• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Masyarakat menyebutnya dengan bermacam-macam sebutan,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Masyarakat menyebutnya dengan bermacam-macam sebutan,"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia yang merdeka pada Tanggal 17 Agustus 1945 memiliki latar belakang sejarah yang sangat panjang, dimulai dari masa prasejarah sampai dengan masa kolonial. Menghasilkan peninggalan-peninggalan sejarah dan purbakala yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Masyarakat menyebutnya dengan bermacam-macam sebutan, antara lain benda kuno, benda antik, benda purbakala, monumen, peninggalan arkeologi (archaeological remains), atau peninggalan sejarah (historical remains)1.

Cagar budaya merupakan warisan kekayaan budaya bangsa yang dapat dimaknai sebagai lambang dari sifat serta kehidupan manusia yang memiliki arti penting dari sisi sejarah, ilmu pengetahuan, serta kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat. Cagar Budaya dapat dinilai sebagai wujud kehidupan manusia yang hidup disekitarnya2. Hal ini menunjukkan bahwa Cagar Budaya perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan yang benar agar potensi yang

1 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi – Jilid 1, Cetakan Sembilan, Rineka Cipta, Jakarta,

2009, hlm. 257.

2 H. Candrian Attahiyyat, Bangunan Cagar Budaya di Propinsi DKI Jakarta, Dinas Museum,

(2)

2

bisa digali dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kepentingan masyarakat. Kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, kebudayaan, serta ilmu pengetahuan menjadi bagian yang menyusun arti penting dari Cagar Budaya itu sendiri.

Pada Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Hal ini menempatkan kebudayaan nasional Indonesia sebagai aspek yang dikedepankan dalam kehidupan hubungan Indonesia dengan peradaban dunia. Selain itu, terdapat faktor pemeliharaan dan pengembangan. Berdasarkan ini, maka dapat dirumuskan bahwa pemerintah Indonesia berkewajiban melaksanakan kebijakan yang bernafaskan pemajuan kebudayaan secara utuh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pada tanggal 24 November 2010 mulai berlaku peraturan perundang-undangan yang kita kenal sebagai Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Undang-Undang ini menata aturan-aturan tentang cagar budaya yang dirasa masih lemah seperti pengaturan terlalu ketat yang membatasi upaya pelindungan benda cagar budaya oleh masayarakat, penjualan benda cagar budaya, atau tidak ada keuntungan langsung bagi pemilik benda cagar budaya. Kesan masyarakat yang timbul

(3)

3

bahwa Peran Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai pemilik benda cagar budaya sangat sedikit disinggung di dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya.3 Sementara mengingat di masa otonomi daerah seperti sekarang ini, sudah sewajarnya Pemerintah Daerah yang memiliki kewenangan besar untuk mengatur daerahnya harus ikut serta dalam hal pelestarian Cagar Budaya .

Upaya pelestarian budaya sebagai aset jati diri dan identitas sebuah masyarakat di dalam suatu komunitas budaya menjadi bagian yang penting ketika mulai dirasakan semakin kuatnya arus globalisasi yang berwajah modernisasi. Pembangunan sektor kebudayaan selanjutnya juga akan menjadi bagian yang integral dengan sektor lain untuk mewujudkan kondisi yang kondusif di tengah masyarakat.4 Di samping itu, besarnya pengaruh aspek asing yang masuk akan membawa pengaruh terhadap perilaku dan sikap bangsa ini baik perilaku sosial, politik, ekonomi, maupun budayanya. Oleh karena itu untuk menangkal dan menanggulangi arus negatif budaya asing yang masuk ke Indonesia dengan jalan memberikan informasi budaya kepada generasi muda khususnya dan masyarakat pada umumnya.5

Kawasan Cagar Budaya merupakan bukti-bukti aktivitas manusia masa lampau. Oleh karena itu dalam penanganannya harus hati-hati dan

3

Junus Satrio A., Perlindungan Warisan Budaya Daerah Menurut Undang-undang Cagar Budaya,

Makalah PlenoPertemuan Ilmiah Arkeologi, Jakarta, 2011, hlm.12.

4Sutardi, Tedi, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya, PT. Setia Purna Inves, Bandung,

2007, hlm. 34.

5Istiyarti, Menapak Jejak Masa Sejarah (Hindu, Buddha dan Islam), Bagian Proyek Pembinaan

(4)

4

diusahakan tidak salah yang bisa mengakibatkan kerusakan dan perubahan pada kawasannya. Perubahan yang terjadi sekecil apapun akan menyebabkan dampak yang mengurangi nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Karena kawasan cagar budaya dapat memberikan gambaran tentang tingkat-tingkat kemajuan dalam kehidupan sosial ekonomi, pemukiman, penguasaan teknologi, kehidupan religi, dan lain-lain.6

Setiap kawasan cagar budaya pada dasarnya memiliki karakteristik tersendiri yang berpotensi menjadi keunggulan. Namun bila tidak dikelola secara kreatif dan terintegrasi, dapat berubah menjadi sumber bencana. Upaya-upaya pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan perlu dilakukan dengan menyiapkan konsep dasarnya dalam bentuk masterplan dan dokumen implementasinya secara rinci. Kekurangcermatan dalam memahami permasalahan dan dalam menganalisis kondisi yang ada dapat mengakibatkan upaya pelestarian tidak memberikan hasil yang memuaskan. Mengingat kawasan cagar budaya di sangat bervariasi, maka pengelolaannya perlu strategi menyeluruh dengan memperhatikan keunggulan dan keunikan masing-masing.7

6 Uka Tjandrasasmita, Usaha-Usaha Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan

Purbakala dalam Pembangunan Nasional, Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Jakarta, 1982, hlm.13.

7 Khafsoh, Upaya Pemerintahan dalam Melakukan Perlindungan Benda Cagar Budaya Setelah

Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 di Daerah Istimewa Yogyakarta, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1996, hlm. 28-29.

(5)

5

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010, pengertian Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan,dan memanfaatkannya. Dari definisi ini dapat ditarik kesimpulan adanya peran konservasi dan preservasi dalam pelestarian segala sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan warisan baik yang diproduksi oleh alam atau manusia.

Pelestarian benda cagar budaya merupakan hal yang penting berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki oleh benda cagar budaya dan sesuai dengan amanat dari Undang-Undang No. 10 Tahun 2010 yang menyebutkan bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan kepentingan nasional.

Tujuan pelestarian merupakan kepentingan penggalian nilai-nilai budaya dan proses-proses yang pernah terjadi pada masa lalu dan perkembangannya hingga kini serta pelestarian benda cagar budaya karena nilainya terhadap suatu peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada masa lalu. Namun seiring dengan usaha pembangunan yang terus berlangsung di negara kita, maka memberi tantangan tersendiri terhadap upaya pelestarian.

(6)

6

Pembangunan sering kali berdampak negatif terhadap kelestarian benda cagar budaya. Problem semacam ini muncul dimana-mana terutama di daerah perkotaan. Kegiatan pembangunan tanpa menghiraukan keberadaan benda cagar budaya hingga saat ini masih terus berlangsung. Hal ini tampak dari semakin menurunnya kualitas dan kuantitas benda cagar budaya.

Keberadaan Kota Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Kraton Yogyakarta yang didirikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1756. Berdirinya Kraton Yogyakarta menandai dimulainya perjalanan budaya masyarakat Yogyakarta dengan segala dinamikanya. Salah satu hasil karya budaya yang sampai saat ini masih dapat dinikmati masyarakat adalah bangunan warisan budaya. Keberadaan bangunan warisan budaya menjadi bagian penting dalam membentuk karakter Kota Yogyakarta yang membedakan dengan kota-kota lain.8

Identitas fisik Kota Yogyakarta selama ini terwujud pada bangunan-bangunan berarsitektur tradisional dan kolonial. Pusat arsitektur tradisional adalah kraton yang menjadi kiblat rumah bangsawan dan rakyat Jawa, sedangkan arsitektur kolonial diawali keberadaannya oleh Benteng

Vredeburg yang lalu menyebar pada bangunan sekitarnya. Sebagai identitas

kota, nilai sejarah kraton dan Benteng Vredeburg sangat tinggi. Kedua

8Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, Panduan Pelestarian Bangunan Warisan

(7)

7

bangunan itu ada bersamaan dengan munculnya Kota Yogyakarta. Beberapa peristiwa sejarah berlangsung di bangunan-bangunan bersejarah tersebut. Rumah-rumah, sekolah-sekolah kuno peninggalan jaman penjajahan dan rumah-rumah ibadat kuno seperti klenteng menambah banyaknya daftar benda-benda bernilai dan mempunyai cerita sejarah yang perlu dilestarikan sebagai benda cagar budaya yang perlu dijaga kelestariannya.9

Budaya dan Benda Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki entitas atau tata pemerintahan yang berbasis kultural, sekaligus identitas lokal berupa nilai religi, nilai spiritual, nilai filosofis, nilai estetika, nilai perjuangan, nilai kesejarahan, dan nilai budaya yang menggambarkan segi keistimewaan Yogyakarta sehingga harus dijaga kelestariannya. Keberadaan Warisan Budaya dan Cagar Budaya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan kekayaan kultural yang mengandung nilai-nilai kearifan budaya lokal yang penting sebagai dasar pembangunan kepribadian, pembentukan jati diri, serta benteng ketahanan sosial budaya masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga upaya untuk menjaga kelestariannya menjadi tanggung jawab bersama semua pihak.10

9 Francisca Romana Harjiyatni, Upaya Pemeliharaan dan Perlindungan Shopping Centre Sasana

Triguna di Propinsi DIY sebagai Kawasan Cagar Budaya, Suatu Tinjauan Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1992, Laporan Penelitian, Universitas Janabadra, Yogyakarta, 1998, hlm.12.

10

(8)

8

World Monuments Fund (WMF) pada tahun 2007 menetapkan kawasan budaya Kotagede yang berada menjadi salah satu dari 100 situs budaya di dunia yang paling terancam mengalami kepunahan khususnya sebagai akibat dari gempa bumi11. Untuk itu upaya pelestarian atau pengelolaan KCB di daerah Kotagede tersebut perlu segera dilakukan. Selain bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan jati diri daerah, tentu apabila dapat dilaksanakan secara optimal, KCB yang terkelola dengan baik serta bermanfaat tersebut dapat menggugah semangat nasionalisme, atau lebih lagi menjadi salah satu pusaka dunia.

Kotagede terletak sekitar 10 kilometer di sebelah tenggara jantung kota Yogyakarta. Wilayah Kotagede terkenal dengan nama Kawasan Cagar Budaya (KCB) Kotagede yang merupakan sentra kerajinan perak di Yogyakarta.12 Sebagai kota tua bekas ibukota kerajaan, Kota Kotagede merupakan kota warisan (heritage) yang di dalamnya terdapat makam raja-raja Mataram yang antara lain merupakan makam Panembahan Senopati (pendiri Mataram). Selain itu, Kotagede juga menyimpan sekitar 170 bangunan kuno yang didirikan pada tahun 1700 hingga 1930. Berdasarkan keberadaan lanskap sejarah tersebut maka Kawasan Cagar Budaya

11 World Monuments Fund, A Closer Look: Kotagede Heritage,

https://www.wmf.org/project/kotagede-heritage-district, diakses pada 15 Juni 2015, jam 11.30 WIB

12 S. Ilmi Albiladiyah, Kotagede: Pesona dan Dinamika Sejarahnya, Lembaga Studi Jawa,

(9)

9

Kotagede ini penting untuk dilestarikan dan dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata sejarah.13

Kotagede yang memiliki luas 220 Ha adalah juga pusat kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya pada masa pemerintahan Sutawijaya. Hal ini terbukti melalui penyebutan Kotagede dengan istilah Pasar Gede. Pasar adalah pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan, dan Gede (besar) menunjuk pada skala kegiatannya yang besar sebagai pusat perdagangan. Kotagede juga terkenal sebagai pusat pembuatan kerajinan perak dan kerajinan lainnya yang masih hidup sampai sekarang. Kotagede yang didirikan pada abad ke-16 adalah salah satu kota Jawa yang menganut prinsip penataan “Catur Gatra Tunggal”, yaitu empat komponen dalam satu kesatuan. Empat komponen tersebut adalah kraton/istana, masjid, alun-alun, dan pasar Kraton sebagai pusat kota dikelilingi oleh benteng dan parit (jagang njero).14

Komponen-komponen kota dibangun secara bertahap diawali dengan pembangunan hunian-hunian penduduk termasuk kraton. Setelah itu, komponen-komponen pokok lain yang didirikan secara berurutan di antaranya: benteng dengan jagang (parit), Masjid Agung, taman dan makam. Dari empat komponen utama kota, saat ini hanya tinggal dua komponen yang tertinggal, yaitu Masjid Agung dan pasar. Beberapa

13 Yumi Nursyamsiati, Perencanaan Lanskap Wisata Pada Kawasan cagar Budaya Kotagede,

Yogyakarta, Skripsi, IPB, 2011, hlm.18

14

(10)

10

peninggalan lainnya yang masih ada adalah Makam Raja Mataram dan Sendang Seliran.15

Keunikan Kotagede nampak melalui kampung-kampungnya dengan bangunan-bangunan bersejarah berarsitektur tradisional dan gang-gang sempit serta jalan „rukunan' yang terbentuk dari deretan halaman rumah-rumah yang ada. Rumah-rumah-rumah di Kotagede dibangun sejak ratusan tahun yang lalu. Hal ini menunjukkan bahwa Kotagede sejak lama telah memiliki kemampuan tinggi untuk membangun rumah tradisional yang khas.16 Oleh karena itu sejarah dan budaya Kotagede penting untuk dilestarikan agar generasi mendatang memahami dan menghargai asal-usul dan budayanya. Kawasan Cagar Budaya Kotagede selama ini kurang mendapat perhatian. Terjadinya kasus-kasus seperti pendopo yang kondisinya mulai banyak perubahan atau malah dijual, vandalisme serta pengelolaan yang kurang jelas membuat potensi serta pelestarian Kawasan Cagar Budaya Kotagede menjadi tidak maksimal.

Hal ini yang mendorong Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DIY membentuk Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kotagede pada Desember 201417. Dinas Kebudayaan dengan menggandeng sejumlah elemen masyarakat dan pemangku jabatan terkait mengharapkan

15

Revianto Budi dan Bambang Triatmojo, Kotagede: Life Between Walls, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hlm. 11.

16Ibid., hlm.14.

17Pemangku Cagar Budaya Kotagede Siapkan Badan Pengelola, PAS TV NEWS, diakses dari

http://www.pastvnews.com/seni-dan-budaya/pemangku-cagar-budaya-kotagede-siapkan-badan-pengelola.html pada tanggal 16/03/2015 pukul 1:10 WIB

(11)

11

keberadaan Badan Pengelola KCB bisa lebih optimal dalam mengupayakan pelestarian situs warisan budaya Kotagede.

Pada Desember 2014 sebanyak lima kelurahan atau desa yang berada di wilayah kawasan cagar budaya Kotagede mendeklarasikan diri pembentukan Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya, lima kelurahan atau desa tersebut yakni:18

1. Kelurahan Prenggan, 2. Rejowinagun,

3. Purbayan,

4. Desa Jagalan, dan 5. Singosaren,.

Deklarasi tersebut berlangsung di Aula Balai Desa Jagalan, dengan dibuka oleh Camat Kotagede dan Camat Banguntapan dengan disaksikan jajaran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DIY. Selain oleh kepala lima desa serta kelurahan deklarasi tersebut juga dihadiri abdi

dalem dari Surakarto. Tujuan deklarasi ini dikatakan merupakan bentuk

dari sosialisasi penyiapan kelembagaan Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kotagede, dengan harapan Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kotagede ini dapat menjadi embrio terbentuknya Badan Pengelola KCB yang ada di Yogyakarta. Badan Pengelola KCB

18 Stake Holder Deklarasikan KCB Kotagede, Majalah Burung Pas, diakses dari

http://www.majalahburungpas.com/news-lintas-wisata/stake-holder-deklarasikan-kcb-kotagede.html pada tanggal pada tanggal 16/03/2015 pukul 1:15 WIB

(12)

12

Yogyakarta nantinya akan menangani enam kawasan cagar budaya Yogyakarta sehingga kawasan cagar budaya dapat dilindungi, dikembangkan dan dimanfaatkan masyarakat.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan juga merencanakan untuk mempercantik sejumlah benda cagar budaya di Kota Jogja antara lain titik-titik tersebut terdapat di depan Pasar Kotagede, yakni monumen peninggalan Paku Buwono X, monumen peninggalan jumenengan Hamengku Buwono IX, Gardu S. Petojo di antara Sitisewu dan Mangkubumi, serta gardu listrik di depan pasar Kotagede19. Upaya tersebut merupakan tanggung jawab Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dalam hal perawatan beteng, plengkung, bangunan heritage serta Bangunan Cagar Budaya yang berupa fasilitas umum lainnya.

Melihat kondisi yang diuraikan diatas maka peran pemerintah dalam melestarikan cagar budaya di Indonesia sangatlah vital. Pemerintah dengan regulasi-regulasinya dapat mempertahankan sejarah kebudayaan Kotagede melalui beberapa hal yang dapat dilaksanakan dalam rangka pelestarian kawasan budaya Kotagede. Pembentukan Badan Pengelola KCB Kotagede berikut merupakan langkah yang tepat dalam hal pengelolaan serta pelestarian Kawasan Cagar Budaya Kotagede. Dengan adanya Badan Pengelola ini akan

19 Ujang Hasanudin, Benda Cagar Budaya Jadi Sasaran Vandalisme, Apa Tindakan Disparbud?,

HarianJogja.com, diakses dari http://jogja.solopos.com/baca/2015/03/09/benda-cagar-budaya-jadi-sasaran-vandalisme-apa-tindakan-disparbud-583230 pada tanggal 16/03/2015 pukul 1:10 WIB

(13)

13

memperjelas payung hukum mengenai aturan-aturan serta sistem pelestarian Kawasan Cagar Budaya Kotagede, antara lain mengenai perbaikan kondisi di seluruh kawasan Kotagede terutama situs kompleks masjid, makam kerajaan dan juga arsitektural kawasan agar nilai-nilai budaya dan sejarahnya dapat diapresiasi oleh masyarakat. Karena Cagar Budaya merupakan sumber daya yang harus ditangani dengan tindakan yang hati- hati. Dengan latar belakang masalah demikian, penulis bermaksud untuk menyusun penulisan hukum dengan

judul sebagai berikut: “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

PEMERINTAH DALAM PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DI KECAMATAN KOTAGEDE (STUDI PEMBENTUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTAGEDE OLEH DINAS KEBUDAYAAN DIY)”

(14)

14

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat penulis rumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Apa saja upaya yang telah dilakukan terkait pelestarian cagar budaya di kecamatan Kotagede?

2. Bagaimana rencana pelestarian cagar budaya di kecamatan Kotagede? 3. Faktor-faktor apa saja yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan

pelestarian cagar budaya di kecamatan Kotagede?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini, dapat dikelompokkan sebagai tujuan objektif dan tujuan subjektif untuk:

1. Tujuan Objektif

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka ada 3 (tiga) tujuan objektif yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu:

a. Mengetahui kebijakan hukum di Indonesia tentang perlindungan cagar budaya

b. Mengetahui apa saja upaya yang dilakukan terkait pelestarian cagar budaya di kecamatan Kotagede.

(15)

15

c. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi hambatan dalam melaksanaan pelestarian cagar budaya di kecamatan Kotagede?

2. Tujuan Subjektif

Tujuan subjektif dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data yang berhubungan dengan objek yang diteliti guna menyusun penulisan hukum sebagai syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.

D. KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian yang mengangkat tema mengenai Perlindungan Benda Cagar Budaya sudah ada sebelumnya. Berdasarkan penelusuran kepustakaan, penulis menemukan beberapa judul sebagai berikut:

1. Perlindungan Hukum dan Konservasi Rumah Tradisional Sebagai Benda Cagar Budaya di Wilayah Kotagede Yogyakarta, skripsi, ditulis oleh Arif Nur Rokhman pada tahun 2010. Masalah yang diangkat mengenai konservasi dalam perlindungan benda cagar budaya. Perbedaan terletak pada studi kasus yang dijadikan obyek penelitian serta penggunaan undang-undang sehingga akan berbeda pula dalam pembahasannya.

(16)

16

2. Kajian Yuridis Upaya Perlindungan Bangunan Bersejarah di Indonesia (Studi Kasus Pembongkaran Pabrik Es Saripetojo Di Kota Solo, Jawa Tengah), skripsi, ditulis oleh Reyner Iqbal pada tahun 2014. Masalah yang diangkat mengenai upaya pemerintah dalam melestarikan benda cagar budaya pabrik es Saripetojo di Kota Solo, Jawa Tengah. Perbedaan terletak pada studi kasus yang dijadikan obyek penelitian serta penggunaan undang-undang sehingga akan berbeda pula dalam pembahasannya.

3. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Tanah di Kawasan Cagar Budaya di Kecamatan Kotagede Yogyakarta Pasca Gempa, skripsi, ditulis oleh Dyah Ayu Widowati pada tahun 2012. Masalah yang diangkat mengenai upaya perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah di kawasan cagar budaya kotagede pasca gempa 2006. Perbedaan terletak pada studi kasus yang dijadikan obyek penelitian serta penggunaan undang-undang sehingga akan berbeda pula dalam pembahasannya.

4. Perlindungan Hukum Terhadap Bangunan Tradisional Sebagai Benda Cagar Budaya Berdasarkan Asas Kearifan Lokal (Studi Kasus Penjualan Rumah-Rumah Joglo di Kotagede DIY), skripsi, ditulis oleh Julia Dara tahun 2010. Masalah yang diangkat mengenai upaya perlindungan hukum terhadap bangunan tradisional sebagai benda cagar budaya menanggapi penjualan rumah-rumah joglo di kotagede. Perbedaan

(17)

17

terletak pada studi kasus yang dijadikan obyek penelitian serta penggunaan undang-undang sehingga akan berbeda pula dalam pembahasannya.

Berdasarkan hasil penelusuran tersebut, penulis berpendapat bahwa penelitian “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DI KECAMATAN KOTAGEDE (STUDI PEMBENTUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTAGEDE OLEH DINAS PARIWISATA DAN

KEBUDAYAAN KOTA YOGYAKARTA)” belum pernah dilakukan dan

penelitian ini dapat dikatakan original.

E. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian ini antara lain:

1. Teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu melengkapi wacana dan materi ilmu pengetahuan yang telah ada khususnya dalam bidang Hukum Lingkungan, sehingga dapat menambah bahan studi kepustakaan untuk mengetahui, mempelajari atau meneliti secara lebih mendalam mengenai pengaturan pelestarian cagar budaya khususnya pelestarian cagar budaya di kecamatan Kotagede..

(18)

18

Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang mendalam mengenai pelestarian cagar budaya khususnya pelestarian cagar budaya di kecamatan Kotagede.

Bagi pihak Pemerintah Daerah penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam mengambil tindakan yang berkaitan dengan upaya mengenai pelestarian cagar budaya khususnya pelestarian cagar budaya di kecamatan Kotagede.

Bagi masyarakat umum, penelitian ini bermanfaat sebagai sarana untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang bagaimana menjaga kelestarian cagar budaya serta mencintai warisan budaya yang ada.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah yang akan dikemukakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah Efektivitas Iklan simPATI

Perluasan tambak yang tidak ramah lingkungan ini, terutama terjadi di Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah, serta Kabupaten Pohuwato dan Boalemo Provinsi

Kramatraya Sejahtera menggunakan metode perancangan tata letak fasilitas yang dapat disesuaikan dengan ketersediaan luas lantai produksi.. Kondisi yang terjadi

Hasil tersebut kemudian direpresentasikan ke dalam algoritma genetika untuk penjadwalan perawat dan diperoleh Individu-individu terbaik pada seluruh generasi dengan

Kemurnian radiokimia merupakan hal yang mutlak dan harus ditentukan agar dapat menjamin bahwa sediaan tersebut berada dalam bentuk senyawa kimia seperti yang diinginkan,

245 TK MARDIRINI 1 WONOSALAM KECAMATAN WONOSALAM 246 TK MARDIRINI 2 WONOSALAM KECAMATAN WONOSALAM 247 TK MARDISIWI MRANGGEN KECAMATAN MRANGGEN 248 TK MARGO UTOMO

 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Kalimantan Tengah pada Februari 2015 sebesar 3,14 persen, mengalami peningkatan dibanding TPT Februari 2014 maupun TPT

Pada tahapan ini akan melanjutkan proses yang ada dalam tahap komunikasi, yaitu membuat perencanaan dan permodelan dari alat sistem iot timbangan digital