• Tidak ada hasil yang ditemukan

PNEUMONIA KOMUNITAS

Dalam dokumen Ppd Puskesmas 2011 (Halaman 118-123)

f. Diagnosis kerja

74. PNEUMONIA KOMUNITAS

Kompetensi : 4 dan 3A (dewasa); 3A (anak)

Laporan Penyakit : 1401 ICD X : J18.9

a. Definisi

Pneumonia komunitas adalah peradangan paru yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus maupun jamur yang terjadi di komunitas.

Pneumonia secara klinis dibedakan atas pneumonia lobaris, bronkopneumonia aspirasi misalnya akibat aspirasi minyak tanah. Kuman penyebab banyak macamnya dan berbeda menurut sumber penularan (komunitas/nosokomial).

Jenis komunitas 47–74% disebabkan oleh bakteri, 5–20% oleh virus atau mikoplasma, dan 17–43% tidak diketahui penyebabnya. Pengobatan jenis komunitas ini sangat memuaskan apapun penyebabnya.

b. Penyebab

1) Penyebab pneumonia adalah:

a) Bakteri (paling sering menyebabkan pneumonia pada dewasa): Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus, Legionella atau Hemophilus influenza.

b) Virus: virus influenza, chicken-pox (cacar air)

c) Organisme mirip bakteri: Mycoplasma pneumoniae (terutama pada anak-anak dan dewasa muda)

d) Jamur tertentu.

2) Pneumonia pada anak-anak paling sering disebabkan oleh virus pernapasan, dan puncaknya terjadi pada umur 2–3 tahun. Pada usia sekolah, pneumonia paling sering disebabkan oleh bakteri Mycoplasma pneumoniae.

c. Gambaran Klinis

1) Secara klinis gambaran pneumonia bakterialis beragam menurut jenis kuman penyebab, usia pasien, dan beratnya penyakit. Beberapa bakteri penyebab memberikan gambaran yang khas, misalnya pneumonia lobaris karena S. pneumoniae, atau empiema dan pneumatokel oleh S. aureus.

2) Klasifikasi pneumonia pada balita sesuai dengan manajemen terpadu balita sakit yaitu batuk disertai dengan napas cepat (usia < 2 bulan, > 60 x/menit; 2 bulan – 1 tahun, > 50 x/menit; 1-5 tahun > 40 x/menit) 3) Pada dasarnya gejala klinisnya dapat dikelompokkan atas :

a) gejala umum infeksi: demam, sakit kepala, lesu, dan lain-lain. b) gejala umum penyakit saluran pernapasan bawah: seperti takipneu,

dispneu, retraksi atau napas cuping hidung, sianosis.

c) tanda pneumonia: perkusi pekak pada pneumonia lobaris, ronki basah halus nyaring pada bronkopneumonia dan bronkofoni positif. d) batuk yang mungkin kering atau berdahak mukopurulen, purulen,

bahkan mungkin berdarah. e) tanda di ekstrapulmonal.

4) Leukositosis jelas pada pneumonia bakteri dan pada sputum dapat dibiak kuman penyebabnya.

5) Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan foto toraks, sedangkan uji serologi dapat menentukan jenis infeksi lainnya. Selain memastikan diagnosis, foto toraks juga dapat digunakan untuk menilai adanya komplikasi.

d. Diagnosis

1) Sputum produktif yang sudah berkonversi, sesak napas, demam

2) Pada pemeriksaan dada dengan menggunakan stetoskop, akan terdengar suara ronki basah, halus, nyaring.

3) Pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan gram.

4) Pemeriksaan penunjang: pembiakan dahak, hitung jenis darah, gas darah arteri.

e. Penatalaksanaan

1) Pasien pneumonia dapat dirawat di rumah, namun bila keadaannya berat pasien harus dirawat di rumah sakit untuk mendapat perawatan yang memadai, seperti cairan intravena bila sangat sesak, oksigen, serta sarana rawat lainnya. Bayi memerlukan perhatian lebih khusus lagi. 2) Diberikan kotrimoksazol 2 x 2 tablet dewasa (diberikan selama 3 hari).

Dosis anak:

a) 2–4 bulan : 2 x ¼ tablet dewasa b) 4–12 bulan : 2 x ½ tablet dewasa c) 1–3 tahun : 2 x ¾ tablet dewasa d) 3–5 tahun : 2 x 1 tablet dewasa

3) Antibiotik pilihan kedua adalah amoksisilin atau ampisilin (diberikan selama 3 hari).

Dosis anak:

a) 2–4 bulan : 2 x ¼ tablet dewasa b) 4–12 bulan : 2 x ½ tablet dewasa

c) 1–3 tahun : 2 x 2/3 tablet dewasa d) 3–5 tahun : 2 x ¾ tablet dewasa

4) Pada kasus pneumonia berat balita dimana rujukan tidak memungkinkan:

a) Berikan antibiotik amoksisilin 45 mg/kgBB/hari selama 10 hari secara oral pada mereka yang masih bisa.

b) Bila pemberian secara oral sudah tidak memungkinkan, diberikan injeksi amoksisilin/ampisilin dan gentamisin dengan dosis :

(1) 2 bulan – 5 tahun (ampisilin i.m./i.v. 50 mg/kgBB/6 jam dan gentamisin i.m./i.v. 7,5 mg/kgBB/24 jam)

(2) <2 bulan (ampisilin i.m./i.v. 100 mg/kgBB/24jam dan gentamisin i.m./i.v. 2,5 mg/kgBB/12 jam)

(3) Bila kondisi membaik, terapi injeksi diteruskan sampai 5 hari dan sesudahnya dilanjutkan dengan terapi oral amoksisilin (15 mg/kgBB) tiap 8 jam, dan terapi injeksi gentamisin i.m. sekali sehari.

5) Pada orang dewasa terapi kausal secara empiris adalah penisilin prokain 600.000–1.200.000 UI sehari atau ampisilin 1 g tiap 6 jam terutama pada pasien dengan batuk produktif.

6) Bila pasien alergi terhadap golongan penisilin dapat diberikan eritromisin 500 mg tiap 6 jam. Demikian juga bila diduga penyebabnya mikoplasma (batuk kering).

f. KIE

1) Tujuan penatalaksanaan: mengurangi gejala, menyembuhkan penyakit, dan mencegah transmisi/memutuskan rantai penularan.

2) Beri penjelasan dengan seksama kepada pasien dan keluarganya bahwa penyakit ini bisa berbahaya.

3) Jika terdapat tanda bahaya pada balita usia <2 bulan berupa kurang bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezzing/mengi, demam atau teraba dingin; pasien harus segera dibawa ke Puskesmas kembali, kemudian dokter akan memutuskan tindakan selanjutnya.

4) Pada balita usia 2 bulan - <5 tahun; bila didapatkan tanda bahaya berupa: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk; pasien harus segera dibawa ke Puskesmas kembali, kemudian dokter akan memutuskan tindakan selanjutnya.

5) Dalam perjalanan rujukan, ibu diminta menjaga agar anak tetap hangat selama perjalanan, tetap berikan minum bila anak masih bisa minum

6) Alasan rujuk: pada balita usia 2 bulan - < 5 tahun; bila terdiagnosa klinis pneumonia komunitas maka perlu dirujuk.

75. PTERIGIUM

Kompetensi : 3A

Laporan Penyakit : 1005 ICD X : H00-H01

a. Definisi

Merupakan pertumbuhan abnormal dari konjungtiva, ditandai dengan penebalan mukosa konjungtiva yang berbentuk segitiga yang puncaknya di kornea. Secara histopatologi, didapatkan gambaran degenerasi hialin dengan adanya neovaskularisasi. Kelainan ini dapat dijumpai pada semua kelompok umur. Umumnya terdapat di sisi nasal bilateral atau unilateral. b. Penyebab

Patogenesis pterigium belum jelas, tetapi diduga karena iritasi kronik terutama karena paparan sinar ultraviolet.

c. Gambaran Klinis

1) Pasien mengeluh mata lekas merah, berair, dan ada rasa mengganjal. Bila penebalan jaringan ini mencapai pupil maka penglihatan dapat terganggu.

2) Jaringan ini kaya pembuluh darah, semuanya menuju ke puncak pterigium.

d. Diagnosis

Penebalan mukosa pada selaput mata. e. Penatalaksanaan

1) Dalam keadaan meradang diberikan astringen-dekongestan 1 tetes tiap 6-8 jam sehari: kombinasi seng-sulfat 0,25% dengan fenilefrin 0,12% atau nafazolin 0,7%.

2) Pterigium lanjut yang telah mengganggu penglihatan memerlukan pembedahan (rujuk ke rumah sakit).

f. KIE

1) Tujuan pengobatan: mengurangi gejala dan menghindari faktor risiko terjadinya iritasi.

2) Hindari paparan ultraviolet, misalnya menggunakan sun-glasses, topi caping.

76. PULPITIS

Kompetensi : 4

Laporan Penyakit : 1502 ICD X : K04

a. Definisi

Pulpitis adalah peradangan pada pulpa gigi yang menimbulkan rasa nyeri, merupakan reaksi terhadap toksin bakteri pada karies gigi.

b. Penyebab

Penyebab pulpitis yang paling sering ditemukan adalah pembusukan gigi, penyebab kedua adalah cedera. Pulpa terbungkus dalam dinding yang keras sehingga tidak memiliki ruang yang cukup untuk membengkak ketika terjadi peradangan. Yang terjadi hanyalah peningkatan tekanan di dalam gigi. Peradangan yang ringan, jika berhasil diatasi, tidak akan menimbulkan kerusakan gigi yang permanen. Peradangan yang berat bisa mematikan pulpa. Meningkatnya tekanan di dalam gigi bisa mendorong pulpa melalui ujung akar, sehingga bisa melukai tulang rahang dan jaringan di sekitarnya. c. Gambaran Klinis

1) Gigi yang mengalami pulpitis akan nyeri berdenyut, terutama malam hari. Nyeri ini mungkin menjalar sampai ke daerah sinus dan pelipis (pulpitis gigi atas) atau ke daerah telinga (pulpitis gigi bawah).

2) Bila kemasukan makanan, karena rangsangan asam, manis, atau dingin akan terasa sakit sekali. Sakit saat mengunyah menunjukkan bahwa peradangan telah mencapai jaringan periapikal.

3) Gigi biasanya sudah berlubang dalam dan pulpa terbuka. d. Diagnosis

Nyeri dan tanda peradangan. e. Penatalaksanaan

1) Lubang gigi dibersihkan dengan ekskavator dan semprit air, lalu dikeringkan dengan kapas dan dijejali pellet kapas yang ditetesi eugenol.

2) Berikan analgetik bila diperlukan:

3) Dewasa : parasetamol 500 mg tiap 6-8 jam

4) Anak : parasetamol 10-15 mg/kgBB tiap 6-8 jam

f. KIE

1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan gejala, mencegah komplikasi

2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair (sayur dan buah). Bila ada gigi yang berlubang segera ditambal walaupun tidak merasa sakit.

77. RABIES

Kompetensi : 3B

Laporan Penyakit : 0404 ICD X : A82

a. Definisi

Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies dan ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies terutama anjing, kucing dan kera.

Di Indonesia, 98% kasus rabies ditularkan dari gigitan anjing. b. Penyebab

Virus rabies, termasuk rhabdo virus bersifat neurotrop. c. Gambaran Klinis

1) Stadium Prodromal

Gejala-gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.

2) Stadium Sensoris

Pasien merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas gigitan. Kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensorik.

3) Stadium Eksitasi

Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik meningkat dengan gejala hiperhidrosis (banyak berkeringat), hipersalivasi (banyak air liur), hiperlakrimasi (banyak air mata) dan dilatasi pupil. Bersamaan dengan stadium eksitasi penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas pada stadium ini ialah adanya bermacam-macam fobia, yang sangat terkenal diantaranya ialah hidrofobia (takut air). Kontraksi otot-otot faring dan otot-otot pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh rangsang sensorik seperti meniupkan udara ke muka pasien (aerophobia) atau dengan menjatuhkan sinar ke mata (photophobia) atau dengan bertepuk tangan ke dekat telinga pasien (audiophobia). Pada stadium ini dapat terjadi apneu, sianosis, kejang dan takikardi, cardiac arrest, tingkah laku pasien tidak rasional kadang-kadang maniakal disertai dengan respons yang berlebihan. Gejala-gejala eksitasi dapat berlangsung sampai pasien meninggal, tetapi pada saat kematian justru lebih sering terjadi otot-otot melemas, sehingga terjadi paresis flaksid otot-otot.

4) Stadium Paralisis.

Sebagian besar pasien rabies meninggal dalam stadium eksitasi.

Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paralisis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan saraf tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernapasan.

d. Diagnosis

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. e. Penatalaksanaan

1) Penanganan luka gigitan hewan penular rabies

Tiap ada kasus gigitan hewan penular rabies (anjing, kucing, kera) harus ditangani dengan tepat dan sesegera mungkin. Untuk mematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan, cuci luka gigitan dengan air (sebaiknya air mengalir) dan sabun selama 10–15 menit, kemudian diberi alkohol 70%.

2) Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) sesudah digigit (Post Exposure Treatment). Dosis dan cara pemberian VAR (Purified Vero Rabies Vaccine = PVRV): diberikan 4 x suntikan @ 0,5 mL pada hari ke-0 sebanyak 2 dosis sekaligus di regio deltoideus kanan dan kiri, hari ke-7 dan 21 masing-masing 1 dosis secara i.m. Dosis sama untuk semua umur.

3) Perawatan rabies pada manusia a) Pasien dirujuk ke rumah sakit.

b) Sebelum dirujuk, pasien diinfus dengan Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, kalau perlu diberi antikonvulsan dan sebaiknya pasien difiksasi selama dalam perjalanan dan waspada terhadap tindak-tanduk pasien yang tidak rasional, kadang-kadang maniak disertai saat-saat responsif.

c) Penanganan luka gigitan dengan pencucian luka, pemberian antiseptik dan pemberian vaksin antirabies.

f. KIE

1) Sampai saat ini belum ada obat untuk penyakit rabies.

2) Bila terkena cakaran atau gigitan hewan penular rabies (anjing, kucing, kera) segera melakukan pencucian luka dengan air mengalir selama 15

menit dan sabun/detergen kemudian berikan antiseptik (betadine, obat merah) dan pemberian vaksin antirabies.

3) Pencucian luka dengan sabun untuk melisiskan kapsul dari virus rabies. Segera berobat ke rabies center untuk mendapatkan perawatan selanjutnya.

4) Bagi yang memiliki anjing atau kucing peliharaan sebaiknya tidak diliarkan dan rutin melakukan vaksinasi antirabies.

Dalam dokumen Ppd Puskesmas 2011 (Halaman 118-123)