• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ppd Puskesmas 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ppd Puskesmas 2011"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

PEDOMAN

PENGOBATAN DASAR

DI PUSKESMAS

Departemen Kesehatan RI, 2011

Milik: dr. Malisa Lukman

PENATALAKSANAAN PENGOBATAN

1. ABORTUS

Kompetensi : 3A

Laporan Penyakit : 17; 1701 ICD X : O03

a. Definisi

Terhentinya proses kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan digunakan kehamilan kurang dari 22 minggu atau berat janin kurang dari 500 g.

b. Penyebab

Sebagian besar disebabkan karena kelainan kromosom hasil konsepsi. Beberapa penyebab lain adalah trauma, kelainan alat kandungan dan sebab yang tidak diketahui.

c. Gambaran Klinis

Adanya gejala kehamilan (terlambat haid, mual/ muntah pada pagi hari) yang disertai perdarahan pervaginam (mulai bercak sampai bergumpal) dan/atau nyeri perut bagian bawah, mengarah ke diagnosis abortus.

1) Abortus Imminens (Ancaman Keguguran)

Ditandai dengan perdarahan pervaginam sedikit, nyeri perut tidak ada atau sedikit. Belum ada pembukaan serviks.

2) Abortus Insipiens (Keguguran sedang berlangsung)

Perdarahan pervaginam banyak (dapat sampai bergumpal-gumpal), nyeri perut hebat, terdapat pembukaan serviks. Kadang-kadang tampak jaringan hasil konsepsi di ostium serviks.

3) Abortus Inkompletus (Keguguran tidak lengkap)

Perdarahan pervaginam banyak, nyeri perut sedang sampai hebat. Riwayat keluar jaringan hasil konsepsi sebagian, ostium serviks bisa masih terbuka atau mulai tertutup.

4) Abortus Kompletus (Keguguran lengkap)

Perdarahan pervaginam mulai berkurang–berhenti, tanpa nyeri perut, ostium serviks sudah tertutup. Riwayat keluar jaringan hasil konsepsi utuh, seluruhnya.

(2)

5) Missed Abortion (Keguguran yang tertahan)

Abortus dengan hasil konsepsi tetap tertahan intra uterin selama 2 minggu atau lebih. Riwayat perdarahan pervaginam sedikit, tanpa nyeri perut, ostium serviks masih tertutup. Pembesaran uterus tidak sesuai (lebih kecil) dari usia gestasi yang seharusnya.

d. Diagnosis

1) Terlambat haid (amenore) kurang dari 22 minggu.

2) Perdarahan pervaginam, mungkin disertai jaringan hasil konsepsi. 3) Rasa nyeri di daerah atas simpisis.

4) Pembukaan ostium serviks. e. Penatalaksanaan

1) Puskesmas non PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar):

a) Abortus Imminens

(1) Tirah baring sedikitnya 2–3 hari (sebaiknya rawat inap) (2) Pantang senggama

(3) Setelah tirah baring 3 hari, evaluasi ulang diagnosis, bila masih abortus imminens tirah baring dilanjutkan

(4) Mobilisasi bertahap (duduk–berdiri–berjalan) dimulai apabila diyakini tidak ada perdarahan pervaginam 24 jam

b) Abortus tingkat selanjutnya

(1) Bila mungkin lakukan stabilisasi keadaan umum dengan pembebasan jalan napas, pemberian oksigenasi (O2 2-4 liter/menit), pemasangan cairan intravena kristaloid (Ringer Laktat/Ringer Asetat/NaCl 0,9%) sesuai pedoman resusitasi. (2) Pasien dirujuk setelah tanda vital dalam batas normal ke

Puskesmas PONED atau RS. 2) Pada puskesmas PONED

a) Abortus Imminens

Seperti pada Puskesmas non PONED. b) Abortus Insipiens

(1) Antibiotik profilaksis: Amoksisilin 500 mg per oral sebelum tindakan kuretase.

(2) Perlu segera dilakukan pengeluaran hasil konsepsi dan pengosongan kavum uteri. Dapat dilakukan dengan abortus tang, sendok kuret, dan kuret hisap

(3) Uterotonika: Oksitosin 10 UI i.m.

(4) Disesuaikan dengan program PONED Ditjen BUK Dasar c) Abortus Inkompletus

(1) Perlu segera dilakukan pengosongan kavum uteri. Dapat dilakukan dengan abortus tang, sendok kuret, dan kuret hisap (2) Segera atasi kegawatdaruratan:

(a) Oksigenisasi 2–4 liter/menit

(b) Pemberian cairan i.v. kristaloid (NaCl 0,9%, Ringer Laktat, Ringer Asetat)

(c) Transfusi bila Hb kurang dari ≤ 8 g/dL. d) Abortus Kompletus

(1) Evaluasi adakah komplikasi abortus (anemia dan infeksi) (2) Apabila dijumpai komplikasi, penatalaksanaan disesuaikan (3) Apabila tanpa komplikasi, tidak perlu penatalaksanaan khusus. e) Missed Abortion

(1) Evaluasi hematologi rutin (hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit) dan uji hemostasis (fibrinogen, waktu perdarahan, waktu pembekuan).

(2) Bila terjadi gangguan faal hemostasis dan hipofibrinogenemia, segera rujuk di rumah sakit yang mampu untuk transfusi trombosit/Buffy-Coat dan komponen darah lainnya.

(3) Hasil konsepsi perlu dievakuasi dari kavum uteri. Dilaksanakan setelah dipastikan tidak terdapat gangguan faal hemostasis. f. KIE

1) Pemeriksaan kehamilan secara teratur

2) Pasca abortus dianjurkan untuk mengikuti program Keluarga Berencana

3) Tunda kehamilan berikutnya sampai kondisi pulih 4) Kenali faktor risiko terjadinya abortus

5) Apabila terjadi perdarahan pada saat kehamilan, segera hubungi puskesmas.

(3)

2. ABSES GIGI

Kompetensi : 3A dan 4

Laporan Penyakit : 1503 ICD X : K04.7

a. Definisi

Pengumpulan nanah yang telah menyebar dari sebuah gigi ke jaringan di sekitarnya, biasanya berasal dari suatu infeksi.

Abses gigi yang dimaksud adalah abses pada pulpa dan periapikal. b. Penyebab

Abses ini terjadi dari infeksi gigi yang berisi cairan (nanah) dialirkan ke gusi sehingga gusi yang berada di dekat gigi tersebut membengkak.

c. Gambaran Klinis

1) Pada pemeriksaan tampak pembengkakan disekitar gigi yang sakit. Bila abses terdapat di gigi depan atas, pembengkakan dapat sampai ke kelopak mata, sedangkan abses gigi belakang atas menyebabkan bengkak sampai ke pipi. Abses gigi bawah menyebabkan bengkak sampai ke dagu atau telinga dan submaksilaris.

2) Pasien kadang demam, kadang tidak dapat membuka mulut lebar. 3) Gigi goyah dan sakit saat mengunyah.

d. Diagnosis

Pembengkakan gusi dengan tanda peradangan di sekitar gigi yang sakit. e. Penatalaksanaan

1) Pasien dianjurkan berkumur dengan air garam hangat. 2) Dewasa : Amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 7 hari

Anak : Amoksisilin 10-15 mg/kgBB, tiap 6-8 jam 3) Simtomatik: Parasetamol

Dewasa : 500 mg tiap 6-8 jam

Anak : 10-15 mg/kgBB, tiap 6-8 jam

4) Abses meluas (abses membesar dan meliputi lebih dari satu gigi), dilakukan insisi (drainase) kemudian ditambahkan metronidazol 500 mg tiap 8 jam.

5) Bila terjadi kegagalan terapi tersebut diatas, maka pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan lebih lanjut untuk penanganan selanjutnya sesuai dengan indikasi.

6) Pada pasien anak, setelah diagnosis dan penanganan sederhana, rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan lebih lanjut.

7) Bila ada dokter gigi dengan fasilitas memadai, maka dapat dilakukan tindakan lebih lanjut sesuai kompetensi dokter gigi.

f. KIE

1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan gejala, mencegah komplikasi

2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi minimal tiap pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair.

3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi.

4) Efek samping metronidazol: mual. Jika terjadi mual maka metronidazol bisa diberikan 250 mg tiap 4 jam (6x sehari). Atau untuk mengatasi mual dapat diberikan metoklopramid 3x10 mg (untuk dewasa) 1 jam sebelum makan.

(4)

3. ANEMIA DEFISIENSI

Kompetensi : 3B

Laporan Penyakit : 54 ICD X : D50-51

a. Definisi Anemia pada:

- laki-laki: Hb <13 g/dL, - wanita: Hb <12 g/dL, - wanita hamil: Hb <11 g/dL, - anak usia sekolah: Hb < 12 g/dL, - balita: Hb <11 g/dL

b. Penyebab

Penyebab paling sering adalah defisiensi besi terutama pada anak-anak. Defisiensi besi biasanya disebabkan oleh asupan yang kurang, kecacingan, perdarahan kronis.

Defisiensi lain yang dapat menyebabkan anemia adalah vitamin B12 dan asam folat.

Pada ibu hamil dapat terjadi anemia defisiensi karena kebutuhan makronutrien yang meningkat.

c. Gambaran Klinis

1) Gejala anemia bervariasi dari asimtomatis sampai syok atau penurunan kesadaran tergantung dari kadar Hb, kecepatan penurunan Hb dan usia. 2) Gejala defisiensi besi yang spesifik pada anak diberi istilah ‘pica’

(makan yang tidak semestinya dimakan, misalnya tanah, pensil, penghapus).

3) Anemia defisiensi ditandai dengan lemas, sering berdebar, lekas lelah dan sakit kepala. Papil lidah tampak atrofi. Jantung kadang membesar dan terdengar murmur sistolik. Di darah tepi tampak gambaran anemia hipokrom dan mikrositer, sementara kandungan besi serum rendah. 4) Defisiensi vitamin B12 maupun asam folat menyebabkan anemia

megaloblastik yang mungkin disertai gejala neurologi. d. Diagnosis

Anamnesis (pola asupan makan, pola menstruasi) dan pemeriksaan fisik sesuai dengan gejala dan tanda klinis dan ditunjang pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan kadar Hb dan darah tepi (kadar Hb lihat di definisi). Pemeriksaan feses untuk mengetahui adanya telur cacing.

e. Penatalaksanaan

1) Anemia defisiensi besi diatasi dengan makanan yang mengandung zat besi (misalnya bayam, daging), sulfas ferosus 10 mg/kgBB 3 x sehari (ekivalen dengan besi elementer 1mg/kgBB/hari) selama 6-8 minggu. 2) Anemia karena kecacingan diatasi memberikan obat cacing (lihat

pokok bahasan Kecacingan).

3) Anemia megaloblastik diobati spesifik, oleh karena itu harus dibedakan penyebabnya, defisiensi vitamin B12atau defisiensi asam folat.

4) Dosis vitamin B12 100 mcg/hari i.m. selama 5–10 hari sebagai terapi awal, diikuti dengan terapi rumat 100-200 mcg/bulan sampai dicapai remisi.

5) Dosis asam folat 0,5–1 mg/hari per oral selama 10 hari, dilanjutkan dengan 0,1 – 0,5 mg/hari.

6) Penggunaan vitamin B12 oral tidak ada gunanya pada anemia pernisiosa. Selain itu sediaan oral lebih mahal.

f. KIE

Pada anemia defisiensi:

1) Tujuan penatalaksanaan adalah menghilangkan gejala sesuai dengan penyebab anemia, menaikkan kadar Hb.

2) Pencegahan:

a) diet makanan bergizi yang cukup mengandung zat besi, asam folat dan vitamin B12. Perlu disampaikan kepada ibu cara penyiapan makanan yang baik, misalnya tidak memberikan teh bersamaan dengan makanan karena dapat mengurangi absorpsi besi.

b) menjaga higiene dan sanitasi.

3) Informasi pemberian sulfas ferosus pada pasien: paling baik diberikan saat perut kosong.

4) Efek samping: sulfas ferosus dapat menimbulkan mual, rasa tidak enak, konstipasi, feses berwarna kehitaman.

5) Alasan rujukan: anemia yang diobati selama 2 minggu tidak ada kenaikan Hb (anemia defisiensi besi diharapkan naik 2-4 g/dL dalam waktu 2 minggu setelah pemberian suplementasi besi).

6) Keberhasilan pengobatan anemia sangat tergantung pada kemampuan untuk menegakkan diagnosis etiologi.

7) Pada anak >2 tahun dan belum pernah mendapatkan mebendazol, berikan mebendazol 500 mg.

(5)

4. ANGINA PEKTORIS STABIL

Kompetensi : 3A

Laporan Penyakit : 85 ICD X : I20.8

a. Definisi

Suatu sindroma klinis berupa nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada (substernal), rahang, bahu, punggung, atau lengan yang timbul saat aktivitas atau stres emosional yang berkurang dengan istirahat atau pemberian nitrat. Walaupun jarang, nyeri dapat dirasakan di daerah epigastrium.

b. Penyebab

Iskemia ini terjadi karena suplai oksigen yang dibawa oleh aliran darah koroner tidak mencukupi kebutuhan oksigen miokardium. Hal ini terjadi bila kebutuhan oksigen miokardium meningkat (misalnya karena kerja fisik, emosi, tirotoksikosis, hipertensi), atau bila aliran darah koroner berkurang (misalnya pada spasme atau trombus koroner) atau bila terjadi keduanya.

c. Gambaran Klinis

1) Pada anamnesis perlu ditanyakan:

a) Rasa tidak nyaman di dada (biasanya substernal)

b) Keluhan memberat pada saat aktivitas fisik atau stres emosional c) Keluhan berkurang dengan istirahat atau pemberian nitrat 2) Dikatakan:

a) angina pektoris tipikal bila memenuhi 3 gejala, b) angina pektoris atipikal bila memenuhi 2 gejala, c) non anginal chest pain bila hanya memenuhi <1 gejala.

3) Sebagian besar pasien dengan angina pektoris tidak dijumpai kelainan dalam pemeriksaan fisik.

4) Pemeriksaan fisik abnormal akan dijumpai jika terdapat penyakit penyerta.

5) Perlu ditanyakan faktor risiko penyakit jantung koroner (PJK): a) diabetes melitus b) hipertensi c) merokok d) sejarah keluarga PJK e) dislipidemia. d. Diagnosis

Diagnosis angina pectoris stabil berdasarkan klasifikasi menurut Canadian Cardiovascular Society (CCS):

1) Kelas I:

Angina tidak timbul pada saat aktivitas sehari-hari, seperti berjalan atau menaiki tangga. Angina timbul pada saat latihan berat, tergesa-gesa dan berkepanjangan.

2) Kelas II:

Sedikit pembatasan aktivitas sehari-hari, seperti jalan atau naik tangga dengan cepat, jalan mendaki, aktivitas setelah makan, di hawa dingin atau melawan angin, atau dalam keadaan stres emosional, atau hanya timbul beberapa jam setelah bangun tidur.

3) Kelas III:

Adanya tanda-tanda keterbatasan aktivitas sehari-hari, angina timbul jika berjalan rata satu atau dua blok (setara dengan jarak 100-200 meter) dan naik tangga satu tingkat pada kecepatan dan kondisi yang normal.

4) Kelas IV:

Ketidakmampuan melakukan aktivitas fisik apapun tanpa keluhan rasa nyaman atau angina saat istirahat.

Klasifikasi APS kelas III dan IV perlu dipikirkan suatu sindroma koroner akut (lihat Bab Sindroma Koroner Akut).

e. Penatalaksanaan 1) Manajemen umum:

a) Pengendalian faktor risiko (stop merokok, hipertensi, diabetes, hiperkolesterolemia).

b) Pengendalian aktivitas fisik.

c) Batasi penggunaan alkohol terutama pasien hipertensi dan gagal jantung.

d) Mengontrol dampak psikologis pasien terhadap penyakitnya. 2) Medikamentosa:

a) Rekomendasi terapi farmakologis untuk memperbaiki prognosis pasien angina stabil:

(1) Asetosal 80 mg sehari pada semua pasien tanpa kontraindikasi spesifik (mis: perdarahan aktif traktus gastro intestinal, alergi asetosal atau riwayat intoleransi asetosal sebelumnya).

(6)

(2) Simvastatin 10 mg pada semua pasien PJK dan diberi dosis tinggi pada pasien risiko tinggi yang terbukti menderita PJK tanpa melihat hasil kolesterol.

(3) Kaptopril 6,25 mg tiap 8 jam (dapat dititrasi hingga 50 mg tiap 8 jam) pada semua pasien dengan hipertensi, gagal jantung, disfungsi ventrikel kiri, riwayat infark sebelumnya dengan disfungsi ventrikel kiri atau diabetes.

(4) Beta blocker (atenolol) oral pada pasien pasca infark atau dengan gagal jantung.

Obat-obat tersebut harus dikonsumsi seumur hidup.

b) Rekomendasi terapi farmakologis untuk memperbaiki gejala dan/atau mengurangi iskemik pasien angina stabil:

(1) Nitrogliserin (isosorbid dinitrat tablet 5 mg) sublingual untuk mengurangi gejala akut dan profilaksis situasional.

(2) Beta bloker dititrasi sampai dosis penuh.

(3) Jika intoleransi terhadap beta blocker atau kurang efikasi, dianjurkan monoterapi dengan Calcium channel blocker (CCB).

(4) Jika efek monoterapi beta blocker tidak memadai tambahkan CCB golongan dihidropiridin (amlodipin 5 mg).

(5) Jika kontraindikasi terhadap beta blocker (misal asma) maka bisa diberikan CCB golongan nondihidropiridin (diltiazem 30 mg tiap 8 jam, dosis dapat dititrasi).

f. KIE:

1) Tujuan penatalaksanaan:

a) Memperbaiki prognosis dengan mencegah infark miokard akut dan kematian.

b) Mengurangi atau menghilangkan gejala. 2) Pencegahan:

a) Pengendalian aktivitas fisik jika pasien belum menjalani prosedur revaskularisasi (PCI).

b) Pengendalian faktor risiko (stop merokok, hipertensi, diabetes, hiperkolesterolemia).

c) Batasi penggunaan alkohol terutama pasien hipertensi dan gagal jantung.

d) Mengontrol dampak psikologis pasien terhadap penyakitnya.

3) Alasan rujukan: Pasien dianjurkan kontrol ke rumah sakit untuk mendapatkan tatalaksana lebih lanjut seperti treadmill test, ekokardiografi atau kateterisasi jantung.

(7)

5. ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL (SINDROM KORONER AKUT: STEMI DAN NON STEMI)

Kompetensi : 3B

Laporan Penyakit : ICD X : 120.0

a. Definisi

Angina Pektoris Tidak Stabil yaitu bila ditemukan salah satu gejala seperti: 1) angina saat istirahat yang berlangsung > 20 menit yang tidak/kurang

responsif terhadap pemberian nitrat organik, 2) angina yang pertama kali muncul,

3) angina yang meningkat dalam hal frekuensinya, durasinya, atau intensitasnya (atau pencetus yang lebih ringan) dibandingkan episode sebelumnya.

Angina pektoris tidak stabil dapat merupakan gejala dari Sindrom Koroner Akut (SKA), yaitu sindrom klinis yang disebabkan karena proses pengurangan pasokan oksigen akut atau subakut dari miokard yang dipicu oleh adanya denudasi (robekan) plak aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya proses inflamasi, trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi distal. Terdapat dua subset klinis SKA yaitu ST elevation myocardial infarction (STEMI) dan Non ST elevation myocardial infarction/unstable angina pectoris (Non STEMI/UAP).

b. Penyebab

Pecahnya plak aterosklerosis di dalam pembuluh darah koroner. c. Gambaran Klinis

Berupa nyeri dada atau chest discomfort yang berlangsung secara mendadak atau cepat yang bertambah berat saat istirahat, tidak hilang dengan pemberian nitrat, atau saat aktivitas tidak berkurang dengan istirahat. Gejala ini disebut dengan Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS). d. Diagnosis

1) Presentasi Klinis

Secara klasik, presentasi klinis SKA STEMI dan Non STEMI meliputi : a) Nyeri dada iskemik berupa nyeri dada yang terus-menerus (>20

menit) saat istirahat.

b) Angina berat (CCS III-IV) yang timbul pertama kali. c) Angina pasca infark miokard.

d) Angina progresif (bertambah sering dalam 24 jam)

2) Pemeriksaan Fisik

Hampir selalu normal, termasuk pemeriksaan thoraks, auskultasi dan pengukuran laju jantung serta tekanan darah. Tujuan pemeriksaan fisik ini untuk menyingkirkan penyebab nyeri dada nonkardiak, penyakit kardiak non iskemik (perikarditis, penyakit valvular), penyebab ekstra kardiak yang mencetuskan nyeri dada serta mencari tanda-tanda ketidakstabilan hemodinamik dan disfungsi ventrikel kiri.

3) EKG saat istirahat (jika ada alat EKG) a) STEMI:

Elevasi segmen ST >1 mm pada 2 sadapan prekordial (V1-V6) atau ekstremitas (I, II, III, aVL, aVF) yang berdekatan (contagious lead), atau LBBB yang dianggap baru.

b) Non- STEMI:

Depresi segmen ST ≥ 0.5 mm (0.05 mV) yang persisten maupun transient elevasi segmen ST ≥ 0.5 mm (< 20 menit) serta inversi gel T ≥ 0.2 mV pada 2 sadapan yang berdekatan atau lebih.

e. Penatalaksanaan

1) Tata laksana awal pada pasien dugaan SKA: a) Pemberian Oksigen nasal 2-4 L/mnt b) Pemberian asetosal tablet kunyah 160 mg

c) ISDN 5 mg di bawah lidah (jika TD sistolik > 100 mmHg), dapat di ulang tiap 5 menit sampai 3 kali pemberian

d) Mendapatkan akses intra vena sebelum dirujuk

e) Merekam dan menganalisis EKG (dalam 10 menit), segera tentukan apakah EKG 12 lead menunjukkan STEMI atau Non-STEMI.

f) Setelah penanganan awal maka segera dirujuk. 2) Tatalaksana lanjutan untuk SKA dengan STEMI:

Jika onset < 12 jam, harus segera dirujuk ke RS yang mampu melakukan terapi reperfusi (fibrinolitik atau PCI primer).

Jika onset > 12 jam segera dirujuk ke RS.

3) Tatalaksana lanjutan untuk SKA dengan Non-STEMI:

Segera dirujuk ke RS untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut di ICCU/ICU.

(8)

f. KIE

1) Tujuan penatalaksanaan adalah mencegah terjadinya komplikasi dan kematian serta meningkatkan harapan hidup.

2) Pencegahan terjadi serangan berikutnya: sesuai pada Bab Angina Pektoris Stabil.

3) Alasan rujukan: untuk dilakukan tindakan reperfusi (fibrinolitik atau PCI), dan perawatan di ruang intensif kardiovaskuler.

6. ANTRAKS

Kompetensi : 3A

Laporan Penyakit : 0504 ICD X : A22

a. Definisi

Antraks merupakan penyakit pada binatang buas, maupun hewan piaraan, yaitu hewan-hewan pemamah biak (herbivora), seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi dan kuda. Penyakit ini ditularkan kepada manusia terutama pada orang yang pekerjaannya selalu berhubungan dengan/berdekatan dengan ternak seperti peternak, gembala, dokter hewan, petugas laboratorium, pekerja pabrik barang-barang kulit dan tulang. b. Penyebab

Kuman antraks (Bacillus anthracis). c. Cara Penularan

Penyakit ini ditularkan kepada manusia biasanya oleh karena masuknya spora atau basil antraks ke dalam tubuh melalui berbagai cara, yaitu melalui kulit yang lecet atau luka yang menyebabkan antraks kulit, melaui mulut karena makan bahan makanan yang tercemar, menyebabkan antraks intestinal (pencernaan), inhalasi saluran napas menyebabkan antraks pulmonal. Antraks peradangan otak (meningitis) umumnya adalah bentuk kelanjutan antraks kulit, intestinal atau pulmonal. Antraks pulmonal dan meningitis sangat jarang dilaporkan di Indonesia.

Penularan terjadi dengan cara kontak langsung dengan hewan yang terjangkit penyakit tersebut, misalnya kontak dengan darah yang keluar dari lubang-lubang kumlah hewan mati karena antraks atau bahan-bahan yang berasal dari hewan yang tercemar oleh spora antraks, misalnya daging, jeroan, kulit, tepung, wool, dan sebagainya. Disamping itu, sumber penularan lainnya yang potensial ialah lingkungan, antara lain tanah, tanaman (sayur-sayuran) dan air yang tercemar oleh spora antraks.

d. Gambaran Klinis

1) Gambaran Klinis Antraks Kulit

a) Masa inkubasi 7 hari (rata-rata 1-7 hari) b) Gatal ditempat lesi

c) Papel d) Vesikel

(9)

e) Ulkus (tukak) di tengahnya terdapat jaringan nekrotik berbentuk keropeng berwarna hitam (tanda patognomonik antraks) dan biasanya didapatkan eritema dan edema di sekitar tukak. Pada perabaan, edema tersebut tidak lunak dan tidak lekuk (non-pitting) bila ditekan. Disini tidak didapatkan pus kecuali bila diikuti infeksi sekunder.

f) Dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening regional. g) Demam yang sedang, sakit kepala, malaise jarang ada.

h) Predileksi antraks kulit biasanya pada tempat-tempat terbuka, seperti muka, leher, lengan, tangan, dan kaki.

i) Antraks kulit yang tidak diobati akan berkembang lebih buruk dengan penjalaran ke kelenjar limfe dan berlanjut ke aliran darah, sehingga mengakibatkan septikemia dan kemungkinan kematian 5-20%.

j) Pemeriksaan bakteriologis dari eksudat di tempat lesi kulit didapatkan adanya basil yang pada sediaan hapus dan kultur positif. 2) Gambaran Klinis Antraks Intestinal

a) Masa inkubasi bervariasi antara 2–5 hari

b) Gejala awal: mual, tidak nafsu makan dan suhu tubuh meningkat c) Muntah

d) Sakit perut hebat e) Konstipasi

f) Dapat juga terjadi gastro-enteritis akut yang kadang-kadang berdarah, hematemesis, kelemahan umum, demam dan ada riwayat pemaparan dengan produk hewan atau makanan.

g) Pemeriksaan bakteriologis dari spesimen feses didapatkan adanya basil yang pada sediaan hapus dan kultur positif.

e. Diagnosis

1) Tersangka antraks kulit

Apabila adanya kasus atau ”ledakan” antraks pada hewan atau riwayat pemaparan dengan hewan /bahan asal hewan dan lingkungan yang tercemar oleh spora/basil antraks serta ditemukan kelainan pada kulit berupa tukak dengan jaringan mati berbentuk keropeng berwarna hitam di tengahnya (eskar), di sekitar tukak kemerahan, sembab, pada perabaan daerah yang sembab tersebut tidak lunak dan tidak lekuk dan biasanya tidak didapatkan pus kecuali diikuti infeksi sekunder.

2) Pasien antraks kulit (diagnosis pasti)

Apabila pada tersangka antraks kulit sudah dipastikan diagnosisnya dengan pemeriksaan bakteriologis.

3) Tersangka antraks intestinal

Apabila adanya kasus atau ”ledakan” antraks pada hewan atau riwayat pemaparan dengan produk hewan atau makanan serta ditemukan adanya panas disertai sakit perut dan muntah.

4) Pasien antraks intestinal (diagnosis pasti)

Apabila pada tersangka antraks kulit sudah dipastikan diagnosisnya dengan pemeriksaan bakteriologis.

f. Penatalaksanaan

1) Obat pilihan (drug of choice) untuk pasien antraks kulit adalah penisilin. Prokain penisilin dengan dosis 1,2 juta UI i.m. tiap 12 jam selama 5 – 7 hari atau benzilpenisilin dengan dosis 250.000 UI tiap 6 jam. Sebelum pemberian penisilin lakukan skin test. Pasien yang hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin dengan dosis 500 mg tiap 6 jam selama 5–7 hari. Sebaiknya tidak diberikan pada anak dibawah umur 6 tahun. Obat pilihan lain ialah kloramfenikol. 2) Pada antraks intestinal dapat diberikan penisilin G injeksi 1,8–2,4 juta

UI i.v. per hari, dapat ditambahkan tetrasiklin 1 g i.v per hari. 3) Obat-obat simtomatis dan suportif jika diperlukan.

4) Rujuk ke rumah sakit bila diperlukan. g. KIE

1) Hindari kontak dengan sumber penularan.

2) Masyarakat diminta melaporkan ke puskesmas setempat bila ada tersangka antraks dan melaporkan ke Dinas Peternakan bila ada hewan yang sakit dengan gejala antraks.

3) Hewan yang mati akibat antraks harus dimusnahkan. Tidak diperbolehkan mengkonsumsi daging hewan yang sakit antraks.

4) Tidak diperbolehkan membuat barang-barang yang berasal dari hewan seperti kerajinan dari tanduk, kulit, bulu, tulang yang berasal dari hewan sakit/mati karena penyakit antraks.

5) Puskesmas wajib melaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota apabila menjumpai pasien/tersangka antraks.

(10)

7. ARTRITIS

Kompetensi : 3A

Laporan Penyakit : 90 ICD X : M05

a. Definisi

Artritis adalah istilah umum bagi peradangan (inflamasi) dan pembengkakan di daerah persendian.

OA (Osteoartritis) merupakan penyakit degeneratif yang mengenai rawan sendi. Penyakit ini ditandai oleh kehilangan rawan sendi progresif dan terbentuknya tulang baru pada trabekula subkondral dan tepi tulang (osteofit).

RA (Rheumatoid Arthritis) atau Artritis Reumatoid, merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetris yang terutama mengenai jaringan persendian, namun sering juga melibatkan organ tubuh lainnya. Lebih banyak pada wanita dibanding pria. Umumnya usia antara 35-50 tahun. Faktor genetik, hormon seks, infeksi berpengaruh kuat pada morbiditas RA.

b. Penyebab

Artritis dapat berupa osteoartritis (OA) atau artritis reumatoid (AR), tetapi yang paling banyak dijumpai adalah osteoartritis.

Pada OA faktor penyebab utama adalah trauma atau pengausan sendi, sedangkan pada AR faktor imunologi yang berperan.

c. Gambaran Klinis 1) Osteoartritis

a) Anamnesis

Faktor risiko: umur (sering di atas 50 tahun), jenis kelamin (di atas usia 50 tahun wanita lebih banyak), suku bangsa (suku Indian dan orang-orang kulit putih), genetik, kegemukan, cedera sendi, olahraga, pekerjaan berat, kelainan pertumbuhan, tingginya kepadatan tulang.

Keluhan: nyeri sendi (bertambah dengan gerakan, berkurang dengan istirahat), hambatan gerakan sendi, kaku pagi < 30 menit, krepitasi dan perubahan gaya berjalan.

b) Pemeriksaan Fisik

Hambatan gerak sendi, pembesaran sendi, krepitasi, perubahan gaya berjalan, pembengkakan sendi yang seringkali asimetris

(karena efusi pada sendi), kadang-kadang disertai tanda-tanda peradangan, perubahan bentuk/deformitas sendi yang permanen, Heberden’s node (nodul/osteofit pada sendi DIP), Bouchard’s node (nodul/osteofit pada PIP).

2) Artritis Reumatoid a) Anamnesis

Gejala pada awal onset: gejala prodromal (lelah, anoreksia, seluruh tubuh terasa lemah) yg berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan.

Gejala spesifik pada beberapa sendi (poliartrikular) secara simetris, terutama sendi PIP (proximal interphalangeal), sendi MCP (metacarpophalangeal), pergelangan tangan, lutut, dan kaki. Gejala sinovitis pada sendi yang terkena: bengkak, nyeri yang diperburuk dengan gerakan sehingga gerakan menjadi terbatas, kekakuan pada pagi hari > 1 jam.

Gejala ekstraartikular: mata (episkleritis), saluran napas atas (nyeri tenggorok, nyeri menelan atau disfonia yang terasa lebih berat pada pagi hari), kardiovaskular (nyeri dada pada perikarditis), hematologi (anemia), dsb.

b) Pemeriksaan Fisik

(1) Manifestasi artikular: pada lebih dari 3 sendi (poliartritis) terutama di sendi tangan, simetris, immobilisasi sendi, pemendekan otot seperti pada vertebra servikalis, gambaran deformitas sendi tangan (swan neck, boutonniere).

(2) Manifestasi ekstraartikular: kulit (nodul rheumatoid pada daerah yg banyak menerima penekanan, vaskulitis), soft tissue rheumatism (carpal tunnel syndrome, frozen shoulder), mata (kerato-konjungtivitis sicca yang merupakan manifestasi sindrom Sjorgen, episkleritis/skleritis), sistem respiratorik (radang sendi krikoaritenoid, pneumonitis interstitial, efusi pleura, fibrosis paru luas), sistem kardiovaskuler (perikarditis konstriktif, disfungsi katup, fenomena embolisasi, gangguan konduksi, aortritis, kardiomiopati), hematologi (anemia akibat penyakit kronik).

(3) Keluhan lain yang mirip dengan artritis adalah reumatism yang sebenarnya berasal dari jaringan lunak di luar sendi. Yang di kenal awam sebagai encok sebagian besar adalah reumatism.

(11)

(4) Sendi yang terserang biasanya bengkak, merah dan nyeri. (5) Serangan AR biasanya dimulai dengan gejala prodromal

berupa badan lemah, hilang nafsu makan, nyeri dan kaku seluruh badan. Gejala pada sendi biasanya timbul bertahap setelah beberapa minggu atau bulan.

(6) Nyeri sendi pada AR bersifat hilang timbul, ada masa remisi, bersifat simetris bilateral, dan berhubungan dengan udara dingin.

(7) Serangan OA biasanya sesisi. Gejala utamanya adalah nyeri sendi yang berhubungan dengan gerak. Pasien juga merasakan kaku pada sendi yang terserang.

(8) Pada pemeriksaaan radiologi OA biasanya memperlihatkan pelebaran sendi pada tahap awal, osteofit, sklerosis tulang dan penyempitan rongga antar sendi pada tahap lanjut.

(9) Deformitas dapat terjadi pada OA maupun AR setelah terjadi destruksi sendi.

d. Diagnosis 1) Osteoartritis

Kriteria diagnosis (ACR) a) Osteoartritis sendi lutut:

(1) Nyeri lutut, dan

(2) Salah satu dari 3 kriteria berikut: - Usia > 50 tahun

- Kaku sendi < 30 menit - Krepitasi + osteofit b) Osteoartritis sendi tangan:

(1) Nyeri tangan atau kaku, dan (2) Tiga dari 4 kriteria berikut:

- Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih dari 10 sendi tangan tertentu (distal interphalanx DIP II dan III ki&ka, proximal interphalangeal PIP II dan III ki&ka, carpometacarpal CMC I ki&ka)

- Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih sendi DIP - Pembengkakan pada < 3 sendi MCP

- Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan tertentu c) Osteoartritis sendi pinggul:

(1) Nyeri pinggul, dan

(2) Minimal 2 dari 3 kriteria berikut: - LED < 20 mm/jam

- Radiologi: terdapat osteofit pada femur atau asetabulum. Terdapat penyempitan celah sendi (superior, aksial, dan/atau medial)

2) Artritis Reumatoid

Kriteria diagnosis berdasarkan ACR tahun 1987 (Tabel 1): a) Kaku pagi, sekurangnya 1 jam

b) Artritis pada sekurangnya 3 sendi

c) Artritis pada sendi pergelangan tangan, metacarpophalanx (MCP) dan Proximal Interphalanx (PIP)

d) Artritis yang simetris e) Nodul reumatoid

f) Faktor reumatoid serum positif g) Gambaran radiologik yang spesifik

Untuk diagnosis AR, diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut di atas. Kriteria 1-4 harus minimal diderita selama 6 minggu.

Tabel 1. Sistem Penilaian Klasifikasi Kriteria AR (American College of

Rheumatology/European League Against Rheumatism, 2010) Skor

Populasi target (pasien mana yang harus di-tes?):

Minimal 1 sendi dengan keadaan klinis pasti sinovitis (bengkak)1 Dengan sinovitis yang tidak dapat dijelaskan oleh penyakit lain2

Kriteria Klasifikasi untuk RA (algoritma berdasarkan skor: tambahkan skor dari kategori A-D; dari total skor 10, jika didapatkan jumlah skor ≥ 6  definisi pasti RA)3

A. Keterlibatan sendi4

1 sendi besar5 0

2-10 sendi besar 1 1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)6 2 4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 3

>10 sendi (min.1 sendi kecil)7 5

B. Serologi (min.1 hasil tes yang dibutuhkan untuk klasifikasi)8

(12)

RF (+) rendah dan ACPA (+) rendah 2

RF (+) tinggi dan ACPA (+) tinggi 3

C. Reaktan fase akut (min.1 hasil tes yang dibutuhkan untuk klasifikasi)9

CRP normal dan LED normal 0

CRP tidak normal dan LED tidak normal 1 D. Durasi dari gejala10

< 6 minggu 0

≥ 6 minggu 1

e. Penatalaksanaan

Keluhan pada sendi atau jaringan lunak di sekitarnya dapat di atasi dengan analgesik biasa atau dengan anti inflamasi nonsteroid yang diberikan sesudah makan.

1) Osteoartritis a) Edukasi

b) Proteksi sendi, terutama pada stadium akut

c) Modifikasi faktor risiko : turunkan berat badan, weight bearing daily activity

d) Non-weight bearing exercise

e) Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu diberikan ortosis f) Analgesik:

(1) Analgesik sederhana: asetaminofen 2-4 g/hari

(2) Obat antiinflamasi non-steroid, seperti: natrium diklofenak 2-3 x 25-50 mg, piroksikam.

(3) Opioid ringan: kodein

g) Steroid oral jangka pendek untuk OA dengan inflamasi (efusi) 2) Artritis Reumatoid

a) Penyuluhan.

b) Proteksi sendi, terutama pada stadium akut.

c) Obat anti inlamasi non-steroid, seperti: diklofenak 50-100 mg 2x/hari, atau golongan steroid, seperti: prednison atau metil prednisolon dosis rendah (sebagai bridging therapy)

d) Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis. f. KIE

1) Tujuan terapi: mengurangi rasa nyeri hingga dapat ditoleransi, menghindari komplikasi, mengurangi kejadian episode akut, meningkatkan kualitas hidup

2) Mengistirahatkan sendi diperlukan dalam keadaan akut. Selanjutnya pada OA, mungkin pasien perlu memperbaiki sikap tubuh, mengurangi berat badan, atau melakukan fisioterapi.

3) Efek samping pengobatan dengan AINS: nyeri ulu hati, mual, perdarahan saluran cerna. Bila timbul efek samping, pengobatan: ranitidin 150-300 mg tiap 12 jam. Bila terjadi perdarahan saluran cerna dan anemia akibat AINS segera dirujuk.

4) Alasan rujukan: untuk operasi perbaikan deformitas, pengobatan lebih lanjut.

(13)

8. ASMA BRONKIAL

Kompetensi : 4

Laporan Penyakit : 1403 ICD X : J45

a. Definisi

Penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan obstruksi jalan napas yang dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan akibat hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang melibatkan sel-sel dan elemen sel-seluler terutama mastosit, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan epitel.

b. Penyebab

Menurut The Lung Association, ada dua faktor yang menjadi pencetus asma:

1) Pemicu (trigger) yang mengakibatkan terganggunya saluran napas dan mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran napas (bronkokonstriksi) tetapi tidak menyebabkan peradangan, seperti: a) Perubahan cuaca dan suhu udara.

b) Rangsang sesuatu yang bersifat alergen, misalnya asap rokok, serbuk sari, debu, bulu binatang, asap, udara dingin dan olahraga, insektisida, debu, polusi udara dan hewan piaraan.

c) Infeksi saluran napas. d) Gangguan emosi.

e) Kerja fisik atau olahraga yang berlebihan.

2) Penyebab (inducer) yaitu sel mast di sepanjang bronki melepaskan bahan seperti histamin dan leukotrien sebagai respon terhadap benda asing (alergen), seperti serbuk sari, debu halus yang terdapat di dalam rumah atau bulu binatang, yang menyebabkan terjadinya kontraksi otot polos, peningkatan pembentukan lendir dan perpindahan sel darah putih tertentu ke bronki, yang mengakibatkan peradangan (inflamasi) pada saluran napas dimana hal ini akan memperkecil diameter dari saluran udara (disebut bronkokonstriksi). Penyempitan ini menyebabkan pasien harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernapas.

c. Gambaran Klinis

1) Sesak napas pada asma khas disertai suara mengi akibat kesulitan ekspirasi.

2) Pada auskultasi terdengar wheezing dan ekspirasi memanjang.

3) Keadaan sesak hebat yang ditandai dengan giatnya otot-otot bantu pernapasan dan sianosis dikenal dengan status asmatikus yang dapat berakibat fatal.

4) Dispnoe di pagi hari dan sepanjang malam, sesudah latihan fisik atau saat cuaca dingin, berhubungan dengan infeksi saluran napas atas, berhubungan dengan paparan terhadap alergen seperti pollen dan bulu binatang.

5) Batuk yang panjang di pagi hari dan larut malam, berhubungan dengan faktor iritatif, batuknya bisa kering, tapi sering terdapat mukus bening yang diekskresikan dari saluran napas.

d. Diagnosis 1) Anamnesis

Episode berulang dari sesak napas disertai dengan mengi, batuk (terutama memburuk saat malam hari), rasa tertekan di dada. Riwayat atopi, riwayat keluarga dengan asma, pekerjaan, pajanan faktor pencetus sebelumnya: bulu hewan, debu, udara, tungau, infeksi saluran napas, penggunaan obat (penyekat beta, aspirin).

2) Pemeriksaan fisik

Takipneu (bisa disertai sianosis pada serangan berat), ekspirasi memanjang, wheezing, hiperinflasi dada

3) Pemeriksaan penunjang

Eosinofilia, IgE serum meningkat, spirometri. Foto toraks (pada saat serangan).

4) Kriteria Diagnosis

Berdasarkan Global Initiative for Asthma (GINA) 2010, adanya tanda dan gejala berikut ini meningkatkan kemungkinan diagnosis asma, antara lain:

a) Wheezing (suara napas mengi)

b) Riwayat salah satu dari hal berikut : batuk yang bertambah terutama malam hari, mengi berulang, kesulitan bernapas yang berulang, keluhan dada terasa berat yang berulang.

c) Gejala timbul atau memburuk pada malam hari sehingga pasien terbangun dari tidur

(14)

e) Pasien memiliki riwayat ekzema atau riwayat keluarga dengan asma atau dermatitis atopi

f) Gejala timbul atau memburuk dengan adanya : hewan berbulu, kimia erosol, perubahan temperatur, obat (aspirin, penyekat beta), latihan atau olahraga, serbuk, infeksi (virus) saluran napas, asap atau stress emosi

g) Gejala berkurang dengan pemberian terapi anti-asma Penggolongan asma dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Penggolongan Asma Karakteristik Controlled asthma Partly controlled asthma Uncontrolled asthma

Gejala harian Tidak ada (≤ 2 kali/ minggu)

>2 kali / minggu ≥ 3 gejala pada partly controlled asthma Keterbatasan aktivitas Tidak ada Ada

Gejala malam hari Tidak ada Ada Kebutuhan obat pelega

(reliever)

Tidak ada (≤ 2 kali/ minggu)

>2 kali / minggu Fungsi faal paru (PEF

atau FEV)

Normal <80% predicted

5) Diagnosis Banding PPOK, gagal jantung 6) Pemeriksaan Lanjutan

a) Laboratorium: jumlah eosinofil sputum, b) Skin prick test,

c) Uji bronkodilator atas indikasi [peningkatan forced expiratory volume 1 (FEV1) ≥ 12% dan 200 ml setelah pemberian bronkodilator, peningkatan peak expiratory flow (PEF) ≥ 20% setelah pemberian bronkodilator],

d) Uji provokasi bronkus atas indikasi,

e) AGD (analisis gas darah) atas indikasi (pada serangan asma berat hasil AGD dapat PaCO2 ≥ 45, hipoksemia, asidosis respiratorik)

e. Penatalaksanaan 1) Untuk anak:

a) Asma ringan:

Obat pereda beta agonis yaitu salbutamol secara inhalasi 2,5 mg/kali nebulisasi bisa diberikan tiap 4 jam, kemudian dikurangi sampai tiap 6-8 jam bila kondisi anak membaik, atau salbutamol oral (sirup atau tablet) dosis 0,05-0,1 mg/kgBB/kali tiap 6-8 jam, atau adrenalin 1:1000 subkutan 0,1 mg/kgBB dengan dosis maksimal 0,3 mL/kali.

b) Asma serangan sedang:

Obat seperti diatas ditambah dengan oksigen, cairan intravena, kortikosteroid oral seperti deksametason 0,3 mg/kgbb/kali 3 x sehari selama 3-5 hari.

c) Asma serangan berat:

Obat seperti diatas ditambah aminofilin secara inisial. Dosis awal 6 mg/kg dalam dekstrosa/NaCl 20 mL dalam 20-30 menit. Dosis rumatan aminofilin 0,5-1 mg/kgBB/jam. Kortikosteroid dapat diberikan secara intravena. Bila terjadi perbaikan klinis nebulisasi dapat diberikan selama 6 jam.

2) Untuk dewasa: a) Serangan akut:

(1) Oksigen.

(2) Pasien umur <40 tahun: adrenalin 1:1000 0,2 – 0,3 mL s.k. yang dapat diulangi 2 kali dengan interval 10–15 menit. Jika serangan tidak reda, dilanjutkan dengan aminofilin bolus 240 mg dalam 10 mL, disuntikkan dengan sangat perlahan. Bila serangan tidak reda, ditambahkan deksametason 5 mg i.v./i.m. Dapat diikuti dengan aminofilin drip 240 mg dalam 500 mL dekstrosa 5% dengan tetesan 12 tetes/menit. Bila dalam 4 jam serangan belum reda maka perlu dirujuk.

(3) Pasien umur >40 tahun: aminofilin 5-6 mg/kgBB i.v. kombinasi dengan deksametason 5 mg i.v./i.m., diikuti dengan aminofilin drip 240 mg dengan tetesan 12 tetes/menit. Bila setelah 4 jam serangan belum reda maka perlu dirujuk dan dinyatakan sebagai status asmatikus.

(15)

(4) Prednison dapat ditambahkan bila aminofilin belum dapat mengatasi serangan secara optimal. Diberikan beberapa hari saja untuk mencegah status asmatikus.

b) Bila sudah membaik, maka pengobatan lanjutan dapat digunakan: Lini 1: salbutamol 2-4 mg tiap 8 jam kombinasi dengan aminofilin 100-150 mg per oral tiap 8 jam.

Lini 2: efedrin 10-15 mg tiap 8 jam. f. KIE

1) Tujuan penatalaksanaan: untuk mengatasi dan pencegahan serangan asma

2) Efek samping:

a) adrenalin: berdebar-debar, pada orang tua bisa menimbulkan aritmia.

b) aminofilin: menimbulkan hipotensi, mual, muntah, sakit kepala. c) salbutamol dan efedrin: efek samping mirip adrenalin dalam derajat

yang lebih ringan.

d) prednison: moonface, iritasi lambung. 3) Pasien diharapkan:

a) mengenali faktor pencetus serangan dan menghindarinya b) mengenali tanda-tanda serangan

c) bila terdapat tanda-tanda akan serangan, segera minum obat salbutamol dan aminofilin.

4) Bila pasien sudah dalam kondisi normal, obat tidak diperlukan lagi, namun perlu siap sedia obat salbutamol dan aminofilin.

5) Terapi yang tidak direkomendasikan untuk mengatasi serangan asma : a) Sedatif (harus dihindari)

b) Obat mukolitik (dapat memperburuk batuk)

c) Fisioterapi / chest physical therapy (dapat meningkatkan ketidaknyamanan pasien)

d) Hidrasi dengan jumlah cairan yang terlalu banyak

e) Antibiotik (tidak mengobati serangan namun diindikasikan pada pasien dengan pneumonia atau infeksi bakteri seperti sinusitis) 6) Komplikasi

PPOK, gagal jantung, pada keadaan eksaserbasi akut dapat menyebabkan gagal napas dan pneumotoraks.

9. BATU SALURAN KEMIH

Kompetensi : 2

Laporan Penyakit : 16 ICD X : N23

a. Definisi

Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi.

b. Penyebab

Banyak faktor yang berpengaruh untuk timbulnya batu dalam saluran kemih, seperti kurang minum, gangguan metabolisme.

c. Gambaran Klinis

1) Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis, nefrolitiasis).

2) Batu, terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala. Batu di saluran kemih sebelah atas menimbulkan kolik, sedangkan yang di bawah menghambat buang air kecil.

3) Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis bisa menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggang, yang menjalar ke perut juga daerah kemaluan dan paha sebelah dalam).

4) Gejala lainnya adalah mual dan muntah, perut menggelembung, demam, menggigil dan darah di dalam urin. Pasien mungkin menjadi sering buang air kecil, terutama ketika batu melewati ureter.

5) Urin sering merah seperti air cucian daging dan pemeriksaan mikroskopis memperlihatkan banyak eritrosit dan kadang ada leukosit. 6) Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat

aliran kemih, bakteri akan terperangkap di dalam urin yang terkumpul diatas penyumbatan, sehingga terjadilah infeksi.

7) Jika penyumbatan ini berlangsung lama, urin akan mengalir balik ke saluran di dalam ginjal, menyebabkan penekanan yang akan menggelembungkan ginjal (hidronefrosis) dan pada akhirnya bisa terjadi kerusakan ginjal.

(16)

d. Diagnosis

1) Batu yang tidak menimbulkan gejala, mungkin akan diketahui secara tidak sengaja pada pemeriksaan analisa urin rutin (urinalisis).

2) Batu yang menyebabkan nyeri biasanya didiagnosis berdasarkan gejala kolik renalis, disertai dengan adanya nyeri tekan di punggung dan selangkangan atau nyeri di daerah kemaluan tanpa penyebab yang jelas. 3) Analisa urin mikroskopik bisa menunjukkan adanya darah, nanah atau kristal batu yang kecil. Biasanya tidak perlu dilakukan pemeriksaan lainnya, kecuali jika nyeri menetap lebih dari beberapa jam atau diagnosisnya belum pasti.

4) Pemeriksaan tambahan yang bisa membantu menegakkan diagnosis adalah pengumpulan urin 24 jam dan pengambilan contoh darah untuk menilai kadar kalsium, sistin, asam urat dan bahan lainnya yang bisa menyebabkan terjadinya batu.

e. Penatalaksanaan

1) Kolik diatasi dengan natrium diklofenak.

2) Rujuk segera untuk diagnosis pasti dan penatalaksanaan selanjutnya. 3) Batu kecil yang tidak menyebabkan gejala penyumbatan atau infeksi,

biasanya tidak perlu diobati. f. KIE

Pasien yang sudah terdiagnosis batu saluran kemih dianjurkan minum banyak air putih (minimal 3 liter sehari) untuk meningkatkan pembentukan urin dan membantu membuang beberapa batu. Jika batu telah terbuang, maka tidak perlu lagi dilakukan pengobatan segera.

10. BRONKITIS AKUT

Kompetensi : 4

Laporan Penyakit : 1402 ICD X : J20

a. Definisi

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paru-paru).

Bronkitis akut sebenarnya merupakan bronko pneumonia yang lebih ringan. b. Penyebab

Penyebabnya dapat virus, mikoplasma atau bakteri. c. Gambaran Klinis

1) Batuk berdahak, sesak napas ketika melakukan olah raga atau aktivitas ringan, sering menderita infeksi pernapasan (misalnya flu), bengek, lelah, pembengkakan pergelangan kaki, kaki dan tungkai kiri dan kanan, wajah, telapak tangan atau selaput lendir yang berwarna kemerahan, pipi tampak kemerahan, sakit kepala, gangguan penglihatan.

2) Bronkitis infeksiosa seringkali dimulai dengan gejala seperti pilek, yaitu hidung berlendir, lelah, menggigil, sakit punggung, sakit otot, demam ringan dan nyeri tenggorokan.

3) Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya batuk tidak berdahak, tetapi 1–2 hari kemudian akan mengeluarkan dahak berwarna putih atau kuning. Selanjutnya dahak akan bertambah banyak, berwarna kuning atau hijau.

4) Pada bronkitis berat, setelah sebagian besar gejala lainnya membaik, kadang terjadi demam tinggi selama 3–5 hari dan batuk bisa menetap selama beberapa minggu.

5) Sesak napas terjadi jika saluran udara tersumbat.

6) Sering ditemukan bunyi napas mengi, terutama setelah batuk. 7) Bisa terjadi pneumonia.

d. Diagnosis

1) Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala, terutama dari adanya lendir.

2) Pada pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop akan terdengar bunyi ronki atau bunyi pernapasan yang abnormal.

(17)

e. Penatalaksanaan

1) Untuk mengurangi demam dan rasa tidak enak badan, bisa diberikan parasetamol

2) Antibiotik hanya diberikan kepada pasien bila gejalanya menunjukkan bahwa penyebabnya adalah infeksi bakteri (dahaknya berwarna kuning atau hijau dan demamnya tetap tinggi) dan pasien yang sebelumnya memiliki penyakit paru-paru.

3) Kepada pasien dewasa diberikan antibiotik seperti: a) amoksisilin 500 mg tiap 8 jam diberikan selama 5 hari b) eritromisin 250–500 mg tiap 6 jam diberikan selama 5 hari.

4) Kepada pasien anak-anak diberikan amoksisilin 20–50 mg/kgBB/hari atau eritromisin 40–50 mg/kgBB/hari walaupun dicurigai penyebabnya adalah Mycoplasma pneumoniae.

5) Pada awal pengobatan dapat diberikan Obat Batuk Hitam (OBH). 6) Bila ada komplikasi pada pasien segera rujuk.

f. KIE

1) Tujuan pengobatan: untuk memperpendek perjalanan klinis penyakit. 2) Dianjurkan untuk beristirahat dan minum banyak cairan, serta

menghentikan kebiasaan merokok.

3) Dari data diketahui penyebab tersering bronkhitis pada anak < 2 tahun adalah infeksi virus, sehingga tidak diperlukan pemberian antibiotik. 4) Segera berobat kembali apabila gejala bertambah berat.

5) Sebaiknya tidak menggunakan obat penekan batuk (antitusif).

11. DEMAM BERDARAH DENGUE

Kompetensi : 3A

Laporan Penyakit : 0405 ICD X : A91

a. Definisi

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang ditandai dengan: 1) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung

terus-menerus selama 2–7 hari;

2) Manifestasi perdarahan (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis, ekimosis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji Tourniquet (Rumple Leede) positif;

3) Trombositopeni (jumlah trombosit ≤100.000/μl); 4) Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥20%);

5) Disertai dengan atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali). b. Penyebab

Virus dengue yang sampai sekarang dikenal 4 serotipe (1, Dengue-2, Dengue-3 dan Dengue-4), termasuk dalam group B Arthropod Borne Virus (Arbovirus). Keempat serotipe virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh Dengue-2, Dengue-1 dan Dengue-4.

c. Cara Penularan

Penularan DBD umumnya melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti meskipun dapat juga ditularkan oleh Aedes albopictus yang biasanya hidup di kebun-kebun. Nyamuk penular DBD ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut.

d. Gambaran Klinis 1) Masa inkubasi

Biasanya berkisar antara 4–7 hari. 2) Demam

Pada awal penyakit terdapat tanda-tanda demam mendadak, dimana dalam 12 jam mencapai puncak, ada gejala kelainan saluran cerna

(18)

bagian atas seperti kembung, mual dan nyeri, pada pemeriksaan terdapat konjungtiva inferior hiperemis (trias dengue fever).

Demam berlangsung 2–7 hari. Panas dapat turun pada hari ke-3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 atau ke-7 panas mendadak turun.

3) Tanda-tanda perdarahan

Perdarahan ini terjadi di semua organ. Bentuk perdarahan dapat hanya berupa uji Tourniquet (Rumple Leede) positif atau dalam bentuk satu atau lebih manifestasi perdarahan sebagai berikut: petekie, purpura, ekimosis, perdarahan konjungtiva, epistaksis, pendarahan gusi, hematemesis, melena dan hematuri. Petekie sering sulit dibedakan dengan bekas gigitan nyamuk. Untuk membedakannya regangkan kulit, jika hilang maka bukan petekie. Uji Tourniquet positif sebagai tanda perdarahan ringan, dapat dinilai sebagai presumptif test (dugaan keras) oleh karena uji Tourniquet positif pada hari-hari pertama demam terdapat pada sebagian besar pasien DBD. Namun uji Tourniquet positif dapat juga dijumpai pada penyakit virus lain (campak, demam chikungunya), infeksi bakteri (Typhus abdominalis) dan lain-lain. Uji Tourniquet dinyatakan positif, jika terdapat 10 atau lebih petekie pada seluas 1 inci persegi (2,5 x 2,5 cm) di lengan bawah bagian depan (volar) dekat lipat siku (fossa cubiti).

4) Pembesaran hati (hepatomegali) Sifat pembesaran hati:

a) Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit.

b) Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. c) Nyeri tekan sering ditemukan tanpa disertai ikterus. 5) Renjatan (syok)

Tanda-tanda renjatan:

a) Kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari tangan dan kaki.

b) Pasien menjadi gelisah. c) Sianosis di sekitar mulut.

d) Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba.

e) Tekanan nadi menurun, sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang.

Sebab renjatan: karena perdarahan, atau karena kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang terganggu.

6) Trombositopeni

a) Jumlah trombosit ≤100.000/μl biasanya ditemukan diantara hari ke 3–7 sakit.

b) Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun.

c) Pemeriksaan dilakukan pada saat pasien diduga menderita DBD, bila normal maka diulang tiap`hari sampai suhu turun.

7) Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)

Peningkatan nilai hematokrit (Ht) yang menggambarkan hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD. Hal ini merupakan indikator yang peka terjadinya perembesan plasma, sehingga dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada umumnya penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit ≥ 20% (misalnya 35% menjadi 42%: 20/100x35=7, 35+7=42), mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan. Penurunan nilai hematokrit ≥20% setelah pemberian cairan yang adekuat, nilai Ht diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan. 8) Gejala klinik lain

a) Gejala klinik lain yang dapat menyertai pasien DBD ialah nyeri otot, anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare atau konstipasi, dan kejang.

b) Pada beberapa kasus terjadi hiperpireksia disertai kejang dan penurunan kesadaran sehingga sering di diagnosis sebagai ensefalitis.

c) Keluhan sakit perut yang hebat sering kali timbul mendahului perdarahan gastrointestinal dan renjatan.

e. Diagnosis

1) Tersangka Demam Berdarah Dengue

Dinyatakan Tersangka Demam Berdarah Dengue apabila demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji Tourniquet positif) dan/atau trombositopenia (jumlah trombosit ≤100.000/μl).

(19)

Diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan atau dinyatakan sebagai pasien DBD apabila demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2–7 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji Tourniquet positif), trombositopenia, dan hemokonsentrasi (diagnosis klinis), atau hasil pemeriksaan serologis pada Tersangka DBD menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan HI test, atau terjadi peninggian (positif) IgG saja atau IgM dan IgG pada pemeriksaan dengue rapid test (diagnosis laboratoris).

f. Penatalaksanaan

Diberikan obat simtomatik parasetamol jika suhu tubuh >38,5oC. 1) Penatalaksanaan demam berdarah dengue (pada anak)

Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu:

a) Adakah tanda kedaruratan, yaitu tanda syok (gelisah, napas cepat, bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab), muntah terus-menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, feses darah, maka pasien perlu dirawat/dirujuk.

b) Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji Tourniquet dan hitung trombosit.

(1) Bila uji Tourniquet positif dan jumlah trombosit ≤100.000/μl, pasien dirawat/dirujuk.

(2) Bila uji Tourniquet negatif dengan trombosit >100.000/μl atau normal, pasien boleh pulang dengan pesan untuk datang kembali tiap hari sampai suhu turun. Pasien dianjurkan minum banyak, seperti: air teh, susu, sirup, oralit, jus buah dan lain-lain. Berikan obat antipiretik golongan parasetamol, jangan golongan salisilat. Apabila selama di rumah demam tidak turun pada hari sakit ketiga, evaluasi tanda klinis adakah tanda-tanda syok, yaitu anak menjadi gelisah, ujung kaki/tangan dingin, sakit perut, feses hitam, kencing berkurang; bila perlu periksa Hb, Ht dan trombosit. Apabila terdapat tanda syok atau terdapat peningkatan Ht dan/atau penurunan trombosit, segera rujuk ke rumah sakit.

2) Penatalaksanaan demam berdarah dengue (pada dewasa)

Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht dan trombosit dalam batas nomal dapat dipulangkan dengan anjuran kembali kontrol dalam waktu 24 jam berikutnya atau bila keadaan

pasien memburuk agar segera kembali ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya. Sedangkan pada kasus yang meragukan indikasi rawatnya, maka untuk sementara pasien tetap diobservasi dengan anjuran minum yang banyak, serta diberikan infus Ringer Laktat sebanyak 500 mL dalam 4 jam. Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb, Ht dan trombosit.

Pasien dirujuk ke rumah sakit apabila didapatkan hasil sebagai berikut. a) Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit <100.000/μL

atau

b) Hb, Ht yang meningkat dengan jumlah trombosit <150.000/μL. 3) Penatalaksanaan pasien demam berdarah dengue dengan syok

(DSS)

a) Segera beri infus Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, 10–20 mL/kgBB secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2–4 L/menit. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur) diberikan Ringer Laktat 20 mL/kgBB bersama koloid. Bila syok mulai teratasi jumlah cairan dikurangi menjadi 10 mL/kgBB/jam.

b) Untuk pemantauan dan penanganan lebih lanjut, sebaiknya pasien dirujuk ke rumah sakit terdekat.

g. KIE

1) Tujuan pengobatan : mencegah terjadinya syok.

2) Perhatikan saat suhu tubuh turun pada hari ke-3, ke-4, dan ke-5 (deverfescens), sebagai periode kritis untuk masuk ke dalam fase DSS atau masuk ke arah perbaikan (demam dengue biasa)

3) Pemberian cairan tidak boleh ragu, tetapi harus diperhitungkan dengan seksama. Perhatikan jumlah urin, jika 1 mL/menit menunjukkan cairan sudah cukup.

4) Usahakan tidak memberikan obat yang tidak diperlukan seperti antasida, antiemetik, dan lain-lain untuk mengurangi beban detoksikasi dalam hati.

5) Jika ditemukan kasus positif DBD, dokter diharapkan melaporkan ke Dinas Kesehatan setempat 1 X 24 jam untuk ditindaklanjuti dengan penelitian epidemiologi, dalam rangka memutus rantai penularan di lapangan dan untuk mewaspadai akan adanya kemungkinan kejadian luar biasa (KLB).

(20)

6) Lakukan edukasi seksama program PSN-3M (Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan Menguras, Menutup, Mengubur) di tempat-tempat penampungan air secara teratur 1 minggu sekali.

7) Selain itu ditambahkan cara lain dengan Program 3M Plus sesuai Pedoman Program Demam Berdarah.

12. DEMAM REMATIK

Kompetensi : 3A

Laporan Penyakit : - ICD X : I00-I02

a. Definisi

Demam rematik merupakan sindrom klinik akibat infeksi akut tenggorok oleh suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat akut, subakut, kronik atau fulminan dan dapat terjadi setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A yang terjadi 1–5 minggu sebelumnya pada saluran napas bagian atas.

Pada dasarnya penyakit ini merupakan respon imun yang menyebabkan kelainan menetap di jantung (penyakit jantung reumatik) dan kelainan berpulih (reversibel) di sendi, kulit dan organ lainnya.

b. Penyebab

Interaksi antigen-antibodi 10–14 hari setelah infeksi Streptococcus pyogenes.

c. Gambaran Klinis 1) Kriteria Mayor

a) Karditis

b) Poliartritis migrans (berpindah-pindah)

c) Chorea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu sisi tubuh dan tidak terkendali.

d) Eritema marginatum (tanda mayor demam rematik ini hanya ditemukan pada kasus yang berat).

e) Nodulus subkutan (tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak terdapat karditis).

2) Kriteria Minor a) Demam

b) Riwayat demam rematik c) Artralgia/nyeri sendi d) Peninggian LED

e) Peningkatan CRP serum atau lekositosis f) Interval P-R yang memanjang pada EKG

(21)

d. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Selain itu, bukti adanya infeksi Streptococcus sebelumnya (peningkatan titer AST, kultur Streptococcus tenggorokan positif, baru saja menderita skarlatina).

Ekokardiografi berguna dalam diagnosis perikarditis dan penyakit katup (tak perlu untuk Diagnosis primer).

e. Penatalaksanaan

1) Lakukan pengobatan awal.

2) Eradikasi kuman secepatnya dilakukan segera setelah diagnosis demam rematik dapat ditegakkan.

Obat pilihan pertama adalah:

a) penisilin prokain 600.000–1,2 juta UI i.m. atau penisilin V 500 mg tiap 8 jam selama 10 hari

b) eritromisin 2 g/hari selama 10 hari bila pasien tidak tahan terhadap penisilin.

c) Pada anak dosis penisilin prokain adalah 50.000 IU/kgBB/ hari, dan eritromisin 125–250 mg tiap 6 jam.

3) Pemberian obat antiradang pada demam rematik dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Pemberian obat antiradang pada demam rematik Manifestasi

Pengobatan Dosis Obat Artritis, dan/atau karditis tanpa kardiomegali Karditis dengan kardiomegali atau gagal jantung

Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, kemudian diturunkan menjadi 75 mg/kgBB/hari selama 4–6 minggu.

Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, kemudian diturunkan 1 mg/kgBB/hari sampai habis selama 2 minggu, ditambah dengan salisilat 75 mg/kgBB/hari mulai minggu ke-3 selama 6 minggu. 4) Pasien yang pernah menderita demam rematik, dengan atau tanpa

adanya penyakit jantung rematik, sangat dianjurkan diberikan antibiotik profilaksis (secondary prophylaxis) untuk mencegah infeksi ulang saluran napas oleh streptococcus group A.

a) Pasien tanpa karditis dalam serangan pertama harus diberikan profilaksis minimum 5 tahun setelah serangan hingga minimum usia 18 tahun.

b) Pasien dengan karditis pada serangan pertama, harus diberikan profilaksis hingga usia 25 tahun.

c) Pasien yang menderita penyakit katup jantung rematik kronik, diberikan profilaksis jangka waktu lama hingga seumur hidup pada beberapa kasus.

5) Profilaksis tetap diteruskan jika pasien hamil. 6) Antibiotik profilaksis:

a) Benzatin benzilpenisilin

(1) Injeksi 1,44 g (=2,4 juta UI) (dalam 5 mL vial) (2) anak <30 kg : 600.000 UI i.m. tiap 3–4 minggu

(3) anak dan dewasa >30 kg : 1,2 juta UI i.m tiap 3–4 minggu b) Fenoksimetilpenisilin

(1) Tablet 250 mg (bentuk garam)

(2) Suspensi oral 250 mg (bentuk garam, dalam tiap 5 ml) (3) Anak < 2 tahun: 125 mg per oral tiap 12 jam

(4) Dewasa: 250 mg per oral tiap 12 jam 7) Jika alergi terhadap penisilin dapat diberikan:

Eritromisin

a) Kapsul atau tablet 250 mg (stearat atau etil suksinat) b) Suspensi oral 125 mg (stearat atau etil suksinat)

8) Semua pasien demam rematik harus dirujuk ke rumah sakit. f. KIE

1) Tujuan pengobatan: mencegah demam rematik berlanjut menjadi penyakit jantung rematik.

2) Efek samping:

a) adrenalin, deksametason: hati-hati terhadap syok anafilaktik dan mempersiapkan perangkat anti syok anafilaktik.

b) Efek samping yang mungkin timbul akibat pengobatan prednison antara lain moonface, hipertensi, mudah terkena infeksi, hiperglikemia, striae, osteoporosis dan iritasi lambung.

(22)

13. DERMATITIS

Kompetensi : 4

Laporan Penyakit : 2002 ICD X : L20-L30

a. Definisi

Dermatitis adalah peradangan kulit dengan gejala subjektif gatal dan ditandai dengan kelainan kulit polimorfik berbatas tidak tegas. Dermatitis Atopik adalah peradangan kulit kronik dan residif yang sering terjadi pada bayi dan anak, disertai gatal dan berhubungan dengan atopi.

Atopi adalah istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya, misalnya: asma bronkiale, rinitis alergi, dermatitis atopik dan konjungtivitis alergi.

b. Penyebab

Umumnya tidak diketahui. c. Gambaran Klinis

1) Pada wajah, kulit kepala, daerah yang tertutup popok, tangan, lengan, kaki atau tungkai bayi terbentuk ruam berkeropeng yang berwarna merah dan berair.

2) Dermatitis seringkali menghilang pada usia 3–4 tahun, meskipun biasanya akan muncul kembali.

3) Pada anak-anak dan dewasa, ruam seringkali muncul dan kambuh kembali hanya pada 1 atau beberapa daerah, terutama lengan atas, sikut bagian depan atau di belakang lutut.

4) Warna, intensitas dan lokasi dari ruam bervariasi, tetapi selalu menimbulkan gatal-gatal.

d. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, hasil pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit alergi pada keluarga pasien.

e. Penatalaksanaan 1) Sistemik

a) Antihistamin klasik sedatif (misalnya klorfeniramin maleat) untuk mengurangi gatal.

b) Bila terdapat infeksi sekunder dapat ditambahkan antibiotik sistemik atau topikal.

2) Topikal

a) Bila lesi akut/eksudatif: kompres 2–3 x sehari, 1–2 jam dengan larutan NaCl 0,9%.

b) Krim kortikosteroid potensi sedang/rendah, 1–2 kali sehari sesudah mandi, sesuai dengan keadaan lesi. Bila sudah membaik dapat diganti dengan potensi yang lebih rendah.

c) Kortikosteroid potensi rendah: hidrokortison krim 2,5%. d) Kortikosteroid potensi sedang: betametason krim 0,1%.

e) Pada kulit kering dapat diberikan emolien/pelembab segera sesudah mandi.

f. KIE

1) Tujuan pengobatan: penanganan keluhan subyektif dan obyektif serta pencegahan rekurensi.

2) Penjelasan/penyuluhan kepada orang tua pasien:

a) Penyakit bersifat kronik berulang dan penyembuhan sempurna jarang terjadi sehingga pengobatan ditujukan untuk mengurangi gatal dan mengatasi kelainan kulit.

b) Selain obat perlu dilakukan usaha lain untuk mencegah kekambuhan:

(1) Jaga kebersihan, gunakan sabun lunak misalnya sabun bayi (2) Pakaian sebaiknya tipis, ringan, mudah menyerap keringat (3) Udara dan lingkungan cukup berventilasi dan sejuk.

(4) Hindari faktor-faktor pencetus, misalnya: iritan, debu, dan sebagainya.

(23)

14. DERMATOMIKOSIS

Kompetensi : 4

Laporan Penyakit : 2001 ICD X : B36.9

a. Definisi

Dermatomikosis merupakan penyakit jamur pada kulit yang secara medis disebut juga dengan mikosis superfisialis (bagian permukaan kulit). Sedangkan dari berbagai jenis dermatomikosis yang sering mengenai manusia, dikenal dengan kelompok dermatofitosis yang di Indonesia dikenal dengan kurap/kadas. Sedangkan panu masuk dalam kategori dermatomikosis yang nondermatofitosis.

b. Penyebab

Kontak langsung dengan sumber penularan. 1) Paparan terhadap jamur sering terjadi.

2) Faktor genetik memainkan peran dalam tingkat penularan mikosis kuku dan kaki.

3) Mikosis pada hewan (misal: sapi, marmut, kucing) menyebar dengan mudah pada manusia dan menyebabkan tinea pada ekstremitas, badan dan wajah.

c. Gambaran Klinis

1) Tinea kutaneus biasanya mempunyai tepi berskuama, eritematus dan meninggi, berbentuk lingkaran (cincin) dan gatal.

2) Pada panu, muncul bercak bersisik halus yang berwarna putih hingga kecokelatan bisa pada daerah mana saja di badan termasuk leher dan lengan. Biasanya menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala yang berambut.

3) Infeksi jamur kulit ini biasanya juga menyerang kaum wanita; mengenai kulit dan vagina. Jamur dapat menginfeksi lebih dari satu kali. Dengan ditandai antara lain: adanya duh, putih, dadih seperti kotoran, peradangan pada kulit sekitar vagina, serta sakit selama buang air kecil atau sewaktu hubungan seksual.

d. Diagnosis

Gambaran spesifik infeksi jamur pada kulit. Dengan cara pemeriksaan mikroskopis dari bahan kerokan kulit yang terserang.

e. Penatalaksanaan

1) Tinea (dermatofitosis) biasanya diterapi dengan obat topikal. 2) Griseofulvin tablet hanya efektif pada dermatofit.

3) Nistatin hanya efektif pada kandida.

4) Mikonazol topikal efektif untuk dermatofita dan kandida. 5) Dermatofitosis

a) Sistemik (diberikan bila lesi luas)

Griseofulvin micronized 500–1000 mg sehari selama 2–6 minggu b) Topikal

Kombinasi asam salisilat 3% dengan asam benzoat 6%. f. KIE

1) Tujuan pengobatan adalah eradikasi dan pemutusan rantai penularan. 2) Efek samping griseofulvin: dapat menimbulkan sakit kepala dan

fotosensitivitas.

Gambar

Tabel 2. Penggolongan Asma Karakteristik Controlled asthma Partly  controlledasthma Uncontrolledasthma Gejala harian Tidak ada (≤ 2
Tabel 4. Pengendalian DM
Tabel 5. Derajat dehidrasi Gejala Derajat Dehidrasi
Tabel 6. Skor Penilaian Klinis Dehidrasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

%ada stadium hipermatur ter&#34;adi proses degenerasi lan&#34;ut yang dapat men&#34;adi keras atau lembek dan men-air. assa lensa yang berdegenerasi keluar dari kapsul

Katup penyalur (delivery valve) berfungsi mencegah bahan bakar dari dalam pipa tekanan tinggi masuk ke dalam ruang elemen pompa dan mengisap sisa bahan bakar dari injector pad

Adapun metode yang digunakan oleh Bank Syariah dalam penyelesaian pembiayaan murabahah bermasalah telah sesuai dengan apa yang diatur dalam Fatwa Dewan

!ebuah pecahan dapat disederhanakan dengan cara pembilang dan penyebut dibagi !ebuah pecahan dapat disederhanakan dengan cara pembilang dan penyebut dibagi dengan &#34;PB dari

Setiawati, Arini dan Nafrialdi, 2009, Obat Gagal Jantung, In: Gunawan, Sulistia, G., Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Jakarta : Departemen Farmakologi dan

Sebelum pemberlakuan UKT, jumlah mata kuliah tuton program Diploma – program S1 baru tersedia sekitar 79,9% (702 mata kuliah). Peningkatan jumlah mata kuliah tuton

(2) Pola perilaku masyarakat batak Toba dalam menyikapi nilai-nilai yang bersangkutan mengenai prosesi mangulosi ternyata memiliki nilai-nilai yang sangat tinggi,

HASYIM siti Aminah Guru Kelas MI MI Swasta Tarbiyatul Islam.