BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober 2013-Agustus 2014 di
Laboratorium Penyakit Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, di kebun Petani Desa Lobu Siregar Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara (1200-1400 m dpl) dan Kabupaten Toba Samosir
Desa Tangga Batu Kecamatan Tampahan (900-1100 m dpl). Jenis kopi pada areal percobaan adalah Arabika varietas Lini S 795 berumur 3 tahun dengan jarak
tanam 2,5 x 2,5 m.
Alat dan Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan adalah B. bassiana isolat lokal dari buah kopi asal
daerah Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir, aquadest, kain kasa, kapas steril, kentang, etanol 96%, tissue gulung, spirtus, NaOCl, kertas isap,
aluminium foil, gas elpiji, plastic, kapas, agar, dextrose.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, tabung erlenmeyer 250 ml, jarum ent, pipet, panci, mikroskop binokuler, kamera,
haemocytometer, tip, handsprayer, jaring, glass ukur, saringan, wadah, botol, karet gelang, kantong plastik, kain kasa, pisau, gunting, autoclove, laminar flow,
timbangan, lampu Bunsen, glas objek, glass preparat, spatula, mikropipet, kotak stray, oven.
Metode Penelitian
Penelitian di Laboratorium
Percobaan di laboratorium menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktorial terdiri dari dua faktor dengan tiga ulangan:
Faktor 1: Kerapatan B. bassiana, yang terdiri dari :
Kl = Kontrol K2 = 106
K3 = 10
spora/ml
7
K4 = 10
spora/ml
8
Tiap kerapatan spora jamur B. bassiana diplikasikan sebanyak 6 ml (dua belas kali semprot) perstoples yang berisi masing-masing kopi.
spora/ml
Faktor 2 : Sampel Buah Kopi
P1 = 50 buah kopi muda (matang susu)
P2 = 50 buah kopi setengah masak (berwarna kuning muda)
P3 = 50 buah kopi masak (berwarna merah)
Banyaknya ulangan yang dicobakan memenuhi rumus: ( t – 1 ) ( r – 1 ) ≥ 15
t = jumlah perlakuan r = jumlah ulangan
Jumlah unit percobaan = 36
Adapun kombinasi perlakuan sebagai berikut
K1P1 K1P2 K1P3
K2P1 K2P2 K2P3
K3P1 K3P3 K3P3
K4P1 K4P2 K4P3
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan model linear statistik sebagai berikut:
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij +
ε
Keterangan :
ijk
Yijk =
µ = Rata-rata populasi mortalitas
Pengaruh perlakuan kerapatan B. bassiana taraf ke –i, umur buah kopi
taraf ke-j dan ulangan ke-k ( i= 1,2….a, j= 1,2….b. k= 1,2…r)
αi
β
= Pengaruh utama kerapatan B. bassiana
j =
(αβ)
Pengaruh utama umur buah kopi
ij
ε
= Pengaruh interaksi dari kerapatan B. bassiana dan umur buah kopi
Penelitian di Lapangan
Penelitian ini menggunakan rancangan RAK faktorial dengan 2 faktor yaitu:
Faktor 1: Kerapatan B. bassiana, yang terdiri dari :
Kl = Kontrol K2 = 106
K3 = 10
spora/ml
7
K4 = 10
spora/ml
8
Faktor 2 : Sampel Buah Kopi spora/ml
P1 = 50 buah kopi muda (matang susu)
P2 = 50 buah kopi setengah masak (berwarna kuning muda)
P3 = 50 buah kopi masak (berwarna merah)
Jumlah ulangan = 3
Jumlah unit percobaan = 36
Model linier yang digunakan dalam Rancangan acak Kelompok (RAK)
faktorial adalah sebagai berikut:
Keterangan :
YijZ =
µ = Rata-rata populasi mortalitas
Pengaruh perlakuan kerapatan B. bassiana taraf ke –I, umur buah kopi taraf ke-j dan ulangan ke-k ( i= 1,2….a, j= 1,2….b. k= 1,2…r)
αi
β
= Pengaruh utama kerapatan B. bassiana
j =
(αβ)
Pengaruh utama umur buah kopi
ij
ε
= Pengaruh interaksi dari kerapatan B. bassiana dan umur buah kopi
ijk
Pelaksanaan Penelitian
= Pengaruh faktor sisa pada satuan percobaan
Identifikasi B. bassiana entomopatogen
Pertama kali yang dilakukan dalam penelitian ini adalah ekplorasi
cendawan Beauveria bassiana dengan cara sebagai berikut.
Pengambilan sampel buah kopi
Sampel buah kopi diambil dari perkebunan kopi. Pada masing-masing
lahan ditetapkan 2 (dua) lokasi berbeda yang terdiri dari lahan kopi di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir. Dari setiap sampel dikumpulkan
a b
Gambar 1 : a. Buah kopi dari lapangan yang terdapat jamur B. bassiana dan b. Sporulasi buah kopi di laboratorium
Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA)
Bahan untuk membuat media terdiri dari 250 gram kentang, 20 gr dextrose dan 1000 ml aquades, 20 gr agar. Kentang dikupas dan dicuci sampai bersih, kemudian dipotong kecil-kecil dengan ukuran (1 x 1 x 1 cm). Kentang yang sudah
dipotong dimasukkan ke dalam panci serbaguna yang berisi Akuades dan dimasak selama 20 menit. Kentang disaring dengan menggunakan saringan dan diambil
ekstraknya sebanyak 500 ml lalu dimasukkan ke dalam Erlenmeyer kemudian diaduk sampai homogen. Erlenmeyer disumbat dengan kapas dan ditutup kertas Aluminium foil dan dimasukkan ke dalam autoklaf 121°C dengan tekanan 1
atmosfer selama 15 menit kemudian didinginkan.
a b
Isolasi Jamur B. bassiana
Bagian buah kopi yang terdapat B. bassiana yang berwarna putih kemudian dikumpulkan, kemudian disterilkan dalam 0,1 % NaCl selama 1 menit
dan dibilas 3 kali dengan air steril. Kemudian ditumbuhkan dalam cawan petri berdiameter 9 cm yang berisi media dektrosa kentang agar (PDA). Inkubasi dilakukan selama 5-7 hari pada suhu ruang dan tempat gelap. Hasil isolasi
kemudian di identifikasi dengan mikroskop dengan perbesaran 400x. Setelah itu
isolat jamur B. bassiana tersebut dapat digunakan untuk produksi masal
(Quesada-Moraga et al., 2006)
a b
Gambar 3: a. dan b. Jamur Beauveria bassiana
Penelitian di Laboratorium
Buah-buah kopi matang susu, setengah masak dan yang masak yang terserang PBKo dimasukkan ke dalam wadah plastik ukuran 10x12 cm yang telah
dilapisi tissue. Selanjutnya wadah plastik yang sudah berisi buah-buah kopi yang terserang PBKo disemprot sesuai perlakuan dengan menggunakan handsprayer.
buah kopi untuk melihat gejala infeksi jamur entomopatogen. Setiap serangga
PBKo (larva, pupa atau imago) yang mati diamati di bawah mikroskop.
a b
Gambar 4: a. dan b. Aplikasi B. bassiana di laboratorium
Penelitian di Lapangan
Pengambilan buah kopi dilakukan pada dua Kabupaten sentra penghasil kopi
dengan ketinggian tempat yang bervariasi antara 1200-1400 m dpl (Kabupaten Tapanuli Utara) dan 900-1100 m dpl (Kabupaten Toba Samosir), yaitu:
1. Kabupaten Tapanuli Utara:
Kegiatan dilaksanakan di Desa Lobu Siregar Kecamatan Siborong-borong (1200-1400 m dpl) milik Bapak S. Simanjutak dengan luas lahan 1.600 m2
2. Kabupaten Toba Samosir:
dengan jumlah populasi 256 tanaman dengan jarak tanaman 2,5x2,5 meter. Tanaman kopi berumur 3 tahun varietas Arabika (Sigararutang).
Kegiatan dilaksanakan di Desa Tangga Batu Kecamatan Tampahan (900-1100 m dpl) milik Bapak T. Tampubolon dengan luas lahan 1.600 m2
Penelitian lapangan dilakukan dengan menyemprotkan jamur
entomopatogen B. bassiana pada buah kopi matang susu, setengah masak (berwarna kekuningan) dan buah masak (merah) yang terserang PBKO pada
kotak-kotak perlakuan di lapangan yang ditempatkan di sekitar pohon kopi. Kotak perlakuan berukuran 40x40x10 cm3
, dengan ketebalan triplek 5 mm. Kotak-kotak perlakuan diisi dengan rincian 50 buah kopi matang susu, 50 buah kopi setengah
masak (berwarna kuning), dan 50 buah kopi masak (berwarna merah) yang terserang PBKo yang telah dialasi serasah (daun-daun kering 10 gr). Serasah dan
buah kopi kemudian dicampur merata untuk mengkondisikan letak buah seperti di kebun kopi. Penyemprotan dilakukan dengan handsprayer pada pagi hari pukul 6.00 WIB dan diamati 6 hari setelah aplikasi (hsa) hingga 10 hsa. Pengamatan
dilakukan dengan mengambil 10 buah kopi dan ditempatkan dalam ruangan dengan kondisi lingkungan seperti dalam uji laboratorium lalu dilakukan pembedahan dengan menggunakan mikroskop binokuler untuk melihat infeksi
Beauveria bassiana dalam tubuh PBKo.
a b
Peubah Amatan
Uji B. bassiana di Laboratorium
Mortalitas PBKo (Larva, Pupa, dan Imago)
Diamati stadia PBKo yang terinfeksi baik larva, pupa dan imago. Pengamatan dilakukan dengan mengambil 10 buah kopi yang terinvestasi PBKo dan menghitung jumlah PBKo yang mati 6 hari setelah aplikasi (hsa) sampai
dengan 10 hsa. Keberhasilan penekanan populasi PBKo oleh Beauveria bassiana dilakukan dengan menghitung seluruh larva dan imago PBKo yang terdapat di
dalam buah kopi yang terinfeksi Beauveria bassiana entomopatogen lalu dibandingkan dengan jumlah larva dan imago sehat. Persentase mortalitas dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Σ PBKo mati
Mortalitas PBKo = x 100%
Σ PBKo mula-mula
Apabila ada PBKo yang mati pada kontrol, maka dilakukan penghitungan
menggunakan rumus sebagai berikut:
Po - Pc
Pt = x 100% 100 - Pc
Keterangan:
Pt = Persentase kematian terkoreksi
Po = Persentase kematian teramati Pc = Persentase kematian control
Uji B. bassiana di Lapangan
Mortalitas PBKo (Larva, Pupa, dan Imago)
Diamati stadia PBKo yang terinfeksi baik larva, pupa dan imago.
Pengamatan dilakukan dengan mengambil 10 buah kopi yang terinvestasi PBKo dan menghitung jumlah PBKo yang mati dimulai pada 5 hari setelah aplikasi (hsa) sampai dengan 10 hsa. Sampel yang diambil adalah sampel destruktif
artinya sampel tidak dikembalikan ke kotak perlakuan karena telah rusak akibat pembelahan buah untuk pengamatan. Keberhasilan penekanan populasi PBKo
oleh Beuveria bassiana dilakukan dengan menghitung seluruh larva, pupa atau imago PBKo yang terdapat di dalam buah kopi yang terinfeksi Beuveria bassiana lalu dibandingkan dengan jumlah larva, pupa dan imago sehat. Persentase
mortalitas dihitung berdasarkan rumus: Σ PBKo mati
Mortalitas PBKo = x 100%
Σ PBKo mula-mula
Apabila ada PBKo yang mati pada kontrol, maka dilakukan penghitungan
menggunakan rumu sebagai berikut:
Po - Pc
Pt = x 100% 100 - Pc
Keterangan:
Pt = Persentase kematian terkoreksi Po = Persentase kematian teramati Pc = Persentase kematian control
Persentase Buah Kopi yang Terserang.
Menetapkan 2 pohon contoh untuk setiap perlakuan pada areal pertanaman. Dipilih 4 cabang pada setiap pohon contoh dengan posisi cabang berada di tengah
bagian pohon dan keempat cabang tersebut searah dengan mata angin (utara, selatan, barat dan timur). Diambil 25 buah kopi per cabang atau 100 buah kopi per pohon pada tanaman yang diamati. Persentase buah terserang dihitung dengan
menggunakan rumus (BBP2TP, 2008):
Jumlah buah terserang
Persentase Buah Terserang = x 100 % Jumlah buah awal
Uji Viabilitas
Penghitungan jumlah propagul aktif B. bassiana dilakukan dengan menggunakan haemocytometer. Diambil sampel sebanyak 1 ml, kemudian dibuat seri pengenceran sampai 106, 107dan 108
Jumlah propagul = (Ax 10
dan dilakukan penanaman pada media
PDA cawan Petri dengan langsung menuangkan seri pengenceran tersebut pada media PDA. Inkubasi dilakukan pada suhu kamar selama 7, 14 , dan 21 hari. Jumlah koloni yang terbentuk dihitung dengan rumus:
6
) +(Bx 107 )+ (Cx 108 ) 3
Keterangan:
A = jumlah koloni pada media PDA cawan Petri dari pengenceran 10 B = jumlah koloni pada media PDA cawan Petri dari pengenceran 10
6
C = jumlah koloni pada media PDA cawan Petri dari pengenceran 10
7
(Prayogo, 2008)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian di Laboratorium
Mortalitas PBKo (Larva, Pupa, dan Imago) di Laboratorium setelah Aplikasi Beauveria basssiana
Hasil analisis statistik aplikasi jamur B. bassiana pada beberapa tingkat
kerapatan spora menunjukkan adanya pengaruh terhadap mortalitas larva H. hampei. Analisis sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan yang sangat
nyata antar perlakuan (Tabel 1).
Tabel 1. Rataan persentase mortalitas larva H. hampei dengan perlakuan jamur B. bassiana 6-10 hari setelah aplikasi di laboratorium.
Perlakuan Waktu Pengamatan (hsa)
6 7 8 9 10
Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= control, K2= 106 spora/ml, K3= 107 spora/ml, K4= 108
Pada pengamatan larva H. hampei yang terinfeksi jamur diketahui bahwa persentase kematian tertinggi (82.03%) terdapat pada pengamatan 10 hsa pada perlakuan 10
spora/ml, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3= Buah masak)
8
spora/ml di buah masak dan terendah (0%) pada kontrol serta 106
waktu lebih lama untuk menginfeksi serangga hingga menimbulkan gejala atau
meskipun kontak antara keduanya telah terjadi. Semakin tinggi kerapatan spora jamur B. bassiana yang telah diaplikasikan pada pakan mampu menginfeksi
serangga uji. Apabila serangga memakan bagian tanaman yang telah diperlakukan dengan biopestisida, maka akan mengalami infeksi yang menyebabkan kematian (Gurulingappa et al., 2011).
Tabel 2. Rataan persentase mortalitas pupa H. hampei dengan perlakuan jamur B. bassiana 6-10 hari setelah aplikasi di laboratorium.
Perlakuan Waktu Pengamatan (hsa)
6 7 8 9 10
Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= control, K2= 106 spora/ml, K3= 107 spora/ml, K4= 108
Pengamatan hari ke 6 sampai hari ke 10 setelah aplikasi B. bassiana pada
semua perlakuan menunjukkan adanya kematian pupa H. hampei kecuali pada perlakuan kontrol. Persentase kematian tertinggi (76.32%) terdapat pada pengamatan 10 hsa pada perlakuan 10
spora/ml, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3= Buah masak)
8
spora/ml di buah masak dan terendah
tinggi menyebabkan meningkatnya konidia jamur, sehingga jamur mampu
berkecambah dan mampu menimbulkan kematian pada pupa H. hampei. Semakin banyak spora yang menempel pada tubuh serangga, semakin besar pula
peluang jamur untuk tumbuh dan berkembang pada tubuh serangga selanjutnya mematikan serangga (Cruz et al., 2006).
Tabel 3. Rataan persentase mortalitas imago H. hampei dengan perlakuan jamur B. bassiana 6-10 hari setelah aplikasi di laboratorium.
Perlakuan Waktu Pengamatan (hsa)
6 7 8 9 10
Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= control, K2= 106 spora/ml, K3= 107 spora/ml, K4= 108
Tabel 3 menunjukkan mortalitas Imago H. hampei yang tertinggi (72.42%) terdapat pada pengamatan 10 hsa pada perlakuan 10
spora/ml, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3= Buah masak)
8
spora/ml di buah
masak dan terendah (0%) pada kontrol serta 106 spora/ml (18.14%) di buah masak. Data di atas menunjukkan perlakuan K4 (B. bassiana kerapatan 108) 10 hsa berbeda sangat nyata dengan K3 (B.bassiana kerapatan konidia 107 ) dan
maka semakin banyak spora yang menempel pada tubuh serangga, selanjutnya
akan mematikan serangga tersebut. Hasil penelitian Malarvannan et al., (2010) bahwa perlakuan B. bassiana strain Leptocorisa konsentrasi 108
Penelitian di Lapangan
dengan ditambah
perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat, tingkat kematian H. antonii pada 5,6, dan 7 hsa masing-masing mencapai 36,40, dan 100%.
Mortalitas Hama PBKo (Larva, Pupa, dan Imago) di Lapangan setelah Aplikasi Beauveria basssiana di Desa Lobu Siregar-Kabupaten TAPUT dan Desa Tangga Batu-Kabupaten Tobasa.
Berdasarkan tabel 4 dan 5 perlakuan berbagai konsentrasi kerapatan jamur
B. bassiana menyebabkan peningkatan mortalitas larva H. hampei di lapangan setelah penyemprotan B. bassiana pada pengamatan 6 hsa sampai dengan 10 hsa.
Tabel 4. Rataan persentase mortalitas larva H. hampei dengan perlakuan jamur B. bassiana 6-10 hari setelah aplikasi di Desa Lobu Siregar-TAPUT Perlakuan Waktu Pengamatan (hsa)
6 7 8 9 10 Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan
Hasil pengamatan di Desa Lobu Siregar- Kabupaten Tapanuli Utara
persentase kematian larva H. hampei pada setiap pengamatan menunjukkan beda nyata antar perlakuan. Persentasi kematian larva H. hampei pada setiap
pengamatan dapat dilihat pada (Tabel 4 dan 5). Rata-rata mortalitas larva H. hampei yang terinfeksi jamur diketahui bahwa persentase kematian tertinggi (69.86%) terdapat pada pengamatan 10 hsa pada perlakuan 108 spora/ml di buah
masak dan terendah (0%) pada kontrol serta 106
Sedangkan di Desa Tangga Batu- Kabupaten Tapanuli Utara pengamatan
tertinggi pada 10 hsa yaitu sebesar 68.88%, pengamatan 9 hsa yaitu sebesar 55.49%, pengamatan 8 hsa yaitu sebesar 51.00%, dan pengamatan 7 hsa yaitu sebesar 47.59% dan pengamatan 6 hsa yaitu sebesar 45.60% pada P3 (umur buah
kopi masak) dengan perlakuan K4 (B. bassiana kerapatan 10
spora/ml di buah masak.
8
Tabel 5. Rataan persentase mortalitas larva H. hampei dengan perlakuan jamur B. bassiana 6-10 hari setelah apilkasi di Desa Tangga Batu-TOBASA
) (Tabel 5).
Perlakuan Waktu Pengamatan (hsa)
6 7 8 9 10
Tabel 6 menunjukkan di Daerah Lobusiregar-Kabupaten Tapanuli Utara
mortalitas pupa H. hampei yang tertinggi pada pengamatan 10 hsa yaitu sebesar 63.21%, pengamatan 9 hsa yaitu sebesar 56.75% pada P3 (umur buah kopi
masak) dengan perlakuan K4 (B. bassiana kerapatan 108
Tabel 6. Rataan Mortalitas pupa H. hampei dengan Perlakuan Jamur B. bassiana 6-10 Hari Setelah Aplikasidi Desa Lobu Siregar-TAPUT
).
Perlakuan Waktu Pengamatan (hsa)
6 7 8 9 10 Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan
berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= control, K2= 106 spora/ml, K3= 107 spora/ml, K4= 108
Berbeda dengan pengamatan 8 hsa yaitu sebesar 51.16% pada P2 (umur
buah kopi setengah masak) dengan perlakuan K4 (B. bassiana kerapatan 10 spora/ml, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3= Buah masak)
8
). pengamatan 7 hsa yaitu sebesar 48.68%, pengamatan 6 hsa yaitu sebesar 42.59%
pada P3 (umur buah kopi yang masak) dengan perlakuan K4 (B. bassiana kerapatan 108). Sedangkan di Daerah Tangga Batu- Kabupaten Toba samosir mortalitas pupa H. hampei yang tertinggi pada pengamatan 10 hsa yaitu sebesar
sebesar 44.42% pada P3 (umur buah kopi yang masak) dengan perlakuan K4
(B. bassiana kerapatan 108
Tabel.7. Rataan mortalitas pupa H. hampei dengan perlakuan jamur B. bassiana 6-10 hari setelah aplikasi di Desa Tangga Batu- TOBASA
) (Tabel 7).
Perlakuan Waktu Pengamatan (hsa)
6 7 8 9 10 Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan
berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= control, K2= 106 spora/ml, K3= 107 spora/ml, K4= 108
Pada Tabel 8 di Daerah Lobu Siregar- Kabupaten Tapanuli Utara pengamatan imago H. hampei yang terinfeksi jamur diketahui bahwa persentase kematian tertinggi (54.58%) terdapat pada pengamatan 10 hsa pada perlakuan 10
spora/ml, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3= Buah masak)
8
spora/ml di buah masak dan terendah (0%) pada kontrol serta 106 spora/ml sebesar 45.53%. Sedangkan di Daerah Tangga Batu-Kabupaten Toba Samosir adalah
mortalitas Imago H. hampei yang tertinggi pada pengamatan 10 hsa yaitu sebesar 53.27%, pengamatan 9 hsa yaitu sebesar 51.12%, pada pengamatan 8 hsa yaitu sebesar 48.03%, pengamatan 7 hsa yaitu sebesar 43.06% dan pengamatan 6 hsa
Tabel 8. Rataan persentase mortalitas imago H. hampei dengan perlakuan jamur B. bassiana 6-10 hari setelah aplikasi di Desa Lobu Siregar-TAPUT Perlakuan Waktu Pengamatan (hsa)
6 7 8 9 10 Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan
berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= control, K2= 106 spora/ml, K3= 107 spora/ml, K4= 108
Tabel 9. Rataan mortalitas imago H. hampei dengan perlakuan jamur B. bassiana 6-10 hari setelah aplikasi di Desa Tangga Batu- TOBASA
spora/ml, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3= Buah masak)
Perlakuan Saat Pengamatan Hari Setelah Aplikasi
6 7 8 9 10 Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan
berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= control, K2= 106 spora/ml, K3= 107 spora/ml, K4= 108
Perbedaan dosis spora B.bassiana antara perlakuan 10
spora/ml, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3= Buah masak)
6
, 107 ,108 di ikuti
oleh berbedanya respon yang diberikan oleh masing-masing larva, pupa dan
imago terhadap entomopatogen B. bassiana. Misalnya perbedaan reaksi yang diberikan molekul-molekul darah serangga terhadap benda-benda asing yang
dikeluarkan entomopatogen masuk kedalam tubuhnya dan perbedaan virulensi dari spora jamur yang diaplikasikan (Suganya and Selvanarayanan, 2009).
Persentase Buah Kopi yang Terserang
Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa persentase serangan hama H.hampei tertinggi terdapat di Desa Lobu Siregar Kabupaten Tapanuli Utara yaitu pada pengamatan I (Januari 2014) sebesar 42.32% , pada pengamatan II (Februari 2014) sebesar 41.21%, pengamatan ke III (Maret 2014) sebesar 39.44%. pengamatan IV (April 2014) sebesar 36.92%, pengamatan ke V (Mei 2014)
sebesar 36.91% .
Tabel 10. Rataan persentase buah yang terserang H. hampei di Desa Lobu Siregar-Kabupaten Tapanuli Utara Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan
Sedangkan di Desa Tangga Batu Kabupaten Toba Samosir yaitu pada
pengamatan I (Januari 2014) sebesar 38.72% , pada pengamatan II (Februari 2014) sebesar 36.47%, pengamatan ke III (Maret 2014) sebesar 33.48%.
pengamatan IV (April 2014) sebesar 30.10%, pengamatan ke V (Mei 2014) sebesar 26.08% Tabel 11.
Tabel 11. Rataan persentase buah yang terserang H. hampei di Tangga Batu- Kabupaten Toba Samosir. Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan
berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= utara, K2= barat, K3= timur, K4= selatan, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3= Buah masak)
Hasil analisis sidik ragam terhadap data di atas menunjukkan hasil berbeda nyata pada taraf nyata 5 %. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh
ketinggian tempat terhadap persentase serangan hama H. hampei. Ketinggian tempat berpengaruh terhadap perkembangan hama H. hampei. Pada ketinggian
antara 400- 1.000 m dpl dapat terserang berat sedangkan pada ketinggian 1.500 m dpl tidak mengalami serangan yang berarti (Mandarina, 2008). Hal ini bertentangan dengan penelitian lapangan Desa Lobu Siregar Kabupaten Tapanuli
sebesar 41.21% dan Desa Tangga Batu Kabupaten Toba Samosir (900-1100 m
dpl) sebesar 38.72 %.
Uji Viabilitas
Jumlah propagul setelah penyimpanan pada suhu ruang selama satu minggu adalah sebesar 146,69 x 108 spora/ml (kerapatan 106), 369,86 x 108 spora/ml (kerapatan 107) dan 486,98 x 108 spora/ml (kerapatan 108). Jumlah
propagul setelah penyimpanan pada suhu ruang selama dua minggu adalah sebesar 139,99 x 108 spora/ml (kerapatan 106), 343,94 x 108 spora/ml (kerapatan
107) dan 457,46 x 108 spora/ml (kerapatan 108). Jumlah propagul setelah penyimpanan pada suhu ruang selama tiga minggu adalah sebesar 126,62 x 108 spora/ml (kerapatan 106), 334,35 x 108 spora/ml (kerapatan 107) dan 438,98 x 108
spora/ml (kerapatan 108
Tabel 12. Jumlah rata-rata koloni hasil uji viabilitas B. bassiana selama penyimpanan.
126,62x 108 334,35x 108 438,98x 108
Subkultur secara nyata dapat menurunkan viabilitas spora B. bassiana
yang dibiakkan hanya pada media PDA. Namun pada media terjadi penurunan viabilitas. Semakin tinggi konsentrasi semakin menurun viabilitas spora
PEMBAHASAN
Mortalitas PBKo (Larva, Pupa, dan Imago) di Laboratorium dan di Lapangan di Desa Lobu Siregar-Kabupaten TAPUT dan Desa Tangga Batu-Kabupaten Tobasa setelah Aplikasi B. basssiana.
Pengamatan terhadap larva, pupa dan imago di laboratorium menunjukkan
bahwa pemberian spora jamur B. bassiana dengan konsentrasi berbeda memberikan pengaruh terhadap mortalitas H. hampei. Mortalitas pada masing-masing perlakuan berbeda nyata (Tabel, 1, 2, dan 3). Mortalitas tertinggi larva
pada pengamatan 10 hsa sebesar 82.03% infeksi B. bassiana terjadi lebih cepat dibandingkan pada mortalitas tertinggi pupa sebesar 76.32% dan imago sebesar
72.42% pada konsentrasi 108 spora/ml. sedangkan di lapangan di Desa Lobu Siregar Kabupaten Tapanuli Utara mortalitas tertinggi larva pada pengamatan 10 hsa sebesar 70.54% infeksi B. bassiana terjadi lebih cepat dibandingkan pada
mortalitas pupa sebesar 63.21% dan imago sebesar 54.58% serta di Desa Tangga Batu Kabupaten Toba Samosir mortalitas tertinggi larva pada pengamatan 10 hsa sebesar 68.88% infeksi B. bassiana terjadi lebih cepat dibandingkan pada
mortalitas tertinggi pupa sebesar 58.74% dan imago sebesar 53.27% pada konsentrasi 108
Jamur B. bassiana sebagai isolat lokal merupakan sarana yang sangat penting dan berpeluang dalam pengelolaan dan pengendalian populasi hama
PBKo pada suatu ekosistem tanaman kopi yang stabil. Spora B. bassiana berpotensi dalam proses infeksi, penetrasi dan mortalitas hama. Menurut Patandung et al., (2009) hasil biakan produksi spora B. bassiana dengan interaksi
konsentrasi 0.05% asam cuka merupakan produksi spora B. bassiana yang lebih
efektif, jumlah spora yang dihasilkan 2941,8 spora/ml air atau dengan kerapatan spora 8,641x1012
Hasil pengamatan juga menunjukkan pada perlakuan kontrol tidak terjadi mortalitas. Tobing et al., (2006) menyatakan bahwa pada umumnya PBKo menyerang buah dengan endosperma yang telah mengeras. Namun buah yang
belum mengeras dapat juga diserang. Buah kopi muda (warna hijau) yang bijinya masih lunak umumnya hanya di gerek untuk mendapatkan pakan dan selanjutnya
ditinggalkan. Setelah melihat perlakuan dengan hasil mempunyai pengaruh positif, maka penambahan konsentrasi perlakuan akan memberikan peningkatan tingkat mortalitas hama. Melihat hasil pengamatan ini membuktikan bahwa spora
B. bassiana dapat dimanfaatkan sebagai isolat lokal yang mudah diaplikasikan, karena mampu menginfeksi hama PBKo.
spora/ml. Dengan demikian, produksi spora ini berpengaruh
pada tingkat virulensi dan viabilitas spora. Hasil ini berbeda dengan penelitian Nasir (2010) yang menyatakan bahwa mortalitas mempengaruhi H. hampei tetapi tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Pedrini et al., (2010)
menyatakan B. bassiana juga efektif digunakan untuk mortalitas Tribolium castaneum.
Selama penelitian di lapangan di Desa Lobu Siregar-Kabupaten Tapanuli Utara memiliki suhu udara rata-rata 21.000C dan kelembapan relative rata-rata 88.5% (BPS Siborongborong, 2014) dan di DesaTangga Batu-Kabupaten Toba
tumbuh pada suhu 350C dan terhambat pada suhu 150C. Suhu optimum untuk
pertumbuhan setiap isolat B. bassiana antara 250C-300C. Perkecambahan dan pertumbuhan B. bassiana paling baik pada kelembaban relative yang tinggi
(100%) dan kelembaban relative 85% (Crespor et al., 2008). Kelembaban yang mendukung perkembangan B. bassiana berkisar 80-90% dan spora akan tumbuh baik dan maksimum pada kelembaban 92%. Suhu yang lebih sesuai untuk
epizootic melimpahnya B. bassiana adalah 20-300C, dimana perkembangan optimal akan dicapai pada suhu 240C, sedangkan suhu kritis yang menghambat
pertumbuhan jamur B. bassiana adalah 50C dan akan mati apabila suhu mencapai 500
Keberhasilan jamur entomopatogen dalam menginfeksi serangga hama
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya ialah faktor suhu dan kelembaban. Jamur memerlukan kelembaban yang tinggi dan untuk melakukan
perkecambahan konidia. Hal ini sesuai dengan penelitian Sivasundaram et al., (2007) yang menyatakan bahwa untuk melakukan
perkecambahan konidia dan sporulasi pada permukaan tubuh serangga jamur
membutuhkan kelembaban sangat tinggi (>90%), dan suhu optimum untuk
perkembangan, patogenitas, dan kelulusan hidup jamur umumnya antara
20-30
(Meyling and Eilenberg, 2007).
0
Dalam penelitian ini sebagian besar H. hampei yang terinfeksi tidak ditemukan miselium jamur yang tumbuh pada permukaan tubuh serangga yang
terinfeksi. Seperti yang di jelaskan oleh Prayudi (2008) bahwa jamur patogen dapat membunuh serangga melalui serangkaian proses yang salah satunya adalah
produksi toksin. Produksi toksin telah diteliti pada B. bassiana dimana senyawa
dapat melemahkan inang setelah menyerang organ tubuh serangga dan merusak hemolimfa sehingga metabolisme dalam tubuh serangga terhambat.
Terserangnya organ tubuh serangga dan hemolimfa, maka aktifitas serangga yang terinfeksi jamur B. bassiana biasanya akan berhenti makan, sehingga menjadi lemah dan mempercepat kematian (Moorthi et al., 2011).
Soetopo dan Indriyani (2007) menyatakan serangga mati tidak selalu disertai gejala pertumbuhan spora. Mortalitas larva, pupa dan imago yang
tertinggi terdapat pada perlakuan K4 (B. bassiana kerapatan 108
Pada umumnya kematian hama akan terjadi 2 hari setelah aplikasi (Trizelia dan Nurdin, 2010) namun tergantung dari kerapatan konsentrasi spora
yang digunakan. Selanjutnya aplikasi B. bassiana setelah pengamatan 10 hsa pada permukaan tubuh PBKo muncul konidiofor. Pengamatan terhadap gejala
serangan jamur B. bassiana terhadap larva, pupa, dan imago di laboratorium dan lapangan menunjukkan adanya perubahan warna tubuh H. hampei yang mengeras (mumifikasi). Soetopo dan Indriyani (2007) menyatakan bahwa
miselium (hifa) jamur B. bassiana akan masuk kedalam tubuh serangga dan ) 10 hsa. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi karapatan konidia jamur maka semakin tinggi daya infeksi jamur tersebut terhadap serangga. Keberhasilan menginfeksi jamur
terhadap serangga hama sangat ditentukan oleh kerapatan konidia yang kontak dengan tubuh inang. Semakin banyak konidia yang menempel pada inang sasaran
berkembang di dalamnya, lalu pada bagian luar tubuh serangga akan dipenuhi
oleh hifa dan konidia jamur berwarna putih (Gambar 9).
a b c
Gambar 6: a. Larva sehat dan larva yang mengalami infeksi (mati)
b. Pupa yang sehat dan Pupa yang mengalami infeksi (mati)
c. Imago yang terinfeksi jamur B. bassiana
Keberhasilan penggunaan isolat lokal B. bassiana dalam penelitian ini
ditentukan oleh kerapatan spora. Menurut Alizadeh et al. (2007) dan Mahmoud (2009) tingkat keberhasilan dalam penggunaan agen hayati tergantung banyak
factor, diantaranya adalah faktor lingkungan termasuk biopestisida dan produk kimia yang digunakan untuk melindungi tumbuhan pada lahan pertanian.
Persentase Buah Kopi yang Terserang
Keberadaan hama H. hampei pada masing-masing Kabupaten di analisa untuk mengetahui pengaruh ketinggian tempat terhadap persentase buah
terserang. Data dianalisis berdasarkan serangan hama H. hampei pada setiap kali
pengamatan di masing-masing Kabupaten. Data dapat dilihat pada Tabel 10 dan 11. Pada ketinggian tempat 1200-1400 m dpl persentase buah kopi
42.32% di Desa Lobu Siregar Kabupaten Tapanuli Utara cukup tinggi
dibandingkan pada ketinggian tempat 900-1100 m dpl persentase buah kopi yang terserang tertinggi terdapat pada pengamatan I (Januari 2014) sebesar 38.72% di
Desa Tangga Batu Kabupaten Toba Samosir. Hal ini disebabkan karena pengaruh pengaruh hama dengan ketersediaan makanan di lapangan karena semakin banyak populasi hama sedangkan ketersediaan makanan sedikit maka persentase
buah yang terserang menjadi banyak dibandingkan pada waktu ketersediaan melimpah. Kurangya perawatan kebun seperti pemangkasan dan sanitasi kebun
semakin mendukung perkembangan hama di lapangan (BBP2TP, 2008).
Uji Viabilitas
Dari uji viabilitas selama masa penyimpanan dapat diketahui bahwa jumlah
propagul mengalami penurunan setiap minggunya. Hal ini mungkin disebabkan terjadinya kerusakan hifa atau spora B. bassiana akibat proses penghalusan serbuk.
Kemungkinan lain adalah masih terjadinya proses metabolisme B. bassiana yang membutuhkan nutrisi, sementara persediaan nutrisi terbatas sehingga jamur B. bassiana menjadi mati karena kurangnya persediaan nutrisi. Jumlah propagul jamur B. bassiana pada sediaan yang sama setelah disimpan selama lima bulan pada suhu kamar adalah sebesar 1,77x108 spora/ml. Sementara itu jumlah propagulnya setelah
Peremajaan biakan jamur B. bassiana yang dilakukan menunjukkan
tumbuhnya misselia B. bassiana dengan lebat, seperti disajikan pada Gambar 10. Hasil pengamatan Wahyudi (2008)bahwa koloni jamur B. bassiana pada media
PDA cawan petri akan membentuk lapisan seperti tepung. Koloni bagian pinggir berwarna putih dan menjadi kuning pucat, kadang-kadang agak kemerah-merahan. Konidia membentuk sekelompok sel-sel yang menggembung yang tersusun rapat.
Biakan B. bassiana hasil peremajaan 7, 14, 21 hari inkubasi disajikan pada Gambar 10.
a b c
Gambar 7. a. B. bassiana masa inkubasi 7 hari, b. B. bassiana masa inkubasi 14 hari, c. B. bassiana masa inkubasi 21 hari
Untuk menjaga viabilitas maupun virulensinya, spora jamur B. bassiana dapat diawetkan dengan cara pengeringan karena pada kadar air rendah aktivitas metabolismenya kecil. Spora B. bassiana yang dikering-anginkan masih dapat
bertahan hidup sampai 2 tahun bila disimpan pada suhu 5°C. Perkecambahan spora B. bassiana dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Fernandes et al., 2006).
mengalami kematian daripada penyimpanan pada suhu 23-29°C
(Crespor et al., 2008) melaporkan bahwa udara dan suhu tinggi akan menyebabkan spora cepat mengalami deteriorasi atau kehilangan viabilitasnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. B. bassiana konsentrasi 108
2. Tingkat kematian tertinggi H. hampei
spora/ml efektif terhadap mortalitas larva,
pupa dan imago.
3. Ketinggian tempat berpengaruh terhadap persentase buah kopi yang
terserang H. hampei dengan masing-masing tempat sebesar 42.21% (1200-1400 m dpl) dan 38.72% (900-1100 m dpl).
larva, pupa, dan imago di
laboratorium sebesar 82.03%, 76.32%, dan 72.42% di lapangan Desa Lobu Siregar Kabupaten Tapanuli Utara sebesar 70.54%, 63.21%, dan 54.58% dan di Desa Tangga Batu Kabupaten Toba Samosir sebesar 68.88%,
58.74% dan 53.27%.
4. Lama penyimpanan berpengaruh terhadap jumlah propagul.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap jamur B. bassiana isolat