BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Peran Serta Masyarakat
Tinjauan ini menguraikan pengertian peran serta masyarakat, faktor-faktor yang
mempengaruhi peran serta masyarakat bentuk dan jenis peran serta masyarakat,
tingkat peran serta masyarakat, dan peran serta masyarakat dalam proses
pembangunan.
2.1.1 Pengertian peran serta masyarakat
Peran serta masyarakat adalah suatu proses yang melibatkan masyarakat yaitu
proses komunikasi dua arah yang terus menerus untuk meningkatkan pengertian
masyarakat secara penuh atas proses kegiatan(Carter,1991).
Peran serta masyarakat adalah suatu usaha untuk menumbuhkan semangat dan
rasa memilikiterhadap berbagai kegiatan pembangunan masyarakat berdasar atas
keterlibatannya dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan (Syam,
2005). Sedangkan menurut Oetomo dalam Budiarti (2006) peran serta
seseorang/masyarakat diartikan sebagai bentuk penyerahan sebagianperan dalam
kegiatan dan tanggung jawab tertentu dari suatu pihak ke pihak lain. Sudharto (1999)
menyebutkan bahwa dalam peran serta masyarakat terdapat adanya keterlibatan
kelompok dalam upaya mencapai tujuan dan bertanggung jawab terhadap usaha
yangdilakukan. Selanjutnya Sastropoetro dalam Hardiati (2007) menambahkan
bahwa keterlibatan diri/ego masyarakat yang terlibat dalam peran serta memiliki
sifatnya lebih dari sekedar keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja, namun juga
keterlibatan tersebut meliputi pikiran dan perasaannya.
2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat menurut Sudharto(1999) dipengaruhi faktor internal dan
eksternal. Adapun faktor-faktor internal tersebut adalah: (a) jenis kelamin; (b) usia;(c)
tingkat pendidikan; (d) tingkat penghasilan; (e) mata pencaharian; (f) status
kepemilikan lahan.
Selain faktor internal yang disebutkan diatas, menurut Thoha (2002) faktor
internal lain yang mempengaruhi peran serta masyarakat adalah: (a) persepsi; (b)
ikatan filologis; (c) kepemimpinan. Persepsi pada hakikatnya merupakan proses
kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang
lingkungannya. Informasi tersebut dapat melalui penglihatan, pendengaran,
penghayatan, perasaan dan penciuman. Persepsi akan melandasi tindakan dan
interaksi seseorang dalam berperan serta atau terlibat dalam suatu kegiatan.
Peran serta juga dipengaruhi oleh seringnya seseorang berinteraksi yang
membawa konsekuensi semakin kuatnya ikatan psikologis dengan lingkungan di
makin tinggi ikatan psikologis dengan lingkungan yang berpengaruh pada besarnya
keinginan dan dorongan untuk terlibat dalam kegiatan bersama. Selain itu yang
menggerakkan keaktifan seseorang untuk terlibat dalam kegiatan bersama adalah
pengaruh kepemimpinan. Hal ini dapat dimengerti karena pemimpin merupakan
seseorang yang mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi perilaku orang lain yang
dipimpinnya.
Faktor eksternal yang mempengaruhi peran serta menurut Sunarti dalam
Hardiati (2007) adalah semua pihak yang berkepentingan dan mempunyai pengaruh
terhadap program. Pengaruh disini adalah kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki
oleh stakeholder atas program, berupa kekuatan untuk mengendalikan keputusan
yang dibuat dan memfasilitasi pelaksanaan program. Stakeholder tersebut antara lain:
lembaga pendapingan (LSM), instansi pemerintahataulembagakeuangan. Berkaitan
dengan faktor eksternal instansi pemerintah,Kurniawan(2004)dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa komitmen pemerintah yang belum optimal menyebabkan
koordinasi antar dinas/instansi tidak optimal yangmengakibatkan menyebabkan
perbedaan persepsi dalam pelaksanaan program dan kurangnya komitmen dalam
pengalokasian dana berpengaruh terhadap kinerjapelaksanaan kegiatan.
2.1.3Tingkat Peran Serta Masyarakat
Arnstein dalam Hadi (1999) menggolongkan tingkat peran serta masyarakat
dalam program pembangunan menjadi delapan tingkatan berdasarkan kadar kekuatan
delapan jenjang peran serta masyarakat, yaitu: (a) manipulation atau manipulasi;(b)
therapy atau penyembuhan; (c) informingatau pemberian informasi;(d) consultation
atau konsultasi; (e) placation atau peredaman; (f) partnership atau kemitraan; (g)
delegated power atau pelimpahan kekuasaan; (h) citizen control atau pengawasan
masyarakat. (Keterangan Gambar 1.1)
Gambar1.1Eightrungs on The Ledder of CitizenParticipation Sumber:Arnstein, 1969 dalam Hadi, 1999
Selanjutnya Hadi (1999) menerangkan bahwa pada tingkat paling bawah
manipulation;kedua,therapy disimpulkan sebagai tingkat bukan peran serta. Tujuan
pada tingkat ini untuk “mendidik” dan “mengobati” peserta dalam peran serta;tingkat
ketiga informing; tingkat keempat, consultation disebut tokeinisme atau sekedar
formalitas yang menungkinkan masyarakat untuk mendengar dan memiliki hak untuk
keputusan; tingkat kelima,placation dipandang sebagaitokeinisme yang lebih
tinggi dimana masyarakat memiliki hak memberikanadvicetetapi kekuasaan
pengambilan keputusan tetap ditangan pemrakarsa kegiatan;pada tingkat
keenam,partnership masyarakat memilki ruang untuk bernegosiasidan terlibat
trade-off para pemegang kekuasaan; pada tingkat ketujuh,delegatedpower dan tingkat
kedelepan, citizencontrol, masyarakat memiliki kekuatan mayoritas untuk
mengambilkeputusan. (Keterangan Gambar 1.1)
2.1.4 Bentuk dan Jenis Peran Serta Masyarakat
Bentuk kontribusi peran serta dapat berbentuk gagasan, tenaga dan materi.
Adapun jenis-jenis peran serta menurut Sastropoetro dalam Hardiati (2007) meliputi:
(a) pikiran (psychologicalparticipation); (b) tenaga(physicalparticipation); (c) pikiran
dan tenaga (psychologicaland physicalparticipation); (d) keahlian
(participationwithskill); (e) barang(material participation);(f) uang
(moneyparticipation).
2.1.5Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Pembangunan
Secara umum peran serta masyarakat dalam pembangunan dapat ditinjau dari
keterlibatannya dalam tahap-tahap pembangunan.Terdapat lima tahap proses
pembangunan yakni: (1) inisiasi; (2) legitimasi; (3) perencanaan; (4) implementasi;
proses pembangunan terdiri dari enam tahap yang saling berhubungan yaitu:(1)
formulasi tujuan, sasaran dan target; (2) penelitian,survey daninventaris; (3) persiapan
perencanaan; (4) perencanaan yang diterima; (5) implementasi, operasi dan
pemeliharaan; (6) evaluasi.
Menurut Purba (2002) menyatakan untuk menciptakan
cleanenvironmentalmanagementandgoodenvironmentalgovernance, menuntut
persyarat adanya keterbukaan,kesetaraan, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat
sertaakuntabilitas.
Lahirnya pembangunan partisipasi khususnya dalampengelolaan peran serta
masyarakat dalam penanggulangan bencana dilatarbelakangi oleh program,
proyekdan kegiatan pembangunan yang selama ini dilakukan sering gagal. Peran serta
masyarakat dalam penanggulangan bencana yang selama ini dikembangkan dan
dipraktekkan cenderung mengarah pada dua pendekatan yang bertolak belakang
yaknistate-based dan community-based.Model state-basedseringkali mengalami
kegagalan atau hambatan hal tersebut dikarenakan model tidak fleksibel,lemah dalam
kapasistas kelembagaan, kurang tepatnya disain dan implementasi serta kurangnya
peran serta masyarakat (Oetomo, 1997 dalam Budiarti 2006.Pendekatan
state-basedyang cenderung top-downumumnya digunakan dalam program-program yang
relatif cepat. Namun demikian dalam pelaksanaannya banyak menghadapi kendala,
khususnya berkaitan denganperan serta masyarakat. Budiarti (2006),menyatakan
keterbatasan birokrasi dalam pemenuhan kebutuhan standar pengelolaan seperti: (1)
keterbatasan pengetahuan; (2) keterbatasan informasi; (3) rendahnya kualitas
sumberdaya manusia; (4) buruknya kelembagaan dalam pengelolaan pengaturan
sumberdaya alam; (5) kurangnya partisipasi dan keterlibatan masyarakat lokal dalam
pengambilan keputusan pengelolaan yang berimplikasi pada tidak adanya dukungan
masyarakat lokal. Sedangkan pendekatan communitybasedmenekankan pada
pemberian kewenangan dan otoritas pada komunitas untuk lebih berperan di dalam
pengelolaan lingkungan. Pendekatan ini bersifat bottomupkarena aspirasi,
kewenangan, dan otoritas pengelolaan lingkungan lebih bersumber dari bawah atau
masyarakat, tidak sebagaimana statebasedyang cenderung dari atas. Pendekatan
communitybased, menekankan masyarakat berperan sebagai pihak yangterlibat
langsung dalam manajemen, sedang pemerintah dan swasta berpartisipasi secara tidak
langsung. Pemerintah berperan sebagai koordinator dan pemberi bantuan dalam
proses konsultasi, sedangkan kelompok masyarakat sebagai pelaku/pelaksana yang
berperan sangat dominan dan LSM sebagai pemberi masukan dalam pelaksanaannya
(Oetomo 1997 dalam Budiarti 2006). Namun demikian, pendekatan
communitybasedjuga memiliki beberapa kelemahan, yaitu: (1) lemahnya institusi
lokal (terutama kurangnya mekanisme resolusi konflik); (2)keterbatasan informasi
dan teknologi; (3) kurangnya sistem pendukung seperti informasi pasar, peningkatan
kapasitas, technicalassistance, fasilitas keridit dan kebijakan. Atas kelemahan kedua
pendekatan tersebut, muncul pendekatan kemitraan dan partisipasi. Pendekatan ini
masing-masing aktor serta memberdayakan aktor yang kurang diuntungkan; (2)
sebagai pendekatan yang fleksibel untuk mengurangi kegagalan pencapaian tujuan;
(3) efisiensi. Oleh karena itu, perludilakukan reorientasi terhadap strategi
pembangunan masyarakat yang lebih mengedepankan partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat (Hikmat, 2004). Tjokroamijoyo (1998) menguraikan kaitan partisipasi
dengan pembangunan adalah sebagai berikut:
a. Keterlibatan aktif atau peran serta masyarakattersebut dapat berarti
keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijakan
pembangunan yang dilakukan pemerintah. Hal ini terutama berlangsung
dalam proses politik tetapi juga dalam proses sosial hubungan antar
kelompok kepentingan dalam masyarakat.
b. Keterlibatan dalam memikul beban dan bertanggungjawab dalam
pelaksanaan pembangunan.Hal ini dapat berupa sumbangan dalam
memobilisasi sumber-sumber pembiayaan dalam pembangunan, kegiatan
produktif yang serasi, pengawasan sosial atas jalannya pembangunan dan
lain-lain.
c. Keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara
berkeadilan. Bagian-bagian daerah ataupun golongan-golongan masyarakat
tertentu dapat ditingkatkan keterlibatannya dalam bentuk kegiatan
produktif mereka melalui perluasan kesempatan-kesempatan dan
Pendekatan partisipatif memberikan perhatian pada proses pengembangan pola
pikir dan pola sikap, pengkayaan pengalaman dan pengetahuan serta proses
pembelajaran yang bertujuan untuk memperkuat asosiasi masyarakat dan mekanisme
baru, sehingga dengan mekanisme ini lembaga pemerintah dapat mempertanggung
jawabkan aksinya. Pendekatan partisipastif memungkinkan terjadinya pertukaran
gagasan (sharingidea), jalin kepentingan (knittinginterest) dan pemaduan karya
(synergy of action) diantarastakeholders, terutama pemberian kesempatan kepada
masyarakat lokal untuk terlibat dalam pelaksanaan programpembangunan
(Thompson, 1999 dalam Budiarti 2006).Pendekatan partisipatif dapat digunakan
sebagai strategi untuk meminimalkan terjadinya kegagalan/hambatan dalam
pelaksanaan program-program pemerintah. Hal ini disebabkan pendekatan partisipatif
mendorong munculnya partisipasi yang lebih besar dalam masyarakat mulai dari
perencanaan sampai implementasi. Selain tentunya, partisipasi juga dapat
mengembangkan kemandirian, mengurangi ketergantungan serta mewujudkan
partsisipasi dan pemberdayaan masyarakat (Glaser& Joseph, 1997 dalam Budiarti
2006). Salah satu teknik upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam
pembangunan adalah ParticapatoryRuralAppraisal(Hikmat, 2004).
Adapun prinsip-prinsip ParticipatoryRuralAppraisalyang harus dilakukan
adalah:
a. Masyarakat dipandang sebagai subyek bukan obyek;
c. Dalam menentukan parameter yang standar, lebih baik mendekati benar dari
pada benar-benar salah;
d. Masyarakat yang membuat peta, model, diagram, pengurutan, memberi
angka atau nilai, mengkaji atau menganalisis, memberikan contoh,
mengidentifikasi masalah, menyeleksi prioritas masalah, menyajikan hasil,
mengkaji ulang dan merencanakan kegiatan aksi;
e. Pelaksanaan evaluasi, termasuk penentuan indikator keberhasilan dilakukan
secara partisipatif. Pendekatan terhadap kegunaan teknik-teknik
ParticipatoryRuralAppraisaltersebut dengan mudah dapat dikaji melalui
pendekatan sistem sosial (Hikmat, 2004).
2.2. Konsep Penanggulangan Bencana
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
DalamUndang-undang tersebut, terdapat ketentuan umum yang mendefinisikan
penyelenggaraan.Penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilita. Dari definisi tersebut terlihat
bahwa penanggulangan bencana adalah upaya pengurangan risiko bencana pada fase
sebelum, saat dan setelah bencana.
Pada fase sebelum bencana dilaksanakan upaya pengarusutamaan
tanggap darurat. Pada fase setelah bencanaterjadi dilaksanakan upaya pemulihan
dampak bencana.Selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah
Nomor21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Pada
Pasal 5, dinyatakan bahwa pelaksanaan penanggulangan bencana ini membutuhkan
Rencana Penanggulangan Bencana yang disusun pada situasi tidak terjadi
sebagaimana Undang-undang No. 24 tahun 2007, Peraturan Kepala Badan
Penanggulangan Bencana Nomor 04 tahun 2008 tentang Pedoman
PenyusunanRencana Penanggulangan Bencana juga menyebutkan bahwa
penanggulanganbencana terdiri dari beberapa fase, yaitu fase pencegahan dan
mitigasi, fase kesiapsiagaan, fase tanggap darurat dan fase pemulihan (Keterangan
Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Siklus Manajemen Penanggulan Bencana
2.3 Kajian Risiko Bencana
Kajian risiko bencana yang terdapat dalam Perka BNPB No. 04 tahun 2008, disusun
berdasarkan analisis risiko bencana dan digambarkan sebagai berikut:
R = H x V/C………..……(2.1)
R = Risiko Bencana.
H = HazardatauPotensi Bencana.
V = Vulnerabilityatau Kerentanan.
C = Kapasitas.
2.3.1 Potensi Bencana
Potensi bencana suatu wilayah tergantung pada kondisi wilayah
yangbersangkutan. Hal ini dapat dilihat dari data kejadian bencana yang terjadi di
wilayah tersebut:
a. Gempabumi, dampak yang dapat timbul oleh gempabumi ialah
berupakerusakan atau kehancuran bangunan (rumah, sekolah, rumah sakit
danbangunan umum lain) dan konstruksi prasarana fisik (jalan,
jembatan,bendungan, pelabuhan laut/udara, jaringan listrik dan
telekomunikasi, dan lain-lain)serta bencana sekunder yaitu kebakaran dan
korban akibat timbulnyakepanikan.
b. Tsunami, adalah gelombang pasang yang timbul akibat
di laut.Namun, tidak semua fenomena tersebut dapat memicu terjadinya
tsunami.
c. Letusan Gunung Api, dampak/risiko yang ditimbulkan oleh jatuhan
materialletusan, awan panas, aliran lava, gas beracun, abu gunung api dan
bencanasekunder berupa aliran lahar.
d. Banjir, sebagai fenomena alam terkait dengan ulah manusia terjadi
sebagaiakibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai,
kondisi daerahhulu,kondisi daerah budidaya dan pasang surut air laut.
Potensi terjadinyaancaman bencana banjir dan tanah longsor saat ini
disebabkan keadaan badansungai rusak, kerusakan daerah tangkapan air,
pelanggaran tata ruangwilayah, pelanggaran hukum meningkat,
perencanaan pembangunan kurangterpadu dan disiplin masyarakat yang
rendah.
e. Tanah Longsor, merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau
batuan,ataupun pencampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat
dariterganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng
tersebut.Pemicu dari terjadinya gerakan tanah ini adalah curah hujan yang
tinggi sertakelerengan tebing.
f. Kebakaran, potensi bahaya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
cukupbesar. Hampir setiap musim kemarau Indonesia menghadapi
hanyakehilangan keanekaragaman hayati tetapi juga timbulnya gangguan
asap diwilayah sekitar yang sering kali mengganggu negara-negara
tetangga.
g. Kekeringan, fenomena ini dialami berbagai wilayah di Indonesia hampir
setiap musim kemarau. Hal ini erat terkait dengan menurunnya fungsi
lahandalam menyimpan air. Penurunan fungsi tersebut ditengarai
akibatrusaknyaekosistem pemanfaatan lahan yang berlebihan. Dampak dari
kekeringan iniadalah gagal panen, kekurangan bahan makanan hingga
dampak yangterburuk adalah banyaknya gejala kurang gizi bahkan
kematian.
h. Epidemi dan wabah penyakit. Wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu
penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkatsecara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu
dan daerahtertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Epidemi baik
yang berupamengancam manusia maupun hewan ternak berdampak serius
berupakematian serta terganggunya roda perekonomian.
i. Kebakaran gedung dan permukiman. Kebakaran gedung dan
permukimanpenduduk sangat marak pada musim kemarau. Hal ini terkait
dengankecerobohan manusia diantaranya pembangunan gedung/rumah
j. Kegagalan teknologi merupakan kejadian yang diakibatkan oleh
kesalahandesain,pengoperasian, kelalaian dan kesenjangan manusia dalam
penggunaan teknologi dan industri.
2.3.2 Kerentanan Masyarakat Terhadap Bencana
Kerentanan (vulnerability) adalah keadaan atau sifat/prilaku manusia
ataumasyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau
ancaman. Kerentanan ini dapat berupa:
a. Kerentanan fisik.
Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakatberupa daya tahan
menghadapi bahaya tertentu. Misalnya, kekuatanbangunan rumah bagi
masyarakat yang berada di daerah rawan gempa.Adanya tanggul pengaman
banjir bagi masyarakat yang tertinggal di bantaransungai dan sebagainya.
b. Kerentanan ekonomi.
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakatsangat menentukan
tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Padaumumnya masyarakat atau
daerah yang miskin atau kurang mampu lebihrentan terhadap bahaya,
karenatidak mempunyai kemampuan finansial yangmemadai untuk melakukan
upaya pengurangan risiko bencana.
c. Kerentanan Sosial.
Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkatkerentanan terhadap
pengetahuan tentang risiko bahaya dan bencana akanmengurangi tingkat
kerentanan, demikian pula tingkat kesehatan masyarakat yang rendah juga
mengakibatkan rentan terhadap bahaya.
d. Kerentanan Lingkungan.
Lingkungan hidup suatu masyarakat sangatmempengaruhi kerentanan.
Masyarakat yang tinggal di daerah yang keringdan sulit air akan selalu
terancam bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng bukit atau
pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor dan sebagainya.
2.3.3Kemampuan menghadapi Bencana
Kemampuan menghadapi bencana merupakan seluruh upaya menyeluruh dan
proaktif dimulai pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana.Penanggulangan
bencana disusun untuk mengurangi risiko bencana. Perencanaan dimulai dari kajian
risiko bencana dan analisis tingkat ketahanan. Kebijakan dan
strategipenanggulanganbencanadanstrategimerupakanpayungdalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Kebijakan penanggulangan bencana menghasilkan
visi,misi dan strategi penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Strategi penanggulangan bencana meliputi:
1. Pada tahap pencegahan, strategi yang ditempuh mengutamakan upaya preventif
agar kerusakan dan korban jiwa dapat diminimalkan jika terjadi bencana.
2. Pada tahap tanggap darurat, dilakukan upaya penyelamatan, pencarian dan
evakuasi serta pemberian bantuan darurat berupa tempat penampungan
3. Pada tahap rehabilitasi, dilakukan upaya perbaikan fisik dan non fisik serta
pemberdayaan dan mengembalikan harkat hidup terhadap korban bencana
secara manusiawi.
4. Pada tahap rekonstruksi, dilakukan upaya pembangunan kembali sarana/prasarana
serta fasilitas umum yang rusak, agar kehidupan masyarakat dapat dipulihkan
kembali.
2.4Peran Serta Masyarakat dalam Penanggulangan Bencana
Peran serta masyarakat dalam penanggulangan bencana sangat ditekankan karena
pada dasarnya masyarakat lebih memahami kondisi dan bagaimana memperlakukan
lingkungannya dengan kearifan yang mereka miliki. Masyarakat yang semula
diposisikan sebagai objek pasif menjadi subjek aktif dan dengan kesadaran diri
bertanggung jawab untuk melakukan upaya-upaya penanggulangan bencana melalui
berbagai kegiatan penanggulangan bencanamelalui berbagai kegiatan yaitu
pengembangan budaya sadar bencana, penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan
pelatihan serta peningkatan pemahaman tentang kerentananmasyarakat. Pelaksanaan
peran serta masyarakat dalam penanggulangan bencana yang berorientasi pada
pemberdayaan dan kemandirian melalui peran serta masyarakat akan mengarah
kepada:
1. Melakukan upaya penanggulangan bencana bersama masyarakat di kawasan
2. Menghindari munculnya kerentanan baru dan ketergantungan masyarakat di
kawasan rawan bencana pada pihak luar;
3. Penanggulangan risiko bencana merupakan bagian tak terpisahkan dari proses
pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam untuk kelangsungan
kehidupan di kawasan rawan bencana, dan
4. Pendekatan multisektor, multidisiplin, dan multibudaya.
2.4.1Kelompok Peduli Bencana
Kelompok masyarakat peduli bencana adalah kelompok masyarakat yang
memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana,
serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan, jika
terkena bencana. Dengan demikian kelompok masyarakat peduli bencana merupakan
sebuah kelompok masyarakat yang dibentuk untuk memiliki kemampuan mengenali
ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk
mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi
risiko bencana Kemampuan ini diwujudkan dalam pembangunan yang mengandung
upaya-upaya pencegahan, kesiapsiagaan, dan peningkatan kapasitas untuk pemulihan
pasca keadaan darurat.
Pengembangan kelompok masyarakat peduli bencana merupakan salah satu
upaya penanggulangan bencana berbasis masyarakat. Penanggulangan bencana
bencana dan kerentanan masyarakat, dan meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan, yang
direncanakan dan dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pelaku utama. Dalam
kelompok masyarakat peduli bencana, masyarakat terlibat aktif dalam mengkaji,
menganalisis, menangani, memantau, mengevaluasi dan mengurangi risiko-risiko
bencana yang ada di wilayah mereka, terutama dengan memanfaatkan sumber