• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sisa Plasenta

Dalam dokumen Ppd Puskesmas 2011 (Halaman 113-118)

f. Diagnosis kerja

4) Sisa Plasenta

Sisa plasenta dan ketuban yang masih tertinggal dalam rongga rahim dapat menimbulkan perdarahan post partum dini atau perdarahan pospartum lambat (biasanya terjadi dalam 6–10 hari pasca persalinan). Pada perdarahan post partum dini akibat sisa plasenta ditandai dengan perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik. Pada perdarahan post partum lambat gejalanya sama dengan subinvolusi rahim yaitu perdarahan.yang berulang atau berlangsung terus dan berasal dari rongga rahim. Perdarahan akibat sisa plasenta jarang menimbulkan syok.

Penilaian klinis sulit untuk memastikan adanya sisa plasenta, kecuali bila penolong persalinan memeriksa kelengkapan plasenta setelah plasenta lahir. Apabila kelahiran plasenta dilakukan oleh orang lain atau terdapat keraguan akan sisa plasenta, maka untuk memastikan adanya sisa plasenta ditentukan dengan eksplorasi dengan tangan, kuret atau alat bantu diagnostik yaitu ultrasonografi.

Pada umumnya perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik dianggap sebagai akibat sisa plasenta yang tertinggal dalam rongga rahim.

70. PERIODONTITIS

Kompetensi : 4

Laporan Penyakit : 1503 ICD X : K05-K06

a. Definisi

Peradangan jaringan periodontium yang lebih dalam yang merupakan lanjutan dari peradangan ginggiva.

b. Penyebab

Sebagian besar periodontitis merupakan akibat dari penumpukan plak dan karang gigi (tartar) diantara gigi dan gusi.

Akan terbentuk kantong diantara gigi dan gusi, dan meluas ke bawah diantara akar gigi dan tulang dibawahnya. Kantong ini mengumpulkan plak dalam suatu lingkungan bebas oksigen yang mempermudah pertumbuhan bakteri.

c. Gambaran Klinis 1) Perdarahan gusi 2) Perubahan warna gusi 3) Bau mulut (halitosis)

4) Gigi goyah kalau kerusakan tulang penyangganya cukup luas d. Diagnosis

Nyeri pada ginggiva. e. Penatalaksanaan

1) Karang gigi, saku gigi, food impaction dan penyebab lokal lainnya harus dibersihkan/diperbaiki.

2) Antibiotik amoksisilin 500 mg + metronidazol 250 mg tiap 8 jam selama 5 hari.

3) Dianjurkan berkumur ½–1 menit dengan larutan povidon 1%, tiap 8 jam.

4) Bila sudah sangat goyah, gigi harus segera dicabut. 5) Analgesik parasetamol jika diperlukan.

f. KIE

1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan gejala, mencegah komplikasi.

2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair (sayur dan buah).

3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi. Gunakan benang gigi untuk membersihkan sisa makanan, hindari penggunaan tusuk gigi.

71. PERTUSIS

Kompetensi : 4 dan 3B

Laporan Penyakit : 0304 ICD X : A37

a. Definisi

Pertusis (Batuk Rejan) adalah penyakit akut pada saluran pernapasan. Biasanya pada anak berumur <5 tahun, terutama pada anak umur 2–3 tahun.

b. Penyebab

Pertusis disebabkan oleh kuman gram negatif Bordetella pertusis. c. Gambaran Klinis

Gejala penyakit ini timbul 1–2 minggu setelah berhubungan dengan pasiennya dan didahului masa inkubasi selama 7–14 hari. Biasanya penyakit ini berlangsung selama 6 minggu atau lebih. Itulah sebabnya penyakit tersebut dinamakan batuk seratus hari.

Dalam perjalanannya, pertusis meliputi beberapa stadium, yaitu

1) Kataralis yang ditandai timbulnya batuk ringan, terutama pada malam hari, disertai demam dan pilek ringan. Stadium ini berlangsung 1–2 minggu. Pada stadium kataralis tak dapat dibedakan dengan ISPA yang disebabkan oleh virus.

2) Stadium kedua adalah spasmodik yang berlangsung 2–4 minggu. Gejalanya, batuk lebih sering, pasien berkeringat, dan pembuluh darah di muka-leher melebar. Serangan batuknya panjang biasanya diakhiri dengan bunyi melengking yang khas (whooping cough) dan disertai muntah. Sering terjadi perdarahan subkonjungtiva dan/atau epistaksis. Kuku dan bibir pasien menjadi kebiruan karena darah kekurangan oksigen. Di luar serangan, pasien tampak sehat.

3) Pada stadium selanjutnya, yaitu konvalesensi, terjadi selama 2 minggu. Gejalanya, pasien mereda batuknya dan berangsur-angsur mulai bertambah nafsu makannya.

d. Diagnosis

1) Meningkatnya serum Ig A spesifik Bordetella pertusis 2) Terdeteksi Bordetella pertusis dari spesimen nasofaring 3) Kultur swab nasofaring ditemukan Bordetella pertusis

e. Penatalaksanaan 1) Oksigen

2) Pengobatan pertusis ditujukan pada kuman penyebabnya dengan pemberian antibiotik yang sesuai, seperti eritromisin 30–50 mg/kgBB tiap 6 jam.

3) Untuk batuk dapat diberikan kodein 0,5 mg/tahun/kali. f. KIE

1) Tujuan penatalaksanaan: eradikasi dan mencegah timbulnya komplikasi.

2) Pencegahan: imunisasi DPT (Difteri-Pertusis-Tetanus) dasar dan ulangan (booster). Imunisasi ini diberikan 3 kali berturut-turut pada bayi usia 3, 4, 5 bulan.

3) Alasan rujukan: bila ada komplikasi pneumonia, perdarahan subkonjungtiva dan lain-lain.

72. PIELONEFRITIS

Kompetensi : 3A

Laporan Penyakit : 16 ICD X : N20-N23; N30

a. Definisi

Pielonefritis adalah infeksi bakteri pada salah satu atau kedua ginjal. b. Penyebab

Disebabkan oleh Escherichia coli (paling sering), selain itu disebabkan juga antara lain Enterobacter, Klebsiella, Pseudomonas dan Proteus.

c. Gambaran Klinis

1) Gejala biasanya timbul secara tiba-tiba berupa demam, menggigil, nyeri di punggung bagian bawah, mual dan muntah.

2) Beberapa pasien menunjukkan gejala infeksi saluran kemih bagian bawah, yaitu sering berkemih dan nyeri ketika berkemih.

3) Bisa terjadi pembesaran salah satu atau kedua ginjal. Kadang otot perut berkontraksi kuat.

4) Bisa terjadi kolik renalis, dimana pasien merasakan nyeri hebat yang disebabkan oleh kejang ureter.

5) Kejang bisa terjadi karena adanya iritasi akibat infeksi atau karena lewatnya batu ginjal.

6) Pada anak-anak, gejala infeksi ginjal seringkali sangat ringan dan lebih sulit untuk dikenali.

7) Pada infeksi menahun (pielonefritis kronik), nyerinya bersifat samar dan demam hilang-timbul atau tidak ditemukan demam sama sekali. 8) Pielonefritis kronik hanya terjadi pada pasien yang memiliki kelainan

utama, seperti penyumbatan saluran kemih, batu ginjal yang besar atau arus balik air kemih dari kandung kemih ke dalam ureter (pada anak kecil).

9) Pielonefritis kronik pada akhirnya bisa merusak ginjal sehingga ginjal tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (gagal ginjal).

d. Diagnosis

1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya yang khas.

2) Pemeriksaan yang dilakukan untuk memperkuat diagnosis pielonefritis adalah:

a) pemeriksaan urin dengan mikroskop.

b) pembiakan bakteri dalam contoh urin untuk menentukan adanya bakteri.

3) USG dan rontgen bisa membantu menemukan adanya batu ginjal, kelainan struktural atau penyebab penyumbatan air kemih lainnya. e. Penatalaksanaan

1) Segera setelah diagnosis ditegakkan, diberikan antibiotik. Terapi kausal dimulai dengan kotrimoksazol 2 tablet tiap 12 jam selama 5 hari, atau amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 5 hari, atau siprofloksasin 500 mg tiap 12 jam selama 5 hari. Antibiotik dapat diperpanjang sampai 21 hari.

2) Pada 4–6 minggu setelah pemberian antibiotik, dilakukan pemeriksaan urin ulang untuk memastikan bahwa infeksi telah berhasil diatasi. 3) Pada penyumbatan, kelainan struktural atau batu, mungkin perlu

dilakukan pembedahan dengan merujuk ke rumah sakit. f. KIE

1) Tujuan pengobatan: eradikasi dan mencegah timbulnya komplikasi. 2) Pencegahan: kenali gejala penyakit untuk pengobatan sedini mungkin. 3) Alasan rujuk: pasien anak dan dewasa yang didiagnosa pielonefritis,

73. PIODERMA

Kompetensi : 4 dan 3B

Laporan Penyakit : 2001 ICD X : L00-L08

a. Definisi

Pioderma superfisial dapat berbentuk impetigo atau furunkel. Furunkolis yang menyatu membentuk kurbunkel. Bentuk lain pioderma diantaranya folikulitis, ektima, selulitis, flegmon, pionikia.

b. Penyebab

Impetigo umumnya disebabkan oleh Streptococcus betahaemoliticus, sedangkan furunkel oleh Staphylococcus aureus. Beberapa faktor predisposisi umumnya daya tahan tubuh (anemia, kurang gizi, diabetes melitus) atau adanya kelainan kulit yang dapat mempercepat terjadinya pioderma.

c. Gambaran Klinis

1) Keadaan umum pasien biasanya baik.

2) Impetigo bentuk krustosa biasanya terjadi pada anak yaitu di kulit disekitar hidung dan mulut. Tampak vesikel atau pustula yang cepat pecah dan menyebar ke sekitarnya.

3) Impetigo bentuk vesikosibola disebut juga cacar monyet, menyerang daerah ketiak, dada, dan punggung. Bentuk ini sering ditemukan bersama miliaria, hipopion (endapan nanah di bagian bawah vesikel/bula) dan pada saat penyembuhan mengering membentuk koleret (warna kemerahan melingkar di bekas kelainan).

4) Impetigo neonatorium menyerang hampir seluruh kulit, biasanya disertai demam.

5) Furunkel banyak ditemukan di ketiak atau bokong. Folikel yang terinfeksi membengkak membentuk nodus bernanah yang nyeri dengan eritema di sekitarnya. Kelainan ini dapat menjadi abses atau membentuk fistula. Pada pasien yang berdaya tahan tubuh rendah misalnya pasien penyakit kronik (diabetes melitus), furunkel ini sering kambuh dan sukar sembuh.

d. Diagnosis

1) Pemeriksaan sederhana dengan pewarnaan Gram

2) Kultur dan resistensi spesimen lesi (misalnya untuk flegmon, hidradenitis, ulkus).

3) Pemeriksaan penunjang bila diperlukan e. Penatalaksanaan

1) Pasien berobat jalan kecuali pada erisipelas, selulitis, flegmon dianjurkan rawat inap.

2) Bila dijumpai pus banyak, asah atau krusta dilakukan kompres terbuka dengan NaCl 0,9%

3) Pada lesi dalam dan / atau luas diberikan antibiotik sistemik: a) Lini 1 : golongan penisilin : amoksisilin

b) Lini 2 : golongan makrolid : eritromisin 500 mg tiap 6 jam

4) Antibiotik diberikan 7 hari. f. KIE

1) Mencari faktor predisposisi: a) Higiene

b) Menurunnya daya tahan tubuh: kurang gizi, anemia, penyakit kronik/ metabolik, dan keganasan

c) Telah ada kelainan kulit primer

2) Pada pioderma letak dalam, perhatikan keadaan umum dan status imun secara keseluruhan.

Dalam dokumen Ppd Puskesmas 2011 (Halaman 113-118)