• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Pendahuluan HIV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Pendahuluan HIV"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

KLIEN DENGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)/

AQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME (AIDS)

DIRUANG SAKURA RSUD dr. SOEBANDI

JEMBER

oleh

Riana Vera Andantika, S.Kep NIM 122311101006

PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER 2016

(2)

LAPORAN PENDAHULUAN

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV/ AQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME (AIDS)

DI RUANG SAKURA RSUD dr. SOEBANDI JEMBER Oleh: Riana Vera Andantika, S. Kep.

A. KONSEP DASAR PENYAKIT 1. Definisi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus RNA yang termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh pejamu. Pada proses replikasi virus HIV diperlukan adanya perubahan dari Ribonucleic Acid (RNA) menjadi Deoxyribonucleid Acid (DNA) di dalam sel pejamu. Virus HIV menginfeksi tubuh memiliki masa inkubasi yang lama (masa laten klinis) dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala AIDS (Direktorat Jenderal PP & PL, 2012). HIV merupakan retrovirus yang menyerang sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia terutama CD4 positive T-sel dan macrophages (komponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus. Sistem kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan fungsinya memerangi infeksi dan penyakit (KPA Nasional, 2010).

AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi HIV (Human Immuno Deficiency Virus) yang menyebabkan kolapsnya sistem imun (Corwin, 2000). AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi Human Immunodefciency Virus (HIV). Manivestasi infeksi HIV ditandai dengan tanda-tanda gelaja gangguan sistem imun yang ringan sampai manivestasi yang menunjukkan kelainan sistem imun yang berat (Smeltzer, 2001). Smeltzer & Bare (2001) menyatakan bahwa HIV telah ditetapkan sebagai agens penyebab Accuired Immunideficiency Syndrome (AIDS), yaitu gejala dari penyakit yang mungkin terjadi saat sistem imun dilemahkan oleh virus HIV.

(3)

1) Struktur virus HIV

Secara struktural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar-melebar. Pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen fungsional dan struktural. Tiga gen tersebut yaitu gag, pol, dan env. Gag berarti grup antigen, pol mewakili polimerase, dan env adalah kepanjangan dari envelope (Hoffmann, Rockstroh, Kamps, 2006 dalam Kurniawati & Nursalam, 2007). Gen gag mengode protein inti. Gen pol mengode enzim reverse transcriptase, protease, dan integrase. Gen envi mengode komponen struktural HIV yang dikenal dengan glikoprotein. Gen lain yang ada dan juga penting dalam replikasi virus yaitu rev, nef, vpu, dan vpr (Kurniawati & Nursalam, 2007)

Gambar 1. Struktur virus HIV

Sumber: Hoffmann, Rockstroh, Kamps, 2006 dalam Kurniawati & Nursalam, 2007

2) Siklus hidup virus HIV

Sel pejamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup sangat pendek. Hal ini berarti HIV secara terus-menerus menggunakan sel pejamu baru untuk mereplikasi diri. Sebanyak 10 milyar virus dihasilkan setiap

(4)

harinya. Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh sel dendrit pada membran mukosa dan kulit pada 24 jam pertama setelah paparan. Sel yang terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfa dan kadang-kadang ke pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah paparan, di mana replikasi virus menjadi semakin cepat.

Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu: 1. masuk dan mengikat;

2. reverse transkriptase; 3. replikasi;

4. budding;

5. maturasi (Kurniawati & Nursalam, 2007).

Gambar 2. Siklus hidup HIV

Sumber: Fauci, 1996 dalam Kasper, D. E, et al, 2005 dalam Kurniawati & Nursalam, 2007

3) Tipe virus HIV

Ada 2 tipe HIV yang dapat menyebabkan AIDS yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasi lebih cepat. Berbagai macam subtipe dari HIV-1 telah ditemukan dalam area geografis yang spesifik dan kelompok spesifik risiko tinggi. Individu dapat terinfeksi oleh subtipe yang berbeda. Menurut Smeltzer & Bare (2001), HIV-2 adalah virus yang sama

(5)

jalur penularannya dan juga menyebabkan AIDS. Tes serologik dapat membedakan antara HIV-1 dan HIV-2.

2. Epidemiologi

Berdasarkan case report United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) tahun 2011 jumlh orang yang terjangkit HIV di dunia sampai akhir tahun 2010 terdapat 34 juta orang, du pertuganya tinggal di Afrika kawasana selatan Sahara, di kawasan itu kasus infeksi baru mencapai 70 %. Di Afrika Selatan 5,6 juta orang terinfeksi HIV, di Eropa Tengah dan Barat jumlah kasus infeksi baru HIV/AIDS sekitar 840 ribu, di Jerman secara kumulasi ada 73 ribu orang, kawasan Asia Pasifik merupakan urutan kedua terbesar di dunia setelah Afrika Selatan dimana terdapat 5 juta penderita HIV/AIDS. Menurut World Health Organization (WHO) dilaporkan bahwa pada tahun 2011 teradapat 3,5 juta orang di Asia Tenggara hidup dengan HIV/AIDS. Beberapa negara seperyi Myanmar, Nepal, dan Thailand meununjukkan penurunan infeksi baru HIV. Hal ini dihubungkan salah satunya dengan diterapkannya program pencegahan HIV/AIDS melalui program Condom use 100 persen (CUP) ( WHO, 2011).

Berdasarkan data statisti kasus HIV/AIDS di Indonesia oleh Ditjen PP & PL Kemenkes RI sampai bulan September 2014 diketahui sebanyak 22.869 orang terinfeksi virus HIV dan sebanyak 1.876 orang dengan AIDS. Secara kumulatif laporan HIV & AIDS sejak bulan April 1987 sampai dengan bulan Sepember 2014 adalah sebanyak 150.296 orang dengan HIV dan sebanyak 55.799 orang AIDS dengan angka kematian sebanyak 9.796 orang. Kasus HIV AIDS ini lebih umum menyerang pada kaum laki-laki yaitu sebanyak 30.001 orang (Ditjen PP&PL Kemenkes RI, 2014).

3. Etiologi

Terdapat dua virus utama pada infeksi HIV yang mempunyai sedikit perbedaan pada pathogenesis,manifestasi infeksi, perawatan dan prognosis yaitu HIV-1 yang sejauh ini paling umum di dunia dan HIV-2 yang menyebar terutama di Afrika Barat (Scully, 2004). Transmisi horizontal HIV terjadi melalui kontak seksual yang intim atau pajanan parenteral dengan darah atau

(6)

cairan tubuh lain yang mengandung HIV. Transmisi perinatal (vertikal) terjadi ketika ibu hamil yang terinfeksi HIV meneruskan infeksi kepada bayinya. Tidak terdapat bukti yang menunjukan bahwa kontak secara sepintas antara orang yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi dapat menyebarkan virus tersebut (Corwin, 2000). Transmisi HIV yang paling lazim di seluruh dunia adalah melalui hubungan seksual. Infeksi menular seksual laninnya (terutama yang menyebabkan ulkus genital) akan meningkatkan risiko penularan HIV. Jalur penularan HIV sangat beragam (Direktorat Jenderal PP & PL, 2012). HIV terdapat dalam sebagian cairan tubuh, yaitu darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu (ASI). HIV menular melalui:

1) Berhubungan seks yang memungkinkan darah, air mani, atau cairan vagina dari orang terinfeksi HIV masuk ke aliran darah orang yang belum terinfeksi (yaitu hubungan seks yang dilakukan tanpa kondom melalui vagina atau dubur; juga melalui mulut, walau dengan kemungkinan lebih kecil).

2) Memakai jarum suntik secara bergantian dengan orang lain yang terinfeksi HIV.

3) Menerima transfusi darah dari donor yang terinfeksi HIV.

4) Dari ibu terinfeksi HIV ke bayi dalam kandungan, waktu melahirkan, dan jika menyusui sendiri.

Biasakan mempunyai sikat gigi dan pisau cukur sendiri, karena selain untuk kebersihan pribadi, jika terdapat darah akan ada risiko penularan virus lain yang menular melalui darah (misalnya hepatitis), bukan hanya HIV. HIV tidak menular melalui:

1) Bersalaman, berpelukan 2) Batuk, bersin

3) Memakai peralatan rumah tangga seperti alat makan, telepon, kamar mandi, WC, kamar tidur, dll

4) Gigitan nyamuk

5) Bekerja, bersekolah, berkendaraan bersama

(7)

HIV tidak menular melalui udara. Virus ini juga cepat mati jika berada di luar tubuh. Virus ini dapat dibunuh jika cairan tubuh yang mengandungnya dibersihkan dengan cairan pemutih (bleach) seperti bayclin atau chlorox, atau dengan sabun dan air. HIV tidak dapat diserap oleh kulit yang tidak luka (Murni dkk, 2009).

4. Klasifikasi

1) Klasifikasi laboratorium (Limfosit CD4+)

CDC mengkategorikan dewasa dan dewasa muda terinfeksi HIV berdasarkan hitung limfosit CD4+ dan kategori klinis, yaitu :

Tabel 1. Sistem Klasifikasi untuk Infeksi HIV dan definisi Kasus Surveilans AIDS yang diperluas bagi pasien Remaja dan Dewasa

CD4+ Kategori Klinis Total % A (Asimtomatik) B (Simtomatik, bukan kondisi A atau C) C (Indikator AIDS) ≥ 500 ≥ 29% A.1 B.1 C.1 200-499 14-28% A.2 B.2 C.2 < 200 < 14 % A.3 B.3 C.3

a. Berdasarkan hitung limfosit CD4+:

a) Kategori 1 : lebih besar atau sama dengan 500 CD4+ T-cells/ul b) Kategori 2 : 200-499 CD4+ T-cells/ul

c) Kategori 3 : < 200 CD4+ T-cells/ul b. Berdasarkan kategori klinis :

a) Kategori klinis A

Mencakup satu atau lebih keadaan pada dewasa atau remaja dengan infeksi HIV yang sudah dipastikan tanpa keadaan dalam kategori B dan C, yaitu:

(a) Infeksi HIV yang asimptomatik.

(b) Limpadenopati generalisata yang persisten

(c) Infeksi HIV yang akut dengan keadaan sakit yang menyertai. b) Kategori klinis B

(8)

Keadaan dalam kategori klinis B mencakup : (a) Angiomatosis baksilaris

(b) Kandidiasis orofaring/vulvaginal (c) Displasia servik

(d) Gejala konstitusional, seperti panas (38,5ºC) atau diare lebih dari 1 bulan

(e) Herpes zoster

(f) Leukoplakia oral yang berambut (g) Idiopatik trombositopeni purpura (h) Listeriosis

(i) Penyakit inflamasi pelvic khususnya jika disertai komplikasi abses tuboovarii

(j) Neuropati peripir c) Kategori klinis C

Keadaan dalam kategori C mencakup ;

(a) Kandidiasi bronkus, trakea/paru-paru, esophagus (b) Kanker servik inpasif

(c) Koksidiodomikosis ektrapulmoner/diseminata (d) Kriptokokosis ekstrapulmoner

(e) Kriptosporidosis internal kronis

(f) Penyakit cytomegalovirus (bukan hati, lien, kelenjar limpe) (g) Retinitis cytomegalovirus

(h) Encepalopati yang berhubungan dengan HIV

(i) Herves simpleks, ulkus kronis (durasi lebih dari 1 bulan) (j) Histoplasmosis diseminata atau ekstrapulmoner

(k) Isosporiasis intestinal yang kronis (l) Sarkoma Kaposi

(9)

(n) Kompleks mycobacterium avium atau M. kansasil yang diseminata atau ekstrapulmoner

(o) Mycobakterium spesies lain atau spesies yang tidak dikenali, diseminata atau ekstrapulmoner

(p) Pneumonia pneumocytis carnii (q) Pneumonia rekuren

(r) Leukoensefalopati multifokal progresif (s) Septikemia salmonella yang rekuren (t) Toksoplasmosis otak

(u) Sindrom pelisutan akibat HIV (Smeltzer, 2001) 2) Klasifikasi Stadium Klinis

WHO telah mengembangkan sistem stadium klinis berdasarkan kriteria klinis. Stadium klinis WHO dapat membantu untuk memperkirakan tingkat defisiensi kekebalan tubuh pasien. Pasien dengan gejala pada stadium klinis 1 atau 2 biasanya tidak mempunyai gejala defisiensi kekebalan tubuh yang serius. Pasien yang mempunyai gejala dan tanda stadium klinis 3 atau 4 biasanya mempunyai penurunan kekebalan tubuh yang berat dan tidak mempunyai cukup banyak sel CD4 sehingga memudahkan terjadina infeksi oportunistik (IO).

Tabel 2. Klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO

Stadium Skala Aktivitas Gambaran Klinis

1

(Asimptomatik) Tidak ada gejala, aktivitas normal, atau hanya: Limfadenopati generalisata persisten: kelenjar multipel berukuran kecil tanpa rasa nyeri

2 (Sakit ringan) Simptomatik, aktivitas normal

 Berat badan turun 5-10%

 Luka pada sudut mulut (keilitis angularis)

 Dermatitis seboroik: lesi kulit bersisik pada batas antara wajah dan rambut serta sisi hidung

 Prurigo: lesi kulit yang gatal pada lengan dan tungkai

(10)

wajah, atau ekstremitas

 ISPA berulang: infeksi tenggorokan berulang, sinusitis atau infeksi telinga

 Ulkus pada mulut berulang

3 (Sakit sedang) Pada umumnya lemah, aktivitas di tempat tidur kurang dari 50%

 Berat badan turun > 10%

 Kandidiasis mulut: bercak putih yang menutupi daerah di dalam mulut

Oral hairy leukoplaakia: garis vertikal putih di samping lidah, tidak nyeri, tidak hilang jika dikerok

 lebih dari 1 bulan diare: kadang-kadang intermiten

 infeksi bakteri yang berat: pneumonia, piomiositis, dan lain-lain

 Tuberkulosis paru

 Hb < 8 g, lekosit < 500, trombosit < 50.000

 Gingivitis/periodontitis ulseratif nekrotikan akut

4 (Sakit

berat/AIDS)

Pada umumnya sangat lemah, aktivitas di tempat tidur lebih dari 50%

HIV wasting syndrome: sangat kurus disertai demam kronik dan/atau diare kronik

 Kandidiasis esofagus: nyeri hebat saat menelan

 Lebih dari 1 bulan: ulserasi herpes simpleks: luka lebar dan nyeri kronik di genetalia dan/atau anus

 Limfoma*

 Sarkoma kaposi: lesi berwarna gelap (ungu) dikulit dan/atau mulut, mata, paru, usus, dan sering disertai edema

 Kanker serviks invasif*

 Retinitis CMV

 Pneumonia pneumosistis*: pneumonia berat disertai sesak napas dan batuk kering

 Tuberkulosis ekstraparu*: contoh pada tulang atau meningitis

 Meningitis kriptokokus*: meningitis dengan atau tanpa kaku kuduk

 Abses otak toksoplasmosis*

(11)

tidak disebabkan oleh faktor lain seringkali membaik dengan pengobatan ARV

Catatan: keadaan yang ditandai dengan tanda (*) membutuhkan diagnosis dokter ─ data didapat dari rekam medis sebelumnya. Piomiositis, pneumosistis atau pneumonia berat lainnya, toksoplasmosis, meningitis kriptokokus, dan TB ekstraparu adalah semua infeksi yang harus dirujuk untuk diagnosis dan perawatan di RS (Direktorat Jenderal PP & PL, 2012).

3) Klasifikasi Fase HIV

Menurut Family Health International (2004) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (2008) menyebutkan bahwa terdapat beberapa fase dari virus HIV sampai menjadi AIDS, yaitu sebagai berikut ini.

a) Fase pertama

Fase pertama belum terlihat adanya infeksi HIV meskipun dengan tes darah karena pada fase ini masih belum terbentuk antibodi terhadap HIV tetapi pada fase ini orang yang terinfeksi HIV sudah dapat menularkan virus HIV pada orang lain (BKKBN, 2008). Lamanya sistem tubuh dalam membentuk antibodi terhadap HIV adalah satu sampai enam bulan. Fase ini disebut juga dengan periode jendela (window period) (Family Health International, 2004).

b) Fase kedua

Fase kedua merupakan fase yang paling lama. Fase ini berlangsung sekitar dua sampai sepuluh tahun setelah terinfeksi HIV. Hasil tes pada fase ini akan menunjukkan hasil positif tetapi belum menampakkan gejala sakit (BKKBN, 2008).

c) Fase ketiga

Fase ketiga sudah mulai terlihat adanya penurunan sistem kekebalan tubuh ini sudah mulai muncul gejala awal penyakit seperti keringat berlebihan pada malam hari, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tak kunjung sembuh, nafsu makan berkurang sehingga menyebabkan penurunan berat badan (BKKBN, 2008).

d) Fase keempat

Fase keempat sudah masuk pada tahap AIDS. Hasil tes juga menunjukkan positf AIDS. Pada fase ini sudah muncul penyakit yang disebut dengan

(12)

infeksi oportunistik seperti kanker, infeksi paru, infeksi usus, dan infeksi otak (BKKBN, 2008).

5. Patofisiologi

Virus HIV masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau berada dalam sel limfosit. Virus ini masuk ke dalam tubuh dan terutama menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4+. Secara imunologis, sel T yang terdiri atas limfosit T-helper disebut limfosit CD4+ akan mengalami perubahan secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, lapisan luar HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptor bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membran. Pada bagian inti terdapat enzim reverse transcriptase yang terdiri atas DNA polimerase dan ribonuklease. Pada inti yang mengandung RNA, enzim DNA polimerase menyusun copy DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuklease memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk copy DNA kedua dari DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997; Baratawidjaja, 2000 dalam Kurniawati & Nursalam, 2007:41-42).

Setelah terbentuk, kode genetik DNA berupa untai ganda akan masuk ke inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copy dari virus disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+ kemudian bereplikasi, menyebabkan sel limfosit CD4+ mengalami sitolisis. Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encepalopati dan pada sel epitel usus adalah diare kronis. Gejala-gejala

(13)

klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien setelah beberapa waktu lamanya karena tidak mengalami kesembuhan. Pasien yang terinfeksi virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama bertahun-tahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut, sel CD4+ mengalami penurunan jumlah dari 1000/µl sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200-300/µl setelah terinfeksi dalam kurun waktu 2-10 tahun (Stewart, 1997 dalam Kurniawati & Nursalam, 2007:42). Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun :

a. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV jumlahnya menurun sebanyak 40-50% dan selama masa ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi.

b. Setelah sekitar 6 bulan kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dalam menentukan orang-orang berisiko tinggi menderita AIDS.

c. Satu sampai 2 tahun sebelum terjadinya AIDS jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis, jika kadarnya mencapai 200 sel/ml darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi dan timbul penyakit baru yang menyebabkan virus berproliferasi dan menjadi infeksi yang parah dimana terjadi infeksi oportunistik yang didiagnosis sebagai AIDS yang dapat menyerang berbagai sistem organ, seperti paru, gastrointestinal, kulit, dan sensori saraf. Pada paru-paru dapat terjadi peradangan dan terjadi peningkatan produksi mukus yang menimbulkan masalah bersihan jalan nafas tidak efektif, perubahan pola nafas, gangguan pola tidur dan nyeri. Pada peradangan dapat muncul masalah hipertermi. Pada gastrointestinal terjadi diare dan jamur pada mulut yang memunculkan masalah diare,

(14)

kekurangan volume cairan dan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan. Pada neuro terjadi penurunan fungsi transmitter sehingga timbul masalah perubahan proses pikir. Di kulit terjadi lesi yang dapat memunculkan masalah nyeri dan kerusakan integritas kulit (Price & Wilson, 2005). 6. Manifestasi Klinis

WHO mengembangkan diagnosis HIV hanya berdasarkan penyakit klinis dengan mengelompokkan tanda dan gejala dalam kriteria mayor dan minor. Seseorang yang mempunyai 2 gejala mayor dan 2 gejala minor bisa di diagnosis HIV meskipun tanpa pemeriksaan ELISA atau tes laboratorium lain. Berikut ini adalah tanda dan gejala mayor dan minor untuk mendiagnosis HIV berdasarkan klasifikasi WHO.

1) Gejala mayor:

a) Gagal tumbuh atau penurunan berat badan b) Diare kronis

c) Demam memanjang tanpa sebab d) Tuberkulosis 2) Gejala minor: a) Limfadenopati generalisata b) Kandidiasis oral c) Batuk menetap d) Distres pernapasan/pneumonia e) Infeksi berulang

f) Infeksi kulit generalisata (Direktorat Jenderal PP & PL, 2012). Tabel 3. Tabel tanda dan gejala HIV AIDS

Sistem Tubuh Manifestasi Klinis

Keadaan Umum  Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar

 Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral > 37,5ºC) yang lebih dari satu bulan

 Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan

 Limfadenopati meluas Infeksi Jamur  Kandidiasis oral*

 Dermatitis seboroik*  Kandidiasis vagina berulang

(15)

satu dermatom)*

 Herpes genital (berulang)  Moluskum kontagiosum  Kondiloma

Sistem Respiratory  Batuk lebih dari satu bulan  Sesak nafas

 Tuberkulosis

 Pneumonia berulang

 Sinusitis kronis atau berulang Sistem Gastrointestinal Hilanya selera makan

 Mual ,muntah

 Kandidiasis oral yang dapat menyebar pada esophagus dan lambung

 Diare kronis

 Penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan sebelumnya, hilangnya massa otot

 Kelemahan karena hipermetabolisme tubuh. Sistem Integumen PPE* dan kulit kering yang luas* merupakan dugaan

kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis.

Sistem Neurologi  Ensefalopati HIV (kompleks dimensia AIDS) berupa sindrom klinis yang ditandai penurunan progesif pada fungsi kognitif, perilaku dan motorik. Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan konsentrasi, konfusi progesif, pelambatan psikomotorik, apatis dan ataksi. Stadium lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam respon verbal, gangguan afektif, seperti pandangan yang kosong, hiperrefleksi paraparesis spatik, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, serangan kejang, mutisme.

 Meningitis kriptokokus, yaitu infeksi jamur Cryptococcus neoform dengan gejala demam, sakit kepala, malaise, kaku kuduk, mual, vomitus, perubahan status mental, dan kejang.

 Leukoensefalopati multifokal progresiva (PML) merupakan kelainan sistem saraf pusat dengan demielinisasi yang disebabkan virus J.C manifestasi klinis dimulai dengan konfusi mental dan mengalami perkembangan cepat yang pada akhirnya mencakup gejala kebutaan, afasia, paresis .

(16)

yang mengenai kolumna lateralis dan posterior medulla spinalis sehingga terjadi paraparesis spastik progresiva,ataksia serta inkontinensia.  Neuropati perifer yang berhubungan dengan HIV

diperkirakan merupakan kelainan demielisasi dengan disertai rasa nyeri serta matirasa pada ekstrimitas, kelemahan, penurunan reflkes tendon yang dalam, hipotensi ortostatik.

Tabel 4. Gejala HIV AIDS sesuai dengan fase-fase infeksi

Fase Lamanya fase Antibodi yang terdeteksi Gejala-Gejala Dapat ditularkan 1..Periode jendela 4mg-6bln setelah infeksi

Tidak Tidak ada Ya

2.Infeksi HIV primer akut

1-2 minggu Kemungkinan Sakit seperti flu Ya

3.Infeksi asimtomati k 1-15 tahun atau lebih Ya Tidak ada Ya 4.Supresi imun simtomatik Sampai 3 tahun

Ya Demam, keringat malam hari, penurunan BB, diare, neuropati, keletihan, ruam kulit, limpadenopati, perlambatan kognitif, lesi oral

Ya 5.AIDS Bervariasi 1-5 tahun dari penentuan kondisi AIDS

Ya Infeksi oportunistik berat dan tumor –tumor pada setiap sistem tubuh,manifestasi neurologik

Ya

7. Pencegahan

(17)

1) A atau Adstinence yaitu menunda kegiatan seksual, tidak melakukan kegiatan seksua sebelum menikah;

2) B atau Be faithful yaitu saling setia pada pasangannya setelah menikah; 3) C atau Condom yaitu menggunakan kondom bagi orang yang melakukan

perilaku seks berisiko;

4) D atau Drugs yaitu tidak menggunakan napza suntik agar tidak menggunakan jarum suntik bergantian dan secara bersama-sama.

Upaya pencegahan juga dilakukan dengan cara memberikan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) mengenai HIV/AIDS kepada masyarakat agar tidak melakukan perilaku berisiko, khususnya pada remaja. Ada lima tingkat pencegahan (Five level prevention) menurut Level & Clark yaitu:

1) Promosi Kesehatan (health promotion) 2) Perlindungan khusus (spesific protection)

3) Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment)

4) Pemabatasan cacat (disability limitation) 5) Rehabilitasi (rehabilitation)

Adapun upaya pencegahan yang dapat dilakukan kepada remaja maupun para pengguna NAPZA, antara lain:

1) Pencegahan pada remaja

a. Merubaha perilaku dan sikap adalah lebih mudah jika dimulai sebelum pola dibentuk;

b. Sumber kekuatan pencegahan berada didalam dirinya sendiri; c. Dapat dilakukan KIE dalam bentuk kelompok-kelompok. 2) Pencegahan pada pengguna NAPZA suntik:

a. Program penjangkauan masyarakat berbasis komunitas sebaya b. Meningkatkan akses untuk alat suntik yang steril dan kondom; c. Meningkatkan akses untuk perawatan ketergantungan obat

(Brown, 2001). 8. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium 1) Uji Imunologi

Uji imunologi bertujuan untuk menemukan adanya respon antibodi terhadap HIV dan juga digunakan sebagai test skrining.

(18)

a. Test ELISA

Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA), merupakan uji

penapisan infeksi HIV yaitu suatu tes untuk mendeteksi adanya antibody yang dibentuk oleh tubuh terhadap virus HIV. Dalam hal ini antigen mula-mula diikat benda padat kemudian ditambah antibody yang akan dicari. Setelah itu ditambahkan lagi antigen yang bertanda enzim, seperti peroksidase dan fosfatase. Akhirnya ditambahkan substrat kromogenik yang bila bereaksi dengan enzim dapat menimbulkan perubahan warna. Perubahan warna yang terjadi seuai dengan jumlah enzim yang diikat dan sesuai pula dengan kadar antibody yang dicari.2 ELISA memiliki sensitifitas

yang tinggi, yaitu > 99,5%. Metode ELISA dibagi 2 jenis tehnik yaitu tehnik kompetitif dan non kompetitif. Tehnik non kompetitif ini dibagi menjadi dua yaitu sandwich dan indirek. Metode kompetitif mempunyai prinsip sampel ditambahkan antigen yang berlabel dan tidak berlabel dan terjadi kompetisi membentuk kompleks yang terbatas dengan antibody spesifik pada fase padat. Prinsip dasar dari sandwichassay adalah sampel yang mengandung antigen direaksikan dengan antibody spesifik pertama yang terikat dengan fase padat. Selanjutnya ditambahkan antibody spesifik kedua yang berlabel enzim dan ditambahkan substrat dari enzim tersebut.. Antibody biasanya diproduksi mulai minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke 12 setelah tubuh terpapar virus HIV,sehingga kita menganjurkan agar pemeriksaan ELISA dilakukan setelah setelah minggu ke 12 setelah seseorang dicurigai terpapar ( beresiko) untuk tertular virus HIV,misalnya aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau urine.

b. Radioimmunoassay (RIA)

Prinsip dasar dari RIA adalah reaksi suatu antibody dalam konsentrasi yang terbatas dengan berbagai konsentrasi antigen. Bagian dari antigen yang bebas dan yang terikat yang timbul sebagai akibat dari penggunaan antobody dalam kadar yang terbatas ditentukan dengan menggunakan antigen yang

(19)

diberi label radio isotop. Pada prinsip kompetitif bahan yang mengandung antigen yang berlabel dan antigen yang terdapat di dalam sampel akan diberi label radio isotop sehingga terjadi kompetisi antara antigen yang akan ditentukan kadarnya dan antigen yang diberi label dalam proses pengikatan antibody spesifik tersebut sampai terjadi keseimbangan. Sisa antigen yang diberi label dan tidak terikat dengan antibody dipisahkan oleh proses pencucian. Setelah itu dilakukan penambahan konyugate, sehingga terjadi pembentukan kompleks imun dengan conjugate.

c. Imunokromatografi/ Rapid Test

a) Reaksi langsung (Double AntibodySandwich)

Metode ini biasanya dipakai untuk mengukur susbtrat vang besar dan memiliki lebih dari satu epitop. Suatu substrat yang spesifik terhadap antibody dimobilisasi pada suatu membran. Reagen pelacak yaitu suatu antibody diikatkan pada partikel lateks atau metal koloid (konyugat), diendapkan (tetapi tetap, tidak terikat) pada bantalan konyugat

(conyugate pad). Bila sampel ditambahkan pada bantalan sampel, maka

sampel tersebut secara cepat akan membasahi dan melewati bantalan konyugat serta melarutkan konyugat. Selanjutnya reagen akan bergerak mengikuti aliran dari sampel sepanjang strip membran, sampai mencapai daerah dimana reagen akan terikat. Pada garis ini, kompleks antigen antibody akan terperangkap dan akan terbentuk warna dengan derajat vang sesuai dengan kadar yang terdapat di dalam sampel. Pada metode ini, kadar substrat di dalam sample tidak boleh berlebih, tetapi harus lebih sedikit daripada kadar antibody pengikat (capture Ab) yang terdapat dalarn capture ilne sehingga mikrosfere tidak diikat pada garis pengikat

(capture line) dan mengalir terus ke garis kedua dari antibody yang

dimobilisasi yaitu garis control (control line).

b) Reaksi kompetitif (Competitive inhibition)

Sering dipakai untuk melacak molekul yang kecil dengan epitop tunggal yang tak dapat mengikat dua antibody sekaligus. Reagen pelacaknya adalah analit yang terikat pada partikel lateks atau suatu

(20)

colloidal metal. Apabila sampel dan reagen melewati zona dimana reagen pengikat dimobilisasi, sebagian dari substrat dan reagen palacak akan terikat pada garis capture line. Makin banyak substrat yang terdapat di dalam sampel, makin efektif daya kompetisinya dengan reagen pelacak.

Prosedur pemeriksaan untuk HIV menggunakan strategi 3 dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (≥99%). Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil ‘negatif’, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko.

Tabel 5. Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1

d. Wastern Blot

Pemeriksaan Western Blot merupakan uji konfirmasi dari hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Cara kerja test

Western Blot yaitu dengan meletakkan HIV murni pada polyacrylamide gel yang

(21)

berbeda-beda, kemudian dipindahkan ke nitrocellulose. Nitrocellulose ini diinkubasikan dengan serum penderita. Antibody HIV dideteksi dengan memberikan antlbody

anti-human yang sudah dikonjugasi dengan enzim yang menghasilkan wama bila

diberi suatu substrat. Test ini dilakukan bersama dengan suatu bahan dengan profil berat molekul standar, kontrol positif dan negatif. Gambaran band dari bermacam-macam protein envelope dan core dapat mengidentifikasi macam antigen HIV. Antibody terhadap protein core HIV (gag) misalnya p24 dan protein

precursor (P25) timbul pada stadium awal kemudian menurun pada saat

penderita mengalami deteriorasi. Antibody terhadap envelope (env) penghasil gen (GP160) dan precursor-nya (GP120) dan protein transmembran (GP4l) selalu ditemukan pada penderita AIDS pada stadium apa saja. Secara singkat dapat dikatakan bahwa bila serum mengandung antibody HIV yang lengkap maka

Western blot akan memberi gambaran profil berbagai macam band protein dari

HIV antigen cetakannya.

e. Indirect Fluorescent Antibody (IFA)

IFA juga merupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA positif. Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan sedikit lebih mahal dari uji Western blot.

2) Uji Virologi

Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes

amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk

menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA atau RNA HIV-1 dan test untuk komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24), dan PCR test.

a. Kultur HIV

HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse

transcriptase virus atau untuk antigen spesifik virus b. Nucleic Acid Amplification Test (NAAT HIV-1)

Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan untuk diagnosis pada window periode dan pada anak usia kurang dari 18 bulan. Karena

(22)

asam nuklet virus mungkin berada dalam jumlah yang sangat banyak dalam sampel. Pengujian RNA dan DNA virus dengan amplifikasi PCR, menggunakan metode enzimatik untuk mengamplifikasi RNA HIV-1.

c. Uji antigen p24

Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibody p24 atau dalam keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA atau DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat dengan peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibody anti-p24.

d. PCR Test

Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah uji yang memeriksa langsung

keberadaan virus HIV pada plasma,darah,cairan cerebral,cairan cervical, sel-sel, dan cairan semen. Metode Reserve Transcriptase Polymerase Chain Reaction

(RT PCR) ini yang paling sensitive. PCR adalah suatu teknologi yang

menghasilkan turunan / kopi yang berlipat ganda dari sekuen nukleotida dari organism target, yang dapat mendeteksi target organism dalam jumlah yang sangat rendah dengan spesifitas yang tinggi. Tes ini dapat dilakukan lebih cepat yaitu sekitar seminggu setelah terpapar virus HIV. Tes ini sangat mahal dan memerlukan alat yang canggih. Oleh karena itu, biasanya hanya dilakukan jika uji antibodi diatas tidak memberikan hasil yang pasti.

b. Pemeriksaan lainnya a) Sinar X dada

Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau adanya komplikasi lain

b) Tes Fungsi Pulmonal

Deteksi awal pneumonia interstisial c) Skan Gallium

Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya. d) Biopsis

(23)

e) Brankoskopi / pencucian trakeobronkial

Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru

f) Tes Antibodi

Jika seseorang terinfeksi HIV, maka sistem imun akan bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk dalam 3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan hasil tes positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif, kemampuan mendeteksi antibody HIV dalam darah memungkinkan skrining produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostik.

9. Penatalaksanaan a. Farmakologi

Setelah dinyatakan terinfeksi HIV, dilakukan serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium klinis, penilaian imunologis, dan penilaian virologi. Hal tersebut untuk menentukan apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi antiretroviral, menilai status supresi imun pasien, menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi, dan menentukan paduan obat ARV yang sesuai (Direktotat Jenderal PP & PL, 2011).

Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya. Untuk ODHA yanng akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka dianjrkan untuk memberikan Kontrimoksasol (1x960 mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat, dan menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara Kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV

(24)

mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol (Direktotat Jenderal PP & PL, 2011).

Untuk memulai terapi ARV perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Berikut adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.

1. Tidak tersedia pemeriksaan CD4

Penentuan mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian klinis. 2. Tersedia pemeriksaan CD4

a. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya

b. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil, dan ko infeksi hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4 3. Limfosit total <1000 -1200/µ dapat diganti dengan CD4 dan dijumpai

tanda-tanda HIV. Hal ini pada pasien tanpa gejala (stadium 1 menurut WHO) hendaknya jangan dilakukan pengobatan karena belum adanya petunjuk mengenai tingkatan penyakit.

4. Pengobatan juga dianjurkan untuk pasien stadium III yang lanjut termasuk kambuh luka pada mulut yang sukar sembuh dan infeksi pada mulut yang berulang dengan tidak memperhatikan hasil pemeriksaan CD4 dan limfosit total (Nursalam, 2007).

(25)

Sumber: Direktotat Jenderal PP & PL, 2011

Obat ARV bekerja untuk menghambat replikasi virus dalam tubuh pasien. Saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Tujuan pemberian terapi ARV adalah untuk menurunkan HIV RNA menjadi dibawah 5000 copies/µ dan peningkatan CD4 diatas 500 cell/µl. Pemberian terapi ini akan memperlambat perkembangan HIV dan mencegah IO.

Rekomendasi WHO dalam pemberian ARV adalah kombinasi 3 obat ARV yaitu sebagai berikut.

1. Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NRTI), menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini diperlukan agar virus dapat bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk zidovudine (ADX atau AZT), lamivudine (3TC), didanosine (ddl), zalcitabine (ddC), stavudine (d4T), dan abacavir (ABC).

2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), bekerja dengan menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA dengan cara mengikat reverse transcriptase sehingga tidak berfungsi.

(26)

3. Protease inhibitor (PI), menghalangi kerja enzim protease yang berfungsi memotong DNA yang dibentuk oleh virus dengan ukuran yang benar untuk memproduksi virus baru, contoh obat golongan ini adalah indinavir (IDV), nelvinavir (NFV), squinavir (SQV), ritonavir (RTV), amprenavir (APV), dan loponavir/ritonavir (LPV/r).

4. Fusion inhibitor, mencegah masuknya HIV ke target sel dengan cara berikatan dengan amplop protein disekitar virus, yang termasuk golongan ini adalah enfuvirtide (T-20).

Tabel 6. Penggunaan NRTI dan NNRTI

b. Non Farmakologi

Selain melalui pengobatan orang dengan HIV/AIDS juga perlu didukung pada pola nutrisi dan olahraganya (Nursalam, 2007).

1. Pemberian Nutrisi

Pasien dengan HIV/AIDS (ODHA) sangat membutuhkan beberapa unsur vitamin dan mineral dalam jumlah yang lebih banyak dari apa yang biasanya diperoleh dalam makanan sehari-hari. Sebagian besar ODHA akan mengalami defisiensi vitamin sehingga memerlukan makanan tambahan (New Mexico AIDS Infonet, 2004 & Falma Foundation, 2004). Dalam beberapa hal, HIV sendiri akan perkembangan lebih cepat pada ODHA yang

(27)

mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Kondisi tersebut sangat berbahaya bagi ODHA yang mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Vitamin dan mineral juga berfungsi untuk meningkatkan kemampuan tubuh dalam melawan berkembangnya HIV dalam tubuh (Yayasan Kerti Praja, 2002 & William, 2004). HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan penyerapan nutrient. Hal ini berhubungan dengan menurunnya atau habisnya cadangan vitamin dan mineral dalam tubuh. Defisiensi vitamin dan mineral pada ODHA dimulai sejak masih stadium dini. Walaupun jumlah makanan ODHA sudah cukup dan berimbang seperti orang sehat, tetapi akan tetap terjadi defisiensi vitamin dan mineral (Anya, 2002). Berdasarkan beberapa hal tersebut, selain mengkonsumsi jumlah yang tinggi, para ODHA juga harus mengkonsumsi suplementasi atau nutrisi tambahan. Pemberian nutrisi tambahan bertujuan agar beban ODHA tidak bertambah akibat defisiensi vitamin dan mineral.

2. Aktivitas dan Olahraga

Hampir semua organ berespon terhadap stres olahraga pada keadaan akut. Olahraga yang dilakukan secara teratur menimbulkan adaptasi organ tubuh yang berefek menyehatkan. Olah raga yang dilakukan secara teratur menghasilkan perubahan pada jaringan, sel, dan protein pada sistem imun. B. Clinical Pathway

(28)

C. Proses Keperawatan 1. Pengkajian

1) Data Demografi

Nama, umur tempat tanggal lahir, jenis kelamin, ras, status perkawinan, alamat, pekerjaan, status imigrasi, perilaku berisiko. Nama anggota keluarga yang dapat dihubungi.

2) Riwayat sosial

a. Orientasi sexual pria,wanita, dan gay

b. Aktivitas seksual yang tidak aman seperti berganti pasangan tanpa pengaman

c. Riwayat pekerjaan d. Riwayat travelling e. Gangguan mental 3) Riwayat kesehatan

Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap sebagai faktor penunjang saat mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes : a. Kerusakan respon imun seluler (LimfositT )

Terapiradiasi,defisiensinutrisi,penuaan,aplasiatimik,limpoma,kortikost eroid,globulin anti limfosit,disfungsitimikcongenital.

(29)

b. Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)

Limfositikleukemiakronis,mieloma,hipogamaglobulemiacongenital,pr oteinlisingenteropati (peradangan usus).

4) Pola Kesehatan

a. Persepsi tentang kesehatan dan penanganan kesehatan

Persepsi terhadap penyakit, penggunaan alkohol dan obat-obatan b. Nutrisi dan metabolisme

Kehilangan BB, anorexia, mual, muntah, lesi pada mulut, ulser pada rongga mulut, sulit menelan, kram abdomen

c. Eliminasi

Diare persisten, nyeri saat BAK d. Aktifitas dan olah raga

Kelelahan kronik, kelemahan otot, kesulitan berjalan, batuk, sesak nafas, kemampuan melakukan ADL.

e. Tidur dan istirahat Insomnia

f. Gangguan kognitif dan persepsi

Sakit kepala, nyeri dada, kehilangan memori, demensia, parestesis g. Seksualitas

Riwayat berperilaku seks berisiko tinggi menurunnya libido, penggunaan pil pencegah kehamilan, dan hepers genetalia.

5) Pemeriksaan Fisik a. B1 Breathing

Inspeksi

a) Sekret di lubang hidung yang mengganggu pernafasan b) Sesak nafas (dispneu, takipneu), pernafasan cuping hidung

c) Batuk produktif dan batuk non produktif dengan SaO2 < 80% (PCP)

(30)

Palpasi

Terdapat pembesaran kelenjar limfe Perkusi

Terdengar hipersonor Auskultasi

Terdapat suara nafas tambahan atau ronchi b. B2 Blood

Inspeksi a) Anemis

b) Perdarahan yang lama

c) Terdapat luka yang sulit kering dan ruang pada kulit Palpasi

a) Takikardi/bradikardi

b) CRT mungkin akan > 2 detik atau bisa dalam kondisi normal Auskultasi

Suara jantung biasanya terdengar normal namun biasa terdengar suara jantung S3 dan S4 bila sudah terjadi kardiomiopati.

c. B3 Bowel

a) Lesi pada mulut: kapossi sarcoma b) Candida mulut: plag putih yang melapisi c) Rongga mulut dan lidah: kandidiasis d) Lesi putih pada lidah (hairy leukoplakia) e) Ginggivitis

f) Muntah g) Diare

h) Inkontinen alvi i) Hepatosplenomegali

(31)

d. B4 Brain

Ataxia, tremor, sakit kepala (toxoplasmosis), kurang kordinasi (ADC), kehilangansensori, apasia, kehilangan konsentrasi (ADC), kehilangan memori (ADC=AIDS Dementia Complex), apatis, depresi, penurunan kesadaran, kejang (Toxoplasmosis), paralysis, dan koma

e. B5 Bone

Muscle Wasting f. B6 Bladder

Inspeksi

Perubahan warna dan karakteristik urin Palpasi

Nyeri tekan daerah suprapubik

Tabel 6. Pengelompokan Masalah Keperawatan Pasien HIV/AIDS (Menurut Teori Adaptasi)

Masalah Fisik Masalah Psikis Masalah Sosial Masalah Ketergantungan 1. Sistem Pernapasan : Dyspnea, TBC, Pneumonia 2. Sistem Pencernaan:Nau sea-Vomiting, Diare, Dysphagia, BB turun 10% selama 3 bulan 3. Sistem Persarafan: letargi,nyeri sendi, encelopathy. 4. Sistem Integumen: Edema yang disebabkan 1. Integritas Ego: Perasaan tak berdaya atau putus asa 2. Faktor stress: baru/lama 3. Respon psikologis: denial, marah, cemas, iritable Perasaan

minder dan tak

berguna di masyarakat Interaksi sosial: perasaan terisolasi atau ditolak Perasaan membutuhkan pertolongan orang lain

(32)

Kapsosis Sacroma, Lesi di kulit atau mukosa, dan alergi 5. Lain-lain : Demam, resiko menularkan 2. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekret (00031/hal. 406)

2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi (00032/hal. 243)

3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan (00002/hal. 177)

4. Diare berhubungan dengan inflamasi gastrointestinal: kuman pathogen usus atau infeksi HIV (00013/hal. 216)

5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (00027/hal. 193)

6. Hipertemia berhubungan dengan peningkatan metabolism tubuh (00007/hal. 457)

7. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis:infeksi (00132/hal. 469)

8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi: lesi, ruam di kulit (00046/hal. 425)

9. Keletihan berhubungan dengan kelesuan fisiologis:penyakit (00090/hal. 239)

10. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan (00092/hal. 241) 11. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan (00146/hal.

343)

12. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan gangguan citra tubuh (00120/hal.291)

13. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit: ruam dan lesi pada kulit (00118/hal. 293)

(33)

14. Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan gangguan konsep diri (00052/hal. 321)

15. Distress spiritual berhubungan dengan ancaman kematian (00066/hal. 397)

16. Risiko infeksi berhubungan dengan imunodefisiensi (00004/hal. 405) 17. Resiko cedera berhubungan dengan difungsi imun (00035/hal. 412)

(34)

3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa

Keperawatan

Perencanaan

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional

1 Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan secret

NOC:

1. Respiratory status: ventilation

2. Respiratory status: airway patency

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan jalan nafas pasien kembali efektif

Dengan kriteria hasil:

 Secara verbal tidak ada keluhan sesak

 Suara napas normal (tidak ada suara nafas tambahan seperti ronchi)

 Tidak ada penumpukan sputum

 Batuk (-)

 Frekuensi pernapasan dalam batas normal sesuai usia (16-24x/mnt)

Airway Management

1. Kaji jumlah/kedalaman pernapasan dan pergerakan dada. 2. Auskultasi daerah paru-paru, catat

area menurun/tidak adanya aliran udara serta catat adanya suara napas tambahan seperti ronchi, crackles dan wheezing.

3. Elevasi kepala, sering ubah posisi.

4. Bantu pasien dalam melakukan latihan napas dalam. Demonstrasikan/bantu pasien belajar

1. Melakukan evaluasi awal untuk melihat kemajuan dari hasil intervensi yang telah dilakukan.

2. Penurunan aliran udara timbul pada area yang konsolidasi dengan cairan. Suara napas bronkial normal diatas bronkus dapat juga crackles, ronkhi, dan wheezes terdengar pada saat inspirasi dan atau ekspirasi sebagai respon dari akumulasi cairan, sekresi kental, dan spasme/obstruksi saluran napas.

3. Diafragma yang lebih rendah akan membantu dalam meningkatkan ekspansi dada, pengisian udara, mobilisasi dan pengeluaran sekret.

4. Napas dalam akan memfasilitasi pengembangan maksimum paru-paru/saluran udara kecil. Batuk merupakan mekanisme pembersihan diri normal, dibantu silia untuk memelihara kepatenan

(35)

untuk batuk, misalnya menahan dada dan batuk efektif pada saat posisi tegak lurus.

5. Lakukan suction atas indikasi.

6. Berikan cairan + 2500 ml/hari (jika tidak ada kontraindikasi) dan air hangat.

Kolaborasi

7. Kaji efek dari pemberian nebulizer dan fisioterapi pernapasan lainnya, misal incentive spirometer, dan postural drainage. Lakukan tindakan selang diantara waktu makan dan batasi cairan jika cairan sudah mencukupi.

saluran udara. Menahan dada akan membantu untuk mengurangi ketidaknyamanan dan posisi tegak lurus akan memberikan tekanan lebih besar untuk batuk.

5. Menstimulasi batuk atau pembersihan saluran napas secara mekanis pada pasien yang tidak mampu melakukannya dikarenakan ketidakefektifan batuk atau penurunan kesadaran.

6. Cairan (terutama cairan hangat) akan membantu memobilisasi dan mengeluarkan sekret.

7. Memfasilitasi pencairan dan pengeluaran sekret. Portural drainage mungkin tidak efektif pada pneumoni interstisial atau yang disebabkan oleh eksudat atau kerusakan dari alveolar. Pengaturan tata laksana atau jadwal dari intake oral akan mengurangi kemungkinan muntah dan batuk.

(36)

8. Berikan pengobatan atas indikasi: mukolitik, ekspoktoran, bronkodilator, dan analgesik.

9. Berikan cairan suplemen misalnya IV, humidifikasi oksigen, dan humidifikasi ruangan.

10. Monitor serial chest X-ray, ABGs, dan pulse oxymetri.

11. Bantu dengan

bronchoscopy/thoracentesis jika diindikasikan.

dengan mobilisasi dri sekret. Analgesik diberikan untuk meningkatkan usaha batuk dengan mengurangi rasa tidak nyaman, tetapi harus digunakan sesuai penyebabnya. 9. Cairan diberikan untuk mengganti kehilangan (termasuk insesible/IWL) dan membantu mobilisasi sekret.

10. Untuk dapat mengikuti kemajuan dan efek dari proses penyakit serta memfasilitasi kebutuhan untuk perubahan terapi.

11. Kadang-kadang diperlukan untuk mengeluarkan sumbatan mukus, sekret yang purulen, dan atau mencegah atelektasis. 2 Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi. NOC: a. Respiratory status : Ventilation b. Respiratory status : Airway patency

c. Vital Sign Status

Setelah diberikan askep selama 2 x 24 jam diharapkan pola nafas kembali efektif

Dengan kriteria hasil:

Airway Management

1. Kaji jumlah/kedalaman pernapasan dan pergerakan dada. 2. Pertahankan jalan nafas : posisi

kepala dalam posisi netral, tinggikan sedikit kepala tempat tidur, jika dapat ditoleransi pasien; gunakan tambahan

1. Melakukan evaluasi awal untuk melihat kemajuan dari hasil intervensi yang telah dilakukan.

2. Pasien dengan trauma servikal bagian atas dan gangguan muntah atau batuk akan membutuhkan

(37)

 Secara verbal tidak ada keluhan sesak

 Suara napas normal (vesikular)

 Frekuensi pernapasan dalam batas normal sesuai usia (16-24x/mnt)

 Irama nafas teratur.

atau beri jalan nafas buatan jika ada indikasi.

3. Aukultasi suara nafas. Catat bagian-bagian paru yang bunyinya menurun atau tidak ada atau adanya suara nafas adventisius (ronchi, mengi, krekels)

4. Ubah posisi atau balik secara teratur, hidrasi atau batasi posisi telungkup jika diperlukan

Kolaborasi :

5. AGD arteri atau nadi oxymetry

6. Berikan oksigen dengan cara yang tepat seperti dengan kanul oksigen, masker, intubasi dan sebagainya.

3. Letak trauma menentukan fungsi otot-otot interkostal, atau kemampuan untuk nafas spontan.

4. Meningkatkan ventilasi semua bagian paru, mobilisasi sekret, mengurangi risiko komplikasi, contoh atelektasis dan pneumonia. Catatan : posisi telungkup mengurangi kapasitas vital paru, dicurigai dapat menimbulkan peningkatan risiko terjadinya gagal nafas.

5. Menyatakan keadaan ventilasi atau oksigenasi. Mengidentifikasi masalah pernafasan. Contoh : hiperventilasi (PaO2 rendah atau PaCO2 meningkat) atau adanya komplikasi paru.

6. Metode yang akan dipilih tergantung dari lokasi trauma, keadaan insufisiensi pernafasan dan banyaknya fungsi otot pernafasan yang sembuh setelah fase syok spinal.

(38)

4 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih sekunder akibat diare.

Setelah diberikan askep selama 1 x 24 jam diharapkan kebutuhan volume cairan adekuat.

Dengan kriteria hasil :

- Masukan cairan minimal 2000 ml (kecuali bila merupakan kontraindikasi) - Membran mukosa lembab. - Turgor kulit baik

- Tanda-tanda vital stabil (RR= 16-24 x/mnt, TD= 110-120/ 60-80 mmHg, S= 36,5-37,20C, N= 60-80 x/mnt) - Haluaran urine adekuat

(0,5-1cc/kgBB/24 jam)

1. Rencanakan tujuan masukan cairan untuk setiap pergantian ( misal 1000 ml selama siang hari, 800 ml selama sore hari, 300 ml selama malam hari). 2. Jelaskan tentang alasan-alasan untuk

mempertahankan hidrasi yang adekuat dan metoda-metoda untuk mencapai tujuan masukan cairan

3. Pantau masukan , pastikan sedikitnya 1500 ml cairan per oral setiap 24 jam. 4. Pantau haluaran, pastikan sedikitnya

1000 - 1500 ml/24 jam. Pantau terhadap penurunan berat jenis urine 5. Timbang BB setiap hari dengan jenis

baju yang sama, pada waktu yang sama. Kehilangan berat badan 2 - 4 % menunjukkan dehidrasi ringan. Kehilangan berat badan 5 - 9 % menunjukkan dehidrasi sedang

6. Pertimbangkan kehilangan cairan tambahan yang berhubungan dengan muntah, diare, demam, drain

1. Deteksi dini memungkinkan terapi pengganti cairan segera untuk memperbaiki defisit

2. Informasi yang jelas akan meningkatkan kerjasama klien untuk terapi

3. Catatan masukan membantu mendeteksi tanda dini ketidak seimbangan cairan

4. Catatan haluaran membantu mendeteksi tanda dini ketidak seimbangan cairan

5. Penimbangan BB harian yang tepat dapat mendeteksi kehilanagan cairan

6. Haluaran dapat melebihi masukan, yang sebelumnya sudah tidak mencukupi untuk mengkompensasi kehilangan yang tak kasap mata. Dehidrasi dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus, membuat haluaran tak

(39)

7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemeriksaan kadar elektrolit darah, nitrogen ure darah, urine dan serum, osmolalitas, kreatinin, hematokrit dan hemoglobin

8. Kolaborasi dengan pemberian cairan secara intravena.

adekuat untuk membersihkan sisa metabolisme dengan baik dan mengarah pada peningkatan BUN dan kadar elektrolit. 7. Propulsi feses yang cepat melalui usus

mengurangi absorpsi elektrolit. Muntah-muntah juga menyebabkan kehilangan elektrolit

8. Memungkinkan terapi penggantian cairan segera untuk memperbaiki defisit

5 Hipertermia

berhubungan dengan proses penyakit (reaksi antigen antibodi).

Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan hipertermi dapat teratasi.

Kriteria Hasil :

 Suhu tubuh kembali normal antara 36,5 – 37,20C

1. Observasi tanda – tanda vital terutama suhu tubuh

2. Berikan kompres hangat pada daerah dahi dan ketiak

3. Ganti pakaian yang telah basah oleh keringat

4. Anjurkan keluarga untuk memberikan minum yang banyak, kurang lebih 1500 – 2000 cc

5. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat penurun panas (antipiretik) seperti paracetamol.

1. Mengetahui kondisi umum 2. Bantu menurunkan panas 3. Sirkulasi berlangsung baik

4. Dapat mencegah terjadinya dehidrasi

5.Dapat menurunkan suhu tubuh pasien

6 Keletihan berhubungan dengan anemia, status

Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam

1. Bantu pasien melakukan personal higiene

1. Menjaga kebersihan tubuh pasien agar meminimalkan infeksi

(40)

penyakit, malnutrisi, peningkatan kelelahan fisik

diharapkan keletihan dapat teratasi

Dengan kriteria hasil:

 Pasien dapat melakukan aktivitas dengan optimal

 Perawat/keluarga dapat membantu pasien dalam melakukan aktivitas dan pemenuhan ADL pasien

2. Ajarkan keluarga untuk melakukan personal higiene

3. Motivasi pasien untuk melakukan aktivitas sesuai kemampuan pasien.

2. Memandirikan keluarga pasien

3. Mendorong pasien untuk melatih tubuh pasien

7 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen ke jaringan.

Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan pasien dapat beraktivitas secara normal. Dengan kriteria :

 Menunjukkan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas

 Tekanan darah pasien normal (110-120/ 60-80 mmHg)

1. Mengkaji frekuensi nadi pasien, peningkatan tekanan darah, ada atau tidaknya nyeri dada, kelelahan berat, keringat, kondisi pasien pusing atau pingsan.

2. Mengkaji kesiapan pasien beraktivitas serta perawatan diri

3. Membantu pasien melakukan aktivitas secara bertahap

4. Mengatur dan membatasi aktivitas pasien

5. Tetap membantu mobilisasi dan aktivitas pasien

1. Dilakukan agar perawat mengetahui tingkat kelemahan pasien, serta bisa mengambil tindakan yang tepat untuk menangani masalah pasien

2. Untuk menyeimbang-kan kondisi pasien antara istirahat dan aktivitas

3. Untuk melatih jantung secara perlahan, meningkatkan konsumsi oksigen saat beraktivitas secara bertahap untuk mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung 4. Untuk menjaga keseimbangan suplai dan

kebutuhan oksigen dengan teknik penghematan energi

(41)

tulang 8 Ketidakseimbangan

nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan, ketidakmampuan untuk mencerna makanan, ketidakmampuan untuk mengabsorpsi nutrien

Setelah diberikan askep selama 2 x 24 jam diharapkan pasien dapat mempertahankan status nutrisi adekuat dengan kriteria hasil :

 Berat badan pasien mengalami peningkatan

 Mukosa bibir lembab dan tidak pucat

 Tonus otot meningkat

 Hasil pemeriksaan albumin dan protein dalam batas normal (Albumin 3,40 – 4,80 g/dL dan protein 6,40 – 8,30 d/dL )

1. Kaji integritas mukosa oral dan timbang berat badan. Catat derajat kekurangan berat badan dan tonus otot. 2. Pastikan pola diet biasa pasien yang

disukai/ tidak disukai

3. Dorong pasien makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat

4. Pantau masukan/pengeluaran secara periodic

5. Dorong dan berikan periode istirahat sering

6. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium (protein dan albumin)

7. Berikan suplemen tambahan/ multivitamin

1. Berguna dalam mendefinisikan derajat/ luasnyamasalah dan pilihan intervensi yang tepat

2. Membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan/ kekuatan khusus. Pertimbangan keinginan individu dapat memperbaiki masukan diet

3. Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tak perlu/ kebutuhan energy dari makan – makanan yang banyak dan menurunkan iritasi gaster

4. Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan

5. Membantu menghemat energy khususnya bila kebutuhan metabolic meningkat saat demam

6. Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan menunjukkan kebutuhan intervensi/ perubahan program terapi

7. Memberikan nutrisi tambahan bagi tubuh

9 Nyeri akut

berhubungan dengan agen cedera fisik (lesi

Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan nyeri yang dirasakan

1. Kaji nyeri (skala, intensitas, waktu, kualitas)

2. Ajarkan tehnik relaksasi

1. Untuk mengetahi tingkat nyeri

(42)

pada mulut, esophagus, dan lambung)

berkurang Dengan kriteria

 Menyatakan nyeri yang dirasakan hilang

 Skala nyeri < 7

 Tanda-tanda vital dalam batas normal ((RR= 16-24 x/mnt, TD= 110-120/ 60-80 mmHg, S= 36,5-37,20C, N=

60-80 x/mnt)

3. Kolaborasi pemberian analgesik

nyeri

3. Dapat mengurangi rasa nyeri

10 Risiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis, pertahanan tubuh sekunder yang tidak adekuat (mis.penurunan hemoglobin, leukopenia, supresi/penurunan respon inflamasi), prosedur invasif, malnutrisi, kerusakan

Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien akan bebas infeksi oportunistik dan komplikasinya.

Dengan kriteria hasil :

 Tidak ada tanda-tanda infeksi baru

 Hasil Lab tidak menunjukan adanya infeksi oportunis, kadar leukosit dalam batas normal(5-10 x 109/liter)

1. Monitor tanda-tanda infeksi baru. 2. Gunakan teknik aseptik pada

setiap tindakan invasif. Cuci tangan sebelum meberikan tindakan.

3. Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.

4. Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai indikasi.

5. Atur pemberian antiinfeksi sesuai indikasi.

1. Untuk pengobatan dini

2. Mencegah pasien terpapar oleh kuman patogen yang diperoleh di rumah sakit. 3. Mencegah bertambahnya infeksi

4. Meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan

5. Mempertahankan kadar darah yang terapeutik

(43)

jaringan kulit Tanda vital dalam batas normal, (TD: 110-120/60-80mmHg, RR: 16-24x/mnt, N: 60-80x/mnt, S: 36,5-37,20C)

 Tidak ada luka atau eksudat

11 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan imunologis.

Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan kerusakan integritas kulit berkurang

Dengan kriteria hasil :

 Lesi pada kulit berkurang

 Menunjukan tingkah laku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit / menigkatkan kesembuhan

1. Kaji kulit setiap hari. Catat warna turgor, sirkulasi dan sensasi

2. Secara teratur ubah posisi, ganti seprai sesuai kebutuhan.Lindungi penonjolan tulang dengan bantal, bantalan siku / tumit.

3. Pertahankan seprei bersih , kering dan tidak berkerut.

4. Gunting kuku secara teratur

5. Dorong untuk ambulansi / turun dari tempat tidur jika memungkinkan.

1. Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.

2. Mengurangi stres pada titik tekanan, menigkatkan aliran darah ke jaringan dan menigkatkan proses kesembuhan

3. Friksi kulit disebabkan oleh kain yang berkerut dan basah yang menyebabkan iritasi dan potensial terhadap infeksi.

4. Kuku yang panjang / kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal

5. Menurunkan tekanan pada kulit dari istirahat lama di tempat tidur

(44)

4. Evaluasi

Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan. Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP dimana: S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan. O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan tindakan keperawatan.

A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi, teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau dimodifikasi

D. Discharge Planning

Discharge planning pada pasien dengan HIV/AIDS adalah:

1. Mengajarkan pada pasien dan keluarga untuksegera menghubungi tim kesehatan atau segera menuju ke pelayanan kesehatan apabila terjadi tanda – tanda dan gejala infeksi.

2. Mengajarkan pada pasien dan keluarga untuk mengamati respon terhadap pengobatan dan memberitahu dokter tentang adanya efek samping.

3. Memberitahukan pada pasien dan keluarga tentang penjadwalan pemeriksaan lebih lanjut.

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2008. Modul Pelatihan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja Bagi Calon Konselor Sebaya. Jakarta: Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi. Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. 2013.

Nursing Intervention Classification. Oxford: Elcevier.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011.

Data Statistik Kasus HIV/AIDS. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012.

Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis KO Infeksi TB-HIV. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Elizabeth.J.Corwin. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Family Health International. 2004. VCT Toolkit: HIV Voluntary Counseling and Testing: A Reference Guide for Counselors and Trainers. Arlington: USAID.

Herdman, T.H & Kamitsuru, S. 2015. Diagnosis Keperawatan: definisi & Klasifikasi 2015-201. Jakarta: EGC

Hudak & Gallo.1996. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.

Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2010. Dasar HIV/AIDS. [serial online]. http://www.aidsindonesia.or.id/dasar-hiv-aids. [10 Mei 2015]. Kurniawati, Ninuk Dian, dan Nursalam. 2007. Asuhan Keperawatan pada

Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika.

Moorhead, S., Johnson, M., Meridean L. Maas., & Swanson, E. 2013.

Nursing Outcome Classification. Oxford: Elcevier.

Murni, Green, Djauzi, Setiyanto, Okta. 2009. Hidup dengan HIV/AIDS. Jakarta: Spiritia.

(46)

Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.

Gambar

Gambar 1. Struktur virus HIV
Gambar 2. Siklus hidup HIV
Tabel 1. Sistem Klasifikasi untuk Infeksi HIV dan definisi Kasus Surveilans AIDS yang diperluas bagi pasien Remaja dan Dewasa
Tabel 2. Klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO Stadium Skala Aktivitas Gambaran Klinis
+6

Referensi

Dokumen terkait

Usaha pemecahan berbagai masalah nyata yang timbul dalam pembangunan masyarakat dengan pendekatan interdisipliner merupakan pengalaman belajar maju, yang tidak diperoleh

Prinsip Konservati sme akuntansi Konservatisme akuntansi menunjukkan reaksi kehati-hatian perusahaan dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi di masa yang akan datang

Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai