BAB IV
MERAYAKAN PERBEDAAN: FILSAFAT CINTA DALAM PERSPEKTIF PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Sejatinya di dalam pernikahan, perbedaan usia, suku, ras, golongan, kasta, profesi,
ukuran badan dan agama bukanlah masalah, yang terpenting ialah berbeda kelamin dan
saling mencintai.
-M. A., Salatiga
2016-Banyak yang melihat bahwa perbedaan adalah ancaman, tetapi di satu sisi perbedaan juga merupakan keuntungan. Perbedaan yang tidak dikelola dengan baik tentunya akan menjadi kekacauan dan konflik berkepanjangan. Namun perbedaan yang dikelola dengan unsur-unsur cinta, adalah baik adanya yang dapat menjamin kedamaian dan keharmonisan. Belajar dari alat musik gitar, dan paduan suara, berbeda nada dengan pengeloaan yang baik menghasilkan alunan musik yang indah. Perbedaan haruslah dirayakan bersama-sama sebagai simbol persatuan dalam keunikan masing-masing. Singkatnya, bersama itu tidak harus selalu sama.
4.1. Suatu Kritik: Beda Tapi Cinta
Pada dasarnya, manusia mencari seorang yang bisa dijadikan pasangan
hidup, baik itu laki-laki maupun perempuan. Secara evolusi, manusia melakukan
itu untuk meneruskan keturunan sebagai generasi penerus agar tidak terjadi
kepunahan ras manusia. Namun manusia tidak sesederhana itu, banyak sekali
Hubungan cinta seseorang akan berjalan dengan baik ketika kedua belah
pihak sepakat antara laki-laki dan perempuan. Namun apa yang terjadi apabila salah
satu pihak atau kedua belah pihak (keluarga, agama) menolak dengan alasan
“jangan, kita berbeda agama” atau “terang dan gelap tidak mungkin menyatu” atau
“di luar dari islam ialah kafir?” Dengan melihat fakta tersebut, tidak ada salahnya
jika menoleh pada masa Khalil Gibran.
Gibran menyebut hukum adat atau kebiasaan dan tradisi yang usang hidup
sebagai sebuah bentuk perbudakan. Pada zaman Gibran sampai saat ini, masih
banyak orang yang menganggap bahwa adat kebiasaan sebagai satu-satunya sumber
kebenaran (doktrin-doktrin) yang mesti ditaati dihormati meski substansinya
menyimpang jauh dari norma tersebut. Bahwa sesungguhnya, doktrin dan hukum
adat idealnya harus berangkat dari kepentingan kemanusiaan dan harus pula
menjunjung tinggi nilai-nilai asasi manusia.1 Dalam menyoal tradisi tersebut, Gibran angkat bicara katanya, aku temukan perbudakan yang mengikat kehidupan
manusia dengan kelampauan jaman para orang tua, dan mendesaknya tunduk pada
tradisi dengan menempatkan semangat kuno dalam raga belia.2 Gibran menyebut tradisi hukum adat atau doktrin yang dihidupi secara turun-temurun sebagai bentuk
perbudakan buta karena keduanya (adat dan doktrin) jauh dari substansi yang
1 Hal tersebut senada dengan hakikat dari hadirnya filsafat. Filsafat adalah jalan untuk mewujudkan hidup rasional dan damai. Filsafat tidak memberikan dogma melainkan sebuah undangan untuk bersikap dan berperilaku terbuka, kritis dialogis dan berkomitmen untuk memperjuangkan hidup bersama yang damai. Berfilsafat merupakan perjalanan hidup manusia untuk semakin menjadi dirinya yang bermakna sosial dan universal, terbebas dari belenggu kepentingan-kepentingan individual yang irasional. Hidup rasional identik dengan hidup sosial, dialogis dan damai. Dialog merupakan merupakan jalan damai yang menempatkan sesama secara sederajat. Lihat dalam buku, C.B. Mulyatno, Filsafat Perdamaian: Bijak Bersama Eric Weil (Yogyakarta: Kanisius, 2012), 99.
seharusnya memberikan dan menunjang nilai-nilai kemanusiaan agar manusia
dapat mengekspresikan cintanya bersama dengan orang dicintainya, tetapi justru
sebaliknya menjadi pembelenggu kebebasan manusia. Menyetir pernyataan Gibran,
penulis pikir bahwa, salah satu contoh konkret dari perbudakan buta yang dimaksud
oleh Gibran dalam konteks kekinian ialah adanya larangan menikah beda agama
dari orang tua, pendeta, ustad, ustadja petinggi agama dan negara. Dengan tindakan
seperti itu, tanpa disadari agama bisa mendominasi para pemeluknya sehingga
hanya terkesan patuh tetapi tidak kritis.3
Di sini, agama tetap menjadi relevan ketika mampu menjadi inspirasi bagi
wacana kritis, bukan menjadi pembela konservatisme dan dogmatisme. Agama
harus membantu membuka pikiran kritis.4 Seharusnya agama mendorong semua umatnya untuk hidup dan menerima pluralitas agama sehingga, the other atau yang
berbeda atau pemeluk agama lain justru menjadi momen moral yang
membangkitkan tanggung jawab, bukan kebencian.
Dalam konteks ini, pernikahan adalah kelanjutan dari cinta. Sementara di
dalam pernikahan, cinta merupakan dasar yang kokoh untuk keberlangsungan
keutuhan pernikahan baik dalam pernikahan Islam, Kristen, maupun pernikahan
beda agama. Harus diakui bahwa pada dasarnya manusia diciptakan untuk hidup
3Patuh tetapi tidak kritis meliki arti bahwa orang yang dalam keadaan tersebut cenderung bersikap fanatik, munafik, tidak toleran, tidak kuratif dan kreatif.
berpasang-pasangan. Hal ini nampak jelas dalam kodrat sebagai manusia yang
memiliki jenis kelamin tertentu, ditambah lagi dengan ketertarikan pada jenis
kelamin lainnya.
Menegaskan pernyataan di atas, dengan menafsir konteks penciptaan dalam
kitab Kejadian, di sana tergambar jelas suatu program Tuhan, dimana pada
hakikatnya laki-laki diciptakan untuk perempuan dan perempuan diciptakan untuk
saling memberi topangan, menjadi penolong yang sepadan bagi laki-laki. Kata
sepadan memiliki maksud bahwa, antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang
lebih tinggi ataupun lebih rendah kemanusiaanya, mereka sama. Hal ini juga
menjadi suatu titik berangkat untuk mengkritisi “orang-orang” yang masih hidup
dalam belenggu patriarki, yang berpendapat bahwa dalam pernikahan perempuan
harus selalu tunduk dan mengikuti kaum laki-laki.
Secara bersahaja, Allah menghendaki, lalu memberkati terjalinnya cinta
antara laki-laki dan perempuan tanpa pandang agama. Jika konteks tersebut ditarik
masuk dalam konteks masa kini, maka timbul pertanyaan bahwa, bagi yang hendak
memisahkan mereka yang saling mencinta, apakah dapat dikatakan jahat karena
mencoba menghalangi dua insan Tuhan yang hendak menyatukan cintanya?
Menurut penulis jawabannya ialah “tidak”! Karena sesungguhnya mereka lebih dari
itu. Karena Tuhan pun tidak begitu picik seperti melarang orang yang saling
mencintai untuk menikah. Tuhan menciptakan cinta di antara manusia tentu ada
alasannya. Cinta kasih secara fisik atau cinta kasih dalam pernikahan adalah bagian
yang saling mengasihi hanya demi mencapai diri-Nya. Sebab mengasihi sesama,
istri dan suami sama dengan mengasihi Tuhan.
Atas dasar inilah penulis mau katakan bahwa, agama hanya berhak
mengatur model tata ibadah, jadwal-jadwal kebaktian, khotbah-khotbah, model
bangunan tempat ibadah, karena agama tidak berhak mengatur dengan siapa orang
menikah, kecuali menjadi wadah agar tidak ada kesan karena berebut cinta Tuhan,
agama saling membenci. Terlepas dari mereka yang ingin membujang. Asalkan
sudah saling cinta dan sayang No Problem! Menikahlah bagi yang hendak menikah.
Sebab, tidak ada yang buruk dalam cinta dan pernikahan termasuk pernikahan beda
agama kecuali, hanya memuasakan kesenangan fisik, dan ego semata.
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, jika pasangan
suami-istri dapat memperlakukan pasangannya dengan hormat dan saling menghargai,
saling toleransi, melahirkan anak-anak dan mendidik anak-anak untuk meneruskan
nama baik keluarga, hidup rukun, hidup dalam kedamaian dengan keluarga, berbaur
dengan masyarakat, maka pernikahan tersebut secara teologis dan sosiologis baik
adanya. Sebab di dalam cinta, perbedaan suku dan agama menjadi lebih bermakna.
Cinta sejati merupakan hubungan di mana individu bersifat individu sekaligus
bersifat sosial.5 Oleh karena pernikahan ini baik adanya, maka keliru jika, menolak pernikahan beda dengan berbagai propaganda kutip-mengutip lalu melegitimasi
teks kitab suci dan menganggapnya sebagai suatu kebenaran final.
Setelah melakukan wawancara dan observasi, penulis menemukan bahwa
di dalam pernikahan beda agama tidak selamanya berujung pada kehancuran rumah
tangga melainkan, lewat pernikahan tersebut dua individu yang berbeda jenis
kelamin, agama, menjalaninya ibarat sebuah muara cinta kasih dan paduan
komitmen. Bagi mereka, perbedaan tersebut tetap dijadikan sebagai tumpuan
kebahagiaan dalam mengarungi perjalanan bathtera rumahtangga. Bahkan dari
pengalaman ini, penulis menyimpulakan bahwa, anak dari hasil pernikahan beda
agama relatif lebih toleran dalam memaknai perbedaan, dibanding mereka yang
dibesarkan di pondok-pondok pesantren atau keluarga se-agama.
Hal di atas, diperkuat oleh teori cinta Erick Fromm yang telah penulis
paparkan dalam bab II, menurutnya, mereka yang telah mewujudkan kerukunan dan
persatuan antara umat manusia, berarti telah mampu menembus batas-batas yang
memisahkan dirinya dengan orang lain. Kemudian didukung oleh pendapat John
Caputo yang mengatakan bahwa, sebab cinta bukanlah tawar-menawar melainkan
pemberian diri yang tak bersyarat; bukan investasi demi masa depan, melainkan
komitmen, apapun yang terjadi di masa depan.6 Kesemuanya ini hendak mengungkapkan bahwa, dalam cinta pernikahan beda agama kita diajar untuk
menjadi manusia, jujur, tulus, terbuka dengan sikap saling menerima satu sama lain.
Dari peryataan ini, meski agama mencoba menutup ruang dialog dengan berbagai
klaim-klaim kebenrannya masing-masing yang didasarkan pada kitab suci, lalu
memberitakan hal itu dengan tujuan agar semua orang menerimanya.7Akan tetapi,
6Lihat pada Bab II Teori Cinta. Di sana, penulis memaparkan teori para okoh yang membahas mengenai filsafat cinta (Erik Fromm, Jhon D Caputo)
sadar atau tidak sadar bahwa sesungguhnya cinta telah membuka ruang bagi yang
berbeda agama untuk berbaur dan berdialog.
Keterbukaan tersebut penulis temukan dari hasil wawancara dengan
beberapa informan yang kemudian keterbukaan tersebut dipraktekkan salah satunya
lewat keterlibatan “aktif” dalam menyambut hari-hari besar keagamaan
masing-masing. Bagi mereka, perbedaan tersebut tetap dijadikan tumpuan kebahagiaan bagi
pasangan yang menjalaninya. Kebahagiaan, keharmonisan yang nampak dalam
pernikahan beda agama sekaligus hendak mengungkapkan bahwa penggunaan
istilah“terang dan gelap tak dapat menyatu”atau“di luar dari Islam adalah kafir”
tidak relevan dalam pernikahan beda agama. Jika hal tersebut masih dianggap
relevan maka, terimalah kenyataan bahwa kita (baca:Islam- Kristen) sama- sama
kafir.
Dalam pernikahan, yang diharapkan ialah hubungan erat yang intim, hangat,
dan jujur. Jika dilandasi cinta, relasi yang intim, hangat dan jujur, lebih dapat
diwujudkan. Dengan demikian dapat dirumuskan beberapa komponen di dalam
cinta dan pernikahan beda agama yaitu; komitmen, kestiaan, tanggungjawab,
kekeluargaan, toleransi, keakraban dan nafsu. Komitmen merupakan komponen
kognitif. Pada tahap awal hubungan pria dan wanita dalam mengambil keputusan,
memilih, menjalin, menetapkan untuk melangsungkan pernikahan untuk terus
bersama, bertanggung jawab serta mencintai orang yang dinikahinya atau menikahi
orang yang dicintainya. Kesetiaan meliputi keterikatan yang erat terhadap orang
yang dicintainya. Lalu, tanggungjawab merupakan tindakan nyata dalam
membina secara kontinu relasi terhadap keluarga suami, istri dan anak-anak, juga
terhadap keluarga besar kedua belah pihak. Hal ini menunjuk pada perasaan
kedekatan atau ketertarikan dengan seseorang dan mencakup kemampuan satu
sama lain untuk menceritakan pikiran-pikiran terdalam, kecemasan-kecemasan,
harapan-harapan serta berbagi dalam duka, suka dan canda tawa. Selalin itu,
keakraban juga bersangkut paut mengenai kemampuan berbaur dengan orang-orang
yang ada di sekitarnya, termasuk tetangga. Sementara, nafsu merupakan komponen
motivasional. Hal ini menunjuk pada aspek romantis dan seksual dalam hubungan.
Nafsu juga merupakan gejolak fisiologis dan kebutuhan untuk bersatu dengan yang
dicintai.8
Utuhnya setiap pernikahan maka penting untuk menghidupkan
komponen-komponen tersebut sebagai sebuah usaha “menjadi”. Lewat sikap saling mencintai,
saling menerima, saling menghargai, saling menghormati itulah yang menjadi nafas
dari pernikahan beda agama. Hal ini kemudian bisa dijadikan contoh hidup dalam
kemajemukan beragama khususnya di Indonesia terlebih khusus lagi bagi hubungan
Islam- Kristen yang saat ini semakin kacau-balau.
Jika pasangan yang menikah seagama dapat melebarkan, memperluas relasi
keluarga secara akrab dengan sebutan mertua, ipar, keponakan, keluarga. Mengapa
pernikahan beda agama tidak? Sebenarnya pernikahan beda agama telah menjadi
sarana yang sekaligus akses yang hendak mendamaikan kedua belah pihak secara
kolektif yaitu keluarga dari masing-masing pasangan(Islam–Kristen). Pernikahan
ini juga dapat dijadikan wadah untuk mempertemukan, berdialog, saling berjabat
tangan dalam khazanah silaturahmi, asalkan ada kesadaran, dan keterbukaan
semuanya akan baik adanya. Jangan malah sebaliknya, karena berebut cinta Tuhan
keluarga, agama, dan masyarakat malah saling memusuhi.
Senada dengan itu, penulis mengutip “kontemplasi” Oktoviandy, sebagai
suatu lanjutan kritik, yang menurut penulis relevan dan masih berkorelasi untuk
melihat lebih jauh suatu gagasandi balik kata “beda tapi cinta”, yang diberi judul:
Pernikahan Beda Agama: Boleh Oleh Tuhan, Dilarang Oleh Masyarakat dan Agama?
Jika Tuhan itu adalah kasih dan sumber kasih, maka dengan kasih yang bersumber dari-Nya itulah, kita bisa mengasihi-Nya, sesama manusia, dan diri sendiri dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan raga kita. Kasih jelas tidak membuat kita berjarak_bersekat dengan Tuhan, diri sendiri, dan dengan sesama. Kasih Tuhan itu cair dan mengalir ke semua orang, dianugerahkan bagi semua, dengan tidak memandang muka/wadahnya, termasuk wadah yang dinamakan agama itu. Jika memang demikian, lantas apa dasar dari kewenangan masyarakat dan agama menyekap, menyekat, memagar, dan atau membangun tembok pemisah atas relasi kasih yang jelas (oleh Tuhan) diizinkan.
Satu-satunya alasan agama itu ada, dilayakkan ada, adalah untuk membantu setiap orang untuk bisa bertuhan dengan otentik, dan lalu menjadikan setiap orang itu dapat merealisasikan kemanusiaannya dengan optimal kepada Tuhan, sesamanya, dan dirinya sendiri. Bukankah kasih, cinta mencintai, adalah nilai ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus, yang layak dibentang dan diberdayakan seluas dan seoptimal mungkin? Jika ya, lakukanlah dengan segenap. Saat Tuhan diakui berdaulat di dalam masyarakat dan agama, maka biarlah kasih-Nya--yang mengizinkan relasi cinta itu tanpa sekat, pagar, dan dinding--pun berdaulat penuh, tanpa interupsi. Ketuhanan dan kemanusiaan yang otentik, dengan kasih sebagai spiritnya tadi, tidak boleh dihalangi oleh agama, malah harus dioptimalkannya. Alasan perbedaan agama, tidak boleh, dan jelas tidak masuk akal untuk dijadikan alasan penolakan atas relasi cinta, yang di-iya-kan oleh Tuhan dan kemanusiaan. Sekiranya setiap orang mengatakan "kukasihi kau dengan kasih Tuhan", bukan dengan segenap agama, dogma, akta, dan tata cara; tapi dengan sepenuh hati, jiwa, akal budi, dan ragaku. Tuhan dan kemanusiaanku mengizinkannya, maka masyarakat dan agama mesti turut, tanpa cemberut.9
9 Oktoviandy Rantelino, Pernikahan Beda Agama: Boleh Oleh Tuhan, Dilarang Oleh
Singkatnya, banyak orang yang masih menganggap bahwa agama dan
kemanusiaan itu terpisah, kalaupun ia menyatu—kesatuannya pun sering berpihak
berat sebelah kepada yang seagama dangan berbagai fatwa. Fatwa “ini dan itu”,
telah menjadi racun di dunia ini, bahkan dengan tidak segan orang rela
mengorbankan (bom bunuh diri), saling bunuh, demi membela agama dan
Tuhannya.
Sebagai solusi, apa yang telah diurai akal, jangan lagi dikusutkan fatwa. Apa
yang hanya bisa diyakini, jangan paksakan sebagai bukti.10 Intinya, Tidak ada perdamaian di dunia, tanpa perdamaian antar agama.11Hal yang menarik dikatakan oleh Sabrina Maharani dalam bukunya bahwa, “cara yang paling baik untuk
menyingkirkan musuhmu adalah membuatnya menjadi temanmu”.12 Apalagi jika mencintainya lalu menjadikannya istri atau suami. Jika semua ini dapat dilakukan
maka ini akan menjadi inti dari pengaplikasian khotbah Yesus secara universal
(Mat. 22:37-40).
4.2. Refleksi Pernikahan Beda Agama
Dari berbagai pengalaman yang penulis jumpai, berbaur bersama mereka
yang menikah beda agama, penulis yakin dan sangat yakin bahwa, anak yang lahir
dari rahim pernikahan beda agama, akan lebih toleran dibanding mereka yang
https://www.facebook.com/oktoviandy.rantelino?fref=ts
10Roki Gerung, menulis statusnya di Facebook pada tanggal, 06 Oktober 2013. 11Hans Kung dan Karl Josef Kuschel, Etik Global, (Yogyakarta, Sisiphus dan Pustaka Belajar, 1999), 164.
dididik dan dibesarkan di gereja ataupun di pesantren. Alasannya, “ibu dan ayah
penulis saja berbeda, mereka saling mencintai dan menyayangi, mereka adalah
contoh hidup bagi penulis untuk mengerti bahwa perbedaan itu indah”.13 Bagi Kristen ataupun Islam sejak lahir dan sudah meresa toleran, tidak usah tersinggung,
bukan anda yang penulis maksud.
Apakah pernikahan beda agama adalah keharusan? Tidak, tidak sema sekali,
tapi paling tidak jangan mengalang-halangi mereka yang mau melakukannya atas
dasar cinta. Itu maksud penulis. Mungkin perlu penulis tegaskan lagi, ini bukan
pernikahan pindah agama yang sering bermasalah itu, ini adalah pernikahan beda
agama. Maksudnya, bersatunya antara aku dan kamu, atau tidak ada adalah lagi aku
dan kamu yang ada hanyalah “kita”. Atau sama seperti, warna yang sering berada
di langit, merah, kuning, hijau, biru, jingga, ungu, yang disebut dengan satu kata
“pelangi”. Tidak ada lagi laskar jihad atau laskar Kristus, melainkan telah
bertransformasi menjadi laskar pelangi.
Berikut adalah lelucon, yang mengisahkan pasangan suami istri berbeda
agama saat menikmati malam pertamanya.
Wina(Kristen) dan Mahmud(Islam), mereka adalah salah satu pasangan beda agama yang menikah meski, harus melewati perjalanan panjang karena berbeda agama. Saat itu, malam mulai dingin karena hujan rintik-rintik. Mud, (panggil Wina manja kepada suaminya), iya sayang (jawab Mahmud). Taukah kamu, bahwa dalam kepercayaanku, dikatakan bahwa, terang dan gelap tidak mungkin menyatu, (kata, Wina). Begitupun dengan kepercayaanku bahwa, haram hukumnya menikahi orang yang kafir(balas Mahmud). Tapi dalam kepercayaanku dikatakan, wajib hukumnya suami dan istri saling memuaskan lahir dan bathin(Mahmud memecah suana). Dalam kepercayaanku juga dikatakan, istri wajib melayani suaminya, dan begitupun sebaliknya(Wina berbisik secara perlahan, namun tetap didengar
oleh suaminya). Sayang, bagaimana kalau kita memulainya sekarang?(ucap Mahmud). Semua terserah padamu sayang(kata Wina sambil memegang tangan suaminya). Selayaknya pasangan suami-istri, mereka menikmati dinginnya malam itu dengan penuh gairah dan cinta. Berselang beberapa menit, terdengar suara pelan, bercampur rintihan namun tegas, “Sayang, hari ini saya mengerti, bahwa sebenarnya Paulus berbohong, rupanya terang dan gelap bisa menyatu, tidak hanya itu, rasanya juga nikmat”(ucap Wina). “Iya sayang, akupun merasakan hal yang sama, rupanya, halal dan haram rasanya sama saja, entah apa yang mereka pikirkan”(balas Mahmud).
Dari lelucon di atas, tidaklah berlebihan jika penulismengatakan, “Sejatinya
di dalam pernikahan, perbedaan usia, suku, ras, golongan, kasta, profesi, ukuran
badan dan agama bukanlah masalah, yang terpenting ialah berbeda kelamin dan
saling mencintai”. Dalam ajarannya, Islam dan Kristen percaya bahwa, manusia
dan seluruh organ tubuh adalah hasil ciptaan Tuhan, termasuk alat reproduksi. Lalu
alasan apalagi, agama yang buatan manusia itu, membatasi ciptaan Tuhan, untuk
saling melengkapi satu sama lain(baca: laki-laki dan perempuan)? tidak hanya itu,
Tuhan juga menciptakan cinta, agar ciptaan-Nya itu, bisa saling menyayangi,
bertanggung jawab satu sama lain dalam ikatan pernikahan. Caputo menegaskan
bahwa, bukankah, indah rasanya melihat, saat suami mengantar isterinya ke gereja?
Bukankah ini suatu keromatisan, ketika hari-hari besar keagaamaan, pada saat
puasa, sang istri membangunkan, menyiapkan makanan sahur dan santapan berbuka
untuk suaminya? Saat lebaran dan natalan, keluarga dari masing-masing agama
berkumpul di satu rumah saling silahturahmi dan berdialog. Bukankah syahdu
kedengarannya, ketika anak dari hasil pernikahan beda agama ini, memanggil
kakek, nenek, om dan tante sebagai sebuah perluasan primordial antar agama?
yang berbeda agama. Sepupu dan keluarga lain adalah bonus yang tidak bisa
dielakkan.14
Dengan mengutip Caputo, Tuhan menciptakan cinta di antara manusia tentu
ada alasannya. Cinta kasih secara fisik atau cinta kasih dalam pernikahan adalah
bagian dari cinta kasih Tuhan. Tuhan pun tidak begitu kejam seperti memisahkan
pasangan yang saling mengasihi hanya demi mencapai diri-Nya. Dari pernyataan
ini, penulis mau mengatakan bahwa, sebab mengasihi sesama, istri dan suami sama
dengan mengasihi Tuhan. Mengutip Erich Fromm, katanya, Mereka yang telah
mewujudkan kerukunan dan persatuan antara umat manusia, berarti telah mampu
menembus batas-batas yang memisahkan dirinya dengan orang lain.15 Artinya, cinta itu harus nyata dalam ruang privat maupun ruang publik. Jangan lagi ada
identitas palsu. Seperti bom, kita tidak tahu kapan ia meledak menjadi kebencian
bahkan konflik. Dan kesemuanya ini akan mudah dipahami dan dipraktekkan jika
kekuatan cinta dan mencintai menyatu dalam kata dan perbuatan, lalu
menjadikannya bukan hanya sekedar pendangan hidup melainkan cara hidup.
4.2. Cinta dalam Secangkir Kopi
Kehidupan memang selalu membawa manusia berjumpa pada realitas
pengalaman yang alamiah, sehingga lewat pengalaman tersebut, tidak jarang
manusia menemukan sebagian dari makna hidup. Begitupun yang dialami oleh
seorang ipawan Abad 20. Sebut saja Albert Enstein. Enstein memiliki rasa yang
mendalam akan adanya keharmonisan alam semesta dan ia berbicara mengenai
14Hal ini merupakan aktivitas yang penulis dapatkan dari hasil wawancara dan observasi, terhadap mereka yang menikah berbeda agama, di Kolaka (Sulawesi Tenggara)
perasaan religiusnya sebagai salah satu dari ke-takjuban dan ke-terpesonaan pada
keharmonisan hukum alam. Ia memiliki keyakinan mendalam mengenai
kerasionalan alam semesta.16 Bahkan pengalaman tersebut serupa dengan kontemplasi Ignatius untuk memperoleh cinta terhadap Allah, katanya:
“Agama saya terdiri dari kekaguman yang bersahaja atas adanya roh unggul yang tak ada batasnya, yang menyingkapkan diri dalam rincian kecil- kecil yang dapat kita cerap dengan pikiran kita yang rapuh dan lemah. Keyakinan yang terasa amat emosional pada kehadiran daya nalar yang unggul yang tersingkap dalam alam semesta yang tak dapat dipahami itu membentuk ide saya mengenai Allah”17
Begitu pun yang penulis jumpai dalam realitas kehidupan. Dan coba penulis
bahasakan lewat refleksi secangkir kopi:18
Sungguh sangat berat untuk memulai kata dan kalimat pertama, mungkin
ini disebabkan oleh kurangnya kosakata yang tersimpan di kepala, atau memang
cinta itu sesuatu paten misterius. Di pagi itu, Penulis mencoba memikirkan apa itu
cinta dan maknanya, namun tak juga ada jawaban. Memikirkan dan terus
berkontemplasi, tak ada yang lain selain mencari tahu jawabnya. Kebingungan ini
dimulai dari sebuah pertanyaan yaitu, mengapa cinta dilarang menyatu dalam
perbedaan agama? Mengapa kebanyakan orang rela melepaskan cintanya demi
agamanya, lalu membiarkannya begitu saja dan membuat dirinya tersiksa atas
keputusannya? Mereka melupakan semua impiannya untuk membina satu
16Dikutip oleh, Willyam Johnston, dalam Teologi Mistik Ilmu Cinta, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 117
17Ibid, 78
hubungan rumah tangga yang penuh cinta dan harmonis. Sungguh hal ini tidak saya
mengerti. Mungkin saja doktrin masing-masing agama yang menjadi alasan
terkuatnya. Perbedaan, perbedaan dan perbedaan. Kata itu seperti penyakit yang
selalu diderita oleh cinta, sungguh belum ada obatnya.
Masih dalam perenungan di pagi itu, namun seperti biasanya, adalah hal
yang kurang, jika saya bangun pagi tanpa secangkir kopi karena sudah kebiasaan.
Saat saya, meneguk “kopi” yang telah tersedia di hadapan, saya sempat terdiam,
kemudian saya tertawa dengan begitu gembiranya.
Kopi ini telah mengantar saya pada suatu kenyataan bahwa cinta itu
semestinya tidak dipikirkan, melainkan cinta itu harus dinikmati seperti menikmati
nikmatnya, hangatnya secangkir kopi di pagi hari. Lalu saya tersentak dan baru
menyadari bahwa di dalam secangkir kopi terdapat perbedaan nyata yang dapat
melebur sempurna. Artinya tidak saling membunuh rasa melainkan saling
melengkapi rasa. Kopi dengan hitam dan pahitnya, dipadukan dengan gula yang
putih dengan manisnya, lalu diaduk bersama dengan air, terjadilah proses
harmonisasi yang kemudian memberi rasa, cita rasa yang sempurna.
Kopi itu, adalah simbol orang yang selalu dianggap gelap, lalu gula
merupakan simbol bagi yang merasa terang, kemudian air adalah simbol cinta yang
butuh proses pengadukan atau memadukan untuk menjalin, mempertemukan,
meleburkan, mempersatukan. Oleh karena itu, agama seharusnya menjadi wadah
yang menampung dan kemudian disimbolkan seperti gelas atau cangkir.
Refleksi ini mengantar penulis kepada suatu nilai yang di dalamnya terdapat
“kontradiktif” namun sebagai manusia-manusia dewasa yang mahir dan kreatif
dalam ber- olah rasa, olah rasio, olah raga, “kontradiktif” tersebut dianggapnya
sebagai potensi besar dalam mengatur pola tindak untuk mendatangkan harmoni.
Betapa indahnya perbedaan dalam cinta. Sebagai sebuah bentuk penegasan Fromm
mengatakan, cinta adalah perhatian aktif terhadap pertumbuhan dari orang yang
dicinta. Namun ia tidak bisa kebalikannya; karena hidup itu sendiri adalah sebuah
proses untuk menjadi, penyatuan dan integrasi, kepada sesuatu yang berbeda.19
Penulis pikir, kopi dalam refleksi ini dan pernikahan beda agama adalah proses
menjadi sebagai suatu bentuk pemaknaan hidup kepada yang berbeda.
Sama seperti mereka yang menikah beda agama, meski dari awal perjalanan
cintanya diterpa dengan berbagai stigma negatif, namun karena kekuatan cinta dan
keberanian yang mereka miliki sehingga, perbedaan tersebut dapat dikelola dan
hasilnya membawa suasana baru untuk mendekatkan, menyambung tali
silahtuhrahmi antara keluarga masing-masing yang berbeda. Akan tetapi, sikap
sikap konservatisme mencoba menutup ruang tersebut. Dengan mengutip Caputo,
ia menyatakan bahwa, kita dituntut untuk bertindak, tetapi keputusan-keputusan
yang kita ambil senantiasa diselubungi perasaan yang tidak enak dan perasaan
ketidaktahuan.20Padahal, pernikahan ini (beda agama) memberi andil positif untuk terjalinnya komunikasi, dialog (Islam-Kristen). Semestinya, agama, orang tua dan
Negara sadar akan fenomena tersebut sehingga diharapkan agar mereka
menerus berupaya untuk membuka diri pada suatu nilai kemanusiaan demi
mewujudkan perdamaian demi kesejahteraan/ keharmonisan bersama.
4.3. Cinta dan Kemanusiaan
Tidak mungkin menemukan kemanusiaan tanpa mencintai. Bagi sebagian
orang pernyataan ini susah untuk diterima, bukan karena mustahil tetapi malas
untuk memulai mencobanya, salah satu alasannya karena “berbeda”. Fromm
mengatakan, sebenarnya, tanpa sedikit pun cinta terhadap kemanusiaan tak ada satu
pun individu atau kebudayaan yang bisa eksis.21 Konflik dan dan perang yang pernah terjadi di Indonesia adalah bukti bahwa tanpa cinta kemanusiaan setara
dengan memperlakukan binatang sehingga nyawa manusia dianggap tidak
berharga. Pertanyaannya, dimana kemanusiaan yang agama masing-masing
ajarkan?
Dari kasus ini, ada beberapa hambatan yang penulis temui dari hasil
pengamatan baik itu melalui tontan, ataupun berita-berita yang tersebar di media
sosial, pasalnya kebanyakan orang lebih “taat” dan menganggap agama, kitab suci
lebih “tinggi” dibanding kemanusiaan. Padahal jika kita meminjam perkataan
Yesus di sana jelas dikatakan bahwa, . . . hukum pertama ialah kasihilah Tuhan
Allahmu dengan segenap hatimu dan akal budimu, lalu hukum kedua yang sama
dengan itu kasihilah sesamamu manmusia. Di sana jelas dikatakan bahwa, hukum
pertama tidak lebih rendah dibanding hukum kedua, yaitu menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan. Senada dengan itu, di dalam Islam pula dikatakan bahwa, . . .
adapun orang-orang yang beriman itu, sangat dalam kecintaan mereka kepada Allah
(Al-Baqarah 2: 165). Dengan kata lain, Allah adalah Dzat yang menampilkan
dirinya sendiri, lebih sebagai Dzat yang indah dan mempesona serta menimbulkan
cinta kasih, daripada suatu misteri dahsyat, sehingga dalam sebuah hadist dikatakan
bahwa, Allah adalah Cinta.22 Menegaskan kembali pernyataan ini, penulis mengutip Caputo katanya, Tuhan adalah nama lain dari kasih.23 Bagi yang mengatakan mencintai Tuhan maka wajib hukumnya pula mencintai kemanusiaan.
Dari penjelasan ini, mengenai pernikahan beda agama, penulis tidak berani
mengatan bahwa semua pasangan yang menikah beda agama sudah 100 persen
menghidupi nilai-nilai kemanusiaan, sementara pasangan yang menikah seagama
menciderai nilai-nilai kemanusiaan. Akan tetapi, kecenderungan yang penulis
temukan dalam penelitian(fokus penulis), mereka yang menikah beda agama telah
mencoba melihat perbedaan secara arif. Meski berbeda suku dan agama mereka
tetap saling mencintai satu sama lain, menghargai perbedaan dan tidak saling
menbenci. Dari situ kita bisa berasumsi bahwa mereka telah menjadikan pernikahan
sebagai wadah guna menjunjung tinggi makna perbedaan untuk terciptanya suatu
dimensi kesetaraan dan kemanusiaan. Artinya, di dalam ikatan cinta, mereka sama
di mata hukum dan Tuhan. Dalam konteks agama, kesetaraan dipandang berarti
“sama-sama anak Allah, sama-sama insani Ilahi” di dalamnya itu ada kesatuan
22Peryataan di atas, sebenranya hendak mempertegas tentang wajah keislaman, sekaligus mengkritis Islam masa kini karena pada dasarnya, dalam Islam Justru lebih memujikan orientasi cinta daripada orientasi yang didominasi oleh rasa takut. Meski demikian Islam sebagai suatu agama yang secara eksoteris melulu berorientas pada pada nomos(syari’ahdalam arti yang sempit) dan kering dari orientasi cinta(hubb). Haidar Bagir dalam John D Caputo, Agama Cinta Agama Masa Depan, . . . x-xi
namun tetap merupakan entitas yang unik. Mewujudkan kemanusian, setiap
perbedaan individu harus tetap saling menghormati.
Meski tidak belajar teori pluralisme secara mendalam, namun mereka yang
menikah beda agama telah mempraktekkannya dalam kehidupan keseharian dan
dalam rumah tangga. Mempertahankan pernikahan, merawat—mengajar anak-anak
dengan sebaik-baiknya, membiasakan diri berbaur dengan yang berbeda, serta
menganggap manusia lain tidak lebih rendah dari dirinya adalah sedikit hal yang
penulis maksud sebagai “kemanusiaan” dalam konteks ini.
Lawan tangguh dari kemanusiaan adalah dehumanisasi. Dehumanisasi juga
sama artinya dengan menghancurkan seluruh perangkat-perangkat yang kita sebut
nilai-nilai kemanusiaan.24Tindakan ini kasar dan tidak berperikemanusiaan. Dalam paham ini, menyakiti, menyiksa, bahkan membunuh karakter-fisk dibenarkan.
Sadar atau tidak, dehumanisasi selalu beriringan dengan doktrinisasi dan politisasi
kepentingan. Dalam kondisi seperti ini, tentunya akan menyebabkan terjadinya
kesenjangan sosial antara kelompok yang berbeda. Kesenjangan sosial membawa
manusia mengalami keterpisahan, kerenggangan dan lambat laun akan merasa
kesepiaan. Namun, sebagai makhluk sosial yang memiliki rasio dan insting,
manusia membutuhkan instrumen untuk mengatasi keterpisahan tersebut. Sebab
keterpisahan selalu menempatkan eksistensi manusia, paling tidak pada dua titik
sikap yaitu, rasa taku dan kegelisahan.
Menrut Fromm, cinta adalah jawaban atas eksistensi manusia.25 Jawaban atas keterpisahan yang menakutkan dan menggelisahkan. Pada kasus ini, jawaban
yang utuh terletak pada pencapaian penyatuan antar pribadi, peleburan dengan
pribadi lain, dalam cinta. Bagi Fromm, tanpa cinta, kemanusiaan tidak akan ada
barang sehari.26Banyak hal yang bisa di lakukan untuk melebur dengan yang lain, misalnya lewat keja sama, berbagi senyum serta menghilangkan berbagai stereotip
buruk yang selama ini di hidupi, termasuk meleburkan diri lewat pernikahan beda
agama. Cinta yang sifatnya alami telah merasuk ke dalam diri manusia, dan
membawa manusia menuju keontentikannya sebagai makhluk sosial yang
mencinta. Bertolak dari teori Fromm, Caputo dan Yesus (lihat, Bab II), bahwa cinta
merupakan unsur tertinggi dalam kehidupan. Demi kemanusiaan mencintai adalah
keharusan, karena sedetikpun kehidupan tidak pernah beristirahat maka cintapun
harus demikian, sehingga “perbedaan” di dalam cinta, bukanlah ancaman terhadap
kemanusiaan. Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia karena cinta itu
membangkitkan semangat hukum-hukum kemanusiaan dan gejala alami pun tidak
mampu mengubah perjalanannya. Menurut penulis pernikahan beda agama adalah
salah satu potensi baik untuk terus “menjadi” manusia-manusia dalam kesetaraan
perwujudan nilai-nilai kemanusiaan yang telah lama dirindukan oleh banyak orang
di muka bumi ini. Mewujudkan kemanusiaan berarti mendukung terwujudnya
tujuan bernegara (kemanusiaan yang adil dan beradab) sekaligus menjadi aksi yang
paling dinantikan guna memberi sumbangsi terhadap kedamaian dunia.
4.4. Pernikahan Beda Agama dan Nasionalisme
Menjadi suatu bangsa bukanlah hal yang mudah bagi Indonesia, butuh
pengorbanan, dan perjalanan panjang untuk bisa menghirup udara ‘kemerdekaan’.
Sebagai genarasi yang baik maka, pengorbanan tersebut haruslah dihargai dan
dijaga dalam rangka menghormati setiap perjuangan para pendahulu untuk NKRI.
Sebagai suatu bangsa, Indonesia berdiri di atas dasar yang telah disepakati bersama
yakni, ideologi Pancasila. Kemudian dibuatlah semboyan Bhineka Tunggal Ika
sebagai wujud kesadaran bahwa bangsa Indonesia terdiri atas ragam suku, agama
dan budaya. Semboyan ini mempertegas sumpah para pemuda-pemudi yang adalah
tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Para
pemuda-pemudi mengaku bertanah air satu, tanah Indonesia, berbangsa satu, bangsa
Indonesia, dan berbahasa satu , bahasa Indonesia. Dari kesemuanya ini lahirlah
UUD 1945 yang pokok-pokoknya berdasar pada Pancasila.
Berbicara mengenai nasionalisme, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Sumpah
Pemuda dan UUD 1945, adalah hal yang tidak mungkin kita lepaskan.
Nasionalisme selalu bersangkut paut dengan hal-hal prinsip di atas, guna menjaga
kesatuan NKRI. Hal-hal di atas, dimaksudkan untuk menjaga agar bangsa ini tidak
terpecah belah, sekaligus digunakan sebagai instumen untuk mengelola, merawat
kemajemukan masyarakat Indonesia yang sudah dari dulu ada.
Dalam dasar bernegara secara gamblang di ataur bahwa bagi setiap
masyarakat di beri hak dan kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing.
Tidak hanya itu, agama di Indonesia dalam bingkai demokrasi diberi ruang
gedung-gedung ibadah dan kegiatan-kegiatan agama diselenggarakan dengan dana
yang terbilang lumayan besar, diperhatikan oleh negara. Dari keadaan ini, sepintas
antara agama dan negara saling mendukung satu sama lain. Hanya begitu banyak
hal yang perlu diwaspadai, mengutip EG Singgih, bahwa masing-masing agama di
Indonesia masih lebih bersifat institusional daripada sosial, juga nampak jelas pada
perilaku setiap agama yang senantiasa cenderung, mengerdilkan bahkan
meniadakan agama-agama lain dalam rangka memperbesar dirinya.27Bagi penulis,
realitas ini menggambarkan suatu perlawanan terhadap nasionalisme, terhadap
cita-cita bernegara yang kemudian dapat menciderai prinsip kemanusiaan yang adil dan
beradap. Seperti yang dikatakan Titaley bahwa, Eksklusivisme agama Kristen, dan
nampaknya itu juga berlaku untuk eksklusivisme semua agama, yang kita warisi
sampai sekarang dalam perilaku beragama, memiliki latar belakang sosial dan
historiknya masing-masing. Kesemuanya itu dibuat berdasar pada realita bahwa
kitab suci ditulis oleh manusia dari pengalaman dan gumul pada situasi tertentu.28
Menurut penulis kondisi seperti yang disebutkan Titaley, bisa menjadi ancaman
terhadap runtuhnya kemajemukan yang coba diusahakan, di tata oleh negara ini.
Sebagai sebuah solusi dan sedikit kritik, Emile Durkheim mengatakan
bahwa, agama harus dilucuti dari corak transendennya, dan hanya dilihat sebagai
pengungkap hidup masayarakat. Sebagai pengungkap hidup masyarakat, mengatur
dan menertibkan kelakuan anggota masyarakat, agama itu berfungsi sebagai pelekat
27EG. Singgih, Tema Kerukunan Umat Beragama di Dalam Diskusi Pakar Agama, dalam Soegeng Hardiyanto, Martin Lukito, dkk, eds, Agama Dalam Dialog, Pencerahan, pendamaian, dan Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 36-48.
masyarakat.29 Secara teoritis gagasan dari Durkheim sangatlah bersahaja, hanya saja dalam konteks Indonesia, tidak semudah itu untuk melucuti sisi transenden dari
agama. Baru-baru ini video Ahok menjadi viral, Ahok dianggap melakukan
penistaan terhadap agama. Artinya, di Indonesia, agama cenderung tidak dijadikan
sebagai suatu yang merekatkan, melainkan dipakai untuk menghasut dan memecah
bela bangsa. Menurut penulis kondisi seperti ini sangat memprihatinkan sebagai
suatu bangsa yang mengaku diri religius, mengaku bangsa pancasilais, akan tetapi
manusia kehilangan cintantya kepada sesama.
Berbicara mengenai nasionalisme, berarti yang kita butuhkan ialah
orang-orang dengan penuh penghayatan mengamalkan, menjalankan setiap
wacana-wacana bernegara dalam kehidupannya secara bertanggungjawab. Secara khusus
penulis melihat hal-hal yang penulis sebutkan di atas, penulis temukan dalam
keluarga-keluarga yang menikah beda agama. Sekali lagi penulis harus mengulangi,
bahwa meski berbeda suku dan agama mereka tetap menjunjung tinggi
kebersamaan dan sikap saling menghormati.
Di sisi lain, bagi penulis, mereka yang menikah beda agama
sungguh-sungguh menghayati makna yang paling hakiki dalam sumpah pemuda. Pasalnya,
dalam sumpahnya pemuda tidak pernah menyebut “kami putra-putri Indonesia
beragama satu, agama kristen, islam ataupun agama-agama lainnya. Para
pemuda-pemudi sadar bahwa mereka tidak ingin beragama satu, mereka punya hak untuk
mengimani dan menjalankan agamanya masing-masing. Para pemuda-pemudi
sadar bahwa perbedaan agama adalah keniscayaan yang tidak bisa dipaksakan.”
Selain itu, meresapnya jiwa dari semnagat Bhineka Tunggal Ika telah menjelma
bersamaan dengan menyatunya perbedaan dalam pernikahan beda agama,
kemudian dengan secara terus menerus mengusahankan kesatuan, meski berbeda
namun tetap satu di dalam cinta dan kasih dan sayang. Sebagaimana juga dalam
kenyataannya, hak memeluk kepercayaan masing-masing yang sudah diatur dalam
undang-undang, dan kini telah diwujud nyatakan dalam pernikahan beda agama,
artinya, mereka tidak lagi “merayu-memaksa” pasangannya untuk berpindah ke
agama yang dianut pasangannya. Tidak hanya sampai di situ, harapan negara dalam
pernikahan yang terkandung dalam pembukaan undang-undang perkawinan tahun
1974 bahwa, pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa juga terwujud
dalam pernikahan ini. Misi yang sama dengan itu, dapat ditemui, jika lebih dalam
lagi melihat pancasilsa sebagai nilai-nilai hidup bernegara, dimana yang menjadi
kehendak umumnya ialah, kebebasan, persatuan, kesederajatan, dan kekeluargaan.
Artinya, nilai dari cinta, persatuan dan kekeluargaan mengkontruksi nilai
kebebasan dan kesederajatan, sehingga kebebasan dan kesederajatan tidak lagi
dijiwai oleh egoisme.30 Tetapi, relasi yang dibangun sungguh-sungguh
mencerminkan kepedulian terhadap yang berbeda. Lalu menurut Fromm, apakah
semua orang mencintai dalam keseedarajatan meski berbeda? Betapa bagusnya bila
demikian, tapi sayangnya, ada orang-orang yang tidak mencintai kehidupan, tapi
“mencintai” kematian, destruksi, penyakit, kegagalan, dan disintegrasi.31 Hidup
dalam bayang-bayang seperti ini merupakan kemunduran bagi negara yang tebilang
plural.
Mengingat wacana bahwa panacasila adalah agama sipil masyarakat
indonesia, maka misi masing-masing agama di inidonesia sebaikanya berupa
gerakan pluralis.32 Menanggapi penrnyataan ini, maka penulis dengan yakin
mengatakan bahwa pernikahan beda agama adalah salah satu tindakan/gerakan
pluralis yang telah diejawantahkan dalam kehidupan bernegara. Konsep
menghargai perbedaan, saling toleransi dalam menjalin kekeluargaan-kekerabatan
kini tumbuh dan hidup yang berawal dari paduan cinta dalam pernikahan, dimana
keduanya bersepakat-berusaha menciptakan hidup rukun meseki dalam perbedaan.
Menurut penulis, usaha ini sangat memungkinkan terwujudnya kesederajatan,
untuk mengatualisasikan kedamaian, dimana payung dari kesemuanya ini ialah
pancasila. Hal ini penulis anggap sebagai bukti nasionalisme dan kecintaanya untuk
perwujudan perdamaian bangsa Indonesia. Lanjut menurut Fromm, dibutuhkan
pribadi-pribadi matang untuk melakukan semua ini.33 Dibutuhkan orang-orang
yang dengan kesadaran dan keberaniaan untuk menentang resim kepastian yang
berkembang di sekitarnya, sekaligus menantang/melampaui dirinya sendiri. Tanpa
mencintai, maka munstahil menemukan orang-orang seperti ini.
31Menegaskan hal tersebut, Fromm mengatakan bahwa, mereka tidak tertarik pada pertumbuhan dan gairah hidup. Mereka tidak menyukainya, dan menginginkan untuk merusaknya. Erich Fromm, Cinta Seksualitas dan Matriarki, . . . 259.
32Ibid, 7.
4.5. Pernikahan Beda Agama sebagai Upaya Bertelogi
Suatu teologi barulah menjadi teologi apabila dia kontekstual. Menurut
Bevans, sumber-sumber teologi kontekstual tidak hanya terbatas pada Alkitab dan
tradisi kekristenan. Teologi kontekstual juga memperlihatkan
perubahan-perubahan sosial dan budaya setempat, baik yang disebabkan oleh pengaruh global
ilmu pengetahuan dan teknologi atau perjuangan rakyat kecil setempat bagi
terpenuhnya keadilan, kesetaraan, dan pembebasan.34
Berbicara mengenai kemajemukan, dewasa ini, pada umumnya masyarakat
Indonesia telah terjadi kemunduran atau kemerosotan dalam memaknai yang
berbeda. Isu SARA dikemas secara propokatif untuk menolak yang lain. Dalam
kepentingan tertentu, agama digunakan untuk menghasut dan menghujat agama
lain. Lalu dengan melihat kondisi masayarakat Indonesia seperti ini, teologi ini
menjadi sangat penting, untuk dijadikan salah satu rujukan dalam mengelolah
perbedaan.
Pernikahan beda agama dalam konteks “berteologi,” dimana teologi ini
mencoba menempatkan kasih/cinta kepada sesama sebagai totalitas hidup yang
paling tertinggi dalam memandang dan menyelami perbedaan. Teologi ini dimulai
dari keluarga, anak-anak dan para tetangga dengan tindakan aksi nyata. Dalam
teologi ini, sikap keterbukaan-kejujuran dari ruang privat(urusan ranjang) sampai
pada ruang publik(berbaur dengan masyarakat) adalah komponen yang paling
penting dihidupi untuk menerima perbedaan. Mereka telah menyatu, meski tanpa
kehilangan identitas keagamaannya. Hal ini senada dengan harapan Titaley bahwa,
usaha-usaha teologi di Indonesia harus menuju teologi agama-agama yang
kontekstual. Teologi yang mampu membawa umat untuk mencipta kedamaian dan
perdamaian, menghargai sesamanya yang berlainan agama dan keyakinan, hidup
bersama dalam kemasaderajatan.35
Mengakhiri bagian ini, mengenai cinta dalam pernikahan, penulis
berpendapat bahwa, pernikahan beda agama ini bisa juga dijadikan salah satu dari
sekian banyaknya model berteologi dalam konteks masyarakat majemuk. Dimana
pada hakikatnya untuk menjaga kemajemikan setiap orang harus memberi ruang
bagi tumbuh kembangnya interaksi terhadap yang berbeda. Perbedaan haruslah
dilihat sebagai wadah untuk menyebar-luaskan cinta kasih Tuhan kepada sesama
manusia, sebab dari setiap perbedaan yang diciptakan Tuhan tentu memiliki
maksud. Selain untuk membuktikan kemahakuasaanya, manusia diajak untuk
mencinta, mengelola, merawat sehingga mampu melihat keindahan akan perbedaan
tersebut.
“Ayo.. bangun dunia di dalam perbedaan, kita
satu, tetap kuat kita bersinar. Harus percaya
tak ada yang sempurna dan dunia kembali
tertawa” (S.I.D. Kuat Kita Bersinar)