• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gaya Hidup, Massa Lemak, dan Otot Tubuh Siswa Gizi Lebih di SDN Leuwiliang 2 dan SDN Pengadilan 3 Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gaya Hidup, Massa Lemak, dan Otot Tubuh Siswa Gizi Lebih di SDN Leuwiliang 2 dan SDN Pengadilan 3 Bogor"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

GAYA HIDUP, MASSA LEMAK, DAN OTOT TUBUH SISWA GIZI

LEBIH DI SDN LEUWILIANG 2 DAN SDN PENGADILAN 3 BOGOR

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gaya Hidup, Massa Lemak, dan Otot Tubuh Siswa Gizi Lebih di SDN Leuwiliang 2 dan SDN Pengadilan 3 Bogor. benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Nur Susan Iriryanti Ibrahim

(3)

ABSTRAK

NUR SUSAN IRIYANTI IBRAHIM. Gaya Hidup, Massa Lemak, dan Otot Tubuh Siswa Gizi Lebih di SDN Leuwiliang 2 dan SDN Pengadilan 3 Bogor. Dibimbing oleh FAISAL ANWAR

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gaya hidup, massa lemak, dan otot tubuh siswa gizi lebih di sekolah dasar wilayah Bogor. Gaya hidup yang diteliti berkaitan dengan kebiasaan konsumsi karbohidrat, protein, lemak, fast food, minuman manis, sayur dan buah, serta aktifitas fisik siswa. Penelitian dilakukan di dua lokasi yaitu SDN Leuwiliang 2 dan SDN Pengadilan 3 Bogor. Total keseluruhan jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 44 orang. Hasil uji hubungan menunjukkan terdapat hubungan positif besar uang saku, tingkat kecukupan energi, massa lemak, dan massa otot dengan status gizi. Terdapat hubungan negatif konsumsi protein nabati (tahu, tempe, dan kacang-kacangan), jajanan (bakso, mie ayam, siomay, cakwe, cireng, cimol, dan batagor), minuman manis (es sirup, teh manis, susu, ice cream, dan minuman soda) dengan status gizi. Terdapat hubungan positif antara tingkat kecukupn energi dengan persen lemak tubuh. Serta terdapat hubungan negatif antara konsumsi lemak (margarin, minyak goreng, dan santan) dan konsumsi minuman manis dengan persen lemak tubuh.

Kata kunci: gaya hidup, konsumsi pangan, massa lemak, massa otot, status gizi

ABSTRACT

NUR SUSAN IRIYANTI IBRAHIM. Life style, body fat, and muscle mass in overweight and obese student at SDN Leuwiliang 2 and SDN Pengadilan 3 Bogor. Supervised by FAISAL ANWAR.

This research aims to identify the lifestyle, body fat, and muscle mass in overweigt and obese students at Bogor’s elementary school. The lifestyle that was examined are the habits consumption of carbohydrates, protein, fat, fast food, sugary drinks, vegetable, fruit, as and physical activity of students. The research was conducted in two locations, thats are SDN Leuwiliang 2 and SDN Pengadilan 3 Bogor. Total number of samples in this research were 44 students. Test results showed there was a positive relationship of the allowance, level of energy adequacy, fat mass, and muscle mass with nutritional status. There are a negative relationship of consumption plant protein (tofu, soybean, and nut), snacks (meatballs, chicken noodle, dumpling, cakwe, cireng, cimol, and batagor), sweet drinks (sweet syrup, milk, ice cream, and soft drink) and nutritional status. There is a positive relationship between the level of energy adequancy with percentage body fat, and there are a negative relationship between consumption of fats (margarine, cooking oil, and coconut milk) and sweet drinks consumption with percentage body fat.

(4)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

GAYA HIDUP, MASSA LEMAK, DAN OTOT TUBUH SISWA

GIZI LEBIH DI SDN LEUWILIANG 2 DAN SDN

PENGADILAN 3 BOGOR

NUR SUSAN IRIYANTI IBRAHIM

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Gaya Hidup, Massa Lemak, dan Otot Tubuh Siswa Gizi Lebih di SDN Leuwiliang 2 dan SDN Pengadilan 3 Bogor

Nama : Nur Susan Iriyanti Ibrahim

NIM : I14100032

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Faisal Anwar, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Rimbawan Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah gizi lebih, dengan judul Gaya Hidup, Massa Lemak, dan Otot Tubuh Siswa Gizi Lebih di SDN Leuwiliang 2 dan SDN Pengadilan 3 Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada

1. Pof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas waktu, bimbingan, motivasi, serta saran/masukannya dalam membantu proses penyelesaian penyusunan karya ilmiah ini.

2. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji yang telah memberikan koreksi demi perbaikan karya ilmiah ini.

3. Kepala sekolah SDN Leuwiliang 2 dan SDN Pengadilan 3 Bogor yang telah memberikan ijin lokasi penelitian, para staf guru yang telah membantu dan mendampingi selama proses pengambilan data, serta seluruh siswa yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

4. Keluarga tercinta: ayahanda (Bapak Ibrahim), ibunda (Ibunda Sumartina), Nur Indah Fitriana Ibrahim S.Gz (kakak), Rahmat Saputra Ibrahim (adik), serta seluruh keluarga besar atas segala doa, dukungan moril, dan kasih sayang yang telah diberikan.

5. Teman-teman terdekat: Faridah Lestari, Anissa Pratami, Fitria Nurmalasari, Ambarwati, Fatimah Jumiati, atrina D P, dan Nurul F Dabibah yang telah memberikan doa dan semangat luar biasa.

6. Teman-teman enumerator: kak Desti Sagita, Umami, Kharisma, Engkun, Imelda, Irwan Setyadi, Aris Sulfiana, Elok Nalurita, Nur Khoiriyah, Sakinah Ulfi, Ahmad Fauzi, Pvatmaya, Tiffani, dan Ega Suryadiana yang banyak membantu dalam proses pengambilan data.

7. Teman-teman Gizi Masyarakat 47 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala perhatian, dukungan, semangat, dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.

Tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kekurangan dalam penyusunan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Hipoteiss Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

KERANGKA PEMIKIRAN 4

METODE PENELITIAN 6

Desain, Tempat dan Waktu 6

Jumlah dan Cara Penarikan Sampel 6

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 7

Pengolahan dan Analisis Data 7

Definisi Operasional 12

HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Karakteristik Keluarga 13

Karakteristik Siswa 16

Kebiasaan Makan Siswa 18

Kecukupan Gizi Siswa 22

Gaya Hidup Siswa 23

Komposisi Tubuh Siswa 28

Hubungan antar Variabel 30

SIMPULAN DAN SARAN 35

Simpulan 35

Saran 36

DAFTAR PUSTAKA 36

LAMPIRAN 41

(8)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data 7

2 Cara pengkategorian variabel penelitian 10

3 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga 14

4 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik siswa 17

5 Frekuensi konsumsi pangan sumber karbohidrat siswa 19

6 Frekuensi konsumsi protein hewani siswa 20

7 Frekuensi konsumsi protein nabati siswa 20

8 Frekuensi konsumsi lemak siswa 21

9 Sebaran siswa berdasarkan kategori tingkat kecukupan gizi siswa 22

10 Tingkat aktifitas fisik siswa 23

11 Frekuensi konsumsi fast food dan jajanan siswa 24

12 Frekuensi konsumsi minuman manis 26

13 Frekuensi konsumsi sayur dan buah siswa 27

14 Sebaran contoh berdasarkan komposisi tubuh siswa 28

15 Faktor genetik terhadap massa lemak siswa 30

DAFTAR GAMBAR

1 Skema kerangka pemikiran penelitian 5

2 Skema penentuan jumlah sampel penelitian 6

DAFTAR LAMPIRAN

(9)
(10)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemajuan dan kualitas suatu bangsa ditentukan dari sumberdaya manusianya, terutama generasi muda sebagai penerus cita-cita bangsa. Indikator suatu bangsa dikatakan maju bila tingkat pendidikan penduduk semakin baik, derajat kesehatannya tinggi, usia harapan hidup panjang, dan pertumbuhan fisiknya optimal. Sehingga mewujudkan manusia Indonesia yang berkualitas sangatlah penting dilakukan, salah satunya dengan memperhatikan kondisi manusia sejak usia dini yaitu sejak masa kanak-kanak. Anak merupakan sumber potensi dan penerus cita-cita bangsa, sehingga anak perlu mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.

Salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia adalah dengan memperhatikan asupan gizinya. Anak-anak di negara maju tumbuh lebih cepat dibandingkan di negara berkembang karena asupan gizi yang lebih baik dapat menunjang tumbuh kembang anak (Khomsan 2005). Saat ini masalah gizi ganda (kekurangan dan kelebihan gizi) merupakan masalah di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Anak merupakan usia yang rentan mengalami masalah gizi kurang maupun gizi lebih. Prevalensi berat badan berlebih dan obesitas meningkat drastis disebagian besar negara selama 20 tahun terakhir (Barasi 2007).

Masalah gizi lebih tidak hanya dialami masyarakat perkotaan saja akan tetapi juga sudah dialami oleh masyarakat perdesaan. Walaupun demikian obesitas pada anak di perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. Hal ini dipicu oleh produk makanan siap saji yang banyak membanjiri wilayah perkotaan, seperti burger, pizza, hot dog, dan berbagai minuman soft drink lainnya. Makanan ini tinggi akan kandungan kalori, lemak, dan kolesterol sehingga bila dikonsumsi berlebihan dapat meningkatkan resiko obesitas. Kejadian obesitas meningkat dikalangan anak-anak dan remaja dan berpengaruh langsung terhadap sekitar 6% dari seluruh kasus kematian di dunia barat dan memperpendek usia harapan hidup rata-rata sebanyak 9 tahun (Barasi 2007).

Obesitas merupakan kelebihan berat badan yang diukur dari perbandingan berat badan dan tinggi badan menurut usia atau kelebihan jaringan lemak tubuh. Obesitas terjadi karena energi yang diasup lebih besar dibandingkan energi yang dikeluarkan, sehingga sisa energi tersebut disimpan dalam bentuk lemak. Penyimpanan yang berlebih dan terjadi terus menerus pada akhirnya dapat menimbulkan timbunan lemak yang berlebih. Dengan adanya perkembangan teknologi yang tinggi anak-anak juga cenderung kurang melakukan aktifitas fisik dan lebih memilih menonton televisi, bermain game, maupun bermain komputer yang sangat membutuhkan sedikit energi.

(11)

New England Journal of Medicine tahun 2010 menunjukkan obesitas, intoleransi glukosa, dan hipertensi pada anak akan menyebabkan kematian usia dini di masa mendatang yaitu usia di bawah 55 tahun. Sehingga pencegahan pada anak-anak menjadi prioritas utama, sebab Overweight dan obesitas yang dicegah sejak dini dapat mencegah munculnya penyakit-penyakit kronis yang memperpendek usia seseorang.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, secara nasional masalah kegemukan pada anak umur 6-12 tahun masih tinggi yaitu 9.2% atau masih di atas 5 %. Sedangkan untuk wilayah provinsi Jawa Barat prevalensi berat badan lebih pada anak adalah 8.5% atau masih di atas 5% juga. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan angka obesitas tertinggi di Indonesia. Berdasarkan tempat tinggal prevalensi kegemukan lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan yaitu berturut-turut sebesar 10.4% dan 8.1%.

Prevalensi kegemukan terlihat semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pendidikan kepala rumah tangga. Pada pendidikan kepala rumah tangga SD ke bawah prevalensi kegemukan pada anak umur 6-12 tahun berkisar dari 7.6% sampai 8.3%, sedangkan pada pendidikan kepala rumahtangga SLTP ke atas berkisar dari 9.5% sampai 14.2%. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merasa sangat penting untuk mambahas masalah gizi lebih pada anak usia sekolah dasar karena hal ini dapat berdampak pada menurunnya kualitas generasi penerus bangsa. Sehingga peneliti melakukan penelitian mendalam terkait Gaya Hidup, Massa Lemak dan Otot Tubuh Siswa Gizi Lebih di Sekolah Dasar Perdesaan dan Perkotaan Bogor.

Perumusan Masalah

1. Bagaimana gaya hidup, massa lemak, dan otot tubuh siswa gizi lebih di pedesaan dan perkotaan Bogor?

2. Apakah terdapat hubungan antara tingkat kecukupan gizi, gaya hidup, dan status gizi orang tua terhadap status gizi siswa?

3. Apakah ada hubungan gaya hidup dan tingkat kecukupan gizi terhadap massa lemak dan otot tubuh siswa gizi lebih?

.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

(12)

Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

a. Mengidentifikasi karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, status gizi orang tua) dan karakteristik siswa (usia, jenis kelamin, uang saku, status gizi siswa);

b. Mengidentifikasi kebiasaan makan (konsumsi karbohidrat, protein, dan lemak) dan gaya hidup siswa (tingkat aktifitas fisik, konsumsi fast food,

jajanan, minuman, sayur, dan buah);

c. Mengidentifikasi komposisi tubuh siswa (persen lemak tubuh dan massa otot siswa);

d. Menganalisis hubungan kecukupan gizi, gaya hidup, dan status gizi orang tua dengan status gizi siswa;

e. Menganalisis hubungan kebiasaan makan, tingkat kecukupan gizi, dan gaya hidup dengan persen lemak dan massa otot tubuh siswa.

Hipotesis Penelitian

1. Terdapat perbedaan karakteristik keluarga, karakteristik siswa, kebiasaan makan, tingkat kecukupan gizi, gaya hidup, dan komposisi tubuh siswa gizi lebih di pedesaan dan perkotaan;

2. Terdapat perbedaan antara persen lemak tubuh dan massa otot tubuh siswa gizi lebih di pedesaan dan perkotaan.

Manfaat Penelitian

(13)

KERANGKA PEMIKIRAN

Status gizi dapat disebabkan oleh banyak faktor yaitu faktor langsung maupun tidak langsung. Faktor langsung meliputi konsumsi makanan dan keadaan kesehatan. Sedangkan faktor tidak langsung meliputi pertanian, ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Status ekonomi keluarga merupakan hal yang paling krusial dalam menentukan daya beli bahan pangan. Artinya bahwa semakin baik pekerjaan seseorang maka akan semakin tinggi atau baik pula pendapatannya yang akan mempengaruhi daya beli terhadap pangan keluarga.

Peran ibu juga merupakan faktor yang paling banyak berhubungan terhadap pembentukan kebiasaan anak-anak di dalam rumah, karena ibulah yang mempersiapkan makanan, mulai dari mengatur menu, berbelanja, memasak, menyiapkan atau menghidangkan makanan, mendistribusikan makanan, serta mengajarkan tata cara makan terhadap anak-anaknya. Namun dalam masa pertumbuhannya anak banyak sekali mendapat pengaruh dari lingkungan luar, seperti lingkungan sekolah dan pengaruh teman dekat.

Masalah gizi lebih dapat terjadi karena dipicu oleh beberapa faktor seperti pola konsumsi, aktifitas fisik, genetik, dan gaya hidup yang salah. Kemajuan teknologi turut mempengaruhi gaya hidup anak. Kini sebagian besar masyarakat sudah bisa menikmati kemajuan teknologi yang sangat pesat dan adanya makanan cepat saji (fast food) yang mulai membajiri konsumen. Banyaknya alat elektronik yang mempermudah kerja manusia membuat anak merasa malas untuk bergerak lebih. Selain itu juga semakin berkembangnya industri makanan cepat saji (fast food) membuat konsumsi makanan yang tinggi akan kandungan energi dan lemak semakin meningkat. Makanan ini mampu memberi kontribusi yang tinggi pada kasus obesitas anak di daerah perkotaan.

Kemajuan teknologi turut mempengaruhi pola aktifitas fisik anak. Adanya televisi dan laptop membuat anak jarang melakukan aktifitas, anak merasa nyaman dan senang menikmati acara televisi atau bermain game melalui laptop selama berjam-jam. Selanjutnya ditambah dengan konsumsi fast food yang berlebih dan tidak diiringi dengan aktifitas fisik yang memadai. Karena adanya pemerataan pembangunan, maka semua masyarakat sudah bisa menikmati kemajuan teknologi yang sangat pesat dan adanya makanan cepat saji yang mulai membajiri konsumen.

(14)

Gambar 1 Skema kerangka pemikiran penelitian

Keterangan:

= Variabel yang diteliti

= Hubungan yang diteliti

Karakteristik siswa  Usia

 Jenis Kelamin

 Uang Saku di sekolah  Status Gizi

Karakteristik keluarga  Usia orang tua  Besar keluarga  Pendidikan orang tua  Pekerjaan orang tua  Pendapatan orang tua  Status gizi

Kebiasaan Makan  Karbohidrat  Protein  Lemak

Gaya Hidup  Aktivitas fisik  Konsumsi:

-Fast food

-Jajanan -Minuman -Sayur dan buah

Komposisi Tubuh  Massa lemak  Massa otot

Genetik

(Status gizi orang tua) GIZI LEBIH

(15)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu

Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Penelitian ini dilakukan di dua lokasi berbeda yaitu daerah pedesaan dipilih SDN Leuwiliang 2 Bogor dan daerah perkotaan SDN Pengadilan 3 Bogor. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara purposive atas pertimbangan kemudahan akses dan administrasi sekolah. Pengambilan data dilakukan mulai dari bulan Mei 2014 sampai dengan Juni 2014.

Jumlah dan Cara Penarikan Sampel

Jumlah populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh anak kelas 4 hingga 6 SD. Sampel diambil sesuai dengan kriteria inklusi yang ditetapkan yaitu siswa kelas 4 hingga 6 sekolah dasar di lokasi penelitian dengan status gizi lebih (nilai Z-Score >+1 SD menurut Riskesdas 2010), bersedia, dan hadir pada saat penelitian dilaksanakan. Penentuan jumlah sampel pada penelitian ini menggunakan rumus:

Keterangan : Z = 1.96 (α = 0.05)

p = prevalensi gizi lebih Jawa Barat (8.5%) d = toleransi estimasi (10% atau 0.1)

sebelumnya dilakukan screening untuk menetapkan sampel yang dipilih, yaitu seluruh populasi diukur berat dan tinggi badan secara langsung. Sehingga diperoleh 44 orang siswa yang memenuhi kriteria inklusi. Tahap penentuan sampel dapat dilihat pada bagan berikut ini.

Gambar 2 Skema penentuan jumlah sampel penelitian n = p (1 – p) (Z/d)2

SDN 2 Leuwiliang SDN Pengadilan 3

Populasi: 118 orang Populasi: 184 orang

Gizi lebih: 15 orang (12.7%) Gizi lebih: 46 orang (25%)

Sampel: 13 orang Sampel: 31 orang

(16)

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data karakteristik keluarga (usia, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan status giziorang tua), karakteristik siswa (usia, jenis kelamin, uang saku, dan status gizi contoh), konsumsi pangan siswa (karbohidrat, protein, dan lemak) melalui kuesioner FFQ, gaya hidup siswa melalui recall aktifitas fisik 2x24 jam, dan data antropometri siswa melalui pengukuran langsung. Sumber dan cara pengumpulan data secara lengkap dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

No Variabel Data yang dikumpulkan Cara Pengumpulan

1 Karakteristik keluarga  Usia orang tua  Besar keluarga  Pendidikan orang tua  Pekerjaan orang tua  Pendapatan orang tua  Status gizi orang tua

Wawancara dengan menggunakan kuesioner

2 Karakteristik contoh  Umur  Jenis kelamin

 Uang saku di sekolah  Status Gizi 3 Frekuensi konsumsi  Karbohidrat

 Protein  Lemak

Wawancara dengan menggunakan kuesioner

4 Konsumsi Pangan  Asupan energi

 Asupan protein

Metode recall 1x24 jam

5 Gaya hidup  Aktivitas fisik

 Kebiasaan konsumsi

6 Komposisi tubuh  Persen lemak tubuh  Luas massa otot tubuh

Pengukuran antropometri

7 Genetik Status gizi orang tua Wawancara

menggunakan kuesioner

Pengolahan dan Analisis Data

Data-data yang diperoleh kemudian diolah melalui beberapa tahapan yaitu

(17)

Karakteristik keluarga. Karakteristik keluarga meliputi usia, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, status gizi. Usia orangtua dikelompokkan menjadi dewasa (26-45 tahun) dan lansia (46-65 tahun) (Depkes RI 2009). Besar keluarga dikelompokkan menjadi keluarga kecil (≤ 4 orang), sedang (5-6 orang), dan besar (> 6 orang) (BKKBN 1998). Tingkat pendidikan di kelompokkan menjadi Tidak tamat SD, SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat, dan perguruan tinggi. Pekerjaan dikelompokan menjadi PNS/ABRI, swasta, wiraswasta, buruh tani, dan tidak bekerja. Pendapatan per kapita keluarga dikelompokkan menjadi rendah (<Rp 2 500 000 per kapita) dan tinggi (>2 400 000 per kapita) berdasarkan Upah Minimum Kota (UMK) Bogor tahun 2014. Status gizi orang tua dikelompokkan menjadi kurus, normal, dan gemuk berdasarkan persepsi siswa.

Karakteristik siswa. Karakteristik siswa meliputi usia, jenis kelamin, uang saku di sekolah, dan status gizi. Data jenis kelamin anak terdiri atas laki-laki dan perempuan. Uang saku siswa dikelompokkan menjadi rendah (Rp 4 000 – 8 000 per hari), sedang (Rp 9 000 – 14 000 per hari), dan tinggi (Rp 15 000 – 20 000 per hari) yang diperoleh dari lebar kelas sebaran data uang saku siswa. Status gizi siswa dikelompokkan menjadi sangat kurus (z < -3 SD), kurus (-3 SD ≤ z < -2 SD), normal (-2 SD ≤ z ≤ +1 SD), gemuk (+1 SD < z ≤ +2 SD), dan Obese (z > +2 SD) (Riskesdas 2010).

Kebiasaan makan. Kebiasaan makan meliputi konsumsi pangan sumber karbohidrat, protein, dan lemak. Data ini diperoleh dengan menggunakan kuesioner Food Frequensi Semi Quantitatif (FFSQ). Sumber pangan yang dikonsumsi siswa selama sebulan terakhir diperoleh melalui pertanyaan terbuka, sehingga anak mudah untuk menjawab. Kebiasaan makan ini dikategorikan menjadi tidak pernah, jarang (1-2x/minggu), kadang-kadang (3-6x/minggu), dan selalu (1x/hari atau lebih) (Gibson 2005).

Kecukupan gizi. kecukupan gizi diperoleh dengan menggunakan metode

recall 1x24 jam dihitung tingkat kecukupan energi dan proteinnya. Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah: (1) defisit tingkat berat (<70% AKG), (2) defisit tingkat sedang (70-79% AKG), (3) defisit tingkat ringan (80-89% AKG), (4) normal (90-119% AKG), dan (5) kelebihan (≥ 120% AKG). Sebelum dilakukan perhitungan terhadap tingkat kecukupan zat gizi maka terlebih dahulu dilakukan perhitungan asupan zat gizi. Berikut adalah rumus yang digunakan dalam menghitung asupan zat gizi :

Kgij = {(Bj/100) x Gij x (BDDj/100)}

Keterangan:

Kgij = Kandungan zat-zat gizi-i dalam bahan makanan-j Bj = Berat makanan-j yang dikonsumsi (g)

Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 g BDD bahan makanan-j BDDj = Bagian bahan makanan-j yang dapat dimakan

Setelah diketahui asupan zat gizi, kemudian dihitung tingkat kecukupan gizi dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

(18)

Keterangan:

TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi i Ki = Asupan zat gizi i

AKGi = Angka Kecukupan zat gizi i yang dianjurkan (AKG 2013) BBa = Berat badan aktual

BBi = Berat badan ideal (AKG 2013)

Gaya hidup. Gaya hidup meliputi aktifitas fisik, konsumsi fast food,

jajanan, minuman, sayur, dan buah. Besarnya aktifitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24 jam dinyatakan dalam physical activity level (PAL) atau tingkat aktifitas fisik. PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (kkal) per kilogram berat badan dalam 24 jam. PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut FAO/WHO/UNU (2001):

Keterangan : PAL : Physical activity level (tingkat aktifitas fisik)

PAR: Physical activity ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap jenis kegiatan per satuan waktu tertentu)

Tingkat aktifitas fisik dikategorikan sebagai berikut: 1) Ringan dengan nilai PAL 1,40–1,69; 2) Sedang dengan nilai PAL 1,70-1,99; 3) Berat dengan nilai PAL 2,00-2,40 (FAO/WHO/UNU 2001). Selanjutnya untuk konsumsi fast food,

jajanan, minuman, sayur, dan buah diperoleh melalui pertanyaan terbuka melalui kuesioner FFSQ satu bulan terakhir. Kebiasaan makan dikategorikan menjadi tidak pernah, jarang 1-2x/minggu, kadang-kadang jika 3-6x/minggu, dan selalu jika 1x/hari atau lebih (Gibson 2005).

Komposisi tubuh. Komposisi tubuh yang diukur meliputi persen lemak tubuh dan luas massa otot siswa. Persen lemak tubuh diperoleh dengan cara pengukuran langsung dengan menggunakan Body Fat/ Hydration Monitor Scale. Alat ini sudah mendapatkan setifikat ISO 9001:2008 dari SGS (Societe Generale de Survellan). Persen lemak dikategorikan menjadi kurang (≤ 20.5%), normal (20.6 ─ 25%), lebih (≥ 25.1) (fat/hydration content fitness assessment chart

2008).

Selain cut off di atas, menurut Healthy Body Fat Ranges for Children

(2004) massa lemak juga dapat dikategorikan menjadi kurang (≤ 16%), normal (16.1 – 29%), dan lebih (≥ 29.1%) untuk perempuan, sedangkan untuk laki-laki kurang (≤ 13%), normal (13.1 – 23%), dan lebih (≥ 23.1%). Namun karena alat

Body Fat/ Hydration Monitor Scale telah dilengkapi dengan cut off sendiri maka peneliti menggunakan fat/hydration content fitness assessment chart sebagai cut off massa lemak siswa. Hasil pengkategorian massa lemak siswa dari kedua cut off

ini tidak jauh berbeda.

Penentuan luas massa otot menggunakan rumus berikut ini:

cAMA = (MUAC - (π x TSK))2 - 6.5 (perempuan) 4π

cAMA = (MUAC - (π x TSK))2 - 10.0 (laki-laki) 4π

PAL = (PAR x alokasi waktu tiap aktifitas)

(19)

Keterangan:

cAMA : Arm Muscle Area atau Luas massa otot (cm2) MUAC : Mid Upper Arm Circumference atau LILA (cm) TSK : Tricep Skinfold Thickness atau tebal trisep (cm)

Selanjutnya kategori massa otot menggunakan luas otot berdasarkan tinggi badan yaitu sangat kurang (percentile 0.0-5.0th), kurang (percentile 5.1-15.0th), normal (percentile 15.1-85.0th),lebih (percentile 85.1-95.0th), dan sangat berlebih (percentile 95.1-100.0th) (Frisancho dan Tracer 1987). Cara pengkategorian variabe penelitian secara lengkap dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2 Cara pengkategorian variabel penelitian

No Variabel Kategori Pengukuran

3 Pendidikan  Tidak tamat SD

 SD/sederajat

 Rendah (<Rp2 500 000 per kapita)  Tinggi (> Rp 2 400 000 per kapita)

2 Jenis kelamin  Laki-laki

 Perempuan 3 Uang saku

(sebaran data)

(20)

Tabel 2 Cara pengkategorian variabel penelitian (lanjutan)

No Variabel Kategori Pengukuran

III. Kebiasaan Makan Siswa

1  Selalu (1x/hari atau lebih)

IV. Kecukupan Gizi Siswa

 Defisit berat (<70% AKG)  Defisit sedang (70-79% AKG)

 Defisit ringan (80-89% AKG)  Normal (90-119% AKG)

 Kelebihan (≥ 120% AKG)

V. Gaya Hidup

1 Aktifitas fisik  Ringan (1.401.69)

 Sedang (1.70-1.99)  Selalu (1x/hari atau lebih)

VI. Komposisi Tubuh Contoh

1 Persen lemak tubuh

(fat/hydration content fitness assessment chart 2008)

 Kurang (≤ 20.5%)  Normal (20.6-25%)  Lebih (≥ 25.1%) 2 Luas massa otot (cAMA)

(Frisancho dan Tracer 1987) 

Kurang (≤15.0th)  Normal (15.1-85.0th)  Lebih (≥ 85.1th)

Analisis data dilakukan dengan menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16.0 for Windows. Sebelum analisis dilakukan, uji normalitas dilakukan menggunakan K-S test (Kolmogorov-Smirnov). Uji statistik yang dilakukan, antara lain:

1. Analisis Deskriptif

2. Uji beda Mann Whitney dan chi-square

(21)

Definisi Operasional

Karakteristik keluarga adalah data yang berisi usia, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan status gizi orang tua.

Pendapatan keluarga adalah besarnya pendapatan atau penghasilan keluarga yang diperoleh dalam sebulan yang terdiri dari penghasilan ayah maupun ibu (bila bekerja) yang digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan anggota keluarga.

Karakterisitik siswa adalah data yang berisi usia, jenis kelamin, uang saku, dan status gizi siswa.

Perkotaan adalah status suatu wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan yang memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan.

Perdesaan adalah status suatu wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan yang belum memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan

SD wilayah kota adalah sekolah yang terletak di wilayah yang jauh dari pengaruh globalisasi, terutama akses untuk memperoleh makanan cepat saji (junk food). Dengan kata lain belum sangat bergantung pada junk food.

SD wilayah desa adalah sekolah yang terletak di wilayah yang sangat dekat dengan pengaruh globalisasi, terutama akses untuk memperoleh makanan cepat saji (junk food). Dengan kata lain masyarakatnya sangat bergantung pada junk food.

Anak usia sekolah adalah anak yang menjalani pendidikan sekolah dasar yang terdaftar di Dinas Pendidikan Kota Bogor yang duduk di kelas IV dan V serta berusia 9 sampai 13 tahun.

Kebiasaan makan mencakup frekuensi dan jumlah konsumsi pangan siswa terutama konsumsi karbohidrat, protein, dan lemak yang diketahui melalui kuesioner Food Frequency Semi Quantitative (FFSQ).

Gaya hidup adalah kebiasaan siswa dalam melakukan aktifitas fisik dan kebiasaan mengkonsumsi fast food, jajanan, minuman, sayuran, dan buah-buahan yang diketahui melalui kuesioner Food Frequency Semi Qualitative (FFSQ).

Aktifitas fisik adalah jenis kegiatan fisik siswa mulai dari bangun tidur sampai dengan tidur kembali selama 2 x 24 jam (seperti tidur, waktu sekolah, olah raga, menonton televisi, dan bermain di luar rumah).

Komposisi tubuh adalah persen lemak dan luas massa otot tubuh siswa yang diketahui melalui pengukuran langsung menggunakan body fat/hydration monitor scale, LILA, dan tebal trisep.

Gizi lebih adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak di dalam tubuh, yang berdasarkan Riskesdas (2010) memiliki nilai z-score untuk IMT menurut umur z > +1 SD.

(22)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Keluarga

Usia Orang Tua

Sebagian besar siswa memiliki orang tua dengan rentang usia 26─45 tahun (dewasa), dimana usia rata-rata ayah adalah 43.1±8.7 tahun dan ibu 39.6±5.0 tahun. Berdasarkan masing-masing sekolah diketahui bahwa sebanyak 53.8% ayah dan 84.6% ibu siswa di pedesaan memiliki usia tergolong dewasa. Begitu pula dengan siswa di perkotaan, sebanyak 71% ayah dan 90.3% ibu memiliki usia dewasa. Hasil uji beda mann-whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara usia orang tua kedua kelompok siswa dimana nilai p>0.05.

Besar Keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa sebagian besar siswa merupakan keluarga kecil (≤ 4 orang) menurut BKKBN 1998. Siswa di pedesaan sebanyak 53.8% merupakan keluarga sedang dan siswa di perkotaan sebanyak 58.1% merupakan keluarga kecil. Hasil uji mann-whitney menunjukkan nilai p>0.05, artinya besar keluarga antara kedua kelompok siswa tidak berbeda signifikan.

Puspitasari et. al (2011) menyatakan jumlah anggota keluarga berperan dalam pertumbuhan yaitu pada keluarga kecil pertumbuhan anak lebih baik dibandingkan pada keluarga besar. Besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi. Semakin sedikit jumlah keluarga maka keluarga harus membagi makanan yang terbatas, sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan (Suhardjo 1989).

Pendidikan Orang Tua

Siswa di pedesaan sebanyak 61.5% ayah dan 53.8% ibu menempuh pendidikan hingga SMA. Sementara siswa di perkotaan sebanyak 67.7% ayah dan 51.6% ibu menempuh pendidikan hingga PT. Hasil uji mann-whitney

menunjukkan nilai p<0.05, artinya terdapat perbedaan signifikan antara pendidikan orang tua kedua kelompok siswa. Artinya orang tua siswa di perkotaan memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua siswa di pedesaan.

(23)

pertumbuhan anaknya. Setidaknya ada lima upaya yang merupakan imbas dari pendidikan ibu dan ayah yang dapat memhubungani pertumbuhan dan perkembangan anak, yaitu pendidikan akan meningkatkan sumberdaya keluarga, pendapatan keluarga, alokasi waktu untuk pemeliharaan kesehatan anak, produktivitas dan efektifitas pemeliharaan kesehatan, dan referensi kehidupan keluarga.

Tabel 3 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga

Karakteristik keluarga Pedesaan Perkotaan p value

n % n %

Rata-rata±SD 46±6.8 41.9±9.2

Ibu

Rata-rata±SD 37.5±6.3 40.5±4.2

Besar keluarga (orang)

Kecil

Rata–rata±SD 4.5±1.3 4.5±1.6

Pendidikan

(24)

Tabel 3 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga (lanjutan)

Karakteristik keluarga Pedesaan Perkotaan p value

n % n %

* Berbeda signifikan (p<0.05) ** Berdasarkan persepsi siswa

Pekerjaan Orang Tua

Sebagian besar pekerjaan orang tua kedua kelompok siswa adalah ayah sebagai wiraswasta/pedagang dan ibu sebagai ibu rumah tangga (IRT). Pekerjaan orang tua siswa di pedesaan adalah 69.2% ayah bekerja sebagai wiraswata dan 61.5% ibu sebagai IRT. Sedangkan siswa di perkotaan adalah 54.8% ayah bekerja sebagai pegawai swasta dan 48.4% ibu sebagai IRT. Hasil uji mann-whitney

menunjukkan nilai p<0.05 untuk pekerjaan ayah, namun untuk pekerjaan ibu tidak terdapat perbedaan signifikan antara kedua kelompok siswa. Octari et al (2014) menyebutkan jenis pekerjaan ayah memiliki hubungan pada tingkat ekonomi keluarga yang dapat mempengaruhi kemampuan orang tua untuk memenuhi kebutuhan pangan, gaya hidup anak, dan lainnya.

Pendapatan Orang Tua

Besar pendapatan dikelompokkan menjadi 2 yaitu rendah dan tinggi berdasarkan Upah Minimum Kota (UMK) Bogor tahun 2014. Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa sebagian besar pendapatan orang tua kedua kelompok siswa tergolong dalam kategori tinggi. Namun untuk masing-masing kelompok adalah sebanyak 76.9% pendapatan orang tua siswa di pedesaan tergolong rendah dan pendapatan orang tua siswa di perkotaan 74.2% tergolong tinggi. Hasil uji mann

-whitney menunjukkan nilai p<0.05, artinya terdapat perbedaan signifikan pendapatan orang tua dari kedua kelompok siswa.

(25)

bermutunya bahan pangan yang dikonsumsi tetapi dapat juga mengarah pada pemilihan bahan makanan yang lebih enak, siap santap, cepat, dan lebih banyak mengandung lemak, minyak, dan bahan lainnya yang dapat menyebabkan obesitas.

Hasil penelitian Hidayati (2010) menunjukkan tidak ada hubungan antara status ekonomi keluarga dengan status gizi anak usia sekolah. Terkadang faktor pendidikan dan pengetahuan gizi menjadi lebih penting daripada masalah pendapatan. Meskipun pendapatan relatif rendah, tetapi bila didasari oleh pengetahuan gizi yang memadai maka bahan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi masih mungkin didapatkan atau dibeli.

Status Gizi Orang Tua

Status gizi orang tua diketahui dari hasil wawancara kepada siswa atau tidak dilakukan pengukuran langsung. Tabel 4 menunjukkan bahwa siswa di pedesaan memiliki 30.8% ayah dan 38.5% ibu dengan status gizi gemuk, sedangkan siswa di perkotaan memiliki 67.7% ayah dan 35.5% ibu yang gemuk. Jika dilihat dari status gizi pasangan orang tua siswa diketahui bahwa sebagian besar siswa memiliki salah satu orangtua yang gemuk, yaitu 69.2% siswa pedesaan dan 80.6% siswa perkotaan. Hasil uji mann-whitney menunjukkan nilai p<0.05, artinya terdapat perbedaan signifikan antara status gizi ayah antar kedua kelompok siswa. Namun untuk status gizi ibu tidak terdapat perbedaan signifikan.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Sartika (2011) yaitu riwayat obese ayah memberikan hubungan terhadap peluang obese pada anak. Haines et al. (2007) juga menyatakan bahwa kelebihan berat badan pada orangtua memiliki hubungan positif dengan kelebihan berat badan anak. Salah satu faktor predisposisi terjadinya obesitas pada anak-anak adalah adanya faktor herediter dari keluarganya. Apabila ayah atau ibu gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk 41-50%. Apabila kedua orang tua gemuk maka kemungkinan anak menjadi gemuk adalah 66-80% (Yueniwati dan Rahmawati 2002).

Karakteristik Siswa

Usia dan Jenis Kelamin Siswa

(26)

Persentase terbanyak siswa yang obese dikedua kelompok tersebut adalah 61.5% siswa perempuan di pedesaan dan 61.3% siswa perempuan di perkotaan. Artinya tingkat obesitas lebih tinggi terjadi pada anak perempuan. Hasil ini sejalan dengan pernyataan Humayrah (2009) yaitu perempuan berisiko gemuk lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini berkaitan dengan fungsi hormonal dalam tubuh. Perempuan memiliki hormon estrogen yang secara tidak langsung berhubungan dengan peningkatan berat badan seseorang yang bermanifestasi pada kejadian kegemukan.

Tabel 4 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik siswa

Karakteristik siswa Pedesaan Perkotaan p value

N % n %

Rata-rata±SD 11.6±1.3 10±0.5

Jenis kelamin

Rata-rata±SD 5 923±2 060 11 613±4 039

Status gizi (z-score)

Rata-rata±SD 2.5±1.9 2.8±1.3

* Berbeda signifikan (p<0.05)

Uang Saku

Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu seperti keperluan harian, mingguan, atau bulanan. Uang saku siswa di pedesaan ada pada rentang Rp 4 000 – 10 000 per hari dan siswa di perkotaan adalah Rp 5 000 – 20 000 per hari. Sebagian besar siswa dari kedua kelompok memiliki uang saku yang rendah dengan rata-rata Rp 9 932±4 411 per hari. Sebagian besar uang saku yang dimiliki oleh siswa di pedesaan tergolong rendah (84.6%) dengan rata-rata Rp 5 923±2 060 per hari dan siswa di perkotaan tergolong sedang dan tinggi (38.7%) dengan rata-rata Rp 11 613±4 039 per hari.

(27)

semakin besar uang saku yang diterima oleh anak. Syafitri (2010) juga menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara alokasi uang saku untuk membeli jajanan dengan jumlah jenis makanan jajanan yang dibeli siswa. Artinya semakin besar alokasi uang saku untuk membeli jajanan maka jumlah jenis jajanan yang dibeli akan semakin banyak pula.

Status Gizi

Penilaian status gizi berfungsi untuk mengetahui apakah seseorang atau sekelompok orang mempunyai gizi baik atau tidak. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menilai status gizi antara lain adalah konsumsi makanan, antropometri, biokimia, dan klinis (Riyadi 2003). Penilaian status gizi pada pada penelitian ini menggunakan indikator IMT/U. Siswa di pedesaan sebanyak 12.7% memiliki status gizi lebih dari 118 siswa dan dari 184 siswa di perkotaan sebanyak 25% masuk dalam kategori gizi lebih dengan rata-rata nilai z-score

2.7±1.5 SD. Nilai z-score siswa di pedesaan rata-rata 2.5±1.9 SD, sedangkan contoh di perkotaan adalah 2.8±1.3 SD. Hasil ini menunjukkan prevalensi anak gizi lebih lebih banyak ditemukan di daerah perkotaan. Hasil ini sejalan dengan hasil Riskesdas tahun (2010) yang menunjukkan bahwa prevalensi anak gizi lebih di perkotaan (10.4%) lebih tinggi dibanding di pedesaan (8.1%).

Jika dilihat berdasarkan status gizi overweight dan obese diketahui bahwa 46.2% siswa di pedesaan dan 64.5% siswa di perkotaan mengalami obese. Hasil ini bertentangan dengan penelitian Dwifitri (2014), yaitu jumlah anak overweight

di sekolah dasar negeri di kota Bogor lebih banyak di bandingkan yang obese. Hal ini diduga terjadi akibat adanya perubahan pola perilaku anak yaitu perilaku

sedentary dan gaya konsumsi pangan bergengsi tinggi, sehingga prevalensi siswa

obese di perkotaan semakin meningkat. Hasil uji mann-whitney antara menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) nilai z-score antara kedua kelompok siswa.

Kebiasaan Makan Siswa

(28)

Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat

Karbohidrat merupakan pangan pokok Indonesia yang merupakan pangan sumber energi utama bagi manusia, yaitu menyediakan 50 – 65 persen dari total energi yang dibutuhkan (Devi 2010). Jenis karbohidrat yang paling sering dikonsumsi adalah serealia (beras), jagung, dan umbi-umbian. Data pangan sumber karbohidrat yang dikonsumsi siswa diperoleh melalui kuesioner FFSQ yaitu konsumsi selama sebulan terakhir. Berikut ini adalah tabel frekuensi konsumsi pangan sumber karbohidrat siswa.

Tabel 5 Frekuensi konsumsi pangan sumber karbohidrat siswa

Kebiasaan

Total 22 387.2 25 288.3

Rata-rata±SD 7±3 126.1±61.4 8±3 96.1±45.3

* Berbeda signifikan (p<0.05)

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa kedua kelompok siswa lebih sering mengonsumsi nasi sebagai pangan sumber karbohidrat baik dari segi jumlah maupun frekuensinya dibandingkan jagung dan umbi-umbian. Hal ini sejalan dengan Deni (2009) yaitu sebagian besar siswa sekolah dasar di Bogor memenuhi kebutuhan makanan pokoknya dari nasi. Selain itu diperoleh informasi bahwa siswa di pedesaan memiliki frekuensi konsumsi umbi-umbian lebih tinggi dibandingkan di perkotaan dan total jumlah karbohidrat (nasi, jagung, dan umbi-umbian) yang dikonsumsi siswa di pedesaan lebih banyak. Hasil uji mann-whitney

diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara frekuensi konsumsi karbohidrat dari kedua kelompok siswa (p>0.05).

Berdasarkan frekuensi konsumsi nasi, diketahui bahwa sebanyak 61.5% siswa di pedesaan dan 80.6% siswa di perkotaan mengonsumsi nasi 3 kali per hari dan sering menambah porsi nasi. Hasil ini sejalan dengan Merawati dan Kinanti (2005) yang menyatakan bahwa siswa obese memiliki perilaku makan pokok berkisar antara 3-4 kali dalam sehari dengan memiliki kebiasaan menambah porsi makan pada saat makan. Penelitian Hidayati (2010) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara asupan makanan anak dengan status gizi anak usia sekolah.

Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Protein

(29)

konsumsi selama sebulan terakhir. Berikut ini adalah tabel frekuensi konsumsi pangan sumber protein siswa.

Tabel 6 Frekuensi konsumsi protein hewani siswa

Kebiasaan

Rata-rata±SD 4±5 39.6±13.5 3±4 48.7±26.2

* Berbeda signifikan (p<0.05)

Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa kedua kelompok siswa lebih sering mengonsumsi ikan sebagai pangan sumber protein hewani dibandingkan ayam, daging sapi, dan telur. Hasil uji mann-whitney diperoleh nilai p>0.05 artinya tidak terdapat perbedaan signifikan antara frekuensi konsumsi protein hewani antara kedua kelompok siswa. Jika dilihat dari total jumlah protein hewani yang dikonsumsi terlihat bahwa siswa di perkotaan mengonsumsi protein hewani lebih banyak dibandingkan siswa di pedesaan. Hal ini terjadi akibat pendapatan orang tua siswa di pedesaan relatif lebih rendah dibandingkan siswa di perkotaan sehingga daya beli terhadap pangan hewani lebih rendah. Hal ini sejalan dengan Sukandar (2009) yang menyatakan semakin tinggi tingkat pendapatan akan semakin tinggi daya beli keluarga terhadap pangan.

Tabel 6 juga menunjukkan bahwa siswa di perkotaan mengonsumsi daging sapi seminggu sekali, sedangkan siswa di pedesaan tidak mengonsumsi daging sapi dalam seminggu. Beberapa siswa di pedesaan menuturkan bahwa mengonsumsi daging sapi hanya pada kondisi tertentu seperti saat hari raya. Hal ini berkaitan dengan pendapatan orangtua siswa di pedesaan yang relatif rendah sehingga daya beli terhadap daging sapi juga rendah. Hasil ini sejalan dengan Weol et al. (2014) yang menyatakan konsumsi daging sapi yang rendah dipengaruhi oleh faktor harga yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan harga ayam yang lebih murah. Selain itu juga adanya faktor lain seperti adanya pengaruh budaya dan pola konsumsi masyarakat setempat. Selanjutnya berikut ini adalah tabel frekuensi konsumsi pangan sumber protein nabati.

Tabel 7 Frekuensi konsumsi protein nabati contoh

Kebiasaan makan Pedesaan Perkotaan p value

Frekuensi Jumlah Frekuensi Jumlah

Rata-rata±SD 5±5 29.1±20.1 3±3 30.9±21.8

* Berbeda signifikan (p<0.05)

(30)

nilai p>0.05 artinya tidak terdapat perbedaan signifikan antara frekuensi konsumsi protein nabati kedua kelompok siswa. Jika dilihat dari jumlah protein nabati yang dikonsumsi diketahui bahwa siswa di perkotaan mengonsumsi protein nabati lebih banyak dibandingkan siswa di perkotaan. Hal ini berkaitan dengan pendapatan orang tua siswa di perkotaan relatif lebih tinggi dibandingkan siswa di pedesaan sehingga daya beli terhadap pangan nabati lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan Sukandar (2009) yang juga menyatakan semakin tinggi tingkat pendapatan akan semakin tinggi daya beli keluarga terhadap pangan.

Harga pangan protein nabati yang lebih murah dibandingkan protein hewani membuat siswa di pedesaan memiliki frekuensi konsumsi yang lebih banyak dibandingkan siswa di perkotaan. Sebab pendapatan orangtua siswa di pedesaan yang relatif rendah membuat pemilihan bahan pangan yang lebih murah. siswa dikedua kelompok menuturkan bahwa hampir setiap hari ibu selalu menyediakan tahu dan tempe di atas meja makan. Sehingga siswa mengonsumsi apa yang disediakan oleh ibu di rumah. Sesuai dengan pernyataan Lazzeri et al.

(2006) bahwa ibu memegang peranan penting dalam menyediakan dan menyajikan makanan yang bergizi dalam keluarga, sehingga berhubungan terhadap pola makan dan status gizi anak.

Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Lemak

Lemak termasuk dalam kelompok lipid. Lipid adalah komponen yang terdiri dari lemak dan minyak (trigliserida), fosfolipid, dan sterol. Lemak merupakan penghasil energi yang besar karena satu gram lemak dapat menghasilkan sembilan kalori. Konsumsi lemak dianjurkan sebanyak 25 – 35 persen energi total (Devi 2010). Data pangan sumber lemak yang dikonsumsi siswa diperoleh melalui kuesioner FFSQ yaitu konsumsi selama sebulan terakhir. Berikut ini adalah tabel frekuensi konsumsi pangan sumber lemak siswa.

Tabel 8 Frekuensi konsumsi lemak siswa

Kebiasaan makan Pedesaan Perkotaan p value

Frekuensi Jumlah Frekuensi Jumlah

Margarin Minyak goreng Santan

0±0 7±0 1±2

0±0 50±0 120±0

2±3 7±0 1±1

7.1±8.2 50.0±0.0

81.2±63 0.760

Total 8 170 10 138.3

Rata-rata±SD 3±1 58.7±3.2 3±1 46.1±23.8

* Berbeda signifikan (p<0.05)

(31)

sayur yang dimasak tumis. Sementara untuk siswa di perkotaan adalah 100% mengonsumsi lauk yang dimasak goreng dan 58.1% sayur yang dimasak bening.

Hasil ini sejalan dengan penelitian Castillon et al. (2007) yaitu konsumsi makanan yang digoreng berhubungan positif dengan kejadian kegemukan. Hidayati et al. (2006) juga menyatakan makanan berlemak memiliki rasa gurih sehingga dapat meningkatkan selera makan yang meningkat dan akan terjadi konsumsi yang berlebihan. Jika hal ini terjadi terus menerus maka lemak dalam tubuh akan meningkat dan dapat memicu terjadinya kegemukan.

Kecukupan Gizi Siswa

Angka kecukupan adalah jumlah zat gizi minimal yang dibutuhkan oleh sekelompok populasi untuk hidup sehat. Tingkat kecukupan diperoleh dari perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein dikelompokkan menjadi defisit berat, defisit sedang, defisit ringan, normal, dan lebih berdasarkan Depkes (1996). Berikut ini adalah tabel sebaran siswa berdasarkan kategori tingkat kecukupan gizi.

Tabel 9 Sebaran siswa berdasarkan kategori tingkat kecukupan gizi siswa

Tingkat Kecukupan Pedesaan Perkotaan p value

n % n %

* Berbeda signifikan (p<0.05)

Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar siswa dikedua kelompok memiliki tingkat kecukupan energi dalam kategori lebih. Rata-rata tingkat kecukupan energi masing-masing kelompok diketahui bahwa siswa di perkotaan memiliki asupan energi (139±123.8 persen) lebih tinggi dibandingkan siswa di pedesaan (118±93.3 persen). Hal ini berarti kedua kelompok siswa baik di pedesaan dan perkotaan mengalami gizi lebih akibat kelebihan asupan energi, dimana kelebihan energi yang dikonsumsi disimpan ke dalam jaringan adiposa sehingga dapat menimbulkan kegemukan.

(32)

mengakibatkan penimbunan lemak didalam tubuh sehingga berisiko mengalami kegemukan. Hasil uji mann-whitney menunjukan diperoleh nilai p>0.05 artinya tidak terdapat perbedaan signifikan antara TKE kedua kelompok siswa.

Selanjutnya untuk tingkat kecukupan protein siswa di pedesaan sebagian besar tergolong defisit berat. Hal ini terjadi akibat konsumsi protein yang rendah, terutama konsumsi protein hewani pada siswa di pedesaan. Pemenuhan kebutuhan pangan protein yang rendah ini diduga akibat pendapatan keluarga yang rendah, sehingga konsumsi protein dibawah angka kebutuhan keluarga (defisit). Sementara siswa di perkotaan sebagian besar memiliki asupan protein yang tergolong lebih. Hal ini terjadi karena pendapatan orang tua yang lebih tinggi sehingga pemenuhan pangan sumber protein dapat terwujud dengan baik. Menurut Octaria et al. (2014), tingkat ekonomi dapat mempengaruhi kemampuan orang tua untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga termasuk anak. Hasil uji

mann-whitney menunjukan diperoleh nilai p>0.05 artinya tidak terdapat perbedaan signifikan antara TKP kedua kelompok siswa.

Gaya Hidup Siswa

Aktifitas Fisik

Besarnya aktifitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24 jam dinyatakan dalam physical activity level (PAL) atau tingkat aktifitas fisik. PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (kkal) per kilogram berat badan dalam 24 jam. Berikut ini adalah tabel tingkat aktifitas fisik siswa.

Tabel 10 Tingkat aktifitas fisik siswa

Aktivitas Fisik Pedesaan Perkotaan p-value

n % n %

Ringan Sedang Berat

3 6 4

23.1 46.1 30.8

24 5 2

77.4 16.1

6.5 0.01*

Rata-rata±SD 1.8±0.3 1.5±0.2

* Berbeda signifikan (p<0.05)

Berdasarkan tabel 10 diketahui bahwa sebagian besar siswa di pedesaan memiliki tingkat aktifitas fisik yang tergolong sedang sedangkan siswa di perkotaan memiliki tingkat aktifitas fisik yang tergolong ringan. Hasil rata-rata tingkat aktifitas fisik kedua kelompok adalah siswa di pedesaan memiliki nilai PAL 1.8±0.3 dan siswa di perkotaan memiliki nilai PAL 1.5±0.2. Berdasarkan uji

mann-whitney diperoleh bahwa terdapat perbedaan signifikan antara tingkat aktifitas fisik kedua kelompok siswa (p<0.05). Hal ini membuat siswa di perkotaan lebih banyak yang mengalami obesitas. Sartika (2011) juga menyatakan terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan obeseitas pada anak. Anak yang memiliki aktifitas fisik lebih rendah cenderung beresiko lebih tinggi mengalami

(33)

Siswa di pedesaan sebagian besar terbiasa berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Mayoritas siswa lebih senang bermain didalam rumah dan sering tidur siang dengan rata-rata lama waktu tidur siang adalah 1.6±1.1 jam per hari. Sedangkan untuk siswa di perkotaan sebagian besar terbiasa berangkat ke sekolah diantar menggunakan motor atau transportasi umum. Mayoritas siswa lebih senang bermain didalam rumah dan sering tidur siang dengan rata-rata lama waktu tidur siang adalah 2.0±0.8 jam per hari.

Jenis olah raga yang paling sering dilakukan oleh kedua kelompok siswa adalah senam dan permainan (sepak bola, basket, dll). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Aktaria (2004) yang menunjukkan bahwa jenis olahraga yang paling digemari anak-anak adalah olahraga yang bersifat kolektif. Sebab salah satu faktor yang menyebabkan anak malas berolahraga adalah karena tidak ada teman.

Frekuensi Konsumsi Fast Food dan Jajanan

Makanan tinggi lemak atau fast food memiliki energy density yang tinggi, namun tidak mengenyangkan. Selain itu makanan berlemak memiliki rasa gurih (umami flavor) sehingga dapat meningkatkan selera makan dan akan terjadi konsumsi berlebihan. Jenis fast food yang biasa dikonsumsi anak-anak adalah

fried chicken, burger, pizza, spaghetti, kentang goreng, nugget, dan donut. Makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan atau restoran, dan hotel (Kemenkes 2003). Jenis jajanan yang biasa dikonsumsi anak-anak adalah bakso, mie ayam, siomay, cakwe, cireng, cimol, dan batagor. Data

fast food dan jajanan yang dikonsumsi siswa diperoleh melalui kuesioner FFSQ yaitu konsumsi selama sebulan terakhir. Berikut ini adalah tabel frekuensi konsumsi fast food dan jajanan siswa.

Tabel 11 Frekuensi konsumsi fast food dan jajanan siswa

Kebiasan konsumsi Pedesaan Perkotaan

Jumlah (%) frekuensi Jumlah (%) Frekuensi

Fast food Fried chicken

Burger

Rata-rata±SD 1.5±2.1 1.3±1.2

Jajanan Bakso

Rata-rata±SD 2.8±2.8 1.8±2.0

(34)

lebih banyak yang mengonsumsi burger, pizza, spaghetti, kentang goreng, nugget,

dan donut. Jika dilihat dari frekuensi konsumsi rata-rata selurih siswa diketahui bahwa siswa di pedesaan dan di perkotaan termasuk jarang (1x/minggu) mengonsumsi fast food. Sehingga uji mann-whitney untuk frekuensi konsumsi fast food diperoleh nilai p=0.560 artinya tidak terdapat perbedaan signifikan antara kedua kelompok siswa. Berdasarkan hasil uji proporsi (chi-square) juga diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) antara jumlah siswa yang mengonsumsi fast food baik di pedesaan maupun di perkotaan.

Jika dilihat dari rata-rata jumlah fast food yang dikonsumsi oleh kedua kelompok siswa diketahui bahwa siswa di perkotaan mengonsumsi fast food

dalam jumlah yang lebih banyak (88.1±40.8 gram) dibandingkan siswa di pedesaan (50.1±48.0 gram). Hal ini sejalan dengan pernyataan Muchtadi (2005), kelompok penduduk yang tinggal di perkotaan yang berpenghasilan mapan, dalam konsumsi pangan sehari-hari memiliki pandangan gengsi sentries, yakni gaya konsumsi pangan yang berorientasi pada pangan yang bergengsi tinggi seperti pangan impor, khususnya fast food.

Siswa di pedesaan lebih banyak yang mengonsumsi jenis jajanan seperti bakso, mie ayam, cakwe, dan cimol, sedangkan siswa di perkotaan adalah siomay, cireng, dan batagor. Hasil uji proporsi (chi-square) diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) antara jumlah siswa yang mengonsumsi jajanan baik di pedesaan maupun di perkotaan. Berdasarkan frekuensi konsumsi rata-rata keseluruhan siswa diketahui bahwa siswa di pedesaan termasuk kadang-kadang (3x/minggu) dan siswa di perkotaan termasuk jarang (2x/minggu) mengonsumsi jajanan. Sedangkan untuk jumlah yang dikonsumsi sendiri tidak terlalu berbeda antara jumlah jajanan yang dikonsumsi siswa di pedesaan (36.1±16.5 gram) dan siswa di perkotaan (37.5±20.1 gram). Sehingga hasil uji mann-whitney diperoleh nilai p>0.05 artinya tidak terdapat perbedaan signifikan antara kedua kelompok siswa.

Hal ini terjadi diduga karena ketersediaan jenis jajanan yang ada di lokasi sekolah kedua kelompok siswa sama, Sehingga mengakibatkan jenis jajanan yang biasa dikonsumsi adalah sama. Selain itu harga jajanan yang tersedia relatif murah sehingga kedua kelompok siswa dapat mengakses jenis makanan tersebut dengan uang saku yang dimiliki. Pernyataan yang sama juga di ungkapkan oleh Syafitri (2010) bahwa alokasi uang saku untuk membeli jajanan berhubungan dengan jumlah jenis makanan jajanan yang dibeli siswa. Artinya semakin besar uang saku untuk membeli jajanan maka jumlah jenis jajanan yang dibeli akan semakin banyak pula.

Frekuensi Kebiasaan Konsumsi Minuman Manis

(35)

Tabel 12 Frekuensi konsumsi minuman manis siswa

Jenis minuman Pedesaan Perkotaan

Jumlah (%) Frekuensi Jumlah (%) Frekuensi Es sirup

Sebagian besar siswa di perkotaan lebih banyak yang mengonsumsi jenis minuman manis seperti es sirup, teh manis, susu, dan ice cream. Sedangkan siswa di pedesaan lebih banyak yang mengonsumsi minuman bersoda. Hasil uji proporsi (chi-square) diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) antara jumlah siswa yang mengonsumsi minuman baik di pedesaan maupun di perkotaan. Berdasarkan rata-rata frekuensi konsumsi siswa diketahui bahwa kedua kelompok siswa memiliki frekuensi yang sama yaitu 3x/minggu. Jika dilihat dari jumlah minuman manis yang dikonsumsi juga tidak berbeda signifikan yaitu siswa di pedesaan 136.9±51.4 gram dan siswa di perkotaan sebanyak 138.0±27.3 gram. Sehingga hasil uji mann-whitney diperoleh nilai p>0.05 artinya tidak terdapat perbedaan signifikan antara kedua kelompok siswa.

Kesamaan jumlah konsumsi minuman yang terjadi diduga karena ketersediaan jenis minuman yang ada dikedua sekolah sama, sehingga keduanya dapat mengakses jenis minuman yang sama dengan uang saku yang dimiliki. Minuman manis mampu meningkatkan asupan energi yang berlebihan. Peningkatan konsumsi HFCS (high fructosa corn syrup) berhubungan dengan epidemi obesitas. HFCS biasa digunakan pada makanan produk bakeri, minuman kaleng, jam dan jelly. HFCS dan peningkatan asupan soft drink dan minuman manis lain berperan pada peningkatan total energi dan konsumsi fruktosa yang berkontribusi pada epidemi obesitas (Bray et al. 2004).

Frekuensi Kebiasaan Konsumsi Sayur dan Buah

Sayur dan buah merupakan sumber serat yang penting bagi anak dalam masa pertumbuhan, khususnya berhubungan dengan obesitas. Anak overweight

(36)

Tabel 13 Frekuensi konsumsi sayur dan buah siswa

Kebiasan konsumsi Pedesaan Perkotaan

Jumlah (%) Frekuensi Jumlah (%) Frekuensi Sayur Kangkung

Rata-rata±SD 1.3±1.6 1.3±1.3

Buah Pisang

Rata-rata±SD 1.8±2.4 2.2±1.6

Berdasarkan tabel 13 diketahui bahwa siswa di pedesaan paling banyak yang mengonsumsi sayuran seperti kangkung, daun singkong, dan tauge. Sedangkan siswa di perkotaan paling banyak mengonsumsi sayuran seperti bayam, kacang panjang, wortel, buncis, sawi, dan brokoli. Hasil uji proporsi ( chi-square) diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) antara jumlah siswa yang mengonsumsi sayuranbaik di pedesaan maupun di perkotaan. Sementara untuk konsumsi buah diketahu bahwa siswa di perkotaan paling banyak yang mengonsumsi buah-buahan. Hasil uji proporsi (chi-square) diperoleh bahwa terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) antara jumlah siswa yang mengonsumsi buah-buahandi desa dan di kota.

Rata-rata frekuensi konsumsi sayur dan buah siswa di pedesaan adalah 1-2x/minggu sebanyak 9.1±8.5 gram sayur serta 57.5±54.0 gram buah dan siswa di perkotaan juga 1-2x/minggu sebanyak 14.7±9.5 gram sayur serta 80.2±33.5 gram buah. Sehingga kedua kelompok siswa termasuk jarang mengonsumsi sayur dan buah. Hasil ini sejalan dengan penelitian Sartika (2011) konsumsi sayur dan buah anak usia 5-15 tahun di Indonesia masih tergolong rendah. Hasil uji mann-whitney

untuk konsumsi sayur diperoleh nilai p>0.05 artinya tidak terdapat perbedaan nyata antara kedua kelompok contoh.

Pernyataan Dewi (2013) juga menegaskan bahwa perilaku makan anak

(37)

Komposisi Tubuh Siswa

Pengukuran komposisi tubuh yang dilakukan adalah pengukuran lemak tubuh dan massa otot. Persen lemak tubuh dikperoleh dengan melakukan pengukuran secara langsung menggunakan alat pengukur body fat/hydration monitor scale, selanjutnya dikategorikan berdasarkan fat/hydration content fitness assessment chart menjadi lima kategori. Massa otot diukur dengan pendekatan ukuran LILA dan tebal trisep siswa yang selanjutnya dihitung ke dalam rumus luas massa otot Frisancho dan Tracer (1987) dan dikategorikan menjadi lima kategori. Berikut ini adalah tabel sebaran siswa berdasarkan komposisi tubuh siswa.

Tabel 14 Sebaran siswa berdasarkan komposisi tubuh siswa

Komposisi Tubuh Pedesaan Perkotaan p value

n % n %

* Berbeda signifikan (p<0.05)

Berdasarkan tabel 14 diketahui bahwa sebagian besar siswa di pedesaan memiliki persen lemak yang tergolong normal (46.2%) sedangkan siswa di perkotaan memiliki persen lemak tubuh yang tergolong lebih (61.3%). Hasil uji

mann-whitney diperoleh nilai p>0.05 artinya tidak terdapat perbedaan signifikan antara persen lemak tubuh kedua kelompok siswa. Kelebihan lemak tubuh diakibatkan oleh asupan energi dan protein siswa yang sebagian besar berlebih dan tidak diimbangi dengan aktifitas fisik yang cukup. Sehingga terjadi penimbunan lemak dalam jaringan adiposa (syaifuddin 2009 dan Asdie 2000). Sartika (2011) menyatakan anak yang tidak rutin berolah raga justru cenderung memiliki asupan energi yang lebih tinggi dibanding anak yang rutin berolah raga.

Selanjutnya untuk massa otot diketahui bahwa siswa di pedesaan memiliki massa otot yang lebih (23.1%) lebih banyak dibandingkan siswa di perkotaan (9.7%). Sebagian besar siswa di perkotaan memiliki massa otot yang kurang (74.7%) lebih banyak dibandingkan siswa di pedesaan (53.8%). Hasil uji mann-whitney diperoleh nilai p>0.05 artinya tidak terdapat perbedaan signifikan massa otot tubuh kedua kelompok siswa. Pembentukan massa otot ini dipengaruhi oleh asupan karbohidrat, protein, dan tingkat aktifitas fisik siswa (Hutagalung 2004 dan Muchtadi 2010).

(38)

mengemukakan bahwa pertumbuhan dan penambahan otot hanya mungkin jika tersedia cukup campuran asam amino dari makanan sumber protein tertentu dalam jumlah besar.

Menurut Healthy Body Fat Ranges for Children (2004) massa lemak anak usia 9-13 tahun adalah normal jika 16.1–29% untuk anak perempuan dan 13.1– 23% untuk anak laki-laki. Massa lemak pada perempuan meningkat pada tahap akhir pubertas, mencapai hampir dua kali lipat massa lemak sebelum pubertas (ducharne & Forerst 1993). Usia awitan pubertas terjadi lebih dini pada anak laki-laki dan perempuan terutama ras kulit hitam di Amerika serikat. Perubahan tersebut diperkirakan karena meningkatnya indeks massa tubuh, seperti pada anak

Overweight yang mengalami menarke lebih cepat karena estrogen yang disimpan pada jaringan lemak menyebabkan peningkatan bioaktifitasnya (Kaplowitz et al.

2001).

Lemak tubuh merupakan cerminan terjadinya kelebihan berat badan/overweight atau kegemukan/obesitas. Hasil penelitian pada anak-anak sekolah dasar diperoleh bahwa makin tinggi persen lemak tubuh makin rendah tingkat kesegaran jasmaninya (Utari 2007). Persentase lemak tubuh pada laki-laki awalnya meningkat pada usia 20 tahun hingga usia berkisar 50-60 tahun dan kemudian menurun setelah usia 80 tahun (Salem 2007). Remaja putri mengalami perubahan drastis pada komposisi tubuh sepanjang masa pubertas. Massa otot mengalami penurunan sebesar 14% sedangkan komposisi lemak meningkat sebesar 11%. Meningkatnya komposisi tubuh ini wajar terjadi karen berfungsi untuk pertumbuhan dan perkembangan seksualnya (Brown 2005).

Massa otot mengambarkan kekuatan otot seseorang dalam melakukan suatu kegiatan. Massa otot akan bertambah apabila latihan beban yang dilakukan benar-benar dilakukan dengan sungguh-sungguh, terukur, teratur dan komtinue (Nasrulloh 2012). Aktivitas yang berfungsi menguatkan tulang dan otot paling sedikit 3 kali dalam seminggu (WHO 2010). Pada usia lanjut massa otot menurun hingga 15% pada 50 tahun. Perubahan komposisi ini berhubungan dengan rendahnya tingkat aktivitas fisik, asupan makanan dan perubahan hormonal khususnya pada wanita. Kehilangan massa otot dan mineral juga diikuti dengan kehilangan cairan tubuh (Brown et al. 2005).

Kekuatan otot setelah pubertas pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Perbedaan ini disebabkan karena pada laki-laki ada pertambahan sekresi hormon testosteron, yang berhubungan dengan bertambahnya massa otot (permaesih 2000). Kekuatan otot pria muda hampir sama dengan wanita muda sampai menjelang usia puber, setelah itu pria akan mengalami peningkatan kekuatan otot yang signifikan dibanding wanita, dan perbedaan terbesar timbul selama usia pertengahan (antara usia 30 sampai 50). Peningkatan kekuatan ini berkaitan dengan peningkatan massa otot setelah puber, karena setelah masa puber massa otot pria 50% lebih besar dibandingkan dengan massa otot wanita.

(39)

Hypothesis). Hubungan faktor genetik terhadap massa lemak siswa dapat dilihat pada tabel 15 berikut ini.

Tabel 15 Faktor genetik terhadap massa lemak siswa

Komposisi Tubuh Pedesaan Perkotaan

n % n %

Lemak

Kurang Normal Lebih

0 4 5

0.0 30.8 38.5

11 4 10

44.0 16.0 40.0

Hubungan antara Variabel

Hubungan Antara Status Gizi Orang Tua dengan Status Gizi Siswa

Hasil uji hubungan rank spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi orang tua (ayah p=0.130, ibu p=0.801) dengan status gizi anak. Hasil ini sejalan dengan pernyataan Witjaksono (2009) yaitu faktor genetik dapat dikalahkan dengan faktor lingkungan, sehingga anak yang memiliki orang tua dengan kelebihan berat badan belum tentu menurun kepada anaknya. Selain itu juga pada penelitian ini tidak diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi orang tua sehingga tidak dapat dibedakan apakah status gizi orang tua saat ini merupakan hubungan genetik atau patologis.

Hal ini terjadi diduga karena status gizi anak tidak hanya dipengaruhi oleh faktor genetik saja, namun juga dipengaruhi oleh multifaktor lainnya. Menurut Riyadi (2006), status gizi dapat disebabkan oleh banyak faktor yaitu faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung meliputi konsumsi makanan dan keadaan kesehatan, sedangkan faktor tidak langsung meliputi faktor pertanian, ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Almatsier (2011) juga menyatakan anak yang telah masuk dalam usia remaja memiliki kebiasaan makan yang dipengaruhi oleh lingkungan, teman sebaya, kehidupan sosial, dan kegiatan yang dilakukan diluar rumah.

Hubungan Uang Saku dengan Status Gizi Siswa

Gambar

Gambar 1  Skema kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2  Skema penentuan jumlah sampel penelitian
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 2 Cara pengkategorian variabel penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

perusahaa ahaan n biasa biasanya nya disah disahkan kan melal melalui ui peng pengakua akuan n utang usaha. Oleh Oleh karena itu, peranan fungsi pembelian dan

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik. Pada Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas

[r]

Sedang untuk siswa yang tidak aktif akan mendapatkan teguran-te- guran baik lewat pembina pramuka atau- pun oleh Waka Kesiswaan diteruskan ke- pada Wali Kelas

Untuk pertama kali setiap Peserta didaftarkan oleh BPJS Kesehatan pada satu Fasilitas Kesehatan tingkat pertama yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan setelah. mendapat rekomendasi

Aksesi-aksesi dengan pertumbuhan vegetatif dominan dapat diamati melalui berat kering brankasan tanaman (minus polong). Aksesi dengan komponen produksi yang tinggi

Pertemuan Panja Komisi VIII DPR RI mengenai BSM dengan MTSN Model Padusunan selain dihadiri kepala sekolah, guru, dan staf MTSN Padusunan, juga dihadiri Kepala

Hasil analisis ragam komponen produksi genotipe cabai yang diuji menunjukkan pengaruh nyata untuk peubah panjang buah, diameter buah, bobot per buah, bobot buah