• Tidak ada hasil yang ditemukan

TI JAUA PUSTAKA. Please purchase 'e-pdf Converter and Creator' on to remove this message.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TI JAUA PUSTAKA. Please purchase 'e-pdf Converter and Creator' on to remove this message."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TIJAUA PUSTAKA

Rabies atau penyakit anjing gila, dikenal juga dengan nama Lyssa (Inggris), Rage (Perancis), dan Tolwut (Jerman), adalah infeksi viral akut pada susunan syaraf yang ditandai dengan kelumpuhan yang progresif dan berakhir dengan kematian. Penyakit ini adalah zoonosis yang menyerang hewan berdarah panas dan manusia. Secara umum, anjing merupakan hewan penular terpenting di kasus rabies pada manusia. Manusia biasanya tertular melalui gigitan hewan terinfeksi (WHO 2006).

Kasus rabies pada manusia di Asia adalah yang tertinggi di dunia. Di Banglades, India dan Pakistan lebih dari 40.000 orang meninggal akibat rabies setiap tahun dan pada umumnya 94-98 % kasus terjadi akibat gigitan anjing. Jumlah sesungguhnya dari manusia yang meninggal akibat rabies ditaksir lebih tinggi di negara berkembang karena diduga lebih banyak kasus yang tidak dilaporkan ke aparat yang berwenang. Di Cina, kasus kematian akibat rabies adalah kasus tertinggi nomor 2 di dunia (Tang et al. 2005).

Laporan World Health Organization tahun 1998 menyatakan bahwa di Indonesia hingga tahun 1989 terdapat kurang lebih 250 kasus rabies pada manusia dan 1500 kasus rabies pada hewan setiap tahun dengan kasus gigitan anjing yang tercatat sejumlah 22.000-24.000. Anjing merupakan hewan penular pada 98 % kasus rabies di manusia. Pengendalian rabies dilakukan dengan membunuh anjing dan vaksinasi massal pada anjing walaupun hasilnya tidak terlihat secara maksimal hingga pada tahun 1989 dilakukan kerjasama antara Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan dan Departemen Dalam Negeri. Sejak saat itu lebih dari dua juta vaksin telah disebarkan ke seluruh Indonesia. Pada tahun 1990 hingga 1997, jumlah kasus kematian rabies pada manusia menurun dari 62 menjadi 43 kasus dengan kasus rabies pada hewan yang telah diteguhkan di laboratorium menurun dari 1570 menjadi 859 kasus. Kasus gigitan hewan yang pada tahun 1990 terjadi lebih dari 17.000 kasus menurun menjadi di bawah 15.000 kasus di tahun 1997. Selain itu perlakuan pasca gigitan menurun dari sekitar 11.000 menjadi kurang dari 7000 kasus pada tahun 1997 (WHO 1998).

(2)

Laporan WHO tahun 2005 menyatakan bahwa terjadi peningkatan kasus dari tahun 1998 hingga tahun 2000, yaitu dari 83 menjadi 110 kasus. Seperti yang terpapar pada Tabel dan penyebaran kasus di Indonesia terlihat pada Gambar 2 di bawah ini.

Tabel 4 Kasus kematian manusia akibat rabies di Indonesia tahun 1990-2000. Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Jumlah

kasus 62 93 58 93 115 75 65 50 83 144 110

Sumber : WHO/CDS-Zoonosis 2005

Gambar 2 Kasus rabies pada manusia tahun 2000 (WHO 2005a)

Menurut WHO (2005a), beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kejadian rabies yang tinggi di Indonesia antara lain jumlah anjing yang cukup besar, baik anjing peliharaan maupun anjing liar, dan kurangnya fasilitas untuk penanganan kasus gigitan anjing. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai penanganan kasus gigitan serta terbatasnya jumlah vaksin pasca gigitan dan obat-obat lainnya (seperti immunoglobulin) membuat tingkat kematian manusia semakin tinggi.

(3)

Rabies di sebagian besar negara di Asia, terutama Bhutan, India, Indonesia, Nepal dan Myammar, bukan merupakan penyakit prioritas dengan penanganan utama. Hal ini ditenggarai dengan kurangnya strategi penanganan dari pemerintah, tidak memadainya pengobatan, lemahnya koordinasi antar departemen, kurangnya kerjasama masyarakat, ditambah dengan mitos serta faktor budaya dan agama yang menghambat program vaksinasi. Di Indonesia ini terlihat dengan munculnya rabies di beberapa daerah yang semula bebas dari penyakit ini, serta meningkatnya kasus rabies secara nasional (WHO 2005b).

WHO (2005b) menyarankan strategi pemberantasan rabies harus dilakukan secara nasional di seluruh negeri, terutama di daerah tertular. Strategi yang dilakukan antara lain menghindari kontak dengan hewan terduga rabies atau HPR liar, mencegah kasus rabies pada hewan dengan program vaksinasi menyeluruh, mempermudah akses untuk mendapatkan post exposure prophylaxis (PEP) pada kasus gigitan, meningkatkan komunikasi antar departemen terkait dan memperkuat survei dan pemantauan untuk mencegah terjadinya wabah.

Rabies di Indonesia, menurut Office International des Epizooties (OIE) atau

World Organization for Animal Health, merupakan penyakit golongan B yang termasuk diantaranya antara lain infectious bursal disease (IBD), anthrax,

haemorrhagis septicaemia, bruselosis, pullorum dan infectious bovine rhinotracheitis (OIE 2004).

Menurut OIE (2004) kasus rabies pada hewan di Indonesia pada tahun 2002 adalah 500 kasus, tahun 2003 adalah 893 kasus dan tahun 2004 adalah 473 kasus. Pada tahun 2003 terjadi wabah di Ambon Maluku yang mulanya merupakan daerah yang secara historis bebas dari rabies. Wabah ini menyebabkan 4 orang meninggal dan 408 kasus gigitan pada manusia. Pemberantasan rabies dilakukan dengan menutup area dari lalulintas HPR dan vaksinasi massal untuk anjing, kucing dan kera. Tidak ada kasus rabies yang dilaporkan dari Ambon sejak tahun 2004.

Pada bulan Febuari 2008 dilaporkan adanya 40 kasus gigitan dengan 2 kasus kematian pada manusia di daerah Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur. Semua kasus terjadi akibat gigitan anjing. Jumlah yang besar dari anjing yang tidak divaksinasi (diduga berjumlah 50.000 ekor di Flores dan Lembata) dan tidak

(4)

berhasilnya eradikasi anjing geladak merupakan faktor utama terjadinya wabah ini (ISR 2008).

Rabies di Flores bermula dari didatangkannya 3 ekor anjing dari Sulawesi yang merupakan daerah tertular rabies ke Flores. Sebelum tahun 1997, Flores merupakan daerah bebas rabies. Masuknya anjing-anjing tersebut yang kemudian mati menyebabkan kasus kematian akibat rabies pada anjing-anjing di sekitar wilayah tempat tinggal anjing dari Sulawesi tersebut. Kemudian muncullah kasus rabies pada manusia di Flores Timur yaitu 10 kasus pada tahun 1998, 13 kasus di tahun 1999, 1 kasus di tahun 2000 dan 2 kasus di tahun 2001. Pemusnahan anjing secara massal tidak berjalan dengan sukses dikarenakan beberapa pemilik menjual anjingnya ke daerah lain dan mengakibatkan rabies mewabah di daerah tersebut. Pada tahun 2000 seluruh Flores telah tertular rabies walaupun lebih dari 40 % populasi anjing telah dibunuh. Program vaksinasi massal tidak dilakukan karena situasi politik dan ekonomi Indonesia saat itu yang mengakibatkan kurangnya vaksin rabies, kurangnya vaksinator yang terampil serta tidak adanya fasilitas pendukung, seperti alat angkutan dan kotak pendingin untuk menyimpan vaksin. Dapat disimpulkan bahwa pemusnahan anjing yang tidak disertai dengan vaksinasi massal pada wabah rabies tidak membantu menurunkan jumlah kasus rabies baik pada hewan maupun manusia (Windiyaningsih et al.2004).

Vaksinasi massal dan pemusnahan anjing liar tanpa pemilik dilakukan pada semua daerah yang terinfeksi dimulai pada tahun 1989 di pulau Jawa dan Kalimantan dilanjutkan ke pulau Sumatra dan Sulawesi pada tahun 1994. Jumlah kasus rabies pada hewan diharapkan semakin menurun pada seluruh area di Indonesia (OIE 2004).

Etiologi

Rabies disebabkan oleh virus golongan Mononegavirales, famili Rhabdoviridae, genus Lyssavirus. Rhabdovirus merupakan virus dengan panjang kira-kira 180 nm dan lebar 75 nm. Genom virus ini mempunyai lima jenis protein, yaitu nukleoprotein (N), phosphoprotein (P), matrik protein (M), glikoprotein (G) dan polimerase (L). Semua rhabdovirus mempunyai komponen struktur helical ribonucleoprotein core (RNP) dan amplop di sekelilingnya. Pada

(5)

RNP, RNA dilekatkan oleh nukleoprotein. Protein virus lainnya yaitu phosphoprotein dan protein besar (L-protein atau polimerase) berhubungan dengan RNP. Bentuk glikoprotein rata-rata terdiri dari 400 trimeric spike yang melekat di permukaan virus. Protein M dihubungkan dengan amplop dan RNP atau protein pusat rhabdovirus. Gambar 3 menggambarkan virus rabies dengan bentuk seperti peluru yang dikelilingi oleh glikoprotein. Ribonukleoproteinnya tersusun dari RNA yang terdiri dari nukleoprotein, phosphoprotein dan polimerase. Sedangkan, Gambar 4 memperlihatkan diagram melintang virus rabies yang menunjukkan lapisan konsentrik yaitu amplop dengan membran ganda dan protein M yang digulung ke dalam RNA (Ruprecht 2007).

Gambar 3 Virus rabies (Ruprecht 2007). Gambar 4 Diagram melintang virus rabies (Ruprecht 2007).

Virus rabies dapat bertahan pada karkas selama 24 jam pada suhu 20 °C, dan bertahan lebih lama pada karkas beku. Virus rabies dapat bertahan lebih lama pada jaringan yang disimpan dalam 50% gliserol pada suhu 25-27 °C atau pada gliserol murni pada suhu 4 °C (Kaplan et al. 1986).

Amplop virus rabies dapat dengan mudah diinaktivasi dengan deterjen atau fenol. Virus rabies juga sangat labil ketika terpapar sinar ultraviolet dan panas (Kaplan et al. 1986; Greene dan Dreesen 1990).

Penyebaran Rabies

Rabies tersebar di seluruh dunia dengan hanya beberapa negara yang dinyatakan bebas rabies, antara lain Barbados, Jamaika, beberapa pulau di

Amplop Glikoprotein Ribonukleoprotein Amplop Ribonukleo -protein RNA Protein Matriks Matriks Protein Protein matriks

(6)

kepulauan Karibia, Uruguay, Jepang, Bulgaria, Irlandia, Belanda, Portugal, Spanyol, Inggris dan beberapa negara Skandinavia di Eropa. Hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah tertular rabies dengan hanya sembilan provinsi yang masih merupakan daerah bebas rabies, yaitu NTB, Papua, Irian Jaya Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur.

Definisi daerah bebas rabies adalah daerah yang belum pernah tertular rabies; daerah yang tertular rabies dan dalam satu bulan terakhir tidak ada kasus rabies dan tidak melakukan vaksinasi; atau daerah yang tertular rabies tetapi melaksanakan vaksinasi dan dalam 12 bulan berikutnya tanpa vaksinasi tidak terjadi kasus rabies. Daerah tertular rabies (endemic/enzootic) adalah daerah yang masih terjadi kasus rabies dan dalam 30 hari terakhir sejak kasus rabies terakhir tidak ada lagi kasus serta belum dinyatakan bebas rabies. Daerah yang dinyatakan wabah rabies adalah daerah yang semula berstatus bebas rabies kemudian terjadi kasus rabies; atau daerah yang semula berstatus tertular rabies kemudian terjadi letupan (wabah) rabies yang meluas secara cepat (Barantan 2006)

Cara Penularan

Virus ditularkan ke hewan lain dan manusia melalui kontak langsung dengan saliva dari hewan terinfeksi yaitu melalui gigitan, goresan, jilatan pada kulit yang terluka dan membrana mukosa. Bila hewan dan manusia terkena rabies, akibatnya akan fatal karena dapat menyebabkan kematian. Pengeluaran virus rabies sangat penting dalam penularan rabies. Virus rabies dapat dikeluarkan melalui air liur hewan yang terinfeksi untuk beberapa hari setelah gejala klinis terlihat. Virus rabies juga pernah ditemukan pada air liur anjing selama tujuh hari sebelum terlihat gejala klinis yang diamati. Bahkan, virus rabies masih bisa diisolasi dari palatine tonsil anjing yang diinfeksi buatan dengan virus rabies sampai dengan 305 hari setelah masa penyembuhan (Ruprecht 2007).

Virus rabies dapat juga dikeluarkan dari air liur kucing selama tiga hari dan sapi selama dua hari sebelum onset gejala klinis. Virus lebih cepat terlacak pada hewan liar dibandingkan anjing, yaitu empat hari pada skunk, 1-2 hari pada serigala dan 12 hari pada kelelawar sebelum gejala klinis nampak. Virus dapat

(7)

juga dikeluarkan melalui urin dan hal ini menyebabkan penularan rabies dari serigala dan kelelawar melalui udara. Susu juga dapat mengeluarkan virus rabies, tetapi tidak menjadi bahaya yang besar karena partikel virus akan dihancurkan oleh enzim-enzim yang ada di dalam susu susu (Kaplan et al. 1986; Beran dan Steele 1994).

Terdapat 3 katagori kasus rabies pada manusia berdasarkan tipe kontak dengan hewan pembawa rabies, yaitu katagori I, II dan III. Suatu kasus dianggap sebagai katagori I bila kontak yang terjadi terbatas pada memegang atau terjilat oleh hewan tersangka rabies. Penanganan yang dilakukan hanya terbatas membasuh kulit yang kontak dengan hewan (WHO 2005a). Katagori II atau katagori ringan terjadi bila hewan tersangka mencakar tanpa adanya luka terbuka atau perdarahan. Penanganan dilakukan dengan segera membersihkan bekas cakaran dan memberikan vaksin anti rabies. Penanganan dihentikan bila 10 hari kemudian hewan tetap terlihat sehat atau bila hasil laboratorium menyatakan hewan negatif terhadap rabies (WHO 2005a). Katagori III atau katagori berat terjadi bila hewan tersangka mencakar pada kulit yang luka atau cakaran tersebut menyebabkan luka berdarah atau adanya gigitan yang cukup dalam atau adanya kontak membrana mukosa oleh saliva dan kasus gigitan oleh kelelawar. Tindakan yang harus dilakukan adalah dengan segera memberikan vaksin dan immunoglobulin anti rabies. Penanganan dihentikan bila 10 hari pasca gigitan hewan tetap terlihat sehat atau bila hasil laboratorium menyatakan hewan negatif terhadap rabies (WHO 2005a).

Tidak ada penanganan yang efektif untuk rabies bila gejala klinis telah terjadi. Penanganan yang terlambat terhadap rabies akan memberikan akibat yang fatal. Cara paling efektif untuk menangani rabies pasca gigitan pada manusia adalah dengan segera mencuci luka gigitan dengan air kemudian bubuhkan alkohol atau yodium. Vaksin anti rabies diberikan untuk kasus katagori II dan III dan immunoglobulin anti rabies hanya diberikan untuk katagori III. Sebaiknya menghindari untuk menjahit luka. Selain itu disarankan untuk memberi suntikan anti tetanus, anti mikroba dan antibiotika untuk mencegah infeksi lain selain rabies yang akan memperparah kondisi penderita (WHO 2005a).

(8)

Hewan Rentan

Rabies menyerang hewan berdarah panas seperti anjing, kucing, kera, sapi, kuda, babi, dan domba. Hewan liar seperti serigala, skunk, racoon dan kelelawar juga dapat tertular rabies.

Menurut laporan dari Krebs et al. (2003), penularan rabies di Amerika bagian Utara umumnya disebabkan oleh hewan karnivora liar, seperti serigala,

racoon dan kelelawar. Hanya 7 % kasus rabies pada manusia disebabkan oleh hewan domestik, seperti anjing, sedang kasus yang diakibatkan hewan liar mencapai 91 %. Hal ini disebabkan salah satu program vaksinasi bagi hewan peliharaan atau domestik telah berjalan dengan baik.

Penelitian Sudarjat (1990) menyatakan bahwa di Indonesia pada umumnya kasus rabies terjadi pada anjing (97 %), terutama anjing liar, dan sisanya terjadi pada kucing, kera dan hewan lainnya. Kasus gigitan umumnya disebabkan oleh anjing geladak. Sudarjat mendefisinikan anjing geladak sebagai anjing liar, setengah liar atau berkeliaran. Dengan demikian, anjing geladak merupakan hewan yang berperan sebagai penular rabies yang potensial, baik ke hewan lain maupun ke manusia. Tipe ekologi rabies di Indonesia adalah tipe rural, yaitu rabies yang menyangkut anjing geladak di pedesaan.

Sudarjat (1990) juga menyatakan bahwa sera yang berasal dari anjing geladak yang tidak divaksinasi dari berbagai daerah tertular rabies di Indonesia sebagian mengandung antibodi terhadap rabies. Terdapatnya antibodi terhadap rabies pada anjing geladak selain akibat penularan di alam juga kemungkinan besar akibat gigitan hewan penderita rabies atau oleh hewan yang mengandung virus rabies.

Patogenesis

Virus rabies mempunyai tempat predileksi di jaringan syaraf yang dari sini virus tersebut dapat bergerak ke sistem syaraf pusat dan menimbulkan gejala klinis yang sangat parah. Diawali dengan luka gigitan, virus kemudian memperbanyak diri di jaringan syaraf lokal yang ada di sekitar gigitan. Virus kemudian menyebar melalui neuromuscular junction dan neurotendinal spindle

(9)

gerakan sentripetal atau aksoplasmik virus melalui syaraf perifer dan dalam waktu 21 hari virus mencapai sistem syaraf pusat (SSP) (Greene dan Dreesen 1990).

Setelah mencapai SSP, virus kemudian berpindah dengan cepat ke otak. Virus masuk ke spinal cord atau pada batang otak ipsilateral. Infeksi menyebar pada neuron contralateral dan ascend bilateral spinal cord atau batang otak pada otak bagian depan. Infeksi virus menyebabkan peradangan dan degenerasi pada jaringan syaraf. Virus kemudian menyebar secara sentrifugal dari SSP ke berbagai organ tubuh, seperti jantung, kornea, kelanjar adrenal, dan lain-lain melalui syaraf sensorik dan motorik di periferal. Kondisi viremia tidak dapat terlacak. Efek virus pada sistem syaraf menghasilkan perubahan mental dan kegagalan pernafasan yang sangat fatal (Greene dan Dreesen 1990).

Gejala Klinis

Gejala klinis rabies diklasifikasikan menjadi tiga stadium, yaitu prodromal, eksitasi dan paralisis. Gejala klinis yang ditimbulkan berbeda-beda, baik pada manusia, anjing, sapi bahkan pada hewan liar lainnya.

Pada stadium prodormal, saat virus mencapai sistem syaraf pusat, gejala klinis pertama yang dijumpai pada manusia yaitu perasaan secara umum tidak baik, kehilangan nafsu makan, sakit kepala, demam, mudah marah, gelisah, dan cemas. Kemudian sakit pada seluruh otot, salivasi, muntah dan kemudian berlanjut pada stadium selanjutnya. Beberapa hari atau beberapa minggu setelah gejala klinis awal, pasien terlihat eksitasi dengan rasa sakit yang berlebihan pada otot. Terjadi hidrophobia, aerophobia dan periode eksitasi yang sangat parah.

Bentuk ini terjadi satu dari 5 kasus pada manusia, tetapi lebih umum terjadi pada hewan. Pasien terlihat menjadi bodoh, terdapat paralisa dari otot laryngeal dan terjadi perubahan patologik pada bagian medulla oblongata.

Gejala klinis pada hewan terutama anjing dan kucing sama seperti manusia. Yang terlihat pertama biasanya gerakan refleks yang abnormal, seperti menjilat, mencakar, menggosok, menggigit-gigit bagian luka bahkan jika luka tersebut hampir sembuh. Gejala klinik prodomal adalah kesakitan pada syaraf, diam, demam dan perubahan tingkah laku. Tampak juga dilatasi pupil dengan atau tanpa terjadi refleks kornea. Hewan yang semula baik menjadi mudah marah dan dapat

(10)

menggigit. Sebaliknya, hewan-hewan yang semula galak menjadi lebih jinak. Hewan kemudian menjadi kurang rileks, terjadi hipersensitivitas pada pendengaran dan penglihatan, fotopobia, menggonggong, berimajinasi menggigit suatu obyek. Anjing biasanya berjalan tanpa tujuan dan menggigit sesuatu yang tidak umum, menghindari kontak dengan orang dan lebih senang bersembunyi ditempat yang gelap dan tenang. Anjing dapat mencoba menggigit, menyerang ketika dikandangkan, terjadi inkoordinasi otot, disorientasi dan penyerangan. Kemudian terjadi paralisis dan bahkan kematian.

Periode dari tahap prodomal sampai kematian jarang mencapai sepuluh hari. Kucing yang terserang rabies lebih ganas dan berbahaya dari anjing (Kaplan et. al.

1986). Fase ganas pada kucing memperlihatkan gerakan yang aneh dan tingkah laku yang tidak biasanya. Kucing menggigit atau mencakar obyek yang berpindah-pindah. Tremor otot dan kelemahan atau terjadi inkoordinasi, berlari terus menerus sampai akhirnya mati dalam keletihan (Greene dan Dreesen 1990).

Periode inkubasi pada rabies adalah 6 bulan dan periode infeksi pada hewan karnivora domestik dimulai 15 hari sebelum munculnya gejala klinis dan berakhir saat hewan mati (OIE 2008). Periode inkubasi 8,5 hingga 12 bulan pasca gigitan dilaporkan terjadi pada beberapa anjing. Sehingga disarankan untuk memperlama masa karantina pada hewan tersangka hingga sembilan bulan (Aubert 2008).

OIE (2008) mensyaratkan adanya vaksinasi rabies minimum 6 bulan sebelumnya dan tidak lebih dari satu tahun bila memasukkan anjing dan kucing dari negara/daerah tertular rabies. Pemeriksaan antibodi terhadap rabies dilakukan tidak kurang dari tiga bulan dan tidak lebih dari 24 bulan sebelum keberangkatan dengan hasil uji positif tidak kurang dari 0,5 IU/ml.

Diagnosis Rabies Pada Manusia

Menurut WHO (2006), Diagnosis rabies pada hewan dan manusia di beberapa bagian di dunia masih didasarkan pada gejala klinis. Secara umum Diagnosis laboratorium seharusnya digunakan untuk menguji, sehingga hasil Diagnosis positif rabies dapat diinformasikan secara cepat kepada petugas yang bertanggungjawab memberikan pengobatan. Hasil negatif pada pengujian rabies berguna dalam menekan biaya pengobatan dan menghilangkan cekaman fisiologik

(11)

terhadap kemungkinan terinfeksi rabies. Identifikasi laboratorium juga sangat penting dalam upaya surveilan penyakit untuk menentukan pola epidemiologik rabies dan program pengendalian rabies di suatu negara.

Deteksi virus rabies pada manusia dilakukan dengan cara isolasi virus, ulasan kornea dan biopsi kulit, direct fluorescent antibody test (dFA atau FAT), histopatologik, metode immunohistokimiawi dan metode amplifikasi (WHO 2006).

Deteksi antibodi rabies (serologik) digunakan untuk menegaskan virus yang telah diisolasi dan menilai tanggap kebal hasil vaksinasi pada manusia, atau infeksi yang tidak fatal dan pada percobaan yang melibatkan gambaran patogenesa penyakit. Pengujian serologik tersebut antara lain uji netralisasi serum. Metode ini merupakan metode serologik yang pertama kali dikembangkan dan sebagai metode baku untuk membandingkan metode serologik lainnya. Pengujian ini mengukur antibodi IgG dengan pengenceran serial dari serum yang diinaktivasi dengan pemanasan. Selanjutnya, serum dicampur dengan jumlah virus yang sama. Campuran tersebut diinokulasikan secara intraserebral pada tikus atau pada kultur jaringan. Titer antibodi dihitung dengan sejumlah tikus yang masih hidup atau adanya bentuk plak pada jaringan kultur (WHO 2006). Enzyme-linked immunosorbent essay (ELISA) mempunyai kepekaan (sensitivitas) yang tinggi dengan kekhasan (spesifisitas) yang baik untuk melacak antibodi IgM dan IgG.

Diagnosis Rabies Pada Hewan

Teknik klasik mendiagnosa keberadaan virus rabies adalah pemeriksaan histopatologik terhadap otak (bagian hypocampus) menggunakan pewarnaan Seller. Pewarnaan otak dengan pewarna Seller, yang tersusun atas 1% larutan

basic fuchsin dan biru methilen (methylene blue) dalam methanol absolut, dapat memperlihatkan adanya badan negri. Badan negri berbentuk oval spesifik seperti sitoplasmik, berukuran sekitar 0,25-27 µm dan berwarna ungu dengan pewarnaan Seller’s. Metode ini sangat cepat (± 2 jam), tidak mahal dan tidak membutuhkan peralatan khusus. Peneguhan dengan dFA akan memberikan hasil yang lebih baik (Greene dan Dreesen 1990).

(12)

Teknik lain yang digunakan untuk mendiagnosa rabies adalah direct fluorescent antibody test (dFA atau FAT), mouse inoculation test (MIT) yang merupakan teknik “gold standard”, dan rapid rabies enzyme immunodiagnostic

(RREID).

Pada uji RREID, jaringan tersangka dihomogenisasi dan diuji dengan rabies antigen nucleucapsid menggunakan purified hyperimmune globulin dan diikuti oleh peroxidase conjugated immune globulin dan chromagen substrate. Perubahan warna kuning digunakan untuk melacak contoh positif. Metode ini merupakan metode cepat walaupun mempunyai kepekaan yang rendah dibandingkan dangan dFA (Greene dan Dreesen 1990).

Pelacakan antibodi digunakan untuk mengukur keberhasilan vaksinasi atau tanggap kebal terhadap hewan yang divaksinasi, atau adanya infeksi pada hewan liar. Metode yang banyak digunakan yaitu fluorescent antibody virus neutralisation (FAVN) test, rapid fluorescent focus inhibition test (RFFIT), enzim linked immunosorbant assay (ELISA), mouse neutralization test (MNT) (Greene dan Dreesen 1990).

Virus rabies baku galur challenge virus standar (CVS) untuk penelitian dan diagnosis rabies terdapat di Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor. Dengan tersedianya virus positif baku galur CVS, pemeriksaan dengan metoda FAT di Balitvet dapat terus dilakukan (Kurniadhi 2005).

Vaksinasi Rabies Pada Hewan

Langkah pertama untuk mencegah penyakit rabies adalah tindakan vaksinasi pada hewan. Vaksinasi rabies sangat efektif, harganya tidak terlalu mahal dan biasanya diberikan setahun sekali. Vaksin yang diberikan adalah vaksin inaktif (killed virus) secara intramuskular atau intradermal dan vaksin aktif (live virus) secara injeksi atau peroral. Hewan yang divaksinasi dan kebal dengan titer antibodi > 0,5 IU/ml tidak mengandung virus rabies walaupun berasal dari daerah endemik (Barantan 2006).

Vaksin rabies menimbulkan kekebalan aktif berupa tanggap kebal selular dan humoral. Peredaran antibodi virus rabies atau rabies virus neutralizing antibodies (RVNA) akan terlacak pada 7-10 hari setelah penyuntikan vaksin dan

(13)

akan bertahan 2 tahun atau lebih. Selain itu, saat vaksin diberikan pada hewan yang sudah pernah divaksinasi sebelumnya akan menginduksi tanggap anamnestik yang diakibatkan produksi besar dari RVNA sehubungan dengan kehadiran sel kebal (CDC 2007).

Menurut lampiran Surat Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian no 344.b//kpts/P.D.670.370/L/12/06 tentang petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap lalulintas hewan penular rabies (anjing, kucing, kera dan sebangsanya), uji netralisasi serum (Serum 'eutralizing Test/SN Test) pada hewan yang berasal dari wilayah asal bebas rabies dan tidak ada kegiatan vaksinasi memiliki titer antibodi rabies kurang dari 0,1 IU/ml. Bila berasal dari daerah asal bebas rabies dan ada kegiatan vaksinasi maka nilai titer antibodi terhadap rabies lebih besar atau sama dengan 0,5 IU/ml.

Reaksi imunologik yang mengikuti proses vaksinasi dapat dikatagorikan dalam empat tipe reaksi hipersensitivitas. Tipe I muncul karena terjadi interaksi antara sitopilik IgE dan antigen yang menyebabkan degranulasi basofil yang beredar dan dan sel jaringan. Tipe II muncul karena akibat dari kerusakan sel yang menghasilkan reaksi autoimmune hemolytic anemia (AIHA) dan autoimmune nonregenerative anemias. Tipe III muncul karena adanya pembentukan kompleks dan deposisi sistem kebal. Tipe IV muncul dan menyebabkan granuloma pada tempat suntikan dan polyradiculneuritis (Greene 2003). Reaksi lokal yang terjadi pada anjing setelah menerima vaksinasi biasanya eritrema, rasa sakit pada daerah suntikan, iritasi dan terbentuknya abses. Reaksi biasanya terjadi beberapa menit hingga beberapa hari pasca suntikan. Selain itu, biasanya terjadi demam akibat perbanyakan virus vaksin dalam jaringan limphoid. Umumnya demam hanya terjadi tidak lebih dari 1-2 hari setelah suntikan. Gejala lain adalah anoreksia dan depresi pada sebagian hewan (Greene 2003).

Hanlon et al. (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pemberian vaksin saja pada anjing yang terpapar berat virus rabies (gigitan dengan adanya luka terbuka) tidak dapat melindungi hewan dari infeksi rabies lebih lanjut. Sedangkan vaksin yang digabung dengan antibodi monoklonal (mAb) dapat melindungi hewan dari infeksi lebih lanjut.

(14)

Program vaksinasi pada anjing di Sumatra Barat dan Kalimantan, terutama pemberian secara parenteral, agak terhambat dengan adanya anggapan yang salah tentang efek samping dari vaksinasi. Mereka menganggap anjing yang menerima vaksinasi akan menjadi lemah dan tidak dapat digunakan untuk berburu. Untuk itu, vaksinasi secara peroral disarankan di daerah-daerah tersebut untuk memperkecil efek dari suntikan (WHO 1998).

Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan vaksinasi, antara lain rute vaksinasi, umur hewan saat divaksinasi, tipe vaksin, jadwal vaksinasi; daerah asal dan status kesehatan hewan (Wunderli et al. 2003; Mansfiled et al. 2004; Pavlinic et al. 2006; Aubert 2008). Vaksin yang diberikan secara intramuskular terbukti memberikan tanggap titer antibodi yang lebih baik dari pada secara subkutan (Aubert 2008). Sedang pada manusia, tipe vaksin dan jadwal vaksinasi berpengaruh terhadap tanggap antibodi yang dihasilkan (Pavlinic

et al. 2006). Anjing yang menerima vaksin pada umur kurang dari tiga bulan akan mengakibatkan antibodi pasif dari induk dan antibodi aktif dari hasil vaksinasi saling berinteraksi sehingga memberikan hasil yang kurang efektif. Pada umur 10-12 minggu, tidak lagi ditemukan antibodi maternal sehingga hasilnya akan lebih efektif (Aubert 2008). Mansfield (2004) menyatakan bahwa umur paling efektif untuk memvaksinasi rabies adalah antara tiga bulan sampai dengan satu tahun. Bila anjing menerima vaksinasi pada umur kurang dari 10 minggu tidak akan memberikan hasil yang optimal karena adanya antibodi maternal dari induk. Selain itu kemampuan anjing untuk mengembangkan titer antibodi yang memadai setelah menerima vaksinasi akan semakin menurun sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini mungkin disebabkan karena sistem kekebalan tubuh semakin kurang efisien.

Anjing yang sedang mengalami anemia berat atau adanya parasit akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh secara keseluruhan sehingga titer antibodi yang diperoleh kemungkinan tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan. Adanya antibodi netralisasi terhadap rabies pada anjing setelah vaksinasi tidak berarti hewan terlindungi sepenuhnya dari rabies. Sedang tidak adanya antibodi netralisasi juga tidak berarti bahwa hewan tidak terlindungi terhadap rabies. Tetapi dapat dikatakan bahwa hewan yang mempunyai antibodi netralisasi

(15)

terlindungi lebih baik dibandingkan hewan tanpa antibodi netralisasi (Aubert 2008). Seperti yang terlihat di Thailand bahwa sembilan persen anjing yang positif terkena rabies telah divaksinasi 1-2 tahun sebelumnya. Survei terhadap 2500 ekor anjing yang telah divaksinasi di Nigeria menunjukkan adanya empat kasus rabies walaupun anjing tersebut telah divaksinasi 3-6 bulan sebelumnya. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keadaan ini antara lain beratnya tipe gigitan, status kesehatan dan kekebalan dari anjing, serta adaptasi virus pada inangnya (Aubert 2008).

Tanggap antibodi yang diuji tiga bulan pasca vaksinasi pada vaksinasi ulangan (booster vaccination) lebih tinggi dibandingkan tanggap yang diberikan pada vaksinasi pertama (primary vaccination). Anjing yang telah divaksinasi sebelumnya memiliki tanggap anamnestik terhadap vaksinasi ulangan, walaupun antibodi dari vaksinasi pertama tidak terlacak dalam tubuhnya sebelum vaksinasi diberikan (Derbyshire dan Mathews 1984).

Gambar

Tabel 4   Kasus kematian manusia akibat rabies di Indonesia tahun 1990-2000.
Gambar 3  Virus rabies (Ruprecht 2007).  Gambar  4    Diagram  melintang  virus rabies (Ruprecht 2007)

Referensi

Dokumen terkait

Susu cair segar UHT dibuat dari susu cair segar yang diolah menggunakan pemanasan dengan suhu tinggi dan dalam waktu yang sangat singkat untuk membunuh

4) Masing-masing peserta didik diberi satu lembar kertas, untuk menuliskan satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua

Dosis optimum vaksin diperoleh pada perlakuan D yaitu dosis 10 6 sel/ml, meskipun dilihat dari total leukosit perlakuan E dan F tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi

Motor arus searah berfungsi mengubah energi listrik arus searah menjadi energi mekanis berupa putaran sebuah mesin arus searah dapat digunakan baik sebagai motor arus

Solution (SPSS) for windows Version 17. Hasil penelitian menunjukan bahwa 1) Variabel fasilitas fisik, perhatian dan variabel jaminan secara parsial berpengaruh

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Analisis dan Desain Sistem

Kalimat yang tepat untuk melengkapi bagian yang rumpang tersebut adalah ….. Ika t bambu tersebut menggunakan benang pada

Hasil penelitian ini mendukung hipotesis kelima yang menyatakan bahwa Tekanan Anggaran Waktu, Prosedur Review, Kontrol Kualitas dan Karakteristik Personal