ASAS KESEIMBANGAN
DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
(STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI
No. 3956 K/Pdt/2000 JO PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY JO PUTUSAN PENGADILAN
NEGERI GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS)
TESIS
AMIN IMANUEL BURENI
1106030220
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM KEKHUSUSAN PRAKTEK PERADILAN
ASAS KESEIMBANGAN
DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
(STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI
No. 3956 K/Pdt/2000 JO PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY JO PUTUSAN PENGADILAN
NEGERI GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum
AMIN IMANUEL BURENI
1106030220
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM KEKHUSUSAN PRAKTEK PERADILAN
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : AMIN IMANUEL BURENI
NPM : 1106030220
Tanda Tangan :
HALAMAN PENGESAHAN Tesis ini diajukan oleh :
Nama : Amin Imanuel Bureni
NPM : 1106030220
Program Studi : Praktek Peradilan
Judul Tesis : ASAS KESEIMBANGAN DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 3956 K/Pdt/2000 JO PUTUSAN PENGADILAN TINGGI SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY JO PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Sudi Pascasarjana Program Kekhususan Praktek Peradilan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Prof. DR. Rosa Agustina, SH., MH. (……….)
Penguji : Heru Susetyo, SH. LLM. M.Si (……….)
Penguji : Dr. Yoni Agus Setyono, SH.MH (……….)
Ditetapkan di : Jakarta
KATA PENGANTAR
Puji dan puja syukur patut penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa karena atas berkat dan rahmatNya serta taufik dan hidayahNya sehingga
karya tulis berupa tesis berjudul “ASAS KESEIMBANGAN DALAM
PERJANJIAN KREDIT BANK (STUDI TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG RI No. 3956 K/Pdt/2000 JO. PUTUSAN
PENGADILAN TINGGI SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY JO. PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Kekhususan Praktek Peradilan,
dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan tesis ini tidak terlepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak, karena itu sepatutnya penulis
menyampaikan ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada :
1. Yang sangat kukasihi dan kuhormati kedua orang tua kandungku (Bapak
Thitus Bureni, SH.M.Hum dan Ibu Stince Fatima Bureni) di Kupang – Nusa Tenggara Timur yang telah membesarkanku dari kecil hingga saat ini dengan
penuh cinta dan kasih sayang tanpa pamrih, penuh harap dan bangga ketika
kuinjakkan kaki di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Masih kuingat doa
restu papa dan mama ketika hendak kulangkahkan kaki ke Jakarta, tak
mampu kubalaskan semuanya, dalam doa aku meminta Tuhan Yesus selalu
memberkati papa dan mama.
2. Demikian pula bagi mertuaku Bapak David Adoe dan Ibu Sartje Panie yang
dari keberadaannya memaklumi keadaanku dan tak putus mendoakan aku.
Tuhan Yesus memberkati.
3. Isteriku tercinta Anung M. Bureni-Adoe, S.Pi dan anakku terkasih Reall
D‟Abraham Ceavinlee Bureni, dalam kesetiaan cinta dan dukungan moril
selalu memotivasiku untuk bertahan dan menyelesaikan perjuangan ini.
Kalian selalu menghiasi hari-hariku dengan cinta kasih dan kuakui kalianlah
4. Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung RI dan jajarannya yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh tugas belajar di
Universitas Indonesia selama 17 bulan, serta Perwakilan C4J-USAID yang
telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan
Strata 2 (S2) di Universitas Indonesia. Suatu kehormatan bagiku.
5. Yang Mulia Bapak Th. Pudjiwahono, SH. MHum, selaku mantan Ketua
Pengadilan Tinggi Kupang (sekarang Wakil Ketua Pengadilan Tinggi
Jakarta), Yang Mulia Bapak Soesilo Utomo, SH selaku mantan Wakil Ketua
Pengadilan Negeri Ende (sekarang Ketua Pengadilan Negeri So‟e), Yang
Mulia Bapak Ahmad Petensili, SH. MH (selaku Ketua Pengadilan Negeri
Ende) dan Ibu Maria D. Angelina (selaku Panitera Pengadilan Negeri Ende)
yang telah memberikan motivasi kepada penulis untuk melanjutkan dan
menyelesaikan studi Magister Hukum,
6. Prof. Dr. Rosa Agustina, SH, MH, selaku Ketua Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sekaligus selaku Dosen Pembimbing
sekaligus Penguji bagi Penulis, yang dengan ketulusan dan kesabaran telah
meluangkan waktu untuk membimbing penulis, dengan keikhlasan telah
memfasilitasi penulis memperoleh literatur-literatur langka, menuntun penulis
untuk dapat menelusuri berbagai literatur berkaitan dengan tesis ini, dan terus
memotivasi penulis untuk bergerak maju. Tak cukup ucapan terima kasih ini,
dalam doa aku berharap Tuhan yang kusembah memperhitungkan segala
kebaikan Guru Besar-ku.
7. Prof. Dr. der Soz. Gumilar Rusliwa Somantri, selaku Rektor Universitas
Indonesia. Pertama kali kukagumi Universitas Indonesia karena
diperkenalkan oleh Bapak Rektor Universitas Indonesia dalam kunjungan ke
Ende untuk penandatanganan MoU antara Universitas Indonesia dengan
Pemerintah Daerah Kabupaten Ende.
8. Dewan penguji tesis dari Penulis: Dr. Yoni Agus Setyono, SH. MH, Heru
Susetyo, SH, LLM, M.Si, penulis ucapkan terima kasih atas kesempatan,
waktu dan masukan-masukan yang diberikan kepada penulis.
9. Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Seluruh Dosen Program
10. Seluruh Staf Tata Usaha Program Studi Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Indonesia, terkhusus yang kan kukenang Pak Udin.
11. Spesial kepada kedua sahabatku : bro I Dewa Gede Budhy Dharma Asmara,
SH.MH dan bro David Fredriek Albert Porajow, SH.MH. Dalam suka kita
nikmati bersama, dalam duka kita berbagi bersama. Kalian bukan sekedar
sahabat bagiku tetapi separuh dari jiwaku, walau nanti kita berpisah tapi diri
kalian dalam canda, tawa, sedih, letih dan stress akan selalu kukenang.
Terima kasih atas persahabatan dan kekompakan selama studi. Demikian juga
kepada semua rekan/rekanita kelas Praktek Peradilan / Mahkamah Agung : 1.
Afif Januarsyah, SH, MH, 2. Andre Trisandy, SH, MH, 3. Ben Ronald P.
Situmorang, SH, MH, 4. Dwi Hananta, SH, MH, 5. Hasanuddin, SH, MH, 6.
Harika Nova Yeri, SH, MH, 7. Hendro Wicaksono, SH, MH, 8. M.
Aliaskandar, SH, MH, 9. M. Fauzan Haryadi, SH, MH, 10. M. Sholeh, SH,
MH, 11. Ni Kadek Susantiani, SH, MH, 12. Nofita Dwi Wahyuni, SH, MH,
13. Ramon Wahyudi, SH, MH, 14. Rios Rahmanto, SH, MH, 15. R.A.
Asriningrum Kusumawardhani, SH, MH, 16. Wini Nofiarini, SH, MH, dan
17. Yudhistira Adhi Nugraha SH, MH. sukses dan provisiat untuk kita semua.
12. Para pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu yang telah
membantu dalam penulisan tesis ini, baik dalam bentuk nasihat, bimbingan,
doa, maupun berbagai bantuan sekecil apapun itu kepada penulis, sangat
berharga bagiku.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, ibarat
tiada gading yang tak retak, tiada bumi yang tak bercacing. Demi penyempurnaan
tesis ini, segala usul, saran, kritikan yang sifatnya konstruktif, penulis terima
dengan tangan terbuka disertai ucapan terima kasih.
Akhirnya, semoga tesis ini dapat memberikan warna baru bagi hukum
perikatan khususnya perjanjian kredit bank di Indonesia.
Jakarta, 21 Januari 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini :
Nama : Amin Imanuel Bureni
NPM : 1106030220
Program Studi : Program Pascasarjana Magister Hukum Departemen : Peminatan Praktek Peradilan
Fakultas : Hukum
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalti
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
“ASAS KESEIMBANGAN DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 3956
K/Pdt/2000 JO PUTUSAN PENGADILAN TINGGI SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY JO PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GS No.
37/Pdt.G/1998/PN. GS)”
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Januari 2013
Yang menyatakan,
ABSTRAK
Nama : Amin Imanuel Bureni
Program Studi : Praktek Peradilan / Mahkamah Agung
Judul : Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian Kredit Bank (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No. 3956 K/Pdt/2000 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No. 628/Pdt/1999/PT.SBY jo. Putusan Pengadilan Negeri Gresik No. 37/PPdt.G/1998/PN.GS.
Perjanjian kredit bank merupakan media atau perantara pihak dalam keterkaitan pihak yang mempunyai kelebihan dana surplus of funds dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana lack of funds. Perjanjian kredit bank membentuk perikatan diantara para pihak dalam hubungan yang saling membutuhkan dimana masing-masing pihak berkehendak memperoleh manfaat/ keuntungan dari perikatan tersebut. Karena itu dalam perjanjian kredit bank harus ada keseimbangan kepentingan para pihak baik pada tataran pembuatan perjanjian kredit bank maupun pada tataran pemenuhannya yang dimuat sebagai klausula perjanjian. Kenyataannya, seringkali ditemukan tidak terdapatnya keseimbangan pengaturan kepentingan para pihak diantaranya terdapat klausula “Penetapan dan
Perhitungan Bunga Bank dilakukan Oleh Bank” yang disinyalir sebagai klausula
eksonerasi karena dengan pencantuman klausula tersebut maka pihak bank dapat secara sewenang-wenang mengubah bunga kredit dan juga sebagai benteng bagi pihak bank menghindari pertanggungjawaban hukum. Dalam hal ini masyarakat pencari keadilan mengharapkan hakim dapat memberi keadilan melalui pemulihan keseimbangan kepentingan dalam perjanjian kredit bank tersebut. Pokok permasalahan penelitian ini adalah : apakah pencantuman klausula “Penetapan
dan Perhitungan Bunga Bank dilakukan Oleh Bank” dalam perjanjian kredit bank
melanggar asas keseimbangan ? dan apakah hakim dapat mengintervensi suatu perjanjian kredit yang disepakati para pihak ? Selanjutnya dengan menggunakan metode penelitian deskriptif analisis, peneliti menganalisis pengaruh pencantuman
klausula “Penetapan dan Perhitungan Bunga Bank dilakukan Oleh Bank” terhadap
keseimbangan perjanjian kredit bank dan menganalisis kewenangan hakim dalam mengintervensi suatu perjanjian kredit yang disepakati para pihak sekaligus memberikan rekomendasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencantuman
ABSTRACT
Name : Amin Imanuel Bureni
Study Program : Practice of Judicial Administration/Supreme Court
Title : The Balance Principle in the Bank Credit Agreement (The Study on the Decision of the RI Supreme Court No. 3956 K/Pdt/2000 jo. the Decision of the Surabaya High Court No. 628/Pdt/1999/PT.SBY jo. the Decision of the Gresik District Court No. 37/PPdt.G/1998/PN.GS.
The bank credit agreement is a medium or an intermediary of the parties in the involvement of the parties that have surplus of funds with the parties having lack of funds and needing funds. The bank credit agreement establishes the bond among the parties in a relationship which mutually needs each other where each party wishes to obtain advantages/benefits from the bond. Therefore, in the bank credit agreement there has to be a balance of interests of the parties both in the phase of the drawing of the bank credit agreement and in the phase of its fulfillment set forth as one of the clauses of the agreement. In reality, the
imbalance of the parties‟ interest arrangement is often discovered, which among others there is a clause of “Bank Interest Determined andCalculated by the Bank”
pointed out as an exoneration clause because by putting the clause the bank can arbitrarily change the credit interest and also as the shield for the bank to avoid legal liability. In this case, the society seeking for justice expect the judge can provide it through the restoration of interest balance in the bank credit agreement.
The main problems of the research are: does the writing of the clause “Bank Interests Determined and Calculated by the Bank” in the bank credit agreement
violate the balance principle? And can a judge intervene a credit agreement approved by all parties? Furthermore, by using the descriptive analysis research
method, the researcher analyzes the influence of the writing of the clause “Bank
Interests Determined and Calculated by the Bank” to the balance of the bank credit agreement and analyzes the authority of a judge in intervening a credit agreement approved by all parties and in providing recommendations. The research result shows that the writing of the clause “Bank Interests Determined
and Calculated by the Bank” without setting forth the clause which guarantees a
renegotiation to be done on the change of the bank credit interests violates the balance principle, and therefore a judge because of his/her position (ex officio) and because of the mandate of the laws has the authority to intervene the bank credit agreement to restore its balance. As there are some weaknesses/positive law disparities on the arrangement of the credit agreement implementation done with
good faith and also on the arrangement of the judge‟s roles in the restoration of
the bank credit agreement balance, it is recommended that the revision of Civil Code and/or the revision on the relevant laws should be done.
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ………… vii
ABSTRAK ……… viii 2.1.PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM ……….… 35
2.2.PERJANJIAN KREDIT ……….… 52
BAB 3 KEDUDUKAN ASAS KESEIMBANGAN DALAM
PERJANJIAN KREDIT BANK ………..
80
BAB 4 ASAS KESEIMBANGAN PERJANJIAN KREDIT BANK
DALAM PUTUSAN HAKIM ………
112
4.1.PENCANTUMAN KLAUSULA “PENETAPAN DAN PERHITUNGAN BUNGA BANK DILAKUKAN OLEH
/ Pdt / 2010 / PT.Smg jo. Nomor : 11 / Pdt.G / 2010 /
PN.Jpr ………
4.1.3. Putusan Nomor : 3431 K/Pdt/1985 jo. Nomor :
523/1983/Pdt/PT.Smg jo. Nomor : 12/G/1983/Pdt.Bla ….. 133
4.2.PERANAN HAKIM DALAM MEMULIHKAN KESEIMBANGAN PERJANJIAN KREDIT BANK …… 144
BAB 5 PENUTUP ……….. 170
5.1.KESIMPULAN ……… 170
5.2.SARAN - SARAN ………... 172
DAFTAR REFERENSI ………... 175
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG MASALAH
Kehadiran bank1 memiliki arti penting bagi wiraswastawan. Posisi bank selaku pemegang modal dan wiraswastawan selaku yang membutuhkan
modal sering menempatkan wiraswastawan berada dalam posisi lemah dalam
hal modal/dana. Ketika wiraswastawan memanfaatkan jasa bank melalui
produk perjanjian kredit, biasanya wiraswastawan memiliki bargaining
power yang lemah ketimbang bank (kecuali wiraswastawan bermodal besar)
1
dan karena itu kebanyakan wiraswastawan selaku calon nasabah debitur
bersikap „pasrah‟ akan ketentuan perjanjian kredit yang disodorkan bank. Perjanjian kredit merupakan media atau perantara pihak dalam
keterkaitan pihak yang mempunyai kelebihan dana surplus of funds dengan
pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana lack of funds.2 Pihak
surplus of funds mengharapkan keuntungan dari peminjaman dananya dan
pihak lack of funds mengharapkan dengan dana yang dipinjamkan dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi, baik pihak surplus of funds
maupun pihak lack of funds masing-masing memiliki kepentingan dalam
perjanjian kredit sehingga tidaklah dibenarkan dalam perjanjian kredit, pihak
lack of funds saja yang diperhatikan kepentingannya.
Ketika pihak bank dan pihak calon nasabah debitur menandatangani
perjanjian kredit maka perjanjian kredit tersebut mengikat kedua belah pihak
dan merupakan undang-undang3 bagi kedua belah pihak. Pemberlakuan
perjanjian sebagai undang-undang bagi mereka yang mengikatkan diri dalam
suatu perjanjian, telah menempatkan perjanjian itu sebagai hukum. Dalam hal
ini Roscoe Pound mengemukakan bahwa hukum adalah keseimbangan
kepentingan.4
Lahirnya perjanjian kredit mewajibkan pihak-pihak yang mengikatkan
diri dalam perjanjian kredit tersebut untuk tunduk pada syarat-syarat yang
diperjanjikan baik berupa hak maupun kewajiban kedua belah pihak
sebagaimana tertuang dalam perjanjian kredit itu. Mengikatnya syarat-syarat
dalam perjanjian kredit bagi para pihak dan kewajiban para pihak tunduk
pada perjanjian kredit itu dilindungi oleh hukum apabila perjanjian kredit
tersebut dilahirkan dalam keadaan yang sah yaitu sah proses pembuatan dan
penetapannya dan sah isi atau syarat-syarat yang termuat dalam perjanjian
kredit itu.
2
Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum Sekitar Perjanjian Kredit, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,1997, halaman 1.
3
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata mengatur : semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
4
Pasal 1320 KUH Perdata telah mengatur 4 (empat) syarat sahnya
suatu perjanjian yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Syarat kesatu dan kedua adalah syarat subyektif yang apabila tidak terpenuhi
maka konsekuensinya perjanjian itu dapat dibatalkan. Sedangkan syarat
ketiga dan keempat adalah syarat obyektif yang apabila tidak terpenuhi maka
perjanjian itu batal demi hukum.
Mengenai kesepakatan sebagai syarat sahnya perjanjian, Pasal 1321
KUH Perdata mengatur bahwa apabila kesepakatan tercapai karena
kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian atau
karena paksaan atau penipuan maka dianggap tidak ada kesepakatan. Dengan
demikian, kesepakatan itu harus terjadi dalam keadaan para pihak yang bebas
dan jujur, tidak ada penipuan, tidak ada paksaan dan tidak terjadi kekhilafan.
Kesepakatan yang terjadi karena kekhilafan, penipuan ataupun paksaan dapat
dijadikan alasan meminta pembatalan perjanjian.
Selain itu, dalam perkembangannya, penyalahgunaan keadaan
(misbruik van omstandigheden) juga dijadikan alasan untuk membatalkan
perjanjian karena penggugat tidak menghendaki adanya perjanjian tersebut
atau karena perjanjian itu tidak dikehendaki penggugat dalam bentuk yang
demikian. Konsep ini diterapkan antara lain dalam putusan Mahkamah Agung
RI No. 3431 K/Pdt/1985, tanggal 4 Maret 1987 dan putusan Mahkamah
Agung RI No. 1904 K/Sip/1982, tanggal 28 Januari 1984.5
5
Untuk mencapai kesepakatan diantara para pihak tentunya
penyampaian kehendak masing-masing pihak dilakukan dalam keadaan bebas
dan ada proses mencari persesuaian kehendak diantara para pihak dalam
wadah negosiasi. Fase negosiasi merupakan “crucial point” untuk merumuskan pertukaran hak dan kewajiban para pihak yang nantinya
mengikat dan wajib untuk dipenuhi.6
Dewasa ini banyak perjanjian kredit yang terjadi bukan melalui proses
negosiasi di antara para pihak, melainkan format perjanjian telah disiapkan
secara sepihak oleh pihak bank berupa syarat-syarat baku yang dituangkan
dalam formulir yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada calon
nasabah debitur untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan
kepada calon nasabah debitur bernegosiasi. Kalaupun calon nasabah debitur
diberikan ruang bernegosiasi, keputusan mengubah syarat baku terdapat pada
pimpinan pusat bank dan bukan pada kepala cabang bank sehingga
memerlukan waktu yang cukup lama untuk proses negosiasi dan sudah tentu
merugikan pihak calon nasabah debitur karena kebutuhan dana mendesak.
Dalam keadaan demikian, calon nasabah debitur diperhadapkan pada
kondisi take it or leave it tanpa kebebasan bagi calon nasabah debitur
memutuskan pilihannya. Dengan kata lain, kalaupun terjadi kesepakatan
maka sepakat itu terjadi karena terpaksa. Sepakat yang diberikan dengan
terpaksa adalah contradiction in terminis. Adanya paksaan menunjukkan
tidak adanya sepakat.7 Dalam hal ini, Hood Philips berpendapat bahwa : The contracts (standard contract) are the take-it-or leave it kind, for here the
customer cannot bargain over the terms : his only choice is to accept the term
in to or to reject the service together.8
6
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, halaman 148.
7
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, PT. Pustaka Utama Graffiti, Jakarta, Agustus 2009, halaman 52.
8
Perjanjian yang demikian dinamakan perjanjian standar atau
perjanjian baku9 atau perjanjian adhesi.10 Menurut Sutan Remy Sjahdeini,
perjanjian baku adalah : “Perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya
tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.”11 Lebih lanjut Sutan Remy Sjahdeini mengungkapkan bahwa yang belum
dibakukan dalam perjanjian kredit hanyalah beberapa hal misalnya yang
menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal
lainnya yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Dengan kata lain, yang
dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausula-klausulanya.12 Dalam literatur lain, A. Pitlo-Bolweg dalam Ignasius Ridwan Widyadharma
(1997) menekankan bahwa perjanjian standar adalah suatu dwangcontract.13 Kebijakan pengambilan keputusan mengenai kemungkinan perubahan
syarat baku yang diserahkan pada pimpinan bank pusat menjadikan proses
tercapainya kesepakatan/perjanjian menjadi berlarut-larut dan tidak efisien.
Tidak mengherankan apabila pihak bank lebih cenderung memberikan
pelayanannya kepada calon nasabah debitur yang sepakat dengan syarat baku
yang disodorkan.14
Situasi dimana kurangnya ruang negosiasi dalam perjanjian kredit
cenderung menimbulkan ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara pihak
bank dengan nasabah debitur dalam perjanjian kredit yang ditetapkan.
Ketidakseimbangan tersebut umumnya merugikan pihak nasabah debitur.
Herlien Budiono mengemukakan 3 (tiga) aspek yang saling berkaitan
dari perjanjian yang dapat dimunculkan sebagai faktor penguji berkenaan
9
Lahirnya perjanjian baku dilatarbelakangi antara lain oleh perkembangan masyarakat modern, dan perkembangan keadaan sosial ekonomi. Tujuan semula diadakannya perjanjian baku adalah alasan efisiensi dan alasan praktis. Hubungan ekonomi yang bergerak cepat telah menjadikan perjanjian baku sebagai suatu kebutuhan karena dinilai lebih efisien.
10
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 73-74.
11
Ibid, halaman 66.
12
Ibid, halaman 74.
13
Ignatius Ridwan Widyadharma, Op.Cit, halaman 8.
14
dengan daya kerja asas keseimbangan, yakni :15 pertama, perbuatannya sendiri atau perilaku individual, kedua, isi kontrak, dan ketiga, pelaksanaan
dari apa yang telah disepakati.
Khusus mengenai faktor penguji pertama, perbuatannya sendiri atau
perilaku individu, Herlien Budiono mengungkapkan sebagai berikut :
Suatu perbuatan hukum tidak boleh bersumber dari ketidaksempurnaan keadaan jiwa seseorang. Keadaan tidak seimbang dapat terjadi sebagai akibat dari perbuatan hukum yang dengan cara terduga dapat menghalangi pengambilan keputusan atau pertimbangan secara matang. Yang dimaksud disini adalah keadaan yang berlangsung lama, seperti ketidakcakapan bertindak (handelings-onbekwaamheid). Juga, tercakup ke dalam itu ialah perbuatan (-perbuatan) sebagai akibat dari cacatnya kehendak pelaku, misalnya karena ancaman (bedreiging), penipuan
(bedrog), atau penyalahgunaan keadaan (misbruik van
omstadigheden).16
Ketidakseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian
kredit, setidaknya dipengaruhi oleh keleluasaan yang diberikan Bank
Indonesia melalui Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 kepada masing-masing bank induk
untuk menyusun dan menetapkan format baku perjanjian kredit.
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR
tanggal 31 Maret 1995 tersebut hanya memberikan rambu-rambu untuk
diperhatikan oleh masing-masing bank dalam menetapkan perjanjian kredit
sebagai berikut :17
1. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi
kepentingan bank;
2. Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit, serta
persyaratan-persyaratan kredit lainnya sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan persetujuan kredit dimaksud.
15
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, PT. Citra Aditia Bakti, Bandung, 2006, halaman 334.
16
Ibid, halaman 335. 17
Rambu-rambu tersebut telah memberi keleluasaan pada
masing-masing bank untuk menetapkan klausula-klausula baku dalam format
perjanjian baku guna melindungi kepentingan bank yang terkadang tidak
wajar dan tidak adil sehingga merugikan kepentingan calon nasabah debitur
sebab tidak ada keseimbangan hak dan kewajiban antara pihak bank selaku
kreditur dengan pihak nasabah debitur dalam perjanjian kredit. Klausula baku
yang demikian disebut klausula eksonerasi, atau klausula eksemsi atau
klausula exclusion.
Penggunaan istilah yang berbeda untuk keadaan klausula yang sama
tersebut lebih ditekankan pada selera masing-masing penulis tentunya dengan
dasar argumentasi ilmiah. Misalnya, Sutan Remy Sjahdeini cenderung
menggunakan istilah klausula eksemsi yang sering digunakan dalam
peristilahan perbankan di Amerika Serikat yaitu istilah yang sering digunakan
dalam pustaka Inggris exemption clauses, dengan mendasarkannya pada
keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0389/U/1988 tanggal
11 Agustus 1988 tentang Pedoman Umum Pembentukan Istilah yang
mengarahkan demi keseragaman , sumber rujukan yang diutamakan adalah
istilah Inggris yang pemakaiannya sudah internasional, yakni yang
dilazimkan para ahli dalam bidangnya.18
Penulis menggunakan istilah klausula eksonerasi dalam penulisan
tesis ini sebagaimana digunakan dalam berbagai literatur Mariam Darus
Badrulzaman. Klausula eksonerasi merupakan peristilahan yang ditemukan
dalam berbagai pustaka Belanda exoneratie clausule. Pengambilalihan istilah
yang dipakai dalam pustaka Belanda ini menurut penulis lebih tepat
digunakan dalam pengkajian klausula baku perbankan yang pada intinya
merupakan klausula hukum perjanjian, karena sejarah hukum perjanjian
Indonesia berasal dari Belanda sebagai akibat penerapan asas konkordasi. Hal
ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan dalam memahami perkembangan
hukum perjanjian dan pemaknaan istilah yang digunakan.
Rijken mengungkapkan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula
yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak
18
menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti
rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan
melawan hukum.19
Klausula eksonerasi merupakan klausula yang bertujuan untuk
membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap
gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan
semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian
tersebut.20 Dengan kata lain, merupakan klausula yang berisi pembatasan pertanggungjawaban dari kreditur.21
Untuk itu Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan ciri-ciri
klausula eksenorasi/perjanjian baku yang meniadakan atau membatasi
kewajiban salah satu pihak (kreditur) sebagai berikut :22
1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat dari debitur;
2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu;
3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu; 4. Bentuknya tertulis;
5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.
H.P. Panggabean dalam penelitian terhadap model-model perjanjian
kredit yang dikeluarkan oleh BRI, BNI, BEII, BAPIN, SBU, BCA, BDNI,
BPDSU, dan BII menemukan klausula-klausula eksonerasi sebagai berikut :23 1. Bank sewaktu-waktu berhak untuk mengakhiri perjanjian secara
sepihak dan kemudian menagih utang secara sekaligus dan seketika menurut waktu yang ditentukan bank;
2. Bank berhak menentukan sendiri jumlah utang debitur berdasarkan jumlah utang pokok, bunga kredit, provisi, dan lain-lain sebagainya; 3. Bank diberi kuasa mutlak yang tidak dapat dicabut kembali menjual
barang jaminan;
4. Bank tidak wajib memberikan kredit kepada debitur walaupun maksimum kredit (plafon kredit) belum tercapai;
19
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, halaman 47.
20
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 84.
21
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia. Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum dan Pendidikan Hukum (Kumpulan Pidato-Pidato Pengukuhan), Alumni, Bandung, 1981, halaman 109.
22
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.Cit, halaman50.
23
5. Bank berhak dengan nama dan/atau cara apapun juga melakukan tindakan hukum yang dianggap baik oleh bank atau menurut peraturan yang berlaku, apabila debitur lalai, atau tidak dapat melunasi kreditnya. 6. Bank berhak menangguhkan pelaksanaan perjanjian semata-mata atas
pertimbangannya sendiri;
7. Bank tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan kerusakan, kelambatan atau karena hilangnya surat telegram termasuk juga kerugian yang disebabkan tindakan pihak yang menjadi perantara; 8. Semua surat-surat berharga, barang-barang bergerak dan tetap yang
diterima bank atau yang berada di tangan pihak ketiga berdasarkan apapun juga menjadi jaminan bagi bank untuk pengembalian utang si debitur dan semua surat-surat berharga dan barang-barang tersebut apabila hilang atau rusak menjadi risiko dan tanggung jawab debitur; 9. Bank tidak bertanggung jawab atas kekurangan pihak ketiga yang
ditunjukkannya untuk melaksanakan perintah-perintah debitur;
10. Semua pengiriman kepada atau oleh bank dari pihak-pihak ketiga dilakukan untuk perkiraan dan risiko nasabah;
11. Bank berhak untuk mengadakan perubahan-perubahan pada syarat-syarat perjanjian kredit;
12. Bank berhak untuk menggadaikan kembali kepada orang lain segala benda yang digadaikan debitur kepadanya;
13. Bahwa dengan lewatnya waktu yang diperjanjikan untuk melunasi kredit, sudah merupakan bukti terjadinya keadaan wanprestasi (tidak perlu pemberitahuan).
Dalam penelitian terpisah, Sutan Remy Sjahdeini mengungkapkan
bahwa dari penelitiannya terdapat 14 (empat belas) klausula eksonerasi dalam
perjanjian kredit, yaitu :24
1. Kewenangan bank untuk sewaktu-waktu tanpa alasan dan tanpa pemberitahuan sebelumnya secara sepihak menghentikan izin tarik kredit.
2. Bank berwenang secara sepihak menentukan harga jual dari barang agunan dalam hal penjualan barang agunan karena kreditt nasabah debitur macet.
3. Kewajiban nasabah debitur untuk tunduk kepada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan ditetapkan kemudian oleh bank.
4. Keharusan nasabah debitur untuk tunduk kepada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum hubunngan rekening koran dari bank yang bersangkutan namun tanpa sebelumnya nasabah debitur diberi kesempatan untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum hubungan rekening koran tersebut.
24
5. Kuasa nasabah debitur yang tidak dapat dicabut kembali kepada bank untuk dapat melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh bank.
6. Kuasa nasabah debitur kepada bank untuk mewakili dan melaksanakan hak-hak nasabah debitur dalam setiap rapat umum pemegang saham. 7. Pencantuman klausula-klausula eksemsi yang membebaskan bank dari
tuntutan ganti kerugian oleh nasabah debitur atas terjadinya kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat tindakan bank.
8. Pencantuman klausula eksemsi mengenai tidak adanya hak nasabah debitur untuk dapat menyatakan keberatan atas pembebanan rekeningnya.
9. Pembuktian kelalaian nasabah debitur secara sepihak oleh pihak bank semata.
10. Penetapan dan perhitungan bunga bank secara merugikan nasabah debitur.
11. Denda keterlambatan merupakan bunga terselubung.
12. Perhitungan bunga berganda menurut praktik perbankan bertentangan dengan Pasal 1251 KUHPerdata.
13. Pengabaian Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata berkenaan dengan klausula events of default.
14. Kewajiban pelunasan bunga terlebih dahulu adalah sesuai dengan undang-undang (Pasal 1397 KUH Perdata) tetapi sangat memberatkan nasabah.
Klausula-klausula eksonerasi tersebut memang memberatkan calon
nasabah debitur dan menempatkan pihak bank pada posisi yang lebih kuat.
Atas keadaan tersebut, Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman mengemukakan
sebagai berikut :
Perjanjian-perjanjian kredit bank yang telah dibakukan tersebut banyak mengandung sejumlah klausula yang memberatkan nasabah debitur, yakni memuat sejumlah klausula yang tidak wajar dan tidak adil dengan menyalahgunakan keadaan nasabah debiturnya. Penyalahgunaan keadaan nasabah debitur ini ternyata dikarenakan secara ekonomis dan psikologis, kedudukan bank sangat kuat dan tidak seimbang dengan nasabah debiturnya pada saat penandatanganan perjanjian kredit.25
Keadaan lemahnya kedudukan pihak calon nasabah debitur akan
berubah apabila perjanjian kredit telah ditetapkan dimana kedudukan pihak
bank akan menjadi lebih lemah dan kedudukan pihak nasabah debitur berada
pada posisi yang lebih kuat. Dalam hal ini Sutan Remy Sjahdeini
mengemukakan bahwa :
25
Pada waktu kredit akan diberikan, pada umumnya memang bank dalam posisi yang lebih kuat disbanding dengan calon nasabah debitur. Hal tersebut karena pada saat pembuatan perjanjian itu calon nasabah
debitur sangat membutuhkan bantuan kredit itu dari bank. … Hal itu
menyebabkan posisi tawar menawar bank menjadi sangat kuat. … Tetapi setelah kredit diberikan berdasarkan perjanjian kredit ternyata kedudukan bank lemah. Kedudukan bank setelah kredit diberikan banyak bergantung pada integritas nasabah debitur.26
Dalam praktek peradilan, klausula-klausula eksonerasi tersebut sering
dijadikan dasar gugatan perbuatan melawan hukum yaitu untuk menyatakan
perjanjian kredit tersebut batal karena tidak adanya keseimbangan hak dan
kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit.
Fakta munculnya gugatan-gugatan mengenai perjanjian kredit antara
nasabah debitur melawan pihak bank menunjukkan bahwa masyarakat
semakin sadar akan kedudukannya yang lemah dalam suatu perjanjian kredit
di bank. Selain itu, lahirnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UU RI No.8 Tahun 1999, LN RI Tahun 1999 No.
42 TLN RI No. 3821) khususnya Bab V Pasal 18 tentang Ketentuan
Pencantuman Kalusula Baku telah berperan memberikan keberanian bagi
nasabah debitur memperjuangkan hak-haknya dalam perjanjian kredit.27 Kehadiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen untuk melindungi kepentingan konsumen di Indonesia yang belum
ada28 agar terdapat suatu perjanjian yang seimbang antara konsumen dan
produsen berdasarkan asas kesetaraan berkontrak.29
26
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 207-208.
27
Lihat konsiderans menimbang angka 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan : bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian,
kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta
menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab (Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU RI No.8 Tahun 1999, LN RI Tahun 1999 No. 42 TLN RI No. 3821).
28
Lihat konsiderans menimbang angka 5 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,Ibid).
29
Menurut Sriwati dalam Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman (2010),
adanya pengaturan terhadap perlindungan konsumen terutama pada peraturan
yang berkaitan dengan klausula baku, sedikit banyak menyadarkan
masyarakat bahwa mereka sebagai pihak dalam perjanjian memiliki hak yang
(semestinya) sejajar dengan pihak lainnya dalam perjanjian itu. Dimana
pengaturan ini merupakan tonggak awal bagi adanya keseimbangan dalam
penempatan pihak pada suatu perjanjian.30
Kehadiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen tidak untuk mematikan kreatifitas pelaku usaha
dalam melindungi diri dan asetnya dalam dunia wirausaha melainkan untuk
menyeimbangkan kembali kedudukan pelaku usaha dan konsumen. Dalam
hal ini, Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam Djoni S. Gazali dan
Rachmadi Usman (2010) mengemukakan bahwa pada prinsipnya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tidak melarang pelaku usaha untuk membuat
perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen dan/atau
perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/atau jasa, selama dan
sepanjang perjanjian baku dan/atau klausula baku tersebut tidak
mencantumkan ketentuan yang dilarang serta tidak berbentuk sebagaimana
dilarang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999.31
Fenomena dalam perjanjian kredit di bank tersebut perlu disikapi
Mahkamah Agung RI melalui pemberian pendapatnya melalui
putusan-putusan khususnya mengenai penerapan/penggunaan asas keseimbangan
dalam perjanjian kredit di bank. Hal ini penting sebagai hukum yang pasti
bagi bank masing-masing dalam membuat dan menetapkan perjanjian kredit.
Dalam penulisan tesis ini, penulis memilih memfokuskannya pada
klausula “penetapan dan perhitungan bunga bank dilakukan oleh bank” karena sepanjang pengamatan penulis klausula tersebut sering digunakan
pihak bank terutama dalam keadaan tidak menentunya suku bunga yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk menguntungkan dirinya tanpa
mempertimbangkan keadaan dari nasabah debitur. Lebih jauh, atas gugatan
30
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 358 – 359. 31
yang mendasarkan pada klausula tersebut sebagai obyek gugatan baik di
dalam perjanjian kredit bank maupun perjanjian pinjam meminjam uang telah
mengharuskan hakim bersikap memasuki ranah perjanjian dan memberikan
putusan.
Dari berbagai literatur setidak-tidaknya penulis mencatat 3 (tiga)
perkara yang berkaitan dengan klausula bunga kredit dalam perjanjian, yaitu :
1. Perkara No. 3956 K/Pdt/2000 jo. No. 628/Pdt/1999/PT.Sby jo. No.
37/Pdt.G/1998/PN.GS antara SG dan AK Melawan PT. Bank X dan
Kepala Kantor Badan Y.
2. Perkara No. 1530 K/Pdt/2011 jo. No. 448/Pdt/2010/PT.Smg jo.
No.11/Pdt.G/2010/PN.Jpr antara SW melawan PT. Bank Y dan
Pemerintah RI Cq. Menteri Z Cq. Dirjen Z1 Cq. Kanwil Z2.
3. Perkara No. 3431 K/Pdt/1985 jo. No. 523/1983/Pdt/PT. Smg jo. No.
12/G/1983/Pdt. Bla. Antara SS melawan Ny. B dan RB.
Dalam penulisan tesis ini, penulis memfokuskan kajian pada Putusan
Mahkamah Agung RI No. 3956 K/Pdt/2000 jo Putusan Pengadilan Tinggi
Sby No. 628/Pdt/1999/PT.SBY jo Putusan Pengadilan Negeri GS No.
37/Pdt.G/1998/PN. GS dan sebagai perbandingannya, penulis juga akan
mengkaji Putusan Mahkamah Agung RI No. 1530 K/Pdt/2011 jo. No.
448/Pdt/2010/PT. Smg jo. No.11/Pdt.G/2010/PN.Jpr serta Putusan
Mahkamah Agung RI No. 3431 K/Pdt/1985 jo. No. 523/1983/Pdt/PT. Smg jo.
No. 12/G/1983/Pdt. Bla.
Putusan Mahkamah Agung RI No. 3956 K/Pdt/2000 jo Putusan
Pengadilan Tinggi SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY jo Putusan Pengadilan
Negeri GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS adalah putusan yang diberikan
lembaga yudikatif dalam perkara antara SG dahulu bernama GSA (Penggugat
I) dan AK alias LAK (Penggugat II) melawan PT. Bank X (Tergugat) dan
Kepala Kantor Badan Y (Turut Tergugat).
Dalam perkara tersebut, para penggugat mendalilkan bahwa para
penggugat pernah menerima fasilitas kredit dari tergugat sejumlah
Rp.1.850.000.000,-, belum termasuk bunga, provisi kredit, serta biaya-biaya
oleh tergugat adalah sebesar 21 % per tahun dihitung dari jumlah pemakaian
dana kredit. Para penggugat selalu tertib membayar kredit tersebut. Namun
dalam perjalanannya, per juli 1998 tergugat secara sepihak menaikkan bunga
kredit menjadi 61% per tahun yang tidak sesuai dengan isi perjanjian. Akta
perjanjian yang tidak seimbang dan kabur dimanfaatkan tergugat untuk
menafsirkan secara sepihak isi perjanjian tersebut.
Sebaliknya tergugat membantah dalil gugatan para penggugat.
Menurut tergugat kenaikan bunga kredit yang dilakukan tergugat sudah sesuai
dengan isi Akta Pengakuan Hutang No. 76 Tanggal 27 Januari 1995 yang
telah disepakati bersama antara para penggugat dengan tergugat. Dalam akta
tersebut diperjanjikan bahwa bunga bersifat fariable, yaitu :”suku bunga tersebut setiap waktu dapat berubah menurut penetapan pihak pertama
(tergugat), dan akan diberitahukan kepada pihak kedua (para penggugat)”, sehingga tidak benar tergugat menafsirkan secara sepihak isi perjanjian untuk
menguntungkan tergugat. Tentang isi perjanjian mengenai suku bunga
tersebut telah dibenarkan penggugat dalam surat gugatannya.
Dalam putusan Pengadilan Negeri, majelis hakim memutuskan
mengembalikan suku bunga pada posisi 21% dengan pertimbangan :
perlindungan hukum harus diberikan dalam proporsinya dalam
keseimbangan. Pencantuman klausula jumlah bunga setiap saat bisa berubah
sesuai ketentuan bank tidaklah berarti dalam keadaan situasi krisis yang
berkepanjangan bank lalu menaikkan bunga sesuka hatinya tanpa
mengindahkan norma-norma kepatutan, keadilan serta kelayakan dalam
masyarakat dimana debitur saat-saat krisis ekonomi ini juga pasti mengalami
kemunduran dalam usahanya.
Dalam tingkat banding, kuasa kukum para penggugat dan kuasa
hukum tergugat telah mencabut pernyataan banding. Meskipun kemudian
perkara tersebut diajukan kasasi dengan alasan bahwa pencabutan banding
tersebut dilakukan kuasa penggugat asli tanpa sepengetahuan dan seijin dari
penggugat asli dan tidak disertai dengan surat kuasa khusus untuk mencabut
permohonan kasasi tersebut dengan pertimbangan bahwa Pengadilan Tinggi
tidak salah menerapkan hukum dalam perkara tersebut.
Putusan Pengadilan Negeri GS yang mendudukkan kembali suku
bunga pada 21% sesuai suku bunga awal didasarkan pada pertimbangan
kepatutan dan kelayakan. Disisi lainnya, isi perjanjian tersebut secara jelas
memungkinkan adanya perubahan suku bunga karena menganut floating rate
of interest, dan hal itu disepakati oleh para penggugat maupun tergugat. Hal
ini sangat menarik, karena untuk memberikan kepastian hukum, keadilan
hukum dan kemanfaatan hukum, hakim telah masuk dalam ranah perjanjian
dan dapat mengenyampingkan isi perjanjian dengan menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat
sesuai amanat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman.32
1.2.POKOK PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok
permasalahan adalah :
1. Apakah pencantuman klausula “penetapan dan perhitungan bunga bank
dilakukan oleh bank” dalam perjanjian kredit melanggar asas
keseimbangan ?
2. Apakah Hakim dapat mengintervensi suatu perjanjian kredit yang
disepakati para pihak ?
1.3.TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan tesis ini adalah :
1. Ingin menganalisis pengaruh pencantuman klausula “penetapan dan perhitungan bunga bank dilakukan oleh bank” terhadap keseimbangan
32
perjanjian kredit perbankan serta memberikan rekomendasi berkaitan
dengan hasil analisis.
2. Ingin menganalisis kewenangan Hakim dalam mengintervensi suatu
perjanjian kredit yang disepakati para pihak serta memberikan
rekomendasi berkaitan dengan hasil analisis.
1.4.MANFAAT PENELITIAN
Dalam penulisan tesis ini, sedikitnya ada dua manfaat yang kiranya
dapat diperoleh, yaitu :
1.4.1. Manfaat Teoritis.
Dari sisi teoritis, penulisan ini diharapkan dapat membuktikan
bahwa pencantuman klausula “penetapan dan perhitungan bunga bank dilakukan oleh bank” memberikan pengaruh terhadap keseimbangan
kepentingan para pihak yang terakomodir dalam suatu perjanjian
kredit perbankan. Dipilihnya asas keseimbangan sebagai medan uji
karena pada prinsipnya pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian
kredit memiliki kepentingan masing-masing dan untuk memenuhi
kepentingan tersebut, dilakukan dengan bekerjasama di antara para
pihak dengan tujuan saling menguntungkan.
Penulisan tesis ini juga diharapkan dapat memberikan
sumbangsih bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya
menjadikan asas keseimbangan dalam perjanjian sebagai salah satu
asas perjanjian yang diakomodir dalam hukum positif. Dengan
diakomodirnya asas keseimbangan secara tegas dalam hukum positif,
diharapkan dapat digunakan sebagai asas pokok dalam perjanjian
kredit perbankan yang bermanfaat dalam memberikan perlindungan
hukum yang berkeadilan bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam
suatu perjanjian kredit perbankan.
Selain itu, dalam praktik peradilan, juga didapati adanya
intervensi hakim dalam merubah suku bunga yang diperjanjikan.
tidaknya kewenangan hakim dalam mengintervensi perjanjian kredit
perbankan. Hal ini demi membuat terang batasan kewenangan hakim
yang dapat bermanfaat bagi pencari keadilan dan praktisi hukum serta
kaum akademisi.
1.4.2. Manfaat Praktis.
Dari sisi praktis, penulisan tesis ini diharapkan dapat
menjadikan asas keseimbangan sebagai asas yang dapat diterapkan
pelaku usaha untuk memberikan kedudukan yang seimbang bagi para
pihak ketika mengadakan suatu perjanjian kredit, dengan memberi
ruang negosiasi kepentingan masing-masing seluas-luasnya dan
mengakomodir kepentingan yang seimbang dalam perjanjian kredit
perbankan.
Selain itu, hasil penulisan tesis ini juga diharapkan dapat
dijadikan bahan referensi oleh hakim dalam mengadili perkara yang
berkaitan dengan perjanjian kredit. Bagi pencari keadilan, penulisan
tesis ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk memperjuangkan
pemenuhan hak-haknya secara seimbang dalam perjanjian kredit.
1.5.METODE PENELITIAN
Soetandio Wignjosoebroto mengemukakan bahwa apabila orang
hendak mempelajari secara tuntas metode penelitian hukum, maka orang
tersebut harus memahami terlebih dahulu “penelitian”, “metode”, dan
“hukum”.33
Lebih lanjut disarikan bahwa penelitian sebagai suatu usaha
pencarian jawaban yang benar sedangkan metode adalah prosedur terkontrol
untuk menemukan pengetahuan.34 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode penelitian adalah prosedur terkontrol untuk menemukan
pengetahuan sebagai jawaban yang benar atas suatu pertanyaan ilmiah.
33
Sulistyowati Irianto dan Shidarta (editor), Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011, halaman 95.
34
Sebagai prosedur terkontrol maka metode penelitian memuat
langkah-langkah teratur dan terarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
termasuk pada akhirnya jawaban yang ditemukan tidak saja benar tetapi dapat
dipertanggungjawabkan. Karena itu menurut Prof. Sunaryati Hartono,
metode penelitian sebagai cara atau jalan atau proses pemeriksaan atau
penyelidikan, menggunakan cara penalaran dan berpikir yang logis-analitis
(logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori suatu ilmu (atau
beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau mengadakan
verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa
alamiah, peristiwa sosial atau peristiwa hukum tertentu.35 Dengan demikian, metode penelitian adalah roh dari suatu penelitian. Penggunaan metode yang
salah berimbas pada tidak sakihnya hasil penelitian.
Metode yang digunakan penulis dalam penulisan tesis ini adalah
metode penelitian normatif, yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder yang berkaitan dengan Perjanjian maupun Asas Keseimbangan
sebagai proses untuk menentukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum
maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi
berupa argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi.36
1.5.1. Tipologi Penelitian.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang sifatnya analisis
kualitatif dengan tujuan menggambarkan dan menganalisa secara
tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.
Kaitannya dengan penulisan tesis ini, penulis menggambarkan suatu
peraturan hukum yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang
relevan dan putusan-putusan pengadilan kemudian menganalisanya
secara cermat tentang pengaruh pencantuman klausula “penetapan dan
35
Teguh Wicaksono Saputra, Tesis, Penerapan Asas Keseimbangan dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Putusan Pengadilan, Program PAsca Sarjana Magister Hukum Universitas Indonesia, Juli 2011, halaman 20.
36
perhitungan bunga bank dilakukan oleh bank” terhadap asas keseimbangan dalam perjanjian kredit di bank X.
Untuk itu, penulis menggunakan pendekatan kasus (case
approach) dengan tujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma
atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum, terutama
mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana dalam
perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian, dengan mempergunakan data
yang bersumber pada hukum positif, maupun bahan-bahan
kepustakaan seperti tesis, makalah-makalah, jurnal, majalah-majalah,
surat kabar dan literatur lainnya, yang berkaitan dengan perjanjian
kredit dan asas keseimbangan.
1.5.2. Sumber Data.
Data-data dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yaitu
data yang diperoleh dari kepustakaan berupa :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang terdapat dalam
peraturan-peraturan perundang-undangan maupun di dalam putusan
pengadilan.37
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan untuk membantu
menganalisis dan memahami sumber hukum primer berupa
buku-buku, makalah-makalah, tesis, jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus
hukum, komentar-komentar atas putusan pengadilan dan
sumber-sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini. Putusan
pengadilan sebagai bahan hukum sekunder yang diteliti adalah
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak
terpaku pada landmark decision tetapi juga putusan pengadilan
yang memiliki relevansi dengan penelitian ini.38
Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada
penulis semacam petunjuk kearah mana penulis melangkah, dapat
pula sebagai pemberi inspirasi melakukan penelitian lanjutan, juga
37
Ibid, halaman 144-155.
38
dapat sebagai panduan berfikir dalam menyusun argumentasi yang
akan diajukan dalam persidangan atau memberikan pendapat
hukum.39
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberi penjelasan
terhadap sumber hukum primer dan sekunder, yang berupa artikel,
jurnal ilmiah, internet dan sumber-sumber lain yang berhubungan
dengan penulisan tesis ini.
1.5.3. Teknik Pengumpulan Data
Data-data untuk penulisan tesis ini dikumpulkan dengan teknik
pengumpulan data berupa studi dokumen, yaitu melakukan penelitian
terhadap dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan
yang akan diteliti guna memperoleh landasan teoritis dan informasi
dalam bentuk ketentuan formal.
1.5.4. Metode Analisa Data.
Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan metode
normatif kualitatif. Secara normatif karena penelitian dalam penulisan
tesis ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai
hukum positif. Secara kualitatif karena merupakan analisis data yang
berasal dari hasil penelusuran bahan pustaka termasuk
putusan-putusan pengadilan.
1.6.KERANGKA TEORI DAN KONSEP
1.6.1. Kerangka Teori.
Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa yang dimaksudkan
dengan teori adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling
berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan
penjelasan atas suatu gejala.40 Teori juga digunakan untuk menggali
39
Ibid, halaman 155.
40
lebih mendalam aturan hukum dengan memasuki teori hukum demi
mengembangkan suatu kajian hukum tertentu41, yang diperinci lagi oleh Soerjono Soekanto dalam kegunaan teori sebagai berikut :42 1. Untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak
diselidiki atau diuji kebenarannya.
2. Sebagai suatu ikthisar daripada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.
3. Sebagai kemungkinan prediksi pada fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
Penulisan tesis ini, akan terfokus pada urgenitas asas
keseimbangan dalam pembuatan/penyusunan perjanjian kredit di bank
dan pengakomodiran kepentingan para pihak secara seimbang dalam
perjanjian kredit bank. Perjanjian kredit yang mengakomodir
kepentingan pihak-pihak secara seimbang diharapkan akan
memberikan manfaat dan keadilan bagi para pihak yang bermuara
pada tercapainya tujuan hukum, yakni berubahnya kehidupan
masyarakat dari keadaan sebelumnya yang terkesan “pasrah” atas klausula perjanjian kredit yang memberatkannya menjadi masyarakat
yang memperjuangkan kepentingan perdatanya dalam suatu perjanjian
kredit. Karena itu, teori Roscoe Pound bahwa hukum itu
keseimbangan kepentingan dimana apabila keseimbangan kepentingan
telah tercapai akan merubah kehidupan masyarakat dan terciptanya
kemajuan hukum, dianggap penulis tepat digunakan sebagai landasan
teori dalam penulisan tesis ini.
Roscoe Pound (1870-1964) dari aliran Neo-Positivisme
adalah tokoh teori hukum abad ke-20, mengemukakan teori tentang
hukum itu keseimbangan kepentingan.43 Bagi Pound, hukum tidak boleh dibiarkan mengawang dalam konsep-konsep logis-analitis
41
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, halaman 73.
42
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke-3, UI Press, Jakarta, 2006, halaman 121.
43
ataupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan teknis yuridis yang
terlampau eksklusif. Sebaliknya, hukum itu mesti didaratkan di dunia
nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.44 Karena itu perlu langkah progresif yaitu memfungsikan hukum untuk menata
ketimpangan-ketimpangan struktural dalam pola keseimbangan yang
proporsional sebagai langkah perubahan menciptakan dunia yang
beradab dalam masyarakat.45 Dari sinilah muncul teori Pound tentang
law is a tool of social engineering46.
Fokus utama Pound dalam konsep social engineering adalah
keseimbangan kepentingan. Menurut Pound, antara hukum dan
masyarakat terdapat hubungan yang fungsional. Hukum tidaklah
menciptakan kepuasan tetapi hanya memberi legitimasi atas
kepentingan manusia untuk mencapai kepuasan tersebut dalam
keseimbangan.47 Tujuannya ialah untuk sebaik-baiknya mengimbangi kebutuhan-kebutuhan sosial dan individual yang satu dengan yang
lain. Cita-cita keadilan yang hidup dalam hati rakyat dan yang ditujui
oleh pemerintah merupakan simbol dari harmonisasi yang tidak
memihak antara kepentingan-kepentingan individual yang satu
terhadap yang lain. Ideal keadilan ini didukung oleh paksaan. Paksaan
digunakan oleh negara demi kontrol sosial, yaitu untuk menjamin
keamanan sosial, dan dengan demikian memajukan kepentingan
Lebih lanjut Pound mengemukakan bahwa dalam
perkembangannya telah terjadi perubahan sistem hukum yaitu
meliputi :49 (1) pembatasan penggunaan kekayaan; (2) pembatasan kebebasan perjanjian; (3) pembatasan kekuasaan memiliki kekayaan;
(4) pembatasan kekuasaan pemiutang (creditor) atau pihak yang
dirugikan untuk menjamin kepuasannya; (5) perubahan gagasan
tentang pertanggungjawaban dalam arti adanya dasar yang lebih
objektif; (6) keputusan pengadilan mengenai kepentingan masyarakat,
dengan pembatasan peraturan umum untuk lebih mengutamakan
pedoman yang luwes dan kebijaksanaan; (7) pengadaan dana umum
untuk mengganti kerugian individu yang dirugikan oleh alat
kekuasaan negara; (8) perlindungan anggota rumah tangga yang
hidupnya masih bergantung.
Dalam tulisan-tulisannya, Roscoe Pound berusaha menjelaskan
social engineering dengan formulasi social interest yaitu perimbangan
kepentingan-kepentingan masyarakat akan menghasilkan perubahan
kehidupan masyarakat dan kemajuan hukum.
Pound dalam Lili Rasjidi (1985)50 mengklasifisir interest-interest yang dilindungi oleh hukum dalam 3 kategori pokok :
1. Public interest (kepentingan umum);51
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Alumni, Bandung, 1985, halaman 130.
51
Public interest yang terutama adalah : pertama : kepentingan dari negara sebagai badan hukum dalam mempertahankan kepribadian dan substansinya, dan kedua, kepentingan-kepentingan dari negara sebagai penjaga kepentingan-kepentingan masyarakat.
52
3. Private interest (kepentingan pribadi);
Kepentingan-kepentingan yang diklasifikasikan Pound tersebut
sifatnya tidak absolut karena sangat bergantung pada sistem politik
dan sosial masyarakat. Titik kekuatan Pound terletak pada kerangka
pengelompokan yang dibangunnya serta peran sentral dari
pengelompokan itu, pertama, hukum perlu didayagunakan sebagai
sarana menuju tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan
sosial, kedua, pengelompokan semacam itu sangat membantu untuk
memperjelas kategori kepentingan yang ada dalam masyarakat secara
keseluruhan, berikut bagaimana menyeimbangkannya secara tepat
sesuai dengan aspirasi dan tuntutan yang berkembang kini dan di
sini.53
Tentang private interest, Pound membedakannya atas tiga
macam yaitu :54
1. Interest of personality, meliputi perlindungan terhadap integritas
(keutuhan) fisik, kemerdekaan kehendak, reputasi (nama baik)
terjaminnya rahasia-rahasia pribadi, kemerdekaan keyakinan
agama dan kemerdekaan pendapat. Oleh Pound hal-hal tersebut
mencakup cabang-cabang hukum seperti hukum pidana mengenai
serangan dan penganiayaan, hukum tentang fitnah, prinsip-prinsip
kontrak atau pembalasan kekuasaan polisi bercampur tangan
perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan antara suami dan isteri terhadap hak bersama untuk menuntut ganti rugi karena perbuatan yang tidak patut, d) keseimbangan antara perlindungan lembaga-lembaga keagamaan dan tuntutan akan kemerdekaan beragama, e) menyangkut kepentingan keamananan lembaga-lembaga politik, maka perlu ada keseimbangan antara jaminan kebebasan berbicara dan kepentingan keselamatan negara, ketiga, kepentingan-kepentingan sosial menyangkut moral umum meliputi perlindungan masyarakat terhadap merosotnya moral seperti korupsi, judi, fitnah, transaksi-transaksi yang bertentangan dengan kesusilaan, serta ketentuan-ketentuan yang ketat mengenai tingkah laku wali, keempat, kepentingan sosial menyangkut pengamanan sumber daya sosial termasuk penyalahgunaan hak atas barang yang dapat merugikan orang, kelima, kepentingan sosial menyangkut kemajuan sosial berkaitan dengan keterjaminan hak manusia memanfaatkan alam untuk kebutuhannya, tuntutan agar rekayasa sosial bertambah banyak dan lain sebagainya, keenam, kepentingan sosial menyangkut kehidupan individual (pernyataan diri, kesempatan, kondisi kehidupan).
53
Ibid, halaman 157-158.
54
dalam rapat-rapat, proses-proses, jaminan hak milik, dan
sebagainya;
2. Interest in domestic meliputi kepentingan dalam hubungan rumah
tangga terutama mengenai perlindungan hukum bagi perkawinan,
tuntutan bagi pemeliharaan keluarga dan hubungan hukum antara
orang tua dan anak-anak yang meliputi pula masalah-masalah
nafkah dari anak-anak dan kekuasaan pengawasan
pengadilan-pengadilan anak-anak terhadap hubungan hukum antara orang tua
dan anak-anak;
3. Interest of substance meliputi perlindungan terhadap harta,
kemerdekaan penggantian mewaris dalam penyusunan testament,
kemerdekaan industri dan kontrak dan pengharapan legal akan
keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh. Juga dimasukkan
hak untuk berserikat yang masih dipolemikkan tergolong interest
of personality dari pada interest of substance.
Dalam konteks perjanjian kredit perbankan maka konsep
pendekatan interest Pound yang bertalian dengan obyek kajian adalah
private interest sebagai lingkup keperdataan yakni hubungan hukum
antara orang sebagai nasabah atau debitur dengan badan hukum bank
sebagai kreditur, khususnya interest of personality mengenai
prinsip-prinsip kontrak dan interest of substance mengenai kemerdekaan
berkontrak.
Pound mengemukakan bahwa pada awalnya kontrak berupa
pertukaran janji secara lisan diantara dua belah pihak. Dalam
pertukaran janji lisan tersebut, moral55 selalu dikedepankan dalam bentuk selalu berfikir positif bahwa para pihak yang saling bertukar
55 Kaum Puritein mengemukakan doktrin bahwa manusia ialah “a free moral
janji tersebut memiliki itikad yang baik dalam bertukar janji.
Pertukaran janji lisan tersebut didasarkan pada “saling percaya”.56
Dalam pemikiran-pemikiran sarjana-sarjana Romawi, dikenal
dua macam janji, yaitu :57 1. Janji-janji formal,
a. Dengan ketentuan, mempergunakan perkataan penyucian
spandeo dan demikian menganggap bahwa dengan upacara
pencurahan air suci dewa-dewa akan memperhatikan janji itu.
b. Dengan upacara umum yang rupanya melambangkan satu
transaksi sejati di depan seluruh rakyat.
c. Dimasukkan ke dalam buku belanja rumah tangga.
2. Janji-janji formal saja yang tidak diakui oleh hukum dan
bergantung seluruhnya kepada itikad baik dari orang yang berbuat
janji.
Menurut teori equivalent sebagai rasionalisasi dari causa
debendi58 hukum Jerman Kuno, model janji lisan diistilahkan sebagai janji abstrak59 yang tidak dikenakan equivalent, tidak mengikat secara otomatis dan karena itu tidak mengikat secara hukum, kecuali hal
yang terlebih dulu telah diakui hukum.
Pound mengemukakan tiga alasan tidak mengikatnya secara
hukum model janji abstrak, sebagai berikut :
1. Alasan pertama, mempercayai janji abstrak adalah suatu
kecerobohan dan tidak dapat dimintakan jaminan kecuali apa
yang dijamin oleh hukum. Artinya bahwa jika sesuatu yang
diperjanjikan tersebut sebelumnya tidak diatur oleh hukum
56
Bandingkan pula dengan pendapat Charles Fried dalam tulisannya Contract as Promise, dalam Craswell, Richard dan Alan Schwartz (editor) dalam Foundations of Contract Law, Oxford University Press, New York, 1994.
57
Roscoe Pound dalam Mohamad Radjab (Penterjemah), Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1982, halaman 150.
58
Causa debendi merupakan alasan untuk mengutang pelaksanaan yang dijanjikan. Bila sesuatu ditukar untuk satu janji, maka sesuatu itu adalah satu causa debendi. Jadi, causa debendi adalah reason dari penundaan pelaksanaan kewajiban dalam perjanjian.
59