• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "6 MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

6

MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN

Secara umum keberhasilan pengelolaan Waduk Cirata Berkelanjutan akan sangat terkait dengan aspek institusi atau lembaga pengelolanya, kebijakan atau tata cara pengelolaannya, serta anggaran yang menunjang kelancaran pengelolaanya. Isu strategis pengelolaan Waduk Cirata Jawa Barat terutama harus diawali oleh adanya institusi yang bertanggung jawab melakukan pengelolaan. Kejelasan pihak pengelola ini akan menjadi pendorong disusunnya tata cara dan sumber pendanaan bagi keberhasilan pengelolaan waduk tersebut.

Kebijakan pengelolaan akan dituangkan dalam bentuk model konseptual pengelolaan yang terdiri dari penentuan pengelola kawasan (manager) dan penyusunan sistem pengelolaannya (management) yang memenuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Model pengelolaan diawali dengan pembentukan lembaga pengelola (institutional arrangement) melalui partisipasi dari para pihak, baik pihak perusahaan, pihak masyarakat, maupun institusi pemerintah.

Secara lebih rinci, beberapa permasalahan terkait dengan pengelolaan Waduk Cirata adalah: (1) belum disepakati bersama pihak yang bertanggung jawab secara khusus menangani pengelolaan waduk, (2) belum terjalinnya komunikasi dan kerjasama, serta peran yang optimal antar berbagai pihak (stakeholders) terkait secara partisipatif; (3) terbatasnya kebijakan terkait pengelolaan waduk; dan (4) belum jelasnya pengelolaan anggaran dan bagi hasil dari nilai ekonomi waduk yang dikelola.

Pengelola secara kemitraan dan partisipatif dengan pembentukan sebuah badan pengelola secara khusus merupakan alternatif terbaik yang dimungkinkan. Institusi pemerintah terutama pihak Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) di tingkat provinsi berperan sebagai pengarah dan pengawas terkait isu lingkungan dalam pengelolaan waduk tersebut. Selain itu, diperlukan kesepakatan antar tiga (3) pemerintah daerah yang secara administratif diliputi Waduk Cirata, yaitu Pemda Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Purwakarta. Sementara pihak pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM yang diwakili PT. PLN dan PT. Indonesia Power sebagai pihak yang mengelola

(2)

manfaat waduk dari sisi energi juga harus dilibatkan dalam Badan Pengelola tersebut.

Keberadaan badan pengelola ini juga harus didasari oleh partisipasi dan kesepakatan para pihak di luar institusi pemerintah. Pihak-pihak tersebut antara lain sektor swasta yang memanfaatkan nilai ekonomi dari waduk, seperti para pengusaha industri yang membuang limbahnya ke badan air yang mengalir ke waduk hingga para pengusaha jaring apung. Selain itu diperlukan partisipasi masyarakat secara umum serta Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkepentingan dengan keberadaan waduk. Pihak lain yang perlu dimintai partisipasinya adalah institusi akademis seperti Perguruan Tinggi yang bisa memberikan masukan dan saran tentang kondisi, potensi, dan ancaman yang bisa mendorong keberhasilan atau kegagalan pengelolaan waduk melalui kajian-kajian yang bersifat akademis dan independen (Gambar 107).

Implikasi pendanaan dan pengelolaan pendapatan awalnya berasal dari penyertaan berbagai pihak, baik anggaran pemerintah (pusat dan daerah) yang terlibat, serta industri dan pihak swasta lainnya dengan memberikan dorongan melalui program CSR (Corporate Sosial Responsibility) atau sejenisnya. Dana CSR digunakan untuk membantu kemitraan yang ada dan pemberdayaan masyarakat terutama yang terlibat dan terkena dampak dari pengelolaan waduk.

Sistem pengelolaan Waduk Cirata sendiri terbagi menjadi kebijakan status Waduk Cirata sebagai landasan terhadap kebijakan lain, yaitu kebijakan konservasi lingkungan DAS Citarum, kebijakan peningkatan kesejahteraan sosial, dan kebijakan peningkatan nilai ekonomi (Gambar 107). Status waduk dibangun berdasarkan hasil analisis zonasi waduk, analisis kondisi pencemaran waduk, dan nilai ekonomi waduk. Hasil ini disintesiskan dengan hasil analisis dari preferensi pakar dan stakeholders untuk membangun sistem pengelolaan Waduk Cirata secara berkelanjutan.

Kebijakan status Waduk Cirata dititikberatkan untuk memberikan landasan dalam menentukan kebijakan selanjutnya, yaitu kebijakan konservasi lingkungan DAS Citarum, peningkatan kesejahteraan sosial, dan peningkatan nilai ekonomi, serta kebijakan pengelolaan waduk secara keseluruhan. Seluruh kebijakan yang disusun mengacu pada Sistem Manajemen Lingkungan (SML) Waduk Cirata

(3)

yang telah ditentukan sebelumnya. Kebijakan konservasi disusun berdasarkan optimalisasi dari kepentingan lingkungan dan ekonomi di Waduk Cirata. Hal serupa juga berlaku dalam penyusunan kebijakan peningkatan nilai ekonomi waduk. Kebijakan ini didasari oleh pemanfaatan sumberdaya yang ada di Waduk Cirata untuk menunjang peningkatan ekonomi dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. Kebijakan peningkatan kesejahteraan sosial disusun berdasarkan optimalisasi pelestarian sistem sosial dan pemberdayaan masyarakat dengan kepentingan pemanfaatan sumber daya alam waduk guna kepentingan ekonomi.

(4)

Badan Pengelola Waduk Cirata Pemda Kab. Bandung Pemda Kab. Cianjur Pemda Prov. Jabar Pemerintah Pusat BPLHD Dep. ESDM

LSM Masyarakat Lokal Institusi

Teknis Lembaga Penelitian/ Perguruan Tinggi Rehabilitasi Kawasan Pemberdayaan Masyarakat

Pengelolaan Waduk Cirata, Jawa Barat

masukan & kesepakatan Pelibatan Dalam Pengelolaan Konservasi SD Air Peningkatan Nilai Ekonomis KJA Pemanfaatan Pariwisata Sosialisasi, Edukasi & Pengendalian Pencemaran CSR Kebijakan Konservasi Lingkungan DAS Citarum Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kebijakan Peningkatan Nilai Ekonomi evaluasi umpan balik & informasi

masukan pendampingan masukan masukan musyawarah dana pemberdayaan bantuan pengeloaan dana csr

penelitian & informasi

Pemda Kab. Purwakarta Indonesian Power PLN Industri terkait Pengendalian Sedimentasi Pemanfaatan Limbah Pemanfaatan Ikan Pemakan Plankton Ketetapan Status Zonasi Waduk Kebijakan Status Waduk Cirata Penegakan Hukum

(5)

6.1 Kebijakan Status Waduk Cirata

Kebijakan status merupakan landasan yang penting bagi penyusunan kebijakan lanjutan yang bersifat lebih operasional. Kebijakan ini perlu disusun untuk memperjelas landasan pengelolaan Waduk Cirata. Kebijakan ini secara normatif bisa ditempuh dengan kesepakatan para stakeholders kunci untuk menetapkan regulasi teknis sebagai landasan awal untuk melangkah pada tahap

berikutnya. Stakeholders kunci tersebut terdiri dari para pihak yang bermitra

melalui arahan pihak ketiga dari institusi pemerintah.

Program yang bisa dilaksanakan dalam ruang lingkup kebijakan penetapan status waduk melalui:

1. Penyusunan sistem zonasi waduk;

Zonasi waduk yang ada pada saat ini sudah tidak tepat lagi. Dalam implementasinya sudah tidak sesuai lagi sehingga diperlukan zonasi baru yang sudah disesuaikan dengan kondisi Waduk Cirata sekarang. Kepadatan dan zonasi keramba jaring apung di Waduk Cirata yang sudah tidak sesuai dengan zonasi ditampilkan pada Gambar 108,memperlihatkan hamparan luasan KJA berdasarkan overlay tahun 2008/2009, bertambah dibandingkan luasan tahun 2004. Menurut BPWC (2003), wilayah perairan Waduk Cirata mempunyai 6 zonasi yaitu mintakat bahaya, suaka,usaha, usaha terkendali, bebas dan bahaya.

2. Melakukan penegakan hukum berdasarkan sistem zonasi yang telah disusun.

Dalam implementasinya, petani pembudidaya ikan sudah tidak mematuhi zonasi yang sudah ditetapkan tetapi tidak ada sangsi yang dijatuhkan kepada pelanggar zonasi.

(6)

Keterangan: KJA Tahun 2008/2009 (sumber: Google Earth 2010)

Gambar 108 Peta overlay keberadaan KJA tahun 2004 dengan KJA tahun

2008/2009 di Waduk Cirata

6.2 Kebijakan Konservasi DAS Citarum

Sumberdaya air memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang. Pengelolaan sumberdaya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antar wilayah, antar sektor dan antar generasi. Kebijakan konservasi DAS Citarum merupakan bagian dari upaya menyeluruh dalam melakukan rehabilitasi kawasan yang pada akhirnya bisa menjaga kondisi lingkungan Waduk Cirata. Program berkaitan dengan rehabilitasi kawasan adalah:

1. Melakukan upaya konservasi sumber daya air terpadu;

Rehabilitasi kawasan untuk sumberdaya air waduk terkait dengan pengelolaan DAS terpadu payung hukumnya adalah UU no.41 1999 tentang Kehutanan dan UU no 7 tahun 2006 tentang sumberdaya air.

(7)

2. Melakukan pengendalian pencemaran;

Melakukan pengendalian pencemaran diantaranya adalah dengan melaksanakan amdal dan ipal untuk industri sebelum membuang limbahnya ke perairan.

3. Melakukan pengendalian sedimentasi.

Pengendalian sedimentasi di waduk, diantaranya dengan memperbaiki sistem pertanian di daerah hulu. Melakukan pengelolaan hutan yang sudah dituangkan dalam UU RI nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan.

6.3 Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Sosial

Kebijakan peningkatan kesejahteraan sosial bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar waduk dari nilai ekonomi yang bisa digali dari pemanfaatan waduk. Program peningkatan kesejahteraan sosial ini meliputi:

1. Melakukan pemberdayaan masyarakat, melalui sosialisasi pentingnya

pengelolaan waduk dan edukasi pemanfaatan nilai ekonomi waduk secara ramah lingkungan.

2. Melakukan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan Waduk Cirata, baik dari

mulai penyusunan regulasi hingga pemanfaatan nilai ekonominya. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan dan stabilitas sosial masyarakat sekitar waduk.

6.4 Kebijakan Peningkatan Nilai Ekonomi

Kebijakan peningkatan nilai ekonomi terkait adanya potensi ekonomi dari pemanfaatan Waduk Cirata. Program terkait kebijakan peningkatan nilai ekonomi ini meliputi:

1. Peningkatan kegiatan PLTA

2. Melakukan pemanfaatan limbah yang terakumulasi di waduk menjadi bahan

bernilai ekonomi, seperti pupuk pertanian dan bioenergi.

3. Melakukan pemanfaatan keindahan alam waduk menjadi tujuan wisata yang

memiliki efek domino pada peningkatan kegiatan ekonomi penunjang pariwisata, seperti penyewaan perahu, penginapan, dan penjualan makanan, cindera mata, hasil bumi, serta berbagai hal yang menarik wisatawan.

(8)

4. Melakukan pemanfaatan ikan pemakan plankton sebagai komoditas ekonomi.

5. Membatasi kepemilikan karamba jaring apung dari penduduk luar wilayah

Waduk Cirata

6.5 Verifikasi Model Kebijakan

Hasil verifikasi melalui studi komparatif dan wawancara mendalam dengan stakeholders dan pakar, mengindikasikan suatu proses pemahaman mengenai pendekatan sistem dalam pengelolaan Waduk Cirata. Secara keseluruhan model pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan dapat merepresentasikan kondisi nyata terkait pengelolaan waduk tersebut saat ini. Kesetaraan yang dibangun antar stakeholders masih sulit untuk diwujudkan di lapangan sehingga peran masyarakat lokal sering terabaikan. Selain kesetaraan, masih terdapat konflik kepentingan dalam pemanfaatan Waduk Cirata oleh berbagai pihak terkait. Pemanfaatan Waduk Cirata secara ekstraktif oleh masyarakat diakibatkan desakan ekonomi yang perlu dicarikan solusinya. Pelaksanaan program pengelolaan seringkali tidak jelas dalam pembagian peran para stakeholders kuncinya. Jangka waktu pelaksanaan program pengelolaan harus ditentukan secara bertahap dan terukur. Model yang dibangun diharapkan bisa diimplementasikan pada pengelolaan Waduk Cirata saat ini dan masa yang akan datang.

6.6 Implikasi Kebijakan

Berdasarkan verifikasi yang dilakukan, perlu disusun strategi untuk memperkuat sistem yang telah disusun guna meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan. Perlu dilakukan manajemen konsensus dalam menentukan keputusan bersama berdasarkan kesepakatan antar pihak guna mencapai tujuan bersama. Hal ini untuk mengeliminasi ketidaksetaraan, ego sektoral dan konflik kepentingan di antara para pihak yang terkait pengelolaan Waduk Cirata. Pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar perusahaan menjadi fokus utama dalam menjalankan kebijakan pengelolaan Waduk Cirata. Penyusunan tahapan program dan penanggung jawabnya secara jelas dan transparan berdasarkan kesepakatan akan menghasilkan implementasi yang optimal saat pelaksanaannya.

(9)

Model konseptual kebijakan pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan dimulai dengan perlunya komunikasi dan kesepakatan antara para pihak terkait. Sebagai langkah awal, kerangka musyawarah harus dibangun dengan memperhatikan kriteria kesetaraan (equity). Hal ini akan menuju pada perwujudan Badan Pengelola Waduk Cirata yang melaksanakan berbagai kebijakan pengelolaan waduk yang diinginkan secara berkelanjutan.

6.7 Status Keberlanjutan

6.7.1 Aspek Ekologi

Penilaian aspek ekologi pada pengelolaan waduk berkelanjutan berbasis perikanan budidaya KJA merupakan penilaian terhadap atribut frekuensi kejadian up welling, tingkat kematian ikan, tingkat produksi ikan, tingkat pencemaran di DAS tingkat pencemaran di waduk dan daya dukung perairan. Hasil analisis data dengan program Rapfish disajikan pada Lampiran 3.

Gambar 109 menunjukkan atribut aspek ekologi yang sensitif terhadap kinerja pengelolaan waduk berkelanjutan yaitu frekuensi kejadian up welling, tingkat kematian ikan, tingkat produksi ikan, tingkat pencemaran di DAS tingkat pencemaran di waduk dan daya dukung perairan, dengan nilai standar error atau nilai akar kuadrat nilai tengah (AKNT) masing-masing sebesar 11.16%, 3.17%, 5.12%, 5.71%, 5.82%,dan 1.37%.

Terjadinya frekuensi up welling ternyata merupakan atribut yang mempunyai AKNT yang terbesar yaitu 11,16% yang berarti atribut ini sangat menentukan dalam keberlanjutan pengelolaan waduk tersebut, diduga akibat

periswtiwa up welling mengakibatkan kerugian material yang besar. Sejak tahun

1991, 1993 dan 1997 jumlah ikan yang mati di Cirata berturut-turut 34,5 ton, 29,2

ton dan 209,3 ton. Dalam sehari, jumlah ikan yang mati pasca terjadinya up

welling mencapai 60 ton, atau kalau dirupiahkan setara Rp 500 juta (Suyoso 2007). Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah kerugian yang ditimbulkan oleh kematian masal ikan di Cirata dari tahun ke tahun kecenderungannya semakin meningkat. Data tersebut menunjukkan bahwa kondisi lingkungan Cirata terus memburuk.

(10)

Menurut Kurnia (2006), up welling (pembalikan lapisan air) hanya terjadi pada waktu suhu permukaan air dan lapisan di dalamnya berbeda secara signifikan. Pada waktu suhu permukaan air turun, misalnya pada puncak musim hujan atau ketika suhu sangat dingin pada awal atau akhir musim kemarau, maka

lapisan air dari dasar waduk naik dengan membawa NH3, H2S dan CO2. Gas dan

zat beracun itu terakumulasi dari proses pembusukan anaerob di lapisan bawah, terutama akibat sisa pakan dan kotoran ikan. Fenomena tersebut biasanya terjadi puncak musim hujan, yaitu di sekitar Januari–Februari atau pada akhir musim kemarau.

Untuk mengurangi dampak up welling, diantaranya adalah dengan mengurangi padat tebar, memelihara ikan yang tahan terhadap kualitas air buruk (ikan catfish), penggunaan pakan ikan yang berkualitas. Pakan ramah lingkungan (telah berhasil diramu oleh ahli nutrisi Ikan di Universitas Ilmu dan Teknologi Kelautan Tokyo). Pakan ini dibuat dengan menambahkan asam sitrat atau amino acid-chelated (asam amino yang terikat dengan mineral seperti Zn, Mn dan Cu) sehingga jumlah unsur fosfor yang dilepas ke air menjadi menurun. Dengan menggunakan pakan ikan ini, jumlah unsur fosfor yang tertahan (terakumulasi) di dalam tubuh ikan meningkat sekitar 30% untuk pakan yang ditambahkan asam sitrat atau 16,5% untuk pakan yang disuplementasi dengan amino acid-chelated. Penggunaan pakan ini juga berhasil menurunkan tingkat ekskresi nitrogen oleh ikan meskipun tidak begitu tinggi.

Khusus untuk masalah polusi amonia yang jauh lebih berbahaya daripada fosfat, baru-baru ini telah dikembangkan strain ikan nila ramah lingkungan melalui pendekatan genetik. Dengan demikian amonia yang dikeluarkan dari tubuh ikan menjadi menurun, yaitu sekitar 30-40% lebih rendah daripada ikan biasa.

(11)

Gambar 109 Atribut aspek ekologi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata

6.7.2 Aspek Ekonomi

Penilaian aspek ekonomi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA berkelanjutan merupakan penilaian terhadap atribut peningkatan PAD dari usaha KJA, peningkatan pendapatan masyarakat, kemudahan pasar, harga jual produk, biaya produksi budidaya, biaya investasi KJA.

Gambar 110 menunjukkan atribut aspek ekonomi yang sensitif terhadap kinerja pengelolaan waduk berkelanjutan yaitu peningkatan PAD dari usaha KJA, peningkatan pendapatan masyarakat, kemudahan pasar, harga jual produk, biaya produksi budidaya, biaya investasi KJA, dengan nilai standar error atau nilai akar kuadrat nilai tengah (AKNT) masing-masing sebesar 3.12%, 4.09%, 0.58%, 2.94%, 0.12%, dan 1.35%. Peningkatan pendapatan masyarakat merupakan atribut yang mempunyai AKNT yang terbesar yaitu 4.09 % yang berarti atribut ini sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan waduk tersebut.

Dari hasil wawancara dengan masyarakat di sekitar wilayah waduk Cirata, sebagian besar mereka mencari nafkah sebagai petani, nelayan waduk, pembudidaya ikan, pedagang saprodi, pemilik warung disekitar waduk, pengusaha transportasi di waduk. Sebagian besar mencari nafkah sebagai pembudidaya ikan

(12)

baik di darat maupun di waduk. Masyarakat di wilayah waduk berharap keberadaan Waduk Cirata akan meningkatkan taraf hidup mereka dengan peningkatan pendapatan dari fungsi waduk seperti peningkatan hasil pertanian karena adanya irigasi yang lancar, peningkatan produksi ikan karena adanya lahan budidaya (perairan waduk), peluang pekerjaan baru lainnya seperti dari perdagangan saprodi pertanian dan budidaya ikan yang meningkat, rumah makan baik di pinggir maupun di tengah waduk, transportasi untuk mengangkut pakan dan ikan di darat aupun di perairan waduk.

Gambar 110 Atribut aspek ekonomi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan

budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata

6.7.3 Aspek Hukum Kelembagaan

Penilaian aspek hukum dan kelembagaan pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA berkelanjutan merupakan penilaian terhadap atribut kebijakan pemerintah terhadap pembuangan limbah, penegakan hukum, koordinasi dan implementasi pengelolaan KJA, dan kebijakan pemerintah tentang keberadaan KJA.

Gambar 111 menunjukkan atribut aspek hukum dan kelembagaan yang sensitif terhadap kinerja pengelolaan waduk berkelanjutan yaitu kebijakan pemerintah terhadap pembuangan limbah, penegakan hukum, koordinasi dan

(13)

implementasi pengelolaan KJA, dan kebijakan pemerintah tentang keberadaan KJA, dengan nilai standar error atau nilai akar kuadrat nilai tengah (AKNT) masing-masing sebesar 6.63%, 11.34%, 9.49%, 7.91%, dan 5.55%. Penegakan hukum merupakan atribut yang mempunya AKNT yang terbesar yaitu 11.34% yang berarti atribut ini sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan waduk tersebut.

Dalam suatu penegakkan hukum, sesuai kerangka Friedmann, hukum harus diartikan sebagai suatu isi hukum (content of law), tata laksana hukum (structure of law) dan budaya hukum (culture of law) sehingga penegakan hukum tidak saja dilakukan melalui perundang-undangan, namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan fasilitas hukum. Juga, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan budaya hukum masyarakat yang kondusif untuk penegakan hukum. Masyarakat harus senantiasa mendapatkan penyadaran dan pembelajaran yang kontinyu. Maka, program penyadaran, kampanye, pendidikan, harus terus menerus digalakkan dengan metode yang partisipatif. Akhirnya, penegakan hukum harus memperhatikan keselarasan antara keadilan dan kepastian hukum. Tujuan hukum antara lain adalah untuk menjamin terciptanya keadilan (justice), kepastian hukum (certainty of law), dan kesebandingan hukum (equality before the law) (Susetyo 2006).

Dalam hal ini penegakan hukum yang harus dilakukan misalnya, penegakan undang-undang keberadaan jumlah KJA di Waduk Cirata, keberadaan/penempatan KJA pada zonasi yang tepat, pembuangan limbah ke DAS Citarum, pertanian, peternakan.

(14)

Gambar 111 Atribut aspek hukum dan kelembagaan pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata

6.7.4 Aspek Infrastruktur dan Teknologi

Penilaian aspek infrastruktur dan teknologi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA berkelanjutan merupakan penilaian terhadap atribut kelas kesesuaian lahan, jenis ikan yang dibudidayakan, jumlah pakan, jenis pakan, padat tebar ikan, ketersediaan alat pendukung di KJA, ketersediaan kapal untuk transportasi, dermaga untuk pengangkutan ikan, SPBU, dan aksesbilitas yang mudah ke lokasi budidaya. Gambar 112 menunjukkan atribut aspek infrasturktur dan teknologi yang sensitif terhadap kinerja pengelolaan waduk berkelanjutan yaitu kelas kesesuaian lahan, jenis ikan yang dibudidayakan, jumlah pakan, jenis pakan, padat tebar ikan, ketersediaan alat pendukung di KJA, ketersediaan kapal untuk transportasi, dermaga untuk pengangkutan ikan, SPBU, dan aksesbilitas yang mudah ke lokasi budidaya, dengan nilai standar error atau nilai akar kuadrat nilai tengah (AKNT) masing-masing sebesar 4.53%, 0,84%, 2.28%, 1.54%, 2.71%, 0.50%, 0.25%, 2.31%, 0.74%, dan 3.88%. Kelas kesesuaian lahan merupakan atribut yang mempunyai AKNT yang terbesar yaitu 4.53% yang berarti atribut ini sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan waduk tersebut. Kesesuaian lahan yang tinggi diperlukan untuk keberlanjutan suatu kegiatan usaha. Kondisi perairan waduk Cirata saat ini sudah tidak sesuai

(15)

lagi untuk kegiatan budidaya ikan dengan karamba jaring, mengingat kondisi ekologi perairan sudah memburuk.

Gambar 112 Atribut aspek infrastruktur dan teknologi pada pengelolaan waduk

berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata

6.7.5 Aspek Sosial Budaya

Penilaian aspek sosial budaya pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA berkelanjutan merupakan penilaian terhadap atribut dukungan LSM setempat, pendidikan SDM pengelola waduk, tingkat SDM masyarakat dan pengelola KJA. Nilai standar error atau nilai akar kuadrat nilai tengah (AKNT) masing-masing sebesar 4.65%, 1.11%, 3.42%, dan 1.54%. Dukungan LSM setempat merupakan atribut yang mempunyai AKNT yang terbesar yaitu 4.65% yang berarti atribut ini sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan waduk tersebut. Dukungan LSM merupakan suatu potensi yang perlu dimanfaatkan dan dikembangkan dengan melakukan kegiatan positif seperti membentuk kelompok tani dalam rangka pengelolaan waduk. Kelompok tersebut dapat berupa kelompok tani nelayan, kelompok pemerhati lingkungan yang bisa diajak untuk

melaksanakan reboisasi hutan, dll. Selanjutnya dilakukan sosialisasi kepada

(16)

pembuatan kerjasama, pendampingan dan memberikan bantuan dalam pengelolaan waduk. Gambar 113 adalah atribut sosial budaya pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya di Waduk Cirata.

Gambar 113 Atribut aspek sosial budaya pada pengelolaan waduk berkelanjutan

berbasis perikanan budidaya di Waduk Cirata

6.7.6 Status Keberlanjutan Pengelolaan Waduk

Status keberlanjutan pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya merupakan keterpaduan penilaian aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi/infrastruktur, dan kelembagaan/kebijakan. Kelima aspek penentu tercapainya suatu pengelolaan waduk berkelanjutan saling terkait dan mempengaruhi yang ditunjukkan oleh diagram layang (Gambar 114). Gambar 114 menunjukkan bahwa kondisi aspek ekologi merupakan aspek yang sangat lemah sehingga perlu ditingkatkan dalam pengelolaannya. Aspek ini perlu mendapat perhatian yang serius mengingat kondisi waduk sudah memprihatinkan seperti

pendangkalan, eutrofikasi (penyuburan unsur hara). Akibatnya keragaman ekologi

akuatik waduk terancam, termasuk ikan-ikan yang dibudidayakan di KJA. Kualitas air baku waduk juga menurun dan mulai tercemar logam berat.

(17)

Pendangkalan, eutrofikasi, dan turunnya kualitas air waduk akibat DAS Citarum rusak dan intensifnya pengembangan KJA untuk meningkatkan produksi ikan. DAS Citarum rusak karena baik di hulu dan di hilir pertumbuhan penduduk meningkat pesat, tidak bijaknya manusia dalam membuang limbah industri, perternakan, rumah tangga, dan pertanian, serta penyalahgunaan tata ruang. TPA sampah Sarimukti di Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, temasuk penyumbang limbar air lindi yang besar ke Waduk Cirata karena lokasi TPA sangat dekat dengan sungai Citarum dan pengelolaan air lindinya tidak memadai (Sudarsono 2010).

Keberlanjutan aspek sosial budaya merupakan aspek terbesar (skor 57.37%), yang merupakan modal utama dalam melakukan intervensi pada keempat aspek lainnya, yaitu aspek kelembagaan-kebijakan (Skor 40.16), teknologi/infrastruktur (skor 49.79%), aspek ekonomi (skor 51.32%)dan ekologi (skor 22.29).

Dukungan masyarakat (LSM) di sekitar wilayah perairan Waduk Cirata yang cukup besar dalam pengelolaan waduk, perlu dibina dan ditingkatkan oleh pemerintah. Dari hasil wawancara dengan masyarakat, mereka berpersepsi bahwa Waduk Cirata adalah sumberdaya alam milik bersama yang harus dikelola bersama agar fungsinya berkelanjutan. Sistem kerjasama antara warga di sekitar Waduk Cirata masih kuat tetapi disebabkan banyak pendatang dari kota, adat istiadat tersebut menjadi longgar khususnya untuk generasi muda.

(18)

Gambar 114 Status keberlanjutan pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya karamba jaring apung

Gambar

Gambar 107 Model konseptual pengelolaan Waduk Cirata (Jawa Barat) berkelanjutan.
Gambar 108 Peta overlay keberadaan KJA tahun 2004 dengan KJA tahun  2008/2009 di Waduk Cirata
Gambar 109 Atribut aspek ekologi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan  budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata
Gambar 110 Atribut aspek ekonomi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan  budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian pemberlakuan pengampunan pajak bagi investor akan mendapatkan keuntungan atau manfaat 2 (dua) kali, yaitu pertama terhadap kekurangan pajak tahun

Pada kurikulum 2013 kompetensi dasar berdasarkan Permendiknas Nomor 146 Tahun 2014 juga menyebutkan bahwa anak menggunakan anggota tubuh untuk pengembangan motorik kasar

Pada dasarnya bakteri gardnerella ini merupakan bakteri anaerob yang dapat melakukan simbiosis dengan bakteri anaerob lain atau biasa disebut hiperpopulasi sehingga populasi

Sulfur dioksida (SO2) bersifat iritan kuat pada kulit dan lendir, pada konsentrasi 6-12 ppm mudah diserap oleh selaput lendir saluran pernafasan bagian atas, dan pada kadar rendah

a. Dalam menentukan kegiatan anak telah sesuai dengan indikator perkembangan anak usia dini. Penggunaan metode pembelajaran yang sudah sesuai dengan tingkat

Penyusunan dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA- Andal), Analisis Dampak Lingkungari (Andal), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana

- Dalem dengan Jogan dan Sentong sama, hanya saja pada sentong tengah rumah Jawa (Krobongan) masih digunakan untuk tempat persembahan pada leluhur maupun dewi sri, sementara