• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI RISIKO BAHAYA KIMIA PADA PEKERJA SEKTOR INFORMAL TAHUN 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSEPSI RISIKO BAHAYA KIMIA PADA PEKERJA SEKTOR INFORMAL TAHUN 2014"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI RISIKO BAHAYA KIMIA PADA PEKERJA SEKTOR

INFORMAL TAHUN 2014

Rini Anggraeni, Dadan Erwandi

Occupational Health and Safety Department, Faculty of Public Health, University of Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424, Indonesia

E-mail : anggraeni.rini17@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini membahas mengenai persepsi risiko bahaya kimia pada pekerja sektor informal tahun 2014. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif yang menggunakan kuesioner ceklis untuk menilai variabel-variabel independen. Tujuan penelitian adalah untuk melihat gambaran persepsi terhadap risiko bahaya kimia beserta gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi risiko bahaya kimia, diantaranya pengalaman, kesukarelaan, ketakutan, pengendalian, potensi dampak, dan kondisi lingkungan kerja. Penelitian ini juga dilakukan untuk melihat gambaran perbandingan persepsi pekerja terhadap risiko bahaya kimia di kedua tempat industri informal yaitu industri penyamakan kulit dan industri sablon. Hasil penelitian menggambarkan bahwa secara umum persepsi risiko bahaya kimia pada pekerja sektor informal sudah baik, walaupun masih ada beberapa pekerja yang memiliki persepsi yang buruk terhadap risiko bahaya kimia. Berdasarkan lokasi kerja, persepsi risiko bahaya kimia pada pekerja sablon lebih baik dibandingkan dengan pekerja penyamakan kulit. Persepsi yang baik pada pekerja dikedua tempat ini didapatkan karena : pekerja sudah memiliki pengalaman yang baik terkait kejadian risiko bahaya kimia, sukarela menerima risiko bahaya kimia, memiliki ketakutan terhadap risiko bahaya kimia, pekerja merasa mampu mengendalikan risiko bahaya kimia, menilai risiko bahaya kimia sebagai risiko yang berpotensi katastropik, dan menilai lingkungan kerja sudah aman dari risiko bahaya kimia.

Kata kunci: Persepsi risiko, bahaya kimia, paradigma psikometrik, sektor informal, penyamakan kulit, sablon

Risk Perception of Chemical Hazard on The Informal Sector Workers 2014 Abstract

This research describes risk perception of chemical hazard on the informal sector worker 2014. This is a descriptive study that uses quantitative research methods with quesionnaire checklist as research instrument. Quesionnaire checklist used to assess the independent variabels. The purpose of this study is to see the overview of risk perception of chemical hazard and factors related to perception, such as experience, voluntary, dread, control, effect, and work environment. This study also looked at differences in workers perception between leather industry and shirt screen printing industry. The result of this study show that generally risk perception of chemical hazard on informal sector is good, although there are some workers who still have bad risk perception of chemical hazard. Based on the work location, the risk perception of chemical hazard to shirt screen printing worker is better than leather worker. Workers’ good perception can be achieve because they have good experience about chemical hazard, voluntarily accept the risks of chemical hazard, they are afraid of the risk of chemical hazard, workers assume that they can control the risk of chemical hazard, they assume the risk of chemical hazard as a result of catastropic, and they also assume that their working environment was safe from the risk of chemical hazard.

(2)

Pendahuluan

Peningkatan jumlah angkatan kerja tidak diikuti dengan pertambahan perluasan kesempatan kerja di sektor formal. Berdasarkan data Kemenakertrans, hanya sebanyak 33,74 juta pekerja atau sekitar 30% pekerja Indonesia bekerja pada pekerjaan formal dan sisanya sekitar 73,67 juta orang atau hampir 70% bekerja di sektor informal (Kemenakertrans, 2011).

Kecelakaan dan penyakit akibat kerja menjadi masalah bagi negara berkembang dan negara maju. International Labour Organization (ILO) pada tahun 2012 menyebutkan bahwa setiap tahunnya terdapat 2,2 juta kematian yang terkait dengan pekerjaan dari 2,8 miliar tenaga kerja di dunia, dengan rincian sebanyak 270 juta kecelakaan kerja dan 335.000 diantaranya meninggal dunia, dan 160 juta kejadian penyakit terkait kerja. Berdasarkan data Health and

Safety Executive tahun 2011/2012 dilaporkan bahwa sekitar 13.000 kematian tiap tahunnya

disebabkan karena penyakit paru dan kanker terkait pekerjaan yang disebabkan karena pajanan bahan kimia dan debu di tempat kerja. Sementara itu di Indonesia, berdasarkan PT Jamsostek setiap tahunnya kecelakaan kerja mencapai 99.000 kasus (Jamsostek, 2013). Bila diektrapolasi berdasarkan data ILO yang menunjukan kasus penyakit terkait kerja adalah 60% dari kasus kecelakaan, maka diperkirakan ada sebanyak 50.000 pekerja yang terkena penyakit terkait kerja tiap tahunnya. Kerugian materi yang harus ditanggung dari kejadian kecelakaan kerja dan penyakit terkait kerja di negara-negara berkembang termasuk Indonesia yakni mencapai 4% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) berdasarkan publikasi dari ILO pada tahun 2003. Kerugian materi yang diakibatkan kecelakaan kerja dan penyakit terkait kerja di Indonesia mencapai Rp 280 trilliun berdasarkan kalkulasi 4% dari PDB Indonesia pada tahun 2012 (Kemenakertrans, 2013).

Bahaya atau hazard yang menjadi faktor penyebab risiko timbulnya cidera atau gangguan kesehatan banyak ditemukan di lingkungan tempat kerja. Bahaya kimia sebagai risiko terbesar pada pekerja, dimana terdapat 400 dari 100.000 bahan kimia bersifat karsinogen (Shengli, 2007). Bahaya kimia merupakan bahaya yang disebabkan dari berbagai macam bahan kimia yang digunakan dan dapat menimbulkan bahaya keselamatan dan kesehatan (Hendra, 2011). Bahan kimia sangat perpotensi menimbulkan gangguan kesehatan dari gangguan kesehatan ringan sampai berat seperti dermatitis, kelainan organ hati dan saraf, serta penyebab kanker (Kurniawidjaja, 2011). Sekitar 90.000 jenis bahan kimia yang sudah diketahui termasuk bahan kimia yang digunakan di industri dapat menimbulkan dermatitis (Soebaryo, 2005 dalam Nuraga et al, 2008).

(3)

Pemanfaatan bahan kimia banyak dijumpai di dunia industri formal maupun informal. Penggunaan bahan kimia selain membawa dampak yang positif bagi kemajuan dunia industri, juga memiliki dampak negatif terutama bagi keselamatan dan kesehatan pekerja. Penggunaan bahan kimia sangat luas namun masih banyak yang tidak diiringi dengan peningkatan keselamatan penggunaan bahan kimia pada pekerja, sehingga dapat berdampak pada keselamatan dan kesehatan pekerja. Masih banyak pekerja selaku orang yang kontak langsung dengan bahan kimia yang tidak paham terhadap bahaya keselamatan ataupun kesehatan yang mengancam dikarenakan penggunaan bahan kimia yang tidak sesuai. Begitu juga pihak perusahaan yang kurang memperhatikan aspek keselamatan dan kesehatan pekerja. Faktor internal dan eksternal seperti itu menjadikan seseorang memiliki persepsi yang buruk terhadap risiko yang ditimbulkan oleh bahan kimia.

Persepsi dari seseorang terutama dalam mempersepsikan risiko sangat mempengaruhi terhadap cara seseorang berperilaku (bekerja). Persepsi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan perilaku (Notoatmodjo, 2003). Berdasarkan Robbins (2001), persepsi sebagai suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Persepsi menjadi suatu unsur yang penting karena perilaku individu didasari oleh persepsi individu tersebut.

Industri penyamakan kulit dan industri sablon merupakan beberapa contoh industri sektor informal dengan modal usaha milik keluarga. Kedua industri ini menggunakan bahan-bahan kimia dalam proses produksinya. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam industri baik penyamakan kulit maupun sablon merupakan bahan kimia yang sudah diketahui sebagai bahan yang dapat menimbulkan iritasi, alergi, serta ada yang bersifat korosif.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran persepsi pekerja terhadap risiko bahaya kimia dan faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi risiko bahaya kimia pada pekerja sektor informal. Faktor-faktor yang dimaksud adalah pengalaman pekerja terkait kejadian risiko bahaya kimia, kesukarelaan, ketakutan, pengendalian, potensi dampak terhadap risiko bahaya kimia, dan kondisi lingkungan lingkungan kerja. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat perbedaan persepsi pekerja terhadap risiko bahaya kimia pada kedua sektor informal yaitu industri penyamakan kulit dan industri sablon.

Tinjauan Teoritis

Persepsi risiko adalah penilaian subjektif terhadap kemungkinan dari terjadinya suatu peristiwa kecelakaan dan bagaimana seseorang peduli atau khawatir terhadap dampak atau

(4)

konsekuensi yang ditimbulkan. Alhakami dan Slovic (1994) dalam Slovic dan Peters, (2006) mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara persepsi risiko terhadap keuntungan yang diterima dari suatu kegiatan. Penilaian seseorang terhadap risiko bukan hanya dikarenakan adanya pemikiran terhadap risiko itu sendiri melainkan apa yang mereka rasakan dari kehadiran risiko tersebut. Jika manfaat yang dirasakan besar dari kehadiran risiko tersebut maka akan melemahkan persepsi mereka terhadap risiko. Pelemahan terhadap persepsi risiko ini akan membuat seseorang mempunyai penerimaan yang baik terhadap risiko.

Ada dua teori besar terkait persepsi risiko, pertama yaitu teori budaya (cultural theory) yang dikembangkan oleh sosiolog dan antropolog. Teori lainnya adalah teori risiko berdasarkan paradigma psikometrik yang berakar dari disiplin psikologi dan keputusan ilmu. Asumsi dari paradigma psikometrik bahwa risiko dinilai berdasarkan subjektif seseorang yang dipengaruhi oleh psikologi, sosial, institusi, dan faktor budaya (Sjoberg et al, 2004). Fokus utama paradigma psikometrik adalah bagaimana kognitif individu membangun suatu persepsi terhadap risiko (Jones et al, 2013). Paradigma psikometrik digunakan untuk menjelaskan cara orang memandang risiko. Menurut Huang et al (2013), paradigma psikometrik merupakan metode yang paling berpengaruh dalam penelitian terkait analisis risiko. Menurut Schmidt (2004), faktor-faktor utama yang mempengaruhi persepsi risiko berdasarkan paradigma psikometrik diantaranya :

1. Voluntariness

Dimensi ini mengenai kesukarelaan seseorang dalam menerima risiko. Menurut Renn (1992) yang dikutip dalam Schmidt (2004), jika seseorang memilih suatu aktivitas dengan sukarela maka persepsi risiko rendah (menurun). Sedangkan sebaliknya jika menerima suatu kegiatan dengan kondisi paksaan maka persepsi risiko akan meningkat. Risiko yang dipilih dengan sukarela lebih dapat diterima daripada risiko dalam keadaan terpaksa. 2. Controllability

Penerimaan terhadap risiko dipengaruhi oleh kemampuan diri individu untuk mengendalikan risiko tersebut. Sama halnya dengan aspek kesukarelaan, persepsi risiko akan menurun jika risiko dapat dikendalikan oleh kemampuan diri sendiri. Sebaliknya jika risiko tidak dapat dikendalikan oleh diri sendiri melainkan hanya bisa dikendalikan dengan bantuan orang lain, maka persepsi risiko akan meningkat. Pengendalian yang dimaksud cenderung pada pandangan diri sendiri terhadap kapasitas diri untuk mengendalikan risiko. Selama seseorang merasa mampu mengendalikan risiko, maka mereka tidak merasa risiko tersebut menjadi ancaman bagi diri mereka.

(5)

3. Delay Effect

Karakteristik delay effect adalah masa laten yang panjang antara pajanan dengan timbulnya dampak (efek). Efek yang tidak langsung dirasakan atau efek yang dirasakan dalam jangka waktu lama akan cenderung melemahkan persepsi risiko.

4. Natural vs Manmade

Karakteristik risiko yang terjadi karena faktor alam atau faktor manusia ikut mempengaruhi persepsi seseorang dalam menilai risiko. Risiko yang terjadi karena faktor alam akan mudah diterima daripada risiko yang timbul dari perbuatan manusia. Hal ini karena ada pemikiran bahwa musibah yang datang dari Tuhan merupakan hal yang tidak dapat dicegah ataupun dihindari.

5. Familiarity and Habituation

Seseorang cenderung lebih waspada terhadap sesuatu yang baru atau asing bagi dirinya, sama halnya dalam penilaian risiko. Berdasarkan Hazard & Seidel (1993) dalam Schmidt (2004), risiko yang familiar atau diketahui akan menimbulkan kerugian bagi seseorang, maka dapat meningkatkan penerimaan seseorang terhadap risiko tersebut.

6. Benefit and Risk-Benefit Distribution

Penerimaan terhadap risiko yang terdistribusi merata akan jauh lebih baik dibandingkan dengan risiko yang tidak terdistribusi dengan baik. Risiko yang memiliki manfaat yang jelas bagi banyak orang akan lebih diterima daripada risiko yang tidak ada atau sedikit keuntungannya.

7. The Role other Media

Media sangat turut berperan dan berpartisipasi dalam peningkatan pengetahuan masyarakat. Hal ini juga termasuk dalam informasi tekait risiko. Media yang menyiarkan peristiwa suatu risiko, akan membuat banyak orang yang terpapar informasi tersebut menjadi lebih waspada dan mulai khawatir terhadap risiko tersebut.

Tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan Schmidt (2004), Sjoberg et al (2004) berdasarkan Fischoff et al (2000) mengkomplikasikan paradigma psikometrik terkait faktor persepsi risiko menjadi 9 (sembilan) dimensi yaitu :

1. Voluntariness of risk ; Kesukarelaan seseorang dalam menghadapi risiko. 2. The immediacy of risk ; Kesegeraan efek yang ditimbulkan dari suatu risiko.

3. Known to expose of risk ; Dimensi ini menjelaskan sejauh mana penerimaan risiko yang diketahui oleh seseorang berdasarkan pengalamannya.

(6)

4. Chronic-Catastrophic ; Risiko dapat membunuh seseorang dalam satu waktu (chronic risk) atau risiko dapat membunuh orang dalam jumlah yang banyak pada waktu bersamaan (catastropic risk).

5. Common-Dread ; Risiko yang diterima merupakan sesuatu yang biasa terjadi dalam hidup atau sesuatu yang harus ditakuti karena dianggap sebagai ancaman. Seseorang yang sangat menyadari bahwa kegiatan yang dilakukannya memiliki risiko, biasanya cenderung lebih dapat menerima risiko.

6. The severity of consequences ; Keparahan yang ditimbulkan dari suatu risiko. Persepsi terhadap risiko akan meningkat jika konsekuensi yang ditimbulkan sangat berbahaya atau dapat menimbulkan kematian.

7. Known to science of risk ; Risiko sudah diketahui berdasarkan ilmu pengetahuan. Seseorang akan lebih dapat menerima risiko yang dianggap sudah dapat dikendalikan berdasarkan ilmu pengetahuan.

8. Control over risk ; Dimensi ini menjelaskan sejauh mana seseorang dapat menghindari akibat yang ditimbulkan dari suatu risiko. Anggapan terhadap kemampuan diri yang dapat mengendalian risiko membuat seseorang menilai remeh suatu risiko.

9. Newness ; Kebaruan dari risiko. Seseorang cenderung akan lebih peduli terhadap risiko yang belum diketahui atau baru. Tingkat persepsi risiko seseorang akan menurun jika merasa risiko tersebut sudah diketahui sejak lama.

Kralis dan Csontos (2000) menjelaskan bahwa persepsi terhadap risiko dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal sebagai berikut :

1. Faktor Internal a. Ingatan (Memory)

Kemampuan seseorang untuk mengingat dibedakan menjadi dua yaitu ingatan dalam jangka pendek (short term memory) dan ingatan jangka panjang (long term memory). Seseorang sering mengandalkan ingatan untuk mengingat suatu peraturan atau prosedur kegiatan. Jika seseorang gagal atau tidak akurat dalam mengingat hal-hal yang berkaitan dengan prosedur kegiatan, maka akan berpengaruh terhadap keputusan yang diambil pada waktu itu dan cenderung keputusan yang diambil tidak sesuai dengan yang seharusnya. Persepsi yang didasari dari ingatan bisa menimbulkan bias seiring dengan penurunan ingatan.

(7)

Elemen yang utama dalam ingatan seseorang adalah didasari oleh pengalaman. Pengalaman yang tidak baik terhadap sesuatu akan membuat manusia mengalami trauma. Sehingga membuat seseorang menganggap hal tersebut memiliki risiko. Pengalaman personal terhadap suatu kejadian yang tidak diharapkan seperti kecelakaan akan mendorong atau memotivasi seseorang untuk lebih berhati-hati dalam melakukan kegiatan yang serupa. Menurut Rundmo (1995) dalam Kralis and Csontos (2000), pengalaman cedera yang dialami seseorang akan mempengaruhi mereka dalam mempersepsikan lingkungan kerjanya. Pengalaman memberikan gambaran informasi baru mengenai risiko terhadap individu. Individu yang memiliki informasi yang sedikit mengenai pengalaman yang dialami akan mempengaruhi persepsinya (Geller, 2001). c. Pengetahuan (Knowlegde)

Menurut Johnson (1993) dalam Kralis and Csontos (2000), seseorang yang berani mengambil risiko memiliki pengetahuan yang kurang dibandingkan dengan seseorang yang tidak berani mengambil risiko.

d. Suasana Hati (Mood)

Mood mempengaruhi terhadap penerimaan informasi. Jika mood tidak baik akan

cenderung mengingat kembali peristiwa yang negatif atau tidak menyenangkan. Seseorang yang memiliki suasana hati yang baik akan menjadi lebih bersahabat, koperatif, dan mendukung orang lain. Seseorang yang dalam suasana hati yang tidak baik akan overestimate terhadap peluang terjadinya konsekuensi yang negatif. Mereka cenderung merasa bahwa mereka kurang mampu untuk mempengaruhi hasil yang berisiko.

2. Faktor Eksternal

a. Stres Kerja (Work Stress)

Kekhawatiran finansial, beban kerja, dan tekanan waktu kerja (deadline) semuanya mempengaruhi penerimaan terhadap bahaya. Keadaan stres kerja membuat seseorang merasa tertekan sehingga mengutamakan aspek pekerjaan diatas aspek keselamatan atau kesehatan kerja. Akibatnya seseorang menjadi kurang berhati-hati dan melemahkan kontrol diri untuk mencegah timbulnya risiko.

b. Tekanan Kelompok (Group Pressure)

Persepsi tidak hanya bergantung dari dalam diri seseorang melainkan juga dipengaruhi oleh orang-orang yang ada disekitar terurtama yang bekerja dalam suatu kelompok. Jika ada anggota dalam suatu kelompok yang dihormati dan dianggap memiliki

(8)

pengalaman yang lebih banyak memberi tahu kita tentang sesuatu yang aman, maka kita cenderung untuk menerima keputusan tersebut.

c. Paparan dan Pengendalian Risiko (Exposure to and control of the risk)

Pengendalian yang ada di lingkungan kerja menjadi faktor yang mempengaruhi persepsi risiko. Kita merasa aman berada di suatu lingkungan karena pengendalian yang dilakukan di tempat tersebut baik sehingga kita beranggapan bahwa kemungkinan terjadinya risiko kecil. Hal ini akan melemahkan persepsi seseorang terhadap risiko.

d. Performa Keselamatan Tempat Kerja (Workplace safety performance)

Keadaan tempat kerja yang tidak pernah terjadi kasus kecelakaan dalam jangka waktu lama menimbulkan kepercayaan bahwa lingkungan kerja aman. Lingkungan kerja yang tinggi kasus kecelakaannya mengurangi rasa aman sehingga persepsi akan risiko tinggi dan akan lebih fokus terhadap upaya keselamatan.

Metode Penelitian

Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif untuk melihat gambaran persepsi pekerja terhadap risiko bahaya kimia di tempat kerja. Penelitian ini menggunakan studi penelitian cross-sectional. Analisis data yang digunakan di dalam penelitian ini yaitu dilakukan dengan analisis univariat. Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau menggambarkan masing-masing variabel independen dan dependen.

Penelitian ini akan dilakukan di dua tempat industri informal, yaitu Industri Penyamakan Kulit X dan Industri Sablon Y. Industri Penyamakan Kulit X terletak di Citeureup Bogor, Jawa Barat. Sedangkan Industri Sablon Y terletak di Jakarta. Alasan pemilihan kedua lokasi penelitian karena penelitian ini ingin meneliti mengenai persepsi pekerja terhadap risiko bahaya kimia, sehingga lokasi yang sesuai adalah industri yang menggunakan bahan-bahan kimia dalam proses industrinya. Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu dari awal bulan April sampai akhir bulan Mei 2014.

Variabel yang diamati pada penelitian ini terdiri dari variabel independen, yaitu pengalaman terhadap kejadian risiko bahaya kimia, kesukarelaan, ketakutan, pengendalian, potensi dampak terhadap risiko bahaya kimia, dan kondisi lingkungan kerja. Variabel dependen yaitu persepsi pekerja terhadap risiko bahaya kimia. Variabel tambahan yang diukur dengan

(9)

persepsi risiko bahaya kimia dan faktor-faktor yang berhubungan ialah karakteristik pekerja seperti jenis kelamin, usia, lama bekerja, dan status pendidikan.

Populasi penelitian adalah seluruh pekerja dari kedua tempat penelitian yaitu sebanyak 108 orang. Dari populasi penelitian didapatkan sampel dengan teknik pengambilan sampel

purposive sampling, yaitu sebanyak 35 pekerja dari Penyamakan Kulit X dan 28 pekerja dari

Sablon Y. Total sampel penelitian adalah 63 pekerja. Pekerja yang dijadikan sampel ini merupakan pekerja yang sehari-hari menggunakan bahan kimia atau kontak dengan bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi.

Penelitian ini menggunakan alat ukur berupa kuesioner tertutup yang diisi sendiri oleh responden dan didukung dengan wawancara beberapa informan. Skala pengukuran yang dipakai dalam kuesioner penelitian ini adalah Skala Likert. Skala Likert dalam penelitian ini bernilai 1 – 4 yang digunakan untuk mengukur variabel-variabel independen. Skala Likert mempunyai gradasi jawaban dari sangat positif hingga sangat negatif dan dibuat dalam bentuk jawaban centang (ceklist). Instrumen penelitian (kuesioner) yang digunakan untuk penelitian ini sudah melewati uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan dengan teknik tryout terpakai yaitu langsung terhadap sampel penelitian.

Teknik analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif yaitu untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau memaparkan data yang telah terkumpul, yang kemudian disajikan melalui tabel, perhitungan skor rataan, presentasi, dan interpretasi. Berdasarkan rentang skala 1 – 4 (sangat tidak setuju – sangat setuju) kemudian didapatkan skor. Skor tiap variabel kemudian dibagi berdasarkan masing-masing jumlah penyataan yang mewakili variabel tersebut sehingga didapat skor rataan. Dari skor rataan tersebut kemudian dibuat pengkategorian dengan rumus sebagai berikut (Simamora, 2002) :

RS =

Keterangan : RS = Rentang skala

m = Angka tertinggi di dalam pengukuran n = Angka terendah di dalam pengukuran

(10)

Berdasarkan rumus tersebut, maka posisi keputusan penilaian untuk setiap variabel memiliki rentang 1.5 skala sebagai berikut :

skor rataan 1.0 – 2.5 = negatif dan 2.6 – 4.0 = positif

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berdasarkan karakteristik, responden mayoritas adalah berjenis kelamin laki-laki, memiliki usia 17 – 35 tahun, memiliki lama bekerja selama 1 – 12 tahun, dan memiliki status pendidikan SMA.

Tabel 1. Karakteristik Responden

Variabel N % Jenis kelamin Laki-Laki 56 88.9 Perempuan 7 11.1 Usia 17 – 35 th 45 71.4 36 – 53 th 18 28.6 Lama Bekerja 1 – 12 th 50 79.4 13 – 23 th 13 20.6 Pendidikan SD 12 19.0 SMP 22 34.9 SMA 28 44.4 S1 1 1.6 Pengalaman

Tabel 2 . Distribusi Variabel Pengalaman Berdasarkan Karakteristik Responden

Pengalaman (skor rataan)

Jenis Kelamin Laki-Laki 2.75 Perempuan 2.46 Usia 17-35 th 2.68 36-53 th 2.80 Lama Bekerja 13-23 th 1-12 th 2.64 3.02 Pendidikan SD 2.67 SMP 2.58

(11)

SMA 2.83

S1 3.00

Responden sebagian besar memiliki skor rataan diatas 2.5 yang artinya responden memiliki pengalaman yang baik terkait kejadian risiko bahaya kimia. Berdasarkan Robbins (2001), faktor yang relevan mempengaruhi persepsi seseorang adalah pelaku persepsi (subjek), faktor situasi, dan faktor target. Faktor pelaku persepsi sangat juga bergantung kepada karakteristik individu, salah satu karakteristik yaitu pengalaman seseorang sebagai pelaku yang mempersepsikan. Bahaya yang sama akan dinilai berbeda dengan pengalaman yang berbeda. Menurut Geller (2001) seseorang yang mempunyai pengalaman terhadap suatu bahaya yang menimbulkan kerugian kepada dirinya akan membuat persepsi mereka terhadap bahaya tersebut menjadi meningkat. Jones, et al (2013) yang melakukan penelitian persepsi bahaya dan bencana, membuktikan bahwa pengalaman yang pernah dialami di masa lalu akan membuat seseorang memiliki ketakutan yang lebih tinggi terhadap bahaya yang sama dibandingkan dengan orang lain yang tidak pernah mengalaminya.

Seperti halnya risiko bahaya kimia pada pekerja informal, pekerja yang pernah mengalami kecelakaan saat menggunakan bahan-bahan kimia seperti terkena tumpahan bahan korosif akan menyadari bahwa bahan kimia itu berbahaya dan dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya. Sehingga dikemudian hari mereka akan cenderung lebih berhati-hati terhadap bahan kimia tersebut, karena adanya trauma dan tidak ingin mengalami kejadian yang serupa. Pekerja yang mempunyai pengalaman terkait kejadian risiko bahaya kimia akan memiliki persepsi yang lebih baik terhadap risiko bahaya kimia dibandingkan pekerja yang tidak memiliki pengalaman.

Kesukarelaan

Tabel 3. Distribusi Variabel Kesukarelaan Berdasarkan Karakteristik Responden

Kesukarelaan (skor rataan)

Jenis Kelamin Perempuan Laki-Laki 2.36 2.48

Usia 17-35 th 2.46 36-53 th 2.18 Lama Bekerja 1-12 th 2.43 13-23 th 2.19 Pendidikan SD 2.30 SMP 2.31 SMA 2.46 S1 2.39

(12)

Seluruh responden memiliki skor kesukarelaan dibawah 2.5 yang diinterpretasikan bahwa responden sukarela menerima risiko bahaya kimia. Schmidt (2004) menyatakan bahwa persepsi terhadap risiko akan rendah jika risiko dipilih secara sukarela, dan sebaliknya jika dipilih secara terpaksa maka persepsi risiko akan tinggi. Seseorang akan menerima risiko yang jelas 1000 kali lebih berbahaya jika menerima risiko tersebut secara sukarela dibandingkan dengan risiko yang diterima dengan terpaksa. Alasan seseorang sukarela menerima risiko karena adanya pertimbangan keuntungan yang akan didapatkan dari kehadiran risiko tersebut dan karena tidak ada pilihan lain lagi yang lebih baik. Sehingga mau tidak mau harus menerima (sukarela) terhadap kehadiran risiko tersebut.

Baik industri penyamakan kulit maupun sablon merupakan industri yang tidak mungkin tidak menggunakan bahan-bahan kimia dalam proses industrinya. Bahan-bahan kimia merupakan bahan yang harus digunakan dan belum ada alternatif lain untuk menggantikan kehadiran bahan-bahan kimia tersebut. Oleh karena itu, pekerja mau tidak mau menjadi sukarela menerima risiko yang dapat timbul dari bahan-bahan kimia tersebut selama mereka bekerja di tempat itu. Mereka merasa bahwa bahan-bahan kimia itu memang harus mereka gunakan untuk keberlangsungan produksi maupun untuk meningkatkan kualitas hasil produksi. Sejalan dengan hasil wawancara dengan pekerja, bahwa meskipun mereka menyadari bahwa bahan-bahan kimia yang mereka gunakan sehari-hari dapat menimbulkan gangguan kesehatan atau ancaman keselamatan, mereka tetap menerima penggunaan bahan-bahan kimia tersebut. Penerimaan yang tinggi terhadap penggunaan bahan-bahan kimia menimbulkan kesukarelaan pula terhadap risiko yang dapat ditimbulkan. Kesukarelaan terhadap risiko yang tinggi membuat persepsi pekerja terhadap risiko bahaya kimia menjadi rendah.

Ketakutan

Tabel 4. Distribusi Variabel Ketakutan Berdasarkan Karakteristik Responden

Ketakutan (skor rataan)

Jenis Kelamin Laki-Laki 2.87 Perempuan 2.94 Usia 17-35 th 2.88 36-53 th 2.87 Lama Bekerja 13-23 th 1-12 th 2.88 2.87 Pendidikan SD 2.98 SMP 3.15 SMA 2.62 S1 2.93

(13)

Seluruh responden memiliki skor ketakutan diatas 2.5, artinya semua responden menilai risiko bahaya kimia sebagai hal yang menakutkan. Kesukarelaan seseorang akan berlawanan dengan nilai ketakutan. Hal ini dikarenakan jika seseorang sukarela terhadap sesuatu maka akan membuat orang tersebut tidak memperdulikan rasa takut, sehingga menurunkan nilai ketakutannya terhadap risiko. Menurut Sjoberg et al (2004) risiko yang diterima merupakan sesuatu yang biasa terjadi dalam hidup atau sesuatu yang harus ditakuti karena dianggap sebagai ancaman. Segala sesuatu yang dirasa mengancam akan lebih diwaspadai. Risiko akan dinilai tinggi karena dapat menimbulkan ketakutan yang besar bagi seseorang. Rasa takut yang muncul kerap hubungannya dengan potensi dampak yang dihasilkan.

Seseorang akan berupaya menghindari sesuatu yang dianggap menakutkan dan mengancam diri. Bagi pekerja yang sudah pernah mengalami cidera akibat bahan kimia akan memiliki ketakutan yang lebih dibandingkan dengan pekerja yang tidak pernah cidera. Tetapi untuk seseorang yang sudah familiar dengan risiko akan membuat ketakutan mereka akan risiko tersebut berkurang. Berdasarkan wawancara bahwa pekerja memang takut jika mendengar potensi dampak yang bisa disebabkan karena bahaya kimia seperti kanker. Tetapi selama ini dampak yang ditimbulkan hanya sebatas gatal-gatal. Pekerja merasa sudah terbiasa dengan gatal-gatal yang mereka rasakan saat kontak dengan bahan kimia, sehingga mereka tidak terlalu takut akan risiko gatal-gatal tersebut. Mereka sudah familiar atau terbiasa dengan risiko gatal-gatal yang mereka alami saat kontak dengan bahan-bahan kimia. Selain itu menurut mereka risiko tersebut masih bisa mereka tolerir sehingga bukan menjadi sesuatu yang sangat menakutkan lagi.

Pengendalian

Tabel 5. Distribusi Variabel Pengendalian Berdasarkan Karakteristik Responden

Pengendalian (skor rataan)

Jenis Kelamin Perempuan Laki-Laki 2.13 2.34 Usia 17-35 th 36-53 th 2.22 1.99 Lama Bekerja 1-12 th 2.22 13-23 th 1.93 Pendidikan SD 2.13 SMP 2.04 SMA 2.26 S1 2.17

(14)

Sebagian besar responden memiliki skor pengendalian dibawah 2.5, yang artinya responden merasa mampu mengendalikan risiko bahaya kimia. Seperti yang dikemukakan Schmidt (2004), bahwa penerimaan terhadap risiko dipengaruhi oleh kemampuan diri individu untuk mengendalikan risiko tersebut. Persepsi risiko akan menurun jika risiko dapat dikendalikan oleh kemampuan diri sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Kemampuan diri dalam mengontrol risiko bukan arti sebenarnya melainkan kepada kepercayaan diri yang merasa bahwa risiko tersebut dapat dikendalikan dengan kemampuan diri. Penelitian Sjoberg et al (2004) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan dalam mempersepsikan risiko diantara orang awam dan seorang ahli. Seorang ahli memiliki persepsi terhadap risiko yang lebih rendah karena mereka memiliki kepercayaan diri bahwa mereka dapat mengendalikan risiko tersebut dengan baik dibandingkan orang awam.

Seperti yang dialami oleh pekerja dalam penelitian risiko terhadap bahaya kimia ini, mereka merasa bahwa selama mereka menggunakan bahan-bahan kimia dengan prosedur yang sesuai maka tidak perlu merasa khawatir dengan risiko yang dapat muncul dari bahan-bahan kimia tersebut. Semakin sulit suatu risiko dikontrol atau kendalikan maka akan semakin tinggi penilaiannya terhadap risiko tersebut. Berdasarkan wawancara, para pekerja merasa bahwa selama mereka bisa mengontrol dengan baik risiko dari bahan-bahan kimia yang mereka gunakan, maka tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tetapi pengendalian diri ini pun menjadi lemah jika pekerja sedang terburu-buru atau kurang konsentrasi sehingga mengurangi kehati-hatian mereka.

Potensi Dampak

Tabel 6. Distribusi Variabel Potensi Dampak Berdasarkan Karakteristik Responden

Potensi Dampak (skor rataan)

Jenis Kelamin Laki-Laki 2.87 Perempuan 2.95 Usia 17-35 th 36-53 th 2.84 2.96 Lama Bekerja 13-23 th 1-12 th 2.87 2.92 Pendidikan SD 2.91 SMP 3.01 SMA 2.76 S1 2.73

Sebagian besar responden memiliki skor potensi dampak diatas 2.5, yang artinya potensi dampak yang ditimbulkan dari risiko bahaya kimia bersifat katastropik. Covello dan

(15)

Merkhofer dalam Afifah (2012), mengemukakan bahwa seseorang akan lebih memperhatikan suatu risiko yang dapat menimbulkan kasus besar (katastropik) atau fatal. Perhatian pada dampak yang besar ini akan menimbulkan penilaian risiko menjadi tinggi. Selain tergantung dari besarnya dampak yang ditimbulkan, karakteristik risiko yang bersifat kronik juga mempengaruhi persepsi risiko menjadi rendah. Seseorang akan lebih waspada atau lebih memperhatikan pada kasus kecelakaan yang bersifat fatal, menimbulkan kerugian dalam skala besar, dan langsung terlihat dampaknya dalam jangka waktu pendek.

Pekerja yang menjadi responden penelitian ini secara statistik menilai dampak yang ditimbulkan dari bahan-bahan kimia adalah sesuatu yang besar (katastropik). Tetapi berdasarkan wawancara, pekerja merasa potensi dampak yang ditimbulkan dari bahan-bahan yang biasa mereka gunakan hanya sebatas dapat menimbulkan sesak napas ringan maupun gatal-gatal. Mereka tidak menyadari bahwa akan ada dampak yang lebih besar jika bahan-bahan kimia tersebut memajan tubuh mereka dalam waktu yang lama. Sehingga hampir sebagian pekerja tidak mempedulikan dampak dari risiko bahan-bahan kimia tersebut dan menilai bahwa risiko bahaya kimia merupakan sesuatu yang tidak bersifat fatal.

Kondisi Lingkungan Kerja

Tabel 7. Distribusi Variabel Kondisi Lingkungan Kerja Berdasarkan Karakteristik Responden

Kondisi Lingkungan Kerja (skor rataan) Jenis Kelamin Perempuan Laki-Laki 2.21 2.20

Usia 17-35 th 2.27 36-53 th 2.06 Lama Bekerja 1-12 th 2.25 13-23 th 2.06 Pendidikan SD 2.21 SMP 2.18 SMA 2.20 S1 2.88

Sebagian besar pekerja memiliki skor lingkungan kerja dibawah 2.5, yang artinya lingkungan kerja dinilai sudah aman dari risiko bahaya kimia. Kralis and Csontos (2000) menjelaskan bahwa persepsi terhadap risiko dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal salah satunya adalah lingkungan. Persepsi pekerja akan ikut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang tidak pernah terjadi kasus kecelakaan akan menimbulkan anggapan bahwa lingkungan kerja sudah aman. Rasa aman ini membuat pekerja

(16)

risiko. Ketika seseorang merasa aman berada di suatu lingkungan karena pengendalian yang dilakukan di tempat itu dirasa sudah baik, maka orang tersebut akan beranggapan bahwa kemungkinan terjadinya risiko di tempat kerja mereka adalah kecil. Sehingga melemahkan persepsi orang tersebut terhadap risiko yang sebenarnya bisa terjadi.

Begitu juga yang terjadi di lokasi penelitian persepsi risiko terhadap bahaya kimia, dimana dalam jangka waktu yang lama tidak pernah ditemukan kasus atau kejadian kecelakaan yang bersifat fatal atau berdampak besar. Sehingga pekerja menilai tempat kerja mereka sudah cukup aman. Padahal seperti yang diketahui bahwa risiko kesehatan sebagian besar akan muncul dalam jangka waktu lama dan memungkinkan menimbulkan kejadian fatal seperti kanker. Tetapi karena tidak dapat terlihat secara langsung dampaknya, maka pekerja merasa bahwa lingkungan kerja mereka sudah aman.

Persepsi Risiko Bahaya Kimia

Tabel 8. Persepsi Berdasarkan Karakteristik Responden

Persepsi Risiko Bahaya Kimia (skor rataan) Jenis Kelamin Laki-Laki 2.52

Perempuan 2.55 Usia 17-35 th 2.55 36-53 th 2.46 Lama Bekerja 1-12 th 2.53 13-23 th 2.48 Pendidikan SD 2.52 SMP 2.53 SMA 2.51 S1 2.67

Sebagian besar responden memiliki skor persepsi diatas 2.5, yang artinya sebagian besar responden memiliki persepsi yang baik terhadap risiko bahaya kimia. Persepsi seseorang terhadap sesuatu termasuk risiko didominasi oleh penilaian subjektif, sehingga persepsi risiko antara seseorang dengan orang yang lainnya kemungkinan besar akan berbeda (Sjoberg et al, 2004). Banyak faktor yang mempengaruhi penilaian seseorang terhadap suatu risiko seperti yang dikemukakan oleh Fischhoff dalam paradigma psikometriknya. Menurut Brun (1994) dalam Sjoberg et al (2004), menjelaskan bahwa risiko akan terlihat berbeda dengan cara yang berbeda untuk orang yang berbeda pula.

Persepsi terhadap suatu risiko merupakan hasil dari gabungan antara berbagai faktor yang mempengaruhinya. Pengalaman yang baik, kesukarelaan terhadap risiko yang rendah, ketakutan yang tinggi, ketidakmampuan mengontrol risiko tanpa bantuan orang lain, potensi

(17)

dampak yang besar, dan lingkungan kerja yang belum baik membuat seseorang memiliki persepsi terhadap risiko menjadi tinggi. Perbedaan setiap faktor-faktor tersebut mempengaruhi penilaian seseorang terhadap risiko (Schmidt, 2004).

Persepsi Risiko Bahaya Kimia Berdasarkan Lokasi Kerja

Tabel 9. Persepsi Risiko Pekerja Berdasarkan Lokasi Kerja

Variabel Skor Rataan Keterangan

Penyamakan Kulit Sablon

Pengalaman 2.71 2.73 1.0 – 2.5 Pengalaman buruk 2.6 – 4.0 Pengalaman baik Kesukarelaan 2.36 2.40 1.0 – 2.5 Sukarela

2.6 – 4.0 Terpaksa

Ketakutan 2.86 2.91 1.0 – 2.5 Tidak menakutkan 2.6 – 4.0 Menakutkan Pengendalian 2.05 2.29 1.0 – 2.5 Terkontrol 2.6 – 4.0 Tidak terkontrol Potensi Dampak 2.96 2.77 1.0 – 2.5 Kronik 2.6 – 4.0 Katastropik Lingkungan Kerja 2.12 2.32

1.0 – 2.5 Lingkungan kerja baik 2.6 – 4.0 Lingkungan kerja buruk Persepsi

Risiko 2.49 2.56

1.0 – 2.5 Persepsi buruk 2.6 – 4.0 Persepsi baik

Persepsi pekerja di sablon terhadap risiko bahaya kimia lebih baik dibandingkan pada pekerja sablon.

Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis mengenai persepsi pekerja terhadap risiko bahaya kimia, dapat disimpulkan bahwa responden penelitian terhadap persepsi risiko bahaya kimia ini didominasi oleh kelompok laki-laki, mayoritas berusia 17-35 tahun, dengan lama kerja yang terbilang masih baru (1-12 tahun), dan dengan status pendidikan SMA. Secara keseluruhan, persepsi risiko bahaya kimia pada pekerja informal sudah baik, walaupun masih ditemukan beberapa pekerja yang masih memiliki persepsi buruk terhadap risiko bahaya kimia. Pekerja sektor informal memiliki pengalaman yang baik terkait kejadian risiko bahaya kimia. Hampir sebagian besar pekerja yang sudah lama bekerja pernah mengalami kejadian celaka seperti tertumpah bahan-bahan kimia korosif atau mengalami iritasi kulit karena bahan kimia. Kesukarelaan pekerja terhadap risiko bahaya kimia sangat tinggi. Pekerja secara sukarela menerima risiko yang ditimbulkan dari bahaya kimia. Pekerja merasa risiko yang

(18)

ditimbulkan dari bahaya kimia sebagai sesuatu yang menakutkan dan dapat mengancam keselamatan ataupun kesehatan. Pekerja merasa bahwa mereka memiliki kemampuan yang baik dalam mengendalikan risiko bahaya kimia tanpa bantuan orang lain. Potensi dampak dari risiko bahaya kimia adalah besar (katastropik). Tetapi dengan pengendalian yang baik, pekerja merasa bahwa potensi dampak yang ditimbulkan tidak menimbulkan kejadian fatal. Sebagian besar pekerja merasa bahwa lingkungan kerja mereka sudah cukup aman. Perasaan aman ini muncul karena dalam kurun waktu lama tidak ditemukan kejadian risiko yang besar. Berdasarkan lokasi kerja, persepsi risiko bahaya kimia pada pekerja sablon lebih baik dibandingkan pada pekerja penyamakan kulit.

Saran

Perlu adanya perbaikan dalam penyimpanan bahan-bahan kimia, dimana bahan kimia diletakkan (dikelompokkan) berdasarkan karakteristik bahan kimia. Jika bahan kimia tidak sedang digunakan maka wadah bahan kimia harus dalam kondisi tertutup untuk mengurangi penguapan bahan kimia. Pekerja disarankan untuk menggunakan alata pelindung diri yang sesuai dan menggunakan pakaian tertutup untuk mengurangi kontak langsung dengan bahan kimia. Pekerja juga disarankan untuk membiasakan hidup bersih seperti mencuci tangan setelah menggunakan bahan kimia serta tidak makan/minum/merokok di lokasi kerja.

Selain bagi pekerja, perusahaan juga dihimbau untuk menyediakan tempat penyimpanan bahan kimia yang aman, menyediakan lembar keselamatan untuk setiap bahan kimia, membuat prosedur kerja yang aman, dan mensosialisasikan prosedur kerja tersebut kepada pekerja dengan baik. Perusahaan juga disarankan untuk melakukan tata graha yang baik agar lingkungan kerja bersih dan nyaman bagi pekerja. Perusahaan juga disarankan untuk menjalin kerja sama dengan PTK PPKK (Unit Pelaksana Teknis Pusat Pelayanan Kesehatan Kerja) setempat untuk membantu memberikan sosialisasi pada pekerja terkait upaya keselamatan dan kesehatan pekerja.

Daftar Referensi

Afifah, I. (2012). Studi Persepsi Risiko Ibu Rumah Tangga Terhadap Gempa Bumi Di RW 02

Kelurahan Menteng Atas Jakarta Selatan Tahun 2011. Depok: FKM UI.

Geller, S. E. (2001). The Psychology of Safety Handbook. USA: CRC Press LLC.

Health and Safety Executive. (2013). Annual Statistics Report for Great Britain 2012/2013. January 14, 2014. www.hse.gov.uk/statistics/

(19)

Health and Safety Executive. (2013). Health and Safety Statistics. January 7, 2014. www.hse.gov.uk/statistics/

Health and Safety Executive. (2013). Statistics on Fatal Injuries in The Workplace in Great

Britain 2013. January 14, 2014. www.hse.gov.uk/statistics/

Hendra. (2011). Bahaya Kimia Di Tempat Kerja. Modul Kuliah Higiene Industri Program

Sarjana Sesi ke-11. FKM UI.

Huang, L., Ban, J., Sun, K., Han, Y., Yuan, Z., & Bi, J. (2013). The Influence of Public Perception on Risk Acceptance of The Chemical Industry and The Assistance for Risk Communication. Safety Science, 51.

International Labor Organization. (2012). Estimating The Economic Costs of Occupational

Injuries and Illness in Developing Countries: Essensial Information for Decision-Makers.

International Labour Office. Geneva.

Jones, E. C., Faas, A. J., & Murphy, A. D. (2013). Cross-Cultural and Site-Based Influences

on Demographic, Well-being, and Social Network Predictors of Risk Perception in Hazard and Disaster Setting in Ecuador and Mexico. Springer Science.

Kemenakertrans RI. (2011). Perkembangan Ketenagakerjaan Di Indonesia. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jakarta.

Kemnakertrans RI. (2013). Cegah Kecelakaan Kerja, Kemnakertrans Kerahkan 138 Mobil

URC. Januari 7, 2014. www.depnakertrans.go.id/news.html,118,naker

Krallis, D., & Csontos, A. (2000). From Risk Perception to Safe Behaviour. Sydney, Australia: Deloitte Touche Tohmatsu.

Kurniawidjaja, M. L. (2011). Teori Dan Aplikasi Kesehatan Kerja. (Cetakan Ke II ed. 1). Jakarta: UI-Press.

Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Nuraga, W., et al. (2008). Dermatitis Kontak Pada Pekerja yang Terpajan dengan Bahan

Kimia Di Perusahaan Industri Otomotif Kawasan Industri Cibitung Jawa Barat. Jurnal

Makara Kesehatan Vol 12 No. 2 Desember 2008: 63-69. Universitas Indonesia.

Robbins, S. P. (2001). Organizational Behavior (9 th ed.). New York: Prentice Hall International.

Schmidt, M. (2004). Investigating Risk Perception : a short Introduction. Chapter 3

in :Schmidt M. 2004. Loss of Agro-Biodiversity in Vavilov Center, with a Special Focul on The Risks of Genetically Modified Organisms (GMOs). Austria.

Shengli, Niu. (2007). Recognition of Work-related Origin of Diseases Caused by Biological

Agent – an ILO Perspective. ILO.

Simamora, B. (2002). Panduan Riset Perilaku Konsumen. Jakarta: Gramedia.

Sjoberg, L., Moen, B. E., & Torbjom, R. (2004). Explaining Risk Perception. An Evaluation

of The Psychometric Paradigm in Risk Perception Research. Trodheim, Norwey:

(20)

Slovic, P., & Peters, E. (2006). Risk Perception and Effect. Current Directions in Psychological Science, http://cdp.sagepub.com/content/.

Suara Merdeka dalam Web BPJS Ketenagakerjaan. (2013). Pengawasan SMK3 lemah,

Kecelakaan Kerja Makin Marak. January 7, 2014.

(http://www.jamsostek.co.id/content/news.php?id=3906.

World Health Organization. (2002). Bahaya Bahan Kimia pada Kesehatan Manusia dan

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Responden
Tabel 3. Distribusi Variabel Kesukarelaan Berdasarkan Karakteristik Responden
Tabel 4. Distribusi Variabel Ketakutan Berdasarkan Karakteristik Responden
Tabel 5. Distribusi Variabel Pengendalian Berdasarkan Karakteristik Responden
+5

Referensi

Dokumen terkait

(rules) dan sumberdaya (resources) yang terbentuk (dan membentuk) dari perulangan praktik sosial. Dualitas struktur dan pelaku merupakan hasil sekaligus sarana suatu

Tipe administratif kepemimpinan ini mampu menyelengarakan tugas-tugas administrasi secara efektif. Pimpinannya biasanya terdiri dari teknokrat dan

Kesimpulan  dari  penelitian  tersebut  adalah  “terdapat  pengaruh  kesehatan  ‘sosial  ekonomi’  keluarga  terhadap  tingkat  kesehatan  anak”  (Yoga, 

Dari hasil output SPSS di atas menunjukkan bahwa pengaruh dari Z (QR) terhadap Y pada output pertama dan pengaruh moderat2 (Z*X2) pada output kedua, tidak ada satupun

INTISARIPerkembangan Teknologi begitu pesat sehingga memiki banyak feature dan pilihan model yang yang ditawarkan.Notebook merupakan peralatan teknologi yang banyak

Berdasarkan hasil observasi dan angket, didapatkan bahwa media komik sangat baik atau praktis digunakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa mata pelajaran IPS

Capaian Sasaran Strategis 1 yaitu Peningkatan Kegemaran Membaca, berdasarkan realisasi capaian Tahun 2015 sebesar rasio 1/1.000 atau dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki

 pada kuadran kuadran I I (Turn (Turn Agresif) Agresif) yang yang artinya artinya dalam dalam pelaksanaannya pelaksanaannya manajemen manajemen strategi, ruang