan bahan perkuliahan pada materi dalam hukum pidana atau

pun bidang hukum lain yang berkaitan.

3. Bahan publikasi ilmiah.

2. Manfaat Praktis

1. Bagi Kepala Desa serta jajarannya agar lebih berhati-hati dalam

mengelola dana desa yang jumlahnya besar tersebut.

2. Bagi Pemerintah Daerah agar terus melakukan pengawasan terhadap

jalannya pengelolaan dana desa di tiap desa.

3. Bagi pemerintah pusat serta aparat penegak hukum agar melakukan

(10)

efisien terhadap pengelolaan dana desa, agar turunnya dana desa yang

jumlahnya besar tersebut tidak disalahgunakan dikemudian hari.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengaturan hukum Mengenai Tindak Pidana Korupsi

A. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

Korupsi sudah terjadi sejak zaman dahulu dan merupakan suatu peristiwa

universal yang dapat terjadi diseluruh dunia termasuk Indonesia. Terminologi

korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio atau corruptus, berasal dari kata

corrumpere adalah suatu kata dari bahasa latin yang lebih tua.15 Selanjutnya istilah korupsi muncul dalam beberapa bahasa di Eropa seperti bahasa inggris

yaitu Corruption dan corrupt, bahasa Perancis dengan kata corruptie yang

selanjutnya menjadi “korupsi” dalam bahasa indonesia.16

Dalam Black’s Law Dictionary, pengertian korupsi adalah sebagai

berikut.17

15

H.Juni sjafrien jahja, Dr. SH,MH. Say no to korupsi. Visimedia meretas generasi bijak, Jakarta, hlm.7.

16

Ibid.hlm.8. 17

Henry Campbell Black, M.A, Black’s Law Dictionary, (St Paul, Minn, West Publishing Co.).,Sixth Edition, 1990, hal.191,345.

Corruption : An act is done with an intention to give someone advantage

inconsistent with oficial duty and the rights of others. The act of an

official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his

station or character to procure some benefit for himself or for

another person, contrary to duty and the rights of others. See

(11)

Korupsi : suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan

beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas dan hak

orang lain. perbuatan seorang pejabat atau seorang pemegang

kepercayaan yang secara bertentangan dengan hukum, secara keliru

menggunakan kekuasannya untuk mendapatkan keuntungan untuk

dirinya sendiri atau untuk orang lain, bertentangan dengan tugas

dan hak orang lain.

Praktik korupsi tidak hanya melanda negara-negara berkembang, tetapi

juga negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Hanya saja korupsi di Indonesia

sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extraordinary crimes),

sehingga tuntutan ketersediaan perangkat hukum yang sangat luar biasa dan

canggih serta kelembagaan yang menangani korupsi tersebut tidak dapat

dielakkan lagi. Kiranya rakyat Indonesia sepakat bahwa korupsi harus dicegah

dan dibasmi dari tanah air, karena korupsi sudah terbukti sangat menyengsarakan

rakyat bahkan rakyat sudah merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial

rakyat Indonesia.

Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya persoalan

hukum dan penegak hukum semata-mata melainkan persoalan sosial dan

psikologi sosial yang sungguh sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan

hukum, sehingga wajib segera dibenahi secara simultan. Korupsi juga merupakan

persoalan sosial karena korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerintah

kesejahteraan dan merupakan persoalan psikologi sosial karena korupsi

merupakan penyakit sosial yang sulit disembuhkan. 18

18

(12)

Tindak pidana korupsi adalah salah satu bagian hukum pidana khusus,

disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana

umum, yaitu dengan adanya penyimpangan hukum pidana formil atau hukum

acara. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum posif Indonesia

sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya kitab undang-undang

hukum pidana (Wetboek van Strafrecht) 1 Januari 1918, kitab undang-undang

hukum pidana (Wetboek van Strafecht) sebagai suatu kodifikasi atau unifikasi

berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asa konkordansi dan

diundangkan dalam staatbland 1915 Nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915.19

Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut hanya berlaku untuk sementara,

karena Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan bahwa Peraturan

penguasa perang pusat tersebut segera digantikan dengan peraturan

perundang-undangan yang berbentuk undang-undang. Dalam keadaan yang mendesak dan Selanjutnya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17

Agustus 1945 keberadaan tindak pidana korupsi juga diatur dalam hukum positif

Indonesia, pada waktu seluruh wilayah negara Republik Indonesia dinyatakan

dalam keadaan perang berdasarkan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 ,

UndangUndang Nomor 79 Tahun 1957 tentang penyelesaian pernyataan keadaan

perang sebagai yang telah dilakukan dengan keputusan Presiden Repbulik

Indonesia Nomor 225 tahun 1957 tanggal 17 Desember 1957, yang mana dalam

rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah diterbitkan tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi untuk yang pertama kali, yaitu peraturan

penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/PM/011/1957.

19

(13)

perlunya diatur segera tentang tindak pidana korupsi, dengan berdasarkan pada

pasal 96 ayat 1 undang-undang dasar sementara 1950, penggantian peraturan

penguasa perang pusat tersebut ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan

yang berbentuk pemerintah pengganti undang-undang Nomor 24 Tahun 1960

tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang

selanjutnya berdasarkan undang-undang Nomor 1 Tahun 1960 ditetapkan menjadi

undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang pengusutan penuntutan, dan

Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.20

Dengan berdasarkan kepada ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998

tersebut, telah ditetapkan pada tanggal 19 Mei 1999, undang-undang Nomor 28

Tahun 1999. Selanjutnya pada tanggal 16 agustus 1999 telah ditetapkan undang-Ternyata dalam penerapan dan pelaksanaanya undang-undang Nomor Prp

Tahun 1960 belum mencapai hasil seperti yang diharapkan sehingga 11 (sebelas)

tahun kemudian digantikan dengan undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi. Setelah selama 28 (dua puluh delapan)

tahun berlaku ternyata undang-undang Nomor 3 tahun 1971 telah tidak sesuai lagi

dengan perkembangan dn kebutuhan hukum mengenai pemberantasan tindak

pidan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara

Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi Negara pada waktu itu,

dengan menetapkan ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, yang antara lain

menetapkan agar diatur lebih lanjut dengan undang-undang tentang upaya

pemberantasan tindak pidan korupsi yang dilakukan dengan tegas dengan

melaksanakan secara konsisten undang-undang Tindak Pidana Korupsi.

20

(14)

undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai pengganti undang-undang Nomor 3 Tahun

1971 yang dinyatakan telah dilakukan perubahan untuk pertama kalinya dengan

undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Atas undang-undang

Nomor 31 Tahun1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana korupsi (Lembaga

Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4150), yang disahkan dan mulai

berlaku sejak tanggal 21 Nopember 2001.

Karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana

korupsi dianggap belum berfungsi secara efektif dan efisiensi dalam memberantas

tindak pidana korupsi, maka pada tanggal 27 Desember 2002 telah diundangkan

undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137,

Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4250). 21

A. Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :

Memperhatikan Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Undang-undang Nomor 20

tahun 2001, maka tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi yaitu

Korupsi Aktif dan Korupsi Pasif.

Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi pasal 2 ayat (1) yang berbunyi “setiap orang yang secara melawan

hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

Korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,

dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat

4 (Empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit

Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00

21

(15)

(satu milyar rupiah)”. Dalam ayat (2) yang berbunyi, “dalam hal tindak pidana

korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,

pidana mati dapat dijatuhkan”.

Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi pasal 3 yang berbunyi,

“ setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau pearekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling lama sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Memberi hadiah Kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan

atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi

hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999). Percobaan pembantuan, atau

pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak pidana Korupsi (Pasal 15

Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).

Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau

Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu

dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf

a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001). Memberi sesuatu kepada pegawai

negeri atau Penyelenggara negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang

bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam

(16)

Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6

ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001). Setiap orang yang pada

waktu menyerahkan barang keperluan Tentara nasional Indonesia atau Kepolisian

negara Reublik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat

membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf

c Undang undang Nomor 20 tahun 2001).

Setiap orrang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan

Tentara nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan

sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c

(pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001). Pegawai negeri

atau selain pegawai negeri yang di tugaskan menjalankan suatu jabatan umum

secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan

uang atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan

oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8

Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).

B. Sedangkan Korupsi Pasif adalah sebagai berikut :

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau

janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang

bertentangan dengan kewajibannya (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 20

tahun 2001). Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau

(17)

perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2)

Undang-undang nomor 20 Tahun 2001).

Orang yang menerima penyerahan bahan atau keparluan tentara nasional

indonesia, atau kepolisisan negara republik indonesia yang mebiarkan perbuatan

curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau c Undang-undang

nomor 20 tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor 20 tahun 2001).

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji

padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji

tersebut diberikan untuk mengerakkan agar melakukan atau tidak melakukan

sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,atau sebaga

akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu

dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 12 huruf a dan

huruf b Undang-undang nomor 20 tahun 2001).

Hakim yang menerima hadiah atau janji,padahal diketahui atau patut

diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan

perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (pasal 12 huruf c

Undang-undang nomor 20 tahun 2001). Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal

diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk

mempengaruhi nasihat atau pendapat uang diberikan berhubungan dengan perkara

yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (pasal 12 huruf d

Undang-undang nomor 20 tahun 2001). Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara

yang menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan

berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (pasal 12 Undang-undang nomor 20

(18)

2. Faktor-faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana Korupsi

A. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi

Pada dasarnya terdapat banyak faktor penyebab tindak pidana korupsi,

oleh karenanya, merupakan suatu yang sangat sulit untuk menjelaskan

faktor-faktor penyebab dilakukannya tindak pidana korupsi secara keseluruhan. Pada

bagian ini, penulis akan mencoba menguraikan beberapa faktor dasar yang

menyebabkan tindak pidana korupsi.

Thomas Hobbes melihat tindak pidana korupsi sebagai persoalan biasa,

bukan kejahatan.22 Menurut filosofi ini tindak pidana korupsi merupakan suatu

yang alamiah sifatnya.23 Tindak pidana korupsi berkaitan erat dengan karakter

hakiki dalam diri manusia itu sendiri.24 Karakter hakiki manusia itu

mempengaruhi persfektif terhadap lingkungan atau masyarakatnya.25 Dengan

demikian, karakter hakiki manusia akan mempengaruhi sebuah sistem dimana pun

ia hidup.26

Baharudin Lopa menyatakan bahwa lemahnya sistem merupakan salah

satu sebab terjadinya tindak pidana korupsi diberbagai sektor.27

22

Adrian Blau, Hobbes on Corruption, UK, University of Manchester Publisher, 2009, page.52. 23

Baharuddin Lopa, kejahatan korupsi dan penegakan hukum, kompas,23 Maret 2002, hlm.15. Tidak dapat

disangkal bahwa lemahnya mekanisme diberbagai sektor birokrasi dewasa ini

seperti dikeluhkan oleh pengussaha nasional termasuk pengussaha kecil maupun

pengusaha asing karena masih banyaknya mata rantai yang harus mereka lalui

(19)

kredit).28keadaan yang kurang menggembirakan ini dalam praktiknya menyebabkan suburnya suap menyuap dan pemberian komisi sebagai salah satu

bentuk perbuatan tindak pidana korupsi, bahkan tanda berliku-likunya mekanisme

administrasi, tindak pidaana korupsi ini tetap saja berlangsung.29

Manusia dewasa ini sedang hidup di tengah kehidupan material yang

sangat mengedepan. Ukuran orang disebut sebagai kaya atau berhasil adalah

ketika yang bersangkutan memiliki sejumlah kekayaan yang kelihatan di dalam

kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang menempati suatu ruang untuk bisa

mengakses kekayaan, maka seseorang akan melakukannya secara maksimal. Di

dunia ini, banyak orang yang mudah tergoda dengan kekayaan. Persepsi tentang

kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang, menyebabkan seseorang akan

mengejar kekayaan itu tanpa memperhitungkan bagaimana kekayaan tersebut

diperoleh. Dalam banyak hal, penyebab seseorang melakukan korupsi adalah (1)

Lemahnya pendidikan agama, moral, dan etika, (2) tidak adanya sanksi yang keras

terhadap pelaku korupsi, (3) tidak adanya suatu sistem pemerintahan yang

transparan (good governance), (4) faktor ekonomi, (5) manajemen yang

kurang baik dan tidak adanya pengawasan yang efektif dan efisien serta, (6)

Modernisasi yang menyebabkan pergeseran nilai-nila kehidupan yang

berkembang dalam masyarakat.30

Leden Marpaung mengatakan : Untuk dapat membuat rintangan atau

hambatan tindak pidana korupsi, maka diperlukan pemahaman yang seksama

28 Ibid. 29

Ibid 30

(20)

terhadap semua hal-hal yang mendukung atau mempengaruhinya.31

Dengan demikian secara garis besar penyebab korupsi dapat

dikelompokan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Berikut ini

faktor-faktor tersebut diuraikan sebagai berikut:

Hampir

semua segi kehidupan terjangkit korupsi. Tindak korupsi pada dasarnya

bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai

hal yang bersifat kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal

pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang

kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi.

32

A. Aspek Perilaku Individu, terdiri dari :

1. Faktor internal, merupakan faktor pendorong korupsi dari dalam diri, yang

dapat dirinci menjadi :

1). Sifat tamak/rakus manusia.

Korupsi, bukan kejahatan kecilkecilankarena mereka membutuhkan

makan. Korupsi adalah kejahatan orang profesional yang rakus, tidak jujur.

Sudah berkecukupan, tapi serakah. Mempunyai hasrat besar untuk

memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang

dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus. Maka tindakan keras

tanpa kompromi, wajib hukumnya.

2). Moral yang kurang kuat.

31

Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi (Pemberantasan dan Pencegahan), Djambatan, Jakarta, 2004,hlm. 82

32

(21)

Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk

melakukan korupsi. odaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat,

bawahannya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.

3). Gaya hidup yang konsumtif.

Kehidupan di kota-kota besar sering mendorong gaya hidup seseorang

konsumtif. Perilaku konsumtif bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang

memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai

tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu

adalahdengan korupsi.

B. Aspek Sosial Kemasyarakatan

Perilaku korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum

behavioris mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat

memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik

seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini

malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang

ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.33

Pada umumnya jajaran mana-jemen selalu menutupi tindak korupsi

yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini

pelanggaran korupsi justru terus berjalan denganberbagai bentuk. Oleh karena 2. Faktor eksternal, pemicu perilaku korup yang disebabkan oleh faktor di

luar diri pelaku.

a. Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi.

33

(22)

itu sikap masyarakat yang berpotensi menyuburkan tindak korupsi terjadi

karena :

(1). nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi.

Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat.Misalnya, masyarakat

menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali

membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu

didapatkan.34

34

Ibid.hlm.65.

(2). Masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama korupsi adalah

masyarakat sendiri.

Anggapan masyarakat umum terhadap peristiwa korupsi, sosok yang paling

dirugikan adalah negara. Padahal bila negara merugi, esensinya yang paling

rugi adalah masyarakat juga, karena proses anggaran pembangunan bisa

berkurang sebagai akibat dari perbuatan korupsi.

(3). Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi.

Setiap perbuatan korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini

kurang disadari oleh masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa

terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun

tidak disadari.

(4). Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan

diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan

(23)

Pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa masalah korupsi

adalah tanggung jawab pemerintah semata. Masyarakat kurang menyadari

bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.

C. Aspek ekonomi.

Pendapatan/gaji tidak mencukupi kebutuhan. Dalam rentang kehidupan

ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi.

Keterdesakan

itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya

dengan melakukan korupsi.35

D. Aspek Politis.

Kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi

orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Kontrol

sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang

melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang

diorganisasikan secara politik, melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya.36

E. Aspek Organisasi:

Dengan demikian instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan

mempertahankan kekuasaan sangat potensi menyebabkan perilaku korupsi.

(1). Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan. Posisi pemimpin dalam suatu

lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi

bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di

hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar

bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.

35 Ibid. 36

(24)

(2). Tidak adanya kultur organisasi yang benar. Kultur organisasi biasanya

punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak

dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif

mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif,

seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.

(3). Kurang memadainya sistem akuntabilitas. Institusi pemerintahan umumnya

pada satu sisi belum dirumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya,

dan belum dirumuskan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam

periodetertentu guna mencapai hal tersebut. Akibatnya, terhadap instansi

pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai

sasarannya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada

efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan

situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.

(4). Kelemahan sistim pengendalian manajemen. Pengendalian anajemen

merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah

organisasi. Semakin longgar/ lemah pengendalian manajemen sebuah oganisasi

akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di

dalamnya.

(5). Lemahnya pengawasan. Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua,

yaitu pengawasan internal (pengawasan fungsional dan pengawasan langsung

oleh pimpinan) dan pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif

dan masyarakat). Pengawasan ini kurang bisa efektif karena beberapa faktor,

(25)

kurangnya profesional pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum

maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri.

3. Penerapan Kebijakan hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi dalam

perspektif kriminologis

A. Kebijakan Hukum Pidana

Menurut E.Utrecht hukum adalah dihimpunan petunjuk hidup (perintah

atau larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya

ditaati oleh anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan

dari pihak pemerintah itu. Pidana (hukuman) adalah masalah yang pokok dalam

hukum pidana, sebab sejarah dari hukum pidana pada hakekatnya ada;ah sejarah

dari pidana dan pemidanaan. Menurut hukum pidana kita disamping pidana juga

dikenal apa yang dinamakan tindakan.

Perbedaan antara pidana dan tindakan secara tradisional dinyatakan

sebagai berikut : pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si

pembuat sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk

pembinaan atau perawatan si pembuat. Jadi, secara dogmatis pidana itu untuk

orang yang normal jiwanya, untuk orang yang mampu bertanggung jawab tidak

mempunai kesalahan dan orang yang tidak mempunyai kesalahan tidak mungkin

dipidana.37

J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastriparnoto mengungkapkan bahwa

hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badan-

badan resmi, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan

37

(26)

masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya

tindakan hukuman.38

Hukum pidana atau the Criminal Law sering disebut sebagai hukum

kriminil, karena memang persoalan yang dibicarakan dan yang diaturnya

mengenai kejahatan-kejahatan dan hal-hal yang bersangkut paut dengan kejahatan

perilaku anggota masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat.Pengertian hukum

pidana menurut Prof. Moeljatno, S.H. adalah bagian daripada keseluruhan hukum

yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan

untuk :

39

a) Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,

yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi

barangsiapa melanggar larangan tersebut.

b) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang telah diancamkan.

c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan

tersebut.

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan

diancam dengan pidan, di mana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang

bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga

38

Chainur Arrasjid. 2004. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.halaman.21. 39

(27)

perbuatan yang bersifat pasif ( tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan

oleh hukum).

Secara umum , pengertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah

“Policy” atau “beleid” khususnya dimaksudkan dalam arti”Wijsbeleid” ,menurut

Robert R.Mayer dan Ernest Greenwood, dapat Dirumuskan sebagai suatu

keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan efisien untuk mencapai

tujuan yang ditetapkan secara kolektif,40 David L,Sills Menyatakan bahwa

Pengertian Kebijakan (Policy) adalah menyatakan bahwa pengertian

kebijakan(Policy) adalah suatu perencanaan atau program mengenai apa yang

akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan bagaimana cara

melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau

diprogramkan41

Menurut Marc Ancel, pengertian Penal Policy (kebijakan Hukum Pidana)

adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis

untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan lebih baik dan untuk

memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga

kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada

penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. .

42

40

Sultan Zanti Arbi , Dan Wayan Ardana ,Rancangan Penelitian dan kebijakan sosial , (Jakarta CV.Rajawali ,1997), Hal 63, yang Terjemahan dari “the Design Of Social Policy” Tulisan Robert R.Mayer dan Ernest Greenwood.

41

Barda Nawawi Arif ,Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan kejahatan dengan Pidana Penjara ,(Badan Penerbit Universitas Diponegoro,1994),Hal 63.

42

(28)

B. Tindak Pidana Korupsi Dalam Prespektif Kriminologis

Korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Tidak saja karena modus dan teknik yang sistematis, akibat yang ditimbulkan

kejahatan korupsi bersifat pararel dan merusak seluruh sistem kehidupan, baik

dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan bahkan sampai pada kerusakan

moral serta mental masyarakat. Kerugian secara ekonomi dari korupsi, jelas dapat

dirasakan oleh masyarakat, tercermin dari tidak optimalnya pembangunan

ekonomi yang dijalankan, selain itu hasil yang diperoleh dari berbagai aktifitas

ekonomi bangsa, seperti pajak, menjadi jauh lebih kecil dari yang seharusnya

dicapai. Kerugian dalam bidang politik, praktek korupsi menimbulkan

diskriminasi pelayanan publik ataupun diskriminasi penghargaan terhadap

hak-hak politik masyarakat. Sedangkan kerugian dalam bidang sosial-budaya dan

moral, praktek korupsi telah menimbulkan “penyakit” dalam masyarakat, bahwa

perbuatan tersebut seakan dianggap sebagai perbuatan yang halal dan wajar.

Sosiolog Raimon Aron mengatakan bahwa korupsi pada akhirnya

akan mengundang gejolak revolusi, serta menjadi alat yang ampuh untuk

mendiskreditkan pemerintah, jika pemerintah tidak mampu menyelesaikan

kasus-kasus korupsi. Peristiwa ini pernah terjadi di Indonesia, pada masa

pemerintahan presiden Soeharto. Kala itu pemerintah tidak mampu mencegah,

memberantas dan menyelesaikan kasus-kasus korupsi, akhirnya presiden Soeharto

harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden. Memberantas

korupsi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, perlu adanya usaha

yang bersifat luar biasa. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa memberantas

(29)

harus sebaliknya yaitu bertindak dan berfikir luar biasa. Oleh karena itu harus

tumbuh sikap keberanian dari para penegak hukum untuk melakukan

lompatan-lompatan yuridis dan diimbangi dengan kesadaran hukum masyarakat

untuk menerima putusan-putusan yang di luar kebiasaan.

Andi Hamzah juga berpendapat bahwa pemberantasa korupsi tidak

hanya bertumpu pada pembaharuan undang-undang, namun harus terdapat upaya

lebih dari itu. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Thomas More,

menunjukkan bahwa dalam 25 tahun terdapat 72.000 pencuri telah dihukum

gantung di daerah yang penduduknya tiga sampai empat juta orang, tetapi

kejahatan terus saja merajalela. More berpendapat, bahwa dengan kekerasan

saja tidak akan mampu untuk membendung kejahatan, maka harus diimbangi

dengan usaha lain, dengan mencari kausa dari kejahatan lalu mengurangi

kausa tersebut. Dengan demikian kejahatan korupsi tidak mampu ditanggulangi

hanya dengan upaya represif tetapi diintegrasikan dengan upaya preventif.

Barda Arief Nawawi mengkritik strategi pemberantasan korupsi yang

hanya difokuskan pada upaya memperbaharui undang-undang korupsi. Strategi

demikian lebih bersifat fragmenter, parsial, simptomatik dan represif, karena

seolah-olah hanya melihat satu faktor kondisi saja sebagai penyebab atau titik

lemah dari upaya pemberantasan korupsi selama ini. Padahal jika dilihat dari

sudut kebijakan criminal (crime policy), strategi dasar penanggulangan

kejahatan (the basic crime prevention strategy) seyogianya diarahkan pada

upaya peniadaan (mengeliminasi) atau menanggulangi dan memperbaiki

keseluruhan kausa-kausa dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk

(30)

tentang kejahatan, dapat ikut andil untuk menganalisa dan mencari penyebab

dari kausa kejahatan korupsi, yang akhir-akhir ini marak terjadi di Indonesia.

Hasil dari analisa tersebut, nantinya dapat dijadikan sumbangsih pemikiran

dalam mencegah kejahatan korupsi.

Kriminologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membahas tentang

kejahatan,eksistensinya tidak lebih awal dari permasalahan kejahatan itu

sendiri. Kejahatan merupakan suatu permasalahan umurnya setua peradaban

manusia. Sedangkan kriminologi keberadaannya baru dipopulerkan oleh P.

Topinard (1830-1911) seorang ahli antropologi dari Perancis pada abad

ke-19.43Bonger menguatkan eksistensi kriminologi dengan mengatakan bahwa

sebelum P. Topinard telah ada pelopor-pelopor yang mengkaji masalah

kejahatan, telah dimulai sejak zaman kuno sampai revolusi Perancis.44

J.E. Sahetapy, dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya di Fakultas

Hukum Universitas Airlangga, mengatakan bahwa hal yang paling dianggap

gampang untuk menampik apa yang dinamakan kejahatan, tetapi tidaklah mudah

jika hendak bertindak sesuai dengan apa yang dinamakan kejahatan.45

43

Topo Santoso, dan Eva Achjani Z, Kriminologi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 9. 44

Baca bukunya W.A. Bonger, op. cit, hlm. 43-63 45

J.E. Sahetapy, Pisau Analisa Kriminologi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 1.

Namun,

yang paling sulit dan acap kali bahkan mengerikan, apabila kriminologi dipakai

untuk menganalisis apa yang dinamakan kejahatan. Ungkapan tersebut

menunjukkan adanya suatu kesulitan dalam menganalisa dan mengkaji

persoalan kejahatan. Tidak hanya dalam menganalisa, mendiskripsikan apa

yang dimaksud kejahatan, merupakan hal sulit bagi kriminologi, terbukti

seringkali ahli kriminologi terlibat perdebatan kontroversial mengenai

(31)

yang wajar dalam perdebatan khazanah keilmuan dan akan menjadi lebih

menarik apabila kontroversial tersebut dihubungkan dengan kejahatan tertentu

yaitu korupsi. Apakah korupsi merupakan tipologi kejahatan?

Soerjono Soekanto, mencoba mengkompilasi pandangan-pandangan para

ahli kriminologi dalam mendeskripsikan kejahatan dengan menjadi tiga golongan.

Pertama, golongan hukum atau yuridis; kedua, golongan non yuridis; dan ketiga,

golongan yang mengatas namakan sebagai kriminologi baru atau kriminologi

kritis.46

“An intentional act in violation of the criminal law (statutory or case law), committed without defence or excuse, and penalized by the state as a felony andmisdemeanor”.

Golongan yuridis berpendapat bahwa sasaran perhatian yang layak

bagi kriminologi terhadap kejahatan adalah mereka yang telah diputuskan oleh

pengadilan pidana sebagai penjahat karena kejahatan yang dilakukannya.

Seperti yang dikatakan oleh Paul W. Tappan dalam melihat kejahatan dari sudut

pandang yuridis:

47

W. A. Bonger, juga mengemukakan pendapatnya bahwa kejahatan

merupakan perbuatan anti-sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara

berupa pemberian derita, dan kemudian sebagai reaksi terhadap

rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai kejahatan.48

46

Soerjono Soekanto dkk, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 19-30.

47

Ibid, hlm. 21. 48

W.A. Bonger, op. cit, hlm. 21

Sutherland, juga

berpendapat bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh

Negara oleh karena merupakan perbuatan yang merugikan Negara dan terhadap

perbuatan tersebut Negara bereaksi, dengan hukuman sebagai suatu upaya

(32)

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, bahwa kejahatan dalam

prespektif golongan yuridis adalah perbuatan yang telah diatur oleh

perundang-undangan dan mendapatkan reaksi dari negara berupa pidana bagi yang

melanggarnya. Jika definisi kejahatan yang didiskripsikan oleh golongan yuridis

dihubungkan dengan korupsi, maka korupsi merupakan kejahatan, karena

perbuatan korupsi telah diatur secara jelas dalam undang-undang No. 31 Tahun

1999 Tentang Anti Korupsi, salah satu pasalnya adalah:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Siapa saja yang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang

lain yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara disebut

korupsi. Golongan yuridis berpendapat bahwa korupsi merupakan tipologi

kejahatan dalam kajian kriminologi. Menurut golongan non yuridis kejahatan

bukanlah perbuatan yang telah diatur dalam perundang-undangan seperti yang

telah didefinisikan oleh golongan yuridis. Kejahatan dapat dirumuskan sebagai

suatu “cap” atau “label” yang dilekatkan pada perilaku tertentu oleh pihak yang

berada dalam suatu posisi untuk melaksanakan kekuasaan.

Secara sosiologis, hal tersebut merupakan konsekwensi dari terjadinya

proses interaksi social, bahwa orang perorangan di dalam pergaulan sehari-hari,

secara sadar maupun secara tidak sadar mengadakan aktifitas-aktifitas dan

pola-pola perikelakuan yang dikaitkannya dengan kehidupan sehari-hari,

(33)

membahayakan masyarakat, maka masyarakat memberikan “cap” jahat pada

suatu perikelakuan tertentu.49

Golongan non yuridis sepakat berpendapat bahwa kejahatan bukanlah

merupakan suatu perilaku atau perbuatan tetapi kejahatan adalah status, cap atau

label, yang sengaja diberikan kepada orang tertentu yang melakukan

perbuatan, di mana perbuatan tersebut dianggap oleh masyarakat dapat

mengganggu eksistensi komunitas masyarakat tertentu. Korupsi jika dilihat dari

prespektif non yuridis merupakan kejahatan, karena korupsi merupakan “cap”

atau “label” seperti yang diungkapkan oleh para ahli kriminologi yang

Menurut Austin Turk, kejahatan merupakan suatu status bukanlah perilaku

atau perbuatan. Turk menekankan bahwa sebagian terbesar orang yang

mengerjakan perilaku yang secara hukum dirumuskan sebagai kejahatan,

maka data kejahatan yang didasarkan pada penahanan atau penghukuman tidak

berguna dalam menjelaskan siapa yang melakukan kejahatan, melainkan hanya

siapa yang diberikan cap atau label sebagai penjahat.

Howard Becker berpendapat lebih umum tentang kejahatan. Bahwa

kejahatan bukanlah merupakan suatu kualitas tindakan yang dilakukan

melainkan akibat penerapan cap atau label tertentu terhadap perilaku tertentu.

Richard Quinney mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu rumusan tentang

perilaku manusia yang diciptakan oleh yang berwenang dalam suatu masyarakat

yang secara politis terorganisasi. Kejahatan merupakan suatu hasil rumusan

perilaku yang diberikan terhadap sejumlah orang oleh orang-orang lain;

dengan begitu kejahatan adalah sesuatu yang diciptakan.

49

(34)

beranggapan kejahatan dari sisi non yuridis. Korupsi merupakan perbuatan

yang dapat menghancurkan tatanan social masyarakat yang telah permanen,

sampai digolongkan sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa).

Sadjipto Rahardjo, menganggap korupsi sebagai parasit, yang

menghisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan saat pohon itu mati

maka para koruptor pun akan ikut mati karena tidak ada lagi yang dihisap.

Terhadap perbuatan seperti itu masyarakat dalam interaksi sosialnya akan

memberikan cap atau lebel terhadap perbuatan itu, karena dapat mengganggu

masyarakat.

Golongan ketiga, yang mengatas namakan dirinya sebagai kriminologi

baru, memiliki pandangan yang bertolak dari anggapan bahwa kejahatan harus

dijelaskan dengan melihat pada kondisi-kondisi struktural yang ada dalam

masyarakat dan menempatkan kejahatan dalam konteks ketidak merataan

kekuasaan, kemakmuran dan otoritas serta kaitannya dengan

perubahan-perubahan ekonomi dan politik dalam masyarakat. Ukuran dari kejahatan atau

tidaknya suatu perbuatan bukan ditentukan oleh nilai-nilai dan norma-norma

yang dianggap sah oleh mereka yang duduk pada posisi-posisi kekuasaan atau

kewibawaan (yuridis), melainkan oleh besar kecilnya kerugian atau keparahan

sosial (social injuries) yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut dan dikaji dalam

konteks ketidak merataan kekuasaan dan kemakmuran dalam masyarakat.

Perilaku menyimpang sebagai proses sosial dianggap terjadi sebagai

reaksi terhadap kehidupan kelas seseorang. Meskipun tidak terlalu jelas

mendeskripsikan tentang kejahatan, golongan kriminologi baru ini telah

(35)

kepada kausa kejahatan yang diakibatkan oleh faktor struktural yaitu ketidak

merataan kekuasaan dan kesejahteraan. Potensi ini telah menjadi penyebab

terjadinya kejahatan sebagai reaksi terhadap kehidupan kelas seseorang.

Kejahatan yang dilakukan bukan semata-mata “kejahatan” tetapi lebih kepada

reaksi ketidak adilan terhadap kesejahteraan.

Korupsi jika ditinjau dari prespektif kriminologi baru, maka korupsi

merupakan kejahatan, karena korupsi memiliki dampak social (social injuries)

yang sangat luar biasa. Akan terjadi kesenjangan struktural yang diakibatkan oleh

kejahatan korupsi itu, hal tersebut akan terus berlaku selama kejahatan korupsi

tersebut dapat ditanggulangi. Ibarat “lingkaran setan”, kejahatan korupsi

cenderung dilakukan dengan cara berkorporasi, baik dari atasan ke bawahan

atau sebaliknya dari bawahan ke atasan. Amien Rais berpendapat bahwa skala

korupsi telah menjadi sedemikian menggurita dan dapat dikatakan bukan saja

korupsi telah membudaya, namun juga telah melembaga. Telah mengalami

proses institusionalisasi, sehingga hamper-hampir tidak ada lembaga Negara

atau pemerintah yang bebas dari korupsi. kenyataan tersebut dipertegas oleh

sebuah jurnal asing yang mengatakan bahwa “corruption is way of live in

Indonesia”.50

Analisa kriminologi terhadap korupsi menghasilkan sintesa bahwa

korupsi merupakan kejahatan, sintesa ini dihasilkan dari hasil analisis

deskripsi para ahli kriminologi tentang kejahatan, baik ahli kriminologi yang

berpandangan kejahatan merupakan perbuatan yang dilarang oleh peraturan

perundang-undangan dan mendapatkan sanksi pidana bagi yang

50

(36)

melakukannya, atau yang mendeskripsikan kejahatan bukanlah suatu

perbuatan tetapi status atau lebel yang diberikan oleh masyarakat terhadap

perbuatan yang mengganggu eksistensi komonitas masyarakat,atau yang

mendeskripsikan kejahatan dari prespektif akibat yang disebabkan oleh

struktural.

Menarik jika sintese di atas dihubungkan dengan pendapat Sadjipto51

Satjipto Rahardjo, memberikan contoh bahwa korupsi non

konvensional itu adalah “korupsi kekuasaan”, yaitu pelaksanaan kekuasaan

publik mana pun dan pada tingkat mana pun, yang berkualitas jahat, tidak jujur,

lemah empati, tidak bermutu, dan merusak kepercayaan public. Ia adalah

penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang (willekeur), ceroboh,

melakukan pekerjaan/proyek di bawah standar; bekerja asalasalan, tidak

perduli perasaan rakyat, dan sebagainnya.

Raharjdo tentang korupsi konvensional, mengatakan:

“Korupsi versi Undang-Undang Antikorupsi “hanya” merumuskan korupsi sebagai perbuatan yang merugikan keuangan Negara, baik untuk kepentingan sendiri maupun kelompok. tentu saja itu sudah lumayan, tetapi jika kita ingin menuntaskan pemberantasan korupsi dengan sekalian percabangannya, maka sasaran tembak yang demikian itu belum mencukupi. Yang kita tembak baru korupsi konvensional”

Dapat disimpulkan, bahwa korupsi yang dianalisa di atas adalah

korupsi konvensional, maka tidak menjadi perdebatan jika korupsi konvensional

itu ditetapkan sebagai kejahatan, pasti tidak akan ada yang menolak dan

menentang sintese itu. Lalu bagaimana dengan korupsi yang non konvensional,

apakah merupakan kejahatan atau tidak?.

52

51

Satjipto Rahardjo, op. cit, hlm. 135. 52

Ibid, hlm. 136.

(37)

Kualitas pelayanan menjadi parameter untuk menentukan korupsi

kekuasaan. Seorang pejabat public yang membiarkan rakyat menunggu adalah

contoh tingkah laku pelayanan yang buruk, demikian pula dengan pekerjaan

proyek-proyek fisik. Parameter korupsi kekuasaan adalah “menjalankan tugas atau

pekerjaan secaratidak memadai atau patut.”

Ukuran ini bisa dikenakan pada sekalian jabatan di ranah public, mulai

pimpinan proyek, akuntan, guru, dosen, rector, kepala rumah sakit, kepala desa,

bupati, jaksa, hakim, legislative, menteri dan seterusnya. Korupsi non

konvensional ini amat diduga akan terjadi setiap hari berdampingan dengan

korupsi konvensional, tetapi tanpa terdeteksi, apalagi mengangkatnya ke

dalamundang-undang. Lebih menakutkan lagi apabila difikirkan betapa

korupsi non konvensional tersebut dapat menjadi voorklas (taman

kanak-kanak) dari korupsi konvensional.

Lebih fatal lagi jika masyarakat tidak menganggapnya sebagai suatu

kejahatan, karena ada hubungan simbiusis mutualisme antara koruptor dan

masyarakat. Dengan begitu, korupsi non konvensional itu bukanlah suatu

kejahatan karena tidak terkriminalisasi dalam perundang-undangan korupsi,

korupsi non konvensional itu diamini atau disetujui oleh masyarakat, dengan

kata lain masyarakat tidak merasa dirugikan dan tidak merasa diusik

eksistensinya, dengan begitu dapat disimpulkan bahwa korupsi konvensional

tersebut bukanlah sebuah kejahatan.

Salah satu penyebab sulitnya korupsi dapat ditanggulangi, karena

penanggulangan korupsi hanyalah sebatas korupsi yang bersifat konvensional

(38)

dan dampak yang diakibatkannya, padahal korupsi non konvensional laksana

taman kanak-kanak yang akan berkembang kearah korupsi konvensional jika

tidak ditanggulangi.

Syed Hussein Alatas, telah memberikan gambaran dampak dari korupsi

itu, dengan mengatakan bahwa korupsi akhirnya akan menggerogoti habis

dan menghancurkan masyaakatnya sendiri (self-destruction). Korupsi sebagai

parasit yang menghisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan saat pohon

itu mati maka para koruptor pun akan ikut mati karena tidak ada lagi yang bisa

dihisap.53

Spesifikasi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang

dilakukan adalah metode penelitian hukum yang Yuridis Normatif dinamakan

juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Pada

penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat Masyarakat Indonesia harus disadarkan kembali kepada living law,

bahwa korupsi non konvensional merupakan kejahatan yang wajib untuk

dihindarkan. Masyarakat Indonesia juga harus disterilkan dari kontaminasi

nilai-nilai luar yang negative. Dengan begitu korupsi yang bersifat non

konfensional akan menjadi kriminalisasi meskipun ditingkat social dan ini

menjadi mudal utama dalam menciptakan ketertiban dan pencegahan dari

kejahatan korupsi.

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

53

(39)

merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tirtier.

Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada :

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.

b. Penelitian terhadap sistematika hukum.

c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum.

d. Penelitian terhadap sejarah hukum.

e. Penelitian terhadap perbandingan hukum.

Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap

peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang

berkaitan dengan permasalahan skripsi ini.

2. Metode Pendekatan

Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

pendekatan yuridis normatif.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian penulis dalam menyusun skripsi ini adalah Pengadilan

Negeri Medan.

4. Metode Pengumpulan Data

Berdasarkan pendekatan dan data dalam penelitian ini, maka metode

pengumpulan data yang dipakai adalah studi kepustakaan, yaitu menelaah bahan

hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan tindak

pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala desa paya itik dalam perpektif

kriminologis.

(40)

5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Prosedur pengumpul dan pengambilan data yang digunakan dalam

penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library research), yaitu

dengan melakukan penelitian terhadap berbagai literatur yang relevan dengan

permasalahan skripsi ini seperti, buku-buku, makalah, artikel dan berita yang

diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh

konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan yang berkenaan dengan tindak

Pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala desa paya itik dalam perspektif

kriminologis.

6. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan

cara kualitatif, yaitu dengan menganalisis data lalu diorganisasikan dalam

pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka

kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan

Referensi

Dokumen terkait

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri maupun orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara

“ Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau

Merugikan keuangan negara sebagai akibat dari perbuatan : Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; dan

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian

setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara