• Tidak ada hasil yang ditemukan

file unlocked (7)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "file unlocked (7)"

Copied!
285
0
0

Teks penuh

(1)

ASAS KESEIMBANGAN

DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

(STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI

No. 3956 K/Pdt/2000 JO PUTUSAN PENGADILAN TINGGI

SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY JO PUTUSAN PENGADILAN

NEGERI GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS)

TESIS

AMIN IMANUEL BURENI

1106030220

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM KEKHUSUSAN PRAKTEK PERADILAN

(2)

ASAS KESEIMBANGAN

DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

(STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI

No. 3956 K/Pdt/2000 JO PUTUSAN PENGADILAN TINGGI

SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY JO PUTUSAN PENGADILAN

NEGERI GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum

AMIN IMANUEL BURENI

1106030220

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM KEKHUSUSAN PRAKTEK PERADILAN

(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : AMIN IMANUEL BURENI

NPM : 1106030220

Tanda Tangan :

(4)

HALAMAN PENGESAHAN Tesis ini diajukan oleh :

Nama : Amin Imanuel Bureni

NPM : 1106030220

Program Studi : Praktek Peradilan

Judul Tesis : ASAS KESEIMBANGAN DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 3956 K/Pdt/2000 JO PUTUSAN PENGADILAN TINGGI SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY JO PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Sudi Pascasarjana Program Kekhususan Praktek Peradilan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Prof. DR. Rosa Agustina, SH., MH. (……….)

Penguji : Heru Susetyo, SH. LLM. M.Si (……….)

Penguji : Dr. Yoni Agus Setyono, SH.MH (……….)

Ditetapkan di : Jakarta

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan puja syukur patut penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha

Kuasa karena atas berkat dan rahmatNya serta taufik dan hidayahNya sehingga

karya tulis berupa tesis berjudul “ASAS KESEIMBANGAN DALAM

PERJANJIAN KREDIT BANK (STUDI TERHADAP PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG RI No. 3956 K/Pdt/2000 JO. PUTUSAN

PENGADILAN TINGGI SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY JO. PUTUSAN

PENGADILAN NEGERI GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Kekhususan Praktek Peradilan,

dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan tesis ini tidak terlepas dari

bantuan dan dukungan berbagai pihak, karena itu sepatutnya penulis

menyampaikan ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada :

1. Yang sangat kukasihi dan kuhormati kedua orang tua kandungku (Bapak

Thitus Bureni, SH.M.Hum dan Ibu Stince Fatima Bureni) di Kupang – Nusa Tenggara Timur yang telah membesarkanku dari kecil hingga saat ini dengan

penuh cinta dan kasih sayang tanpa pamrih, penuh harap dan bangga ketika

kuinjakkan kaki di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Masih kuingat doa

restu papa dan mama ketika hendak kulangkahkan kaki ke Jakarta, tak

mampu kubalaskan semuanya, dalam doa aku meminta Tuhan Yesus selalu

memberkati papa dan mama.

2. Demikian pula bagi mertuaku Bapak David Adoe dan Ibu Sartje Panie yang

dari keberadaannya memaklumi keadaanku dan tak putus mendoakan aku.

Tuhan Yesus memberkati.

3. Isteriku tercinta Anung M. Bureni-Adoe, S.Pi dan anakku terkasih Reall

D‟Abraham Ceavinlee Bureni, dalam kesetiaan cinta dan dukungan moril

selalu memotivasiku untuk bertahan dan menyelesaikan perjuangan ini.

Kalian selalu menghiasi hari-hariku dengan cinta kasih dan kuakui kalianlah

(6)

4. Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung RI dan jajarannya yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh tugas belajar di

Universitas Indonesia selama 17 bulan, serta Perwakilan C4J-USAID yang

telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan

Strata 2 (S2) di Universitas Indonesia. Suatu kehormatan bagiku.

5. Yang Mulia Bapak Th. Pudjiwahono, SH. MHum, selaku mantan Ketua

Pengadilan Tinggi Kupang (sekarang Wakil Ketua Pengadilan Tinggi

Jakarta), Yang Mulia Bapak Soesilo Utomo, SH selaku mantan Wakil Ketua

Pengadilan Negeri Ende (sekarang Ketua Pengadilan Negeri So‟e), Yang

Mulia Bapak Ahmad Petensili, SH. MH (selaku Ketua Pengadilan Negeri

Ende) dan Ibu Maria D. Angelina (selaku Panitera Pengadilan Negeri Ende)

yang telah memberikan motivasi kepada penulis untuk melanjutkan dan

menyelesaikan studi Magister Hukum,

6. Prof. Dr. Rosa Agustina, SH, MH, selaku Ketua Program Pascasarjana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sekaligus selaku Dosen Pembimbing

sekaligus Penguji bagi Penulis, yang dengan ketulusan dan kesabaran telah

meluangkan waktu untuk membimbing penulis, dengan keikhlasan telah

memfasilitasi penulis memperoleh literatur-literatur langka, menuntun penulis

untuk dapat menelusuri berbagai literatur berkaitan dengan tesis ini, dan terus

memotivasi penulis untuk bergerak maju. Tak cukup ucapan terima kasih ini,

dalam doa aku berharap Tuhan yang kusembah memperhitungkan segala

kebaikan Guru Besar-ku.

7. Prof. Dr. der Soz. Gumilar Rusliwa Somantri, selaku Rektor Universitas

Indonesia. Pertama kali kukagumi Universitas Indonesia karena

diperkenalkan oleh Bapak Rektor Universitas Indonesia dalam kunjungan ke

Ende untuk penandatanganan MoU antara Universitas Indonesia dengan

Pemerintah Daerah Kabupaten Ende.

8. Dewan penguji tesis dari Penulis: Dr. Yoni Agus Setyono, SH. MH, Heru

Susetyo, SH, LLM, M.Si, penulis ucapkan terima kasih atas kesempatan,

waktu dan masukan-masukan yang diberikan kepada penulis.

9. Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Seluruh Dosen Program

(7)

10. Seluruh Staf Tata Usaha Program Studi Magister Ilmu Hukum Program

Pascasarjana Universitas Indonesia, terkhusus yang kan kukenang Pak Udin.

11. Spesial kepada kedua sahabatku : bro I Dewa Gede Budhy Dharma Asmara,

SH.MH dan bro David Fredriek Albert Porajow, SH.MH. Dalam suka kita

nikmati bersama, dalam duka kita berbagi bersama. Kalian bukan sekedar

sahabat bagiku tetapi separuh dari jiwaku, walau nanti kita berpisah tapi diri

kalian dalam canda, tawa, sedih, letih dan stress akan selalu kukenang.

Terima kasih atas persahabatan dan kekompakan selama studi. Demikian juga

kepada semua rekan/rekanita kelas Praktek Peradilan / Mahkamah Agung : 1.

Afif Januarsyah, SH, MH, 2. Andre Trisandy, SH, MH, 3. Ben Ronald P.

Situmorang, SH, MH, 4. Dwi Hananta, SH, MH, 5. Hasanuddin, SH, MH, 6.

Harika Nova Yeri, SH, MH, 7. Hendro Wicaksono, SH, MH, 8. M.

Aliaskandar, SH, MH, 9. M. Fauzan Haryadi, SH, MH, 10. M. Sholeh, SH,

MH, 11. Ni Kadek Susantiani, SH, MH, 12. Nofita Dwi Wahyuni, SH, MH,

13. Ramon Wahyudi, SH, MH, 14. Rios Rahmanto, SH, MH, 15. R.A.

Asriningrum Kusumawardhani, SH, MH, 16. Wini Nofiarini, SH, MH, dan

17. Yudhistira Adhi Nugraha SH, MH. sukses dan provisiat untuk kita semua.

12. Para pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu yang telah

membantu dalam penulisan tesis ini, baik dalam bentuk nasihat, bimbingan,

doa, maupun berbagai bantuan sekecil apapun itu kepada penulis, sangat

berharga bagiku.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, ibarat

tiada gading yang tak retak, tiada bumi yang tak bercacing. Demi penyempurnaan

tesis ini, segala usul, saran, kritikan yang sifatnya konstruktif, penulis terima

dengan tangan terbuka disertai ucapan terima kasih.

Akhirnya, semoga tesis ini dapat memberikan warna baru bagi hukum

perikatan khususnya perjanjian kredit bank di Indonesia.

Jakarta, 21 Januari 2013

(8)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini :

Nama : Amin Imanuel Bureni

NPM : 1106030220

Program Studi : Program Pascasarjana Magister Hukum Departemen : Peminatan Praktek Peradilan

Fakultas : Hukum

Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalti

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

“ASAS KESEIMBANGAN DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 3956

K/Pdt/2000 JO PUTUSAN PENGADILAN TINGGI SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY JO PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GS No.

37/Pdt.G/1998/PN. GS)”

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya

selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai

pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada tanggal : 21 Januari 2013

Yang menyatakan,

(9)

ABSTRAK

Nama : Amin Imanuel Bureni

Program Studi : Praktek Peradilan / Mahkamah Agung

Judul : Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian Kredit Bank (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No. 3956 K/Pdt/2000 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No. 628/Pdt/1999/PT.SBY jo. Putusan Pengadilan Negeri Gresik No. 37/PPdt.G/1998/PN.GS.

Perjanjian kredit bank merupakan media atau perantara pihak dalam keterkaitan pihak yang mempunyai kelebihan dana surplus of funds dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana lack of funds. Perjanjian kredit bank membentuk perikatan diantara para pihak dalam hubungan yang saling membutuhkan dimana masing-masing pihak berkehendak memperoleh manfaat/ keuntungan dari perikatan tersebut. Karena itu dalam perjanjian kredit bank harus ada keseimbangan kepentingan para pihak baik pada tataran pembuatan perjanjian kredit bank maupun pada tataran pemenuhannya yang dimuat sebagai klausula perjanjian. Kenyataannya, seringkali ditemukan tidak terdapatnya keseimbangan pengaturan kepentingan para pihak diantaranya terdapat klausula “Penetapan dan

Perhitungan Bunga Bank dilakukan Oleh Bank” yang disinyalir sebagai klausula

eksonerasi karena dengan pencantuman klausula tersebut maka pihak bank dapat secara sewenang-wenang mengubah bunga kredit dan juga sebagai benteng bagi pihak bank menghindari pertanggungjawaban hukum. Dalam hal ini masyarakat pencari keadilan mengharapkan hakim dapat memberi keadilan melalui pemulihan keseimbangan kepentingan dalam perjanjian kredit bank tersebut. Pokok permasalahan penelitian ini adalah : apakah pencantuman klausula “Penetapan

dan Perhitungan Bunga Bank dilakukan Oleh Bank” dalam perjanjian kredit bank

melanggar asas keseimbangan ? dan apakah hakim dapat mengintervensi suatu perjanjian kredit yang disepakati para pihak ? Selanjutnya dengan menggunakan metode penelitian deskriptif analisis, peneliti menganalisis pengaruh pencantuman

klausula “Penetapan dan Perhitungan Bunga Bank dilakukan Oleh Bank” terhadap

keseimbangan perjanjian kredit bank dan menganalisis kewenangan hakim dalam mengintervensi suatu perjanjian kredit yang disepakati para pihak sekaligus memberikan rekomendasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencantuman

(10)

ABSTRACT

Name : Amin Imanuel Bureni

Study Program : Practice of Judicial Administration/Supreme Court

Title : The Balance Principle in the Bank Credit Agreement (The Study on the Decision of the RI Supreme Court No. 3956 K/Pdt/2000 jo. the Decision of the Surabaya High Court No. 628/Pdt/1999/PT.SBY jo. the Decision of the Gresik District Court No. 37/PPdt.G/1998/PN.GS.

The bank credit agreement is a medium or an intermediary of the parties in the involvement of the parties that have surplus of funds with the parties having lack of funds and needing funds. The bank credit agreement establishes the bond among the parties in a relationship which mutually needs each other where each party wishes to obtain advantages/benefits from the bond. Therefore, in the bank credit agreement there has to be a balance of interests of the parties both in the phase of the drawing of the bank credit agreement and in the phase of its fulfillment set forth as one of the clauses of the agreement. In reality, the

imbalance of the parties‟ interest arrangement is often discovered, which among others there is a clause of “Bank Interest Determined andCalculated by the Bank”

pointed out as an exoneration clause because by putting the clause the bank can arbitrarily change the credit interest and also as the shield for the bank to avoid legal liability. In this case, the society seeking for justice expect the judge can provide it through the restoration of interest balance in the bank credit agreement.

The main problems of the research are: does the writing of the clause “Bank Interests Determined and Calculated by the Bank” in the bank credit agreement

violate the balance principle? And can a judge intervene a credit agreement approved by all parties? Furthermore, by using the descriptive analysis research

method, the researcher analyzes the influence of the writing of the clause “Bank

Interests Determined and Calculated by the Bank” to the balance of the bank credit agreement and analyzes the authority of a judge in intervening a credit agreement approved by all parties and in providing recommendations. The research result shows that the writing of the clause “Bank Interests Determined

and Calculated by the Bank” without setting forth the clause which guarantees a

renegotiation to be done on the change of the bank credit interests violates the balance principle, and therefore a judge because of his/her position (ex officio) and because of the mandate of the laws has the authority to intervene the bank credit agreement to restore its balance. As there are some weaknesses/positive law disparities on the arrangement of the credit agreement implementation done with

good faith and also on the arrangement of the judge‟s roles in the restoration of

the bank credit agreement balance, it is recommended that the revision of Civil Code and/or the revision on the relevant laws should be done.

(11)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ………… vii

ABSTRAK ……… viii 2.1.PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM ……….… 35

2.2.PERJANJIAN KREDIT ……….… 52

BAB 3 KEDUDUKAN ASAS KESEIMBANGAN DALAM

PERJANJIAN KREDIT BANK ………..

80

BAB 4 ASAS KESEIMBANGAN PERJANJIAN KREDIT BANK

DALAM PUTUSAN HAKIM ………

112

4.1.PENCANTUMAN KLAUSULA “PENETAPAN DAN PERHITUNGAN BUNGA BANK DILAKUKAN OLEH

(12)

/ Pdt / 2010 / PT.Smg jo. Nomor : 11 / Pdt.G / 2010 /

PN.Jpr ………

4.1.3. Putusan Nomor : 3431 K/Pdt/1985 jo. Nomor :

523/1983/Pdt/PT.Smg jo. Nomor : 12/G/1983/Pdt.Bla ….. 133

4.2.PERANAN HAKIM DALAM MEMULIHKAN KESEIMBANGAN PERJANJIAN KREDIT BANK …… 144

BAB 5 PENUTUP ……….. 170

5.1.KESIMPULAN ……… 170

5.2.SARAN - SARAN ………... 172

DAFTAR REFERENSI ………... 175

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG MASALAH

Kehadiran bank1 memiliki arti penting bagi wiraswastawan. Posisi bank selaku pemegang modal dan wiraswastawan selaku yang membutuhkan

modal sering menempatkan wiraswastawan berada dalam posisi lemah dalam

hal modal/dana. Ketika wiraswastawan memanfaatkan jasa bank melalui

produk perjanjian kredit, biasanya wiraswastawan memiliki bargaining

power yang lemah ketimbang bank (kecuali wiraswastawan bermodal besar)

1

(14)

dan karena itu kebanyakan wiraswastawan selaku calon nasabah debitur

bersikap „pasrah‟ akan ketentuan perjanjian kredit yang disodorkan bank. Perjanjian kredit merupakan media atau perantara pihak dalam

keterkaitan pihak yang mempunyai kelebihan dana surplus of funds dengan

pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana lack of funds.2 Pihak

surplus of funds mengharapkan keuntungan dari peminjaman dananya dan

pihak lack of funds mengharapkan dengan dana yang dipinjamkan dapat

digunakan untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi, baik pihak surplus of funds

maupun pihak lack of funds masing-masing memiliki kepentingan dalam

perjanjian kredit sehingga tidaklah dibenarkan dalam perjanjian kredit, pihak

lack of funds saja yang diperhatikan kepentingannya.

Ketika pihak bank dan pihak calon nasabah debitur menandatangani

perjanjian kredit maka perjanjian kredit tersebut mengikat kedua belah pihak

dan merupakan undang-undang3 bagi kedua belah pihak. Pemberlakuan

perjanjian sebagai undang-undang bagi mereka yang mengikatkan diri dalam

suatu perjanjian, telah menempatkan perjanjian itu sebagai hukum. Dalam hal

ini Roscoe Pound mengemukakan bahwa hukum adalah keseimbangan

kepentingan.4

Lahirnya perjanjian kredit mewajibkan pihak-pihak yang mengikatkan

diri dalam perjanjian kredit tersebut untuk tunduk pada syarat-syarat yang

diperjanjikan baik berupa hak maupun kewajiban kedua belah pihak

sebagaimana tertuang dalam perjanjian kredit itu. Mengikatnya syarat-syarat

dalam perjanjian kredit bagi para pihak dan kewajiban para pihak tunduk

pada perjanjian kredit itu dilindungi oleh hukum apabila perjanjian kredit

tersebut dilahirkan dalam keadaan yang sah yaitu sah proses pembuatan dan

penetapannya dan sah isi atau syarat-syarat yang termuat dalam perjanjian

kredit itu.

2

Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum Sekitar Perjanjian Kredit, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,1997, halaman 1.

3

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata mengatur : semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

4

(15)

Pasal 1320 KUH Perdata telah mengatur 4 (empat) syarat sahnya

suatu perjanjian yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Syarat kesatu dan kedua adalah syarat subyektif yang apabila tidak terpenuhi

maka konsekuensinya perjanjian itu dapat dibatalkan. Sedangkan syarat

ketiga dan keempat adalah syarat obyektif yang apabila tidak terpenuhi maka

perjanjian itu batal demi hukum.

Mengenai kesepakatan sebagai syarat sahnya perjanjian, Pasal 1321

KUH Perdata mengatur bahwa apabila kesepakatan tercapai karena

kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian atau

karena paksaan atau penipuan maka dianggap tidak ada kesepakatan. Dengan

demikian, kesepakatan itu harus terjadi dalam keadaan para pihak yang bebas

dan jujur, tidak ada penipuan, tidak ada paksaan dan tidak terjadi kekhilafan.

Kesepakatan yang terjadi karena kekhilafan, penipuan ataupun paksaan dapat

dijadikan alasan meminta pembatalan perjanjian.

Selain itu, dalam perkembangannya, penyalahgunaan keadaan

(misbruik van omstandigheden) juga dijadikan alasan untuk membatalkan

perjanjian karena penggugat tidak menghendaki adanya perjanjian tersebut

atau karena perjanjian itu tidak dikehendaki penggugat dalam bentuk yang

demikian. Konsep ini diterapkan antara lain dalam putusan Mahkamah Agung

RI No. 3431 K/Pdt/1985, tanggal 4 Maret 1987 dan putusan Mahkamah

Agung RI No. 1904 K/Sip/1982, tanggal 28 Januari 1984.5

5

(16)

Untuk mencapai kesepakatan diantara para pihak tentunya

penyampaian kehendak masing-masing pihak dilakukan dalam keadaan bebas

dan ada proses mencari persesuaian kehendak diantara para pihak dalam

wadah negosiasi. Fase negosiasi merupakan crucial point untuk merumuskan pertukaran hak dan kewajiban para pihak yang nantinya

mengikat dan wajib untuk dipenuhi.6

Dewasa ini banyak perjanjian kredit yang terjadi bukan melalui proses

negosiasi di antara para pihak, melainkan format perjanjian telah disiapkan

secara sepihak oleh pihak bank berupa syarat-syarat baku yang dituangkan

dalam formulir yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada calon

nasabah debitur untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan

kepada calon nasabah debitur bernegosiasi. Kalaupun calon nasabah debitur

diberikan ruang bernegosiasi, keputusan mengubah syarat baku terdapat pada

pimpinan pusat bank dan bukan pada kepala cabang bank sehingga

memerlukan waktu yang cukup lama untuk proses negosiasi dan sudah tentu

merugikan pihak calon nasabah debitur karena kebutuhan dana mendesak.

Dalam keadaan demikian, calon nasabah debitur diperhadapkan pada

kondisi take it or leave it tanpa kebebasan bagi calon nasabah debitur

memutuskan pilihannya. Dengan kata lain, kalaupun terjadi kesepakatan

maka sepakat itu terjadi karena terpaksa. Sepakat yang diberikan dengan

terpaksa adalah contradiction in terminis. Adanya paksaan menunjukkan

tidak adanya sepakat.7 Dalam hal ini, Hood Philips berpendapat bahwa : The contracts (standard contract) are the take-it-or leave it kind, for here the

customer cannot bargain over the terms : his only choice is to accept the term

in to or to reject the service together.8

6

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, halaman 148.

7

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, PT. Pustaka Utama Graffiti, Jakarta, Agustus 2009, halaman 52.

8

(17)

Perjanjian yang demikian dinamakan perjanjian standar atau

perjanjian baku9 atau perjanjian adhesi.10 Menurut Sutan Remy Sjahdeini,

perjanjian baku adalah : “Perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya

tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.”11 Lebih lanjut Sutan Remy Sjahdeini mengungkapkan bahwa yang belum

dibakukan dalam perjanjian kredit hanyalah beberapa hal misalnya yang

menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal

lainnya yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Dengan kata lain, yang

dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausula-klausulanya.12 Dalam literatur lain, A. Pitlo-Bolweg dalam Ignasius Ridwan Widyadharma

(1997) menekankan bahwa perjanjian standar adalah suatu dwangcontract.13 Kebijakan pengambilan keputusan mengenai kemungkinan perubahan

syarat baku yang diserahkan pada pimpinan bank pusat menjadikan proses

tercapainya kesepakatan/perjanjian menjadi berlarut-larut dan tidak efisien.

Tidak mengherankan apabila pihak bank lebih cenderung memberikan

pelayanannya kepada calon nasabah debitur yang sepakat dengan syarat baku

yang disodorkan.14

Situasi dimana kurangnya ruang negosiasi dalam perjanjian kredit

cenderung menimbulkan ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara pihak

bank dengan nasabah debitur dalam perjanjian kredit yang ditetapkan.

Ketidakseimbangan tersebut umumnya merugikan pihak nasabah debitur.

Herlien Budiono mengemukakan 3 (tiga) aspek yang saling berkaitan

dari perjanjian yang dapat dimunculkan sebagai faktor penguji berkenaan

9

Lahirnya perjanjian baku dilatarbelakangi antara lain oleh perkembangan masyarakat modern, dan perkembangan keadaan sosial ekonomi. Tujuan semula diadakannya perjanjian baku adalah alasan efisiensi dan alasan praktis. Hubungan ekonomi yang bergerak cepat telah menjadikan perjanjian baku sebagai suatu kebutuhan karena dinilai lebih efisien.

10

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 73-74.

11

Ibid, halaman 66.

12

Ibid, halaman 74.

13

Ignatius Ridwan Widyadharma, Op.Cit, halaman 8.

14

(18)

dengan daya kerja asas keseimbangan, yakni :15 pertama, perbuatannya sendiri atau perilaku individual, kedua, isi kontrak, dan ketiga, pelaksanaan

dari apa yang telah disepakati.

Khusus mengenai faktor penguji pertama, perbuatannya sendiri atau

perilaku individu, Herlien Budiono mengungkapkan sebagai berikut :

Suatu perbuatan hukum tidak boleh bersumber dari ketidaksempurnaan keadaan jiwa seseorang. Keadaan tidak seimbang dapat terjadi sebagai akibat dari perbuatan hukum yang dengan cara terduga dapat menghalangi pengambilan keputusan atau pertimbangan secara matang. Yang dimaksud disini adalah keadaan yang berlangsung lama, seperti ketidakcakapan bertindak (handelings-onbekwaamheid). Juga, tercakup ke dalam itu ialah perbuatan (-perbuatan) sebagai akibat dari cacatnya kehendak pelaku, misalnya karena ancaman (bedreiging), penipuan

(bedrog), atau penyalahgunaan keadaan (misbruik van

omstadigheden).16

Ketidakseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian

kredit, setidaknya dipengaruhi oleh keleluasaan yang diberikan Bank

Indonesia melalui Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor

27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 kepada masing-masing bank induk

untuk menyusun dan menetapkan format baku perjanjian kredit.

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR

tanggal 31 Maret 1995 tersebut hanya memberikan rambu-rambu untuk

diperhatikan oleh masing-masing bank dalam menetapkan perjanjian kredit

sebagai berikut :17

1. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi

kepentingan bank;

2. Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit, serta

persyaratan-persyaratan kredit lainnya sebagaimana ditetapkan dalam

keputusan persetujuan kredit dimaksud.

15

Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, PT. Citra Aditia Bakti, Bandung, 2006, halaman 334.

16

Ibid, halaman 335. 17

(19)

Rambu-rambu tersebut telah memberi keleluasaan pada

masing-masing bank untuk menetapkan klausula-klausula baku dalam format

perjanjian baku guna melindungi kepentingan bank yang terkadang tidak

wajar dan tidak adil sehingga merugikan kepentingan calon nasabah debitur

sebab tidak ada keseimbangan hak dan kewajiban antara pihak bank selaku

kreditur dengan pihak nasabah debitur dalam perjanjian kredit. Klausula baku

yang demikian disebut klausula eksonerasi, atau klausula eksemsi atau

klausula exclusion.

Penggunaan istilah yang berbeda untuk keadaan klausula yang sama

tersebut lebih ditekankan pada selera masing-masing penulis tentunya dengan

dasar argumentasi ilmiah. Misalnya, Sutan Remy Sjahdeini cenderung

menggunakan istilah klausula eksemsi yang sering digunakan dalam

peristilahan perbankan di Amerika Serikat yaitu istilah yang sering digunakan

dalam pustaka Inggris exemption clauses, dengan mendasarkannya pada

keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0389/U/1988 tanggal

11 Agustus 1988 tentang Pedoman Umum Pembentukan Istilah yang

mengarahkan demi keseragaman , sumber rujukan yang diutamakan adalah

istilah Inggris yang pemakaiannya sudah internasional, yakni yang

dilazimkan para ahli dalam bidangnya.18

Penulis menggunakan istilah klausula eksonerasi dalam penulisan

tesis ini sebagaimana digunakan dalam berbagai literatur Mariam Darus

Badrulzaman. Klausula eksonerasi merupakan peristilahan yang ditemukan

dalam berbagai pustaka Belanda exoneratie clausule. Pengambilalihan istilah

yang dipakai dalam pustaka Belanda ini menurut penulis lebih tepat

digunakan dalam pengkajian klausula baku perbankan yang pada intinya

merupakan klausula hukum perjanjian, karena sejarah hukum perjanjian

Indonesia berasal dari Belanda sebagai akibat penerapan asas konkordasi. Hal

ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan dalam memahami perkembangan

hukum perjanjian dan pemaknaan istilah yang digunakan.

Rijken mengungkapkan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula

yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak

18

(20)

menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti

rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan

melawan hukum.19

Klausula eksonerasi merupakan klausula yang bertujuan untuk

membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap

gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan

semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian

tersebut.20 Dengan kata lain, merupakan klausula yang berisi pembatasan pertanggungjawaban dari kreditur.21

Untuk itu Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan ciri-ciri

klausula eksenorasi/perjanjian baku yang meniadakan atau membatasi

kewajiban salah satu pihak (kreditur) sebagai berikut :22

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat dari debitur;

2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu;

3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu; 4. Bentuknya tertulis;

5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.

H.P. Panggabean dalam penelitian terhadap model-model perjanjian

kredit yang dikeluarkan oleh BRI, BNI, BEII, BAPIN, SBU, BCA, BDNI,

BPDSU, dan BII menemukan klausula-klausula eksonerasi sebagai berikut :23 1. Bank sewaktu-waktu berhak untuk mengakhiri perjanjian secara

sepihak dan kemudian menagih utang secara sekaligus dan seketika menurut waktu yang ditentukan bank;

2. Bank berhak menentukan sendiri jumlah utang debitur berdasarkan jumlah utang pokok, bunga kredit, provisi, dan lain-lain sebagainya; 3. Bank diberi kuasa mutlak yang tidak dapat dicabut kembali menjual

barang jaminan;

4. Bank tidak wajib memberikan kredit kepada debitur walaupun maksimum kredit (plafon kredit) belum tercapai;

19

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, halaman 47.

20

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 84.

21

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia. Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum dan Pendidikan Hukum (Kumpulan Pidato-Pidato Pengukuhan), Alumni, Bandung, 1981, halaman 109.

22

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.Cit, halaman50.

23

(21)

5. Bank berhak dengan nama dan/atau cara apapun juga melakukan tindakan hukum yang dianggap baik oleh bank atau menurut peraturan yang berlaku, apabila debitur lalai, atau tidak dapat melunasi kreditnya. 6. Bank berhak menangguhkan pelaksanaan perjanjian semata-mata atas

pertimbangannya sendiri;

7. Bank tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan kerusakan, kelambatan atau karena hilangnya surat telegram termasuk juga kerugian yang disebabkan tindakan pihak yang menjadi perantara; 8. Semua surat-surat berharga, barang-barang bergerak dan tetap yang

diterima bank atau yang berada di tangan pihak ketiga berdasarkan apapun juga menjadi jaminan bagi bank untuk pengembalian utang si debitur dan semua surat-surat berharga dan barang-barang tersebut apabila hilang atau rusak menjadi risiko dan tanggung jawab debitur; 9. Bank tidak bertanggung jawab atas kekurangan pihak ketiga yang

ditunjukkannya untuk melaksanakan perintah-perintah debitur;

10. Semua pengiriman kepada atau oleh bank dari pihak-pihak ketiga dilakukan untuk perkiraan dan risiko nasabah;

11. Bank berhak untuk mengadakan perubahan-perubahan pada syarat-syarat perjanjian kredit;

12. Bank berhak untuk menggadaikan kembali kepada orang lain segala benda yang digadaikan debitur kepadanya;

13. Bahwa dengan lewatnya waktu yang diperjanjikan untuk melunasi kredit, sudah merupakan bukti terjadinya keadaan wanprestasi (tidak perlu pemberitahuan).

Dalam penelitian terpisah, Sutan Remy Sjahdeini mengungkapkan

bahwa dari penelitiannya terdapat 14 (empat belas) klausula eksonerasi dalam

perjanjian kredit, yaitu :24

1. Kewenangan bank untuk sewaktu-waktu tanpa alasan dan tanpa pemberitahuan sebelumnya secara sepihak menghentikan izin tarik kredit.

2. Bank berwenang secara sepihak menentukan harga jual dari barang agunan dalam hal penjualan barang agunan karena kreditt nasabah debitur macet.

3. Kewajiban nasabah debitur untuk tunduk kepada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan ditetapkan kemudian oleh bank.

4. Keharusan nasabah debitur untuk tunduk kepada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum hubunngan rekening koran dari bank yang bersangkutan namun tanpa sebelumnya nasabah debitur diberi kesempatan untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum hubungan rekening koran tersebut.

24

(22)

5. Kuasa nasabah debitur yang tidak dapat dicabut kembali kepada bank untuk dapat melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh bank.

6. Kuasa nasabah debitur kepada bank untuk mewakili dan melaksanakan hak-hak nasabah debitur dalam setiap rapat umum pemegang saham. 7. Pencantuman klausula-klausula eksemsi yang membebaskan bank dari

tuntutan ganti kerugian oleh nasabah debitur atas terjadinya kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat tindakan bank.

8. Pencantuman klausula eksemsi mengenai tidak adanya hak nasabah debitur untuk dapat menyatakan keberatan atas pembebanan rekeningnya.

9. Pembuktian kelalaian nasabah debitur secara sepihak oleh pihak bank semata.

10. Penetapan dan perhitungan bunga bank secara merugikan nasabah debitur.

11. Denda keterlambatan merupakan bunga terselubung.

12. Perhitungan bunga berganda menurut praktik perbankan bertentangan dengan Pasal 1251 KUHPerdata.

13. Pengabaian Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata berkenaan dengan klausula events of default.

14. Kewajiban pelunasan bunga terlebih dahulu adalah sesuai dengan undang-undang (Pasal 1397 KUH Perdata) tetapi sangat memberatkan nasabah.

Klausula-klausula eksonerasi tersebut memang memberatkan calon

nasabah debitur dan menempatkan pihak bank pada posisi yang lebih kuat.

Atas keadaan tersebut, Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman mengemukakan

sebagai berikut :

Perjanjian-perjanjian kredit bank yang telah dibakukan tersebut banyak mengandung sejumlah klausula yang memberatkan nasabah debitur, yakni memuat sejumlah klausula yang tidak wajar dan tidak adil dengan menyalahgunakan keadaan nasabah debiturnya. Penyalahgunaan keadaan nasabah debitur ini ternyata dikarenakan secara ekonomis dan psikologis, kedudukan bank sangat kuat dan tidak seimbang dengan nasabah debiturnya pada saat penandatanganan perjanjian kredit.25

Keadaan lemahnya kedudukan pihak calon nasabah debitur akan

berubah apabila perjanjian kredit telah ditetapkan dimana kedudukan pihak

bank akan menjadi lebih lemah dan kedudukan pihak nasabah debitur berada

pada posisi yang lebih kuat. Dalam hal ini Sutan Remy Sjahdeini

mengemukakan bahwa :

25

(23)

Pada waktu kredit akan diberikan, pada umumnya memang bank dalam posisi yang lebih kuat disbanding dengan calon nasabah debitur. Hal tersebut karena pada saat pembuatan perjanjian itu calon nasabah

debitur sangat membutuhkan bantuan kredit itu dari bank. … Hal itu

menyebabkan posisi tawar menawar bank menjadi sangat kuat. … Tetapi setelah kredit diberikan berdasarkan perjanjian kredit ternyata kedudukan bank lemah. Kedudukan bank setelah kredit diberikan banyak bergantung pada integritas nasabah debitur.26

Dalam praktek peradilan, klausula-klausula eksonerasi tersebut sering

dijadikan dasar gugatan perbuatan melawan hukum yaitu untuk menyatakan

perjanjian kredit tersebut batal karena tidak adanya keseimbangan hak dan

kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit.

Fakta munculnya gugatan-gugatan mengenai perjanjian kredit antara

nasabah debitur melawan pihak bank menunjukkan bahwa masyarakat

semakin sadar akan kedudukannya yang lemah dalam suatu perjanjian kredit

di bank. Selain itu, lahirnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen (UU RI No.8 Tahun 1999, LN RI Tahun 1999 No.

42 TLN RI No. 3821) khususnya Bab V Pasal 18 tentang Ketentuan

Pencantuman Kalusula Baku telah berperan memberikan keberanian bagi

nasabah debitur memperjuangkan hak-haknya dalam perjanjian kredit.27 Kehadiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen untuk melindungi kepentingan konsumen di Indonesia yang belum

ada28 agar terdapat suatu perjanjian yang seimbang antara konsumen dan

produsen berdasarkan asas kesetaraan berkontrak.29

26

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 207-208.

27

Lihat konsiderans menimbang angka 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan : bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian,

kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta

menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab (Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU RI No.8 Tahun 1999, LN RI Tahun 1999 No. 42 TLN RI No. 3821).

28

Lihat konsiderans menimbang angka 5 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,Ibid).

29

(24)

Menurut Sriwati dalam Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman (2010),

adanya pengaturan terhadap perlindungan konsumen terutama pada peraturan

yang berkaitan dengan klausula baku, sedikit banyak menyadarkan

masyarakat bahwa mereka sebagai pihak dalam perjanjian memiliki hak yang

(semestinya) sejajar dengan pihak lainnya dalam perjanjian itu. Dimana

pengaturan ini merupakan tonggak awal bagi adanya keseimbangan dalam

penempatan pihak pada suatu perjanjian.30

Kehadiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen tidak untuk mematikan kreatifitas pelaku usaha

dalam melindungi diri dan asetnya dalam dunia wirausaha melainkan untuk

menyeimbangkan kembali kedudukan pelaku usaha dan konsumen. Dalam

hal ini, Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam Djoni S. Gazali dan

Rachmadi Usman (2010) mengemukakan bahwa pada prinsipnya

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tidak melarang pelaku usaha untuk membuat

perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen dan/atau

perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/atau jasa, selama dan

sepanjang perjanjian baku dan/atau klausula baku tersebut tidak

mencantumkan ketentuan yang dilarang serta tidak berbentuk sebagaimana

dilarang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999.31

Fenomena dalam perjanjian kredit di bank tersebut perlu disikapi

Mahkamah Agung RI melalui pemberian pendapatnya melalui

putusan-putusan khususnya mengenai penerapan/penggunaan asas keseimbangan

dalam perjanjian kredit di bank. Hal ini penting sebagai hukum yang pasti

bagi bank masing-masing dalam membuat dan menetapkan perjanjian kredit.

Dalam penulisan tesis ini, penulis memilih memfokuskannya pada

klausula “penetapan dan perhitungan bunga bank dilakukan oleh bank” karena sepanjang pengamatan penulis klausula tersebut sering digunakan

pihak bank terutama dalam keadaan tidak menentunya suku bunga yang

dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk menguntungkan dirinya tanpa

mempertimbangkan keadaan dari nasabah debitur. Lebih jauh, atas gugatan

30

Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 358 – 359. 31

(25)

yang mendasarkan pada klausula tersebut sebagai obyek gugatan baik di

dalam perjanjian kredit bank maupun perjanjian pinjam meminjam uang telah

mengharuskan hakim bersikap memasuki ranah perjanjian dan memberikan

putusan.

Dari berbagai literatur setidak-tidaknya penulis mencatat 3 (tiga)

perkara yang berkaitan dengan klausula bunga kredit dalam perjanjian, yaitu :

1. Perkara No. 3956 K/Pdt/2000 jo. No. 628/Pdt/1999/PT.Sby jo. No.

37/Pdt.G/1998/PN.GS antara SG dan AK Melawan PT. Bank X dan

Kepala Kantor Badan Y.

2. Perkara No. 1530 K/Pdt/2011 jo. No. 448/Pdt/2010/PT.Smg jo.

No.11/Pdt.G/2010/PN.Jpr antara SW melawan PT. Bank Y dan

Pemerintah RI Cq. Menteri Z Cq. Dirjen Z1 Cq. Kanwil Z2.

3. Perkara No. 3431 K/Pdt/1985 jo. No. 523/1983/Pdt/PT. Smg jo. No.

12/G/1983/Pdt. Bla. Antara SS melawan Ny. B dan RB.

Dalam penulisan tesis ini, penulis memfokuskan kajian pada Putusan

Mahkamah Agung RI No. 3956 K/Pdt/2000 jo Putusan Pengadilan Tinggi

Sby No. 628/Pdt/1999/PT.SBY jo Putusan Pengadilan Negeri GS No.

37/Pdt.G/1998/PN. GS dan sebagai perbandingannya, penulis juga akan

mengkaji Putusan Mahkamah Agung RI No. 1530 K/Pdt/2011 jo. No.

448/Pdt/2010/PT. Smg jo. No.11/Pdt.G/2010/PN.Jpr serta Putusan

Mahkamah Agung RI No. 3431 K/Pdt/1985 jo. No. 523/1983/Pdt/PT. Smg jo.

No. 12/G/1983/Pdt. Bla.

Putusan Mahkamah Agung RI No. 3956 K/Pdt/2000 jo Putusan

Pengadilan Tinggi SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY jo Putusan Pengadilan

Negeri GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS adalah putusan yang diberikan

lembaga yudikatif dalam perkara antara SG dahulu bernama GSA (Penggugat

I) dan AK alias LAK (Penggugat II) melawan PT. Bank X (Tergugat) dan

Kepala Kantor Badan Y (Turut Tergugat).

Dalam perkara tersebut, para penggugat mendalilkan bahwa para

penggugat pernah menerima fasilitas kredit dari tergugat sejumlah

Rp.1.850.000.000,-, belum termasuk bunga, provisi kredit, serta biaya-biaya

(26)

oleh tergugat adalah sebesar 21 % per tahun dihitung dari jumlah pemakaian

dana kredit. Para penggugat selalu tertib membayar kredit tersebut. Namun

dalam perjalanannya, per juli 1998 tergugat secara sepihak menaikkan bunga

kredit menjadi 61% per tahun yang tidak sesuai dengan isi perjanjian. Akta

perjanjian yang tidak seimbang dan kabur dimanfaatkan tergugat untuk

menafsirkan secara sepihak isi perjanjian tersebut.

Sebaliknya tergugat membantah dalil gugatan para penggugat.

Menurut tergugat kenaikan bunga kredit yang dilakukan tergugat sudah sesuai

dengan isi Akta Pengakuan Hutang No. 76 Tanggal 27 Januari 1995 yang

telah disepakati bersama antara para penggugat dengan tergugat. Dalam akta

tersebut diperjanjikan bahwa bunga bersifat fariable, yaitu :”suku bunga tersebut setiap waktu dapat berubah menurut penetapan pihak pertama

(tergugat), dan akan diberitahukan kepada pihak kedua (para penggugat)”, sehingga tidak benar tergugat menafsirkan secara sepihak isi perjanjian untuk

menguntungkan tergugat. Tentang isi perjanjian mengenai suku bunga

tersebut telah dibenarkan penggugat dalam surat gugatannya.

Dalam putusan Pengadilan Negeri, majelis hakim memutuskan

mengembalikan suku bunga pada posisi 21% dengan pertimbangan :

perlindungan hukum harus diberikan dalam proporsinya dalam

keseimbangan. Pencantuman klausula jumlah bunga setiap saat bisa berubah

sesuai ketentuan bank tidaklah berarti dalam keadaan situasi krisis yang

berkepanjangan bank lalu menaikkan bunga sesuka hatinya tanpa

mengindahkan norma-norma kepatutan, keadilan serta kelayakan dalam

masyarakat dimana debitur saat-saat krisis ekonomi ini juga pasti mengalami

kemunduran dalam usahanya.

Dalam tingkat banding, kuasa kukum para penggugat dan kuasa

hukum tergugat telah mencabut pernyataan banding. Meskipun kemudian

perkara tersebut diajukan kasasi dengan alasan bahwa pencabutan banding

tersebut dilakukan kuasa penggugat asli tanpa sepengetahuan dan seijin dari

penggugat asli dan tidak disertai dengan surat kuasa khusus untuk mencabut

(27)

permohonan kasasi tersebut dengan pertimbangan bahwa Pengadilan Tinggi

tidak salah menerapkan hukum dalam perkara tersebut.

Putusan Pengadilan Negeri GS yang mendudukkan kembali suku

bunga pada 21% sesuai suku bunga awal didasarkan pada pertimbangan

kepatutan dan kelayakan. Disisi lainnya, isi perjanjian tersebut secara jelas

memungkinkan adanya perubahan suku bunga karena menganut floating rate

of interest, dan hal itu disepakati oleh para penggugat maupun tergugat. Hal

ini sangat menarik, karena untuk memberikan kepastian hukum, keadilan

hukum dan kemanfaatan hukum, hakim telah masuk dalam ranah perjanjian

dan dapat mengenyampingkan isi perjanjian dengan menggali, mengikuti dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat

sesuai amanat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman.32

1.2.POKOK PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok

permasalahan adalah :

1. Apakah pencantuman klausula “penetapan dan perhitungan bunga bank

dilakukan oleh bank” dalam perjanjian kredit melanggar asas

keseimbangan ?

2. Apakah Hakim dapat mengintervensi suatu perjanjian kredit yang

disepakati para pihak ?

1.3.TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan tesis ini adalah :

1. Ingin menganalisis pengaruh pencantuman klausula “penetapan dan perhitungan bunga bank dilakukan oleh bank” terhadap keseimbangan

32

(28)

perjanjian kredit perbankan serta memberikan rekomendasi berkaitan

dengan hasil analisis.

2. Ingin menganalisis kewenangan Hakim dalam mengintervensi suatu

perjanjian kredit yang disepakati para pihak serta memberikan

rekomendasi berkaitan dengan hasil analisis.

1.4.MANFAAT PENELITIAN

Dalam penulisan tesis ini, sedikitnya ada dua manfaat yang kiranya

dapat diperoleh, yaitu :

1.4.1. Manfaat Teoritis.

Dari sisi teoritis, penulisan ini diharapkan dapat membuktikan

bahwa pencantuman klausula “penetapan dan perhitungan bunga bank dilakukan oleh bank” memberikan pengaruh terhadap keseimbangan

kepentingan para pihak yang terakomodir dalam suatu perjanjian

kredit perbankan. Dipilihnya asas keseimbangan sebagai medan uji

karena pada prinsipnya pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian

kredit memiliki kepentingan masing-masing dan untuk memenuhi

kepentingan tersebut, dilakukan dengan bekerjasama di antara para

pihak dengan tujuan saling menguntungkan.

Penulisan tesis ini juga diharapkan dapat memberikan

sumbangsih bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya

menjadikan asas keseimbangan dalam perjanjian sebagai salah satu

asas perjanjian yang diakomodir dalam hukum positif. Dengan

diakomodirnya asas keseimbangan secara tegas dalam hukum positif,

diharapkan dapat digunakan sebagai asas pokok dalam perjanjian

kredit perbankan yang bermanfaat dalam memberikan perlindungan

hukum yang berkeadilan bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam

suatu perjanjian kredit perbankan.

Selain itu, dalam praktik peradilan, juga didapati adanya

intervensi hakim dalam merubah suku bunga yang diperjanjikan.

(29)

tidaknya kewenangan hakim dalam mengintervensi perjanjian kredit

perbankan. Hal ini demi membuat terang batasan kewenangan hakim

yang dapat bermanfaat bagi pencari keadilan dan praktisi hukum serta

kaum akademisi.

1.4.2. Manfaat Praktis.

Dari sisi praktis, penulisan tesis ini diharapkan dapat

menjadikan asas keseimbangan sebagai asas yang dapat diterapkan

pelaku usaha untuk memberikan kedudukan yang seimbang bagi para

pihak ketika mengadakan suatu perjanjian kredit, dengan memberi

ruang negosiasi kepentingan masing-masing seluas-luasnya dan

mengakomodir kepentingan yang seimbang dalam perjanjian kredit

perbankan.

Selain itu, hasil penulisan tesis ini juga diharapkan dapat

dijadikan bahan referensi oleh hakim dalam mengadili perkara yang

berkaitan dengan perjanjian kredit. Bagi pencari keadilan, penulisan

tesis ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk memperjuangkan

pemenuhan hak-haknya secara seimbang dalam perjanjian kredit.

1.5.METODE PENELITIAN

Soetandio Wignjosoebroto mengemukakan bahwa apabila orang

hendak mempelajari secara tuntas metode penelitian hukum, maka orang

tersebut harus memahami terlebih dahulu “penelitian”, “metode”, dan

“hukum”.33

Lebih lanjut disarikan bahwa penelitian sebagai suatu usaha

pencarian jawaban yang benar sedangkan metode adalah prosedur terkontrol

untuk menemukan pengetahuan.34 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode penelitian adalah prosedur terkontrol untuk menemukan

pengetahuan sebagai jawaban yang benar atas suatu pertanyaan ilmiah.

33

Sulistyowati Irianto dan Shidarta (editor), Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011, halaman 95.

34

(30)

Sebagai prosedur terkontrol maka metode penelitian memuat

langkah-langkah teratur dan terarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah

termasuk pada akhirnya jawaban yang ditemukan tidak saja benar tetapi dapat

dipertanggungjawabkan. Karena itu menurut Prof. Sunaryati Hartono,

metode penelitian sebagai cara atau jalan atau proses pemeriksaan atau

penyelidikan, menggunakan cara penalaran dan berpikir yang logis-analitis

(logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori suatu ilmu (atau

beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau mengadakan

verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa

alamiah, peristiwa sosial atau peristiwa hukum tertentu.35 Dengan demikian, metode penelitian adalah roh dari suatu penelitian. Penggunaan metode yang

salah berimbas pada tidak sakihnya hasil penelitian.

Metode yang digunakan penulis dalam penulisan tesis ini adalah

metode penelitian normatif, yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau

data sekunder yang berkaitan dengan Perjanjian maupun Asas Keseimbangan

sebagai proses untuk menentukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum

maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi

berupa argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapi.36

1.5.1. Tipologi Penelitian.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang sifatnya analisis

kualitatif dengan tujuan menggambarkan dan menganalisa secara

tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.

Kaitannya dengan penulisan tesis ini, penulis menggambarkan suatu

peraturan hukum yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang

relevan dan putusan-putusan pengadilan kemudian menganalisanya

secara cermat tentang pengaruh pencantuman klausula “penetapan dan

35

Teguh Wicaksono Saputra, Tesis, Penerapan Asas Keseimbangan dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Putusan Pengadilan, Program PAsca Sarjana Magister Hukum Universitas Indonesia, Juli 2011, halaman 20.

36

(31)

perhitungan bunga bank dilakukan oleh bank” terhadap asas keseimbangan dalam perjanjian kredit di bank X.

Untuk itu, penulis menggunakan pendekatan kasus (case

approach) dengan tujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma

atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum, terutama

mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana dalam

perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian, dengan mempergunakan data

yang bersumber pada hukum positif, maupun bahan-bahan

kepustakaan seperti tesis, makalah-makalah, jurnal, majalah-majalah,

surat kabar dan literatur lainnya, yang berkaitan dengan perjanjian

kredit dan asas keseimbangan.

1.5.2. Sumber Data.

Data-data dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yaitu

data yang diperoleh dari kepustakaan berupa :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang terdapat dalam

peraturan-peraturan perundang-undangan maupun di dalam putusan

pengadilan.37

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan untuk membantu

menganalisis dan memahami sumber hukum primer berupa

buku-buku, makalah-makalah, tesis, jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus

hukum, komentar-komentar atas putusan pengadilan dan

sumber-sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini. Putusan

pengadilan sebagai bahan hukum sekunder yang diteliti adalah

putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak

terpaku pada landmark decision tetapi juga putusan pengadilan

yang memiliki relevansi dengan penelitian ini.38

Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada

penulis semacam petunjuk kearah mana penulis melangkah, dapat

pula sebagai pemberi inspirasi melakukan penelitian lanjutan, juga

37

Ibid, halaman 144-155.

38

(32)

dapat sebagai panduan berfikir dalam menyusun argumentasi yang

akan diajukan dalam persidangan atau memberikan pendapat

hukum.39

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberi penjelasan

terhadap sumber hukum primer dan sekunder, yang berupa artikel,

jurnal ilmiah, internet dan sumber-sumber lain yang berhubungan

dengan penulisan tesis ini.

1.5.3. Teknik Pengumpulan Data

Data-data untuk penulisan tesis ini dikumpulkan dengan teknik

pengumpulan data berupa studi dokumen, yaitu melakukan penelitian

terhadap dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan

yang akan diteliti guna memperoleh landasan teoritis dan informasi

dalam bentuk ketentuan formal.

1.5.4. Metode Analisa Data.

Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan metode

normatif kualitatif. Secara normatif karena penelitian dalam penulisan

tesis ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai

hukum positif. Secara kualitatif karena merupakan analisis data yang

berasal dari hasil penelusuran bahan pustaka termasuk

putusan-putusan pengadilan.

1.6.KERANGKA TEORI DAN KONSEP

1.6.1. Kerangka Teori.

Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa yang dimaksudkan

dengan teori adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling

berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan

penjelasan atas suatu gejala.40 Teori juga digunakan untuk menggali

39

Ibid, halaman 155.

40

(33)

lebih mendalam aturan hukum dengan memasuki teori hukum demi

mengembangkan suatu kajian hukum tertentu41, yang diperinci lagi oleh Soerjono Soekanto dalam kegunaan teori sebagai berikut :42 1. Untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak

diselidiki atau diuji kebenarannya.

2. Sebagai suatu ikthisar daripada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

3. Sebagai kemungkinan prediksi pada fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

Penulisan tesis ini, akan terfokus pada urgenitas asas

keseimbangan dalam pembuatan/penyusunan perjanjian kredit di bank

dan pengakomodiran kepentingan para pihak secara seimbang dalam

perjanjian kredit bank. Perjanjian kredit yang mengakomodir

kepentingan pihak-pihak secara seimbang diharapkan akan

memberikan manfaat dan keadilan bagi para pihak yang bermuara

pada tercapainya tujuan hukum, yakni berubahnya kehidupan

masyarakat dari keadaan sebelumnya yang terkesan “pasrah” atas klausula perjanjian kredit yang memberatkannya menjadi masyarakat

yang memperjuangkan kepentingan perdatanya dalam suatu perjanjian

kredit. Karena itu, teori Roscoe Pound bahwa hukum itu

keseimbangan kepentingan dimana apabila keseimbangan kepentingan

telah tercapai akan merubah kehidupan masyarakat dan terciptanya

kemajuan hukum, dianggap penulis tepat digunakan sebagai landasan

teori dalam penulisan tesis ini.

Roscoe Pound (1870-1964) dari aliran Neo-Positivisme

adalah tokoh teori hukum abad ke-20, mengemukakan teori tentang

hukum itu keseimbangan kepentingan.43 Bagi Pound, hukum tidak boleh dibiarkan mengawang dalam konsep-konsep logis-analitis

41

Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, halaman 73.

42

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke-3, UI Press, Jakarta, 2006, halaman 121.

43

(34)

ataupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan teknis yuridis yang

terlampau eksklusif. Sebaliknya, hukum itu mesti didaratkan di dunia

nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan

kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.44 Karena itu perlu langkah progresif yaitu memfungsikan hukum untuk menata

ketimpangan-ketimpangan struktural dalam pola keseimbangan yang

proporsional sebagai langkah perubahan menciptakan dunia yang

beradab dalam masyarakat.45 Dari sinilah muncul teori Pound tentang

law is a tool of social engineering46.

Fokus utama Pound dalam konsep social engineering adalah

keseimbangan kepentingan. Menurut Pound, antara hukum dan

masyarakat terdapat hubungan yang fungsional. Hukum tidaklah

menciptakan kepuasan tetapi hanya memberi legitimasi atas

kepentingan manusia untuk mencapai kepuasan tersebut dalam

keseimbangan.47 Tujuannya ialah untuk sebaik-baiknya mengimbangi kebutuhan-kebutuhan sosial dan individual yang satu dengan yang

lain. Cita-cita keadilan yang hidup dalam hati rakyat dan yang ditujui

oleh pemerintah merupakan simbol dari harmonisasi yang tidak

memihak antara kepentingan-kepentingan individual yang satu

terhadap yang lain. Ideal keadilan ini didukung oleh paksaan. Paksaan

digunakan oleh negara demi kontrol sosial, yaitu untuk menjamin

keamanan sosial, dan dengan demikian memajukan kepentingan

(35)

Lebih lanjut Pound mengemukakan bahwa dalam

perkembangannya telah terjadi perubahan sistem hukum yaitu

meliputi :49 (1) pembatasan penggunaan kekayaan; (2) pembatasan kebebasan perjanjian; (3) pembatasan kekuasaan memiliki kekayaan;

(4) pembatasan kekuasaan pemiutang (creditor) atau pihak yang

dirugikan untuk menjamin kepuasannya; (5) perubahan gagasan

tentang pertanggungjawaban dalam arti adanya dasar yang lebih

objektif; (6) keputusan pengadilan mengenai kepentingan masyarakat,

dengan pembatasan peraturan umum untuk lebih mengutamakan

pedoman yang luwes dan kebijaksanaan; (7) pengadaan dana umum

untuk mengganti kerugian individu yang dirugikan oleh alat

kekuasaan negara; (8) perlindungan anggota rumah tangga yang

hidupnya masih bergantung.

Dalam tulisan-tulisannya, Roscoe Pound berusaha menjelaskan

social engineering dengan formulasi social interest yaitu perimbangan

kepentingan-kepentingan masyarakat akan menghasilkan perubahan

kehidupan masyarakat dan kemajuan hukum.

Pound dalam Lili Rasjidi (1985)50 mengklasifisir interest-interest yang dilindungi oleh hukum dalam 3 kategori pokok :

1. Public interest (kepentingan umum);51

Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Alumni, Bandung, 1985, halaman 130.

51

Public interest yang terutama adalah : pertama : kepentingan dari negara sebagai badan hukum dalam mempertahankan kepribadian dan substansinya, dan kedua, kepentingan-kepentingan dari negara sebagai penjaga kepentingan-kepentingan masyarakat.

52

(36)

3. Private interest (kepentingan pribadi);

Kepentingan-kepentingan yang diklasifikasikan Pound tersebut

sifatnya tidak absolut karena sangat bergantung pada sistem politik

dan sosial masyarakat. Titik kekuatan Pound terletak pada kerangka

pengelompokan yang dibangunnya serta peran sentral dari

pengelompokan itu, pertama, hukum perlu didayagunakan sebagai

sarana menuju tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan

sosial, kedua, pengelompokan semacam itu sangat membantu untuk

memperjelas kategori kepentingan yang ada dalam masyarakat secara

keseluruhan, berikut bagaimana menyeimbangkannya secara tepat

sesuai dengan aspirasi dan tuntutan yang berkembang kini dan di

sini.53

Tentang private interest, Pound membedakannya atas tiga

macam yaitu :54

1. Interest of personality, meliputi perlindungan terhadap integritas

(keutuhan) fisik, kemerdekaan kehendak, reputasi (nama baik)

terjaminnya rahasia-rahasia pribadi, kemerdekaan keyakinan

agama dan kemerdekaan pendapat. Oleh Pound hal-hal tersebut

mencakup cabang-cabang hukum seperti hukum pidana mengenai

serangan dan penganiayaan, hukum tentang fitnah, prinsip-prinsip

kontrak atau pembalasan kekuasaan polisi bercampur tangan

perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan antara suami dan isteri terhadap hak bersama untuk menuntut ganti rugi karena perbuatan yang tidak patut, d) keseimbangan antara perlindungan lembaga-lembaga keagamaan dan tuntutan akan kemerdekaan beragama, e) menyangkut kepentingan keamananan lembaga-lembaga politik, maka perlu ada keseimbangan antara jaminan kebebasan berbicara dan kepentingan keselamatan negara, ketiga, kepentingan-kepentingan sosial menyangkut moral umum meliputi perlindungan masyarakat terhadap merosotnya moral seperti korupsi, judi, fitnah, transaksi-transaksi yang bertentangan dengan kesusilaan, serta ketentuan-ketentuan yang ketat mengenai tingkah laku wali, keempat, kepentingan sosial menyangkut pengamanan sumber daya sosial termasuk penyalahgunaan hak atas barang yang dapat merugikan orang, kelima, kepentingan sosial menyangkut kemajuan sosial berkaitan dengan keterjaminan hak manusia memanfaatkan alam untuk kebutuhannya, tuntutan agar rekayasa sosial bertambah banyak dan lain sebagainya, keenam, kepentingan sosial menyangkut kehidupan individual (pernyataan diri, kesempatan, kondisi kehidupan).

53

Ibid, halaman 157-158.

54

(37)

dalam rapat-rapat, proses-proses, jaminan hak milik, dan

sebagainya;

2. Interest in domestic meliputi kepentingan dalam hubungan rumah

tangga terutama mengenai perlindungan hukum bagi perkawinan,

tuntutan bagi pemeliharaan keluarga dan hubungan hukum antara

orang tua dan anak-anak yang meliputi pula masalah-masalah

nafkah dari anak-anak dan kekuasaan pengawasan

pengadilan-pengadilan anak-anak terhadap hubungan hukum antara orang tua

dan anak-anak;

3. Interest of substance meliputi perlindungan terhadap harta,

kemerdekaan penggantian mewaris dalam penyusunan testament,

kemerdekaan industri dan kontrak dan pengharapan legal akan

keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh. Juga dimasukkan

hak untuk berserikat yang masih dipolemikkan tergolong interest

of personality dari pada interest of substance.

Dalam konteks perjanjian kredit perbankan maka konsep

pendekatan interest Pound yang bertalian dengan obyek kajian adalah

private interest sebagai lingkup keperdataan yakni hubungan hukum

antara orang sebagai nasabah atau debitur dengan badan hukum bank

sebagai kreditur, khususnya interest of personality mengenai

prinsip-prinsip kontrak dan interest of substance mengenai kemerdekaan

berkontrak.

Pound mengemukakan bahwa pada awalnya kontrak berupa

pertukaran janji secara lisan diantara dua belah pihak. Dalam

pertukaran janji lisan tersebut, moral55 selalu dikedepankan dalam bentuk selalu berfikir positif bahwa para pihak yang saling bertukar

55 Kaum Puritein mengemukakan doktrin bahwa manusia ialah “a free moral

(38)

janji tersebut memiliki itikad yang baik dalam bertukar janji.

Pertukaran janji lisan tersebut didasarkan pada “saling percaya”.56

Dalam pemikiran-pemikiran sarjana-sarjana Romawi, dikenal

dua macam janji, yaitu :57 1. Janji-janji formal,

a. Dengan ketentuan, mempergunakan perkataan penyucian

spandeo dan demikian menganggap bahwa dengan upacara

pencurahan air suci dewa-dewa akan memperhatikan janji itu.

b. Dengan upacara umum yang rupanya melambangkan satu

transaksi sejati di depan seluruh rakyat.

c. Dimasukkan ke dalam buku belanja rumah tangga.

2. Janji-janji formal saja yang tidak diakui oleh hukum dan

bergantung seluruhnya kepada itikad baik dari orang yang berbuat

janji.

Menurut teori equivalent sebagai rasionalisasi dari causa

debendi58 hukum Jerman Kuno, model janji lisan diistilahkan sebagai janji abstrak59 yang tidak dikenakan equivalent, tidak mengikat secara otomatis dan karena itu tidak mengikat secara hukum, kecuali hal

yang terlebih dulu telah diakui hukum.

Pound mengemukakan tiga alasan tidak mengikatnya secara

hukum model janji abstrak, sebagai berikut :

1. Alasan pertama, mempercayai janji abstrak adalah suatu

kecerobohan dan tidak dapat dimintakan jaminan kecuali apa

yang dijamin oleh hukum. Artinya bahwa jika sesuatu yang

diperjanjikan tersebut sebelumnya tidak diatur oleh hukum

56

Bandingkan pula dengan pendapat Charles Fried dalam tulisannya Contract as Promise, dalam Craswell, Richard dan Alan Schwartz (editor) dalam Foundations of Contract Law, Oxford University Press, New York, 1994.

57

Roscoe Pound dalam Mohamad Radjab (Penterjemah), Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1982, halaman 150.

58

Causa debendi merupakan alasan untuk mengutang pelaksanaan yang dijanjikan. Bila sesuatu ditukar untuk satu janji, maka sesuatu itu adalah satu causa debendi. Jadi, causa debendi adalah reason dari penundaan pelaksanaan kewajiban dalam perjanjian.

59

Referensi

Dokumen terkait