• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penjernihan Masalah Jenis Peraturan Peru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penjernihan Masalah Jenis Peraturan Peru"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Mata Kuliah Ilmu Perundang-undangan

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Penjernihan Masalah Jenis Peraturan

Perundang-undangan di Indonesia:

Tinjauan terhadap Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

oleh Santi Nastiti

NPM 0906490411

Walaupun proses pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada level Panitia Khusus berlangsung alot1, pada akhirnya tanggal 12 Agustus 2011 telah lahir undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Akan tetapi, akademisi hukum beranggapan bahwa undang-undang baru ini tidak lebih baik dari undang-undang terdahulu. Akademisi hukum beranggapan bahwa banyak kelemahan-kelemahan dalam undang-undang ini, salah satunya mengenai pasal 8 ayat (1). Persoalan yang dikemukakan oleh para akademisi hukum terkait dengan pasal 8 ayat (1) tersebut antara lain adalah apakah semua lembaga negara dan pejabat yang disebut dalam pasal 8 ayat (1) itu mempunyai kewenangan untuk membentuk peraturan yang bersifat umum, dan berlaku ke luar sebagai Peraturan Perundang-undangan?

Perlu kiranya pertama-tama dibahas die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen

yang dicetuskan oleh Hans Nawiasky. Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul Allgemeine Rechtslehre mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen, maka suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih

(2)

tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma Dasar.2

Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar, yaitu sebagai berikut.3

Kelompok I : Staatsfundamentalnorm(Norma Fundamental Negara)

Kelompok II : Staatsgrundgesetz(Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara) Kelompok III : Formell Gesetz(Undang-Undang)

Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom)

Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)

Norma Fundamental Negara bersifat pre-supposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat suatu negara. Norma ini menjadi tempat bergantung norma-norma hukum yang di bawahnya. Norma yang tertinggi ini tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, oleh karena jika norma yang tertinggi itu dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi maka ia bukan norma yang tertinggi. Sehingga masyarakat perlu menerimanya sebagai suatu yang tidak dapat diperdebatkan lagi, sebagai suatu hipotesa, sesuatu yang fiktif, suatu aksioma.

Menurut Hans Nawiasky, hakikat hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dahulu sebelum adanya konstistusi atau undang-undang dasar. Dengan kata lain, ia merupakan landasan filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut.

Dalam sistem norma hukum Indonesia, yang merupakan Staatsfundamentalnorm

adalah Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara)

Staatsgrundgesetz sebagai sumber dan dasar bagi pembentukan Formell Gesetz, merupakan kelompok norma hukum di bawah Norma Hukum Fundamental Negara. Norma-norma dari Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara ini merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan-aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma hukum tunggal.

Di dalam setiap Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara biasanya diatur hal-hal mengenai pembagian kekuasaan negara di puncak pemerintahan, selain itu mengatur juga

2 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, cet. 6,

(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2011), hal. 44.

(3)

hubungan antar lembaga-lembaga negara, serta mengatur hubungan antara negara dengan warganegaranya.

Dalam sistem norma hukum Indonesia, yang merupakan Staatsgrundgesetz adalah Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, TAP MPR4, serta Konvensi Ketatanegaraan.

Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang)

Ciri dari Formell Gesetz (Undang-Undang) yaitu ia merupakan norma hukum yang lebih konkret dan terinci, serta sudah dapat berlaku di masyarakat. Norma-norma hukum dalam Undang-Undang ini tidak saja norma hukum yang bersifat tunggal, tetapi juga dapat merupakan norma hukum yang berpasangan. Sehingga dalam suatu Undang-undang sudah dapat dicantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Selain itu, berbeda dengan peraturan lainnya, Undang-undang merupakan norma hukum yang selalu dibentuk oleh suatu lembaga legislatif.

Dalam sistem norma hukum Indonesia, yang merupakan Formell Gesetz adalah Undang-undang.

Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung

Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom ini merupakan peraturan-peraturan yang terletak di bawah undang-undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Peraturan Pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi sedangkan Peraturan Otonom bersumber dari kewenangan atribusi.

Atribusi kewenangan adalah pembentukan Peraturan Perundang-undangan

(attributie van wetgevingsbevoegdheid) ialah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh Undang-undang kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan. Kewenangan tersebut melekat terus-menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang diberikan.

Delegasi Kewenangan dalam pembentukan Peraturan Perundangan-undangan (delegatie van wetgevingsbevoegdheid) ialah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.

Jadi dapat disimpulkan bahwa setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai norma hukum yang tertinggi menjadi sumber bagi pembentukan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Ketatanegaraan. Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Ketatanegaraan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma hukum tunggal menjadi sumber Undang-undang. Batang Tubuh Undang-Undang

4 TAP MPR sebagai Staatsgrundgesetz hanya sebelum Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen,

(4)

Dasar 1945 dan Konvensi Ketatanegaraan mengatur mengenai pembagian kekuasaan negara di puncak pemerintahan, selain itu mengatur juga hubungan antar lembaga-lembaga negara,

serta mengatur hubungan antara negara dengan warganegaranya. Undang-Undang yang merupakan norma hukum yang lebih konkret dan terinci; serta sudah dapat berlaku di masyarakat; ada yang bersifat tunggal tetapi juga dapat merupakan norma hukum yang berpasangan; serta merupakan norma hukum yang selalu dibentuk oleh suatu lembaga legislatif diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pelaksanaan yang bersumber dari kewenangan delegasi dan Peraturan Otonom yang bersumber dari kewenangan atribusi.

Berangkat dari simpulan singkat di atas, tinjauan terhadap Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini dimulai. Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mencakup pula peraturan yang ditetapkan oleh:5

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat 2. Dewan Perwakilan Rakyat 3. Dewan Perwakilan Daerah 4. Mahkamah Agung

5. Mahkamah Konstitusi 6. Badan Pemeriksa Keuangan 7. Komisi Yudisial

8. Bank Indonesia 9. Menteri

10. Badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-undang atau Pemerintah atas perintah Undang-undang

11. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi 12. Gubernur

13. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota 14. Bupati/Walikota

15. Kepala Desa atau yang setingkat

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan, khususnya Pasal 3 dan Pasal 8, dirumuskan bahwa fungsi dan wewenang dari Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah6: a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;

b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;

c. memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden; d. memilih Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan;

e. memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan.

5 Lihat, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan.

(5)

Seperti yang telah dijelaskan di muka, sesuai dengan teori Hans Nawiasky, Undang-Undang Dasar bukan merupakan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, dapat disimpulkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Memang, sebelum diadakan amandemen MPR berwenang untuk membuat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Namun Ketetapan MPR yang ini pun juga bukan merupakan peraturan perundang-undangan, melainkan ia merupakan Staatsgrundgesetz

(Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara). Hal ini karena ia merupakan aturan-aturan yang bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma tunggal. Dengan berlakunya Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, di kemudian hari tidak akan ada lagi Ketetapan MPR yang bersifat peraturan, oleh karena kewenangan menetapkan GBHN tidak menjadi wewenang MPR lagi.7

2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Mengenai wewenang DPR, Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan merumuskan antara lain sebagai berikut.

a. Dewan Perwakilan Rakyat membentuk undang-undang dengan Persetujuan Presiden

(Pasal 20).

b. Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat (Pasal 21). Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, dapat disimpulkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. Dewan Perwakilan Rakyat hanya dapat membentuk Undang-undang dengan persetujuan Presiden, yang merupakan peraturan perUndang-undang-Undang-undangan yang tertinggi. Artinya, fungsi legislasi (pengaturan) DPR hanya dapat dilakukan dengan persetujuan bersama eksekutif, mengingat Negara Indonesia menganut pembagian kekuasaan bukan pemisahan kekuasaan. Peraturan yang dikeluarkan oleh DPR tanpa persetujuan eksekutif bukanlah peraturan perundang-undangan

3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Sesuai dengan ketentuan Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan, Dewan Perwakilan Daerah dapat:

a. mengajukan rancangan undang-undang ke Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan otonomi daerah;

b. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; dan

c. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.

Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyerahkan kewenangan legislasi kepada Dewan Perwakilan

(6)

Daerah. Jadi DPD tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.

4. Mahkamah Agung

Dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan dirumuskan bahwa,

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

Berdasarkan fungsi dan wewenang itu, maka keputusan yang dibentuk oleh Mahkamah Agung adalah keputusan di bidang peradilan, sehingga keputusan tersebut bersifat suatu penetapan yang individual, konkret, dan sekali-selesai (final). Dengan demikian Mahkamah Agung tidak diserahi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar 1945 untuk membentuk peraturan perundang-undangan, atau peraturan yang mengikat umum; namun demikian Mahkamah Agung tetap berwenang membentuk peraturan yang mengikat ke dalam (interne regeling).

5. Mahkamah Konstitusi

Dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan dirumuskan bahwa:

a. Mahkamah Kontitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

b. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, maka keputusan yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi adalah keputusan di bidang peradilan, sehingga keputusan tersebut bersifat suatu penetapan yang individual, konkret dan sekali selesai (final). Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi juga tidak diserahi kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan, atau peraturan yang mengikat umum oleh Undang-Undang Dasar 1945; namun demikian Mahkamah Konstitusi tetap berwenang membentuk peraturan yang mengikat ke dalam (interne regeling).

6. Badan Pemeriksa Keuangan

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 23E Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan, maka Badan Pemeriksa Keuangan berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara, dan menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan negara tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(7)

perundang-undangan, atau peraturan yang mengikat umum oleh Undang-Undang Dasar 1945, namun demikian Badan Pemeriksa Keuangan tetap berwenang membentuk peraturan yang mengikat ke dalam (interne regeling).

7. Komisi Yudisial

Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan menyebutkan bahwa Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut dapat disimpulkan bahwa Komisi Yudisial tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.

8. Bank Indonesia

Dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan ditetapkan bahwa, Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan indepedensinya diatur dengan undang-undang .Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dirumuskan dalam Pasal 1 angka 8 bahwa, Peraturan Bank Indonesia adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengikat setiap orang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Berdasarkan rumusan pasal 1 angka 8 tersebut, dapat disimpulkan bahwa Bank Indonesia mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan wewenang atribusi, karena Bank Indonesia sebagai lembaga negara diberi kewenangan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yaitu Peraturan Bank Indonesia oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.

9. Menteri

Tidak semua Menteri mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan, oleh karena Menteri Koordinator, dan Menteri Negara tidak merupakan lembaga-lembaga pemerintah dalam perundang-undangan, Menteri yang dapat membentuk peraturan yang mengikat umum adalah hanya Menteri Departemen, sedangkan Menteri Koordinator hanya dapat membuat peraturan yang bersifat intern, dalam lingkungannya sendiri, jadi tidak berwenang membentuk peraturan yang mengikat umum.

10. Badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-undang atau Pemerintah atas perintah Undang-undang

(8)

11. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi

Dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

dirumuskan bahwa, salah satu tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi adalah membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama selain itu tidak ada wewenang lain dalam fungsi pengaturan yang mengikat umum. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi tidak mempunyai kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur rakyat.

12. Gubernur

Sesuai dengan ketentuan Pasal 146 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah, maka Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi dapat menetapkan peraturan kepala daerah atau keputusan kepala daerah, untuk melaksanakan Peraturan Daerah Provinsi, atau atas kuasa peraturan perundang-perundangan yang lebih tinggi.

Dengan demikian Gubernur dapat membentuk peraturan perundang-undangan berdasarkan delegasi dari Peraturan Daerah Provinsi atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

13. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota

Dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

dirumuskan bahwa, salah satu tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota adalah membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama selain itu tidak ada wewenang lain dalam fungsi pengaturan yang mengikat umum. Sehingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.

14. Bupati/Walikota

Sesuai dengan ketentuan Pasal 146 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, Bupati/Walikota sebagai Kepala Daerah Kabupaten/Kota dapat menetapkan peraturan kepala daerah atau keputusan kepala daerah, untuk melaksanakan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau atas peraturan perundang-undangan. Dengan demikian Bupati/Walikota dapat membentuk peraturan perundang-undangan berdasarkan delegasi dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

15. Kepala Desa atau yang setingkat

Pasal 206 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

menentukan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:

a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;

(9)

c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota;

d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa.

Melihat lebih lanjut Pasal 14 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, ditentukan wewenang Kepala Desa yaitu sebagai berikut:

a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD (Badan Permusyawaratan Desa);

b. mengajukan rancangan peraturan desa;

c. menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD;

d. menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD

e. membina kehidupan masyarakat desa; f. membina perekonomian desa;

g. mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif;

h. mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

i. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dari pasal-pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kepala desa atau yang setingkat tidak mempunyai kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan. Jika kemudian dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 peraturan kepala desa atau yang setingkat ditetapkan sebagai undang-undang, tentu ini merupakan bukti inkonsistensi pembuat undang-undang itu.

Selain itu, apabila merujuk pada pasal 8 ayat (2) jo. Pasal 7 ayat (1) undang-undang ini terlepas dari permasalahan dari bunyi pasal 8 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) itu8 pasal 8 ayat (1) ini juga bertentangan dengan bunyi pasal 8 ayat (2) yang menyebutkan: Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan . Sedangkan MPR, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, serta Kepala Desa atau yang

8 Pasal 7 ayat (1) juga banyak dikritisi oleh akademisi hukum, salah satunya karena memasukkan

(10)

setingkat seperti yang telah diulas di atas tidak diberi wewenang membentuk peraturan perundang-undangan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1). Begitu pula Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) itu juga tidak memberi wewenang membentuk peraturan perundang-undangan kepada semua Menteri serta Badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-undang atau Pemerintah; hanya Menteri serta Badan, lembaga atau komisi yang setingkat tertentu saja yang diberi wewenang.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa dengan pengaruh penggunaan modul perkakas tangan pada mata pelajaran Pekerjaan Logam

Yudha Triguna, ed., Estetika Hindu dan Pembangunan Bali, Denpasar: Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia Bekerja Sama dengan Penerbit Widya

berkesinambungan membutuhkan berkoordinasi dengan semua bidang baik pada tingkat universitas (akademik dan non akademik), fakultas dan program pascasarjana, maupun program

Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (seluler respon) atau reaksi

Tujuan Pembelajaran Umum : Mahasiswa mampu menjelaskan metoda dan teknik pembuatan bahan dekorasi patiseri Jumlah Pertemuaan : 2 (satu) kali. Pertemuan Tujuan Pembelajaran

Berdasarkan pendapat ahli diatas maka dapat dikatakan bahwa persepsi guru merupakan aktivitas mengindera, menginteraksikan dan memberikan penilaian dari seseorang

3) Soft copy Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati/ Walikota dan Wakil Walikota tingkat Oesa (Formulir Model OAA KWK); 4) Soft copy dokumen yang

Manajemen sumber daya manusia adalah suatu proses yang dilakukan suatu organisasi atau perusahaan untuk memastikan bahwa sumber daya manusia yang ada digunakan secara efektif