• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Wilayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Wilayah"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Wilayah

5.1.1. Sub Sektor Unggulan di Halmahera Utara

Setiap daerah atau wilayah mempunyai beberapa sektor atau komoditas yang dapat mengembangkan daerah atau wilayah tersebut, namun kemampuan setiap sektor tersebut tentu berbeda-beda, biasanya sektor yang mempunyai potensi supply dan demand yang besar dan berorientasi pada pasar ekspor baik keluar daerah, antar pulau, maupun ke pasar luar negeri dengan intensitas perdagangan yang stabil, selalu mempunyai keunggulan komparatif dan kempetitif yang tinggi. Untuk menganalisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di Halmahera Utara dalam penulisan ini digunakan analisis Location Quotient (LQ) dan analisis Shift Share (SSA). Kedua

analisis ini menggunakan data PDRB kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara pada dua titik waktu yaitu pada tahun 2000 dan tahun 2004.

A. Keunggulan Komparatif

Kabupaten Halmahera Utara mempunyai tiga sub sektor yang memiliki peranan besar dalam kontribusi terhadap PDRB. Indikator ini dapat kita lihat pada PDRB Kabupaten Halmahera Utara berdasarkan pada harga konstan dengan tahun dasar tahun 2000. Perkembangan PDRB mempunyai tren yang meningkat, yaitu pada tahun 2000 sebesar 322.916,69 juta rupiah, pada tahun 2001 naik menjadi 328.149,27 juta rupiah atau pertumbuhan sebesar 1,62% kemudian naik menjadi 339.333,83 juta rupiah pada tahun 2002 dengan pertumbuhan sebesar 3,41%. Pada tahun 2003 PDRB meningkat sebesar 349.269,80 juta rupiah atau pertumbuhan sebesar 2,93%, hal ini terus mengalami peningkatan pada tahun 2004 sebesar 360.914,14 atau pertumbuhan sebesar 3,33%.

Dari pertumbuhan PDRB dari tahun ke tahun pada 9 sektor/lapangan usaha, peranan sektor pertanian masih sangat dominan yakni pada tahun 2000 sektor pertanian menyumbang sekitar 41,54%, pada tahun 2001 sebesar 41,74%, kemudian tahun 2002 naik menjadi 41,99%, namun pada tahun 2003 turun menjadi 41,96 begitu juga pada tahun 2004 mengalami penurunan menjadi 41,29%. Dalam peranan sektor pertanian

(2)

tersebut yang paling dominan adalah sub sektor perkebunan, kemudian tanaman bahan makan dan diikuti oleh sub sektor perikanan serta sub sektor kehutanan.

Selain sektor pertanian, sektor industri pengolahan, juga mempunyai peran besar dalam PDRB Kabupaten Halmahera Utara, yakni pada tahun 2000 sebesar 23,44%, kemudian pada tahun 2001 sebesar 23,30%, pada tahun 2002 sebesar 23,70%, pada tahun 2003 sebesar 23,18% dan pada tahun 2004 sebesar 23,33%.

Indikator kontribusi sektor/sub sektor dalam PDRB di atas belum menjadi cerminan sektor/sub sektor tersebut unggulan dalam perekonomian daerah Kabupaten Halmahera Utara, untuk itu maka data kontribusi PDRB di atas kemudian dianalisis dengan menggunakan metode Location Quotient (LQ) untuk mengetahui sektor/ sub

sektor yang mempunyai keunggulan komparatif di Kabupaten Halmahera Utara. Dalam analisis LQ ini dilakukan dalam bentuk time series/trend, artinya untuk melihat

beberapa kurun waktu yang berbeda apakah terjadi kenaikan atau penurunan.

Berdasarkan hasil analisis LQ, sub sektor yang ada di PDRB Kabupaten

Halmahera Utara pada tahun 2000 (Tabel 13), hanya terdapat tujuh sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif, hal ini karena ketujuh sub sektor tersebut memiliki nilai indeks LQ lebih besar dari satu. Sub sektor tersebut yaitu sub sektor tanaman

bahan makanan, sub sektor perkebunan, sub sektor peternakan, sub sektor kehutanan, sub sektor perikanan, sub sektor industri tanpa migas dan sub sektor restoran. Sedangkan sub sektor yang lainnya memiliki nilai indeks LQ lebih kecil dari satu,

sehingga tidak termasuk sebagai sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif. Sedangkan analisis LQ pada tahun 2004 (Tabel 14), ternyata tidak berbeda

dengan tahun 2000. Tujuh sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif di tahun 2000 masih mempunyai peranan sebagai sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif di tahun 2004. Hal ini menunjukan bahwa pertumbuhan ke tujuh sub sektor tersebut dalam kurun waktu tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 masih di atas rata-rata sub sektor lainnya, sehingga ketujuh sub sektor dimaksud tetap memiliki keunggulan komparatif dalam perekonomian wilayah di Halmahera Utrara.

Mencermati analisis LQ tahun 2000 dan 2004, terlihat bahwa dalam sub sektor

yang memiliki keunggulan komparatif, hanya tiga sub sektor yang mengalami kenaikan nilai indeks LQ yaitu sub sektor kehutanan, industri tanpa migas, dan perkebunan.

(3)

Kondisi tersebut menggambarkan bahwa dalam kurun tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 ketiga sub sektor tersebut mengalami pertumbuhan di atas rata-rata dari sub sektor lainnya yang memiliki keunggulan komparatif, sehingga bisa dikatakan sub sektor dimaksud mempunyai tingkat stabilitas keunggulan komparatif yang tinggi. Dengan demikian maka pengembangan sub sektor kehutanan, industri tanpa migas dan perkebunan di Halmahera Utara merupakan suatu langkah yang strategis untuk mengembangkan ekonomi wilayah.

Namun dalam pengembangan ketiga sub sektor tidak hanya berorientasi pada aspek ekonomi semata, tetapi juga pada aspek sosial, budaya, dan ekologi. Untuk sub sektor kehutanan misalnya dalam pengelolaanya harus memperhatikan dua hal, yang

pertama ; pengelolaan sub sektor kehutanan yang ramah terhadap lingkungan sehingga

pengelolaannya tidak berdampak pada ekosistem hutan dan sumberdaya lainnya, yang

kedua ; pengelolaan sub sektor kehutanan yang berbasis pada masyarakat, sehingga

manfaat dari hasil hutan dapat mempunyai dampak sosial dan ekonomi pada masyarakat di sekitar hutan. Untuk sub sektor perkebunan yang harus dikembangkan adalah komoditas lokal yang mempunyai potensi supply dan potensi demand yang besar, dalam hal ini adalah komoditas kelapa (kelapa dalam) harus dapat dipertahankan dengan pengembangan pola diversifikasi usaha, penguatan kelembagaan petani, penguatan modal, dan pengembangan pasar terutama pasar ekspor. Dalam konteks wilayah Kabupaten Halmahera Utara hal ini penting dilakukan karena pada era otonomi daerah saat ini, salasatu orientasi pemerintah daerah adalah untuk peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) namun untuk hal tersebut dalam implementasi sering salah kapra dalam melakukan strategi investasi. Dalam investasi di bidang pertanian pemerintah daerah sering mengikuti usaha yang telah ada dan maju di daerah lain, misalnya rencana membuka perkebunan kelapa sawit, upaya ini kalau direalisasikan dikhawatirkan akan mengancam perkebunan kelapa rakyat yang telah lama menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat di Halmahera Utara. Kemudian sub sektor industri harus dapat menjadi sub sektor yang menghela sub sektor kehutanan dan perkebunan sekaligus menjadi pendorong sub sektor lainnya untuk pengembangan perekonomian wilayah di Halmahera Utara.

(4)

Kemudian jika dilihat dari besarnya nilai LQ, maka dalam analisis pada dua titik

waktu tersebut, yang mempunyai nilai LQ tertinggi adalah sub sektor restoran. Hal ini

terjadi karena Kota Tobelo merupakan kota terbesar kedua di Maluku Utara, selain berfungsi sebagai pusat perkembangan wilayah di Pulau Halmahera juga berfungsi sebagai kota transit yang berperan menghubungkan beberapa kota di kawasan timur Indonesia, yaitu Kota Surabaya, Manado, Ternate dan Buli. Selain itu juga Kota Tobelo dalam kurun waktu tersebut mengalami pertumbuhan restoran yang tinggi seiring dengan naiknya status kota tersebut dari ibu kota kecamatan menjadi ibu kota Kabupaten Halmahera Utara.

Dari ketujuh sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif di Halmahera Utara jika dicermati dengan baik yang berdasarkan pada potensi sumberdaya alam yang dimiliki, maka ada dua sub sektor yang memiliki prospek yang bagus untuk berkembang yaitu sub sektor perkebunan dan sub sektor perikanan. Secara umum masyarakat Maluku Utara dan khususnya di Halmahera Utara adalah masyarakat perkebunan kelapa, usaha ini telah lama ditekuni oleh masyarakat di Halmahera Utara, namun di sisi yang lain potensi laut/ perikanan juga sangat besar. Kenapa saat ini di wilayah yang berbentuk kepulauan seperti Maluku Utara dan Halmahera Utara basis perekonomian masyarakatnya berada pada sub sektor perkebunan, tentu hal ini disebabkan karena orientasi masyarakat di Halmahera Utara yang masih berorientasi pada wilayah daratan. Untuk menjadikan orientasi ekonomi masyarakat yang tidak hanya berorientasi pada wilayah daratan tetapi juga pada wilayah lautan maka peranan pemerintah daerah dan stakeholders di Halmahera Utara sangat penting. Dalam hal ini

artinya pemerintah daerah bersama stakeholders perlu bekerja keras untuk merubah pola

pikir, penyiapan ketrampilan, penyiapan prasarana dan sarana perikanan dan investasi swasta di sub sektor perikanan, sehingga sub sektor perikanan menjadi orientasi kegiatan ekonomi yang baru bagi masyarakat di Halmahera Utara.

(5)

Tabel 13. Hasil Analisis LQ di Provinsi Maluku Utara Tahun 2000 Sektor/Sub Sektor No Kab/Kota Tanaman B. Makan Tanaman Perkebunan Peternakan dan Hasil2 Kehutanan Perikanan Pertambanga n

Tanpa Migas Penggalian Industri Migas

Industri T. Migas

Listr

ik

Air Bersih Bangunan

Perdagang

an

bsr & Ec Hotel Restoran P’angkutan Komunikasi Bank LKTB

Sewa Banguna n Jasa Perusahaan Pemerintahan Umum Swasta 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 1 Kab.Halut 1.32 1.10 1.47 1.16 1.05 - 0.36 1.48 0.33 0.72 0.49 0.95 0.20 1.53 0.92 0.39 0.50 0.51 0.80 0.74 0.47 0.58 2 Kota Ternate 0.44 0.30 0.56 0.63 0.41 - 2.91 0.45 3.62 2.76 1.91 1.37 4.14 0.80 1.65 3.87 3.40 3.35 2.12 2.13 2.41 2.28 3 Kab.Haltim 1.33 1.24 0.81 1.41 1.58 3.31 0.61 0.31 0.13 0.25 1.71 0.77 0.00 0.49 0.63 0.09 0.01 0.16 0.52 0.12 0.81 0.99 4 Kab.Halbar 0.56 1.50 0.31 0.56 0.77 - 0.34 1.50 1.67 1.03 0.35 1.07 1.71 0.57 0.96 0.82 1.14 0.96 0.87 1.49 0.56 0.31 5 Kab.Halsel 1.24 1.12 0.97 0.91 1.22 - 0.29 1.43 0.36 0.55 0.49 0.98 0.22 1.48 0.98 0.35 0.59 0.57 0.88 0.88 0.46 0.76 6 Kab.Halteng 0.67 0.66 2.13 1.11 0.86 9.02 1.29 0.20 0.08 0.15 1.10 0.48 0.00 0.30 0.40 0.06 0.01 0.07 0.32 0.16 1.24 0.62 7 Kab.Sula Kep. 0.87 1.11 1.08 1.06 1.00 - 0.32 1.58 0.35 1.06 0.54 1.03 0.15 1.49 0.99 0.58 0.66 0.64 0.91 1.22 0.55 0.60 8 Kota Tidore Kep.

1.63 1.45 0.74 1.54 1.46 - 1.47 0.37 0.14 0.28 1.73 0.96 0.02 0.23 0.79 0.11 0.02 0.18 0.64 0.23 1.27 1.23 Tabel 14. Hasil Analisis LQ di Provinsi Maluku Utara Tahun 2004

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 1 Kab.Halut 1.27 1.11 1.17 1.23 1.04 - 0.37 1.50 0.41 0.96 0.48 0.91 0.49 1.52 1.00 0.48 0.59 0.80 0.80 0.66 0.49 0.66 2 Kota Ternate 0.45 0.29 0.43 0.58 0.41 - 2.46 0.42 3.37 1.87 2.02 1.40 3.44 0.70 1.63 3.39 3.27 2.34 2.00 2.44 2.49 2.31 3 Kab.Haltim 1.54 1.21 0.69 1.36 1.56 3.27 0.96 0.35 0.16 0.51 1.64 0.75 0.01 0.44 0.72 0.11 0.02 0.34 0.56 0.15 0.72 0.95 4 Kab.Halbar 0.55 1.37 2.56 0.52 0.76 - 0.32 1.46 1.45 0.70 0.32 1.08 1.41 0.50 0.92 0.71 1.05 0.68 0.87 1.26 0.55 0.30 5 Kab.Halsel 1.17 1.19 0.76 0.91 1.20 - 0.28 1.41 0.47 0.72 0.47 0.97 0.48 1.75 0.91 0.67 0.58 0.95 0.86 0.82 0.50 0.72 6 Kab.Halteng 0.69 0.68 1.84 1.09 0.94 9.06 1.79 0.30 0.11 0.37 1.06 0.51 0.00 0.29 0.44 0.06 0.01 0.12 0.35 0.17 1.18 0.61 7 Kab.Sula Kep. 0.86 1.12 0.85 1.14 0.97 - 0.33 1.56 0.50 1.57 0.54 1.02 0.59 1.30 0.97 0.68 0.79 1.08 1.03 1.08 0.52 0.59 8 Kota Tidore Kep.

1.63 1.44 0.59 1.50 1.53 - 1.59 0.41 0.20 0.48 1.66 0.97 0.02 0.20 0.79 0.14 0.02 0.33 0.70 0.25 1.15 1.18

(6)

B. Keunggulan Kompetitif

Analisis dengan pendekatan metode LQ tersebut di atas dapat didukung dengan

menggunakan analisis shift share (SSA) yang dapat menggambarkan pergeseran

struktur aktivitas suatu sub sektor pada wilayah Kabupaten Halmahera Utara dibandingkan dengan sub sektor yang sama di wilayah referensinya. Tujuan dari analisis ini adalah untuk menentukan kinerja atau produktivitas kerja perekonomian daerah dengan membandingkan dengan wilayah yang setara (dalam hal ini delapan kabupaten/kota yang ada di Provinsi Maluku Utara). Analisis ini menggunakan data PDRB pada dua titik tahun yaitu tahun 2000 dan tahun 2004. Dalam analisis shift share

ini terdiri dari nilai komponen growth economic, nilai komponen proporsional (proportional shift), dan nilai komponen diferensial (differential share). Hasil analisis shift share dapat dilihat pada Tabel 16.

Hasil perhitungan dengan mengunakan analisis SSA menunjukan bahwa laju pertumbuhan ekonomi wilayah Maluku Utara dari tahun 2000 sampai dengan 2004 secara agregat tumbuh sebesar 0.14. Artinya secara agregat tingkat pertumbuhan ekonomi Maluku Utara mengalami pertumbuhan yang positif atau dapat dikatakan produktivitas kinerja ekonomi Provinsi Maluku Utara pada dua periode waktu tersebut mengalami kenaikan. Hal ini karena komponen share dari sektor-sektor penting atau penentu mengalami kenaikan.

Berkaitan dengan hal tersebut, secara regional Maluku Utara dapat dilihat nilai komponen proporsional shift pada sub sektor tanaman bahan makanan, pertambangan

tanpa migas, industri tanpa migas, perdagangan besar dan eceran, sewa bangunan, pemerintahan umum serta sub sektor perikanan mempunyai laju pertumbuhan ekonomi lebih rendah di bandingkan dengan laju pertumbuhan total di Provinsi Maluku Utara. Sedangkan untuk sub sektor-sub sektor seperti peternakan dan hasil-hasilnya, air bersih, hotel, restoran, komunikasi dan lembaga keuangan tanpa bank mempunyai laju pertumbuhan lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan total di Provinsi Maluku Utara.

Laju pertumbuhan ekonomi sub sektor tanaman bahan makanan, peternakan,

perikanan, sub sektor bangunan, perdagangan, restoran, sewa bangunan dan jasa

(7)

rendah dibandingkan dengan sub sektor lain. Kondisi ini menunjukan bahwa pertumbuhan rata-rata sub sektor dimaksud lebih rendah dibandingkan dengan sub sektor lainnya di Kabupaten Halmahera Utara.

Sebaliknya sub sektor hotel, lembaga keuangan tanpa bank, air bersih, listrik, komunikasi, dan bank mempunyai keunggulan kompetitif yang relatif besar, artinya sub sektor ini mempunyai laju pertumbuhan rata-rata lebih besar dibandingkan sub sektor lainnya di Halmahera Utara selama kurun waktu tahun 2000 sampai dengan tahun 2004. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa investasi pada sub sektor dimaksud akan meningkatkan daya saing yang besar dalam peningkatan perekonomian wilayah Halmahera Utara.

Tabel 15. Hasil Analisis LQ dan Shift Share tentang Sub Sektor Unggulan Komparatif dan Kompetitif di Halmahera Utara.

No. Sub Sketor

(Keunggulan Komparatif) No. Sub (Keunggulan Kompetitif) Sektor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Restoran

Industri non migas Peternakan

Tanaman Bahan Makanan Kehutanan Perkebunan Perikanan 1. 2. 3. 4. 5. 6. Hotel

Lembaga Keuangan tanpa Bank Air Bersih

Listrik Komunikasi Bank

Sumber: Diolah dari Analisis LQ dan Shift Share 2006.

Mencermati hasil analisis di atas menunjukan bahwa sektor yang mempunyai tingkat kompetitif besar masih berada pada sektor-sektor sekunder dan tersier yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal (service sectors). Kecuali sub

sektor hotel, sub sektor yang hanya berperan sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal adalah sub sektor lembaga keuangan tanpa bank, air bersih, listrik, komunikasi, dan bank. Fenomena ini menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi sebagian besar didorong oleh tingkat konsumsi yang tinggi, dan sebaliknya pengaruh investasi dan peranan sektor basis (basis sectors) masih sangat rendah. Hal ini dapat terjadi karena

sektor-sektor primer belum dikelola dengan baik. Pengelolaan sektor primer tersebut sangat tergantung pada investasi, baik yang dilakukan oleh masyarakat lokal maupun oleh swasta/ perusahaan besar.

(8)

Dalam strategi pembangunan ekonomi wilayah, pengembangan sub sektor yang mempunyai peranan sebagai sektor basis sangat penting, karena sektor basis adalah sektor yang berorientasi pada pemenuhan pasar atau permintaan luar daerah (export oriented). Dengan demikian maka, potansi pasar dari sektor basis lebih besar dari sektor

yang hanya melayani pemenuhan kebutuhan masyarakt lokal (service sectors). Untuk

itu maka, dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah Halmahera Utara sub sektor-sub sektor basis, yang mempunyai potensi supply yang besar dan potensi pasar ekspor yang besar harus di kembangkan sehingga dapat menjadi sub sektor yang memiliki tingkat keunggulan kompetitf (daya saing) yang tinggi.

Sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif tetapi tidak mempunyai daya saing tinggi (competitivnes) disebabkan oleh adanya distorsi pasar (Gonarsyah,

2001). Distorsi dapat terjadi karena adanya kebijakan pemerintah (government policy),

baik yang bersifat langsung (seperti tarif) maupun tak langsung (seperti regulasi), dan atau karena adanya ketaksempurnaan pasar (market imperfection), misalnya adanya

monopoli/ monopsoni domestik. Dalam konteks ini, jika dilihat pada hasil analisis LQ

dan shift share sebelumnya, menunjukan inkonsistensi karena sub sektor yang memiliki

keunggulan komparatif tidak satupun menjadi keunggulan kompetitif (Tabel 15), Hal ini disebabkan karena adanya distorsi pasar.

Faktor distorsi pasar diduga menjadi penyebab sub sektor-sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif di Halmahera Utara seperti restoran, industri non migas, peternakan, tanaman bahan makanan, kehutanan, perkebunan, dan perikanan, menjadi tidak memiliki keunggulan kompetitif. Kebijakan pemerintah yang bersifat langsung seperti penentuan tarif harga input produksi maupun harga output hasil produksi serta yang bersifat tak langsung seperti regulasi menjadi kendala bagi ke tujuh sub sektor tersebut untuk berkembang. Gambaran mengenai harga input yang mahal dan harga output yang murah pada sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif di Halmahera Utara menjadi cerminan bahwa adanya distorsi pasar yang di alami oleh beberapa sub sektor tersebut. Terkait dengan masalah ini perlu di teliti lebih spesifik tentang pengaruh distorsi pasar terhadap tingkat kompetitif dari sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif di Halmahera Utara.

(9)

Tabel 16. Hasil Perhitungan Analisis Shift-Share di Provinsi Maluku Utara

Pertumbuhan ekonomi Provinsi

Maluku Utara 0.14

Pergeseran Diferensial Lapangan Usaha Pergeseran Proporsional

Provinsi Maluku Utara Halut Ternate Haltim Halbar Halsel Halteng Kep.Sula Tidore

Tanaman bahan makanan -0.05 -0.05 0.05 0.18 -0.03 -0.05 0.03 0.00 0.00 Tanaman Perkebunan 0.03 -0.00 0.04 -0.01 -0.12 0.08 0.03 0.01 -0.00 Peternakan dan hasil-hasilnya 0.26 -0.03 -0.32 -0.19 10.08 -0.29 -0.19 -0.29 -0.29 Kehutanan 0.02 0.05 -0.08 -0.03 -0.09 0.01 -0.03 0.10 -0.03 Perikanan -0.04 -0.03 -0.00 0.00 -0.03 -0.02 0.10 -0.02 0.05 Pertambangan tanpa migas -0.09 - - -0.00 - - 0.00 - - Penggalian 0.09 0.02 -0.18 0.73 -0.11 -0.03 0.47 -0.05 0.10

Industri migas - - - - - -

Industri tanpa migas -0.02 -0.00 -0.07 0.13 -0.05 -0.01 0.53 -0.01 0.11 Listrik 0.10 0.27 -0.08 0.31 -0.18 0.37 0.43 0.55 0.56 Air bersih 0.60 0.53 -0.55 1.89 -0.57 0.54 2.60 0.84 1.28 Bangunan 0.02 -0.04 0.08 -0.04 -0.13 -0.04 -0.04 0.02 -0.04 Perdagangan besar dan eceran -0.01 -0.07 0.04 -0.01 -0.00 -0.00 0.07 -0.00 0.01

Hotel 0.28 2.03 -0.23 1.58 0.27 1.65 0.14 4.11 0.33 Restoran 0.16 -0.03 -0.15 -0.11 -0.17 0.25 -0.03 -0.16 -0.14 Pengangkutan 0.02 0.08 -0.01 0.19 -0.07 -0.08 0.12 -0.02 0.01 Komunikasi 0.16 0.26 -0.15 0.46 -0.19 1.22 -0.08 0.23 0.37 Bank 0.08 0.19 -0.04 0.58 -0.12 -0.00 0.64 0.24 0.22 LKTB 0.45 0.85 -0.47 1.71 -0.49 1.11 0.91 1.10 1.35 Sewa bangunan -0.01 -0.02 -0.05 0.10 -0.02 -0.01 0.10 0.15 0.10 Jasa Perusahaan 0.12 -0.17 0.19 0.30 -0.21 -0.07 0.05 -0.14 0.10 Pemerintahan Umum -0.02 0.02 0.05 -0.11 -0.05 0.09 -0.06 -0.05 -0.11 Swasta 0.02 0.14 0.02 -0.04 -0.08 -0.06 -0.04 -0.02 -0.05

(10)

5.1.2. Sub Sektor Unggulan Kepulauan Morotai

Setelah menganalisis sub sektor unggulan di Kabupaten Halmahera Utara, selanjutnya dilakukan analisis sub sektor unggulan di Kepulauan Morotai, hal ini dilakukan karena wilayah kajian dari penelitian ini dilakukan pada wilayah Kepulauan Morotai. Di sisi lain hasil analisis dalam skala kabupaten mempunyai tingkat relevansi yang kecil terhadap kondisi Kepulauan Morotai. Ketidakrelevannya keunggulan di tingkat kabupaten dengan wilayah Kepulauan Morotai karena secara umum karakteristik wilayah dan sumberdaya yang dimiliki Kepulauan Morotai sangat berbeda dengan kondisi Kabupaten Halmahera Utara. Dalam analisis keunggulan komparatif pada tingkat Kabupaten Halmahera Utara terdapat tujuh sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif yaitu sub sektor tanaman bahan makanan, sub sektor perkebunan, sub sektor peternakan, sub sektor kehutanan, sub sektor perikanan, sub sektor industri tanpa migas dan sub sektor restoran. Sedangkan dalam analisis keunggulan kompetitif yang dilakukan pada tingkat Kabupaten Halmahera Utara terdapat lima sub sektor yang mempunyai keunggulan kompetitif yaitu sub sektor hotel, sub sektor listrik, sub sektor air bersih, sub sektor komunikasi dan sub sektor lembaga keuangan tanpa bank.

Jika dipilah pada ketuju sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif pada tingkat kabupaten dan dicocokan dengan potensi sumber daya alam Kepulauan Morotai, maka yang mempunyai relevansi hanya tiga sub sektor yaitu sub sektor perkebunan, sub sektor perikanan, dan sub sektor kehutanan. Sedangkan keunggulan kompetitif pada tingkat kabupaten semuanya sangat bias bila jadikan patokan sebagai keunggulan kompetitif di wilayah Kepulauan Morotai. Untuk itu maka, dalam analisis ini karena keterbatasan data, maka analisis hanya difokuskan pada keunggulan komparatif di Kepulauan Morotai.

Namun analisis sub sektor unggulan di Kepulauan Morotai berbeda dengan analisis di tingkat Kabupaten Halmahera Utara. Perbedaan ini terletak pada metode analisis dan sumber data, hal ini karena adanya keterbatasan data tentang potensi sumberdaya alam di Kepulauan Morotai. Untuk itu maka, data yang digunakan dalam analisis sub sektor unggulan di Kepulauan Morotai, menggunakan data produksi,

(11)

penyerapan tenaga kerja, dan orientasi pasar dari komoditas/ sub sektor yang ada di Kepulauan Morotai, yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskripsi kualitatif.

Berdasarkan data kecamatan dalam angka pada ke tiga kecamatan di Kepulauan Morotai pada tahun 2003, sektor yang mempunyai aktivitas ekonomi wilayah besar di Kepulauan Morotai adalah sektor pertanian dalam arti luas, sektor ini sangat kelihatan peranannya dalam penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat yang mendiami Kepulauan Morotai seperti terlihat pada Tabel 17. Kondisi tersebut menunjukan bahwa sektor-sektor lain belum berkembang dengan baik, indikasi penyerapan tenaga kerja yang rendah pada sektor lain selain sektor pertanian menjadi sala satu fakta tersebut. Dalam sektor pertanian, sub sektor yang mempunyai penyerapan tenaga kerja besar adalah sub sektor perkebunan dan sub sektor perikanan. Komoditas yang banyak diusahakan pada Sub sektor perkebunan di Kepulauan Morotai adalah kelapa (kelapa dalam), komoditas ini diusahakan dengan pola perkebunan rakyat. Sedangkan komoditas pada sub sektor perikanan yang banyak diusahakan oleh nelayan di Kepulauan Morotai adalah ikan cakalang, rumput laut dan keramba apung kerapu hidup. Namun nelayan di Kepulauan Morotai umumnya memiliki peralatan masih tradisional dengan armada penangkapan yang berukuran kecil sampai dengan sedang. Selain itu kendala modal usaha juga menjadi masalah klasik yang masih dihadapi oleh nelayan di Kepulauan Morotai.

Tabel 17. Jumlah Keluarga Menurut Mata Pencahrian di Kepulaun Morotai Tahun 2003.

Bidang Usaha/Mata Pencahrian No. Kecamatan

Pertanian Pertambangan/

Penggalian

Industri

Pengolahan Perdagangan Jasa lainnya

1. Morotai Selatan 2.479 - 98 306 501 2. Morotai Utara 3.772 4 157 142 281 60 3. Morotai Selatan Barat 2.162 - - 100 165 - Jumlah 8.413 4 255 548 947 60

Sumber: BPS Kabupaten Maluku Utara 2004a, 2004b, dan 2004c.

Berdasarkan data produksi dan orientasi ekspor untuk beberapa komoditas di Kepulauan Morotai (Tabel 18), terlihat bahwa sub sektor perikanan, sub sektor

(12)

perkebunan, dan sub sektor kehutanan mempunyai peranan yang besar dalam perekonomian di Kepulauan Morotai. Komoditas pada ketiga sub sektor tersebut mempunyai orientasi ekspor, baik yang berorientasi pada pasar regional, nasional, dan pasar internasional. Dari perkembangan produksi dan orientasi pasar tersebut dapat disimpulkan bahwa sub sektor perikanan, sub sektor perkebunan dan sub sektor kehutanan merupakan sub sektor atau sektor yang mempunyai keunggulan komparatif di Kepulauan Morotai. Dengan potensi yang besar produk dari ketiga sub sektor dimaksud selama ini dapat memenuhi kebutuhan/ permintaan daerah lain, dalam konteks ini tentu terdapat aliran nilai tambah yang besar mengalir dari luar Kepulauan Morotai ke dalam wilayah Kepulauan Morotai.

Tabel 18. Komoditas Unggulan Tiga Sub Sektor di Kepulauan Morotai Kabupaten Halmahera Utara. Tahun Jenis Komoditi 2002 2003 2004 2005 Daerah Tujuan

Cakalang (Ton) 550 670 810 - Jakarta, Banyuwangi

Kerapu (Ton) 8,3 8,5 9,2 9,6 Hongkong

R. Laut (Ton) 350 335 320 300 Manado, Surabaya

Kopra (Ton) 5.321 4.213 6.139 6.865 Tobelo, Manado

Kayu G. (Ton) 2.637 2.765 2.936 3.281 Kalimantan

Sumber: Diolah dari data primer dan sekunder, 2006.

Menurut Gonarsyah (2001), keunggulan komparatif dicirikan oleh rendahnya biaya relatif di tingkat produsen, hal ini dapat terjadi karena adanya keunggulan statik

(static advantage) akibat relatif kaya akan sumberdaya alam tertentu, sumberdaya

manusia dan lokasi yang strategis; atau karena adanya keunggulan pembelajaran (learning advantage) yang bersifat dinamik, yang diperolah dari proses pendidikan,

pelatihan, pengalaman dan penelitian; atau kombinasi dari keunggulan statik dan keunggulan pembelajaran (termasuk kearifan tradisional).

Jika didasarkan pada pemikiran Gonarsyah (2001) dengan asumsi bahwa sektor unggulan adalah sektor atau sub sektor yang mempunyai tinggkat supply dan demand komoditas tertentu yang tinggi, berorientasi pada pasar ekspor, serta mempunyai penyerapan tenaga kerja yang besar, maka dapat disimpulkan sub sektor perikanan dan

(13)

perkebunan adalah sub sektor unggulan di Kepulauan Morotai, karena kedua sub sektor ini memiliki tingkat supply demand yang besar, berorientasi ekspor serta mempunyai tingkat penyerapan tenaga kerja yang besar. Sedangkan sub sektor kehutanan memang mempunyai komoditas kayu gelondongan dengan potensi supply demand yang besar tetapi sumber daya ini mempunyai keterbatasan produksi dan resiko terhadap kerusakan lingkungan cukup tinggi, di sisi lain sub sektor ini mempunyai penyerapan tenaga kerja sangat kecil karena diusahakan dengan menggunakan sistem HPHH yang produksinya menggunakan teknologi tinggi atau peralatan mesin dan alat berat.

Apabila dilihat dalam perspektif jangka panjang, prospek kedua sub sektor antara sub sektor perikanan dan sub sektor perkebunan di Kepulauan Morotai maka keduanya mempunyai prospek yang sama-sama menjanjikan, karena sama-sama memiliki basis sumberdaya yang besar. Tetapi dalam konteks peranan komoditas pada setiap sub sektor, maka hanya ada komoditas tertentu yang memiliki peranan dominan dalam kedua sub sektor tersebut. Untuk sub sektor perkebunan komoditas kelapa merupakan komoditas yang sangat potensial dan prospektif, sementara untuk sub sektor perikanan komoditas cakalang mempunyai potensi dan prospek yang lebih baik.

Walaupun kedua sub sektor tersebut mempunyai peranan yang besar sebagai sektor basis di Kepulauan Morotai, namun barang yang diekspor masih dalam bentuk bahan baku. Pada sub sektor perikanan masih dalam bentuk ikan cakalang segar, dan sub sektor perkebunan masih dalam bentuk kopra (Tabel 18). Dari kondisi tersebut terlihat bahwa sub sektor-sub sektor tersebut walaupun berperanan besar namun belum optimal karena aktivitas ekonominya masih berada pada sektor primer. Untuk itu yang harus dilakukan adalah bagaimana sektor industri (manufacturing) dikembangkan untuk

mendukung kedua sub sektor tersebut, sehingga dapat menimbulkan multi player effect

yang lebih besar di Kepulauan Morotai sehingga dapat menekan tingkat kebocoran wilayah atau setidaknya dapat menekan aliran nilai tambah ekonomi yang mengalir ke luar dari Kepulauan Morotai, sekaligus dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru dan mengurangi kesenjangan antar wilayah.

(14)

5.2. Hirarki Perkembangan Wilayah

Analisis hirarki perkembangan wilayah di Halmahera Utara dalam penelitian ini dilakukan dalam dua aspek, yang pertama dilakukan analisis terhadap kapasitas pelayanan perikanan tangkap dengan berbasis pada wilayah kecamatan, dan yang kedua analisis pusat pelayanan desa dengan berbasis pada wilayah desa.

5.2.1. Hirarki/kapasitas Pelayanan Perikanan Tangkap

Analisis hirarki/kapasitas pelayanan perikanan tangkap di Halmahera Utara di lakukan dengan tujuan untuk menganalisis hirarki dan kapasitas pelayanan perikanan tangkap yang terdapat di Halmahera Utara dengan berbasis pada wilayah kecamatan, sehingga dapat mengetahui di mana pusat-pusat pelayanan perikanan tangkap tersebut. Dalam analisis ini variabel yang dipakai adalah perahu tanpa motor (PTM), perahu motor tempel (PMT), kapal motor (KM), jumlah unit penangkapan, dan keberadaan perusahaan perikanan tangkap.

Setelah dilakukan analisis hanya terdapat dua kategori hirarki perkembangan wilayah dalam aspek kapasitas pelayanan perikanan tangkap, yaitu tinggi dan rendah. Kondisi ini menunjukan bahwa ada ketimpangan yang besar antara kecamatan di Halmahera Utara dalam hal ketersediaan fasilitas perikanan tangkap, hal ini dapat dilihat pada range antara hirarki yang sangat besar yaitu empat koma empat (4.4), sementara total nilai indeks yang diperoleh pada kecamatan-kecamatan mempunyai perbedaan yang sangat besar antara 0.2190 sampai dengan 9.2279.

Ketimpangan indeks fasilitas perikanan tangkap yang berbasis pada wilayah kecamatan di Halmahera Utara, disebabkan oleh distribusi fasilitas perikanan tangkap yang tidak merata antar wilayah kecamatan. Padahal dengan karakteristik wilayah Halmahera Utara yang berbentuk pulau-pulau kecil dan pesisir, serta potensi sumberdaya perikanan yang besar semestinya pengelolaan sumberdaya ini harus didukung oleh fasilitas perikanan tangkap yang merata. Mengapa ketimpangan fasilitas bisa terjadi, karena orientasi kegiatan ekonomi sebagian masyarakat di Halmahera Utara masih mempunyai orientasi pada wilayah daratan dengan aktivitas ekonomi pada sub sektor perkebunan, dan hanya pada wilayah-wilayah tertentu saja yang mempunyai

(15)

orientasi ekonomi masyarakatnya pada pengelolaan sumberdaya perikanan. Salah satu bukti yaitu dengan tingginya ketersediaan fasilitas perikanan tangkap.

Berdasarkan hasil analisis hirarki yang tertinggi terdapat di Kecamatan Morotai Selatan dengan total nilai sebesar sembilan koma dua (9.2), kondisi ini terjadi karena pada wilayah tersebut mempunyai jumlah jenis prasarana dan fasilitas perikanan tangkap yang lebih banyak dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Salah satu fasilitas yang menonjol adalah perusahaan perikanan, perusahaan ini berfungsi sebagai pembeli hasil perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang (cold storage). Perusahaan

tersebut adalah PT. Primarefa Indo yang mengekspor komoditas cakalang ke Banyuwangi dan Jakarta. Sedangkan pada wilayah kecamatan yang lain di Halmahera Utara tidak terdapat perusahaan yang menampung hasil perikanan tangkap komoditas cakalang tersebut. Selain variabel perusahaan perikanan, untuk variabel PTM, PMT, KM dan jumlah unit penangkapan, terdapat perbedaan nilai yang relatif kecil artinya fasilitas-fasilitas tersebut mempunyai tingkat penyebaran yang relatif sama di semua kecamatan.

Tabel 19. Hirarki/Kapasitas Pelayanan Fasilitas Perikanan Tangkap di Halmahera Utara TYPE PERAHU / KAPAL (unit)

No Nama Kecamatan PTM PMT KM JUMLAH UNIT PENANG- KAPAN Perusahaan Perikanan Tangkap Total Hirarki 1 GALELA 0.2599 0.0628 0.0000 0.3379 0.0000 0.6606 Rendah 2 K A O 0.2975 0.0830 0.0000 0.0941 0.0000 0.4745 Rendah

3 LOLODA UTARA 0.2077 0.0434 0.0000 0.2161 0.0000 0.4672 Rendah

4 MALIFUT 0.2300 0.0267 0.0000 0.4800 0.0000 0.7367 Rendah 5 MOROTAI SELATAN 0.0000 0.0600 0.0084 0.1595 9.0000 9.2279 Tinggi

6 MOROTAI UTARA 0.1117 0.0261 0.0000 0.1160 0.0000 0.2539 Rendah 7 MORSELBAR 0.1092 0.0174 0.0000 0.0924 0.0000 0.2190 Rendah 8 TOBELO 0.1013 0.0660 0.0000 0.7360 0.0000 0.9033 Rendah 9 TOBELO SELATAN 0.1730 0.0430 0.0121 0.1124 0.0000 0.3405 Rendah

Sumber: Diolah dari data Dinas Perikanan Kabupaten Halmahera Utara 2006.

5.2.2. Desa-Desa Pusat Pelayanan

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pusat-pusat pelayanan di Halmahera Utara pada tingkat desa, sehingga dapat diketahui tingkat/ hirarki perkembangan wilayah. Dalam analisis ini data yang digunakan adalah data Potensi Desa (Podes) Tahun 2005, dengan variabel-variabel prasarana sosial dan prasarana ekonomi.

(16)

Hasil analisis skalogram menunjukan ada tiga hirarki pusat pelayanan di Halmahera Utara, yaitu hirarki tinggi, sedang dan rendah. Artinya bahwa dalam perkembangan wilayah di Halmahera Utara ada wilayah yang berfungsi sebagai pusat, ada yang berfungsi sebagai daerah antara (kota menengah) dan ada yang berfungsi sebagai daerah hinterland. Dari 181 desa yang ada di Kabupaten Halmahera Utara terdapat 14 (7.74%) desa yang berhirarki tinggi, 54 (29.83%) desa yang berhirarki sedang, dan 113 (62.43%) desa yang berhirarki rendah. Dari 14 desa berhirarki tinggi terdistribusi di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Tobelo sebanyak 4 desa, Kecamatan Galela terdapat 2 desa, Kecamatan Kao sebanyak 2 desa, Kecamatan Morotai Selatan sebanyak 2 desa dan Kecamatan Morotai Selatan Barat terdapat 4 desa.

Empat desa berhirarki tinggi di Kecamatan Tobelo adalah desa-desa yang berada di pusat Kota Tobelo sebagai Ibu Kota Kabupaten Halmahera Utara. Karena berada di pusat kota, desa-desa tersebut mempunyai prasarana dan sarana pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang memadai. Selain itu juga pada Kecamatan Galela dan Kao desa yang mempunyai indeks perkembangan desa tinggi merupakan desa-desa yang berada di pusat ibu kota kecamatan.

Untuk wilayah Kepulauan Morotai desa-desa yang berhirarki tinggi terletak di 2 kecamatan yaitu Kecamatan Morotai Selatan terdapat 2 desa yaitu Desa Daruba dan Desa Gotalamo, sedangkan di Kecamatan Morotai Selatan Barat terdapat 4 desa yaitu Desa Posi-Posi Rao, Desa Leo-Leo, Desa Tiley, dan Desa Lou Mandoro, sehingga secara keseluruhan jumlah desa yang memiliki hirarki tinggi di Kepulauan Morotai berjumlah 6 desa.

Berdasarkan pada hasil analisis desa-desa pusat pelayanan (Tabel 20), menunjukan bahwa ke enam desa di Kepulauan Morotai yang memiliki indeks perkembangan desa (IPD) paling tinggi adalah Desa Posi-Posi Rao dengan IPD sebesar 10.954, desa ini terletak di Kecamatan Morotai Selatan Barat dan bukan sebagai pusat pelayanan yang sesungguhnya di Kepulauan Morotai, sementara Desa Daruba yang terletak di Kecamatan Morotai Selatan yang merupakan pusat pelayanan wilayah sesungguhnya di Kepulauan Morotai memiliki nilai IPD sebesar 9.096, atau urutan ke 3 dari 6 desa yang memiliki hirarki tinggi di Kepulauan Morotai. Dengan itu maka pertanyaannya mengapa Desa Posi-Posi Rao memiliki hirarki yang tinggi di bandingkan

(17)

dengan Desa Daruba, hal ini karena hasil tersebut didasarkan pada teknik pembobotan fasilitas dalam metode skalogram. Namun, jika menggunakan pendekatan jumlah jenis fasilitas dan jumlah unit fasilitas maka sesungguhnya nomor 1 di Kepulauan Morotai adalah Desa Daruba, karena Desa Daruba memiliki Jumlah jenis Fasilitas sebanyak 28 dan Jumlah unit fasilitas sebanyak 116, sedangkan Desa Posi-Posi hanya memiliki jumlah jenis fasilitas sebanyak 13 dan jumlah unit fasilitas sebanyak 95. Dalam konteks ini jumlah jenis fasilitas lebih mempunyai arti penting dalam peranan sebagai pusat pelayanan dari pada jumlah unit fasilitas.

Sebagai pusat pelayanan di Kepulauan Morotai, jika ditinjau dari aspek sistem produksi suatu barang dan jasa, Desa Daruba memiliki fasilitas dalam memproduksi barang dan jasa yang memiliki range of good dan treshold yang cukup tinggi.

Ketersediaan fasilitas dalam memproduksi barang dan jasa di Desa Daruba memiliki

range dengan daerah pelayanan yang luas yang mencakup seluruh wilayah Kepulauan

Morotai. Kemudian juga Desa Daruba memiliki fasilitas dalam memproduksi barang dan jasa yang memiliki treshold volume penawaran yang besar untuk melayani

permintaan akan barang dan jasa di Kepulauan Morotai.

Tabel 20. Struktur Pusat-Pusat Pelayanan di Halmahera Utara di Ambil untuk Ranking Tertinggi

Hirarki Berdasarkan

No Nama Kecamatan Nama Desa IPD

IPD

1 2 3 4 5

1 TOBELO PERSIAPAN RAWAJA 27983 Tinggi 2 TOBELO GAMSUNGI 27867 Tinggi 3 TOBELO PERSIAPAN GOSOMA 14708 Tinggi 4 MOROTAI SELATAN BARAT POSI POSI RAO 10954 Tinggi 5 MOROTAI SELATAN BARAT LEO LEO 10588 Tinggi 6 GALELA SOA SIO 10187 Tinggi 7 MOROTAI SELATAN DARUBA 9096 Tinggi 8 TOBELO GURA 8927 Tinggi 9 MOROTAI SELATAN BARAT TILEY 8136 Tinggi 10 KAO SASUR 7745 Tinggi 11 MOROTAI SELATAN GOTALAMO 7006 Tinggi 12 KAO DORO 6983 Tinggi 13 MOROTAI SELATAN BARAT LOU MADORO 6641 Tinggi 14 GALELA JERE 6376 Tinggi

(18)

5.2.3. Arahan Pusat Pelayanan Perikanan di Halmahera Utara

Berdasarkan analisis hirarki/ pusat pelayanan perikanan tangkap dan desa-desa pusat pelayanan di Kabupaten Halmahera Utara, yang selanjutnya dilakukan overlay

antara kedua analisis wilayah tersebut secara spasial dengan maksud untuk mendapatkan arahan pengembangan pusat pelayanan perikanan tangkap di Halmahera Utara. Dari analisis pusat pelayanan perikanan tangkap hanya terdapat satu wilayah kecamatan yang mempunyai hirarki tinggi yaitu Kecamatan Morotai Selatan. Sedangkan untuk menentukan pusat pelayanan di Kecamatan Morotai Selatan, ditentukan berdasarkan analisis desa pusat pelayanan. Menurut hasil analisis desa-desa pusat pelayanan di Kecamatan Morotai Selatan, desa yang mempunyai hiararki tinggi adalah Desa Daruba dan Desa Gotalamo. Kedua desa ini berada dalam satu kawasan sebagai pusat kota di Kecamatan Morotai Selatan.

Hasil analisis ini sangat realistis karena kedua desa tersebut selain sebagai pusat kota di Kepulauan Morotai juga sebagai pusat pelayanan dalam berbagai aktivitas masyarakat. Desa Daruba dan Desa Gotalamo memiliki infrastruktur sosial ekonomi yang cukup lengkap. Selain itu, kawasan ini juga memiliki aksesibilitas kawasan yang sangat tinggi baik ke Ibu Kota Provinsi yaitu Kota Ternate, Ibu Kabupaten yaitu Kota Tobelo dan juga ke Ibu Kota Kecamatan dalam lingkup wilayah Kepulauan Morotai, dengan beberapa moda transportasi diantaranya kapal penyebrangan ferry, pelaran rakyat, dan penerbangan perintis yang menghubungkan Kota Daruba dengan Kota Tobelo (melalui bandara Galela), serta Kota Daruba dengan Kota Ternate. Selain itu juga di Desa Daruba terdapat perusahaan perikanan PT. Primarefa Indo, sebagai satu-satunya perusahaan perikanan cakalang yang ada di Kabupaten Halmahera Utara, yang kegiatan utamanya adalah sebagai penampung hasil-hasil perikanan tangkap cakalang dari nelayan di Kepulauan Morotai dan sekitarnya, kemudian komoditas cakalang tersebut diekspor ke Banyuwangi dan Jakarta.

Dengan hasil analisis tersebut di atas maka arahan pengembangan pusat perikanan di Halmahera Utara layak di arahkan di Desa Daruba dan Desa Gotalamo Kecamatan Morotai Selatan. Namun mengingat kedua desa ini juga merupakan pusat kota, maka penentuan lokasi harus dipertimbangan dari aspek teknis seperti daya

(19)

dukung lahan, dampak lingkungan, aspek sosial budaya, aksesibilitas, dan lain sebagainya.

5.3. Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai

Kepulauan Morotai adalah gugusan pulau-pulau kecil di Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara yang terletak pada wilayah perbatasan antar negara yaitu antara Indonesia dengan Republik Palau di kawasan pasifik. Letaknya tersebut sangat potensial dalam konteks sumberdaya perikanan tangkap, karena wilayah ini dilalui oleh pola arus dari samudra pasifik dan migrasi ikan cakalang dari laut pasifik ke laut Halmahera dan laut Maluku yang melalui perairan Kepulauan Morotai.

Menurut hasil penelitian Arifin (2006), menyimpulkan bahwa kepulauan Morotai merupakan daerah penangkapan ikan (DPI) cakalang yang potensial di Laut Maluku. Sehingga walaupun pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Kepulauan Morotai sangat beragam yang terdiri dari beberapa komoditas, namun yang paling dominan adalah usaha perikanan tangkap komoditas cakalang. Usaha ini dikatakan dominan karena disetiap desa nelayan di Kepulauan Morotai usaha perikanannya adalah usaha perikanan tangkap cakalang dan usahanya sudah berorientasi ke pasar regional/ antar pulau.

Kegiatan penangkapan cakalang di perairan Kepulauan Morotai merupakan salah satu usaha andalan masyarakat nelayan di Kepulauan Morotai, selain karena di perairan tersebut mempunyai potensi komoditas cakalang yang besar, usaha ini juga sudah menjadi tradisi masyarakat di Kepulauan Morotai, namun sampai saat ini pemanfaatannya belum optimal karena ada kelemahan kelembagaan yang mengelolah sumberdaya tersebut. Kondisi ini berdampak pada beberapa keterbatasan seperti modal usaha yang kecil, peralatan penangkapan yang masih tradisional, armada penangkapan yang kecil, jumlah hari trip yang kecil dan lemahnya manajemen usaha.

Penangkapan ikan cakalang di Kepulaun Morotai dilakukan pada wilayah tanpa alat rumpon dan wilayah yang mempunyai alat rumpon, namun lebih banyak nelayan melakukan penangkapan di wilayah yang mempunyai alat rumpon, dengan jarak penangkapan antara 3 sampai dengan 12 mil laut. Umumnya nelayan perikanan tangkap cakalang di Kepulauan Morotai menggunakan alat tangkap huhate (pole and line), dan

(20)

sampai dengan perahu yang berkapasitas 5 ton, armada-armada tersebut ada yang menggunakan mesin ketinting dan diesel TS yang dimodifikasi untuk armada perikanan dengan jumlah ABK antara 2-3 orang, serta armada besar yang menggunakan Motor Tempel Yamaha enduro 40 PK dan mesin dalam dengan jumlah ABK antara 8 sampai dengan 12 orang.

Dengan pemanfaatan perikanan tangkap yang disampaikan di atas hasil yang diperoleh masih belum optimal karena rata-rata jumlah ikan yang ditangkap untuk nelayan yang menggunakan armada kecil sebesar 69,78 kg per trip dan untuk armada besar rata-rata dalam satu kali trip sebesar 411,67 kg.

Ada beberapa kendala yang menyebabkan nelayan di Kepulauan Morotai mempunyai hasil tangkapan yang kecil antara lain, Pertama; tingginya harga BBM

merupakan salah satu kendala yang sangat dirasakan oleh nelayan di Kepulauan Morotai. Dengan tipologi wilayah kepulauan dan aksesibilitas antar desa yang rendah menyebabkan harga BBM antara desa satu dengan desa yang lainnya sangat berbeda, kisaran harga BBM di Kepulauan Morotai antara Rp. 5500/lt sampai dengan Rp. 7000/lt. Kedua; rendahnya harga ikan. Ketiga; banyaknya nelayan asing yang

melakukan penangkapan di wilayah perairan Kepulauan Morotai. Ada nelayan asing yang mempunyai izin operasi di daerah lain seperti di Sulawesi Utara, ada yang memang tanpa izin sama sekali yang berasal dari negara Fhilipina dan Taiwan.

5.3.1. Aspek Biologi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Cakalang

Data pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang dalam analisis ini dibuat dalam 6 titik waktu mulai dari tahun 1999 – 2004. Selama periode 1999 sampai dengan 2004, hasil tangkapan atau produksi (catch) dan hasil per unit penangkapan (CPUE)

perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai untuk alat tangkap Pole and Line dan Hand Line berfluktuasi seperti terlihat pada Tabel 21.

Dari Tabel 21, menunjukan bahwa hasil tangkapan tertinggi terdapat pada tahun 2004 yaitu sebesar 810 ton dengan intensitas penangkapan 2.642 trip, sedangkan terendah terjadi pada tahun 2000 dengan produksi sebesar 350 ton dan upaya penangkapan sebesar 958 trip. Sementara itu fluktuasi pertumbuhan produksi (catch)

tertinggi terdapat pada tahun 2001 yaitu sebesar 105.71% dan fluktuasi terendah terjadi pada tahun 2000 yaitu -46.15%.

(21)

Tabel 21. Fluktuasi Catch, Effort dan CPUE Cakalang selama periode 1999 – 2004 di Kepulauan Morotai.

Total Hasil Upaya Penangkapan Baku (Trip) Total Effort CPUE

Tahun Tangkapan Trip Kg/Trip

Kg Pole and Line Hand Line (X) (Y)

1999 650000 1698 82.16 1780.16 365.14 2000 350000 912 46.56 958.56 365.13 2001 720000 2210 130.00 2340.00 307.69 2002 550000 1553 121.80 1674.80 328.40 2003 670000 1843 164.82 2007.82 333.70 2004 810000 2408 234.01 2642.01 306.59

Sumber: Diolah dari Data Produksi PT. Primarefa Indo Morotai 2006

Upaya penangkapan (effort) juga mengalami fluktuasi selama kurun waktu 1999

– 2004. Selama 6 titik waktu tersebut, pada tahun 2001 terjadi kenaikan upaya penangkapan (effort) yang tertinggi, yaitu sebesar 144.12%. Sedangkan penurunan effort yang terbesar terjadi pada tahun 2000 yaitu mencapai -46.15%. Penurunan upaya

penangkapan (effort) pada tahun 2000 disebabkan oleh dampak konflik yang terjadi

pada bulan Desember tahun 1999.

Nilai Catch Per Unit Effort (CPUE) merupakan jumlah tangkapan per satuan upaya penangkapan. Nilai CPUE mempunyai hubungan yang negatif terhadap nilai

effort, artinya semakin tinggi nilai effort maka nilai CPUE semakin berkurang atau

produktivitas alat tangkap yang digunakan akan berkurang jika dilakukan penambahan

effort. Berdasarkan hasil olahan data yang diperoleh dari PT. Primareva Indo Morotai

nilai CPUE tertinggi dalam kurung waktu 1999 – 2004 terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 6.73%. Nilai CPUE terendah terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar -15.73%, hal ini terjadi karena pada tahun tersebut terjadi peningkatan effort seiring dengan

kondisi keamanan pasca konflik yang mulai kondusif.

5.3.2. Fungsi Produksi Lestari Komoditas Cakalang

Fungsi produksi lestari (maximum sustainable yield) merupakan hubungan

antara hasil tangkapan dengan upaya penangkapan dalam bentuk kuadratik, dimana tingkat effort maupun hasil tangkapan yang diperoleh tidak akan mengancam kelestarian

sumberdaya perikanan. Pendekatan dengan menggunakan fungsi produksi ini menggambarkan bahwa jika effort dinaikkan maka produksi juga akan naik dengan

(22)

metode analisis regresi linier antara upaya penangkapan (E) sebagai variabel independent (X) dan CPUE sebagai variabel dipendent (Y) akan diperoleh koefisien regresi α dan β yang merupakan penduga fungsi produksi lestari perikanan khususnya komoditas Cakalang dengan persamaan h = αE – βE2 di mana h adalah hasil tangkapan (kg) sedangkan E adalah tingkat upaya penangkapan (trip).

Hasil pengolahan data dengan menggunakan metode regresi linier (ols), menunjukan nilai koefisien regresi α = 405.39 dan β = -0.0373, sehingga persamaan fungsi produksi lestari perikanan komoditas Cakalang di Kepulauan Morotai adalah h = 405.39E – 0.03731E2. Berdasarkan persamaan tersebut maka tingkat upaya

penangkapan untuk mencapai produksi maksimum lestari (Emsy) sebanyak 5.434,18 trip dan menghasilkan tingkat produksi maksimum (hmsy) sebesar 1.101.481,58 kg/trip/tahun. Dengan demikian kondisi pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang di Kepulauan Morotai belum melampaui batas maksimum lestari karena secara aktual effort baru mencapai 2.642,01 trip dengan

produksi sebesar 810.000 kg/trip/tahun.

5.3.3. Aspek Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya perikanan Cakalang

Aspek utama dalam penelitian ini adalah terkait dengan struktur biaya dari usaha perikanan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang. Struktur biaya ini diperoleh dari data primer melalui wawancara langsung dengan responden. Struktur biaya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang di Kepulauan Morotai dikategorikan dalam bentuk: (1) biaya tetap (fixed cost) yang meliputi biaya penyusutan beserta material penunjangnya,

biaya perawatan, perizinan, dan lain-lainnya yang bersifat tetap setiap tahun; dan (2) biaya tidak tetap (variable cost) yang besarnya selalu berfluktuasi dan habis dipakai

pada setiap operasi penangkapan, seperti biaya bahan bakar minyak (BBM dan pelumas), serta biaya konsumsi.

Pembahasan mengenai struktur biaya penangkapan adalah dengan merujuk pada model bioekonomi Gordon-Schaefer yang mengasumsikan bahwa hanya biaya penangkapan (operasional) yang akan diperhitungkan. Biaya penangkapan tersebut dapat diartikan sebagai biaya tidak tetap (variable cost) yang dikeluarkan setiap trip

(23)

diperlukan bagi analisis rente ekonomi dari sumber daya di wilayah penelitian, dimana

diketahui bahwa biaya rata-rata setiap trip penangkapan ikan dengan alat tangkap pole and line dan hand line adalah sebesar Rp. 450.000.

Sesuai dengan asumsi yang dianut dalam model Gordon-Schaefer, harga persatuan output (produksi) adalah konstan. Harga produksi dihitung berdasarkan rata-rata harga jual tangkapan responden pada waktu penelitian dilaksanakan. Harga jual ikan cakalang menurut responden berkisar antara Rp. 2500 sampai dengan Rp. 3.500 dengan harga rata-rata (p) sebesar Rp. 3000 per kg.

TC

TR oa

Gambar 6. Kurva Penerimaan Total dan Biaya Total

5.3.4. Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Komoditas Cakalang

Kajian optimasi pemanfaatan sumber daya perikanan laut secara lestari baik dari aspek biologi maupun ekonomi dalam penelitian ini bioekonomi model Gordon-Schaefer yang bertitik tolak pada pendekatan faktor input. Pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya perikanan melalui pendekatan bioekonomik dilakukan melalui pendekatan analitik. Hasil olahan optimasi bioekonomi pada berbagai kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai selama periode 1999 – 2004 dapat dilihat pada Tabel 22 berikut ini.

msy mey aktual TC TR oa aktual TC MSY MEY oa aktual TR

(24)

Tabel 22. Optimasi Bioekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai selama periode 1999 – 2004

Kondisi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Variabel

Aktual Lestari (MSY) Open Access Optimasi (MEY) Upaya Penangkapan (Effort) 2.642,01 5.434,18 6.846,92 3.423,46 Hasil Tangkapan (Kg) 810.000 1.101.481,58 1.027.037,53 950.667,29 Rente Ekonomi (Rp) 1.241.095.500 859.062.712 0 1.311.475.579

Sumber: Analisis Bioekonomi 2006

Kondisi Aktual dan Lestari

Upaya penangkapan atau effort pada kondisi aktual yang digunakan nelayan

adalah sebesar 2.642 trip/tahun dengan catch sebesar 810.000 kg, sedangkan pada

kondisi lestari effortnya sebesar 5.434,18 trip/tahun dengan volume hasil tangkapan

sebesar 1.101.481,58 kg , hal ini membuktikan bahwa pada kondisi lestari jumlah effort

yang digunakan melebihi dari kondisi aktual sehingga hasil tangkapannya juga lebih tinggi dari kondisi aktual tersebut. Demandan effort yang besar tersebut berimplikasi

pada besar biaya operasional yang harus dikeluarkan, sehingga rente ekonomi yang diperoleh para nelayan pada kondisi lestari setiap tahun sebesar Rp. 859.062.712,- sementara pada kondisi aktual sebesar Rp. 1.241.095.500,-

Dengan keuntungan yang diperoleh tersebut nelayan perikanan cakalang akan cenderung melakukan eksploitasi sumberdaya perikanan. Apabila eksploitasi dilakukan terus menerus tanpa memikirkan aspek konservasi maupun kelestarian stok sumberdaya berserta lingkungan perairannya, akan berakibat punahnya semberdaya tersebut sehingga dengan cepat merangsang terjadinya kepunahan. Implikasi proses pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan tersebut adalah adanya kelangkaan sumberdaya (resources scarcity). Kondisi tersebut tergambar dari meningkatnya harga komoditas, serta biaya

ekstraksi (cost) yang diperlukan. Kondisi tersebut perlu dicegah, karena berdampak

pada proses penurunan sumberdaya (resources depletion), sementara dari sisi konsumen

juga mengalami kerugian karena tingginya harga produk. Jika dibandingkan dengan kondisi aktual, jumlah upaya penangkapan (effort) dan hasilnya (catch), maka

pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkapan komoditas cakalang secara aktual di Kepulauan Morotai masih berada jauh pada titik hasil tangkapan lestari. Hal ini disebabkan karena peralatan penangkapan yang digunakan di Kepulauan Morotai masih dalam skala kecil baik kapasitas maupun tingkat teknologinya.

(25)

Kondisi Akses Terbuka

Teori ekonomi menyangkut perikanan open access atau common property telah

dikembangkan oleh Gordon sejak tahun 1954. Open access didefinisikan dengan

seseorang atau pelaku perikanan yang mengeksploitasi sumberdaya secara tidak terkontrol atau dengan kata lain setiap orang dapat memanen sumberdaya tersebut (Clark, 1990). Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang terjadi selama ini pada umumnya bersifat akses terbuka, tidak terkecuali hal ini juga terjadi di wilayah perairan Kepulauan Morotai. Kondisi open access ini memungkinkan semua pihak dengan bebas

melakukan upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan (every one’s property is no one’s property), namun sedikit dari mereka yang memperhatikan pemulihan atau konservasi

dari sumberdaya tersebut. Hal ini dikarenakan tidak adanya kepemilikan yang jelas dari sumberdaya perikanan tangkap. Di samping itu, tidak terdapat regulasi yang jelas seperti adanya pembatasan kuota dalam mengeksploitasi sumberdaya tersebut, sehingga para pelaku cenderung memaksimalkan hasil tangkapannya dengan meningkatkan upaya penangkapan guna memperoleh keuntungan yang lebih besar, karena menurut hukum permintaan dan penawaran, jika terjadi over supply maka akan terjadi penurunan

harga, hal ini akan diikuti dengan peningkatan permintaan konsumen terhadap komoditas tersebut. Kondisi ini akan berpengaruh pada penurunan jumlah stok sumberdaya perikanan dan pada gilirannya dapat mengancam keberlanjutan komoditas dan pelaku usaha tersebut.

Jika diasumsikan tingkat teknologi dan efisiensi usaha para nelayan pemanfaatan perikanan adalah sama, jika telah melampaui tingkat keseimbangan open access,

keuntungan yang diperoleh nelayan mencapai titik maksimum (π = 0), sebaliknya jika teknologi dan efisiensi usaha heterogen, maka terjadi persaingan usaha penangkapan sehingga hanya nelayan dengan teknologi dan efisiensi usaha yang tinggi yang akan

“survive” dan memperoleh keuntungan maksimum dari pemanfaatan sumberdaya

tersebut. Sedangkan nelayan kecil pasti tersisih dari usaha perikana tersebut. Berdasarkan data pada Tabel 22 di atas, hasil optimasi data dapat diketahui bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang di perairan Kepulauan Morotai pada kondisi open access memperlihatkan bahwa tingkat effort

(26)

sebesar 1.027.037,53 kg per tahun di mana keuntungan yang diterima sama dengan nol (TR = TC).

Dengan demikian, situasi yang terjadi pada kondisi tersebut akan merujuk pada dua argumen sebagai berikut : (1) Jika upaya penagkapan yang digunakan menghasilkan suatu keadaan dimana total cost lebih tinggi dari total revenue maka nelayan akan

kehilangan penerimaannya dalam mengambil sumberdaya perikanan atau akan keluar dari usaha tersebut. (2) Jika upaya penangkapan yang digunakan menghasilkan suatu keadaan dimana total revenue yang diterima lebih besar dari total cost, maka nelayan

akan tertarik untuk melakukan eksploitasi dengan meningkatkan upaya penangkapannya.

Kondisi Optimal (Maximum Economic Yield)

Kondisi optimum atau maximum economic yield (MEY) berperan penting dalam

penentuan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari baik dari aspek biologi maupun aspek ekonomi. Hasil perhitungan optimasi perikanan menunjukan bahwa baik effort maupun hasil tangkapan pada kondisi optimal lebih

rendah dari kondisi lestari maupun open access, yakni effort sebesar 3.423,46trip/tahun,

sedangkan produksi sebesar 950.667,29/tahun. Namun dilihat dari nilai rente ekonomi pada kondisi MEY justru mempunyai nilai keuntungan tertinggi terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang di Kepulauan Morotai yaitu sebesar Rp. 1.311.475.579,-

5.3.5. Sensitivitas Sumberdaya perikanan Cakalang

Analisis sensitivitas pemanfaaatn sumberdaya cakalang dikembangkan untuk melihat perubahan yang akan terjadi pada harga jika terjadi kenaikan maupun penurunan. Dalam analisis sensitivitas ini dilakukan perubahan hanya pada faktor ekonomis yakni perubahan harga dalam hal ini harga input (biaya operasional per trip) dan harga output (harga ikan) terhadap peningkatan upaya penangkapan dan produksi pada kondisi open access. Hal ini dikarenakan harga merupakan faktor yang dinamis

yang selalu mengalami pergerakan, selain itu untuk mengatasi keterbatasan data sekunder yang meliputi produksi perikanan tangkap laut, jumlah alat tangkap dan harga hasil tangkapan per tahun maka disusunlah skenario kenaikan dan penurunannya.

(27)

Kenaikan dan penurunan tersebut akan dibandingkan dengan kondisi awal upaya penangkapan dan hasil sumberdaya perikanan pada kondisi open access.

Tabel 23. Skenario Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara.

No. Skenario Eoa Hoa

1 Kondisi awal 6.846,92 1.027.037,53

2 Harga Ikan Naik 10 % 7.212,50 983.523,14

3 Harga Ikan Naik 20 % 7.517,16 939.644,77

4 Harga Ikan Turun 10 % 6.400,09 1.066.681,56

5 Harga Ikan Turun 20 % 5.841,55 1.095.291,55

6 Harga Input Naik 10 % 6.444,77 1.063.387,40

7 Harga input Turun 10 % 7.249,06 978.623,32

8 Harga input Naik 10 % Ikan naik 10 % 6.846,92 1.027.037,53

9 Harga Input Naik 10 % Ikan Turun 10 % 5.953,26 1.091.431,33

10 Harga Input Turun 10 % Ikan Naik 10 % 7.578,09 930.038,22

11 Harga Input Turun 10 % Ikan turun 10 % 6.846,92 1.027.037,53

12 Harga Input Naik 10 % Ikan Naik 20 % 7.182,04 987.530,16

13 Harga Input Naik 10 % Ikan Turun 20 % 5.338,87 1.101.142,76

14 Harga Input Turun 10 % Ikan Naik 20 % 7.852,28 883.381,37

15 Harga Input turun 10 % Ikan Turun 20 % 6.344,24 1.070.589,81

Sumber: Hasil Olahan Data, 2006.

Dari Tebel 23 menunjukkan bahwa secara umum jika terjadi kenaikan maupun penurunan harga ikan maka kondisi pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang akan mengalami kenaikan maupun penurunan jumlah upaya penangkapan dan hasil tangkapan pada kondisi open access. Hal tersebut terjadi karena pada kondisi open access nelayan akan berusaha mencari hasil tangkapan sebesar-besarnya dengan

meningkatkan upaya penangkapannya. Sebaliknya bila terjadi penurunan harga ikan maka nelayan akan mengurangi aktivitas penangkapan di laut. Pada sisi lain jika terjadi peningkatan harga input maka biaya operasional penangkapan akan meningkat sehingga aktivitas penangkapan akan mengalami penurunan, sedangkan jika harga input turun maka nelayan akan meningkatkan upaya penangkapannya untuk mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya.

Berdasar hasil penelitian skenario optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalnag di Kepulauan Morotai Halmahera Utara menunjukkan bahwa peningkatan upaya penangkapan tertinggi terjadi pada kondisi harga input turun 10 % harga ikan naik 20 %. Hasil ini menunjukkan bahwa kombinasi harga diatas dapat meningkatkan

(28)

upaya penangkapan yang dilakukan oleh nelayan atau pelaku perikanan. Fenomena tersebut menggambarkan para nelayan atau pelaku perikanan akan terus berlomba-lomba untuk meningkatkan upaya penangkapan dalam memperoleh rente ekonomi. Di sisi lainnya, di perairan Kepulauan Morotai Halmahera Utara sangat rentan terhadap kegiatan illegal fishing karena banyaknya armada perahu nelayan asing dari Fhillipina

dan Taiwan yang beroperasi di wilayah tersebut. Dalam konteks inilah tantangan mendasar dalam pengelolaan perikanan cakalang di wilayah Kepulauan Morotai yaitu bagaimana suatu kebijakan penetapan harga, baik harga input maupun harga output, kemudian pengaturan regulasi dan kerjasama antar negara dan daerah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang sehingga dapat menunjang pembangunan ekonomi wilayah di Kepulauan Morotai dan tercipta kegiatan pembangunan yang sesuai dengan daya dukung lingkungan sehingga pembangunan ekonomi di wilayah Kepulauan Morotai dapat berlangsung secara berkesinambungan.

Berkaitan dengan skenario perubahan harga input dan output, para pengambil kebijakan selalu dihadapkan pada pertanyaan bagaimana dampak dari terjadinya kenaikan harga output sebesar 20 % dan penurunan harga input sebesar 10 % terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan yang bersifat open access. Dari hasil analisis

skenario di atas, menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan harga output 20 % dan penurunan harga input 10 %, maka sangat dikhawatirkan kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan seperti itu akan mengalami misalokasi sumberdaya perikanan, sementara hasil tangkapan yang diperoleh sangat kecil. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa instrumen kebijakan tersebut tidak layak diterapkan karena dapat menyebabkan semakin meningkatnya upaya penangkapan terutama bagi nelayan yang bermodal besar dengan tingkat teknologi yang lebih canggih, yang berbuntut terhadap rusaknya kualitas lingkungan pesisir dan mengancam keberlanjutan pembangunan wilayah.

Sedangkan upaya penangkapan terendah terjadi pada kondisi harga ikan turun 20 % dan harga input naik 10 %. Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa kebijakan yang diterapkan pada dua kondisi di atas akan menurunkan upaya penangkapan, akan tetapi dari sisi hasil tangkapan justru mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena dengan penurunan harga ikan 20 % dan kombinasi harga input naik 10 % akan

(29)

meningkatkan biaya operasional dan juga dengan turunnya harga ikan maka tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan akan semakin berkurang. Disamping itu, penetapan harga tersebut justru memberikan dampak positif dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap karena aktivitas penangkapan semakin berkurang sedangkan rente

ekonomi yang diperoleh mengalami peningkatan. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap diatas secara umum lebih sesuai untuk diusahakan dan dikembangkan karena lebih menjamin keberkelanjutan sumberdaya alam dan secara khusus dapat mengurangi tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan yang berlebihan, mencegah timbulnya misalocation sumberdaya serta

pengurasan sumberdaya yang tidak efisien.

Berkaitan dengan kajian di atas, instrumen kebijakan yang dapat diterapkan dalam pengembangan sektor perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara yakni dengan memadukan kebijakan harga output dan harga input produksi. Instrumen kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang patut dipertimbangkan dalam kaitan dengan permasalahan ini yakni kebijakan yang mengarah pada pengurangan output maupun input yang berlebihan. Salah satu cara konvensional yang umum digunakan untuk mengurangi output produksi yaitu dengan menerapkan sistem

quota dan limited entry pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap seperti pembatasan

jumlah kapal maupun alat tangkap yang beroperasi dalam suatu perairan maupun jumlah trip penangkapan, sedangkan untuk harga input yaitu dengan penetapan pajak. Strategi lainnya yang dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi kelebihan faktor output dan input produksi adalah dengan mengembangkan potensi ekonomi wilayah di Kepulauan Morotai di luar sektor perikanan, sehingga surplus tenaga kerja dapat diserap dengan melalui mobilisasi vertikal dan horizontal tenaga kerja. Selain itu, menurut Fauzi (2000b) strategi konservasi dengan mengembangkan Marine Protected Area

(MPA) yang mempertimbangkan faktor-faktor sosial ekonomi dapat dijadikan pilihan karena sumberdaya perikanan akan mengalami apresiasi dalam jangka panjang dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan nelayan secara komprehensif.

5.4. Kelembagaan Perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai

Menurut Rustiadi et al. (2005), penguasaan dan pengelolaan sumberdaya sangat

(30)

berlaku dalam suatu kelompok masyarakat, dapat menentukan pembagian tanah atau lahan bagi anggota masyarakat. Kelembagaan (institution), sebagai kumpulan aturan

main (rules of the game) dan organisasi, berperan penting dalam mengatur Demandan/

alokasi sumberdaya secara efisien, merata, dan berkelanjutan (sustainable).

Dalam penelitian ini kelembagaan perikanan yang menjadi kajian adalah kelembagaan pemerintah, pengusaha dan nelayan dalam usaha pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara.

5.4.1. Kondisi Kelembagaan Perikanan Pemerintah Daerah

Sejak tahun 2003 Kabupaten Halmahera Utara dibentuk melalui pemekaran wilayah dari Kabupaten Maluku Utara, sedangkan pembentukan Dinas Perikanan dan Kelautan dibentuk pada tahun 2004 yang berkedudukan di Tobelo sebagai Ibu Kota Kabupaten. Namun kondisi kelembagaan perikanan pemerintah daerah di Kepulauan Morotai sama dengan kondisi sebelum pemekaran yaitu hanya berbentuk petugas perikanan.

Dinas perikanan di kabupaten memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai dinas teknis daerah yang melaksanakan program-program di bidang perikanan di Halmahera Utara, terutama sebagai fasilitator dan regulator, pembinaan dan penyuluhan serta bantuan prasarana dan sarana serta modal usaha. Sedangkan fungsi Petugas perikanan di tingkat kecamatan yaitu melakukan pendataan potensi perikanan, inventarisasi masalah-masalah perikanan, pendataan produksi nelayan dan pengusaha, pembinaan dan penyuluhan serta penarikan retribusi.

Dari tugas dan fungsi Dinas Perikanan di atas, dilakukan melalui program pembangunan dan program pembangunan yang direalisasikan adalah program pengembangan perikanan tangkap dan budi daya, program pengembangan ekonomi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, serta program pengembangan pengawasan berbasis masyarakat. Namun ada program-program yang belum terrealisasi adalah pengembangan prasarana dan sara perikanan. Sedangkan realisasi petugas perikanan di kecamatan yaitu pendataan potensi perikanan, inventarisasi masalah-masalah perikanan, pendataan produksi nelayan dan pengusaha serta penarikan retribusi, sementara yang belum terealisasi adalah kegiatan pembinaan dan penyuluhan.

(31)

Implikasi dari pelaksanaan program dibidang perikanan yang dilakukan oleh Dinas Perikanan Kabupaten Halmahera Utara adalah tersedianya sarana perikanan tangkap serta modal usaha bagi nelayan, namun sarana dan modal yang diberikan masih sangat terbatas baik jumlah maupun mutunya. Program yang dilakukan jika dilihat dalam jangka panjang tidak mempunyai prospek yang bagus karena pragram selalu dalam bentuk bantuan sarana dan modal usaha (fisik/finansial) perikanan, sementara penyiapan sumberdaya, ketrampilan dan kelembagaan perikanan nelayan tidak dilaksanakan. Apalagi program bantuan sarana dan modal yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan nelayan.

Dalam upaya untuk mengelolah sumberdaya perikanan cakalang yang ada di pulau-pulau kecil, pemerintah daerah Halmahera Utara selama ini hanya bersandar pada aturan-aturan secara nasional, baik Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah, hal ini karena selama ini pemerintah daerah baik sebelum pemekaran dan setelah pemekaran belum memiliki peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya perikanan.

5.4.2. Kondisi Kelembagaan Pengusaha dalam bidang Perikanan Cakalang

Pengusaha yang melakukan investasi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan komoditas cakalang di Kepulauan Morotai saat ini hanya terdapat satu perusahaan yaitu PT. Primareva Indo. Perusahaan ini mulai beroperasi pada akhir tahun 1997 sebagai perusahaan pengumpul dan pengawetan (cold storage). PT. Primareva Indo tidak

memiliki armada sendiri tetapi hanya melakukan kegiatan pembelian hasil tangkapan nelayan (sebagai penampung ikan cakalang segar) kemudian hasilnya diekspor ke Banyuwangi dan Jakarta.

Karena hanya terdapat satu perusahaan maka organisasi antar perusahaan jelas tidak ada. Kelembagaan yang ada hanya mengatur secara internal perusahaan dalam pemanfaatan komoditas cakalang. Hubungan Perusahaan dengan nelayan di Kepulauan Morotai melalui dua pola yaitu dengan sistem kemitraan dan bukan kemitraan. Nelayan yang mempunyai kemitraan akan mendapat bantuan prasarana dan sarana penangkapan dari perusahaan namun nelayan tersebut mempunyai kewajiban menjual hasil tangkapannya kepada perusahaan. Sedangkan nelayan yang tidak bermitra tentu tidak

(32)

mendapat fasilitas dari perusahaan dan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk perusahaan.

Dengan hanya terdapat satu perusahan perikanan cakalang di Kepulauan Morotai menciptakan kondisi pasar cakalang menjadi pasar monopoli. Karena hanya terdapat satu pembeli maka harga ikan hanya ditentukan oleh perusahaan. Kondisi ini jelas merugikan nelayan yang tidak melakukan kemitraan karena pada satu sisi mereka tidak mendapat bantuan prasarana dan sarana tangkapan, pada sisi yang lain mereka terpaksa harus menjual hasil tangkapan mereka kepada perusahaan PT. Primareva Indo karena pasar komoditas cakalang yang masih terbatas.

Selain hanya terdapat satu perusahaan pengumpul atau pembeli hasil tangkapan, pihak sawasta seperti perbankan dan koperasi juga belum terlihat pernannya dalam pengembangan pemanfaatan perikanan cakalang di Kepulauan Morotai. Di kepulauan ini hanya terdapat satu Bank yakni Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Daruba. Menurut hasil wawancara dengan pihak perbankan BRI unit Daruba, kurang berperannya perbankan dalam pemanfaatan perikanan cakalang di Kepulauan Morotai karena pengorganisasian nelayan baik kelompok nelayan maupun koperasi nelayan di Kepulauan Morotai belum terbentuk sehingga kemitraan dan pembinaan terhadap nelayan dalam penyaluran kredit usaha mengalami kendala.

5.4.3. Kondisi Kelembagaan Nelayan Perikanan Cakalang

Nelayan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara adalah nelayan perikanan tangkap dan hanya terdapat sebagian kecil nelayan budidaya rumput laut dan kerapu hidup. Komoditas cakalang menjadi jenis ikan yang paling banyak dimanfaatkan oleh nelayan perikanan tangkap di Kepulauan Morotai. Prasarana dan sarana nelayan cakalang masih tradisional. Dengan peralatan tangkap yang terbatas sehingga jumlah hari trip nelayan cakalang di Kepulauan Morotai hanya one day trip.

Dari aspek peralatan penangkapan, nelayan cakalang di Kepulauan Morotai mempunyai dua peralatan yaitu hand line dengan armada kecil yang jumlah ABK

antara 2 - 4 orang dan pole and line dengan armada besar yang mempunyai ABK antara

7 – 12 orang.

Umumnya nelayan cakalang di Kepulauan Morotai belum terorganisir dengan baik, yang ada hanya pengorganisasian secara internal dalam satu armada penangkapan.

Gambar

Tabel  14. Hasil Analisis LQ di Provinsi Maluku Utara Tahun 2004
Tabel 16. Hasil Perhitungan Analisis Shift-Share di Provinsi Maluku Utara
Tabel 17. Jumlah Keluarga Menurut Mata Pencahrian di Kepulaun Morotai Tahun    2003.
Tabel 18. Komoditas Unggulan Tiga Sub Sektor di Kepulauan Morotai Kabupaten    Halmahera Utara
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang akan dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi,

Fisioterapis dapat membantu pasien stroke dalam rangka penyembuhan, seperti meningkatkan keseimbangan berjalan, mengurangi spasme (ketegangan) otot, mengurangi resiko

Berdasarkan harga koefisien korelasi sebesar 0,647, dimana harga korelasi bersifat positif, artinya semakin positif persepsi siswa terhadap kompetensi guru maka

Membangun Karakter Siswa (Studi Multisitus di MI Nuruzh Zholam Krandegan Gandusari dan MI Himmatul Ulum Sukorejo Gandusari Trenggalek)” yang ditulis oleh Syafi‟i

[r]

Bagian yang diamati adalah gaya yang digunakan, kekasaran permukaan pada proses gerinda, pengaruh air cooling, pada proses hard turning, micro milling , micro

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayah-Nya, salawat dan salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW serta