• Tidak ada hasil yang ditemukan

this PDF file IKLAN POLITIK ERA IMAGE DAN KEKUASAAN MEDIA | Riyanto | Nirmana DKV04060204

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "this PDF file IKLAN POLITIK ERA IMAGE DAN KEKUASAAN MEDIA | Riyanto | Nirmana DKV04060204"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

IKLAN POLITIK, ERA IMAGE, DAN KEKUASAAN MEDIA

Bedjo Riyanto

Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni dan Desain - Universitas Kristen Petra

ABSTRACT

The direct election of the president and vice president is succeed democratitation process. People has their own sovereignity to decide their own choice. Shifting mass mobilitation from political machine party to the power of mass media machine is the consequences of it. In the age of image recently, press and television broadcast have become a deciding factor of candidate winning. Who takes the power by force of this factor, is the winner. The victory of Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla to be president and vice president in general election September 20th 2004 is the evident of the thesis.

Keywords: political ad, the power of mass media, image building, candidate winning.

PENDAHULUAN

Tanggal 9 September 2004, bom kembali meledak mengguncang ibukota Jakarta

meluluhlantakkan gedung-gedung pencakar langit sekitar jalan Kuningan di depan kedutaan

besar Australia. Korban bergelimpangan bersimbah darah. Sembilan orang meninggal dunia

dengan tubuh tercerai berai (mayoritas kaum Muslim seiman dengan para terorisnya) dan ratusan

orang menderita luka-luka berat dan ringan memenuhi ruang-ruang dan selasar rumah sakit

ibukota.

Meledaknya bom Kuningan melengkapi serangkaian teror bom dengan korban jiwa besar

seperti bom di Sari Club Kuta Bali ataupun bom di depan hotel J.W. Marriot Jakarta, yang sangat

merugikan bagi stabilitas keamanan pemerintahan presiden Megawati. Kasus itu merupakan

tamparan keras dan jelas semakin memerosotkan kredibilitas politiknya pada saat menghadapi

pertarungan dalam putaran terakhir pemilihan presiden melawan rival beratnya pasangan Susilo

Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla pada tanggal 20 September 2004.

Di sela-sela gencarnya breaking news beberapa stasiun televisi swasta yang banyak

menampilkan tayangan isak tangis dan erangan kesakitan korban-korban yang luka parah, tampil

dengan gencarnya memenuhi waktu-waktu prime time iklan kampanye sang presiden.

Dalam iklannya Megawati tampil dengan wajah melancholic dan senyum keibuannya

diiringi backsound nyanyian paduan suara puja-puji beraroma kultus anak-anak dari berbagai

(2)

“Wahai Ibu kami

Banyak yang telah Ibu lakukan Harus selalu Ibu jaga dan teruskan Bagi kami

Putra-putri Negeri”

Pendekatan kampanye ini agak mirip dengan maraknya upacara puja-puji kultus Bapak

Pembangunan yang gencar ditayangkan televisi ketika Suharto terpilih sebagai presiden ketujuh

kalinya pasca pemilu 1997 (rupanya menjadi jabatan terakhirnya).

Lagu Bapak Pembangunan diciptakan dan dinyanyikan oleh komposer sekaligus

penyanyi legendaris Indonesia Titik Puspa yang gencar ditayangkan oleh TVRI dan televisi

swasta, menjadi satu bentuk dari model kebulatan tekat dari setiap elemen organisasi masyarakat

untuk mendukung kultus pembangunan rezim Suharto.

Dampak komunikasi dari iklan Megawati itu terasa paradoksal dengan situasi dan kondisi

psikologis publik yang penuh keterancaman, ketakutan, kesedihan, dan paranoid akibat

serangkaian teror bom yang memakan banyak korban itu. Mungkin timbul persepsi yang negatif

dari publik atas miskinnya kepedulian sang presiden atas bencana yang dialami rakyatnya.

Iklan kampanye politik merupakan media komunikasi politik baru yang muncul akibat

dinamika demokratisasi akibat cepatnya proses reformasi sejak lengsernya presiden Suharto.

Kebutuhan akan bentuk komunikasi politik yang lebih bersifat massal ini telah dimulai dan

dianggap penting oleh partai-partai politik lama maupun baru sebagai sarana memobilisasi

dukungan pemilih ketika bertarung memperebutkan suara pada Pemilu 1999.

Partai-partai besar seperti PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PDIP (Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan), PAN (Partai Amanat Nasional), Partai Golkar, dan PPP (Partai Persatuan

Pembangunan) telah banyak membelanjakan anggaran belanja kampanye dengan memasang

iklan-iklan kampanye partai politik baik melalui media cetak maupun media televisi nasional

waktu itu.

Wajah dan sosok Abdurrachman Wahid (Gus Dur), Megawati, Akbar Tanjung, ataupun

Amien Rais menjadi ikon iklan-iklan politik dari partai-partai politik yang bersaing telah

meramaikan dinamika kehidupan dunia periklanan Indonesia pada waktu itu. Berbagai

pendekatan dan strategi kreatif dilancarkan oleh para pengarah dan perancang iklan untuk

(3)

Dalam kampanye Pemilu 2004 yang menjadi tonggak penting proses demokratisasi

dengan diselenggarakannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh seluruh

rakyat Indonesia, maka bentuk komunikasi persuasif iklan politik semakin mendapatkan lahan

suburnya. Kemudian yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini, sejauh manakah konsep-konsep

serta strategi kreatif mampu dirancang oleh para desainer ataupun pengarah kreatif periklanan

kita di dalam mengkemas program-program serta pesan-pesan politik menjadi sajian iklan yang

rasional, mendidik, artistik, dan komunikatif sehingga menjadi media penyadaran ataupun

pembelajaran politik bagi warga bangsa? Apakah iklan-iklan-iklan politik itu juga mampu

mempengaruhi publik calon pemilih sehingga memberikan suaranya kepada para kandidat yang

diiklankannya?

KULTUS KEKUASAAN YANG GAGAL

Image kemegahan dan kebesaran kekuasaan tampak menjadi tema sentral dalam eksekusi

kreatif iklan-iklan politik pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi. Sosok Megawati banyak

ditampilkan dalam upacara resmi kenegaraan yang berbau seremonial dalam kapasitasnya

sebagai kepala negara, sehingga mencitrakan kemapanan posisi politiknya.

Sebagai putri proklamator dan presiden pertama RI Bung Karno pewaris darah biru dinasti

politik Indonesia, merupakan faktor genetik yang diangkat sebagai kekuatan positioning dan

selling point untuk mendulang suara para pendukung fanatik yang diasumsikan merupakan

mayoritas rakyat indonesia, oleh tim kampanyenya.

Triawan Munaf dari biro periklanan Adwork Euro sebagai koordinator tim kreatif

iklan-iklan politik PDI Perjuangan memanfaatkan keunggulan komparatif Megawati sebagai presiden

yang sedang menjabat (incumbent) dengan pendekatan dokumenter dan humanistik yang

diperkirakan mampu menarik simpati publik. Meskipun keterbatasan waktu hanya

memungkinkan tampilan iklan yang cenderung hard sell, namun iklan-iklan politik PDIP baik

sewaktu kampanye pemilihan umum legislatif maupun pemilihan langsung presiden dan

wakilnya dinilai cukup artistik dan memikat dibanding kompetitornya.

Pada satu versi iklan televisi yang ditayangkan pada saat kampanye putaran pertama

pemilihan presiden ditampilkan dalam format medium close up wajah Megawati dengan senyum

(4)

“Di balik kelembutan Tak kenal lelah Tegas

Selalu Peduli Demi Ibu Pertiwi”

Dengan editing yang cepat mengalir rancak bak video klip, iklan ini menampilkan

potongan-potongan stock-shoot dokumenter seremoni kenegaraan yang memperlihatkan

adegan-adegan Megawati sedang bersilaturahmi dengan para santri; mengunjungi korban-korban bom di

Kuta Bali yang mayoritas wisatawan manca negara kulit putih; beraudiensi dengan Sri Paus

Johannes Paulus II; melakukan inspeksi pasukan TNI diatas jeep terbuka pada upacara hari ulang

tahun TNI; bersama para pekerja wanita yang sedang bekerja di pabrik; mengunjungi korban

bencana alam; melakukan ibadah sholat (sebagai counter atas isu melakukan sembahyang secara

Hindu di suatu Pura di Bali); dan ditutup dengan closing adegan melepaskan burung merpati ke

angkasa sebagai simbol perdamaian.

Pada versi-versi iklan yang lain, pendekatan statistikal yang bersifat kuantitatif yang

dikemas untuk menyajikan prestasi pemerintahan Megawati. Konsep perubahan Rekomendasi 5

diusung oleh pasangan kandidat Megawati-Hasyim Muzadi untuk menjanjikan keberhasilan dan

perubahan jika mereka diberi kepercayaan oleh pemilih.

Lewat angka-angka target pembangunan yang justru dinilai publik kelewat optimistik dan

over-convidence (kelewat percaya diri), iklan-iklan politik versi ini justru kontra produktif dan

semakin mendeligitimasikan posisi pasangan ini.

Pada satu versi iklan pemadatan Rekomendasi 5, Megawati sebagai spoke-person

menyampaikan hasil prestasi dan target-target politiknya:

“Setelah 3 tahun berhasil memulihkan dasar-dasar ekonomi bangsa, saya bersama pak Hasyim Muzadi akan bekerja keras. Melalui Rekomendasi 5 kami akan pangkas kemiskinan sebanyak 45%”, diikuti dengan teks caption Angka Kemiskinan Turun 45 % dan backsound narrator, “ Dan akan menciptakan 12.900.000 kesempatan kerja baru dalam kurun waktu 5 tahun”.

Gambar kembali ke wajah Megawati yang menyatakan:

“Kami akan tanamkan investasi kualitas sumber daya manusia”, disusul suara narator ”Agar kualitas kehidupan bangsa ini secara keseluruhan dapat ditingkatkan”. Sebagai closing slogan Pilih Mega – Hasyim.

Janji penciptaan lapangan kerja rata-rata 2.600.000 orang per tahun sungguh bertolak

(5)

media cetak tentang banyaknya relokasi industri-industri multi nasional meninggalkan Indonesia

(seperti pabrik elektronik Sony, sepatu Nike, dan lain-lainnya), serta PHK masal akibat

bangkrutnya beberapa BUMN dan perusahaan swasta dilanda krisis moneter yang belum pulih

sampai sekarang (contoh kasus PT. Dirgantara Indonesia).

Menurut pengamat komunikasi politik Universitas Indonesia Effendi Ghazali yang

dimuat pada majalah Cakram edisi bulan November 2004, halaman 44, fakta-fakta empirik yang

disampaikan secara statistik pasangan Mega-Hasyim kurang dapat memenuhi ekspetasi rakyat

pemilih. Fakta bahwa pemerintahan Megawati sudah melakukan perubahan-perubahan nyata

dalam bidang stabilitas keamanan, stabilitas moneter, dan laju perekonomian nasional kurang

dapat terkomunikasikan secara bernas dan efektif dalam media kampanye politiknya.

Menurut hasil penelitian Transparency International Indonesia (TII) yang dikutip majalah

Tempo edisi 21 Maret 2004 (di halaman 24-27), dan majalah Cakram edisi Juni 2004 (di

halaman 20-21), untuk melangsungkan kesinambungan kultus kekuasaan tim kampanye

Megawati membelanjakan sekitar 104, 84 milyar rupiah keseluruhan biaya kampanye dari

pemilu legislatif sampai 2 kali putaran pemihan presiden langsung.

Untuk media televisi saja pada kampanye putaran I menghabiskan belanja iklan sekitar 40

milyar rupiah, sedangkan untuk kampanye putaran ke II menghabiskan dana sekitar 13 milyar

rupiah.

IKON PERUBAHAN: SANG PENANTANG

”Bersama Kita Bisa”

Pesan sederhanan yang sangat kuat dan jelas dalam slogan yang menjadi kata kunci

iklan-iklan kampanye pasangan SBY-JK itu di tayangkan di media-media televisi nasional sehingga

membentuk kesadaran di benak khalayak calon pemilihnya. Makna yang terkandung dari slogan

ini adalah bersama-sama dengan rakyat apapun kesulitan yang di hadapi bangsa ini akan dapat di

selesaikan. Apapun partai politiknya SBY presidennya.

Menggandeng Subiakto Priosoedarsono presiden direktur Hotline Advertising sebagai

kordinator kampanye politiknya, pasangan SBY-JK tampil dalam strategi komunikasi yang

simple, komunikatif, dan efektif untuk mendongkrak citra dan membentuk opini positif publik

calon pemilihnya.

Subiakto dikenal sangat piawai mengemas keyword (kata kunci) sebagai kekuatan

(6)

sukses penjualan produk-produk yang menjadi client-nya seperti Xon Ce (dengan keyword “Xon

Ce nya Mana?”), dan Sana Flu (dengan keyword “Belum Tau Dia”).

Segmentasi publik calon pemilih dalam pemilihan umum presiden secara langsung yang

bersifat heterogen, mayoritas tinggal di pedesaan, dengan tingkat pendidikan dan intelektualitas

yang masih rendah, terasa cocok dengan gaya iklan-iklan Subiakto yang simple dengan pilihan

bahasa yang sederhana mudah difahami dan bersifat single-minded (tafsir tunggal).

Mengusung konsep komunikasi “brand building”, figur SBY langsung diangkat sebagai

brand name, rational selling point, sekaligus emotional selling point dengan mempertajam

kekuatan personalitasnya. Postur tubuh SBY yang tinggi besar, wajahnya yang ganteng, gesture

tubuhnya yang santun dan mengayomi, tutur kata yang sistematis dan ilmiah, tingkat

intelektualitasnya yang tinggi (meraih doktor dalam bidang Ekonomi Pertanian dari Institut

Teknologi Bogor), berpengalaman dalam birokrasi (mantan Menteri Pertambangan dan Energi

serta Menteri Koordinator Politik dan Keamanan), dan tidak boleh dilupakan sebagai mantan

militer berpangkat Jenderal ia dianggap publik mampu memberikan jaminan stabilitas politik dan

keamanan nasional yang sangat labil pada masa reformasi dewasa ini.

Di era image, kepiawaian tim kampanye yang dengan cerdik memanfaatkan kekuatan

media masa sebagai pendukung publisitasnya, semakin memompa tingkat popularistasnya. Figur

SBY merupakan jawaban akan kerinduan hadirnya seorang pemimpin, seorang bintang pujaan,

sekaligus mitos seorang “satrio piningit” dari publik masyarakat penontonnya.

Slogan “Bersama Kita Bisa” yang diangkat pada kampanye putaran I pemilihan presiden

mengesankan bahwa SBY mengajak seluruh rakyat apapun pilihan partai politiknya untuk

bersama bahu membahu mengatasi krisis dan membangun Indonesia. Ini merupakan strategi

yang tepat karena pada riil politiknya sang calon presiden hanya didukung oleh Partai Demokrat

yang meraih suara lebih kurang 8 juta pemilih pada pemilihan legislatif.

Ketika berhadapan langsung dengan Megawati presiden yang masih menjabat pada

pemilihan presiden putaran ke II, tim kampanye SBY-JK mengangkat slogan “Perubahan Kini

Semakin Dekat” sebagai kontras atas posisi Mega yang berada pada status-quo kekuasaan.

Sebagai penantang, konsep perubahan yang dijanjikan lebih relevan dengan harapan masyarakat

luas yang mendambakan perubahan lebih cepat dari kondisi stagnasi reformasi dan krisis multi

dimensi ini. Kondisi psikologis publik pemilih yang mudah berubah (swingers voter), tidak

(7)

Lewat kemasan iklan-iklan testimonial dan versi-versi yang menonjolkan pasangan

dwi-tunggal SBY-JK sebagai tali pemersatu perbedaan dari partai-partai yang gagal mengantarkan

calon presidennya pada pemilihan putaran I, pasangan ini mendulang sukses berhasil tampil

sebagai ikon perubahan (Cakram, November 2004: 46-48).

Perubahan menjadi positioning sekaligus brand image pasangan SBY-JK yang kuat

melekat di benak publik calon pemilihnya. Faktor terpenting lainnya adalah kesadaran tim

kampanye untuk mengeksplorasi kegiatan public-relations (kehumasan) sebagai media pengelola

isu (issues management) baik yang berdampak positif maupun negatif (black campaign) agar

menguntungkan bagi pembentukan citra positif dan popularitas pasangan ini. Kegiatan publisitas

(PR), pemanfaatan event-event strategis, dan periklanan merupakan rangkaian dari komunikasi

pemasaran terpadu (integrated marketing communication) yang dilakukan oleh tim kampanye

SBY-JK ternyata terbukti sangat menguntungkan dalam meng-endorce (mendorong) tercapainya

brand awareness pasangan ini.

Televisi sebagai primadona media komunikasi masa dimanfaatkan secara cermat. Hampir

setiap acara yang melibatkan publik yang bernilai rating tinggi apakah itu berbentuk talk show,

debat kandidat, wawancara, panel diskusi, paket acara keagamaan seperti yang diasuh Aa Gym,

bahkan sampai program reality show yang sedang booming digandrungi segenap lapisan

masyarakat seperti Akademi Fantasi (AFI) di stasiun TV Indosiar, dimanfaatkan dengan prima

pasangan ini. Tampilnya SBY (bersama Wiranto kandidat dari partai Golkar) menyanyikan lagu

hit band Jamrud, Pelangi Di Matamu pada malam grand-final AFI 2 berhasil mengundang

simpati kalangan pemilih muda.

Juga lembaga-lembaga penyelenggara jajak pendapat (polling centre) baik di media cetak

maupun televisi mempunyai andil yang sangat penting dalam mendongkrak kemenangan

pasangan SBY-JK. Hampir setiap hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga

penyelenggara dimenangkan oleh pasangan SBY-JK, sehingga memberi kesan seolah-olah

pasangan ini telah menang sebelum bertanding.

Hasil akhirnya lebih kurang 60 % suara kemenangan diraih pasangan Susilo Bambang

Yudhoyono- Jusuf Kalla, mengalahkan pasangan Megawati- Hasyim Muzadi pada pemilihan

presiden dan wakil presiden secara langsung pada tanggal 20 September 2004. Sejarah telah

ditorehkan.

(8)

ERA IMAGE DAN TIRANI MEDIA

Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat Indonesia merupakan

suatu prestasi yang membanggakan dari segala carut marut reformasi dan proses demokratisasi di

negeri ini. Era kedaulatan rakyat benar-benar terwujud menggeser era kedaulatan elit yang hadir

sepanjang sejarah kehidupan politik negeri ini sejak jaman Majapahit sampai Orde Baru.

Dahulu para raja memegang puncak kuasanya secara turun temurun karena dianggap

sebagai titisan para dewa. Pada masa republik modern telah didirikan presiden RI yang pertama

Bung Karno dipilih dan dikukuhkan oleh para tokoh elit perjuangan kemerdekaan yang

tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Untuk melanggengkan kekuasaannya, Bung Karno diangkat sebagai presiden seumur

hidup Pemimpin Besar Revolusi oleh lembaga MPRS, setelah membubarkan Konstituante

(parlemen yang dipilih secara demokratis pada Pemilu 1955) dengan Dekrit Presiden pada tahun

1959.

Berganti masa kekuasaan Orde baru, siklus teratur lima tahunan penyelenggaraan Pemilu

hanya untuk memilih anggota DPR dan MPR yang berfungsi sebagai stempel pengukuh

pengangkatan Suharto sebagai presiden secara terus menerus selama 7 periode tanpa rival sama

sekali.

Maka lembaga tertinggi negara seperti partai politik, DPR, dan MPR, menjadi lembaga

demokrasi semu (demokrasi seolah-olah menurut istilah Gus Dur) yang hanya berperan sebagai

mesin mobilisasi politik kekuasaan tunggal sang patron.

Proses reformasi yang berujung pada lengser keprabon presiden Suharto 23 Mei 1998,

mengakibatkan wakil presiden Prof.Dr. BJ.Habibie diangkat dan dilantik oleh Suharto sebagai

presiden penggantinya.

Dalam Pemilu pertama pasca Orde Baru tahun 1999 yang dinilai paling demokratis

selama ini, dihasilkan anggota DPR dan MPR yang mengangkat Abdurrachman Wahid sebagai

presiden RI ke 4 (padahal partai pemenang Pemilu adalah PDIP). Akibat krisis Bulog-gate maka

MPR melakukan sidang istimewa dan mencopot jabatan presiden dari Gus Dur dan mengangkat

Megawati (semula wakil presiden) sebagai penggantinya.

Siklus kedaulatan elit baru terputus dengan terpilihnya pasangan SBY-JK sebagai

presiden dan wakil presiden pilihan rakyat secara langsung pada 20 September 2004 yang

(9)

partai, ataupun kedaulatan birokrasi tidak berjalan efektif dengan gagalnya Koalisi Kebangsaan

yang dimotori partai-partai besar pemenang Pemilu 2004 seperti Golkar, PDIP, PPP, dan PDS

mengusung pasangan Megawati-Hasyim Muzadi.

Pada era kedaulatan rakyat mesin politik yang digerakkan oleh elit partai kurang berjalan

efektif, dan kekuatan pengerahan sumber daya politik lebih banyak di gerakkan oleh mesin

media komunikasi masa industri-industri media seperti televisi, pers, ataupun media

cyber-interaktif internet. Sebagai primadona televisi tumbuh sebagai kekuatan raksasa pembangun dan

pembentuk opini publik yang paling berpengaruh dalam kehidupan politik kita. Hegemoni

budaya layar (screen-culture) dalam ruang-ruang publik kita telah memungkinkan televisi

menjadi kekuatan utama media pendidikan politik sampai di ruang-ruang keluarga, terutama

disaat menjelang peristiwa penting politik seperti pemilihan umum. Sementara itu di sisi lain

media televisi juga mampu bermetamorposis sebagai alat penghancur dan pembunuh karakter

seorang aktor politik (carracter assasination) yang ganas tanpa ampun. Televisi bak monster

dengan dua kutub wajah seperti tokoh Dr Jeckyll dan Mr. Hyde yaitu mampu sebagai kekuatan

paedagogis yang positif juga sekaligus dapat sebagai mesin pembunuh dan ajang pengadilan

politik yang tak kenal kompromi. Televisi mampu mengangkat citra dan popularitas seorang

aktor politik akan tetapi sekaligus juga mampu menjungkalkan serta memerosotkan kredibilitas

dan legitimasinya sampai ke titik nadir.

Dunia televisi merupakan dunia citraan, dan realitas yang ditampilkan merupakan realitas

semu hasil proses suntingan (editing) dari realitas kehidupan sesungguhnya. Realitas tiruan ini

mempunyai hukum, logika, dan dunianya sendiri (second reality atau hyper-reality), yang pada

titik ekstrimnya di terima bahkan diyakini sebagai realitas sesungguhnya.

Akhirnya kehidupan politik yang ditampilkan dan dibentuk lewat layar media menjadi

semacam hiperpolitik (hyper-politics) yaitu politik yang hidup dalam wujud simulasinya di

dalam ruang-ruang citraan (terutama televisi), yang tidak lagi merepresentasikan politik

sesungguhnya di dunia nyata (politics of discontinuity)(Garin Nugroho, 2004: 61-67).

Megawati merupakan contoh yang menarik bagaimana nasib seorang aktor politik

dilambungkan dan akhirnya dihempaskan oleh kekuatan media ini. Seperti lika-liku plot cerita

opera sabun, Megawati pernah meroket popularitasnya pada masa Orde Baru sebagai tokoh

protagonis teraniaya oleh rezim kekuasaan yang otoriter Suharto. Sejak dirinya terpilih sebagai

(10)

sebagai ikon perlawanan Orde Baru yang akhirnya mengantarkan kemenangan PDIP partai yang

dipimpinnya dalam pemilihan umum 1999 dan akhirnya membuahkan kursi kepresidenan bagi

dirinya.

Demikian sebaliknya, pada pemilihan presiden langsung yang baru lalu ia diposisikan dan

dipersepsikan oleh kalangan pers dan media sebagai tokoh antagonis yang mewakili citra

status-quo kekuasaan. Di mata pers ia dianggap sulit berkomunikasi, lamban, antikritik, dan

kebijakan-kebijakan politiknya tidak memihak wong cilik sebagai pendukung utamanya (sering diplesetkan

dengan jauh dari wong cilik dekat dengan wong licik). Ia sering menjadi bulan-bulanan media

seperti terlihat pada wawancara khususnya menjelang putaran kedua pemilihan presiden (seperti

ketika tampil pada stasiun TV SCTV dan Metro). Wawancara berubah menjadi arena pengadilan

politik dengan pertanyaan-pertanyaan pemandu acara yang sering memojokkan dan memancing

emosi Megawati sehingga menggerogoti image politiknya. Dalam beberapa pidato kenegaraan

seperti saat menyambut hari ulang tahun Pers Indonesia, presiden Megawati menyindir kalangan

pers yang dianggap kebablasan dan bersikap oposisi terhadap kebijakan dan program-program

pemerintah.

Sebaliknya sang penantang SBY dalam telenovela perpolitikan nasional diposisikan

media sebagai tokoh protagonis baru. Popularitasnya terus meroket secara dramatis berkat

dukungan suku-suku baru kontemporer (neotribal) penggemar opera sabun dan telenovela yang

haus akan cerita-cerita dramatis, bintang-bintang pahlawan baru, pelakon-pelakon yang teraniaya

dan berakhir dengan kemenangan dramatis.

Gencarnya ekspose media masa baik cetak maupun televisi ketika SBY disingkirkan

secara halus sebagai Menkopolkam dalam kabinet Gotong Royong dan menjadi keputusan

pengunduran dirinya merupakan momentum penting. Perseteruannya dengan Taufik Kiemas

suami presiden Megawati, menjadi semacam pertunjukan kesewenang-wenangan kekuasaan.

Ucapan Taufik Kiemas yang menghina pribadi SBY sebagai “Jenderal yang kayak anak kecil”,

menjadi kotak pandora yang semakin melambungkan pamornya sebagai ikon ketertindasan yang

banyak menangguk simpati publik.

Dari analisis yang lebih cermat dapat disimpulkan bahwa kekuatan pencitraan sosok SBY

sebagai ikon perubahan bukanlah semata-mata hanya bertumpu pada pengelolaan strategi

periklanannya, melainkan lebih kepada teks personalnya sendiri yang memenuhi ekspetasi dan

(11)

momentum sejarah, media masa, lembaga-lembaga jajak pendapat (polling centre), tim sukses

kampanye, masyarakat penggemar penonton setia televisi, dan kelemahan pemerintahan

Megawati.

Cepatnya perubahan konstelasi politik di Indonesia memaksa para pelaku dan aktor-aktor

politik yang mendambakan kekuasaan untuk merancang strategi komunikasi dan penguasaan

media masa secara tepat, efektif, dan efisien guna menjaring semaksimal mungkin perolehan

suaranya.

Teori-teori pemasaran dan komunikasi modern menjadi pilihan disamping mobilisasi

lewat organisasi partai politik dan ideologi. Mengacu pendapat Bruce I Newman dalam bukunya

Handbook of Political Marketing (1999) yang dikutip oleh Eep Saefulloh Fatah pada esainya

yang berjudul “Dari Supporter ke Voter”{dimuat dalam Tempo 19 September 2004: , pada

zaman cyber-space ini pertarungan politik membutuhkan jurus-jurus pemasaran seperti pemetaan

segmentasi pemilih, demografi pemilih, psikografi pemilih, brand positioning kandidat, brand

personality kandidat, tawar menawar, transaksi, public-relations, media planning, media buying,

media placement, pengelolaan isu dan event-event penting, riset dan seterusnya.

Para pemilih dipandang sebagai sebagai konsumen unsur terpenting dalam siklus kegiatan

pemasaran. Laku dan gagalnya “penjualan” sang kandidat dalam pasar pemilihan umum

tergantung pada kecanggihan dan kreativitas komunikasi pemasaran yang dilakukan. Menurut

Newman, pasar politik dalam lahan demokrasi yang sehat membutuhkan prasyarat kebebasan

berkompetisi, partisipasi, dan rasionalitas dari para pemilih (voters) yang menggantikan

emosionalitas, kultus, fanatisme, dan model mobilisasi dari para pengikut (supporters).

Supporters Voters

(12)

Publik yang dikategorikan sebagai pemilih (voters) menggunakan analisa rasional, dengan

kalkulasi yang cermat berkat pengetahuan yang memadai tentang kelayakan dan kepatutan

kandidatnya. Mereka mau memilih jika merasa yakin bahwa kandidat tersebut mampu

memperjuangkan aspirasinya secara baik.

Pemilih memposisikan kandidat sebagai sosok historis tidak berdasarkan mitos, kultus,

ataupun hubungan hierarki genealogis (hubungan silsilah kekeluargaan dengan para elit politik).

Mereka menyerahkan kepercayaan berdasarkan pertimbangan prestasi, track record, kompetensi,

dan moralitas sang kandidat sebagai pengemban amanat rakyat.

Pemilih akan memposisikan dirinya setara dengan kandidatnya, dan memberikan

pilihannya tidak secara gratis. Ia akan selalu menuntut imbalan yaitu pelaksanaan janji-janji

politik yang diberikan sang kandidat pada saat kampanye.

Tugas pemilih tidak selesai begitu saja sesudah proses pencoblosan dilakukan, melainkan

akan terus mengawal dan menuntut pertanggung jawaban dari pemimpin pilihannya selama masa

jabatan yang ditentukan. Mandat mereka bukanlah cek kosong belaka, dan janji politik harus

diuji kebenaran pelaksanaannya oleh publik.

Pemilih adalah subyek partisipasi bukan obyek mobilisasi, sehingga ia mempunyai

kemandirian dalam membangun kesadaran, merumuskan pilihannya, dan mengekspresikan

pilihannya.

Dalam bahasa yang lain para pemilih merupakan rational voters yang mempunyai

tanggung jawab, kesadaran, kalkulasi, rasionalitas, dan kemampuan kontrol yang kritis terhadap

kandidat pilihannya, yang meninggalkan ciri-ciri traditional voters yang fanatik, primordial, dan

irasional, serta berbeda dari swingers voters yang selalu ragu-ragu dan berpindah-pindah pilihan

politiknya.

Dalam pemasaran politik, pengelolaan dan penguasaan media komunikasi pemasaran

modern merupakan ujung tombak aktivitasnya. Penguasaan media menjadi kunci kemenangan

atas posisi politiknya. Tim pemasar politik harus mampu mengintegrasikan berbagai bentuk

aktivitas komunikasi pemasaran dengan beragam bauran medianya (media mix) yang sering

disebut sebagai Integrated Marketing Communication (IMC) secara kreatif, sinergis, dan efektif

dalam membangun kepercayan di benak calon pemilihnya. Bentuk-bentuk aktivitas IMC seperti,

advertising, direct marketing, sales promotion, publicity/public-relations, personal selling, dan

(13)

dengan pertimbangan urgensi dan skala prioritasnya (George E. Belch & Michael A. Belch,

1998: 3-31).

Pemanfaatan berbagai bauran media seperti a bove the line media (ATL), below the line

media (BTL), serta trough the line media (TTL) secara kreatif, unik, strategis, dan akurat

merupakan kunci yang lain dalam memenangkan pertarungan media.

Pada tahap awal perintisan membangun citra positif sang kandidat sebagai kegiatan

brand-building, merupakan tahapan yang paling krusial dan menjadi fondasi yang menentukan

kelangsungan dan keberhasilannya.

Dalam bukunya yang berjudul: The Fall of Advertising and The Rise of Public Relations

(2003), Al Ries dan Laura Ries memperkenalkan era public relations (The Public Relations

Cometh), yang menggantikan era positioning (The Positioning Cometh)(Al Ries & Laura Ries,

2003: 2-4). Menurutnya periklanan sebagai bentuk puffery communication telah kehilangan

kredibilitasnya. Periklanan dianggap sebagai kebohongan dan suara manipulatif dari perusahaan

atau pihak-pihak yang ingin menjual produk maupun gagasannya.

Melalui serangkaian kasus-kasus penelitiannya dibuktikan bahwa program-program

kampanye periklanan yang dilakukan perusahaan-perusahaan raksasa multinasional itu justru

berdampak menjatuhkan angka penjualan produk-produknya seperti: iklan bertema mobil

mainan dari Nissan; iklan bertema “Just Do It” dari Nike; iklan kampanye Energizer Bunny;

iklan Alka Seltzer; dan masih banyak lagi.

Kesimpulan dari pengamatannya periklanan tidak membangun kesadaran terhadap

sebuah merek (brand), melainkan publisitaslah yang membangun keberadaan sebuah merek.

Periklanan hanya bisa memelihara keberlangsungan merek (bersifat remindering) yang telah

diciptakan oleh kegiatan publisitas (PR).

Dari hasil jajak pendapat yang diselenggarakan lembaga riset Gallup terhadap persepsi

publik atas kejujuran dan etika dari 32 macam profesi yang berbeda-beda, periklanan dan praktisi

periklanan menempati peringkat nyaris terbawah persis diantara penjual asuransi dan penjual

mobil.

Resep kunci dari Al Ries janganlah sekali-kali meluncurkan program periklanan sebelum

kemungkinan-kemungkinan publisitas (PR program) dikembangkan dan diseksplorasi. Public

Relations merupakan batu fondasi yang menentukan kokohnya kesadaran mereka ditanamkan di

(14)

Persepsi Publik Atas Kejujuran (dalam persentase)

Sumber dari Al Ries & Laura Ries, 2003. The Fall of Advertising and The Rise of Public Relations. Jakarta: Gramedia, halaman 2.

SIMPULAN

Sebagai media komunikasi politik yang baru, iklan-iklan politik kampanye pemilihan

presiden dan wakil presiden baik pada putaran ke I maupun pada putaran ke II masih banyak

yang menggunakan pendekatan emosional dalam mempengaruhi calon pemilih. Penonjolan figur

kandidat dengan segala sentuhan emosionalitasnya seperti eksploitasi kegantengan SBY, serta

kharisma kelembutan keibuan Megawati mendominasi eksekusi iklan-iklan politik yang

ditayangkan di media televisi maupun media pers nasional. Publik kurang mendapatkan

informasi mengenai program-program pembangunan, serta konsep-konsep politik yang bersifat

paradigmatik dan rasional dari setiap kandidat di dalam membangun bangsa Indonesia di masa

depan setelah mereka terpilih.

Kemenangan pasangan kandidat presiden dan wakil presiden Susilo Bambang

Yudhoyono-Jusuf Kalla yang berhadapan dengan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dalam

pemilihan umum presiden secara langsung 20 September 2004 menjadi titik balik akan

kesadaran baru keberadaan mesin media komunikasi masa sebagai kekuatan pembentuk sikap

(15)

Acara-acara pembentuk opini publik yang ditayangkan televisi nasional seperti talk show,

debat kandidat, panel diskusi, polling (jajak pendapat), bahkan sampai bentuk-bentuk yang lebih

longgar seperti program reality show yang banyak disukai kaum wanita dan anak muda banyak

dimanfaatkan oleh tim kampanye para kandidat presiden dan wakil presiden.. Pemilu 2004 ini

telah memberikan kesadaran bagi para perancang komunikasi politik untuk menggunakan bauran

berbagai media serta menerapkan komunikasi pemasaran terpadu (tidak hanya memanfaatkan

iklan semata) demi keberhasilan program-program kampanye yang dilakukan untuk mendukung

kandidatnya.

KEPUSTAKAAN

--- , “Antara Pemilu dan Media” dalam Cakram edisi Juni 2004.

Belch, George E. & Belch, Michael A., Advertising and Promotion: An integrated Marketing Communications Perspective. Boston: Irwin McGraw-Hill, 1998.

Eep Saefulloh Fatah, kolom “Dari Supporter ke Voter” dalam Tempo, 19 September 2004 Edisi Khusus Pemilihan Presiden.

Garin Nugroho, Opera Sabun SBY: Televisi dan Komunikasi Politik, Jakarta: Nastiti,2004.

--- , “Iklan Sebagai Mesin Politik Baru” dalam Cakram edisi November 2004.

--- , “Ingar-bingar Dana Kampanye” dalam Tempo, edisi 21 Maret 2004.

Referensi

Dokumen terkait

berbagai cara; (5) melibatkan berbagai pihak yang dipandang perlu dan berkepentingan secara proaktif (partisipatif); (6) pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan

yaitu jawaban atas pertanyaan- pertanyaan yang diajukan sebagai data yang akan digunakan untuk menguji hipotesis. 2) Setiap kelompok menyampaikan hasil

Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah komisaris independen, komite audit, corporate social responsibility (CSR), debt ratio, dan

Mahasiswa calon guru hams mempunyai penalaran yang baik. Penalaran tersebut akan dilatihkan kepada siswa dalam kegiatan pembelajaran matematika apabila mahasiswa

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka penelitian yang akan dilaksanakan berbeda dengan penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya. Penelitian di atas berfokus pada metode

Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau

Mampu merancang sistem produksi, perencanaan proses dan sumberdaya, memilih peralatan serta peralatan penunjang produksi baik aspek ergonomi serta safety untuk

Pengodean diagnosis pada kasus sistem sirkulasi di klinik jantung RSUD Wates tidak dilakukan oleh petugas rekam medis, namun untuk kode diagnosa yang telah