• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala menjabarkan relasi diantara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2001:6). Teori bukanlah sekedar ikhtisar data yang ringkas, karena ia tidak hanya mengatakan “apa” yang terjadi melainkan juga “mengapa” sesuatu terjadi sebagai yang berlaku dalam kenyataan. Maka teori harus melaksanakan fungsi ganda. Pertama, yakni menjelaskan fakta yang sudah diketahui. Kedua, fungsi untuk membuka celah pemandangan baru yang dapat mengantar kita menemukan fakta yang baru pula (Kaplan dan Manners, 2002: 15).

II.1. Komunikasi Massa

Komunikasi massa merupakan salah satu bentuk kegiatan komunikasi

yang dilakukan melalui atau dengan menggunakan media massa ( mass media of communication). Komunikasi massa menyiarkan informasi, pendapat-pendapat, nilai-nilai kepada komunikan yang beraneka ragam dan dalam jumlah yang banyak dan sekaligus menggunakan media massa.

Adapun yang menjadi ciri-ciri utama dari komunikasi massa adalah:

1. Sumber komunikasi massa bukan hanya satu orang. Biasanya yang menjadi sumber informasi dari komunikasi massa bukan individu perorangan melainkan suatu organisasi yang bersifat formal dan pengirimnya seringkali merupakan komunikator professional.

(2)

2. Pesannya tidak unik dan beranekaragam. Pesan yang disampaikan komunikasi massa biasanya bersifat sesuatu yang umum, kompleks, mudah dicerna dan diingat oleh audiencenya. Hubungan yang terjalin anatara pengirim dan penerima juga bersifat satu arah dan jarang sekali terjadi interaksi (bukan hubungan yang sifatnya khusus).

3. Komunikasi massa memiliki cakupan kontak yang sifatnya luas. Kontak terdapat dalam komunikasi massa bukan bersifat khusus, atau bersifat hubungan interpersonal. Hubungan yang terjalin dalam komunikasi massa adalah kontak secara serentak antara satu pengirim dengan banyak penerima. Tujuan dari kontak ini adalah untuk menciptakan pengaruh yang luas dalam waktu yang singkat dan respon seketika dari banyak orang secara serentak (Quail, 1994: 33-34).

Selain memiliki ciri-ciri, komunikasi massa juga memiliki beberapa fungsi. Adapun fungsi dari komunikasi massa menurut R. Dominick, yaitu:

1. Pengawasan (Surveillance). Pengawasan ini mengacu pada peranan berita dan informasi media massa. Media dianggap bertindak sebagai pengawas karena orang media inilah yang mengumpulkan segala informasi yang tidak dapat diperoleh oleh masyarakat luas.

2. Interpretasi. Selain menyajikan fakta dan data, media massa juga harus mampu melakukan interpretasi mengenai informasi yang disajikan atau tentang suatu peristiwa.

(3)

3. Hubungan (linkage). Media massa harus dapat berperan sebagai penghubung dari unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung.

4. Sosialisasi. Media massa mentransmisikan nilai-nilai yang mengacu kepada cara-cara di mana seseorang mengadopsi perilaku dan nilai dari suatu kelompok.

5. Hiburan. Adapun 70 persen dari isi dan informasi yang diberikan media massa pada umumnya adalah untuk menghibur audience.

Setiap proses komunikasi mempunyai akhir yang disebut dengan efek. Efek menerpa seseorang yang menerimanya baik secara sengaja/ terasa/ yang tidak disengaja dan malah mungkin yang tidak dapat dimengerti. Secara umum terdapat tiga efek komunikasi massa, yakni:

1. Efek kognitif. Pesan komunikasi massa mengakibatkan khalayak berubah dalam hal pengetahuan, pandangan dan pendapat terhadap sesuatu yang diperolehnya. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, ketrampilan, kepercayaan ataupun informasi.

2. Efek afektif. Pesan komunikasi massa mengakibatkan berubahnya perasaan tertentu dari khalayak. Orang dapat menjadi lebih marah dan berkurang rasa tidak sukanya terhadap sesuatu akibat dari membaca surat kabar, mendengarkan radio ataupun menonton televisi. Efek ini berhubungan dengan emosi, sikap dan nilai.

(4)

3. Efek konatif. Akibat dari pesan komunikasi massa membuat seseorang mengambil keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Efek ini merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan atau kebiasaan berperilaku.

II.2 Analisis Isi

Penelitian empiris mengenai isi komunikasi bermula sejak adanya studi-studi teologi. Pada akhir 1600-an gereja dicemaskan oleh beredarnya hal-hal nonreligius di berbagai media seperti surat kabar. Kasus analisis kualitatif pertama terhadap bahan cetakan terjadi di Swedia pada abad XVIII.

Pada pertemuan pertama Himpunan Sosiologi Jerman yang diadakan pada 1910, Max Weber (1911) mengusulkan analisis isi dalam skala besar terhadap pers, tetapi karena berbagai alasan usulan tersebut tidak terlaksana. Pada masa itu Markov (1913) merumuskan teori chains of Symbols dan menyebarluaskan analisis statistik terhadap sebuah novel dalam bentuk sajak, karya Pushkin, Eugene Onegin. Kebanyakan penelitian ditemukan baru-baru ini atau hanya mempengaruhi literatur analisis isi secara tidak langsung. Analisis isi telah berkembang menjadi sebuah metode ilmiah yang berjanji menghasilkan inferensi dari data yang secara esensial bersifat verbal, simbolik atau komunikatif. Di samping keberlanjutan keterlibatannya dengan masalah-masalah psikologis, sosiologis, dan politis yang substantif. Selama 80 tahun terakhir ini terjadi peningkatan secara eksponential perhatian terhadap penggunaan teknik analisis isi dan pemantapan kriteria kesahihan yang dibutuhkan dan itu mengindikasikan meningkatnya kematangan analisis isi (Krippendorff, 1993: 1-14).

(5)

Menurut Wazer dan Wiener, analisis isi adalah suatu prosedur sistematika yang disusun untuk menguji isi informasi yang terekam (Bulaeng, 2004: 171). Sedangkan menurut Budd, analisis isi (content analysis) merupakan suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan, atau suatu alat untuk mengobservasi dan menganalisis isi perilaku komunikasi yang terbuka dari komunikator yang terpilih.

Prinsip dasar analisis isi meliputi:

a. Prinsip sistematik, yaitu bahwa ada perlakuan prosedur yang sama pada semua isi yang dianalisis. Periset tidak dibenarkan menganalisis hanya pada isi yang sesuai dengan perhatian dan minatnya, tetapi harus pada keseluruhan isi yang telah ditetapkan untuk diriset.

b. Prinsip objektif, berarti hasilnya tergantung pada prosedur penelitian bukan pada orangnya. Kategori yang sama bila digunakan untuk isi yang sama dengan prosedur yang sama, maka hasilnya harus sama, walaupun risetnya berbeda.

c. Kuantitatif, diartikan dengan mencatat nilai-nilai bilangan atau frekuensi untuk melukiskan berbagai jenis isi yang didefinsikan. Diartikan juga sebagai prinsip digunakannya metode deduktif.

d. Isi yang nyata, artinya yang diteliti dan dianalisis hanyalah isi yang tersurat, yang tampak, bukan makna yang dirasakan oleh si peneliti. Perkara hasil akhir dari analisisnya nanti menunjukkan adanya suatu isi

(6)

yang tersembunyi, hal itu sah-sah saja. Namun, semuanya bermula dari analisis terhadap isi yang tampak (Kriyantono, 2006:229).

Klasifikasi analisis isi menurut Kripendorff:

a. Analisis isi pragmatis, prosedur yang mengklasifikasikan tanda menurut sebab atau akibatnya yang mungkin.

b. Analisis isi semantik, prosedur yang mengklasifikasikan tanda menurut maknanya yang terdiri dari:

- Analisis penunjukkan atau disebut juga analisis pokok bahasan, menggambarkan frekuensi seberapa sering objek tertentu dirujuk.

- Analisis pensifatan, menggambarkan frekuensi seberapa sering karakterisasi tertentu dirujuk.

- Analisis pernyataan atau disebut juga analisis tematik, menggambarkan frekuensi seberapa sering objek tertentu dikarakterisasikan secara khusus.

c. Analisis isi sarana tanda, prosedur yang mengklasifikasikan isi menurut sifat psikofisik dari tanda (Krippendorff, 1993:35-36).

Menurut Wimmer dan Dominick setidaknya ada lima manfaat analisis isi yang dapat diidentifikasikan, yaitu:

(7)

a. Menggambarkan isi komunikasi. Yaitu mengungkap kecenderungan yang ada pada isi komunikasi, baik melalui media cetak maupun elektronik.

b. Menguji hipotesis tentang karakteristik pesan. Sejumlah peneliti analisis isi berusaha menghubungkan karakteristik tertentu dari komunikator (sumber) dengan karakteristik pesan yang dihasilkan.

c. Membandingkan isi media dengan dunia nyata. Banyak analisis isi digunakan untuk menguji apa yang ada di media dengan situasi aktual yang ada di kehidupan nyata.

d. Memperkirakan gambaran kelompok tertentu di masyarakat. Di sini, analisis isi digunakan untuk meneliti masalah sosial tentang diskriminasi dan prasangka terhadap kelompok minoritas, agama tertentu, etnis, dan lain-lainnya.

e. Mendukung studi efek media massa. Penggunaan analisis isi acapkali juga digunakan sebagai sarana untuk memulai penelitian efek media massa (Suyanto dan Sutinah, 2005:127-129).

Sebagaimana penelitian sosial yang lain, analisis isi juga terbagai dalam dua aliran metodologi, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Analisis isi kuantitatif memfokuskan risetnya pada isi komunikasi yang tersurat. Karena itu tidak dapat digunakan untuk mengetahui isi komunikasi yang tersirat. Sehingga diperlukan suatu analisis yang lebih mendalam dan detail untuk memahami produk isi media dan mampu menghubungkannya dengan konteks sosial/realitas yang terjadi

(8)

sewaktu pesan dibuat. Di sinilah analisis isi kualitatif dibutuhkan. Analisis isi media kualitatif lebih banyak dipakai untuk meneliti dokumen yang dapat berupa teks, gambar, simbol, dan sebagainya untuk memahami budaya dari suatu konteks sosial tertentu. Dalam analisis media kualitatif ini semua jenis data atau dokumen yang dianalisis lebih cenderung disebut dengan istilah “text” apapun bentuknya gambar, tanda, simbol, gambar bergerak, dan sebagainya. Analisis isi media kualitatif ini merujuk pada metode analisis yang integratif dan lebih secara konseptual untuk menemukan, mengidentifikasi, mengolah, dan menganalisis dokumen untuk memahami makna, signifikasi, dan relevansinya (Bungin, 2001:147).

Analisis isi kualitatif bersifat sistematis, analitis tapi tidak kaku seperti dalam analisis isi kuantitatif. Kategorisasi dipakai hanya sebagai guide, diperbolehkan konsep-konsep atau kategorisasi yang lain muncul selama proses riset. Saat ini telah banyak metode analisis yang berpijak pada pendekatan analisis isi kualitatif. Antara lain: analisis framming, analisis wacana, analisis tekstual, semiotik, analisis retorika, dan ideological criticism (Kriyantono, 2006:248).

II.3. Analisis Wacana

Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dengan berbagai pengertian. Menurut Roger Fowler, wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman.

(9)

Analisis wacana merupakan salah satu cara mempelajari makna pesan sebagai alternatif lain akibat keterbatasan analisis isi. Analisis wacana memfokuskan pada pesan yang tersembunyi (laten). Yang menjadi titik perhatian bukan pesan (message) tetapi juga makna (Bungin, 2003: 151).

Penggunaan bahasa di surat kabar dapat dikaitkan dengan mengkonstruksi sesuatu pemberitaan di surat kabar. Hal ini berkaitan juga dengan proses komunikasi yang mencakup pengiriman pesan dari sistem saraf seseorang kepada sistem saraf orang lain dengan maksud untuk menghasilkan sebuah makna yang sama dengan yang ada dalam benak si pengirim. Pesan verbal melakukan hal tersebut melalui kata-kata, yang merupakan unsur dasar bahasa dan kata-kata sudah jelas merupakan simbol verbal.

Menurut Tubbs dan Moss, sekali kita sepakat atas suatu sistem simbol verbal, kita dapat menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Tentu saja, bila semua kata yang digunakan hanya merujuk pada benda maka masalah komunikasi akan menjadi sederhana. Kita dapat menentukan apa referen yang diperbincangkan hampir tanpa kesulitan, akan tetapi kata-kata juga merujuk pada perstiwa, sifat sesuatu, tindakan hubungan, konsep dan lain-lain (Sobur, 2004 : 42).

Analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai pemaknaan bahasa. Menurut A.S. Hikam ada tiga pandangan mengenai bahasa. Pertama, diwakili oleh kaum positivisme-empiris. Oleh penganut aliran ini, bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan

(10)

bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh mana ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Aliran ini menolak pandangan empirisme/positivisme yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukkan diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini yang mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat (Eriyanto, 2001:4-7).

Analisis wacana (discourse analysis) merupakan bagian dari paradigma kritis, oleh karena itu disebut dengan istilah analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Analisis wacana berguna untuk menyibak permasalahan ketidakseimbangan yang terjadi dalam masyarakat (ketidakseimbangan yang mendasar tentang kelas, memaksakan ketidakseimbangan dalam hal ras, gender dan religi), klaim dengan mengatasnamakan orang banyak (Birowo, 2004:67).

(11)

Melalui analisis wacana kita bukan hanya melihat bagaimana isi teks berita tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat metafora macam apa suatu berita disampaikan (Eriyanto, 2001: 15).

Paradigma kritis melihat bagaimana media dijadikan sebagai alat bagi kelompok dominan untuk melegitimasikan kekuasaannya. Oleh karena itu wacana tidak hanya dipahami sebagai studi bahasa, tetapi harus dikaitkan dengan konteks yang berada disekitarnya ketika wacana itu dibentuk. Paradigma ini memandang bagaimana media, dan pada akhirnya berita harus dipahami dalam keseluruhan proses produksi dan struktur sosial (Eriyanto, 2001:21).

Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. Adapun karateristik analisis wacana kritis meliputi:

a. Tindakan. Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Dengan pemahaman semacam ini, ada beberapa konsekuensi bagaimana wacana harus dipandang. Pertama wacana dipandang sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, menyangga, bereaksi dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang diluar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.

b. Konteks. Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana di sini dipandang, diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu.

(12)

c. Historis. Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu.

d. Kekuasaan. Di sini, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat.

e. Ideologi. Ideologi juga konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Teori-teori klasik tentang ideologi di antaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka (Eriyanto, 2001: 7-14).

II.4. Analisis Wacana versi Theo Van Leeuwen

Dalam Introducing Social Semiotics, Van Leeuwen menyatakan “The term ‘discourse’ is often used to denote an extended stretch of connected speech or writing a ‘text’. Discourse analysis then means ‘the analysis of an extendend text or type of text’. (Istilah wacana sering digunakan untuk menunjukkan suatu bagian secara luas dari tuturan atau tulisan yang berhubungan, sebuah teks. Selanjutnya analisis wacana berarti ‘analisis dari suatu teks secara luas atau sejenis teks’). (Leeuwen, 2005:94).

(13)

Model analisis wacana versi Theo Van Leeuwen digunakan untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam pemberitaan. Bagaimana suatu kelompok dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa atau pemaknaan, sementara kelompok lain hanya menjadi objek dari pemaknaan dan selalu digambarkan secara buruk.

Berdasarkan buku Introducing Social Semiotics dapat disimpulkan beberapa kesimpulan utama mengenai wacana menurut Van Leeuwen (Van Leeuwen, 2005:95):

a. Wacana merupakan sumber utama representasi, pengetahuan tentang beberapa aspek dari realitas, yang dapat digunakan ketika aspek realitas tersebut harus ditampilkan. Wacana tidak dapat membatasi apa yang ingin disampaikan mengenai aspek tertentu dari realitas, sebaliknya kita juga tidak akan menampilkan apapun tanpa wacana. Kita memerlukan wacana sebagai ‘frameworks’ untuk membuat kesan atas berbagai hal.

b. Wacana bersifat jamak (plural). Bisa terjadi perbedaan wacana, perbedaan dalam menciptakan kesan atas aspek yang sama dari realitas, yang memasukkan dan mengeluarkan hal-hal yang berbeda, serta menyajikan minat yang berbeda pula.

c. Fakta untuk keberlangsungan atas wacana tertentu berasal dari teks, dari apa yang telah dikatakan dan ditulis sebelumnya. Lebih khusus lagi, fakta tersebut berasal dari kesamaan antara hal-hal dikatakan dan ditulis dalam teks yang berbeda mengenai aspek yang sama tentang realitas.

(14)

Sebagaimana halnya Fairclough dan Wodak, Leeuwen juga beranggapan bahwa wacana merupakan perwujudan atau realisasi dari praktik sosial. Menurutnya, wacana dan pengetahuan kita tentang dunia secara mutlak diperoleh dari apa yang kita kerjakan. Dengan kata lain, tindakan-tindakan kita memberikan kita alat untuk memahami dunia disekeliling kita.

Berdasarkan buku Introducing Social Semiotics dapat disimpulkan bahwa elemen-elemen yang ‘harus’ terdapat dalam setiap praktik sosial menurut Leeuwen (Van Leeuwen, 2005:106-109), yaitu:

a. Tindakan; yaitu hal-hal yang dikerjakan oleh orang-orang, atau kegiatan yang menyusun praktik sosial atau urutan kronologisnya.

b. Sikap; yaitu cara bagaimana suatu tindakan dipertunjukkan, misalnya: dengan ramah, secara tepat guna, penuh energi, dsb.

c. Aktor (pelaku); orang –atau kadang-kadang hewan- yang terlibat dalam praktik (sosial), dan peran-peran berbeda dimana mereka terlibat, apakah peran aktif maupun pasif.

d. Presentasi; cara bagaimana para aktor atau pelaku ‘dikemas’ atau ‘didandani’. Setiap praktik sosial memiliki aturan presentasi, meskipun mereka berbeda dalam jenis dan derajat kekerasannya.

e. Sumber; yaitu peralatan dan material yang diperlukan dalam membuat praktik sosial.

f. Waktu; praktik sosial yang tidak dapat dihindari adalah waktu yang pasti, dan bertahan untuk sejumlah waktu yang pasti pula.

(15)

g. Ruang; elemen nyata yang paling akhir dari sosial praktik adalah ‘ruang’ dimana tindakan mengambil tempat, termasuk cara bagaimana mereka harus disusun untuk membuat praktik tersebut menjadi mungkin.

Dalam realitasnya, elemen-elemen diatas harus terdapat dalam sebuah praktik sosial tetapi, teks-teks khusus mungkin hanya memasukkan beberapa elemen saja. Pengetahuan bersifat selektif, apa yang diseleksi tergantung pada maksud dan keinginan institusi yang membantu perkembangan pengetahuan tersebut.

Berdasarkan buku Introducing Social Semiotics dapat dismpulkan bahwa ada 4 tipe dasar transformasi bagaimana suatu realitas diubah ke dalam suatu wacana menurut Leeuwen (Van Leeuwen, 2005:110-111) yaitu:

a. Eksklusi: wacana dapat mengeluarkan unsur-unsur praktik sosial, misalnya beberapa jenis pelaku (aktor). Hal ini dapat menimbulkan efek distorsi. Misalnya dalam wacana tentang perang, yang mengeluarkan atau tidak menyebutkan para korbannya.

b. Penyusunan kembali: wacana dapat menyusun elemen-elemen dari praktik sosial. Misalnya, ketika wacana mengadakan atau memaksakan urutan khusus dalam suatu tindakan, padahal dalam realitasnya tindakan tersebut tidak diperlukan.

c. Penambahan: wacana dapat menambahkan elemen-elemen ke dalam representatif.

(16)

d. Substitusi (penggantian): substitusi merujuk kepada fakta bahwa wacana dapat menggantikan konsep bagi elemen nyata dari praktik sosial. Dalam prosesnya, konkret dapat diubah menjadi abstrak dan hal-hal khusus diubah ke dalam hal-hal umum.

Dalam analisisnya, Van Leeuwen memusatkan perhatian pada dua hal, yaitu eksklusi dan inklusi. Eksklusi, melihat apakah dalam suatu teks ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dari pemberitaan dan strategi wacana apa yang dipakai dalam melakukan hal tersebut. Inklusi, melihat bagaimana masing-masing pihak atau kelompok dimunculkan dalam pemberitaan atau bagaimana cara penggambarannya.

1. Eksklusi, apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau aktor yang

dikeluarkan dalam pemberitaan.

a. Pasivasi, yaitu suatu cara menghilangkan aktor atau pelaku dengan pemakaian kalimat pasif.

b. Nominalisasi, yaitu menghilangkan aktor dengan cara mengubah kata kerja menjadi kata benda, yaitu dengan cara memberi imbuhan pe-an.

c. Penggantian anak kalimat, yaitu penggantian subjek dengan memakai anak kalimat yang sekaligus berfungsi sebagai pengganti aktor.

2. Inklusi bagaimana masing-masing pihak atau kelompok itu ditampilkan

lewat pemberitaan.

a. Diferensiasi-Indeferensiasi, yaitu bagaimana aktor sosial bisa ditampilkan dalam teks secara mandiri - Suatu kelompok disudutkan

(17)

dengan menghadirkan kelompok atau wacana lain yang dipandang lebih dominan atau lebih bagus.

b. Objektivasi-Abstraksi, yaitu bagaimana aktor sosial ditampilkan dengan memberi petunjuk yang konkret dan aktor sosial ditampilkan dengan memberi petunjuk yang abstrak.

c. Nominasi-Kategorisasi, yaitu bagaimana aktor tersebut ditampilkan apa adanya - yang ditampilkan adalah kategori yang menunjukkan ciri penting dari seseorang.

d. Nominasi-Identifikasi, yaitu bagaimana aktor ditampilkan apa adanya dengan memberi anak kalimat sebagai penjelas.

e. Determinasi-Indeterminasi, yaitu bagaimana aktor disebutkan secara jelas atau aktor disebutkan secara anonim.

f. Asimilasi-Individualisasi, yaitu adanya kategori aktor sosial yang spesifik yang disebut dalam berita- komunitas atau kelompok sosial di mana seseorang itu berada.

g. Assosiasi-Disosiasi, apakah aktor ditampilkan sendiri atau aktor ditampilkan menghubungkan dengan kelompok lain yang lebih besar.

II.5. Berita

Berita lebih mudah diketahui daripada didefinisikan. Seorang jurnalis, apakah ia koresponden, reporter atau redaktur, telah terlatih dalam “mencium’ berita melalui indera keenamnya atau intuisi mereka. Prof Mitchel V. Charnley

(18)

mendefinisikan berita sebagai laporan tercepat mengenai fakta atau opini yang mengandung hal-hal yang menarik minat atau penting, atau kedua-duanya, bagi sejumlah besar orang. Sementara Henshall dan Ingram mengartikan berita adalah susunan kejadian setiap hari, sehingga masyarakat menerimanya dalam bnetuk yang tersusun dan dikemas rapi menjadi cerita, pada hari yang sama di radio atau televisi dan keesokan harinya di berbagai surat kabar (Hadiyanto, 2001: 80).

1. Nilai berita

Suatu peristiwa dikatakan mempunyai nilai berita jika mengandung:

a. Keluarbiasaan (unusualness). Berita adalah sesuatu yang luar biasa. Nilai berita peristiwa luar biasa, paling tidak dapat dilihat dari lima aspek; lokasi, waktu, jumlah korban, daya kejut peristiwa, dan dampak yang ditimbulkan peristiwa tersebut.

b. Kebaruan (newness). Berita adalah semua apa yang terbaru. Semua hal yang baru, apa pun namanya, pasti memiliki nilai berita.

c. Akibat (impact). Berita adalah segala sesuatu yang berdampak luas. Dampak suatu pemberitaan bergantung pada beberapa hal: seberapa banyak khalayak terpengaruh, pemberitaan itu langsung mengena kepada khalayak atau tidak, dan segera tidaknya efek berita itu menyentuh khalayak media surat kabar, radio, atau televisi yang melaporkannya.

d. Aktual (timeliness). Berita adalah apa yang terjadi hari ini, apa yang masih belum diketahui tentang apa yang akan terjadi hari ini,

(19)

atau adanya opini berupa pandangan dan penilaian yang berbeda dengan opini sebelumnya sehingga opini itu mengandung informasi penting dan berarti.

e. Kedekatan (proximity). Kedekatan mengandung dua arti. Pertama, kedekatan geografis menunjuk kepada suatu peristiwa atau berita yang terjadi di sekitar tempat tinggal kita. Kedua, kedekatan psikologis yang lebih banyak ditentukan oleh tingkat keterkaitan pikiran, perasaan, atau kejiwaan seseorang dengan suatu objek peristiwa atau berita.

f. Informasi (information). Hanya informasi yang memiliki nilai berita, atau memberi banyak manfaat kepada publik yang patut mendapat perhatian media.

g. Konflik (conflict). Konflik atau pertentangan merupakan sumber berita yang tak pernah kering dan tak kan pernah habis.

h. Orang penting (prominence). Berita adalah tentang orang-orang penting, orang-orang ternama, pesohor, selebriti, figur publik. Teori jurnalistik menegaskan, nama menciptakan berita.

i. Ketertarikan manusiawi (human interest). Cerita human interest, lebih banyak mengaduk-aduk perasaan daripada mengundang pemikiran. Apa saja yang dinilai mengundang minat insani, menimbulkan ketertarikan manusiawi, mengembangkan hasrat dan

(20)

naluri ingin tahu dapat digolongkan ke dalam cerita human interest.

j. Kejutan (suprising). Nilai berita kejutan, ditentukan oleh subjek pelaku, situasi saat itu, peristiwa sebelumnya, bidang perhatian, pengetahuan, serta pengalaman orang-orang atau masyarakat di sekitarnya.

k. Seks (sex). Seks adalah berita. Sepanjang sejarah peradaban manusia, segala hal yang berkaitan dengan perempuan pasti menarik dan menjadi sumber berita. Seks memang identik dengan perempuan. Di berbagai belahan dunia, perempuan dengan segala aktivitasnya selalu layak muat, layak siar, layak tayang. Segala macam tentang perempuan, tentang seks, selalu banyak peminatnya. (Sumadiria, 2005: 80-89).

2. Sumber Berita.

Adapun empat hal yang menjadi sumber berita yaitu:

a. Observasi langsung dan tidak langsung dari situasi berita. Wartawan yang mengamati langsung suatu peristiwa dapat membuat cerita itu menjadi hidup. Sedangkan observasi tidak langsung akan melengkapi keterbatasan observasi langsung yakni dengan prosedur pra-peristiwa dan pasca-peristiwa.

(21)

b. Proses wawancara. Kunci wawancara yang baik adalah mendengarkan dengan baik dan jika sumber tahu bahwa wartawan mempunyai rasa empati maka mereka akan bicara.

c. Pencarian atau pnelitian bahan-bahan melalui dokumen publik. Caranya dengan mencari catatan, dokumentasi, buku dan sebagainya yang ada hubungannya dengan peristiwa yang akan diliput.

d. Partisipasi dalam berita (Ishwara, 2005: 67).

3. Isi Berita

Ada beberapa kategori yang menunjukkan bahwa isi berita itu disebut layak berita yaitu:

a. Berita harus akurat. Kehati-hatian dimulai dari kecermatannya terhadap ejaan nama, angka, tanggal dan usia serta disiplin diri untuk senantiasa melakukan periksa ulang atas keterangan dan fakta yang diteminya. Tidak hanya itu, akurasi juga berarti benar dalam memberikan kesan umum, benar dalam sudut pandang pemberitaan yang dicapai oleh penyajian detil-detil fakta dan oleh tekanan yang diberikan pada fakta-faktanya.

b. Berita harus lengkap, adil dan berimbang. Yang dimaksud dengan bersikap adil dan berimbang adalah bahwa seorang wartawan harus melaporkan apa yang sesungguhnya terjadi. Unsur adil dan berimbang mungkin sama sulitnya untuk dicapai seperti juga keakuratan dalam menyajikan fakta. Seorang wartawan harus senantiasa berusaha

(22)

menempatkan setiap fakta atau kumpulan fakta-fakta menurut proporsinya yang wajar, untuk mengaitkannya secara berarti dengan unsur-unsur lain, dan untuk membangun segi pentingnya dengan berita secara keseluruhan.

c. Berita harus objektif. Dalam pengertian objektif ini, termasuk pula keharusan wartawan menulis dalam konteks peristiwa secara keseluruhan, tidak dipotong-potong oleh kecenderungan subjektif. Dengan sikap objektif, berita yang dibuat akan objektif, artinya berita yang dibuat itu selaras dengan kenyataan, tidak berat sebelah, bebas dari prasangka. Akan tetapi poin ini adalah kebingungan terbesar dalam jurnalisme. Makna asli dari pemikiran ini sering disalahpahami dan sebagian besar bahkan hilang (Kovach dan Rossenstiel, 2004:88).

d. Berita harus ringkas dan jelas. Berita yang disajikan haruslah dapat dicerna dengan cepat. Ini artinya suatu tulisan yang ringkas, jelas, dan sederhana. Tulisan berita harus tidak banyak menggunakan kata-kata, harus langsung, dam padu. Penulisan berita yang efektif memberikan efek mengalir, ia memiliki warna alami tanpa berelok-elok atau tanpa kepandaian bertutur yang berlebihan. Ia ringkas, terarah, tepat, dan menggugah.

e. Berita harus hangat. Peristiwa-peristiwa bersifat tidak kekal, dan apa yang nampak benar hari ini belum tentu benar esok hari. Karena konsumen berita menginginkan informasi segar, informasi hangat, kebanyak berita berisi laporan peristiwa-peristiwa “hari ini” dalam

(23)

harian sore, atau paling lama, “tadi malam” atau “kemarin” dalam harian pagi (Kusumaningrat, 2005:48-57).

4. Jenis Berita

a. Straight news report adalah laporan langsung mengenai suatu peristiwa.

b. Depth news report merupakan laporan yang menghimpun informasi dengan fakta-fakta mengenai peristiwa itu sendiri sebagai informasi tambahan untuk peristiwa tersebut.

c. Comprehensive news merupakan laporan tentang fakta yang bersifat menyeluruh ditinjau berbagai aspek.

d. Interpretative report biasanya memfokuskan sebuah isu, masalah, atau peristiwa-peristiwa kontroversial dengan fokus laporan berupa fakta.

e. Feature story menyajikan suatu pengalaman khalayak yang lebih bergantung pada gaya penulisan dan humor daripada pentingnya informasi yang disajikan.

f. Depth reporting adalah pelaporan jurnalistik yang bersifat mendalam, tajam, lengkap dan utuh tentang suatu peristiwa fenomenal atau aktual.

g. Investigative reporting biasanya memusatkan pada sejumlah masalah dan kontroversi. Para wartawan melakukan penyelidikan untuk

(24)

memperoleh fakta yang tersembunyi demi tujuan. Pelaksanannya sering ilegal atau tidak etis.

h. Editorial writing adalah pikiran sebuah institusi yang diuji di depan sidang pendapat umum. Editorial adalah penyajian fakta dan opini yang menafsirkan berita-berita yang penting dan mempebgaruhi pendapat umum (Sumadiria, 2005: 69-71).

Dalam penyajian berita, ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi:

1. Faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media, bagaimana aspek-aspek personal pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak.

2. Rutinitas media. Rutinitas media sangat erat kaitannya dengan mekanisme dan proses penenuan berita karena setiap media mempunyai pandangan tertentu dengan apa yang disebut berita, ciri-ciri dan juga kelayakannya.

3. Organisasi. Level organisasi berkaitan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media bukan orang tunggal di dalam organisasi berita melainkan mereka merupakan bagian kecil didalam organisasi media di mana masing-masing komponen memiliki kepentingan.

(25)

4. Level ideologi. Ideologi disini diartikan kerangka berpikir atau kerangka referensi terentu yang dipakai individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya (Sudibyo, 2001:7-13).

5. Ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lain diluar media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan luar media yaitu:

Pertama, Sumber berita. Sumber berita bukanlah dipandang sebagai pihak yang netral dalam memberikan informasi, dia juga memiliki banyak kepentingan mempengaruhi isi media. Kedua, Sumber penghasilan media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Ketiga, pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis, pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil observasi tersebut ditemukanlah SMA Negeri yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT, mencari pasangan ( Make a Match ), dan Jigsaw

a) Pejabat struktural dengan persyaratan untuk dapat dilakukan medium landing, dapat mengajukan usul untuk mengikuti program PAPS. b) PAPS diajukan secara tertulis

Penelitian ini bertujuan untuk membuat formula strategi bisnis yang dapat digunakan untuk perusahaan dengan menggunakan Bisnis Model Kanvas.. Metode penelitian menggunakan analisa

Menentukan kualitas telur terutama bagian isi dalam telur dapat diketahui dengan peneropongan dan melakukan penilaian kualitas internal telur dengan memecahkan telur kemudian

13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban maupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHAP), tidak pernah disebutkan secara

Menendang bola merupakan suatu usaha untuk memindahkan bola dari seuatu tempat ke tempat lain menggunakan kaki atau menggunakan bagian kaki. Menendang bola

(2) Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi atas SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, dan STPD sebagaimana

Ada tiga aspek yang terdapat dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI untuk mewujudkan kerukunan hidup umat beragama di Indonesia,pertama, aspek ketauhidan (Ketuhanan Yang