• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM A. Posisi Kebijakan Fiskal

Bisa dikatakan, kebijakan fiskal memegang peranan penting dalam sistem ekonomi Islam bila dibandingkan kebijakan moneter. Adanya larangan tentang riba serta kewajiban tentang pengeluaran zakat menyiratkan tentang pentingnya kedudukan kebijakan fiskal di bandingkan dengan kebijakan moneter. Larangan bunga yang diberlakukan pada tahun Hijriah keempat telah mengakibatkan sistem ekonomi Islam yang dilakukan oleh nabi terutama bersandar pada kebijakan fiskalnya saja. Sementara itu, Negara Islam di bangun oleh nabi tidak mewarisi harta sebagaimana layaknya dalam pendirian suatu Negara. Oleh karena itu, kita akan mampu melihat bagaimana kebijakan fiskal sangat memegang peranan penting dalam membangun Negara Islam tersebut.

Aspek pilitik dari kebijakan fiskal yang dilakukan oleh khalifah adalah dalam rangka mengurusi dan melayani umat. Kemudian dilihat dari bagaimana Islam memecahkan problematika ekonomi, maka berdasarkan kajian fakta permasalah ekonomi secara mendalam terungkap bahwa hakikat permasalahan ekonomi terletak pada bagaimana distribusi harta dan jasa di tengah-tengah masyarakat sehingga titik berat pemecahan permasalahan ekonomi adalah bagaimana menciptakan suatu mekanisme distribusi ekonomi yang adil. Allah SWT mengingatkan kita tentang betapa sangat urgennya masalah distribusi harta ini dalam firman-Nya:

“…Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja diantara kamu…”[1] (QS. Al-Hasyr: 7).

Juga dalam hadis Nabi SAW:

“Jika pada suatu pagi di suatu kampong terdapat seseorang yang kelaparan, maka Allah berlepas diri dari mereka”, dalam kesempatan lain “Tidak beriman pada-Ku, orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara ia tahu tetangganya kelaparan.” (Hadis Qudsi).

Sejaran Islam mencatat bagaimana perkembangan perang kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi Islam mulai dari zaman awal Islam sampai kepada puncak kejayaan Islam pada zaman pertengahan. Setelah zaman pertengahan, seiring dengan kemunduran-kemunduran dalam pemerintahan Islam yang ada pada waktu itu, maka kebijakan fiskal Islami tersebut sedikit demi sedikit mulai ditinggal dan digantikan dengan kebijakan fiskal lainnya dari sistem ekonomi yang sekarang kita kenal dengan nama sistem ekonomi konvensional.

B. ZISWA sebagai Komponen Kebijakan Fiskal Islami

Dalam Islam kita kenal adanya konsep zakat, infak, sedekah, wakaf dan lain-lain (ZISWA). Zakat merupakan kewajiban untuk mengeluarkan sebagian pendapatan atau harta seseorang yang telah ditetapkan dalam syariah Islam. Sementara infak, sedekah, wakat merupakan pengeluaran „sukarela‟ yang juga sangat dianjurkan dalam Islam. Dengan demikian ZISWA merupakan unsur-unsur yang terkandung dalam kebijakan fiskal. Unsur-unsur-unsur tersebut adalah

(2)

bersifat wajib seperti zakat dan ada pula yang bersifat sukarela seperti sedekah, infak dan wakat. Pembagian dalam kegiatan „wajib‟ dan „sukarela‟ ini khas di dalam sitem ekonomi Islam, yang membedakannya dari sistem ekonomi pasar. Dalam sistem ekonomi pasar tidak ada „sektor sukarela‟.

1. Zakat

Dalam hal pengelolaan keuangan publik, dunia Islam dewasa ini kehilangan minilam dua hal yaitu menghilangkan spirit religiositas dan kehilangan mekanisme teknis yang bermanfaat. Pertama, menghilangnya spirit religiositas dalma pemenuhan dan penggunaan keuangan Negara disebabkan oleh pandangan sekularisme yang melanda dunia Islam, hal ini menyebabkan dunia Islam kehilangan daya dorong internal yang sangat vital. Kedua, tidak digunakannya berbagai mekanisme yang berbau Islam, justru dunia Islam kehilangan metode menyejahterakan rakyatnya.

Sebagai contoh, tidak diadopsinya zakat ke dalam sistem ketata negaraan, menyebabkan dunia Islam kehilangan kekuatan untuk menjalankan program welfare. Program kesejahteraan untuk memecahkan masalah kemiskinan dan bencana yang meliputi kesehatan, pangan, balita, dan manula tidak dikenal dengan standar yang memuaskan di seluruh dunia Islam.

Zakat sendiri bukanlah satu kegiatan yang semata-mata untuk tujuan duniawi, seperti distribusi pendapatan, stabilitas ekonomi, dan lainnya, tetapi juga mempunyai implikasi untuk kehidupan di akhirat. Hal inilah yang membedakan kebijakan fiskal dalam Islam dengan kebijakan fiscal dalam sistem ekonomi pasar. Coba perhatikan QS.at-Taubah ayat 103 berikut ini:

{

è

õ

B

Ï

`

ô

&

r

B

ø

q

u

Î

l

Ï

N

ö

¹

|

y

%

s

p

Z

?

è

Ü

s

g

Îd

ã

d

è

N

ö

r

u

?

è

t

.

Ïj

Í

N

5

Í

k

p

$

r

u

¹

|

@

Èe

æ

t

=

n

ø

g

Î

N

ö

(

)

Î

b

¨

¹

|

=

n

q

4

?

s

7

y

y

3

s

`

Ö

;

°

l

ç

N

ö

3

r

u

#

$

!

ª

y

J

Ï

ì

ì

æ

t

=

Î

í

ÇÊÉÌÈ

Artinya:

Ambillah zakat dari sebagaian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui

.

[2]

Sementara itu dampak untuk pengeluaran-pengeluaran lainnya seperti sedekah dan lain-lain, coba perhatikan QS. Al-Baqarah ayat 261:

B

¨

W

s

@

ã

#

$

!

©

%

Ï

ûï

t

ƒ

ã

Z

ÿ

Ï

)

à

bq

t

&

r

B

ø

q

u

s

g

ß

O

ó

û

Î

y

6

Î

@‹

È

#

$

!

«

.

x

J

y

V

s

@

È

m

y

6

¬

p

>

&

r

R

/

;

u

F

t

M

ô

y

7

ö

ì

y

y

Z

u

/$

Î

@

Ÿ

û

Î

.

ä

@

Èe

ß

Y

/

7

ç

#

s

'

7

B

Ïi

$

(

s

p

è

m

y

6

¬

p

7

3

r

u

#

$

!

ª

ƒ

ã

Ò

Ÿ

»

è

Ï

#

ß

9

Ï

J

y

`

o

±

t

$

!

ä

â

3

r

u

#

$

!

ª

r

u

º

Å

ì

ì

æ

t

=

Î

í

ÇËÏÊÈ

Artinya:

(3)

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siap yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. [3]

Untuk menghitung potensi zakat penghasilan/profesi ia menggunakan data dari Badan Pusat Statistik, yaitu data: Sensus Penduduk, Suvei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SENSE). Dari data-data tersebut, antara lain akan diperoleh angka persentase penduduk muslim di Indonesia, jumlah total penghasilan pekerja dan professional serta pertumbuhan rata-rata penghasilanya.

Z = k rm YK

Selanjutnya, disusun satu formula untuk menghitung potensi zakat penghasilan atau profesi sebagai berikut:

Dimana:

Z = Jumlah zakat penghasilan/profesi.

k = Konstanta kadar zakat penghasilan/profesi = 0.025 rm = Persentase penduduk muslim Indonesia

Yk = Total penghasilan pekerja Indonesia yang penghasilannya di atas nisab.

Nisab adalah angka minimal asset yang terkena kewajiban zakat. Dalam konteks zakat penghasilan, maka nisabnya adalah penghasilan minimal per bulan yang membuat seseorang menjadi wajib zakat (muzaki). Untuk menentukan nisab, penulis menyandarkan pada pendapat Didin Hafidhuddin yang mengatakan bahwa zakat profesi dapat dianalogikan pada dua hal sekaligus, yaitu pada zakat pertanian, yaitu 5 wasaq atau senilai 653 Kg gabah kering/ gandum atau 522 Kg beras (pada tahun 2004 senilai Rp. 1.460.000). Artinya, seseorang yang memiliki penghasilan sebesar Rp.1.460.000 sudah merupakan wajib zakat (muzaki) dan zakatnya dikeluarkan pada saat menerima gaji.

2. Wakaf

Wakaf merupakan satu instrument ekonomi Islam yang belum diberdayakan secara optimal di Indonesia. Padahal di sejumlah Negara lain, seperti Mesir dan Bangladesh, wakaf telah dikembangkan sedemikian rupa, sehingga menjadi sumber pendanaan yang tidak habis-habisnya bagi pengembangan ekonomi umat. Dalam kondisi keterpurukan ekonomi seperti

(4)

yang tengah dialami Indonesia saat ini, alangkah baiknya bila kita mempertimbangkan pengembangan instrument wakat ini (Masyita, 2003).

Wakaf memang tidak jelas dan tegas disebutkan dalam Al-Qur‟an, tetapi ada beberapa ayat yang dapat dijadikan dasar hokum wakaf. Salah satunya adal firman Allah berikut ini, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagaian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imron: 92) Begitu pula dalam suatu hadis, Rasulullah bersabda “Apabila seorang manusia meninggal, terputuslah amal perbuatannya, kecuali dari 3 hal yaitu; sadaqah jariyah (sedekah yang pahalanya tetap mengalir), ilmu yang bermanfaat dan doa anak saleh”. Beberapa ahli berpendapat, yang termasuk shadaqah jariyah dalam hadis itu salah satunya adalah harta yang diwakafkan.

Di era modern ini wakaf tunai dipopulerkan oleh Prof. Dr. M. A Mannan dengan mendirikan suatu badan yang bernama SIBL (Sosial Investment Bank Limited) di Bangladesh. SIBL memperkenalkan produk sertifikat wakat tunai (cash waqf certificate) yang pertama kali dalam sejarah perbankan. SIBL menggalang dana dari orang kaya untuk dikelola dan keuntungan penglolaan disalurkan kepada rakyat miskin.

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia merespon kebutuhan perlunya wakaf tunai di Indonesia dengan menetapkan fatwa tentang wakaf tunai pada tanggal 1 Mei 2002. Allah maha adil, walaupun Indonesia secara umum mengalami krisis ekonomi, masih ada rakyat Indonesia yang dikaruniai Allah kecukupan rezeki. Golongan potensial inilah yang diharapkan dapat berpartisipasi aktif sebagai wakif dengan ikut membeli sertifikat wakaf tunai nantinya.

Tujuan dari produk sertifikat wakat tunai (Mannan, 1998) adalah untuk: (1) Penggalangan tabungan sosial dan mentransformasikan tabungan sosial menjadi modal sosial serta membantu mengembangkan pasar modal sosial; (2) Meningkatkan investasi Sosial; (3) Menyisihkan sebagian keuntungan dari sumber daya orang kaya/ berkecukupan kepada fakir miskin dan anak-anak sebagai generasi penerus; (4) menciptakan kesadaran di antara orang kaya/berkecukupan mengenai tanggung jawab social mereka terhadap masyarakat sekitarnya; dan (5) menciptakan integrasi antara keamanan social dan kedamaian social serta meningkatkan kesejahteraan umat.

C. Kebijakan Pendapatan Ekonomi Islam

Islam telah menentukan sektor-sektor penerimaan pemerintah, melalui zakat, ghanimah, fai, jizyah, kharaj, shadaqah, dan lain-lain. Jika diklasifikasikan maka pendapatan tersebut ada yang bersifat rutin seperti; zakat, jizyah, kharaj, ushr, infak dan shadaqah serta pajak jika diperlukan, dan ada yang bersifat temporer seperti; ghanimah, fa‟I dan harta yang tidak ada pewarisnya.

Secara umum ada kaidah-kaidah syar‟iyah yang membatasi kebijakan pendapatan tersebut. Khaf (1999) berpendapat sedikitnya ada tiga

(5)

prosedur yang harus dilakukan pemerintah Islam modern dalam kebijakan pendapatan fiskalnya dengan asumsi bahwa pemerintah tersebut sepakat dengan adanya kebijakan pungutan pajak (ter-lepas dari ikhtilaf ulama mengenai pajak).

1. Kaidah Syar’iyah yang Berkaitan dengan Kebijakan Pungutan Zakat 2. Kaidah-kaidah Syar’iyah yang Berkaitan dengan Hasil Pendapatan yang Berasal dari Aset Pemerintah

3. Kaidah Syar’iyah yang Berkaitan dengan Kebijakan Pajak D. Kebijakan Belanja Ekonomi Islam

Efisiensi dan efektivitas merupakan landasan pokok dalam kebijakan pengeluaran pemerintah, yang dalam ajaran Islam dipandu oleh kaidah-kaidah syar‟iyah dan penentuan skala prioritas. Pada ulama terdahulu telah memberikan kaidah-kaidah umum yang didasarkan dari Al-Qur‟an dan Hadis dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Di antara kaidah (Chapra: 1995,288-289) tersebut adalah:

1. Kebijakan atau belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.

2. Menghindari masyaqqah kesulitan dan mudarat harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan

3. Mudarat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudarat dalam skala umum

4. Pengorbanan individu dapat dilakukan dan kepentingan individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala umum 5. Kaidah al-giurmu bil gunni yaitu kaidah menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaast harus siap menanggung beban (yang ingin untung harus siap menanggung kerugian).

6. Kaidah ma la yatimmu al waajibu illa bihi fahua wajib yaitu kaidah yang menyatakan bahwa sesuatu hal yang wajib ditegakkan dan tanpa ditunjang oleh factor penunjang lainnya tidak dapat di bangun, maka menegakkan factor penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya.

Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam mewujudkan efektivitas dan efisiensi pembelanjaan pemerintah dalam Islam, sehingga tujuan-tujuan dari pembelanjaan pemerintah dapat tercapai. Di antara tujuan pembelanjaan dalam pemerintahan Islam:

a) Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat. b) Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan

c) Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif d) Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi

e) Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar

(6)

Kebijakan belanja umum pemerintah dalam sistem ekonomi islam dapat dibagi menjadi tiga bagian:

1) Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin

2) Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia.

3) Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya.

Adapun kaidah syar‟iyah yang berkaitan dengan belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin adalah mengacu pada kaidah-kaidah yang telah disebutkan diatas, secara rinci pembelanjaan Negara harus didasarkan pada: 1. Kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan azas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pejabat pemerintah

2. Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya. Kaidah ini membawa suatu pemerintahan jauh dari sifat mubazir dan kikir di samping alokasinya pada sector-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.

3. Tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaan, walaupun dibolehkan berpihak pada kelompok miskin. Kaidah tersebut cukup berlandaskan pada nash-nash yang sahih seperti kasus “al-Hima” yaitu tanah yang diblokir oleh pemerintah yang khusus diperuntukkan bagi kepentingan umum

4. Prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja Negara hanya boleh pada hal-hal yang mubah, dan menjauhi yang haram

5. Prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, dimulai dari yang wajib, sunnah, mubah atau dharruroh, hajjiyat dan kamaliyah.

E. Kebijakan Fiskal Masa Rasulullah

Menarik untuk diketahui, bagaimana kira-kira bentuk kebijakan fiskal dimasa Rasulullah yang memegang kekuasaan pemerintahan pertama di kota Madinah. Ketika itu Negara tidak mempunyai kekayaan apa pun, karena sumber penerimaan Negara hampir tidak ada.

Segala kegiatan yang dilakukan oleh Rasulullah dalam awal masa pemerintahan dilakukan berdasarkan keihkhlasan sebagai bagian dari kegiatan dakwah yang ada. Umumnya para sahabat tidak meminta balasan material dari segala kegiatan mereka dalam dakwah tersebut.

Dengan adanya perang Badar pada abad ke-2 Hijriah, Negara mulai mempunyai pendapatan dari seperlima rampasan perang (ghanimah) yang disebut dengan khums, sesuai dengan Firman Allah dalam QS. Al-Anfaal (8) ayat 41:

Referensi

Dokumen terkait

berikut: (1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam

“(1) Memahami sejumlah konsep ekonomi untuk mengkaitkan peristiwa dan masalah ekonomi dengan kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi dilingkungan individu,

yang positif dan signifikan dari sistem pengendalian intern terhadap penerimaan kas Pemerintah Provinsi Jawa

merupakan bentuk komunikasi yang melibatkan alat-alat peraga seperti : poster, tanda berbagai materi lain yang bisa dipakai untuk mengkomunikasikan produk, dengan

(1) Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum

Kriteria laporan keuangan yang lengkap menurut PSAK 1 (revisi 1998) dengan PSAK 1 (revisi 2009) adalah dalam butir (f) yang mengharuskan entitas untuk menyajikan

fitoplankton pada stasiun 2 ini dikarenakan letak posisi pengamatan yang terletak pada bagian barat Pulau Maspari sehingga mendapat masukan secara langsung dari muara

 banyaknya kandungan air tanah berhubungan erat dengan besarnya tegangan air ,moisture tension dalam tanah tersebut. Kemampuan tanah dapat menahan air antara lain