• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bangkitan yang tidak terklasifikasikan

Dalam dokumen Ppd Puskesmas 2011 (Halaman 32-35)

a) Serangan grand mal sering diawali dengan aura berupa rasa terbenam atau melayang. Penurunan kesadaran sementara, kepala berpaling ke satu sisi, gigi dikatupkan kuat-kuat dan hilangnya pengendalian kandung kemih, napas mendengkur, mulut berbusa dan dapat terjadi inkontinesia. Kemudian terjadi kejang tonik seluruh tubuh selama 20–30 detik diikuti kejang klonik pada otot anggota, otot punggung, dan otot leher yang berlangsung 2–3 menit. Setelah kejang hilang pasien terbaring lemas atau tertidur 3– 4 jam, kemudian kesadaran berangsur pulih. Setelah serangan sering pasien berada dalam keadaan bingung.

b) Serangan petit mal, disebut juga serangan lena, diawali dengan hilang kesadaran selama 10–30 detik. Selama fase lena (absence) kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tak beraksi. Kadang tampak seperti tak ada serangan, tetapi ada kalanya timbul gerakan klonik pada mulut atau kelopak mata.

c) Serangan mioklonik merupakan kontraksi singkat suatu otot atau kelompok otot.

d) Serangan parsial sederhana motorik dapat bersifat kejang yang mulai di salah satu tangan dan menjalar sesisi, sedangkan serangan parsial sensorik dapat berupa serangan rasa baal atau kesemutan unilateral.

e) Serangan parsial sederhana (psikomotor) kompleks, pasien hilang kontak dengan lingkungan sekitarnya selama 1–2 menit, menggerakkan lengan dan tungkainya dengan cara yang aneh dan tanpa tujuan, mengeluarkan suara-suara yang tak berarti, tidak mampu memahami apa yang orang lain katakan dan menolak

bantuan. Kebingungan berlangsung selama beberapa menit dan diikuti dengan penyembuhan total.

f) Pada epilepsi primer generalisata, pasien mengalami kejang sebagai reaksi tubuh terhadap muatan yang abnormal. Sesudahnya pasien bisa mengalami sakit kepala, linglung sementara dan merasa sangat lelah. Biasanya pasien tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama kejang.

g) Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius, dimana kejang terjadi terus menerus, tidak berhenti. Kontraksi otot sangat kuat, tidak mampu bernapas sebagaimana mestinya dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas. Jika tidak segera ditangani, bisa terjadi kerusakan jantung dan otak yang menetap dan pasien bisa meninggal.

e. Diagnosis

1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala yang disampaikan oleh orang lain yang menyaksikan terjadinya serangan epilepsi pada pasien dan adanya riwayat penyakit sebelumnya.

2) Diagnosis banding

a) Bangkitan Psychogenik

b) Gerak Involunter (Tics, head nodding, paroxysmal choreoathethosis/ dystonia, benign sleep myoclonus, paroxysmal torticolis, startle response, jitterness, dan lain-lain.)

c) Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, TIA, TGA, narkolepsi, attention deficit)

d) Gangguan respirasi (apnea, breath holding, hiperventilasi)

e) Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking, nightmares, confusion, sindroma psikotik akut).

f) Gangguan persepsi (vertigo, nyeri kepala, nyeri abdomen).

g) Keadaan episodik dari penyakit tertentu (tetralogy speels, hydrocephalic spells, cardiac arrhythmia, hipoglikemi, hipokalsemi, periodic paralysis, migren, dan lain-lain).

f. Penatalaksanaan 1) Medikamentosa

a) Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk bangkitan dan sindroma epilepsi, selain itu juga perlu dipikirkan kemudahan pemakaiannya (Tabel 8). Penggunaan terapi tunggal

dan dosis tunggal menjadi pilihan utama. Kepatuhan pasien juga ditentukan oleh harga dan efek samping OAE yang timbul.

b) Antikonvulsan Utama

(1) Fenobarbital: 2-4 mg/kgBB/hari (2) Fenitoin: 5-8 mg/kgBB/hari (3) Karbamazepin: 20 mg/kgBB/hari (4) Valproat: 30-80 mg/kgBB/hari

Tabel 8. Pemilihan OAE Berdasarkan Tipe Bangkitan Epilepsi Tipe Bangkitan OAE lini pertama

Bangkitan parsial (sederhana atau kompleks)

Bangkitan umum sekunder

Bangkitan umum tonik klonik

Bangkitan lena Bangkitan mioklonik

Fenitoin, karbamazepin (terutama untuk CPS), asam valproat

Karbamazepin, fenitoin, asam valproat

Karbamazepin, fenitoin, asam valproat, fenobarbital

Asam valproat Asam valproat

c) Penghentian OAE: dilakukan secara bertahap setelah 2-5 tahun pasien bebas kejang, tergantung dari bentuk bangkitan dan sindroma epilepsi yang diderita pasien (Dam,1997). Penghentian OAE dilakukan secara perlahan dalam beberapa bulan

d) Langkah yang penting adalah menjaga agar pasien tidak terjatuh, melonggarkan pakaiannya (terutama di daerah leher) dan memasang bantal di bawah kepala pasien.

e) Jika pasien tidak sadarkan diri sebaiknya posisinya dimiringkan agar lebih mudah bernapas dan tidak boleh ditinggalkan sendirian sampai benar-benar sadar dan bisa bergerak secara normal.

f) obat anti-kejang untuk mencegah terjadinya kejang lanjutan, biasanya diberikan kepada pasien yang mengalami kejang kambuhan. Status epileptikus merupakan keadaan darurat, karena itu obat anti-kejang diberikan dalam dosis tinggi secara intravena.

g) Sedapat mungkin gunakan obat tunggal dan mulai dengan dosis rendah.

h) Bila obat tunggal dosis maksimal tidak efektif gunakan dua jenis obat dengan dosis terendah.

i) Bila serangan tak teratasi pikirkan kemungkinan ketidakpatuhan pasien, penyebab organik, pilihan dan dosis obat yang kurang tepat. j) Bila selama 2–3 tahun tidak timbul lagi serangan, obat dapat

dihentikan bertahap. g. KIE

1) Tujuan penatalaksanaan: Prinsip umum terapi epilepsi idiopatik adalah mengurangi/mencegah serangan, sedangkan terapi epilepsi organik ditujukan terhadap penyebab.

2) Pencegahan:

a) hindari faktor pencetus serangan, misalnya kelelahan, emosi atau putusnya makan obat, terlambat makan.

b) Bila terjadi serangan kejang, upayakan menghindarkan cedera akibat kejang, misalnya tergigitnya lidah atau luka atau cedera lain. c) Selalu dalam pengawasan bila pasien di tempat yang berpotensi

menimbulkan kecelakaan seperti saat berkendaraan dan berenang. 3) Alasan rujukan: bila frekuensi serangan tidak dapat diatasi dengan obat

tersebut, atau terjadi status epileptikus dan didapatkan defisit neurologis fokal.

4) Efek samping pengobatan: penurunan fungsi kognitif, hiperplasia gusi, sindroma Steven-Johnson, migren.

21. ERISIPELAS

Kompetensi : 4

Laporan Penyakit : 2001 ICD X : A46

a. Definisi

Erisipelas adalah infeksi kulit. b. Penyebab

Streptococcus beta-haemolyticus. c. Gambaran Klinis

1) Pasien biasanya demam sampai menggigil, disertai malaise.

2) Bagian kulit yang terinfeksi tampak merah, edematus dan berkilat dengan batas yang tegas serta nyeri tekan.

3) Pada kulit yang edematus itu sering tumbuh vesikel dan bula. 4) Kelenjar getah bening regional sering membesar dengan nyeri tekan. d. Diagnosis

Tanda-tanda peradangan kulit. e. Penatalaksanaan

1) Eritromisin 250-500 mg tiap 6 jam, pada anak 20-50 mg/kgBB selama 5–7 hari.

2) Kasus yang berat sebaiknya dirujuk ke rumah sakit. f. KIE

1) Tujuan pengobatan: eradikasi.

2) Efek samping eritromisin: diare, mual dan muntah.

3) Pencegahan: menjaga sanitasi lingkungan dan higiene perorangan. 4) Alasan rujukan: kasus yang berat.

Dalam dokumen Ppd Puskesmas 2011 (Halaman 32-35)