• Tidak ada hasil yang ditemukan

APLIKASI PEMELIHARAAN LARVA DAN SPAT PADA MEDIA OPTIMUM. Tujuan Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "APLIKASI PEMELIHARAAN LARVA DAN SPAT PADA MEDIA OPTIMUM. Tujuan Penelitian"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI PEMELIHARAAN LARVA DAN SPAT PADA MEDIA OPTIMUM

Tujuan Penelitian

Untuk mendapatkan sintasan dan pertumbuhan yang tinggi guna produksi masal spat, dengan menerapan lingkungan pemeliharaan yang optimum (suhu, salinitas, oksigen terlarut atau DO dan intensitas cahaya).

Pada penelitian tahap II dilakukan pengkajian pemeliharaan larva dan spat dalam kondisi lingkungan optimum.

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan mulai bulan Juni sampai Agustus 2007. Aktivitas penelitian yang meliputi pemijahan, kultur pakan hidup, pemeliharaan larva dan spat dilakukan di dalam hatchery skala rumah tangga (HSRT), di P. Kabra Kecil, Kecamatan Samate, Kabupaten Raja Ampat, Propinsi Irian Jaya Barat (Lampiran 1b).

(2)

Pengaruh Kondisi Lingkungan Pemeliharaan Berbeda Terhadap Sintasan Serta Laju Pertumbuhan Larva dan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)

Abstract

Rearing of larvae and spat required optimal and controlled environment conditions. The objective of this study is to know the optimum environment conditions for rearing of pearl oyster P. maxima larvae and spat, through to applied the optimum of temperature, salinity, dissolve oxygen and light intensity. The results show that the survival rate (62.20 %) and relative growth (725.34 x 583.50 µm) at optimum environment conditions was significantly higher (P ≤ 0.05) than control (36.55 %; 570.82 x 435.72 µm). Survival rate and growth of larvae to spat was followed from larvae D6: 77.41 % and 20.72 x 11.36 µm; D14: 59.26 %, 47.92 x 35.33 µm; D20: 39.76 %, 67.22 x 56.34 µm; spat D25: 21.07 %, 73.50 x 65.43 µm.

Keywords: Larvae; spat; Pinctada maxima; natural, optimum; survival rate, growth.

Pendahuluan

Berkembangnya budidaya mutiara ternyata juga menjadi pemicu meningkatnya permintaan spat dan tiram siap operasi. Sedangkan spat dan calon induk yang berasal dari alam jumlahnya terbatas, sangat fluktuatif dan dipengaruhi musim. Penyediaan spat secara terkendali melalui hatchery merupakan alternatif yang tepat untuk menanggulangi terbatasnya spat alam. Hatchery mampu menyediakan spat secara massal, tepat waktu dan jumlah yang cukup, disamping ukurannya seragam serta berkualitas tinggi. Menurut Jeffrey et al. (1990) tujuan utama dari kegiatan pembenihan adalah memproduksi jutaan juvenil (spat) dengan cara memelihara larva pada tingkat kepadatan yang lebih tinggi dari kondisi di alam. Produksi melalui hatchery merupakan pendekatan yang paling menguntungkan dalam penyediaan spat (Rupp et al. 2005).

Ketersediaan spat merupakan kendala utama dalam pengembangan budidaya tiram mutiara. Suplai spat merupakan bagian yang krusial dari industri ini, jika semata-mata hanya menggantungkan pengumpulan spat dari alam (Le Blanc et al. 2005).

Dalam pemeliharaan larva sampai spat diperlukan kondisi lingkungan yang optimum dan terkendali, karena pada stadia tersebut kondisinya masih sangat rentan. Perubahan lingkungan yang terjadi dalam pemeliharaan dapat mengakibatkan kematian, sehingga diperlukan kajian yang lebih mendalam berkaitan dengan pemeliharaan larva

(3)

dan spat, baik yang dilakukan di laboratorium maupun di lapangan (laut). Menurut Gricourth, et al. (2006) untuk memproduksi larva dan spat baik secara kualitas maupun kuantitas diperlukan kondisi pemeliharaan yang optimal, seperti untuk pertumbuhan, perkembangan dan proses-proses yang mengatur organisme harus dalam kondisi terkontrol.

Tujuan

Tujuan dari kajian ini adalah mendapatkan informasi tentang kondisi lingkungan optimum untuk pemeliharaan larva dan spat tiram mutiara P. maxima, melalui penerapan pengaturan suhu, salinitas, DO dan intensitas cahaya yang optimum, agar dapat diperoleh sintasan dan pertumbuhan yang tinggi.

Bahan dan Metode Kultur Pakan Hidup

Pakan hidup dipersiapkan sebulan sebelum percobaan dimulai. Jenis pakan yang digunakan adalah fitoplankton Isochrysis galbana, Pavlova lutheri, Tetraselmis tetrathele dengan kepadatan sekitar 8–10 juta sel/ml. Media pupuk untuk kultur pakan hidup adalah formula Walne dan Hirata (Lampiran 2).

Rancangan Percobaan

Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), dengan tiga kali ulangan. Pengelompokan dilakukan berdasarkan pada perkembangan stadia larva sampai menjadi spat. Perlakuan yang diaplikasikan adalah lingkungan pemeliharaan optimum, seperti suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), intensitas cahaya dan jenis serta dosis pakan terbaik (A), dibandingkan kontrol atau kondisi lingkungan pemeliharaan sebenarnya (B) di dalam hatchery.

Prosedur Percobaan

Hewan uji yang digunakan dalam percobaan ini adalah larva tiram mutiara P.

(4)

maxima dengan menggunakan kombinasi metode ekspose dan kejut suhu ( CMFRI 1991; Winanto 2004). Wadah percobaan menggunakan bak fiberglass ukuran 2 ton. Media air laut yang digunakan telah melalui proses penyaringan bertingkat seperti sand filter,

catrage (15, 10 dan 5 mikron), cotton filter dan ultra violet.

Aplikasi perlakuan lingkungan optimum mengacu pada percobaan sebelumnya, yaitu meliputi jadwal pemberian pakan, kepadatan individu, pengelolaan air, parameter lingkungan (suhu 28 oC, salinitas 32−34 ‰, DO 5−6, intensitas cahaya untuk larva ≤ 200 lux dan spat 500 lux). Sedangkan perlakuan kondisi lingkungan alamiah diaplikasikan di dalam hatchery dengan kondisi sebenarnya. Setelah larva berusia 16–18 hari, di dalam bak dipasang kolektor-kolektor dengan posisi vertical. Kolektor berukuran 40 x 60 cm, terbuat dari bahan paranet.

Untuk mengetahui sintasan dan laju pertumbuhan, dilakukan pengambilan sampel sebanyak 10 ml, selanjutnya dilakukan pengamatan di bawah mikroskop dengan perbesaran 40–60 kali. Jumlah larva dihitung dengan menggunakan sadgewick rafter cell. Pengukuran panjang antero-posterior (AP) dan tinggi dorso-ventral (DV) (Taylor et al. 1997) dilakukan dengan mikrometer okuler.

Parameter Yang Diamati

¾ Sintasan, dihitung berdasarkan persentase jumlah spat pada akhir pengamatan dibagi jumlah spat pada awal pengamatan.

¾ Laju pertumbuhan spesifik, dihitung berdaarkan persentase selisih rata-rata antara ukuran individu akhir pengamatan (Ln) dan ukuran individu awal pengamatan (Ln) dibandingkan waktu pengamatan (Chengbo and Shuanglin 2004).

Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F. Jika terdapat data yang penyebarannya tidak normal, maka terlebih dahulu akan dilakukan transformasi dengan logaritma natural (Ln). Apabila uji F menunjukkan adanya pengaruh nyata (P < 0,05) pada tiap perlakuan, maka dilanjutkan analisis dengan uji rerata Tukey (Neter et al. 1990). Pengolahan data sintasan dan laju pertumbuhan dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 15 for Windows.

(5)

Hasil dan Pembahasan

Sintasan dan Pertumbuhan

Hasil pengamatan terhadap larva sampai spat yang dipelihara pada kondisi lingkungan optimum (A), menunjukkan sintasan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol (B). Rata-rata sintasan larva stadia umbo (D6) 89,45 % (A) sedangkan pada kontrol (B) rata-rata 65,38 %. Sintasan larva D14 adalah 70,21 % dan pada kontrol 48,32 %. Sintasan larva D20 pada kondisi optimum 57,06 % sedangkan pada kontrol 22,46 %. Sintasan Spat D25 adalah 32,09 % dan pada kontrol 10,05 % (Gambar 26; Lampiran 25a). 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 I II III Spat Stadia Si nt a sa n ( % ) Optimum Kontrol

Gambar 26. Sintasan (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) dari stadia I sampai spat (D25)

Selama masa pemeliharaan larva sampai spat terjadi penurunan sintasan pada setiap tahap stadia, pada kondisi lingkungan optimum terjadi penurunan sintasan sebesar 35,87 %. Hasil tersebut lebih baik jika dibandingkan kondisi alamiah yang mengalami penurunan sintasan sekitar 15,37 %.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, laja pertumbuhan spesifik larva dan spat pada kondisi lingkungan optimum(A) nyata lebih tinggi (P ≤ 0,05) dari pada perlakuan kontrol (B). Laju pertumbuhan dari stadia larva sampai spat menunjukkan pola

(6)

pertumbuhan sigmoid, dengan puncak pertumbuhan terjadi pada stadia umbo awal sampai umbo akhir (Gambar 27; Lampiran 25a).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 I II III Spat Stadia La ju P e rt um bu h a n ( % ) Optimum Kontrol

Gambar 27. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) dari stadia I sampai spat (D25).

Hasil analisis varian menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P ≤ 0,05) antara perlakuan lingkungan optimum (A) dibanding kontrol (B) dan antar kelompok stadia. Hasil uji nilai tengah Tukey juga menunjukkan bahwa lingkungan optimum (A) berbeda nyata lebih besar (P ≤ 0,05) dengan kontrol (B) dan antar kelompok stadia (P ≤ 0,05) (Tabel 12; Lampiran 25b).

Tabel 12. Uji nilai tengah Tukey terhadap sintasan dan pertumbuhan panjang relatif larva dan spat tiram mutiara P. maxima.

Perbedaan Nilai Tengah

Perlakuan Sintasan (%) Pertumbuhan Relatif (μm)

AP DV

(A) Lingkungan Optimum

(B) Kontrol 36,55b 62,20a 570,82b 725,34a 583,50a 435,72b Stadia I Stadia II Stadia III Spat D25 77,41a 59,26b 39,76c 21,07d 20,72a 47,92b 67,22c 73,50d 11,36a 35,33b 56,34c 65,43d

Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan adanya perbedaan antar perlakuan pada taraf 5 %

(7)

Sintasan larva dan spat pada lingkungan optimum lebih rendah jika dibandingkan kajian sebelumnya yang dilakukan secara partial. Diduga, pada pengkajian partial hanya terfokus pada variabel yang diteliti saja, sedangkan variabel diluar perlakuan dikondisikan homogen. Dalam percobaan partial selalu dimulai dengan mengunakan hewan uji baru, seragam (digrading) dan diseleksi dari stok yang telah disiapkan untuk penelitian. Sintasan pada kajian partial dihitung dari setiap tahap percobaan. Sebaliknya pada kajian lingkungan optimum, tidak dilakukan penggantian ataupun penambahan hewan uji baru selama masa percobaan.

Perkembangan larva dan pertumbuhan spat P. maxima yang diamati dalam kajian ini, secara umum tidak jauh berbeda dengan laju pertumbuhan P. margaritifera (Alagarswami et al. 1989) dan P. fucata (Alagarswami et al. 1987; CMFRI 1991), tetapi secara spesifik masing masing mempunyai kisaran lingkungan optimum yang berbeda. Penelitian tentang P. margaritifera, P. fucata dan P. martensii sebagian besar dilakukan di daerah beriklim sedang atau empat musim. Kajian pemeliharaan larva P. maxima yang dilakukan di Australia oleh Minaur (1969) hanya sampai pada stadia pediveliger (D20). Laporan tentang keberhasilan pembenihan buatan P. maxima di Jepang juga telah disampaikan Tanaka dan Kumeta (1981), namun tidak menyampaikan informasi lengkap mengenai perkembangan larva, misalnya perkembangan stadia umbo dari D11–D18 dan juga tidak menyertakan data yang lengkap berkaitan dengan kondisi lingkungan selama pemeliharaan. Taylor et al. (1997; 1998) lebih banyak mengkaji pertumbuhan spat P.

maxima di laut.

Setiap spesies hewan air mempunyai kisaran lingkungan optimum yang berbeda, misalnya suhu, terdapat kisaran batas atas dan batas bawah serta kisaran optimum untuk pertumbuhan yang mana akan berubah seiring dengan perkembangannya. Suhu merupakan faktor lingkungan kritis yang berpengaruh kuat terhadap nafsu makan dan pertumbuhan. Suhu untuk pertumbuhan optimum biasa disebut SET (standard environmental temperature). Laju metabolisme hewan-hewan ectothermal (suhu tubuhnya sama dengan suhu perairan) meningkat dua kali lipat pada setiap terjadi peningkatan suhu 10 oC, keterkaitan itu disebut factor Q10 (Summerfelt 2007).

(8)

Makna khusus bagi akuakultur, setiap spesies yang dibudidayakan mempunyai kisaran suhu optimum. Kisaran suhu optimum didefinisikan sebagai cakupan/rangkuman di mana organisme yang dipelihara tetap diberi makan dan tidak ada tanda-tanda behavior abnormal dihubungkan dengan stres akibat suhu atau termal stress (Elliot 1981). Dalam kisaran optimum ini dapat juga didefinisikan sebagai pertumbuhan optimum yang sempit. Di luar kisaran optimal organisme akan mengalami stres akibat panas dan dapat mati jika suhu berada di atas atau di bawah batas suhu letal (Goddard 1996).

Kualitas dan kuantitas pakan optimum (sesuai hasil penelitian) yang diberikan selama penelitian ini, diduga cukup efektif sebagai penyedia bahan baku yang dapat dirubah menjadi cadangan energi atau energi untuk perkembangan larva dan pertumbuhan spat. Disampaikan Laing (1995) tipe dan nilai nutrisi yang terkandung dalam makanan (alga) merupakan factor yang siknifikan mempengaruhi laju pertumbuhan larva dan selama periode planktonis larva (spatfall). Diduga, jenis dan jumlah cadangan material biokimia yang terakumulasi selama perkembangan larva, serta perbedaan jenis makanan yang diberikan dapat mempengaruhi kompetensi larva untuk menempel (Haws et al. 1993; Baker 1994).

Pernyataan lain yang cukup kontroversial disampaikan Gardes (1983); His et al. (1989) yaitu stadia awal perkembangan larva mempunyai kemampuan mengatur sistim filtrasi dan laju metabolisme dalam merespon konsentrasi partikel-partikel makanan yang tersedia dan larva dapat bertahan hidup selama beberapa hari tanpa makan. Fenomena menarik ini dapat menjadi jawaban, mengapa sintasan pada stadia awal (kontrol) dalam penelitian ini cukup tinggi (65,38 %), bahkan pada kondisi optimum sintasan bisa mencapai 89,45 %. Analoginya, jika dalam kondisi tidak ada pakan saja larva stadia awal dapat bertahan hidup sampai beberapa hari, maka dengan tersedianya pakan dalam jumlah cukup dan jenis yang sesuai tentu sintasannya akan lebih tinggi.

Selanjutnya, juga telah di aplikasikan kondisi lingkungan optimum tersebut untuk hatchery skala rumah tangga tiram mutiara, hasilnya menunjukkan sintasan dan laju pertumbuhan larva sampai spat lebih tinggi dibanding kontrol. Hasil dalam kajian ini juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Southgate dan Ito (1998) dengan menggunakan sistim partial-flow untuk mendapatkan kualitas air yang prima, sintasan

(9)

larva P. margaritifera pada hari ke 7 sekitar 61 % dan sintasan larva stadia pediveliger 5 %. Studi yang sama dilakukan Alagarswami et al. (1989) dilaporkan sintasan larva P.

fucata stadia pediveliger 6,3 %. Martinez-Fernandez et al. (2006) membagi penelitiannya

pada larva P. margaritifera menjadi dua bagian, penelitian pertama dimulai dari larva D1 (1 hari) berukuran 81,3 µm sampai D10, hasilnya menunjukkan sintasan antara 15,2–64,6 %. Penelitian ke dua dilakukan selama 8 hari, dimulai dari larva D11 (122,9 µm) dengan hasil sintasan 68,9 %. Dilaporkan oleh Taufiq (2009) sintasan larva P. maxima sampai menjadi spat umur 30 hari adalah 6–7 %.

Melihat sintasan akhir yang diperoleh baik pada kajian yang dilakukan (32, 09 %) maupun kontrol (10,05 %), diketahui bahwa mortalitas larva dan spat selama pemeliharaan relatif masih tinggi. Diduga ada penyebab lain yang mengakibatkan mortalitas, mengingat parameter utama (suhu, salinitas, oksigen terlarut, intensitas cahaya dan pakan) yang diaplikasikan sudah dalam kondisi optimum. Kemungkinannya adalah kesalahan operator, misalnya kurang hati-hati dan kurang teliti saat grading dan penggantian air, sehingga ada kemungkinan larva yang ukurannya sangat kecil (μm) dapat lolos dari saringan-planktonet, karena ukurannya yang kurang seragam. Hal ini diperkuat oleh hasil pengamatan yang tidak menemukan larva yang mati di dasar bak. Secara mikroskopis juga dilakukan pengambilan sampel dari dasar bak, tetapi persentasenya sangat kecil dan tidak sebanding dengan angka kehilangan yang diperoleh. Sebaliknya pada kontrol, mulai hari ke 3–7 sudah dijumpai larva yang mati di dasar bak dan mortalitas lebih tinggi pada hari ke 14–16, larva yang mati bergerombol membentuk baris di bagian sudut bak, warnanya orange-kemerahan dan dapat diamati secara visual dengan bantuan penerangan lampu baterai. Sesuai dengan pendapat Baker (1994) larva di hatchery biasanya diseleksi atau digrading dengan tujuan agar pertumbuhannya cepat dan untuk mendapatkan ukuran yang seragam, tetapi tanpa disadari dapat mengakibatkan mortalitas karena kesalahan penanganan.

Parameter lingkungan optimum yang diperoleh dalam kajian ini dapat diterapkan untuk pengembangan hatchery skala rumah tangga, dimana beberapa parameter tersebut dapat dikendalikan dan dimanipulasi sesuai dengan kebutuhan tiram mutiara P. maxima dari stadia larva sampai spat.

(10)

Simpulan

Berdasarkan hasil percobaan, maka dapat disimpulkan bahwa spat yang dipelihara pada kondisi lingkungan optimum dapat menunjukkan sintasan dan laju pertumbuhan maksimum.

Daftar Pustaka

Abo K and Toda S. 2001. Evaluation Model of Farming Density of Japanese Pearl Oyster, Pinctada fucata, P. martensii, Based on Physiology and Food Environment. Bul Jpn Soc Fish Oceanography 65: 135-144.

Alagarswami K, Dharmaraj S, Velayudhan TS, Chellam A. 1987. Hetchery Tecnology for Pearl Oyster Production. CMFRI. Bul 39: 37-8.

________________________________________________. 1989. Larva and Juvenil

Rearing of Black-lip Pearl Oyster Pinctada margaritifera (Linnaeus).

Aquaculture 76: 43-56.

Baker P. 1994. Competency to Settle in Oyster Larvae, Crassostrea virginica. Wild versus hatchery-reared larvae. Aquaculture 122: 161-169.

Chengbo Z and Shuanglin D. 2004. Effect of Na/K Ratio in Seawater on Growth and Energy Budget of Juvenile Litopenaeus vannamei. Aquaculture 234: 485-496. CMFRI. 1991. Pearl Oyster Farming and Pearl Culture. Training Manual No. 8. Regional

Seafarming Development and Demonstration Project. RAS/90/002. Bangkok, Thailand. 103 p.

Elliott JM. 1981. Thermal Stress on Freshwater Teleosts. In: Stress and Fish. Ed. A.D. Pickering. Academic Press. London and New York. Pp. 209-245.

Gardes D. 1983. The Pacific Oyster Crassostrea gigas. Feeding Behaviour of Larvae and Edults. Aquaculture 31: 195-219.

Goddard S. 1996. Feeding, Temperature and Water Quality. In: Feed Management in Intensive Aquaculture. Chapman and Hall. 4: 51-73.

Gricourt L, Mathieu M and Kellner K. 2006. An Insulin-Like System Involved in The Control of Pacific Oyster Crassostrea gigas Reproduction: hrlGF-1 Effect on Germinal Cell Proliferation and Maturation Assosiated with Expression Of an Homologous Insulin Receptor-related Receptor. Aquaculture 251: 85-98.

(11)

Haws McC, DiMichele I and Hand SC. 1993. Biochemical Changes and Mortality During Metamorphosis of The Eastern Oyster, Crassostrea virginica and Pacific Oyster, Crassostrea gigas. Mol Mar Biol Biotechnology 2: 207-217.

His E, Robert R and Dinet A. 1989. Combined Effects of Temperature and Salinity on Feed and Starved Larvae of The Mediterranean Mussel Mytilus galloprovincialis and The Japanese Oyster Crassostrea gigas. J Mar Biol 100: 455-463.

Jeffrey SW, Gerland CD and Brown MR. 1990. Microalgae in Australian Mariculture. In: Biology of Marine Plants. Longman-Chesher. 18: 400-414.

Laing I. 1995. Effect of food Supplay on Oyster Spatfall. Aquaculture 131:315-324

Le Blanc N, Landry T, Staryhn H, Tremblay R, McNiven M, Davidson J. 2005. The Effect of High air and Water Temperature on Juvenile Mytilus edulis in Price Edward Island, Canada. Aquaculture 243: 185-194.

Martinez-Fernandez E, Acosta-Salmon H, Southgate PC. 2006. The Nutritional Value of Seven Species of Tropical Microalgae for Black-Lip Pearl Oyster (Pinctada

margaritifera, L.) Larvae. Aquaculture 257: 491-503.

Minaur J. 1969. Experient on the Artificial Rearing of The Larva of Pinctada maxima (Jameson)(Lamellibranchia). Aust J Freshw Res 20: 175-187.

Rupp GS, Parsons GJ, Thompson RJ, de Bem MM. 2005. Influence of Environmental Faktors, Season and Size at Development on Growth and Retrieval of Postlarval Lion’s Paw Scallop Nodipecten nodosus (Linnaeus, 1758) From A Subtropical Environment. Aquaculture 243: 195-216.

Southgate PC and Ito M. 1998. Evaluation of a partial culture technique for pearl oyster (Pinctada margaritifera L.) larvae. Aquaculture Engineering 18:1-7.

Summerfelt RC. 2007. Water Quality Considerations for Aquaculture (Unpublish). Department of Animal Ecology, Iowa State University. Ames. Summerft.doc. Tanaka Y and Kumeta M. 1981. Succesful artificial breeding of silver-lip pearl oyster

Pinctada maxima (Jameson). Bulletin Natural Research Institute. Japan. Aquaculture 2: 21-28.

Taufiq N. 2009. Culture of Pearl Oyster Pinctada maxima In Sumbawa. Makalah Seminar Nasional Moluska ke-2, tanggal 11−12 Februari 2009 di IPB ICC Botani Square, Bogor.

Taylor JJ, Rose RA, Southgate PC, Taylor CE. 1997. Effects of Stocking Density on Growth and Survival of Early Juvenile Silver-lip Pearl Oyster Pinctada maxima (Jameson) Held in Suspended Nursery Culture. Aquaculture 153: 31-40.

(12)

Taylor JJ, Rose RA, Southgate PC, Taylor CE. 1998. Assessment of Artificial Substrates for Collection of Hatchery-reared Silver-lip Pearl Oyster (Pinctada maxima Jameson) Spat. Aquaculture 162: 219-230.

Winanto T. 2004. Memproduksi Benih Tiram Mutiara. P.T. Panebar Swadaya, Jakarta. Seri Agribisnis. 95 hal.

Gambar

Gambar 26.  Sintasan (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) dari stadia I sampai spat (D25)
Gambar 27. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) dari stadia I  sampai spat (D25)

Referensi

Dokumen terkait

Hak-hak material dan batasan-batasan yang terdapat pada Saham Biasa, juga berlaku pada Saham Dwiwarna, kecuali Pemerintah tidak dapat mengalihkan saham Dwiwarna dan

Membandingkan parameter ketersediaan hayati dari suatu bentuk sediaan yang akan di tentukan terhadap parameter ketersediaan hayati sediaan inovator ( standar ).. Protokol

• Proses ekstraksi diawali dengan mencampur 200 mg sampel dengan buffer lysis sebanyak 320 μl, RNase A sebanyak 16 μl, proteinase-K sebanyak 16 μl dan DTT sebanyak 3.2 μl

menghasilkan banyak gagasan alternatif pemecahan masalah dalam waktu yang singkat. Unsur ini mengukur kemampuan menguraikan banyak alternatif pemecahan masalah. Oleh

TUJUAN INOVASI SEKTOR PUBLIK Melahirkan sesuatu hal yang baru Sarana Menuangkan kreativitas Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik Untuk memperluas jangkauan pelayanan

Karena itu sudah saatnyalah kita terus berusaha melakukan upaya untuk memberikan pemahaman kepada publik bahwa menjadi seorang lesbian sama saja dengan manusia lainnya,

Pengaruh Organizational Culture Terhadap Firm Performance Melalui Learning Organization pada Sektor Non Manufaktur di Surabaya.. Jurnal

Pemilihan respirator harus berdasarkan pada tingkat pemaparan yang sudah diketahui atau diantisipasi, bahayanya produk dan batas keselamatan kerja dari alat pernafasan yang