• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. spektrum politik yang berlawanan. Di Indonesia, istilah kiri 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. spektrum politik yang berlawanan. Di Indonesia, istilah kiri 1"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pada arena politik Indonesia, politik sayap kiri merupakan kategori yang kontroversial sepanjang sejarahnya. Istilah kiri merupakan konsep dikotomi

spektrum politik yang berlawanan. Di Indonesia, istilah “kiri”1 tidak hanya

digunakan sebagai kategori longgar untuk membedakan spektrum ideologi politik tetapi secara umum diatribusikan dalam ideologi tertentu yaitu komunisme dan berbagai varian Marxisme. Generalisasi ini bukan hanya berfungsi sebagai

penyederhadaan gejala politik namun lebih menjadikannya sebagai phobia untuk

mempertahankan stabilitas politik pada masa Orde Baru.

Tindakan politik Orde Baru ini tidak terlepas dari sejarah berdirinya rezim ini sendiri. Rezim Orde baru yang mendeklarasikan dirinya sebagai antitesa dari rezim sebelumnya, dibentuk oleh kelompok militer dan kelompok politik lain yang beroposisi terhadap kepemimpinan Soekarno. Secara nasional, rezim ini muncul dari polarisasi politik ketika Soekarno mulai menunjukkan kecenderungan dukungan politiknya pada kelompok politik sayap kiri terutama Partai Komunis Indonesia (selanjutnya disingkat sebagai PKI). Secara internasional, rezim ini dipengaruhi oleh polarisasi politik dunia di masa perang dingin yang membelah dunia secara ekonomi dan politik pada dua Blok besar. Blok barat yang dipimpin

1

Istilah “kiri” diambil dari sejarah Revolusi Perancis, (selengkapnya pada Eley, 2002). Sedangkan

istilah “sayap kiri” (left-wing) merupakan metaphora kiri radikal atau radikalisme yang diambil

dari pamphlet Lenin, istilah ini lazim digunakan dalam spektrum politik yang membagi pada 3 spektrum yaitu sayap kanan, sentral, dan sayap kiri (Lukes, 2004: 4, Bobbio.1996: 7).

(2)

oleh Amerika dengan ide demokrasi dan liberalisme melawan blok timur yang dipimpin oleh Uni Soviet dengan ide komunisme.

Setelah Orde Baru berkuasa, komunisme diberangus dalam artian fisik maupun nonfisik. Dalam politik internasional, Orde Baru secara tidak langsung telah menentukan posisi politiknya ditengah perang dingin. Pilihan politik ini menghasilkan banyak perubahan, Orde Baru melalui UU no 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing mulai melakukan percepatan pembangunan. Sejak saat itu, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat. Dianutnya model tahapan pembangunan Rostow melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) berhasil memberikan rancangan ekonomi menuju negara industrial yang menjanjikan kesejahteraan. Namun, model pembangunan mensyaratkan situasi politik dan sosial yang stabil untuk memastikan terjadinya integrasi nasional dan melaksanakan tahapan-tahapan tersebut dengan teliti tanpa terinterupsi oleh dinamika politik. Oleh karena itu, Orde Baru membutuhkan instrumen politik yang kuat untuk memastikan stabilitas nasional yang dapat menekan dinamika politik.

Pada dasarnya, elemen-elemen pembentuk Orde Baru ini memiliki kepentingan politik yang berbeda-beda. Namun dipersatukan dengan satu isu utama yaitu ancaman komunisme. Oleh karena itu, isu ancaman komunisme juga bermanfaat sebagai perekat koalisi politik untuk menciptakan stabilitas nasional.

Orde Baru melakukan generalisasi istilah “kiri” dalam politik menjadi Marxisme-Leninisme, menolak pemilahan pemikiran dalam Marxisme secara

(3)

teoritis berikut perkembangan pemikirannya2. Bagi Orde Baru, pemilahan varian pemikiran Marxisme dapat memecah konsentrasi propaganda politik karena

varian Marxisme yang berlainan dengan pilihan politik yang juga berlainan3.

Selain itu, pada tahun 1965 masyarakat Indonesia tidak begitu memahami perbedaan tendensi dalam Marxisme kecuali dikalangan terpelajar.

Stabilitas politik dipertahankan oleh Orde Baru melalui strategi massa

mengambang yang memisahkan politik dari kehidupan sosial masyarakat4.

Keampuhan strategi ini dudukung dengan instalasi kekuatan militer dari tingkat komunitas terendah hingga pusat. Militer memiliki fraksi khusus di DPR/MPR sedangkan di tingkatan masyarakat diaktifkan komando teritorial yang mendampingi setiap struktur pemerintahan dari tingkat propinsi hingga desa. Hasilnya, terjadi disorganisasi sosial dan keterasingan masyarakat dari wacana politik hingga saat ini.

Pada tahun 1989, situasi politik internasional berubah dengan runtuhnya blok timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Kekuatan bipolar internasional kini berganti dengan kekuatan unipolar yang menempatkan blok barat yang dipimpin oleh Amerika sebagai kekuatan utama secara militer, politik dan ekonomi. Pada skala internasional, komunisme bukan lagi ancaman bagi dunia sehingga

2

Pada praktiknya, nilai demokrasi sosial dan nilai liberal barat disamakan dengan komunisme sebagai hal yang asing bagi kebudayaan Indonesia “asli”. (seperti dijelaskan pada Hadiz dan Dhakidae, 2006;15)

3

Misalnya jika Orde Baru mengumumkan bahwa PKI memiliki tendensi Maois, maka varian lainnya seperti Leninis, Trotskis, Sosial Demokrasi, Komunisme Nasionalis, dan Nasionalisme Radikal akan tetap menjadi hambatan bagi stabilitas politik.

4

Gagasan massa mengambang diilhami oleh persepsi kepasifan politik massa dalam sistem dwipartai demokrasi parlementer barat paa ahun 1950an hingga awal 1960an. Dalam gagasan ini, aktivitas partai dibatasi hingga tingkat kota/kabupaten, orang desa dilarang berpartisipasi dalam aktivitas partai kecuali saat mencoblos pada saat pemilu (Lane, 2006;43), lebih lengkap dalam

(4)

blok politik pun melebur dalam kekuatan-kekuatan ekonomi regional. Sejak saat itu demokrasi menjadi nilai ideal, globalisasi yang berarti perdagangan bebas, interaksi budaya, pengetahuan, dan terutama pasar modal serta pasar tenaga kerja internasional tanpa batas negara menjadi nilai yang juga ideal. Idealisasi nilai-nilai baru ini juga didukung oleh pengembangan teknologi yang merubah proses produksi dan alam dengan cepat. Teknologi informasi bahan memutus batas negara dan memungkinkan orang dari seluruh dunia untuk berinteraksi dan berbicara mengenai apapun.

Sementara, negara-negara dunia ketiga yang sebelumnya didukung oleh Amerika dalam propaganda anti komunisme dan mendirikan negara totaliter ataupun demokrasi “terbatas” mulai kehilangan dukungan, bahkan sebelum Uni Soviet benar-benar runtuh. Rezim-rezim militer di Amerika Latin dan Asia mulai berjatuhan seiring dengan promosi nilai demokrasi. Pun, Indonesia menghadapi

persoalan yang sama, phobia komunisme tidak lagi mendapat sambutan yang baik

dalam dunia internasional karena dianggap berlawanan dengan kebebasan demokrasi. Dan,Represi militer kini tidak dapat ditolerir atas nama penegakan Hak Asasi Manusia.

Dua tahun sebelum keruntuhan Orde Baru, meskipun phobia komunisme

masih bertahan wacana politik sayap kiri mulai kembali muncul ketika sekelompok aktivis mahasiswa yang mendirikan Partai Rakyat Demokratik (selanjutnya disingkat sebagai PRD) pada tanggal 22 juli 1996. Partai ini mengambil sikap oposisi terhadap Orde Baru dan menuntut pencabutan dwifungsi ABRI. Hanya dalam lima hari, partai ini mendapat tuduhan dalang kerusuhan di

(5)

kantor PDI yang pada saat itu sedang mengalami konflik internal. Orde Baru memberikan respon yang keras secara politik dengan melakukan pelarangan dan

penangkapan terhadap aktivis PRD5. Orde Baru juga menuding mereka sebagai

gerakan komunis yang ingin menggoyahkan kedaulatan negara.

Selain pelarangan organisasi PRD juga menghadapi berbagai represi Orde Baru mulai dari penangkapan para anggota hingga operasi penculikan dan pembunuhan terhadap anggotanya. Sejak pertengahan 1996, PRD bergerak di bawah tanah dengan membentuk berbagai komite aksi mahasiswa dan organisasi kaum miskin perkotaan. Pengorganisiran ini berhasil mengintervensi kampanye Mega-Bintang-Rakyat pada tahun 1997.

Pada bulan Januari, seorang aktivis PRD ditangkap di rumah susun yang

berada di daerah Tanah Abang6. Penangkapan ini dilatari oleh meledaknya bom di

kamar yang ia sewa bersama tiga orang anggota PRD lainnya. Berita mengenai peledakan bom tersebut simpang siur hingga akhirnya ia dibebaskan 8 bulan kemudian kaarena tidak terbukti bersalah. Namun secara efektif, kejadian tersebut juga melegitimasi penangkapan terhadap aktivis PRD yang masih tersisa hingga terjadinya reformasi 1998.

Dalam momentum penggulingan Orde Baru yang dikenal sebagai reformasi 98 tersebut, PRD merupakan bagian kecil dari keseluruhan spektrum politik yang muncul. Meskipun kecil, pengaruh radikalisme PRD memberikan kontribusi besar pada momentum ini. PRD mengenalkan kembali strategi

5

Surat Keputusan Mendagri Nomor 201-221 Tahun 1997 yang menyatakan PRD dan ormas-ormasnya sebagai Organisasi Terlarang (OT). Alasan pembubaran dan pelarangan adalah karena

PRD tidak berasaskan Pancasila serta jiwa dan semangatnya bertentangan dengan UUD 1945.

6

Aktivis ini adalah Agus Priyono alias Jabo yang kini menjadi Ketua umum PRD dan juga aktif dalam kepengurusan pusat Partai Gerindra.

(6)

mobilisasi aksi massa yang lazim digunakan di masa pergerakan pra-kemerdekaan hingga 1965 sebagai strategi politik. Selain itu, dalam manifesto politiknya, PRD secara tegas berposisi melawan Orde Baru dengan menuntut pencabutan 5 paket undang-undang politik dan dwifungsi ABRI yang merupakan fondasi politik rezim Orde Baru. PRD juga melakukan pembangkangan simbolis dengan mengembalikan istilah ‘rakyat’ yang sebelumnya digantikan oleh ‘masyarakat’, istilah ‘buruh’ yang sebelumnya disamarkan dengan istilah ‘karyawan’ dan ‘pekerja’. Hal terakhir adalah penyebaran literatur radikal dan pendidikan politik masyarakat untuk melawan kediktatoran Orde Baru.

Dalam metode pengorganisasiannya, PRD menggunakan pendekatan konflik dan protes yang biasa digunakan oleh politik sayap kiri. Analisis politik PRD berorientasi pada terjadinya perubahan struktural dari negara dengan merebut kekuasaan dari elit politik dan menyerahkannya pada dewan-dewan rakyat. Konsep ini secara teoritis berasal dari konsepsi Marxisme yang digunakan oleh PKI, MURBA, dan PNI di masa pra 65.

Berdasarkan identifikasi ini juga peneliti mengategorikan PRD sebagai representasi politik sayap kiri di Indonesia yang lahir bersamaan dengan melemahnya rezim Orde Baru. Dalam penelitian ini, istilah politik sayap kiri digunakan untuk menegaskan perbedaan dalam dikotomi spektrum politik kiri yang longgar. Politik sayap kiri merujuk pada pendekatan Marxisme dalam praktik politik.

Meskipun begitu, politik sayap kiri PRD memiliki perbedaan dengan politik sayap kiri pra 65. Perbedaan tersebut terutama terletak pada konsep

(7)

perebutan kekuasaan yang tidak menggunakan pendekatan kekerasan bersenjata melainkan protes-protes terbuka. Dalam pendekatan kelas Marxian juga PRD tidak menggunakan kategori kelas yang digunakan oleh politik sayap kiri pra 65, melainkan menggunakan kategori politik yang lebih luas yaitu konsep rakyat.

Sejak masa reformasi bergulir PRD juga aktif berkontestasi di ruang demokrasi dengan menjadi peserta pemilu pada tahun 1999. Kesuksesan PRD menggalang oposisi anti-Orde Baru tidak sebanding dengan keberhasilannya meraup dukungan pada pemilu 1999. PRD hanya mendapatkan 78.730 suara dan 1 kursi di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, PRD membangun komunikasi dengan basis-basis massa PKB dan Nahdlatul Ulama yang berpihak pada Abdurrahman Wahid. Kedekatan PRD dengan pemerintahan Abdurrahman Wahid disebabkan oleh kesesuaian kepentingan program politik mencabut dwifungsi ABRI. Sayangnya, pemerintahan ini hanya bertahan 2 tahun sebelum akhirnya Abdurrahman Wahid didesak mundur oleh koalisi partai politik dan petinggi-petinggi militer.

Pada tahun 2001, Ketua umum PRD, Budiman Sudjatmiko yang mendapatkan amnesti dari Presiden Abdurrahman Wahid akhirnya keluar dari

PRD setelah Kongres kedua PRD7. Faisol Reza yang mengisi kepemimpinan PRD

sewaktu Budiman Sudjatmiko dipenjara pun ikut meninggalkan PRD8.

Perpecahan kemudian menjalar ke tokoh-tokoh PRD lainnya, pada tahun 2002 sebagian pimpinan PRD memisahkan diri dengan membentuk Perhimpunan

7

Budiman Sudjatmiko kini bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

8

(8)

Demokratik Sosialis (selanjutnya disingkat menjadi PDS) yang terus mengalami perpecahan. Sebagian dari anggota PDS membentuk Perhimpunan Rakyat Pekerja (selanjutnya disingkat menjadi PRP) dan membangun komunikasi dengan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (selanjutnya disingkat menjadi KASBI).

Menjelang pemilu 2004, PRD bersama beberapa organisasi gerakan sosial mendeklarasikan pembentukan Partai Oposisi Rakyat (selanjutnya disingkat menjadi POPOR) untuk mengikuti pemilu (Party, 2003). Sayangnya POPOR tidak dapat lolos verifikasi sehingga PRD pun kembali ke garis politik diluar parlemen. Kegagalan ini sekali lagi mengembalikan PRD ke garis gerakan sosial-politik dan kembali menghasilkan perselisihan di tubuh PRD. Kali ini, Ketua umum PRD,

Yusuf Lakaseng keluar dari PRD9. Kepemimpinan PRD beralih pada Dita Indah

Sari10 yang sebelumnya memimpin sektor buruh di Front Nasional Perjuangan

Buruh Indonesia (selanjutnya disingkat menjadi FNPBI).

Pada tahun 2007, PRD kembali menginisiasi deklarasi Partai Persatuan Pembebasan Nasional (selanjutnya disingkat menjadi PAPERNAS) yang juga merupakan aliansi berbagai organisasi gerakan sosial di tingkat lokal dan nasional. Namun, PRD dengan PAPERNAS kembali mengalami kegagalan pada proses verifikasi dan memilih untuk menggabungkan diri dengan PBR untuk

mengintervensi pemilu 2009. Tidak lolosnya PBR dalam electoral threshold

mengandaskan harapan PRD untuk masuk ke ruang parlemen.

9

Setahun kemudian Yusuf Lakaseng bergabung dengan Partai Bintang Reformasi (PBR) pecahan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

10

Dita Indah Sari kini bekerja sebagai Staff Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi yang dipimpin oleh Muhaimin Iskandar sebagai Menteri. Muhaimin juga adalah Ketua PKB.

(9)

Berdasarkan paparan tersebut, dapat dilihat bahwa politik sayap kiri memiliki beragam ideologi dan strategi politik. Salah satu keunikannya adalah kemampuannya menangkap peluang politik dan menerjemahkannya pada pengembangan strategi politik. Pada paparan di atas setidaknya terdapat tiga strategi politik sayap kiri yaitu; pemberontakan bersenjata, mobilisasi massa, dan pemilu. Ketiga strategi ini seringkali digunakan secara terpisah oleh organsiasi yang menjalankan politik sayap kiri. Namun beberapa organisasi kiri lainnya mampu berevolusi ataupun menggunakan strategi ini bergantian.

Meskipun begitu, pembahasan secara teoritis mengenai politik sayap kiri di Indonesia masih terabaikan. Pengabaian ini dilatari dari asumsi bahwa kelompok sayap kiri yang mengusung ideologi kelas sosial tidak mendapatkan dukungan publik yang signifikan selain PDIP. Dukungan publik tersebut diukur dari perolehan suara PRD pada 1999 yang hanya 0,06% (Mujani, 2011;218). Kelemahan asumsi ini adalah reduksinya pada proses politik yang hanya dipandang dari pemilihan umum sedangkan proses di luar pemilu tidak diperhitungkan.

Asumsi ini menganggap politik selalu dalam keadaan yang statis dan dapat diperkirakan. Asumsi ini tidak dapat menjelaskan reaksi keras Orde Baru terhadap PRD. Momentum reformasi 98 yang menjadi momentum demokratisasi pasca-Orde Baru pun dilewatkan begitu saja. Pada saat itu,berbagai organisasi sipil dan partai politik yang lahir dibiarkan tanpa penjelasan. Rangkaian struktur peluang politik yang ikut mendorong lahirmya kembali politik sayap kiri menjelang keruntuhan Orde Baru pun praktis luput dari perhatian.

(10)

Meski bukan topik yang dominan bagi penelitian ilmu politik, peneliti menemukan tiga penelitian ilmiah terkait dengan fenomena PRD di Indonesia.

Penelitian pertama, Tesis yang berjudul Radikalisasi Pemuda: PRD Melawan

Tirani (Miftahuddin, 2001) mengambil fokus pada dialektika struktur-agen menggunakan teori strukturasi Anthony Giddens untuk menjelaskan proses radikalisasi pemuda yang tergabung dalam PRD. Penelitian ini menunjukkan bahwa para aktivis PRD memiliki latar belakang yang sangat beragam meskipu kesemuanya adalah aktivis mahasiswa. Latar pemikiran radikalnya pun secara teoritis sangat beragam baik yang dipengaruhi oleh pemikiran relijius, nasionalis, pengalaman hingga referensi kajian Marxis kontemporer pada masanya.

Penelitian kedua, Tesis yang membahas bentuk gerakan oposisi PRD pada masa Orde Baru (Suryani, 2000). Penelitian ini juga menggunakan metode empiris yang mendeskripsikan bentuk-bentuk oposisi yang dilakukan oleh PRD pada masa Orde Baru. Penelitian ini menunjukkan model oposisi PRD dari wacana hingga bentuk mobilisasi politik.

Terakhir yang menurut peneliti sangat penting adalah sebuah disertasi

karya Maxwell Ronald Lane yang berjudul Mass Mobilisation in Indonesian

Politics, 1960-2001: Towards a Class Analysis (Lane, 2009). Tesis yang membahas strategi mobilisasi massa di Indonesia ini mampu menjelaskan mobilisasi massa sebagai strategi politik yang lahir dan berkembang dari politik sayap kiri terutama tradisi marxian sejak masa pergerakan. Secara partikular, disertasi ini juga membahas PRD sebagai pewaris tradisi Marxian yang mengenalkan kembali strategi mobilisasi massa.

(11)

Berdasarkan analisisnya, Lane mengategorikan PRD dalam gerakan kiri

baru (new left) di Indonesia. Kategorisasi Lane merujuk pada proses kategori

“rakyat” yang digunakan oleh PRD. Kategori ini memperlihatkan bahwa PRD tidak menggunakan konsep kelas dalam pendekatan Marxisme secara dogmatis yang hanya berpusat pada kelas buruh industri atau proletariat. Lane menunjukkan bahwa sentrum perlawanan yang diusung oleh PRD menggunakan penanda kelompok minoritas tertindas. Penggunaan kategori ini muncul kembali dalam

istilah ‘populis radikal’ pada esai Lane berjudul “Kemenangan Demokrasi di

Indonesia panggung baru Gerakan Progresif” (Miftahuddin, 2004; 231).

Selain ketiga penelitian ilmah tersebut, ada juga buku mengenai masyarakat Indonesia dan politik Indonesia setelah 1965. Buku ini berupaya melanjutkan analisis politik aliran setelah 1965 dengan menggantikan kategori-kategori primordialnya. Dalam buku ini, Bourchier dan Hadiz menempatkan PRD dalam kategori yang lebih longgar yaitu radikalisme dengan atribusi sayap kiri (left-wing). Atribusi ini dijelaskan dengan asumsi pemikiran politik PRD berdasarkan Manifesto politiknya sebagai pertemuan antara tradisi organisasi kiri

lama11 yang hampir punah dengan pemahaman Marxisme pasca-1965 (Bourchier,

2003;10).

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini mengambil fokus pada proses politik PRD pada tiga pemilihan umum (1999-2009). Penelitian proses politik sendiri berupaya menjelaskan interaksi mobilisasi gerakan sosial dan memperkirakan peluang politik, struktur mobilisasi dan proses framing

11

Tradisi organisasi kiri lama yang dimaksudkan adalah model organisasi kiri sebelum Orde Baru seperti PKI, Murba, PSI, Acoma,dan lainnya.

(12)

seiring dengan perselisihan atau perseteruan yang berulang. Melalui penelitian ini, peneliti berupaya untuk mengetahui bagaimana PRD mengembangkan strategi politiknya dalam momentum pemilu 1999-2009. Berdasarkan latar belakang

penelitian di atas, peneliti merumuskan penelitian ini dalam judul Politik Sayap

Kiri di Indonesia: Proses Politik Partai Rakyat Demokratik 1999-2009.

1.2 Perumusan Masalah

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, peneliti memfokuskan kajian mengenai politik sayap kiri di Indonesia pasca-1965 dengan mengambil objek penelitian pada PRD. Peneliti mencoba untuk mengeksplorasi salah satu strategi yang kontroversial dalam politik sayap yaitu strategi pemilu atau biasa dikenal di

kalangan kiri sebagai strategi parlementarian12. Strategi ini pertama kali

diterapkan oleh PRD Pada pemilu 1999 dan diulang kembali pada pemilu-pemilu berikutnya dengan mengenalkan model partai koalisi gerakan. Peneliti merumuskan masalah penelitian dalam pertanyaan berikut; Bagaimana proses politik PRD sebagai representasi politik sayap kiri di Indonesia mengembangkan strategi pemilu pada 1999-2009.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan penelitan ini adalah:

1. Mengetahui varian politik sayap kiri yang dipraktikkan oleh PRD

2. Mengetahui proses politik PRD mengembangkan strategi pemilu

1999-2009

12

Istilah ini merujuk pada kebijakan intervensi parlemen yang dilakukan Partai Bolshevik pada tahun 1905.

(13)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Aspek teoritis

Secara teoritis, penelitian ini memperkaya perkembangan keilmuan Ilmu Politik dengan wacana politik sayap kiri kontemporer di Indonesia. Kemudian, dengan menggunakan teori proses politik, penelitian ini mencoba untuk memperoleh pengetahuan bagaimana mobilisasi gerakan sosial mengalami proses politik sebagai hasil dari interaksinya dengan negara berdasarkan dua respon terhadapnya yaitu represi yang bersifat eskalatif dan fasilitasi yang bersifat repetitif.

1.4.2 Aspek Praktis

Berdasarkan manfaat teoritis tersebut, manfaat praktis penelitian ini adalah menemukan pola interaksi gerakan sosial dengan kekuasaan negara yang menghasilkan peluang politik dan proses framing. Penelitian ini diharapkan dapat memperkirakan tindakan-tindakan politik gerakan sosial dalam merespon peluang politik.

Referensi

Dokumen terkait

(2000) mengatakan bahwa lebah ratu hasil pencangkokan larva umur 1 hari memiliki bobot badan yang lebih berat dan produksi telur yang lebih banyak daripada yang dihasilkan

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Kemudian etika tersebut akan menuntun dan memberikan pengarahan kepada orang tersebut untuk dapat berperilaku tepat dan sesuai dengan norma yang berlaku dalam suatu

Sehingga yang menjadi dasar untuk membangun konseling pastoral dalam satu budaya yakni Tiga Batu Tungku bagi masyarakat Nuruwe sendiri, berkaitan dengan strategi

Pengelolaan hara spesifik lokasi berupaya menyediakan hara bagi tanaman secara tepat, baik jumlah, jenis, maupun waktu pemberiannya, dengan mempertimbangkan kebutuhan tanaman,

aparatur pemerintah daerah; Meningkatkan koordinasi dan tertib administrasi pemerintahan dan tata kelola keuangan daerah; Meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas

[r]

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh Gelar Sarjana Sains pada Departemen Studi Ilmu Keolahragaan. Fakultas Pendidikan Olahraga