• Tidak ada hasil yang ditemukan

Putusan Nomor : 3431 K/Pdt/1985 jo. Nomor :

Dalam dokumen file unlocked (7) (Halaman 145-156)

BAB 4 ASAS KESEIMBANGAN PERJANJIAN KREDIT BANK

4.1. P ENCANTUMAN KLAUSULA “PENETAPAN DAN

4.1.3. Putusan Nomor : 3431 K/Pdt/1985 jo. Nomor :

Kasus Posisi :

Putusan Nomor : 12/G/1983/Pdt.Bla adalah putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Bla atas gugatan wanprestasi yang

298

Lihat M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kreditt Perbankan Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, halaman 92-93.

diajukan oleh SS sebagai penggugat terhadap Ny.B dan RB sebagai tergugat-tergugat.

Dalam posita gugatan, penggugat mendalilkan bahwa pada tanggal 10 Pebruari 1982 para tergugat telah meminjam uang kepada penggugat sebesar Rp.540.000,- (lima ratus empat puluh ribu rupiah) dengan janji lisan akan dikembalikan pada tanggal 10 Agustus 1982. Pinjaman tersebut disertai pembebanan bunga sebesar 10% setiap bulannya hingga para tergugat mengembalikan keseluruhan pokok pinjaman. Atas pinjaman tersebut tergugat telah memberikan jaminan berupa surat keterangan pensiunan atas nama RB dan hak milik tanah beralamat di Blok Kidangan Jepon, namun telah diambil kembali oleh menantu para tergugat.

Selanjutnya penggugat mendalilkan bahwa para tergugat tidak memenuhi perjanjian mengenai pinjaman maupun bunganya meskipun telah berulang kali ditagih oleh penggugat.

Terhadap gugatan tersebut, para tergugat telah mengajukan jawabannya dimana para tergugat mengakui adanya pinjaman tersebut disertai bunga dimana pinjaman tersebut telah jatuh tempo. Para tergugat juga menyatakan telah membayar bunga pinjaman sebanyak 10 (sepuluh) kali terhitung sejak Maret 1982 hingga Desember 1982 dengan total Rp.400.000,- (empat ratus ribu rupiah), sedangkan mengenai pokok pinjaman, diakui para tergugat belum dikembalikan karena usaha dagangnya macet. Para tergugat juga menyatakan pernah meminta kepada penggugat untuk mengembalikan uang pinjaman secara mengangsur akan tetapi ditolak penggugat.

Atas jawaban tersebut, penggugat mengajukan replik yang pada pokoknya membenarkan jawaban tergugat yaitu penggugat pernah menerima pembayaran bunga pinjaman sebesar Rp.400.000,- (empat ratus ribu rupiah), sedangkan pokok pinjaman belum dikembalikan para tergugat dimana terhadap replik tersebut para tergugat membenarkannya dan selanjutnya tidak mengajukan duplik.

Terhadap gugatan tersebut, majelis hakim tingkat pertama dalam putusannya Nomor : 12/G/1983/Pdt.Bla tanggal 23 Juni 1983 telah mengabulkan gugat penggugat untuk sebagian berupa menghukum tergugat untuk membayar hutang pokok sejumlah Rp.540.000,- (lima ratus empat puluh ribu rupiah) serta menghukum pula tergugat untuk membayar bunga dari pinjaman pokok 4 % tiap bulan semenjak perkara masuk di Pengadilan sampai perkara ini mempunyai kekuatan pasti (vide putusan PN halaman 7). Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim tingkat pertama berpendapat bahwa para tergugat telah melakukan ingkar janji (wanprestasi) atas perjanjian peminjaman uang (vide putusan PN halaman 6).

Majelis hakim tingkat tingkat pertama juga mempertimbangkan perihal telah dibayarkannya bunga pinjaman sebanyak Rp.400.000,- (empat ratus ribu rupiah) sebagai pelaksanaan perjanjian dan juga mempertimbangkan keadaan uang pokok pinjaman yang belum dikembalikan sebagai utang para tergugat (vide putusan PN halaman 6).

Atas putusan majelis hakim tingkat pertama tersebut, para tergugat mengajukan banding berdasarkan permohonan pernyataan banding tanggal 5 Juli 1983 disertai memori banding tanggal 1 Agustus 1983 dimana dalam putusannya Nomor : 523/1983/Pdt/PT.Smg tanggal 11 Pebruari 1985, majelis hakim tingkat banding menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama.

Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim tingkat banding menyatakan sependapat dengan pertimbangan hukum majelis hakim tingkat pertama dimana pengadilan tingkat pertama dalam putusan tersebut atas dasar serta pertimbangan-pertimbangan yang diuraikan di dalamnya sudah tepat dan benar dan oleh pengadilan tinggi dijadikan sebagai pertimbangannya sendiri, oleh karenanya putusan tersebut harus dikuatkan (vide putusan PT halaman 3).

Atas putusan tingkat banding tersebut, para tergugat/pembanding mengajukan permohonan kasasi berdasarkan

Akte Permohonan Kasasi Nomor : 12/Pdt/1983/PN.Bla tanggal 10 April 1985 disertai memori kasasi yang diserahkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri Bla pada tanggal 16 April 1985.

Dalam memori kasasi, pada pokoknya para tergugat/pembanding/pemohon kasasi mengemukakan alasan mengajukan kasasi sebagai berikut : bahwa judex factie salah menerapkan hukum, karena memang tergugat mengakui telah berhutang kepada penggugat, tetapi karena tergugat tidak berdagang lagi, dengan apa hutang tersebut akan dibayar sebab tempat tinggal saja masih mengontrak.

Atas alasan kasasi tersebut, majelis hakim tingkat kasasi menyatakan keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan (vide putusan MA halaman 4) dengan pertimbangan bahwa mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, halmana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam pelaksanaan hukum (vide putusan MA halaman 4).

Selanjutnya, majelis hakim tingkan kasasi berpendapat bahwa terlepas dari keberatan kasasi tersebut, Mahkamah Agung berdasarkan alasan sendiri membatalkan putusan Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri dan kemudian mengadili sendiri dengan menjatuhkan putusan berupa mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menghukum para tergugat secara tanggung renteng untuk membayar utangnya sebanyak Rp.194.000 (seratus sembilan puluh empat ribu rupiah) secara sekaligus.

Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim tingkat kasasi berpendapat bahwa “jika diperhatikan pinjam meminjam antara kedua

belah pihak maka bunga ditetapkan 10% hal ini adalah terlampau tinggi bahkan bertentangan dengan kepatutan dan keadilan mengingat tergugat II adalah purnawirawan dan tidak mempunyai penghasilan yang lain. Disamping itu ketentuan dalam perjanjian untuk

menyerahkan buku pembayaran pensiun sebagai jaminan juga bertentangan dengan kepatutan dan keadilan. Ternyata pula tergugat-tergugat telah membayar bunga sebanyak Rp.400.000,-“ (vide putusan

MA halaman 4-5).

Majelis hakim tingkat kasasi dengan menggunakan dasar ex aquo et bono kemudian menentukan bunga yang patut dan adil adalah 1 % per bulan sedangkan bunga yang telah dibayar dan diterima oleh penggugat sebesar Rp.400.000,- harus dianggap sebagai pembayaran pokok pinjaman, sehingga sisa yang harus dibayar lagi oleh para tergugat sebagai sisa pokok pinjaman adalah Rp.140.000,- + bunga Rp.54.000,- = Rp.194.000,- (vide putusan MA halaman 5).

Analisis Kasus :

Putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding dalam perkara tersebut memiliki kesamaan pertimbangan baik atas fakta maupun hukumnya dimana majelis hakim tingkat banding telah sependapat dengan pertimbangan hukum majelis hakim tingkat pertama dan telah mengambil alih pertimbangan hukum tersebut menjadi pertimbangan hukum dalam putusan tingkat banding. Sebab itu, analisis terhadap pertimbangan hukum majelis hakim tingkat pertama haruslah dibaca pula sebagai analisis terhadap pertimbangan hukum majelis hakim tingkat banding.

Putusan majelis hakim tingkat pertama yang mengabulkan gugatan penggugat dan memerintahkan agar para tergugat harus mengembalikan seluruh pokok pinjaman disertai sisa bunga yang belum dibayarkan adalah sikap majelis hakim menerapkan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata. Artinya, majelis hakim tingkat pertama menjadikan perjanjian antara penggugat dengan tergugat sebagai hukum yang wajib dipatuhi para pihak sesuai apa yang telah disepakati diantara mereka.

Dalam hal ini majelis hakim tidak melihat pada kepatutan dan kelayakan suku bunga yang diperjanjikan sebesar 10% per bulan

tersebut dan juga tidak mempertimbangkan keadaan tergugat yang mengalami kesulitan membayarkan utangnya. Bahkan majelis hakim tidak mempertimbangkan itikad baik tergugat meminta tambahan waktu untuk melunasi utangnya.

Apabila dicermati ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, terkandung syarat agar dapat diberlakukannya perjanjian dalam daya ikat sebagai undang-undang hanyalah perjanjian yang sah menurut hukum yaitu yang memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Berkaitan dengan besaran bunga pinjaman, seharusnya majelis

hakim tingkat pertama mempertimbangkannya dalam syarat “sebab yang halal” yaitu mempertimbangkan apakah suku bunga pinjaman

sebesar 10% per bulan yang diberlakukan hingga tergugat mampu mengembalikan pinjaman pokok adalah besaran bunga yang patut dan layak ataukah tidak. Tentang hal ini ternyata tidak dipertimbangkan majelis hakim tingkat pertama maupun tingkat banding.

Bahkan sesuai amar putusan, majelis hakim tingkat pertama juga menjatuhkan sanksi kepada tergugat berupa kewajiban tergugat membayarkan bunga dari pinjaman pokok sebesar 4 % tiap bulan terhitung sejak perkara masuk di pengadilan sampai mempunyai kekuatan pasti.

Berkaitan dengan bunga moratoir, majelis hakim tingkat pertama dalam menjatuhkan bunga moratoir tidak memuat dalam pertimbangan hukumnya alasan dijatuhkannya bunga moratoir maupun alasan penentuan besaran bunga moratoir sebesar 4 % tiap bulan. Seharusnya, majelis hakim tingkat pertama menyampaikan pendapat hukumnya atas pembebanan bunga moratoir disertai argumentasi hukum mengenai penentuan bunga moratoir sebesar 4 %.

Penyampaian argumentasi hukum yang jelas dan terstruktur bertujuan memberikan nilai kepastian hukum dalam putusan hakim sehingga tidak menimbulkan pertanyaan atau penafsiran atas putusan hakim. Hal ini penting sebab dalam perkara tersebut terdapat

perbedaan antara denda/penalti bunga yang dijatuhkan majelis hakim tingkat pertama dengan yang dipetitumkan penggugat.

Lain halnya dengan putusan majelis hakim tingkat pertama yang diperkuat majelis hakim tingkat banding, dalam putusan tingkat kasasi, meskipun majelis hakim tingkat kasasi menolak permohonan kasasi atas dasar materi yang dikasasikan tidak menjadi domain pemeriksaan kasasi, akan tetapi majelis hakim tingkat kasasi dengan menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, secara ex officio telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi dan kemudian mengadili sendiri bukan didasarkan pada alasan permohonan kasasi.

Majelis hakim tingkat kasasi telah mengangkat keadaan kemampuan para pihak dalam memenuhi perjanjian sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam putusan hakim. Sikap majelis hakim tingkat kasasi tersebut dapat pula dimaknai bahwa dalam mencantumkan klausula-klausula perjanjian haruslah mempertimbangkan kemampuan para pihak melaksanakan klausula-klausula tersebut sehingga perjanjian yang dibuat mereka adalah perjanjian yang hidup dan dapat dilaksanakan.

Hal lain yang dapat ditarik dari sikap majelis hakim tingkat kasasi tersebut adalah dalam hal penentuan besaran suku bunga pinjaman ataupun kredit harus disesuaikan dengan kepatutan dan kelayakan yang didasarkan pada kemampuan debitur membayarkan utangnya disertai bunga dan suku bunga kredit yang ditetapkan bank pemerintah pada saat perjanjian dibuat.299

299

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1253 K/Sip/1973 tanggal 14 Oktober 1976 memuat kaidah hukum : bunga yang diperjanjikan sebesar 20% sebulan atas pertimbangan perikemanusiaan dan keadilan, bunga yang dikabulkan adalah 3 % sebulan, sesuai dengan pinjaman pada bank-bank negara pada saat perjanjian berlangsung. Juga dapat dilihat Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1067 K/Pdt/1996 tanggal 9 Maret 2000 yang memberikan barometer mengenai kepatutan dan kelayakan suku bunga tidak hanya didasarkan pada kemampuan pihak berutang melunasi pinjamannya tetapi juga harus diperhatikan suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Pemerintah.

Berdasarkan alasan kepatutan dan kelayakan, Mahkamah Agung secara ex officio kemudian memutuskan bunga yang patut dan layak dalam perkara a quo adalah 1 % per bulan yang harus dibayar selama 10 bulan.

Penentuan bunga pinjaman yang patut dan layak sebesar 1% per bulan tersebut tidak dapat diterapkan secara kaku dalam semua perjanjian pinjam meminjam uang maupun perjanjian kredit bank sebab kepatutan dan kelayakan yang dimaksudkan adalah kepatutan dan kelayakan menurut kondisi dan keadaan masyarakat pada saat perjanjian tersebut dibuat dimana kondisi dan keadaan masyarakat selalu berkembang.

Sebagai perbandingan dapat dilihat putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1067 K/Pdt/1996 tanggal 9 Maret 2000 dalam perkara antara Singgih melawan Paul Boernadi Koesnadinata, dimana Mahkamah Agung berpendapat bahwa : walaupun sudah diperjanjikan dan disepakati oleh kedua belah pihak bahwa peminjam wajib membayar bunga sebesar 2,5 % setiap bulan, namun bunga tersebut patut disesuaikan dengan bunga yang berlaku di Bank Pemerintah yaitu sebesar 18 % setahun.

Penentuan bunga sebesar 18 % setahun sebagai bunga yang layak dan patut dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1067 K/Pdt/1996 tersebut jika diperhitungkan sebagai bunga per bulan adalah sebesar 1,5 % dimana lebih tinggi dari kepatutan dan kelayakan bunga per bulan yang diputuskan Mahkamah Agung dalam putusan Nomor : 3431 K/Pdt/1985.

Penggunaan alasan kepatutan dan kelayakan juga dapat ditemukan dalam putusan Mahkamah Agung lainnya, misalnya, putusan Mahkamah Agung Nomor : 3333 K/Pdt/2000 dalam perkara antara Antonius Ibau selaku Pemohon Kasasi, dahulu Penggugat/Terbanding melawan PT. Bunas Finance Indonesia dan PT. Bunas Finance Indonesia Tbk Samarinda selaku Para Termohon Kasasi, dahulu Para Tergugat/Pembanding, terdapat kaidah hukum :

Oleh karena Pemohon Kasasi/Penggugat asal telah melakukan pembayaran cicilan sebanyak 11 (sebelas) kali sebesar Rp.39.259.500,- (tiga puluh sembilan juta dua ratus lima puluh sembilan ribu lima ratus rupiah) sedangkan tunggakan pembayaran 3 (tiga) kali maka sesuai putusan Mahkamah Agung RI No. 935 K/Pdt/1985 adalah bertentangan dengan kepatutan dan keadilan apabila hak Pemohon Kasasi/Penggugat asal atas kendaraan mobil Izusu Panther tersebut dinyatakan lenyap hanya disebabkan adanya keterlambatan atau kesulitan pembayaran tanpa mempertimbangkan angsuran-angsuran yang sudah dibayar.300

Berdasarkan uraian di atas, perjanjian pinjam meminjam uang ataupun perjanjian kredit yang membebankan bunga pinjaman, haruslah sesuai dengan asas kepatutan dan kelayakan. Dengan demikian putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 289 K/Sip/1972 tanggal 22 Juli 1972 yang menyatakan : besarnya suku bunga pinjaman adalah sebagaimana yang telah diperjanjikan bersama, tidak dapat diterapkan secara mutlak dalam setiap perkara perjanjian pinjam meminjam uang maupun dalam perjanjian kredit bank dan hanya berlaku apabila bunga yang diperjanjikan tersebut memenuhi asas kepatutan dan kelayakan.

Fakta lainnya yang dipertimbangkan majelis hakim tingkat kasasi adalah perbuatan para tergugat telah membayar bunga sebanyak Rp.400.000,- (empat ratus ribu rupiah). Menurut penulis, fakta bahwa para tergugat telah membayar bunga sebanyak Rp.400.000,- (empat ratus ribu rupiah) menunjukkan adanya itikad baik301 dari para tergugat untuk tunduk pada perjanjian yang dibuatnya.

300

Putusan Mahkamah Agung Nomor : 3333 K/Pdt/2000 tanggal 31 Maret 2004 halaman 10.

301

Menurut Schut, itikad baik haruslah dikaitkan dengan fungsi kepatutan dan keadilan berupa :

1. Fungsi memperjelas/menjernihkan peraturan. 2. Fungsi membatasi/mengoreksi peraturan. 3. Fungsi memperluas/menambah peraturan. 4. Fungsi menerapkan/memberlakukan peraturan.

(Lihat Henry Pandapotan Panggabean, Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-Putusan Hukum Perikatan, Op.Cit, halaman 94).

Itikad baik para tergugat dapat pula disimpulkan dari dalil jawaban para tergugat (vide halaman 3 putusan PN Bla), dimana para tergugat pernah meminta kepada penggugat untuk mengembalikan uang pinjaman pokoknya secara mengangsur, tetapi ditolak oleh penggugat. Dalil jawaban tersebut ternyata tidak disangkal penggugat sehingga menunjukkan bahwa dalil jawaban tersebut adalah benar.

Tentang itikad baik, Mahkamah Agung dalam putusan yang lain, yaitu atas putusan Nomor : 3333 K/Pdt/2000 dalam perkara antara Antonius Ibau selaku Pemohon Kasasi, dahulu Penggugat/Terbanding melawan PT. Bunas Finance Indonesia dan PT. Bunas Finance Indonesia Tbk Samarinda selaku Para Termohon Kasasi, dahulu Para Tergugat/Pembanding, berpendapat bahwa :

perjanjian baku yang dibuat tersebut memanfaatkan ketidakberdayaan salah satu pihak (dalam hal ini pihak debitur) yaitu Pemohon Kasasi/Penggugat asal maka ketentuan-ketentuan yang memanfaatkan kelemahan debitur yaitu Pemohon Kasasi/Penggugat asal dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan yang tidak beritikad baik sehingga ketentuan tersebut sepatutnya dikesampingkan.302

Putusan Mahkamah Agung dalam perkara tersebut memberikan penegasan bahwa tugas hakim bukan sekedar memberikan kepastian hukum tetapi juga harus memberikan manfaat dan keadilan bagi pencari keadilan maupun masyarakat pada umumnya. Melalui putusan Mahkamah Agung tersebut, majelis hakim

302

Putusan Mahkamah Agung Nomor : 3333 K/Pdt/2000 tanggal 31 Maret 2004 halaman 10. Putusan tersebut dijatuhkan dalam perkara antara Antonius Ibau selaku Pemohon Kasasi, dahulu Penggugat/Terbanding melawan PT. Bunas Finance Indonesia dan PT. Bunas Finance Indonesia Tbk. Samarinda dengan pokok perkara adalah :

- Antara Penggugat dengan para Tergugat telah melakukan perjanjian pembiayaan konsumen nomor : 1100322 tanggal 3 Nopember 1997 atas 1 (satu) unit mobil Izusu Panther warna abu-abu, tahun 1997.

- Mobil tersebut telah ditarik oleh para Tergugat secara paksa dan tanpa sepengetahuan Penggugat oleh karena menunggak pembayaran selama 3 kali angsuran.

- Penggugat sudah beritikad baik untuk melunasi tunggakan tersebut berikut dendanya tetapi tergugat tidak member kesempatan.

- Perbuatan para tergugat tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian bagi penggugat baik kerugian materiil maupun kerugian immaterial.

tingkat kasasi telah meniadakan kesewenang-wenangan penggugat/termohon kasasi yang memanfaatkan kelemahan ekonomis tergugat/pemohon kasasi dan menempatkan kembali kepentingan para pihak pada kedudukan yang seimbang.

Berdasarkan analisis atas ketiga putusan lembaga yudikatif di atas, terlihat bahwa hakim dalam memutus perkara mengenai pembebanan bunga dalam perjanjian pinjam meminjam uang ataupun kredit telah memperhatikan asas keseimbangan kepentingan para pihak meskipun dalam perkara-perkara tertentu belum menjangkau tataran pemenuhan / pelaksanaan perjanjian.

Kaidah-kaidah hukum dalam putusan hakim harus dilihat kasus per kasus sebab setiap kasus memiliki karakteristiknya tersendiri. Misalnya, terhadap kasus dimana nasabah debitur dipandang “nakal” yaitu sengaja

memanfaatkan keadaan tidak menentu moneter negara untuk membatalkan perjanjian kredit padahal nasabah debitur tersebut memiliki kemampuan yang baik untuk membayarkan utang, maka kaidah hukum yang mewajibkan para pihak tunduk pada klausula perjanjian dapat digunakan untuk menyelamatkan perjanjian kredit bank sehingga tetap memberikan keseimbangan keuntungan bagi para pihak.

Terhadap pencantuman klausula “Penetapan dan Perhitungan Bunga

Bank Dilakukan Oleh Bank” dalam perjanjian kredit, penulis berpendapat bahwa pencantuman klausula tersebut telah memberikan ketidakpastian mengenai sistem perhitungan bunga kredit yang digunakan dalam suatu perjanjian. Hal ini jelas bertentangan dengan asas kepastian dimana perjanjian kredit bank haruslah memuat klausula yang terang dan jelas dan tidak menimbulkan penafsiran. Atas perjanjian kredit bank dimana nasabah debitur tidak mengetahui secara isi dan maksud dari perjanjian yang dibuat, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.303

Pencantuman klausula tersebut dalam praktik perkreditan bank digunakan pihak bank untuk secara sewenang-wenang menetapkan suku bunga kredit tanpa mempertimbangkan keadaan nasabah debitur. Selain itu,

303

klausula tersebut juga dijadikan benteng bagi pihak bank untuk menghindari pertanggungjawaban atas perlakuan sewenang-wenang dalam menetapkan suku bunga kredit yang tidak patut dan tidak layak.

Selanjutnya, pencantuman klausula tersebut juga telah dilarang oleh ketentuan Pasal 18 ayat 1 huruf g Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai pelarangan atas pencantuman klausula yang : menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.304

Larangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut ditujukan untuk melindungi kepentingan konsumen/nasabah debitur sekaligus termasuk didalamnya adalah pemberian perlindungan atas keseimbangan para pihak dalam

Dalam dokumen file unlocked (7) (Halaman 145-156)

Dokumen terkait