• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Bencana dengan Studi Kasus: Kelompok Masyarakat Peduli Bencana Desa Tanjung Mulia Kecamatan Sitelu Tali Urang Jehe Kabupaten Pakpak Bharat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Bencana dengan Studi Kasus: Kelompok Masyarakat Peduli Bencana Desa Tanjung Mulia Kecamatan Sitelu Tali Urang Jehe Kabupaten Pakpak Bharat"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peran Serta Masyarakat

Tinjauan ini menguraikan pengertian peran serta masyarakat, faktor-faktor yang

mempengaruhi peran serta masyarakat bentuk dan jenis peran serta masyarakat,

tingkat peran serta masyarakat, dan peran serta masyarakat dalam proses

pembangunan.

2.1.1 Pengertian peran serta masyarakat

Peran serta masyarakat adalah suatu proses yang melibatkan masyarakat yaitu

proses komunikasi dua arah yang terus menerus untuk meningkatkan pengertian

masyarakat secara penuh atas proses kegiatan(Carter,1991).

Peran serta masyarakat adalah suatu usaha untuk menumbuhkan semangat dan

rasa memilikiterhadap berbagai kegiatan pembangunan masyarakat berdasar atas

keterlibatannya dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan (Syam,

2005). Sedangkan menurut Oetomo dalam Budiarti (2006) peran serta

seseorang/masyarakat diartikan sebagai bentuk penyerahan sebagianperan dalam

kegiatan dan tanggung jawab tertentu dari suatu pihak ke pihak lain. Sudharto (1999)

menyebutkan bahwa dalam peran serta masyarakat terdapat adanya keterlibatan

(2)

kelompok dalam upaya mencapai tujuan dan bertanggung jawab terhadap usaha

yangdilakukan. Selanjutnya Sastropoetro dalam Hardiati (2007) menambahkan

bahwa keterlibatan diri/ego masyarakat yang terlibat dalam peran serta memiliki

sifatnya lebih dari sekedar keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja, namun juga

keterlibatan tersebut meliputi pikiran dan perasaannya.

2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peran Serta Masyarakat

Peran serta masyarakat menurut Sudharto(1999) dipengaruhi faktor internal dan

eksternal. Adapun faktor-faktor internal tersebut adalah: (a) jenis kelamin; (b) usia;(c)

tingkat pendidikan; (d) tingkat penghasilan; (e) mata pencaharian; (f) status

kepemilikan lahan.

Selain faktor internal yang disebutkan diatas, menurut Thoha (2002) faktor

internal lain yang mempengaruhi peran serta masyarakat adalah: (a) persepsi; (b)

ikatan filologis; (c) kepemimpinan. Persepsi pada hakikatnya merupakan proses

kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang

lingkungannya. Informasi tersebut dapat melalui penglihatan, pendengaran,

penghayatan, perasaan dan penciuman. Persepsi akan melandasi tindakan dan

interaksi seseorang dalam berperan serta atau terlibat dalam suatu kegiatan.

Peran serta juga dipengaruhi oleh seringnya seseorang berinteraksi yang

membawa konsekuensi semakin kuatnya ikatan psikologis dengan lingkungan di

(3)

makin tinggi ikatan psikologis dengan lingkungan yang berpengaruh pada besarnya

keinginan dan dorongan untuk terlibat dalam kegiatan bersama. Selain itu yang

menggerakkan keaktifan seseorang untuk terlibat dalam kegiatan bersama adalah

pengaruh kepemimpinan. Hal ini dapat dimengerti karena pemimpin merupakan

seseorang yang mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi perilaku orang lain yang

dipimpinnya.

Faktor eksternal yang mempengaruhi peran serta menurut Sunarti dalam

Hardiati (2007) adalah semua pihak yang berkepentingan dan mempunyai pengaruh

terhadap program. Pengaruh disini adalah kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki

oleh stakeholder atas program, berupa kekuatan untuk mengendalikan keputusan

yang dibuat dan memfasilitasi pelaksanaan program. Stakeholder tersebut antara lain:

lembaga pendapingan (LSM), instansi pemerintahataulembagakeuangan. Berkaitan

dengan faktor eksternal instansi pemerintah,Kurniawan(2004)dalam penelitiannya

menyebutkan bahwa komitmen pemerintah yang belum optimal menyebabkan

koordinasi antar dinas/instansi tidak optimal yangmengakibatkan menyebabkan

perbedaan persepsi dalam pelaksanaan program dan kurangnya komitmen dalam

pengalokasian dana berpengaruh terhadap kinerjapelaksanaan kegiatan.

2.1.3Tingkat Peran Serta Masyarakat

Arnstein dalam Hadi (1999) menggolongkan tingkat peran serta masyarakat

dalam program pembangunan menjadi delapan tingkatan berdasarkan kadar kekuatan

(4)

delapan jenjang peran serta masyarakat, yaitu: (a) manipulation atau manipulasi;(b)

therapy atau penyembuhan; (c) informingatau pemberian informasi;(d) consultation

atau konsultasi; (e) placation atau peredaman; (f) partnership atau kemitraan; (g)

delegated power atau pelimpahan kekuasaan; (h) citizen control atau pengawasan

masyarakat. (Keterangan Gambar 1.1)

Gambar1.1Eightrungs on The Ledder of CitizenParticipation Sumber:Arnstein, 1969 dalam Hadi, 1999

Selanjutnya Hadi (1999) menerangkan bahwa pada tingkat paling bawah

manipulation;kedua,therapy disimpulkan sebagai tingkat bukan peran serta. Tujuan

pada tingkat ini untuk “mendidik” dan “mengobati” peserta dalam peran serta;tingkat

ketiga informing; tingkat keempat, consultation disebut tokeinisme atau sekedar

formalitas yang menungkinkan masyarakat untuk mendengar dan memiliki hak untuk

(5)

keputusan; tingkat kelima,placation dipandang sebagaitokeinisme yang lebih

tinggi dimana masyarakat memiliki hak memberikanadvicetetapi kekuasaan

pengambilan keputusan tetap ditangan pemrakarsa kegiatan;pada tingkat

keenam,partnership masyarakat memilki ruang untuk bernegosiasidan terlibat

trade-off para pemegang kekuasaan; pada tingkat ketujuh,delegatedpower dan tingkat

kedelepan, citizencontrol, masyarakat memiliki kekuatan mayoritas untuk

mengambilkeputusan. (Keterangan Gambar 1.1)

2.1.4 Bentuk dan Jenis Peran Serta Masyarakat

Bentuk kontribusi peran serta dapat berbentuk gagasan, tenaga dan materi.

Adapun jenis-jenis peran serta menurut Sastropoetro dalam Hardiati (2007) meliputi:

(a) pikiran (psychologicalparticipation); (b) tenaga(physicalparticipation); (c) pikiran

dan tenaga (psychologicaland physicalparticipation); (d) keahlian

(participationwithskill); (e) barang(material participation);(f) uang

(moneyparticipation).

2.1.5Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Pembangunan

Secara umum peran serta masyarakat dalam pembangunan dapat ditinjau dari

keterlibatannya dalam tahap-tahap pembangunan.Terdapat lima tahap proses

pembangunan yakni: (1) inisiasi; (2) legitimasi; (3) perencanaan; (4) implementasi;

(6)

proses pembangunan terdiri dari enam tahap yang saling berhubungan yaitu:(1)

formulasi tujuan, sasaran dan target; (2) penelitian,survey daninventaris; (3) persiapan

perencanaan; (4) perencanaan yang diterima; (5) implementasi, operasi dan

pemeliharaan; (6) evaluasi.

Menurut Purba (2002) menyatakan untuk menciptakan

cleanenvironmentalmanagementandgoodenvironmentalgovernance, menuntut

persyarat adanya keterbukaan,kesetaraan, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat

sertaakuntabilitas.

Lahirnya pembangunan partisipasi khususnya dalampengelolaan peran serta

masyarakat dalam penanggulangan bencana dilatarbelakangi oleh program,

proyekdan kegiatan pembangunan yang selama ini dilakukan sering gagal. Peran serta

masyarakat dalam penanggulangan bencana yang selama ini dikembangkan dan

dipraktekkan cenderung mengarah pada dua pendekatan yang bertolak belakang

yaknistate-based dan community-based.Model state-basedseringkali mengalami

kegagalan atau hambatan hal tersebut dikarenakan model tidak fleksibel,lemah dalam

kapasistas kelembagaan, kurang tepatnya disain dan implementasi serta kurangnya

peran serta masyarakat (Oetomo, 1997 dalam Budiarti 2006.Pendekatan

state-basedyang cenderung top-downumumnya digunakan dalam program-program yang

relatif cepat. Namun demikian dalam pelaksanaannya banyak menghadapi kendala,

khususnya berkaitan denganperan serta masyarakat. Budiarti (2006),menyatakan

(7)

keterbatasan birokrasi dalam pemenuhan kebutuhan standar pengelolaan seperti: (1)

keterbatasan pengetahuan; (2) keterbatasan informasi; (3) rendahnya kualitas

sumberdaya manusia; (4) buruknya kelembagaan dalam pengelolaan pengaturan

sumberdaya alam; (5) kurangnya partisipasi dan keterlibatan masyarakat lokal dalam

pengambilan keputusan pengelolaan yang berimplikasi pada tidak adanya dukungan

masyarakat lokal. Sedangkan pendekatan communitybasedmenekankan pada

pemberian kewenangan dan otoritas pada komunitas untuk lebih berperan di dalam

pengelolaan lingkungan. Pendekatan ini bersifat bottomupkarena aspirasi,

kewenangan, dan otoritas pengelolaan lingkungan lebih bersumber dari bawah atau

masyarakat, tidak sebagaimana statebasedyang cenderung dari atas. Pendekatan

communitybased, menekankan masyarakat berperan sebagai pihak yangterlibat

langsung dalam manajemen, sedang pemerintah dan swasta berpartisipasi secara tidak

langsung. Pemerintah berperan sebagai koordinator dan pemberi bantuan dalam

proses konsultasi, sedangkan kelompok masyarakat sebagai pelaku/pelaksana yang

berperan sangat dominan dan LSM sebagai pemberi masukan dalam pelaksanaannya

(Oetomo 1997 dalam Budiarti 2006). Namun demikian, pendekatan

communitybasedjuga memiliki beberapa kelemahan, yaitu: (1) lemahnya institusi

lokal (terutama kurangnya mekanisme resolusi konflik); (2)keterbatasan informasi

dan teknologi; (3) kurangnya sistem pendukung seperti informasi pasar, peningkatan

kapasitas, technicalassistance, fasilitas keridit dan kebijakan. Atas kelemahan kedua

pendekatan tersebut, muncul pendekatan kemitraan dan partisipasi. Pendekatan ini

(8)

masing-masing aktor serta memberdayakan aktor yang kurang diuntungkan; (2)

sebagai pendekatan yang fleksibel untuk mengurangi kegagalan pencapaian tujuan;

(3) efisiensi. Oleh karena itu, perludilakukan reorientasi terhadap strategi

pembangunan masyarakat yang lebih mengedepankan partisipasi dan pemberdayaan

masyarakat (Hikmat, 2004). Tjokroamijoyo (1998) menguraikan kaitan partisipasi

dengan pembangunan adalah sebagai berikut:

a. Keterlibatan aktif atau peran serta masyarakattersebut dapat berarti

keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijakan

pembangunan yang dilakukan pemerintah. Hal ini terutama berlangsung

dalam proses politik tetapi juga dalam proses sosial hubungan antar

kelompok kepentingan dalam masyarakat.

b. Keterlibatan dalam memikul beban dan bertanggungjawab dalam

pelaksanaan pembangunan.Hal ini dapat berupa sumbangan dalam

memobilisasi sumber-sumber pembiayaan dalam pembangunan, kegiatan

produktif yang serasi, pengawasan sosial atas jalannya pembangunan dan

lain-lain.

c. Keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara

berkeadilan. Bagian-bagian daerah ataupun golongan-golongan masyarakat

tertentu dapat ditingkatkan keterlibatannya dalam bentuk kegiatan

produktif mereka melalui perluasan kesempatan-kesempatan dan

(9)

Pendekatan partisipatif memberikan perhatian pada proses pengembangan pola

pikir dan pola sikap, pengkayaan pengalaman dan pengetahuan serta proses

pembelajaran yang bertujuan untuk memperkuat asosiasi masyarakat dan mekanisme

baru, sehingga dengan mekanisme ini lembaga pemerintah dapat mempertanggung

jawabkan aksinya. Pendekatan partisipastif memungkinkan terjadinya pertukaran

gagasan (sharingidea), jalin kepentingan (knittinginterest) dan pemaduan karya

(synergy of action) diantarastakeholders, terutama pemberian kesempatan kepada

masyarakat lokal untuk terlibat dalam pelaksanaan programpembangunan

(Thompson, 1999 dalam Budiarti 2006).Pendekatan partisipatif dapat digunakan

sebagai strategi untuk meminimalkan terjadinya kegagalan/hambatan dalam

pelaksanaan program-program pemerintah. Hal ini disebabkan pendekatan partisipatif

mendorong munculnya partisipasi yang lebih besar dalam masyarakat mulai dari

perencanaan sampai implementasi. Selain tentunya, partisipasi juga dapat

mengembangkan kemandirian, mengurangi ketergantungan serta mewujudkan

partsisipasi dan pemberdayaan masyarakat (Glaser& Joseph, 1997 dalam Budiarti

2006). Salah satu teknik upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam

pembangunan adalah ParticapatoryRuralAppraisal(Hikmat, 2004).

Adapun prinsip-prinsip ParticipatoryRuralAppraisalyang harus dilakukan

adalah:

a. Masyarakat dipandang sebagai subyek bukan obyek;

(10)

c. Dalam menentukan parameter yang standar, lebih baik mendekati benar dari

pada benar-benar salah;

d. Masyarakat yang membuat peta, model, diagram, pengurutan, memberi

angka atau nilai, mengkaji atau menganalisis, memberikan contoh,

mengidentifikasi masalah, menyeleksi prioritas masalah, menyajikan hasil,

mengkaji ulang dan merencanakan kegiatan aksi;

e. Pelaksanaan evaluasi, termasuk penentuan indikator keberhasilan dilakukan

secara partisipatif. Pendekatan terhadap kegunaan teknik-teknik

ParticipatoryRuralAppraisaltersebut dengan mudah dapat dikaji melalui

pendekatan sistem sosial (Hikmat, 2004).

2.2. Konsep Penanggulangan Bencana

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

DalamUndang-undang tersebut, terdapat ketentuan umum yang mendefinisikan

penyelenggaraan.Penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi

penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan

pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilita. Dari definisi tersebut terlihat

bahwa penanggulangan bencana adalah upaya pengurangan risiko bencana pada fase

sebelum, saat dan setelah bencana.

Pada fase sebelum bencana dilaksanakan upaya pengarusutamaan

(11)

tanggap darurat. Pada fase setelah bencanaterjadi dilaksanakan upaya pemulihan

dampak bencana.Selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah

Nomor21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Pada

Pasal 5, dinyatakan bahwa pelaksanaan penanggulangan bencana ini membutuhkan

Rencana Penanggulangan Bencana yang disusun pada situasi tidak terjadi

sebagaimana Undang-undang No. 24 tahun 2007, Peraturan Kepala Badan

Penanggulangan Bencana Nomor 04 tahun 2008 tentang Pedoman

PenyusunanRencana Penanggulangan Bencana juga menyebutkan bahwa

penanggulanganbencana terdiri dari beberapa fase, yaitu fase pencegahan dan

mitigasi, fase kesiapsiagaan, fase tanggap darurat dan fase pemulihan (Keterangan

Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Siklus Manajemen Penanggulan Bencana

(12)

2.3 Kajian Risiko Bencana

Kajian risiko bencana yang terdapat dalam Perka BNPB No. 04 tahun 2008, disusun

berdasarkan analisis risiko bencana dan digambarkan sebagai berikut:

R = H x V/C………..……(2.1)

R = Risiko Bencana.

H = HazardatauPotensi Bencana.

V = Vulnerabilityatau Kerentanan.

C = Kapasitas.

2.3.1 Potensi Bencana

Potensi bencana suatu wilayah tergantung pada kondisi wilayah

yangbersangkutan. Hal ini dapat dilihat dari data kejadian bencana yang terjadi di

wilayah tersebut:

a. Gempabumi, dampak yang dapat timbul oleh gempabumi ialah

berupakerusakan atau kehancuran bangunan (rumah, sekolah, rumah sakit

danbangunan umum lain) dan konstruksi prasarana fisik (jalan,

jembatan,bendungan, pelabuhan laut/udara, jaringan listrik dan

telekomunikasi, dan lain-lain)serta bencana sekunder yaitu kebakaran dan

korban akibat timbulnyakepanikan.

b. Tsunami, adalah gelombang pasang yang timbul akibat

(13)

di laut.Namun, tidak semua fenomena tersebut dapat memicu terjadinya

tsunami.

c. Letusan Gunung Api, dampak/risiko yang ditimbulkan oleh jatuhan

materialletusan, awan panas, aliran lava, gas beracun, abu gunung api dan

bencanasekunder berupa aliran lahar.

d. Banjir, sebagai fenomena alam terkait dengan ulah manusia terjadi

sebagaiakibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai,

kondisi daerahhulu,kondisi daerah budidaya dan pasang surut air laut.

Potensi terjadinyaancaman bencana banjir dan tanah longsor saat ini

disebabkan keadaan badansungai rusak, kerusakan daerah tangkapan air,

pelanggaran tata ruangwilayah, pelanggaran hukum meningkat,

perencanaan pembangunan kurangterpadu dan disiplin masyarakat yang

rendah.

e. Tanah Longsor, merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau

batuan,ataupun pencampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat

dariterganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng

tersebut.Pemicu dari terjadinya gerakan tanah ini adalah curah hujan yang

tinggi sertakelerengan tebing.

f. Kebakaran, potensi bahaya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia

cukupbesar. Hampir setiap musim kemarau Indonesia menghadapi

(14)

hanyakehilangan keanekaragaman hayati tetapi juga timbulnya gangguan

asap diwilayah sekitar yang sering kali mengganggu negara-negara

tetangga.

g. Kekeringan, fenomena ini dialami berbagai wilayah di Indonesia hampir

setiap musim kemarau. Hal ini erat terkait dengan menurunnya fungsi

lahandalam menyimpan air. Penurunan fungsi tersebut ditengarai

akibatrusaknyaekosistem pemanfaatan lahan yang berlebihan. Dampak dari

kekeringan iniadalah gagal panen, kekurangan bahan makanan hingga

dampak yangterburuk adalah banyaknya gejala kurang gizi bahkan

kematian.

h. Epidemi dan wabah penyakit. Wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu

penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya

meningkatsecara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu

dan daerahtertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Epidemi baik

yang berupamengancam manusia maupun hewan ternak berdampak serius

berupakematian serta terganggunya roda perekonomian.

i. Kebakaran gedung dan permukiman. Kebakaran gedung dan

permukimanpenduduk sangat marak pada musim kemarau. Hal ini terkait

dengankecerobohan manusia diantaranya pembangunan gedung/rumah

(15)

j. Kegagalan teknologi merupakan kejadian yang diakibatkan oleh

kesalahandesain,pengoperasian, kelalaian dan kesenjangan manusia dalam

penggunaan teknologi dan industri.

2.3.2 Kerentanan Masyarakat Terhadap Bencana

Kerentanan (vulnerability) adalah keadaan atau sifat/prilaku manusia

ataumasyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau

ancaman. Kerentanan ini dapat berupa:

a. Kerentanan fisik.

Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakatberupa daya tahan

menghadapi bahaya tertentu. Misalnya, kekuatanbangunan rumah bagi

masyarakat yang berada di daerah rawan gempa.Adanya tanggul pengaman

banjir bagi masyarakat yang tertinggal di bantaransungai dan sebagainya.

b. Kerentanan ekonomi.

Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakatsangat menentukan

tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Padaumumnya masyarakat atau

daerah yang miskin atau kurang mampu lebihrentan terhadap bahaya,

karenatidak mempunyai kemampuan finansial yangmemadai untuk melakukan

upaya pengurangan risiko bencana.

c. Kerentanan Sosial.

Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkatkerentanan terhadap

(16)

pengetahuan tentang risiko bahaya dan bencana akanmengurangi tingkat

kerentanan, demikian pula tingkat kesehatan masyarakat yang rendah juga

mengakibatkan rentan terhadap bahaya.

d. Kerentanan Lingkungan.

Lingkungan hidup suatu masyarakat sangatmempengaruhi kerentanan.

Masyarakat yang tinggal di daerah yang keringdan sulit air akan selalu

terancam bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng bukit atau

pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor dan sebagainya.

2.3.3Kemampuan menghadapi Bencana

Kemampuan menghadapi bencana merupakan seluruh upaya menyeluruh dan

proaktif dimulai pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana.Penanggulangan

bencana disusun untuk mengurangi risiko bencana. Perencanaan dimulai dari kajian

risiko bencana dan analisis tingkat ketahanan. Kebijakan dan

strategipenanggulanganbencanadanstrategimerupakanpayungdalam penyelenggaraan

penanggulangan bencana. Kebijakan penanggulangan bencana menghasilkan

visi,misi dan strategi penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Strategi penanggulangan bencana meliputi:

1. Pada tahap pencegahan, strategi yang ditempuh mengutamakan upaya preventif

agar kerusakan dan korban jiwa dapat diminimalkan jika terjadi bencana.

2. Pada tahap tanggap darurat, dilakukan upaya penyelamatan, pencarian dan

evakuasi serta pemberian bantuan darurat berupa tempat penampungan

(17)

3. Pada tahap rehabilitasi, dilakukan upaya perbaikan fisik dan non fisik serta

pemberdayaan dan mengembalikan harkat hidup terhadap korban bencana

secara manusiawi.

4. Pada tahap rekonstruksi, dilakukan upaya pembangunan kembali sarana/prasarana

serta fasilitas umum yang rusak, agar kehidupan masyarakat dapat dipulihkan

kembali.

2.4Peran Serta Masyarakat dalam Penanggulangan Bencana

Peran serta masyarakat dalam penanggulangan bencana sangat ditekankan karena

pada dasarnya masyarakat lebih memahami kondisi dan bagaimana memperlakukan

lingkungannya dengan kearifan yang mereka miliki. Masyarakat yang semula

diposisikan sebagai objek pasif menjadi subjek aktif dan dengan kesadaran diri

bertanggung jawab untuk melakukan upaya-upaya penanggulangan bencana melalui

berbagai kegiatan penanggulangan bencanamelalui berbagai kegiatan yaitu

pengembangan budaya sadar bencana, penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan

pelatihan serta peningkatan pemahaman tentang kerentananmasyarakat. Pelaksanaan

peran serta masyarakat dalam penanggulangan bencana yang berorientasi pada

pemberdayaan dan kemandirian melalui peran serta masyarakat akan mengarah

kepada:

1. Melakukan upaya penanggulangan bencana bersama masyarakat di kawasan

(18)

2. Menghindari munculnya kerentanan baru dan ketergantungan masyarakat di

kawasan rawan bencana pada pihak luar;

3. Penanggulangan risiko bencana merupakan bagian tak terpisahkan dari proses

pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam untuk kelangsungan

kehidupan di kawasan rawan bencana, dan

4. Pendekatan multisektor, multidisiplin, dan multibudaya.

2.4.1Kelompok Peduli Bencana

Kelompok masyarakat peduli bencana adalah kelompok masyarakat yang

memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana,

serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan, jika

terkena bencana. Dengan demikian kelompok masyarakat peduli bencana merupakan

sebuah kelompok masyarakat yang dibentuk untuk memiliki kemampuan mengenali

ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk

mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi

risiko bencana Kemampuan ini diwujudkan dalam pembangunan yang mengandung

upaya-upaya pencegahan, kesiapsiagaan, dan peningkatan kapasitas untuk pemulihan

pasca keadaan darurat.

Pengembangan kelompok masyarakat peduli bencana merupakan salah satu

upaya penanggulangan bencana berbasis masyarakat. Penanggulangan bencana

(19)

bencana dan kerentanan masyarakat, dan meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan, yang

direncanakan dan dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pelaku utama. Dalam

kelompok masyarakat peduli bencana, masyarakat terlibat aktif dalam mengkaji,

menganalisis, menangani, memantau, mengevaluasi dan mengurangi risiko-risiko

bencana yang ada di wilayah mereka, terutama dengan memanfaatkan sumber

Gambar

Gambar 2.1).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan permasalahan yang ada kami menganalisis Sistem Informasi Apotek Sungai Bambu pada bisnis proses pelayanan dokter, penjualan obat resep dan tanpa resep,

CY 2018 carabeef and beef production is projected to increase marginally by one percent to 4.3 million metric tons CWE due to population growth and moderate export demand.. CY 2018

Keuntungan (kerugian) dari perubahan nilai aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual

Fasilitas kredit kepada bank lain yang belum ditarik.. Irrevocable L/C yang

Sejak ada nya program Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

(1) Sub Bagian teknis administrasi pembangunan mempunyai tugas mengumpulkan bahan program tahunan pembangunan, mengkoordinasikan penyusunan pedoman dan petunjuk

Yang dimaksud dengan pelaksanaan pempelajaran di sisi adalah pelaksanaan komponen-komponen pokok pembelajaran yang meliputi komponen tujuan pembelajaran, materi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keawetan alami empat jenis kayu rakyat yaitu durian, karet, manii dan petai serta mempelajari pengaruh konsentrasi