• Tidak ada hasil yang ditemukan

20120730112852.Ringkasan Eksekutif Pemetaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "20120730112852.Ringkasan Eksekutif Pemetaan"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN KERENTANAN DI DAERAH PROVINSI SERTA

INVENTARISASI KEBIJAKAN DAN KELEMBAGAAN DALAM RANGKA

ANTISIPASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

PROVINCIAL VULNERABILITY MAPPING AND POLICY INVENTORY

TO ANTICIPATE CLIMATE CHANGE IMPACTS

TAHUN ANGGARAN 2011

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

Gedung Kementerian BUMN Lt. 18

(2)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

PENDAHULUAN Latar Belakang

Perubahan iklim merupakan implikasi dari pemanasan global yang semakin nyata dirasakan oleh masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Perubahan iklim yang sedang terjadi perlu disikapi dengan memperdalam pemahaman tentang proses kejadiannya secara ilmiah, baik penyebab maupun dampaknya terhadap manusia dan lingkungan kita. Dengan pemahaman tersebut dapat direncanakan upaya penyesuaian (adaptasi) dan pencegahannya (mitigasi) dalam rangka pengendalian perubahan iklim.

Dalam rangka meningkatkan koordinasi pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan memperkuat posisi Indonesia di forum internasional dalam pengendalian perubahan iklim, Pemerintah membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2008. DNPI memiliki peranan penting dalam mendukung komitmen pemerintah dalam antisipasi perubahan iklim. Salah satu tugasnya adalah merumuskan kebijakan dalam rangka penyusunan program nasional bagi perubahan iklim dan menggerakkan seluruh sumberdaya yang ada untuk ikut berperan dalam antisipasi dampak perubahan iklim, baik sebagai program adaptasi maupun mitigasi.

INTRODUCTION

Background and The Context of Study

Climate change is the real implication of global warming which continues to affect human worldwide, include Indonesia. The occuring climate change must be addressed with real steps to get full insights of its process scientifically, include its cause and impacts to human and environment. The information obtained on climate change can be applied to formulate adaptation and mitigation strategy to overcome the issue.

In order to heighten coordination on climate change control and strengthen Indonesia’s position in international forum in terms of climate change control, the Indonesian Government formed National Committee for Climate Change (DNPI) as instructed by Indonesia Presidential Regulation No. 46 Year 2008. DNPI plays an important role to support the government commitment to anticipate climate change. One of its main roles is to formulate policy on national program for climate change control and drive all available resources to participate in adaptation and mitigation strategy to overcome climate change.

Dalam program adaptasi, DNPI juga telah melakukan beberapa kegiatan studi terkait kerentanan dan adaptasi di tingkat nasional, namun belum banyak mengkaji tentang kerentanan di level messo, yaitu provinsi padahal data dan informasi kerentanan di tingkatan messo ini cukup penting untuk melihat kesiapan pemerintah daerah,

In climate change adaptation program, DNPI has conducted studies on national vulnerability and adaptation but has not done many studies on vulnerability on messo level, which collect data and information on provincial level. This data is quite essential to measure provincial governments preparedness to anticipate

(3)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

khususnya Pemerintah Provinsi dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim. Untuk kajian kerentanan provinsi ini, DNPI baru melaksanakan satu kegiatan, yaitu pada tahun 2010 di daerah provinsi Sumatera Utara. Hasil studi tersebut tentunya belum dapat memberikan gambaran yang lengkap bagaimana peta kerentanan daerah provinsi disusun. Oleh karena itu, tahun 2011 dilaksanakan pemetaan kerentanan di dua provinsi yang berbeda kondisi geografisnya, yaitu Sulawesi Selatan dan Gorontalo sehingga nantinya dapat memperkaya khazanah pemetaan kerentanan di daerah provinsi (level messo).

the impacts of climate change. However, in 2010 DNPI conducted study on provincial vulnerability in North Sumatra. The result of the study itself cannot provide complete overview on the province vulnerability yet. Therefore in 2012, the committee will conduct vulnerability mapping in two provinces with different geographical condition which are South Sulawesi and Gorontalo, in hope to enrich vulnerability mapping on messo level.

Dalam program mitigasi, sejak tahun 2009 DNPI telah melakukan beberapa program terkait dengan riset dan studi tentang emisi karbon secara nasional. Selain itu, DNPI juga aktif berkoordinasi dengan kementerian teknis yang membidangi sektor-sektor yang menghasilkan emisi tersebut. Namun, kegiatan yang menginventarisasi atau mengidentifikasi kebijakan, peraturan, dan kelembagaan yang terkait dengan antisipasi perubahan iklim, baik mitigasi dan adaptasi di level provinsi, terutama dalam kerangka sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi, belum pernah dilaksanakan padahal DNPI sangat membutuhkan matriks kebijakan daerah sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan di pusat.

Oleh karena itu, kegiatan identifikasi tentang kebijakan dan kelembagaan daerah provinsi sangat diperlukan untuk memotret dinamika kebijakan perubahan iklim terkini, khususnya dengan adanya kebutuhan mendesak untuk menerapkan sistem pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (Measurement, Reporting, and Verification/MRV) dalam setiap kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kajian terhadap tanggapan daerah provinsi terhadap sistem MRV, yang merupakan konsep pemantauan yang digunakan dalam REDD+, kemudian sangat diperlukan untuk menyempurnakan konsep MRV di level nasional. Oleh karena itu, untuk menjawab permasalahan diatas, maka pekerjaan ini dinamakan Pemetaan Kerentanan Daerah

Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan Dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim.

In mitigation program, DNPI has conducted several programs related to research and study on carbon emissions national level since 2009. In addition, DNPI has been coordinating with the technical ministry in charge of the sectors which produce those carbon emissions. However, DNPI has never conducted inventory or identification on policy, regulation and agency linked to climate change mitigation and adaptation on provincial level, especially in synchronizing the central and provincial governments policies on the issue. At this point, the committee really needs matrix of provincial government policy as consideration in formulating the central government policy.

Hence, identification on provincial government policy and agency is urgently needed to capture the dynamics of latest climate change policy, especially with the existence of urgent need to implement Measurement, Reporting, and Verification (MRV) in every climate change mitigation and adaptation. Assessment on provincial governments’ feedback on MRV system, monitoring concept implemented in REDD+, is essential to refine MRV concept on national level. To answer this problem, this project is titled Provincial

Vulnerability Mapping and Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts.

(4)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

Maksud, Tujuan, dan Sasaran:

Maksud kegiatan ini adalah potret atau kondisi terkini dari studi kerentanan, permasalahan kebijakan, dan kelembagaan pemantauan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di daerah provinsi (level messo).

Purpose, Goals, and Objectives:

The Purpose of this project is to portray latest condition on vulnerability, policy issue and agency monitoring climate change adaptation and mitigation activities on provincial level (messo level).

Tujuan kegiatan ini antara lain:

1) Membuat peta kerentanan fisik, sosial, dan ekonomi akibat perubahan iklim di daerah provinsi.

2) Menginventarisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah terkait dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

3) Mengidentifikasi kondisi kelembagaan daerah provinsi untuk pemantauan kegiatan mitigasi dan adaptasi yang menggunakan konsep MRV (Measurement, Reporting and

Verification).

The Goals of this project are:

1. Create provincial mapping on physical, social and economic vulnerability due to climate change.

2. Inventory the central and provincial governments policies on climate change mitigation and adaptation.

3. Identify the regional agency in charge of monitoring climate change mitigation and adaptation activities using MRV concept.

Sasaran dari kegiatan ini adalah:

1) Tersedianya data/informasi kerentanan akibat perubahan iklim di daerah provinsi sehingga terpenuhi kebutuhan informasi yang lebih mendalam daripada informasi di tingkat nasional.

2) Tersedianya data/informasi tentang kebijakan dan peraturan pemerintah pusat dan daerah terkait dengan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim. 3) Tersedianya data/informasi kondisi

kelembagaan MRV eksisting di daerah provinsi, termasuk kompetensi yang harus dimiliki SDM dalam melakukan pemantauan dan pelaporan maupun verifikasi terhadap suatu kegiatan mitigasi atau adaptasi.

The Objectives of this project are:

1. Availability of data/information on vulnerability in provincial area due to by climate change, allowing full indepth information on provincial level.

2. Availability of data/information on the central and provincial governments policies regarding climate change mitigation and adaptation.

3. Availability of data/information on MRV agency condition in provincial area, include its human resources competence in monitoring, reporting and verification mitigation or adaptation activity.

Wilayah Studi:

Lingkup wilayah studi untuk mencapai tujuan dan sasaran yang dimaksud, terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:

1) Pemetaan kerentanan fisik, sosial, dan ekonomi akibat perubahan iklim, khususnya iklim ekstrim untuk level provinsi dengan lokasi studi di dua daerah provinsi, yaitu Sulawesi Selatan dan Gorontalo.

Wilayah yang akan dikaji dalam kegiatan ini terdiri atas 2 (dua) daerah provinsi, yaitu Gorontalo dan Sulawesi Selatan untuk lingkup pemetaan kerentanan di

Scope:

Scopes of study to achieve the project’s goals and objectives are divided into 3 (three) categories:

1. Mapping physical, social and economic vulnerability as impacts of climate change, especially extreme climate in provincial level with two scopes of study area, South Sulawesi and Gorontalo. The two scopes of study area are Gorontalo and South Sulawesi. The two provinces were picked because no similar study has ever been conducted

(5)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

level provinsi. Pemilihan kedua provinsi di Pulau Sulawesi ini disebabkan karena belum adanya studi kerentanan di level provinsi dan diharapkan adanya keterwakilan geografis baik bagian utara yang kondisi iklimnya banyak dipengaruhi oleh lautan pasifik maupun di bagian selatan Pulau Sulawesi yang dipengaruhi oleh laut Sulawesi. Kegiatan serupa dilakukan di Sumatera Utara pada tahun 2010 yang lalu, sehingga diharapkan dengan dilakukannya studi di dua provinsi ini dapat menambahkan keragaman studi kerentanan di level provinsi.

in the area. It is hoped that the project can represent both geographical portrait, northern area where its climate condition is affected by Pacific Ocean and southern area of Sulawesi Island which is affected by Sulawesi Sea. Similar study was once conducted in North Sumatra in 2010. The two upcoming studies are expected to add variety to vulnerability study on provincial level.

2) Kegiatan pemetaan dan inventarisasi kebijakan dan peraturan pemerintah pusat dan daerah, wilayah yang akan dikaji dalam kegiatan ini terdiri dari wilayah nasional dan wilayah Pulau Kalimantan, yang meliputi 4 (empat) daerah provinsi, yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat untuk lingkup kegiatan identifikasi kebijakan dan peraturan. Pemilihan wilayah Pulau Kalimantan ini disebabkan karena proporsi luas wilayah hutan dan lahan gambut yang signifikan secara nasional serta potensi sumber daya alam sebagai industri energi di masa depan, khususnya sumber daya mineral (migas dan batubara).

2. Mapping and Inventory Activity on Central and Provincial Governments Policies and Regulations in this project consist of 4 (four) provinces, which are South Kalimantan, Central Kalimantan, East Kalimantan and West Kalimantan. The four provinces were chosen for their large area of forest and peatland which are significant natural resources potential for energy industry in the future, specifically for oil, gas and coal mining.

3) Kegiatan kajian potensi kelembagaan dan kompetensi SDM dalam rangka pemantauan dan pelaporan kebijakan, rencana dan program terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, wilayah yang akan dikaji dalam kegiatan ini terdiri atas level nasional, dan khususnya 2 (dua) daerah provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Pemilihan dua wilayah ini disebabkan karena cukup banyaknya studi-studi yang terkait dengan perubahan iklim, khususnya terkait sektor kehutanan yang memiliki porsi signifikan terhadap emisi GRK secara nasional.

3. The assessment on agency potential and human resources competence in order to monitor and report policy, plan and program related to climate change mitigation and adaptation, there are two regions to be assessed, which are South Kalimantan and Central Kalimantan. The two provinces were chosen as there are already many studies conducted related to climate change, especially in forestry sector which has significant portion on GRK emission nationally.

Luaran Studi:

Dengan adanya ketiga kegiatan tersebut, maka luaran kegiatan ini adalah suatu potret permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Provinsi dalam merencanakan, melaksanakan maupun memantau kebijakan

Secondary Study:

With the three previous factors, assessment on secondary study is a reflection of issues being faced by provincial government in planning, implementation or monitoring climate

(6)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Jadi, kegiatan pemetaan kerentanan akan memberikan masukan terhadap pentingnya kajian kerentanan dalam perumusan kebijakan adaptasi dari pengalaman Sulawesi Selatan dan Gorontalo, sementara inventarisasi kebijakan menggambarkan proses perumusan kebijakan pemerintah provinsi baik adaptasi dan mitigasi yang sebenarnya terjadi dari pengalaman empat provinsi di Pulau Kalimantan, dan yang terakhir identifikasi kelembagaan menghasilkan kondisi kelembagaan dalam rangka pemantauan terhadap kebijakan mitigasi dan adaptasi yang ada. Sehingga pada akhirnya dapat diberikan suatu kesimpulan terhadap potret kondisi pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan pengendalian perubahan iklim, dan rekomendasi kebijakan selanjutnya.

change mitigation and adaptation policy. Based on South Sulawesi and Gorontalo case, it is plain to see that vulnerability mapping will contribute significant input for provincial government in formulating adaptation policy. Meanwhile, policy inventory in four provinces in Kalimantan will help to describe the process of formulating provincial government policy for climate change mitigation and adaptation program. And last but not least, institutional identification describes the current condition with existing agencies in order to monitor ongoing implementation of mitigation and adaptation policy. In the end, the study can provide clear picture on present provincial government condition in implementing climate change management. This study can also contribute recomendation for upcoming policy.

PEMETAAN KERENTANAN

Studi kasus: Provinsi Sulawesi Selatan dan Gorontalo

Analisis Iklim Historis dan Proyeksi Perubahan Iklim

Kajian ilmiah perubahan iklim di Indonesia telah banyak dilakukan, terutama berkaitan dengan analisis dampak, risiko dan kerentanan serta berkaitan dengan kegiatan adaptasi dan mitigasi di berbagai sektor kunci. Dengan kondisi geografis Indonesia yang luas dan beragam, adanya pengaruh distribusi daratan di benua maritim yang luas, serta kondisi topografi yang berbeda, interaksi lautan – atmosfer – daratan menghasilkan kondisi iklim yang kompleks. Hal ini menyebabkan, respon iklim lokal terhadap perubahan iklim global menjadi cenderung tidak seragam antar wilayah. Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dampak perubahan iklim dalam skala lokal atau sub-regional, perlu dilakukan analisis yang mendalam berdasarkan kumpulan data observasi yang lengkap dan baik. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar identifikasi sinyal keragaman dan perubahan iklim global terhadap wilayah skala lokal dapat dipahami secara tepat dan dapat menjadi dasar yang akurat untuk kajian proyeksi perubahan iklim, kajian dampak, kerentanan dan adaptasi. Sebagai bagian dari analisis

VULNERABILITY MAPPING

Case study: South Sulawesi and Gorontalo

Analysis of Historical Climate and Climate Change Projection

Scientific study of climate change in Indonesia has been widely implemented, mainly concerned with the analysis of impacts, risks and vulnerabilities related to the adaptation and mitigation activities in various key sectors. Climate in Indonesia is influenced by its vast and varied geographical conditions, land distribution in the maritime continent, topographical conditions, and interaction of the land – ocean - atmosphere.

These complex climate conditions make local climate response to global climate change may vary across regions. Therefore, analysis of a local or sub regional historical climate and climate change projection must be based on complete and good observational data set. The climate change projection utilises Global Climate Model (GCM) outputs with several choices of greenhouse gas (GHG) emissions scenarios from the Special Report on Emission Scenarios (SRES). These would produce more accurate identification of signals of climate variability and climate change that can be used as

(7)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

kerentanan akibat perubahan iklim di daerah Provinsi Sulawesi Selatan dan Gorontalo, dilakukan analisis iklim historis berdasarkan data observasi serta kajian proyeksi berdasarkan hasil keluaran model iklim global dengan beberapa pilihan skenario emisi dari Special Report on Emission Scenarios (SRES).

basis for assessments of climate change impact, vulnerability and adaptation.

Analisis pola curah hujan di Sulawesi Selatan menggunakan data dari 37 stasiun hujan. Analisis tren curah hujan tahunan di lima stasiun iklim di Sulawesi Selatan menunjukkan adanya tren peningkatan dan penurunan curah hujan di stasiun yang berbeda. Keragaman curah hujan di Provinsi Sulawesi Selatan dipengaruhi oleh fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) – baik El Nino maupun La Nina – dan Indian Ocean Dipole (IOD). Pengaruh ENSO terhadap anomali curah hujan relatif merata dan berkisar 20% dari kondisi rata-rata terutama pada bulan Januari hingga Maret.

Analysis of rainfall patterns in South Sulawesi is based on data from 37 rainfall stations. Analysis of trends in annual rainfall in the five climate stations in South Sulawesi indicates a trend of increasing and decreasing rainfall in the different stations. The variability of rainfall in South Sulawesi Province is affected by the El Nino Southern Oscillation (ENSO) phenomenon - both El Nino and La Nina -, and the Indian Ocean Dipole (IOD). Influence of ENSO on rainfall anomalies is relatively evenly distributed. ENSO has around 20% effect on the average conditions, especially in January to March. Data observasi menunjukkan adanya laju

peningkatan suhu udara rata-rata di Provinsi Sulawesi Selatan. Data dari lima stasiun menunjukkan konsistensi laju peningkatan suhu udara rata-rata di Provinsi Sulawesi Selatan yang diproyeksikan sebesar 0,7°C pada tahun 2050 dan 1,7°C pada tahun 2100. Dengan pertimbangan laju emisi GRK yang direpresentasikan dalam skenario SRES, rata-rata perubahan suhu pada tahun 2020 dan 2050, masing-masing mencapai 0,44°C dan 1,02°C untuk skenario emisi A2, 0,50°C dan 1,41°C untuk skenario SRES A1B, dan 0,47°C dan 1,24°C untuk skenario B1.

Observational data indicate a consistent increase in average air temperature in the Province of South Sulawesi. A projection based on data from five stations showed that the average temperature in Province of South Sulawesi would increase by 0.7°C in 2050 and 1.7°C in 2100. According to GHG emissions rate represented in the SRES, the average temperature increase in 2020 and 2050, respectively would be 0.44°C and 1.02°C for the A2 emissions scenario, 0.50°C and 1.41°C for A1B scenario, and 0.47°C and 1.24°C for B1 scenario.

Analisis pola curah hujan di Provinsi Gorontalo dilakukan dengan menggunakan data dari 23 stasiun hujan yang merupakan kombinasi data curah hujan di beberapa stasiun di Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Utara. Analisis tren curah hujan tahunan di Stasiun Gorontalo menunjukkan adanya tren peningkatan curah hujan. Peningkatan curah hujan dengan periode pengamatan 2001-2009 menunjukkan laju sebesar 49,4 mm/tahun.

Analysis of rainfall patterns in the Province of Gorontalo is based on data from 23 rain stations which is a combination of rainfall data from several stations in the Provinces of Gorontalo and North Sulawesi. Analysis of trends in annual rainfall in Gorontalo Stations shows increase in precipitation. During the observation period of 2001-2009, the rainfall increases at the rate of 49.4 mm/year.

Berdasarkan data observasi stasiun iklim di Gorontalo periode 1973-2009 tidak menunjukkan adanya tren peningkatan suhu nyata. Namun peluang kejadian suhu ekstrim

Data from 1973-2009 in Gorontalo climate stations showed no apparent trend of increasing temperature. But the probability of extreme temperature events is quite

(8)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

cukup besar dimana pada periode 2000-2009 peluang/frekuensi kejadian suhu ekstrim diatas 35°C juga cukup tinggi dibanding periode tahun sebelumnya. Dengan pertimbangan adanya laju emisi GRK yang direpresentasikan dalam skenario SRES, rata-rata perubahan suhu di Provinsi Gorontalo pada tahun 2020 dan 2050, masing-masing mencapai 0,43°C dan 1,01°C untuk skenario emisi A2, 0,49°C dan 1,39°C untuk skenario SRES A1B, dan 0,46°C dan 1,23°C untuk skenario SRES B1.

high in the period 2000-2009 where probability/frequency of occurrence of extreme temperatures above 35°C is also quite high compared to the period in the previous year. According to GHG emissions rate represented in the SRES, the average temperature increase in Province of Gorontalo in 2020 and 2050, respectively would be 0.43°C and 1.01°C for the A2 emissions scenario, 0.49°C and 1.39°C for A1B scenario, and 0.46°C and 1.23°C for B1 scenario.

Berdasarkan analisis data curah hujan, suhu, dan kecepatan angin, telah terjadi perubahan kondisi iklim di Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Gorontalo. Analisis anomali curah hujan dan peluang curah hujan ekstrim menunjukkan telah terjadi peningkatan frekuensi dan peluang hujan ekstrim dalam satu dekade terakhir dibandingkan dengan dekade sebelumnya. Di Provinsi Gorontalo frekuensi angin ekstrim juga ditemukan telah terjadi peningkatan walaupun dengan kecenderungan intensitas yang semakin berkurang. Kejadian bencana ekstrim terkait penyimpangan curah hujan (banjir dan kekeringan) di Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Gorontalo terkait erat dengan fenomena iklim global seperti ENSO dan IOD. Walaupun tidak ada kepastian tentang proyeksi ENSO, namun hasil analisis dari 12 model menunjukkan adanya sedikit kecenderungan peningkatan frekuensi kejadian El-Nino dan La-Nina. Jika peningkatan frekuensi tersebut terjadi di masa yang akan datang, peluang dan risiko kejadian kekeringan (El Nino) dan banjir (La Nina) akan semakin meningkat di Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Gorontalo.

Based on analysis of rainfall, temperature, and wind speed data, there have been changes in climatic conditions in the Provinces of South Sulawesi and Gorontalo. Analysis of anomalous rainfall and extreme rainfall events show increases in frequency and probability of extreme rainfall in the last decade compared to the previous decade. The frequency of extreme wind in Gorontalo Province is found to increase but with diminishing intensity. Disasters related to extreme rainfall anomalies (floods and droughts) in the Provinces of South Sulawesi and Gorontalo are closely related to global climate phenomenon like ENSO and IOD. Although there is no certainty about projections of the ENSO, but according to the outputs of the 12 GCM models, there would be a slight increase in the frequency of occurrence of El Nino and La Nina. These would increase risks of drought (El Nino) and flood (La Nina) in Provinces of South Sulawesi and Gorontalo.

Analisis Kerentanan Daerah Provinsi

Informasi kerentanan daerah provinsi sebagai dampak perubahan iklim digambarkan dalam bentuk matriks risiko iklim yang mengintegrasikan pendekatan kapasitas adaptif (dalam bentuk analisis Coping Capacity Index/CCI) dan pendekatan risiko bencana iklim (dalam bentuk analisis Composite Climate Hazard Index/CCHI). Kedua analisis tersebut dilakukan dalam kondisi berdasarkan data tahun 2009 sebagai baseline (current vulnerability) dan kondisi di masa depan yang dipengaruhi oleh kondisi iklim dan perubahannya pada

Analysis of Provincial Vulnerability

The provincial vulnerability to the impact of climate change is described in terms of climate risk matrix. This matrix integrates the adaptive capacity (in the form of analysis of Coping Capacity Index/CCI) and climate related hazard (in the form of analysis of Composite Climate Hazard Index/CCHI). Both analysis were conducted based on data in 2009 as the baseline (current vulnerability) and the future conditions that would be influenced by projection of climatic conditions set in 2020 and 2050 (future vulnerability). The

(9)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

saat tersebut (future vulnerability). Coping Capacity Index (CCI) diturunkan dari analisis Indeks Kerentanan Kumulatif Daerah (IKeKD) berdasarkan 7 parameter kunci dan Indeks Kapasitas Kumulatif Daerah (IKaKD) yang didasarkan pada 5 parameter kunci.

Coping Capacity Index (CCI) is derived from analysis of the Regional Cumulative Vulnerability Index (IKeKD) based on seven key parameters and the Regional Cumulative Capacity Index (IKaKD) based on five key parameters. The analyses are based on various secondary data.

Hasil analisis berdasarkan data sekunder yang ada menunjukkan bahwa rata nilai Indeks Kerentanan Kumulatif Daerah (IKeKD) Provinsi Sulawesi Selatan berada pada kategori Cukup Tahan (CT). Namun jika dilihat masing-masing daerah nilai IKeKD berada pada kisaran 0,3 – 0,9 sehingga tingkat kerentanan daerah Provinsi Sulawesi Selatan berada pada kategori Cukup Tahan (CT) – Sangat Rentan (SR). Hasil analisis nilai Indeks Kapasitas Kumulatif Daerah (IKaKD) menunjukkan bahwa mayoritas daerah di Provinsi Sulawesi Selatan tergolong pada kategori kapasitas Sedang (Cukup). Secara umum kapasitas daerah kota lebih tinggi daripada daerah kabupaten. Hal ini menggambarkan wilayah kota memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim. Kabupaten Luwu Timur merupakan daerah yang memiliki kapasitas tertinggi, sementara terendah Kabupaten Gowa.

The average value of the Regional Cumulative Vulnerability Index (IKeKD) in the Province of South Sulawesi falls in the category of Medium Resistant (CT). However, the IKKD values across regencies/cities were in the range of 0.3 - 0.9 or in the categories of Medium Resistant (CT) - Highly Vulnerable (SR). The results of the analysis of the Regional Cumulative Capacity Index (IKaKD) showed that the majority of areas in South Sulawesi Province belong to the category of Medium Capacity. In general, the capacities of the cities are higher than the regencies. This illustrates that the city area has a higher ability in anticipating the impacts of climate change. The highest capacity is Regency of Luwu Timur, while the lowest is Regency of Gowa.

Berdasarkan nilai IKeKD dan IKaKD, diperoleh nilai CCI dan posisi kuadran masing-masing daerah di Provinsi Sulawesi Selatan. Hasil analisis CCI pada tahun 2009 (baseline) menunjukkan bahwa terdapat sembilan daerah berada di kuadran 4, yang menunjukkan kondisi CCI terendah dalam artian memiliki kapasitas adaptif paling rendah karena kerentanan tinggi, kapasitasnya rendah. Kondisi daerah kota secara umum lebih baik dibandingkan daerah kabupaten; seluruh daerah kota berada pada kuadran 1, yaitu daerah dengan kerentanan rendah namun kapasitasnya tinggi. Kuadran 1 menunjukkan kondisi terbaik dibandingkan daerah lainnya.

IKeKD and IKaKD values determine the CCI values. The CCI in 2009 (baseline) shows that there are nine areas that are in quadrant 4. These areas have the lowest adaptive capacity because they have high vulnerability combined with low capacity. The condition of the city is generally better than in the regency. All cities are in quadrant 1, i.e. areas with low vulnerability and high capacity. Quadrant 1 has the best conditions compared to other regions.

(10)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

Gambar 1.Peta kuadran Coping Capacity Index Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 (baseline) serta tahun 2020 dan 2050 (proyeksi)

Figure 1. Map of Quadrant of Coping Capacity Index in South Sulawesi Province in 2009 (baseline) and in 2020 and 2050 (projection)

Proyeksi nilai IkeKD dan IKaKD dilakukan dengan memasukkan hasil analisis proyeksi iklim dan asumsi-asumsi berdasarkan pendekatan ilmu sosial. Proyeksi nilai CCI dan kondisi masing-masing daerah tahun 2020 dan tahun 2050 dibandingkan tahun 2009 (baseline) menunjukkan peningkatan jumlah daerah pada kuadran 4, kuadran yang menunjukkan kapasitas adaptifnya paling rendah berdasarkan CCI. Jumlah daerah pada kelompok ini meningkat dari 9 daerah pada tahun 2009, menjadi 11 daerah pada tahun 2020, kemudian menjadi 12 daerah pada tahun 2050. Daerah kota menempati kuadran 1, kuadran dengan kondisi terbaik, karena kerentanan daerah rendah, sementara kapasitasnya tinggi. Berdasarkan proyeksi nilai dan kondisi kuadran CCI ini yang memperlihatkan kondisi yang menurun di masa mendatang, maka diperlukan upaya-upaya yang konkrit dari pemerintah khususnya pemerintah daerah dan stakeholder terkait untuk meningkatkan kapasitas dan menurunkan kerentanan daerah. Upaya ini dapat ditempuh melalui kebijakan, program dan kegiatan, baik melalui dana pembangunan maupun secara swadaya masyarakat.

Projected values of IKaKD and IkeKD are calculated by considering results of the analysis of climate projections and assumptions based on social science approaches. Projected values of the CCI of each region in year 2020 and 2050 showed an increase in the number of regions in the quadrant 4, the quadrant with the lowest adaptive capacity. The number of regions in this group increased from 9 regions in 2009, to 11 regions in 2020, then to 12 regions in 2050. Most cities belong to quadrant 1, quadrant with the best conditions, because these regions have low vulnerability combined with high capacity. Projected values of IKaKD, IkeKD and CCI indicate declining conditions in the future. These would require concrete efforts from the government, especially local government and related stakeholders to increase regional capacity and reduce regional vulnerability. These efforts can be pursued through policies, programs and activities, both through funding and development of self-governing community.

Hasil analisis CCI di Provinsi Gorontalo pada tahun 2009 (baseline) menunjukkan bahwa Kabupaten Gorontalo berada pada kuadran 4, yang menunjukkan bahwa kabupaten tersebut memiliki kerentanan tinggi, namun

The results of analysis of CCI in Gorontalo Province in 2009 (baseline) showed that Gorontalo Regency is at quadrant 4, which shows that the regency has a high vulnerability, but its capacity is low.

(11)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

kapasitasnya rendah. Posisi daerah pada kuadran 4 merupakan yang memiliki kapasitas adaptifnya paling rendah, sementara kuadran 1 merupakan kondisi yang terbaik. Kabupaten Bone Bolango dan Kota Gorontalo menempati kuadran 1, ini berarti kedua daerah tersebut memiliki kerentanan rendah dengan kapasitas tinggi.

Regions in quadrant 4 have the lowest adaptive capacity, while in quadrant 1 has the best condition. Bone Bolango Regency and the City of Gorontalo occupy quadrant 1, this means that both regions have low vulnerability combined with high capacity.

Proyeksi nilai CCI dan kondisi masing-masing daerah di Provinsi Gorontalo tahun 2020 dan tahun 2050 dibandingkan tahun 2009 (baseline) menunjukkan bahwa jumlah daerah dengan kondisi yang tidak baik (pada kuadran 4) semakin meningkat, yaitu dari satu daerah pada tahun 2009 (Kabupaten Gorontalo), meningkat menjadi dua daerah pada tahun 2020 dan 2050 (Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Gorontalo). Di samping itu, juga terdapat penurunan kondisi daerah dari kuadran 1 menjadi kuadran 2 yaitu pada Kota Gorontalo, dan dari kuadran 2 menjadi kuadran 3 pada Kabupaten Gorontalo Utara. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat penurunan kondisi daerah kearah yang lebih rentan di masa mendatang.

Projected value of CCI and conditions of each region in Gorontalo Province showed that the number of the regions in quadrant 4 would increases, from one region in 2009 (i.e. Gorontalo Regency) to two regions in 2020 and 2050 (i.e. Regencies of Boalemo and Gorontalo). In addition, there are also shifts; City of Gorontalo from quadrant 1 to quadrant 2 and Gorontalo Utara Regency from quadrant 2 to quadrant 3. These conditions indicate that there are declining conditions of the regions to becoming more vulnerable in the future.

Gambar 2. Peta kuadran Coping Capacity Index Provinsi Gorontalo Tahun 2009 (baseline) serta tahun 2020 dan 2050 (proyeksi)

Figure 2. Map of Quadrant of Coping Capacity Index in Gorontalo Province in 2009 (baseline) and in 2020 and 2050 (projection)

Analisis risiko dan bencana iklim dilakukan untuk menggambarkan besarnya risiko yang dihadapi suatu daerah, sebagai resultan dari analisis kerentanan dan kapasitas masing-masing daerah serta besarnya potensi bencana terkait perubahan iklim yang ada dan mengancam masing-masing daerah tersebut. Empat tipe bencana yang dimasukkan diasumsikan merupakan bencana utama terkait perubahan iklim yang mengancam di Provinsi Sulawesi Selatan dan Gorontalo. Bencana tersebut meliputi bencana kekeringan, tanah longsor, banjir dan bencana sebagai dampak peningkatan

Analysis of risks and climate hazards are made to describe the magnitude of risks faced by a region, as the resultant of vulnerability and capacity analysis of each region as well as the magnitude of potential climate change-related disasters that exist and threaten each area. Four types of disasters are assumed to be related to climate change. These include droughts, landslides, floods and disasters caused by Sea Level Rise (SLR). Analysis of risk indices of each climate disaster types show that the regencies/cities in the Provinces of South Sulawesi and

(12)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

tinggi muka air laut. Berdasarkan analisis indeks risiko dari masing-masing bencana iklim yang ditetapkan, kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Gorontalo memiliki kelas Composite Climate Hazard Index (CCHI) yang tersebar secara merata, dan ada sebagian yang berubah saat berada pada 2020 dan tahun 2050.

Gorontalo has the composite climate hazard index (CCHI) classes evenly distributed, and there are some changes in 2020 and 2050.

Kelas CCHI tinggi (H, high) di Provinsi Sulawesi Selatan terdapat pada Kabupaten Bantaeng, Maros, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang dan Luwu Utara. Kabupaten tersebut tetap pada kondisi H pada tahun 2020 dan 2050. Kelas CCHI sedang (M, medium) terdapat pada Kabupaten Bulukumba, Barru, Enkerang, Luwu, Tana Toraja dan Bone, kabupaten tersebut tetap pada kondisi M pada tahun 2020 dan 2050. Kabupaten atau kota yang berada pada kelas CCHI M dan berubah menjadi kelas CCHI H pada tahun 2020 dan 2050 adalah Kabupaten Sinjai, tetapi juga terdapat kabupaten mengalami perbaikan nilai dari M menjadi L yaitu Kabupaten Luwu Timur. Daerah yang mengalami perubahan nilai CCHI, dari L menjadi M, pada Kabupaten Jeneponto dan Kota Pare-pare, selain daerah yang mengalami peningkatan cukup signifikan dari kelas CCHI L menjadi H di Kabupaten Takalar.

The classes of high CCHI (H, high) in the Province of South Sulawesi are located on Regencies of Bantaeng, Maros, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang and Luwu Utara. These regencies remain on the high CCHI in 2020 and 2050. Classes of moderate CCHI (M, medium) are located in Regencies of Bulukumba, Barru, Enkerang, Luwu, Tana Toraja and Bone; and remains on the same conditions in 2020 and 2050. There are some changes in the CCHI classes in some regions in 2020 and 2050: Sinjai Regency that is initially located on CCHI class M turned into CCHI class H, Jeneponto Regency and Pare-Pare City from L (low) to M, and Takalar Regency from L to H. But Luwu Timur Regency had improved the CCHI classes of M to L.

Gambar 3. Peta indeks komposit bencana iklim Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 (baseline) serta tahun 2020 dan 2050 (proyeksi)

Figure 3. Map of Composite Climate Hazard Index (CCHI) in South Sulawesi Province in 2009 (baseline) and in 2020 and 2050 (projection)

(13)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

Kabupaten atau kota di Provinsi Gorontalo yang berada pada kelas CCHI H terdapat pada Kabupaten Boalemo dan Gorontalo, kabupatan tersebut tetap pada kondisi H pada tahun 2020 dan 2050. Kelas CCHI sedang (M, medium) terdapat pada Kabupaten Pohuwato dan Kota Gorontalo, kabupatan tersebut tetap pada kondisi M pada tahun 2020 dan 2050. Kabupaten atau kota yang berada pada CCHI L dan tidak mengalami perubahan adalah Kabupaten Bone Bolango dan Gorontalo Utara (lihat Gambar 4 di bawah ini).

In the Province of Gorontalo, Boalemo and Gorontalo Regencies have CCHI class H. These regencies remain on the condition of H in 2020 and 2050. CCHI Classes moderate (M, medium) are located on Pohuwato Regency and the City of Gorontalo, and remains on the condition of M in 2020 and 2050. Regencies of Bone Bolango and Gorontalo Utara are on CCHI class L remains on the condition of L in 2020 and 2050 (see Figure 4 below).

Gambar 4. Peta indeks komposit bencana iklim Provinsi Gorontalo Tahun 2009 (baseline) serta tahun 2020 dan 2050 (proyeksi)

Figure 4. Map of Composite Climate Hazard Index (CCHI) in Gorontalo Province in 2009 (baseline) and in 2020 and 2050 (projection)

Berdasarkan hasil analisis tingkat risiko iklim masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat bahwa pada kondisi baseline tahun 2009, beberapa kabupaten memiliki risiko iklim dalam kategori Sangat Rendah (SR) sampai Sedang (S). Akan tetapi, pada tahun 2020 dan 2050, beberapa kabupaten mengalami kenaikan tingkat risiko iklim, dan masuk dalam tingkat risiko iklim Tinggi (T) dan Sangat Tinggi (ST). Kenaikan risiko tersebut dikarenakan oleh dua hal: (i) nilai Coping Capacity Index (CCI) semakin memburuk (misal dari CCI = II pada tahun 2009 menjadi CCI = IV pada tahun 2020 dan 2050); dan (ii) kelas indeks komposit bencana iklim (CCHI) semakin memburuk (misal dari CCHI = L atau M pada tahun 2009 menjadi CCHI = H pada tahun 2020 dan 2050). Kabupaten yang memiliki tingkat risiko iklim sangat tinggi pada tahun 2009, 2020, dan 2050 adalah Kabupaten Maros, Wajo, Pinrang, dan Luwu Utara. Dua kabupaten mengalami kenaikan tingkat risiko iklim menjadi sangat tinggi pada tahun 2020 dan 2050, yaitu Kabupaten Bantaeng dan Takalar.

Based on the analysis of climate risks of each regency/city in the Province of South Sulawesi, it can be seen that in the baseline condition in 2009, some regions have climate risks in the category of very low (SR) to moderate (S). However, in 2020 and 2050, some regions have increasing climate risks into the high (T) and very high (ST). The increase in risks is due to two things: (i) the Coping Capacity Index (CCI) is getting worse (eg. from CCI = II in 2009 to CCI = IV in 2020 and 2050), and (ii) class of Composite Climate Hazard Index (CCHI) is getting worse (eg. from CCHI = L or M in 2009 to CCHI = H in 2020 and 2050). Regencies that have very high level of climate risks in 2009, 2020, and 2050 are Regencies of Maros, Wajo, Pinrang, and Luwu Utara. Regencies Takalar and Bantaeng have increasing climate risks to become very high in 2020 and 2050.

(14)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

Kota Makassar, Kota Pare-pare dan Kota Palopo memiliki tingkat risiko iklim sangat rendah (SR) terutama karena semua kota tersebut memiliki nilai CCI = I serta kelas CCHI = L atau M. Nilai CCI = I artinya kota tersebut dilihat dari aspek sosial ekonomi dan biofisik memiliki tingkat kerentanan rendah dan kapasitas tinggi. Meskipun pada tahun 2020 dan 2050 ada kenaikan kelas CCHI dari L menjadi M (misal di Kota Pare-pare), kota-kota di Provinsi Sulawesi Selatan diskenariokan akan mampu mengatasi bencana iklim, sehingga risiko iklim masuk dalam kategori Sangat Rendah (SR) (lihat Gambar 5 di bawah ini).

Makassar City, Pare-pare City and Palopo City have a very low level of climate risks (SR) mainly because of all the cities have value of CCI = I and class CCHI = L or M. CCI value = I, means that from the socio-economic and biophysical aspects, the cities have low levels of vulnerability and high capacity. Although in 2020 and 2050 there is an increase of CCHI class of L to M (eg. in Pare-pare), the cities in the Province of South Sulawesi are projected to be able to cope with climatic disasters, so that the climate risks are in the category of very low (SR) (see Figure 5 below).

Gambar 5. Peta tingkat risiko iklim sebagai dampak perubahan iklim Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 (baseline) serta tahun 2020 dan 2050 (proyeksi)

Figure 5. Map of Climate Risk caused by Climate Change Impact in South Sulawesi Province in 2009 (baseline) and in 2020 and 2050 (projection)

Berdasarkan hasil analisis tingkat risiko iklim masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo dapat dilihat bahwa pada kondisi baseline tahun 2009, beberapa kabupaten memiliki risiko iklim dalam kategori Sangat Rendah (SR) atau Rendah (R), yaitu Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Gorontalo Utara dan Kota Gorontalo. Kabupaten Bone Bolango memiliki tingkat risiko iklim sangat rendah terutama karena memiliki nilai CCI = 1 dan kelas CCHI = L. Kabupaten Gorontalo Utara, meskipun memiliki kelas CCHI = L akan tetapi memiliki nilai indeks kapasitas yang lebih rendah (CCI= II). Pada tahun 2020 dan 2050, Kabupaten Gorontalo Utara dan Kota Gorontalo mengalami kenaikan nilai CCI sehingga diskenariokan akan mengalami kenaikan tingkat risiko iklim, dari kategori sangat rendah (SR) menjadi rendah (R).

Based on the analysis of climate risks of each regency/city in the Province of Gorontalo, it can be seen that in the baseline condition in 2009, some regions have climate risks in the category of very low (SR) to moderate (S), namely Bone Bolango Regency, Gorontalo Utara Regency and Gorontalo City. Regency of Bone Bolango has very low level of climate risks, especially because this regency has a value of CCI = 1 and class CCHI = L. Gorontalo Utara Regency has a class CCHI = L but with a lower capacity index (CCI = II). In 2020 and 2050, Regency of Gorontalo Utara and City of Gorontalo have increased the values of the CCI so these two regions are projected to have higher climate risks, from category of very low (SR) into categories of low (R).

(15)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

Tingkat risiko iklim di Kabupaten Pohuwato dari tahun 2009 sampai tahun 2050 diskenariokan tidak mengalami perubahan, yaitu tetap pada tingkat risiko iklim Sedang (S). Pada tahun 2009 Kabupaten Boalemo memiliki tingkat risiko iklim Tinggi (T) dan pada tahun 2020 dan 2050 akan mengalami kenaikan tingkat risiko iklim menjadi Sangat Tinggi (ST). Kabupaten Gorontalo merupakan kabupaten yang memiliki tingkat risiko iklim sangat tinggi pada tahun baseline 2009 maupun pada tahun 2020 dan 2050 (lihat Gambar 6 di bawah ini).

Level of climate risks in Regency of Pohuwato from 2009 to 2050 are unchanged, i.e. remains at the level of moderate climate risks (S). In 2009 Regency of Boalemo has high levels of climate risks (T) and in 2020 and 2050 will have increasing level of climate risk to become very high (ST). Regency of Gorontalo has a very high level of climate risks in the baseline year 2009 and in 2020 and 2050 (see Figure 6 below).

Gambar 6. Peta tingkat risiko iklim sebagai dampak perubahan iklim Provinsi Gorontalo Tahun 2009 (baseline) serta tahun 2020 dan 2050 (proyeksi)

Figure 6. Map of Climate Risk caused by climate change impact in Gorontalo Province in 2009 (baseline) and in 2020 and 2050 (projection)

Implikasi terhadap Kebijakan Adaptasi

1. Hasil Analisis Kerentanan Daerah menunjukkan kondisi kerentanan yang akan dihadapi oleh Daerah Provinsi dalam jangka waktu panjang, sehingga seharusnya informasi ini dapat memberikan informasi penting dalam merumuskan kebijakan adaptasi Pemerintah Provinsi dan untuk kemudian direspon oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota dalam merumuskan kebijakan turunannya.

2. Substansi kebijakan adaptasi dapat diuraikan dari berbagai komponen yang dilibatkan dalam pemetaan kerentanan provinsi ini, baik dari yang sifatnya klimatologis sampai kepada kondisi sosial ekonomi. Dengan adanya informasi ini, maka kebijakan adaptasi pemerintah provinsi dapat dirumuskan melalui pendekatan intersektoral.

3. Informasi indeks kerentanan, akan memudahkan Pemerintah Provinsi dalam menyiapkan kebijakan yang lebih spesifik dan tepat sasaran sesuai dengan kondisi

Implication for Adaptation Policy

1. Regional Vulnerability Analysis results show the vulnerability conditions to be faced by the Province in the long terms, so this information can provide critical information for the Provincial Government in formulating provincial adaptation policy and to be responded accordingly by the City and Regencial Government in formulating adaptation policy and its derivatives.

2. Adaptation policy can be devided into various components involved in the mapping of the vulnerability of this province, both from the climatological aspect and to socio-economic conditions. Given this information, the provincial government adaptation policies can be formulated through intersectoral approach.

3. Information of vulnerability index will facilitate the Provincial Government in preparing a policy that is more specific and targeted in accordance with the

(16)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

kerentanan masing-masing daerah kabupaten/kota.

4. Tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah Provinsi dalam pemetaan kerentanan ini adalah ketersediaan data iklim yang terbatas stasiun pengamatannya serta rentang waktu yang tersedia. Perlu kebijakan untuk memperkuat data yang terkait dengan perubahan iklim.

conditions of vulnerability of each district/ city.

4. Challenges faced by the Provincial Government in the mapping of this vulnerability is limited availability of climate data in terms of number of climatological stations and the duration (period) of data. A special policy is needed in order to strengthen the data related to climate change.

INVENTARISASI KEBIJAKAN

Studi kasus: Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur

Dalam inventarisasi kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ini, setidaknya ada dua level kebijakan yang dikaji, yaitu di level nasional dan di level provinsi. Untuk level nasional, inventarisasi dilakukan pada kementerian/lembaga yang menjadi anggota dari DNPI, baik kebijakan yang berupa produk kebijakan (regulation) maupun yang masih bersifat studi (visioning policy). Untuk produk kebijakan, yang dikaji dari level undang-undang sampai dengan peraturan menteri, apabila ada, yang memiliki keterkaitan dengan upaya adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim.

POLICY INVENTORY

Case study: West Kalimantan, Central Kalimantan, South Kalimantan and East Kalimantan

In policy inventory on climate change adaptation and mitigation, at least two levels of policy being assessed, national and provincial levels. As for national level, inventory must be conducted on ministry/agency which are members of DNPI, include their regulation and visioning policy. As for regulation, assessment must be conducted on constitution to minister regulation, if available, regulation related to climate change adaptation or mitigation.

Di level provinsi, inventarisasi juga dilakukan menyeluruh, namun sebagian besar terbagi menjadi dua bagian, yaitu produk kebijakan, baik berbentuk peraturan daerah maupun peraturan Gubernur, dan rencana strategi Pemerintah Provinsi, baik yang bersifat renstra lima tahunan maupun rencana kerja tahunan. Seluruh dokumen kebijakan tersebut dianalisis untuk mengetahui kesenjangan kebijakan yang terjadi selama ini, khususnya antara pusat dan daerah provinsi. Hasil analisis tersebut kemudian dituangkan dalam peta kebijakan.

On provincial level, inventory must be conducted thoroughly on regional regulation, governor regulation and provincial government strategic planning for 5 years period of time or annual. All documents on climate change policy must be assessed to figure out ongoing policy gap between the central and provincial governments. Report on the analysis will be included in policy map.

Matriks Kebijakan di Level Nasional

Berdasarkan hasil kompilasi berbagai peraturan maupun hasil studi kebijakan pada kementerian/lembaga yang terkait dengan kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, maka temuan tersebut dapat dijelaskan (tabel 1) sebagai berikut:

1. Peraturan (legal basis), sampai dengan saat ini belum ada produk UU dan PP yang secara holistik dan spesifik

Policy Matrix on National Level

According to compilation result from various regulation and policy assessment in ministry/agency related to climate change adaptation and mitigation policy (table 1), there are three main points: 1. On legal bases, up until now there is not

a single legislation or government regulation which holisticaly and

(17)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

mengatur tentang penyelenggaraan perubahan iklim. Isu perubahan iklim hanya tercantum dalam undang-undang (UU) sektor, seperti pengelolaan lingkungan hidup dan perencanaan pembangunan dan pada tingkatan Peraturan Pemerintah (PP) tentang RPJMN, Kawasan Industri, Energi, dan lain-lain. Sedangkan pada level aksi, justru terlihat sekali banyak sekali produk kebijakan yang spesifik sudah ditetapkan di level Peraturan Presiden (Perpres), seperti tentang pembentukan DNPI, invetori GRK, RAN GRK. Namun, pada level petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang umumnya berbentuk peraturan menteri, belum ada produk yang ditemukan terkait atau spesifik mengatur tentang ketentuan atau tata cara pelaksanaan kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sehingga dapat diinterpretasikan bahwa peraturan yang disusun di level nasional masih bersifat responsif-aktif terhadap isu perubahan iklim, namun belum berupa suatu kerangka kerja jangka panjang maupun yang bersifat normatif.

2. Studi Kebijakan (belum ada legal basis), sampai dengan saat ini studi kebijakan yang telah dilakukan lebih banyak mengarah pada kegiatan mitigasi yang berbentuk roadmap maupun strategi. Beberapa kementerian juga telah mengemukakan rencana strategisnya, seperti Green Building oleh Kementerian Pekerjaan Umum, Green Industry oleh Kementerian Perindustrian, Clean Energy Initiative oleh Kementerian ESDM, dan pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan untuk pemanfaatan sumber energi terbarukan dari Kementerian Keuangan. Berbagai rencana strategis tersebut tentunya perlu diperkuat dan didukung oleh perangkat peraturan teknis dan operasional sehingga memudahkan daerah dalam mengimplementasikan berbagai rencana strategis tersebut.

spesificaly regulate actions needed to cope with climate change. Issues on climate change are only mentioned on sectoral regulations, such as Living Environment Management and Development Planning and on Government Regulation (PP) regarding RPJMN, Industrial Sector, Energy and others. On action level, there are already many spesific regulations issued by Presidential Regulation relating to climate change, include

forming DNPI, GRK, RAN GRK

inventory, and others. However, on implementation level and technical instructions which normaly issued by minister regulation, no single regulation has been issued to determine procedures on climate change mitigation and adaptation. It can be interpreted that regulation on national level still serve as responsive-active towards climate change issue, but a normative or long-term framework to combat the issue has not been formed.

2. On policy assessement (non-legal bases), recent policy study shows that policy being carried out are mostly related to climate change mitigation in form of roadmap or strategy. Several ministries have announced their strategic planning, include Green Building by Public Works Ministry, Green Industry by Industrial Ministry, Clean Energy Initiative by Energy and Mineral Resources Ministry and providing facilities on tax and excise for energy resources utilization by Finance Ministry. All strategic planning must be strengthen and supported by a set of technical and operational regulation to allow easy implementation on all strategic planning by regional government.

(18)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

Tabel 1. Matriks Kebijakan Nasional terkait Perubahan Iklim Table 1. National Policy Matrix on Climate Change

Dalam konteks mitigasi, kebijakan nasional yang penting untuk ditekankan adalah penetapan target penurunan emisi dalam Rencana Aksi Nasional penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Dengan target 26% atas skenario usaha sendiri, maka paling tidak ada 5 (lima) sektor yang ditargetkan menjadi kontributor utama, yaitu pertanian, hutan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, serta pengelolaan limbah. Berdasarkan hasil analisis keterkaitan Renstra Kementerian terkait kelima sektor tersebut dengan RAN GRK, setidaknya ada beberapa kebijakan yang belum terakomodir (potential gap), yaitu antara lain:

- Bidang Pertanian  Penerapan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) melalui pembuatan kompos, arang dan briket arang.

- Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut  Pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan di Kementerian Kehutanan dan penyusunan kriteria baku kerusakan ekosistem gambut dan pengendaliannya di Kementerian Lingkungan Hidup.

- Bidang Energi dan Transportasi  Congestion Charging and Road Pricing (dikombinasikan dengan angkutan umum massal cepat) di Kementerian

In mitigation context, national policy needed to be emphasized is setting target to reduce emission through National Act for Green House Gas Emission Reduction (RAN–GRK). With target to reduce 26% of gas emission, there are at least five sectors act as main contributors include agriculture, forestry and peatland, energy and transportation, industrial and waste management. Based on analysis related to ministry strategic planning on the five sectors, there are several policy with potential gap:

- Agricultural Sector  Implementation of Land Clearing without Fire (PLTB) by creating compost, charcoal and charcoal briquettes.

- Forestry and Peatland Sector  Peatland management for sustainable agriculture by Forestry Ministry and Formulating Default Criteria on Peatland Ecosystem Damage and Its Rehabilitation by Environment Ministry. - Energy and Transportation Sector 

Congestion Charging and Road Pricing (combined with mass rapid transportation) by Transportation and

(19)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

Perhubungan dan Kementerian Keuangan, serta Pelatihan dan Sosialisasi Smart Driving dan Non Motorized Transport di Kementerian Perhubungan.

- Bidang Industri  Penghapusan Bahan Perusak Ozon (BPO) dan implementasinya di industri refrigerant, foam, chiller dan pemadam api di Kementerian Perindustrian dan Kementerian Lingkungan Hidup.

- Bidang Pengelolaan Limbah  Pemanfaatan limbah hasil pembukaan lahan untuk bahan pembuatan kompos, arang dan briket arang di Kementerian Lingkungan Hidup.

Finance Ministries, plus Training and Socialization on Smart Driving and Non Motorized Transport by Transportation Ministry.

- Industrial Sector  Elimination of Ozone Depleting Subtances (BPO) and force its implementation in refrigerant, foam, chiller and fire extinguisher industries by Industry and Environment Ministries. - Waste Management Sector  Utilization

of waste produced from land clearing as substance to make compost, charcoal and charcoal briquettes by Environment Ministry.

Tentu saja, kemudian tuntutan terhadap kelima sektor ini akan berimplikasi pada kebijakan Pemerintah Provinsi, khususnya dalam penyusunan RAD PE GRK.

Furthermore, the demand on these five sectors will implicate on provincial policy related to RAD PE GRK.

Sedangkan dalam konteks adaptasi, kebijakan nasional umumnya lebih bersifat panduan kepada pemerintah daerah maupun masyarakat dalam melakukan tindakan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim sesuai dengan jenis dan tingkat kerentanan masing-masing. Contohnya adalah Ketahanan Pangan Nasional oleh Kementerian Pertanian, pengenalan penyakit dan kesehatan lingkungan oleh Kementerian Kesehatan, dan Pengelolaan Sumber Daya Air oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Faktor spesifikasi wilayah tentunya sangat menentukan formulasi kebijakan adaptasinya. Dan berdasarkan hasil analisis pada bagian sebelumnya, yaitu studi kasus di Gorontalo dan Sulawesi Selatan, diketahui bahwa pendekatan penyusunan kebijakan dapat didasarkan pada indeks kerentanannya. Oleh karena itu, invetarisasi kebijakan di level provinsi, akan membahas juga proses dan produk kebijakan pemerintah provinsi di Pulau Kalimantan.

Meanwhile on the adaptation context, national policy generally acts as guidance for regional government and society to adapt with climate change impact according to region vulnerability level. For example, National Food Resilience by Agriculture Ministry, Environmental Disease and Health by Health Ministry and Natural Resources Management by Public Works Ministry. Each region specific factor plays important role on adaptation policy formulation. Based on previous study in Gorontalo and South Sulawesi, formulating adaptation policy is based on each region vulnerability index. Therefore, provincial policy inventory will also discuss the process and regional government regulation in Kalimantan.

Matriks Kebijakan Pemerintah Provinsi A. Adaptasi Perubahan Iklim

Dalam memetakan kebijakan adaptasi perubahan iklim, maka faktor yang paling menentukan adalah jenis dan tingkat kerentanan daerah tersebut. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa untuk level messo, yaitu daerah provinsi, kajian terhadap kerentanan masih belum banyak

Provincial Policy Matrix

A. Climate Change Adaptation

In mapping policy for climate change adaptation, the key factors are one region type and level of vulnerability. As described previously, vulnerability study on messo level (provincial) has not been widely conducted in the country. More vulnerability study on messo level

(20)

Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RI N GKA SA N E KS EKU TI F EX EC U TI VE S U MM AR Y

dilakukan di Indonesia sehingga masih membutuhkan beberapa studi kasus untuk bisa menetapkan menjadi panduan bagi daerah. Selain itu, perkembangan data maupun metodologinya selalu dinamis sehingga memerlukan waktu untuk penerapan standarisasi penghitungan kerentanan dan biaya adaptasi.

(provincial) is needed in order for regional government to formulate its climate change adaptation regulation more effectively. Aside from that, development in data and methodology stays dynamic. It takes time to implement vulnerability measurement and adaptation cost.

Berdasarkan hasil kajian pada daerah Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Selatan, pendekatan indeks kerentanan sebenarnya akan lebih memudahkan bagi pemerintah daerah provinsi dalam merumuskan kebijakan adaptasi bagi daerahnya karena dari hasil inventarisasi kebijakan adaptasi pada 5 (lima) sektor pembangunan, yaitu (i) sumber dan manajemen air bersih, (ii) properti, barang dan jasa terkait ekosistem, (iii) pangan, serat, dan produk hutan, (iv) kesehatan, dan (v) pesisir dan dataran rendah terdapat beberapa isu kebijakan di level provinsi yang harus dapat diatasi, yaitu antara lain:

- Masih belum didukung oleh studi/ penelitian/kajian lokal terkait tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi daerah provinsi, tercatat hanya Kalimantan Timur yang memiliki indeks kerentanan bencana iklim tertentu. Namun belum mempertimbangkan unsur kerentanan sosial dan ekonomi, seperti halnya yang dilakukan di Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Selatan dalam pekerjaan ini.

- Belum berdasarkan perhitungan biaya adaptasi perubahan iklim di level provinsi, khususnya Pulau Kalimantan sehingga kebijakan adaptasi yang dihasilkan sulit untuk diukur keberhasilannya karena cenderung hanya bersifat kualitatif.

- Belum bersifat lintas sektor dan lintas wilayah, padahal dampak perubahan iklim tidak mengenal batasan wilayah, sehingga perlu pemetaan kerentanan yang holistik.

- Belum terpadu karena ketiadaan kajian kerentanan dan adaptasi (vulnerability and adaptation assessment) di level provinsi.

- Belum mendorong kerja sama antar Pemerintah Kabupaten/Kota ketika dampak perubahan iklim terjadi lintas wilayah dan lintas sektor.

Based on study in Gorontalo and South Sulawesi, vulnerability index approach will be useful for provincial governments to formulate adaptation regulation for their regions as based on inventory on 5 (five) development sectors, which are (i) clean water resources and management, (ii) property, goods and service related to ecosystem, (iii) food, fiber and forestry goods, (iv) health, and (v) coastal and lowland, there are several issues on provincial level need to be overcome:

- Absence in study / research / local assessment on region vulnerability and adaptation capacity. Only East Kalimantan so far recorded vulnerability index although it is still lack of social economic vulnerability, as recorded by Gorontalo and South Sulawesi.

- Absence in climate change adaptation cost calculation for provincial level, especially for Kalimantan Island. It will be difficult to measure adaptation policy success due to its qualitative trait.

- Absence in climate change study cross-sector and cross-region as impacts of climate change know no boundaries, therefore holistic vulnerability mapping is required.

- Absence of integrated vunerability and adaptation assessment on provincial level.

- Absence of coordination between regency and city governments in coping with climate change impact cross-region and cross-sector.

Gambar

Gambar 1.Peta kuadran Coping Capacity Index Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009  (baseline) serta tahun 2020 dan 2050 (proyeksi)
Gambar 2. Peta kuadran Coping Capacity Index Provinsi Gorontalo Tahun 2009 (baseline)  serta tahun 2020 dan 2050 (proyeksi)
Gambar 3. Peta indeks komposit bencana iklim Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009  (baseline) serta tahun 2020 dan 2050 (proyeksi)
Gambar 4. Peta indeks komposit bencana iklim Provinsi Gorontalo Tahun 2009 (baseline)  serta tahun 2020 dan 2050 (proyeksi)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan telah selesainya masa sanggah terhadap pengumuman pemenang untuk paket pekerjaan KONSULTAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN JETTY DAN BREAKWATER PELABUHAN PPI SUKADANA,

PEKERJAAN : SURVEY INVESTIGASI DAN DESAIN (SID) PELABUHAN LAUT SONIT (Lelang Tidak Mengikat).. LOKASI : KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN TAHUN ANGGARAN

benar dan fasih 1.1 Melafalkan, surat al-Fatihah, an-Nas, al- Falaq, al-Ihlas, dan surat al-Lahab secara benar dan fasih.. 1.2 Menghafalkan, surat al-Fatihah, an-Nas, al-

Tikus yang menerima suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol (kelompok 4) telah sembuh pada hari ketiga ditandai dengan rata-rata jumlah ulkus dan indeks ulkus adalah

Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated

Penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini merupakan tugas akhir untuk memperoleh Gelar Ahli Madya Analis Kesehatan pada Program Studi D3 Analis Kesehatan Fakultas Ilmu

Apa yang akan Bapak/Ibu lakukan pada gigi jikad. terjadi gigi avulsi

[r]