• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) 2.1.1 Pengertian BBLR

Berdasarkan kamus gizi pelengkap kesehatan keluarga yang dimaksud dengan bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat badan yang kurang dari 2500 gram, yang ditimbang pada saat lahir sampai dengan 24 jam pertama setelah lahir. Dalam PONED diberikan batasan bahwa BBLR merupakan berat lahir bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir yang kurang dari 2500 gram.

2.1.2 Faktor Penyebab

BBLR ini disebabkan oleh beberapa faktor yang dikelompokkan menjadi 3 yaitu faktor janin, faktor ibu dan lingkungan.

A. Faktor janin

Yang termasuk faktor penyebab dari si janin antara lain : 1. Cacat bawaan (kelainan kongenital)

Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenital, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah (BBLR) atau bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital yang mempunyai berat kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya.

(2)

2. Kelahiran kurang bulan/ prematur

Bayi lahir pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya BBLR. Pada umumnya bayi lahir kurang bulan disebabkan karena tidak adanya uterus penahan janin, gangguan selama kehamilan, lepasnya plasenta lebih cepat dari waktunya atau rangsangan yang memudahkan terjadinya kontraksi uterus sebelum cukup bulan. Bayi lahir kurang bulan mempunyai organ dan alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup di luar rahim. Semakin muda umur kehamilan, fungsi organ tubuh semakin kurang sempurna dan prognosisnya semakin kurang baik. Kelompok BBLR ini sering mendapatkan penyulit atau komplikasi akibat kurang matangnya organ karena masa getasi yang kurang (prematur).

3. Bayi lahir kecil untuk masa kehamilan

Bayi lahir kecil untuk masa kehamilan adalah bayi yang mengalami hambatan pertumbuhan saat dalam kandungan (janin tumbuh lambat) atau retardasi pertumbuhan intra uterin) dengan berat lahir < persentil ke 3 grafik pertumbuhan janin (Lubchenco). Hal ini dapat disebabkan oleh terganggunya sirkulasi dan efisensi plasenta, kurang baiknya keadaan umum ibu atau gizi ibu, atau hambatan pertumbuhan yang berasal dari bayinya sendiri. Kondisi bayi lahir kecil sangat bergantung pada usia kehamilan saat dilahirkan dan berapa lama terjadinya hambatan pertumbuhan itu dalam kandungan.

B. Faktor ibu

Salah satu faktor predisposisi adalah dari si ibu yang berkaitan dengan beberpa hal seperti:

(3)

Kekurangan gizi selama hamil akan berakibat buruk terhadap janin. Penentuan status gizi yang baik yaitu dengan mengukur berat badan ibu sebelum hamil dan kenaikkan berat badan selama hamil. Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat memengaruhi proses pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan keguguran, abortus, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, asfiksi. Intra partum (mati dalam kandungan) lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Pertambahan berat badan selama kehamilan rata-rata 0,3-0,5 kg/ minggu. Bila dikaitkan dengan usia kehamilan, kenaikan berat badan selama hamil muda 5 kg, selanjutnya tiap trimester (II dan III) masing-masing bertambah 5 kg. Pada akhir kehamilan, pertambahan berat badan total adalah 9-12 kg. Bila terdapat kenaikan berat badan yang berlebihan, perlu dipikirkan adanya risiko bengkak, kehamilan kembar, hidroamnion, atau anak besar. Indikator lain untuk mengetahui status gizi ibu hamil adalah dengan mengukur LLA. LLA adalah Lingkar Lengan Atas. LLA kurang dari 23,5 cm merupakan indikator kuat untuk status gizi yang kurang/ buruk. Ibu berisiko untuk melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah. Dengan demikian, bila hal ini ditemukan sejak awal kehamilan, petugas dapat memotivasi ibu untuk lebih memperhatikan kesehatannya (Hidayati, 2009).

2. Umur

Menurut Kramer (1987) yang dikutip oleh institut of medicine, secara umum ibu yang umurnya lebih muda akan mempunyai bayi yang lebih kecil dibandingkan dengan ibu yang lebih tua. Penelitian menunjukan angka kematian dan kesakitan ibu akan tinggi bila melahirkan terlalu muda atau terlalu tua, yaitu usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun (Siregar, dalam Mulyawan 2009). Umur yang terlalu muda atau terlalu tua ketika melahirkan akan membawa dampak buruk pada perkembangan

(4)

janin selama periode dalam kandungan. Hal ini disebabkan oleh adanya penurunan fungsi fisiologik dan reproduksinya.

3. Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat

Jarak kehamilan kurang dari 2 tahun dapat menimbulkan pertumbuhan janin kurang baik, persalinan lama dan perdarahan pada saat persalinan karena keadaan rahim belum pulih dengan baik. Ibu yang melahirkan anak dengan jarak yang sangat berdekatan (di bawah dua tahun) akan mengalami peningkatan risiko terhadap terjadinya perdarahan pada trimester III, termasuk karena alasan plasenta previa, anemia dan ketuban pecah dini serta dapat melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.

4. Paritas ibu

Anak lebih dari 4 dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan janin sehingga melahirkan bayi dengan berat lahir rendah dan perdarahan saat persalinan karena keadaan rahim biasanya sudah lemah.

5. Penyakit menahun ibu

Asma bronkiale, pada ibu dan janin sangat tergantung dari sering dan beratnya serangan, karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen (O2) atau hipoksia. Keadaan hipoksia bila tidak segera diatasi tentu akan berpengaruh pada janin, dan sering terjadi keguguran, persalinan prematur atau berat janin tidak sesuai dengan usia kehamilan (gangguan pertumbuhan janin). Selain asma Infeksi saluran kemih dengan bakteriuria tanpa gejala (asimptomatik). Beberapa peneliti mendapatkan adanya hubungan kejadian bakteriuria dengan peningkatan kejadian anemia dalam kehamilan, persalinan prematur, gangguan pertumbuhan janin, dan preeklampsia. Penyakit lainnya semisal hipertensi dalam kehamilan yang merupakan kelainan

(5)

vaskuler yang terjadi sebelum kehamilan atau timbul dalam kehamilan atau pada permulaan persalinan, hipertensi dalam kehamilan menjadi penyebab penting dari kelahiran mati dan kematian neonatal. Ibu dengan hipertensi akan menyebabkan terjadinya insufisiensi plasenta, hipoksia sehingga pertumbuhan janin terhambat dan sering terjadi kelahiran prematur. Hipertensi pada ibu hamil merupakan gejala dini dari pre-eklampsi, eklampsi dan penyebab gangguan pertumbuhan janin sehingga menghasilkan berat badan lahir rendah.

6. Gaya hidup

Peningkatan penggunaan obat-obatan (antara 11% dan 27% wanita hamil, bergantung pada lokasi geografi) telah mengakibatkan makin tingginya insiden kelahiran prematur, BBLR, defek kongenital, ketidakmampuan belajar, dan gejala putus obat pada janin (Bobak, 2004). Konsumsi alkohol pada saat hamil dikaitkan dengan keguguran (aborsi spontan), retardasi mental, BBLR dan sindrom alkohol janin.

7. Faktor kehamilan

Faktor kehamilan yang menjadi penyebab terjadinya BBLR adalah adanya komplikasi saat hamil seperti pre-eklampsia dan eklampsia yang menyebabkan perkapuran di daerah plasenta sehingga menyebabkan suplai makanan dan oksigen yang masuk ke janin berkurang. Faktor kehamilan lain yang menyebabkan terjadinya BBLR ini adalah adanya ketuban pecah dini, hidramnion, hamil ganda atau gemeli, perdarahan antepartum serta infeksi dalam rahim seperti misalnya infeksi akibat hepatitis yang dapat menyebabkan abortus atau persalinan prematuritas dan kematian janin dalam rahim. Wanita hamil dengan infeksi rubella akan berakibat buruk terhadap janin. Infeksi ini dapat menyebabkan bayi berat lahir rendah, cacat bawaan dan kematian janin.

(6)

C. Faktor Lingkungan

Lingkungan juga berpengaruh untuk menjadi faktor risiko melahirkan BBLR. Faktor lingkungan yaitu bila ibu bertempat tinggal di dataran tinggi seperti pegunungan. Hal tersebut menyebabkan rendahnya kadar oksigen sehingga suplai oksigen terhadap janin menjadi terganggu. Ibu yang tempat tinggalnya di dataran tinggi beresiko untuk mengalami hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap janin karena gangguan oksigenisasi/ kadar oksigen udara lebih rendah dan dapat menyebabkan lahirnya bayi BBLR.

Selain karena tempat tinggal di dataran tinggi, faktor lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya BBLR adalah karena radiasi dan pengaruh zat-zat beracun. Zat beracun yang ada di lingkungan misalnya Pb (Timbal) yang memberi dampak negatif terhadap kesehatan terutama kesehatan ibu hamil. Timbal menganggu sistem haemotopoetic (pembentukan sel-sel darah), dengan menghambat sintesis hemoglobin dan memperpendek umur sel darah merah sehingga akan menyebabkan anemia (Katzung dalam Astuti, 2002). Keracunan Pb organik dapat meningkatkan angka keguguran, kelahiran mati atau kelahiran prematur. Kelahiran prematur dan anemia juga menjadi penyebab terjadinya BBLR.

Pencemaran udara yang sering terjadi di lingkungan keluarga dapat bersumber dari asap rokok dari perokok aktif yang merokok di lingkungan rumah. Asap rokok juga mengandung banyak zat beracun seperti timbal yang berbahaya bagi kesehatan khususnya bagi kesehatan ibu dan janin. Asap rokok berdampak pada pertumbuhan janin melalui beberapa mekanisme. Beberapa bahan dalam asap rokok misalnya nikotin, CO dan Polycyclic aroamatic hydrocarbon, diketahui dapat menembus plasenta. Beberapa campuran telah diidentifikasi dalam janin yang baru lahir dari

(7)

perokok dan terpajan asap rokok. CO mempunyai afinitas mengikat hemoglobin membentuk karboksihemoglobin yang menurunkan kapasitas transport oksigen ke janin (hypoxia), studi lain juga menggambarkan bahwa selain ibu yang merokok, bila ayah yang merokok ternyata juga berhubungan dengan pertumbuhan janin yang terlambat. Ayah yang merokok berhubungan dengan penurunan berat bayi lahir sebesar 112 gram (Samuel dalam Oktavianis 2011).

2.1.3 Pencegahan dan Perawatan

Kejadian BBLR dapat dicegah dengan melakukan beberapa usaha promotif dan preventif yaitu melakukan pemeriksaan secara teratur dan berkualitas selama kehamilan, meningkatkan status nutrisi ibu, dan tidak merokok pada saat hamil. Biasanya setelah dilahirkan bayi akan mendapatkan perawatan di RS agar bayi dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Setelah suhunya stabil dan dipastikan tidak ada infeksi, bayi biasanya boleh dibawa pulang. Namun, ada juga sejumlah RS yang menggunakan standar berat badan. Misalnya bayi baru boleh pulang kalau beratnya mencapai 2 kg. Untuk perawatan BBLR di rumah sakit biasanya dilakukan beberapa perlakuan yaitu :

1. Dimasukkan dalam Inkubator

Bayi dimasukkan ke dalam inkubator agar suhunya tetap stabil karena system pengaturan suhu dalam tubuh bayi belum sempurna yang mengakibatkan suhu tubuhnya bisa naik dan turun dengan drastis. Hal ini tentu bisa membahayakan kondisi kesehatannya. Otot-ototnya juga relatif lebih lemah, sementara cadangan lemaknya juga lebih sedikit dibandingkan bayi yang lahir normal.

(8)

2. Pencegahan Infeksi

Mudahnya bayi BBLR terinfeksi menjadikan hal ini salah satu fokus perawatan salama di RS. Pihak RS akan terus mengontrol dan memastikan jangan sampai terjadi infeksi karena bisa berdampak fatal.

3.Minum yang cukup

Bagi bayi, susu adalah sumber nutrisi yang utama. Untuk itulah selama dirawat, pihak RS harus memastikan bayi mengkonsumsi susu sesuai kebutuhan tubuhnya. Selama belum bisa mengisap dengan benar, minum susu digunakan menggunakan pipet.

4. Berikan sentuhan

Selama bayi dibaringkan dalam inkubator bukan berarti hubungan dengan orang tua terputus. Orang tua terutama ibu sangat disarankan untuk terus memberikan sentuhan pada bayinya. Bayi BBLR yang mendapat sentuhan ibu menurut penelitian menunjukkan kenaikan berat badan yang lebih cepat daripada jika bayi jarang disentuh.

2.2 Rokok dan Dampaknya untuk Kesehatan 2.2.1 Zat yang Terkandung dalam Rokok

Berbagai penelitian menyebutkan bahwa dalam rokok terkandung lebih 4000 jenis zat kimia beracun dan dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya untuk kesehatan. Zat kimia ini dikeluarkan dalam bentuk gas (85%) dan partikel. Zat berbahaya yang berbentuk gas akan terkondensasi menjadi komponen partikulat dan berbentuk asap. Asap yang dihasilkan oleh kebiasaan merokok ini terdiri dari asap utama (main stream smoke) dan asap samping (side stream smoke). Asap utama adalah asap yang dihirup langsung oleh perokok, sedangkan asap samping adalah

(9)

asap tembakau yang disebarkan ke udara bebas, sehingga dapat terhirup oleh orang lain yang dikenal sebagai perokok pasif. (Sietopo, dalam Fawzani 2000). Asap rokok ini mengandung berbagai macam zat yang berbahaya bagi tubuh antara lain karbonmonoksida, nikotin, tar, dan berbagai logam berat lainnya.

Karbon monoksida merupakan zat yang mengikat hemoglobin dalam darah dan membuat darah tidak mampu mengikat oksigen. Nikotin merupakan obat perangsang

(stimulus drug) yang bisa memberikan rangsangan, ketagihan, perasaan senang dan menenangkan. Tar merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel di paru, hal inilah yang menyebabkan gangguan kesehatan dimana nikotin yang terhisap dalam rokok. Pada saat rokok dihisap, tar masuk ke dalam rongga mulut sebagai uap padat. Setelah dingin akan menjadi padat dan membentuk endapan berwarna coklat pada permukaan gigi, saluran pernafasan dan paru-paru. Pengedapan ini bervariasi antara 3-40 mg per batang rokok, sementara kadar tar dalam rokok berkisar 24-45 mg. Dalam rokok juga terdapat Timah hitam (Pb) yang dihasilkan oleh sebatang rokok sebanyak 0,5 ug. Sebungkus rokok (isi 20 batang) yang habis diisap dalam satu hari menghasilkan 10 ug. Sementara ambang batas timah hitam yang masuk ke dalam tubuh adalah 20 ug per hari. Apabila dalam satu hari rokok yang dikonsumsi lebih dari 2 bungkus, maka akan sangat berbahaya terhadap stabilitas tubuh.

2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok

Setiap individu memiliki berbagai alasan untuk menjadi seorang perokok aktif. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku merokok dikemukakan oleh Hansen (Nasution, 2008) antara lain :

(10)

1. Faktor Biologis

Banyak Penelitian menunjukkan bahwa nikotin dalam rokok merupakan salah satu bahan kimia yang berperan penting pada ketergantungan merokok. Pendapat ini didukung Aditama (1992) yang mengatakan nikotin dalam darah perokok cukup tinggi.

2. Faktor Psikologis

Merokok dapat bermakna untuk meningkatkan konsentrasi, menghalau rasa kantuk, mengakrabkan suasana sehingga timbul rasa persaudaraan, juga dapat memberikan kesan modern dan berwibawa, sehingga bagi individu yang sering bergaul dengan orang lain, perilaku merokok sulit untuk dihindari. 3. Faktor Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial berpengaruh terhadap sikap, kepercayaan dan perhatian individu pada perokok. Seseorang akan berperilaku merokok dengan memperhatikan faktor lingkungan sosialnya.

4. Faktor Demografis

Faktor ini meliputi umur dan jenis kelamin. Orang yang merokok pada usia dewasa semakin banyak (Smet, 1994) akan tetapi pengaruh jenis kelamin zaman sekarang sudah tidak terlalu berperan karena pria maupun wanita sekarang sudah merokok.

5. Faktor Sosial-Kultural

Kebiasaan budaya, kelas sosial, tingkat pendidikan, penghasilan, dan gengsi pekerjaan akan mempengaruhi perilaku merokok pada individu (Smet, 1994). 6. Faktor Sosial Politik

Menambahkan kesadaran umum berakibat pada langkah-langkah politik yang bersifat melindungi bagi orang-orang yang tidak merokok dan usaha

(11)

melancarkan kampanye-kampanye promosi kesehatan untuk mengurangi perilaku merokok. Merokok menjadi masalah yang bertambah besar di negara-negara berkembang seperti Indonesia (Smet, 1994 ).

2.2.3 Dampak Rokok bagi Kesehatan

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa apapun bentuknya, produk-produk tembakau berbahaya bagi kesehatan. Rokok merupakan bentuk produk tembakau yang terbanyak dikonsumsi di dunia, sehingga produk tembakau cenderung identik dengan rokok. Rokok memberikan dampak negatif bagi perokok itu sendiri ataupun orang-orang disekitarnya. Rokok dicap sebagai salah satu faktor yang berperan dalam road map hancurnya ekonomi keluarga. (Moeloek dalam Prabaningrum, 2008).

Pengaruh zat-zat kimia yang terkandung dalam rokok seperti nikotin, Karbon Monoksida, dan tar menyebabkan peningkatan kerja dari susunan syaraf pusat dan susunan saraf simpatis sehingga mengakibatkan tekanan darah meningkat dengan detak jantung bertambah cepat (Kendal & Hamen, 1998). Selain itu dapat pula menstimulasi kanker dan berbagai penyakit yang lain seperti penyempitan pembuluh darah, tekanan darah tinggi, jantung, paru-paru, dan bronchitis kronis (Kaplan dalam Avin, 2000).

Rokok tidak hanya berdampak buruk bagi perokok, akan tetapi juga memberikan dampak bagi orang-orang yang ada di sekitarnya yang disebut sebagai perokok pasif. Perokok pasif adalah setiap individu yang tidak merokok dan mendapatkan dampak dari campuran asap mainstream yang dihembuskan atau dibebaskan dari rokok yang sedang menyala atau perangkat merokok lainnya (cerutu, pipa, dll) yang diencerkan dalam udara ambien (WHO, 2003). Hal ini menyebabkan

(12)

mereka harus menghirup zat-zat karsinogen dan komponen beracun lainnya akibat dari pembakaran tembakau tersebut. Oleh karena itu berdasarkan Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) ditekankan upaya perlindungan terhadap perokok pasif melalui bukti-bukti ilmiah yang memaparkan bahaya tembakau yang dapat menyebabkan penyakit atau kematian, serta penetapan peraturan guna memberikan perlindungan kesehatan.

Melindungi anak dan perempuan dari bahaya rokok sebagai zat adiktif adalah amanat UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 dan Konvensi PBB tentang Hak Anak (Sirait dalam Kompas 2010). Ancaman asap rokok yang membahayakan kesehatan terutama bagi ibu hamil dan janin ini berada pada persentase yang memperihatinkan karena 92% perokok biasanya merokok di rumah saat bersama anggota keluarga lainnya. Dan anggota keluarga yang tidak merokok tapi ikut terpapar asap rokok menerima bahaya yang lebih tinggi untuk kesehatannya (Kompas, 2004). Demikian pula berdasarkan hasil Susenas 2001, estimasi penduduk berusia 10 tahun yang terpapar asap rokok adalah 48,9 % atau lebih dari 97 juta orang. Sementara 70 % atau lebih dari 43 juta anak-anak usia 0-14 tahun dan 66% atau lebih dari 65 juta perempuan tidak terlindungi dari asap rokok orang lain dan dirumah sendiri. Data Susenas tahun 2004 menunjukkan 30,5% atau 45,6 juta penduduk usia  15 tahun adalah perokok pasif di dalam rumah. Dengan jumlah perempuan diperkirakan ada 36,7 juta atau 4 kali lipat dari laki-laki.

Asap rokok selama hamil bisa menyebabkan perubahan dalam struktur DNA bayi yang nantinya dapat melemahkan sistem kekebalan tubuhnya serta meningkatkan resiko terkena asma. Sering terpapar asap rokok bisa membuat bayi lahir prematur yang umumnya memiliki perkembangan organ tubuh yang belum sempurna. Hal ini akan mengganggu pertumbuhan otak janin selama di dalam

(13)

kandungan, sehingga menyebabkan keterbelakangan mental. Pengaruh asap rokok bisa menyebabkan bayi mengalami penyakit jantung bawaan, kekurangan nutrisi akibat gangguan plasenta sehingga mengalami BBLR.

Dalam penelitian observasional yang dilakukan oleh Amiruddin dengan rancangan studi kasus kelola atau case control study disebutkan bahwa pajanan asap rokok adalah keadaan dimana ibu hamil terpajan dengan asap rokok dari suami di rumah. Dalam hasil analisis ditemukan bahwa ibu hamil yang terpajan asap rokok dari suami yang merokok lebih dari 10 batang setiap hari, memberikan risiko sebesar 3,15 kali lebih besar untuk melahirkan bayi lahir rendah dibandingkan ibu hamil yang terpapar kurang 10 batang. Besarnya risiko tersebut disertai dengan kemaknaan secara statistik.

Semakin tingginya paparan asap rokok maka akan memberi kontribusi pada efek akumulasi kandungan nikotin dalam darah, sehingga kelancaran transport nutrisi dan O2 mengalami gangguan, sehingga kebutuhan nutrisi dan O2 bagi janin

untuk tumbuh akan mengalami perlambatan seiring dengan semakin

tingginya paparan asap rokok tersebut. Dalam penelitian yang ia lakukan,

ditemukan informasi baru bahwa plasenta yang ringan berkontribusi besar

terhadap kejadian BBLR serta jumlah pajanan asap rokok memberikan risiko secara kuantitaf pada kejadian BBLR.

Sebuah penelitian eksperimental menggunakan hewan coba mencit menyimpulkan bahwa paparan asap rokok yang diberikan selama masa kehamilan hari ke-0 (hari konsepsi), 1 dan 2 menyebabkan retardasi pertumbuhan embrio, sedangkan paparan asap rokok selama masa kehamilan hari ke-0 hingga hari ke-17 menyebabkan penurunan berat badan fetus. Dalam penelitian ini, mencit dipapar asap rokok selama 10 menit, 3 kali sehari. Radikal bebas yang terkandung dalam

(14)

asap rokok ini menyebabkan kerusakan endothel, peningkatan vasokonstriktor, dan penurunan vasodilator dan menyebabkan hipertensi, PPOK, dan defisiensi asam folat akan menimbulkan gangguan pertumbuhan fetus yang pada akhirnya akan dapat menyebabkan BBLR. Diagramnya dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Sumber : Yuliana, 2009

Gambar 2.1 diagram alur mekanisme efek paparan asap rokok terhadap risiko terjadinya kelahiran BBLR

ASAP ROKOK

Radikal bebas & oksidan

Kerusakan jaringan paru

Gangguan metabolism folat Kerusakan endotel Vasokonstriktor ↑ Vasodilator ↓ Nikotin Katekolamin ↑ Vasokonstriksi pembuluh darah Hipertensi PPOK Vasokonstriksi pembuluh darah

Suplai makanan dan oksigenasi fetus ↓ Hipoventilasi Asidosis Oksigen fetus Gangguan pertumbuhan Fetus BBLR Defisiensi Folat Nutrien pertumbuhan ↓

(15)

Dari diagram tersebut dapat dilihat bahwa dampak dari paparan asap rokok pada ibu hamil dapat memicu terjadinya BBLR. Penelitian menyebutkan bahwa radikal bebas yang terkandung dalam asap rokok dapat menyebabkan kerusakan endotel, peningkatan vasokonstriktor, dan penurunan vasodilator. Nikotin dalam asap rokok dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Semua hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya hipertensi. Hipertensi dapat menyebabkan penurunan suplai makanan dan oksigen fetus. Radikal bebas juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan paru sehingga dapat terjadi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).

PPOK akan menyebabkan penurunan oksigenasi fetus. Selain itu, radikal bebas juga dapat mengganggu metabolisme asam folat. Dengan adanya gangguan metabolisme asam folat berarti nutrisi pertumbuhan fetus akan terganggu dan juga akan mempengaruhi ekspresi gen fetus. Akibatnya secara tidak langsung, hipertensi, PPOK, dan defisiensi asam folat akan menimbulkan gangguan pertumbuhan fetus yang pada akhirnya akan dapat menyebabkan BBLR.

Berdasarkan hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention, disebutkan bahwa pengaruh rokok pada kehamilan adalah sebagai berikut :

1. Merokok mempersulit perempuan untuk hamil.

2. Asap rokok bisa menyebabkan kematian dini (premature death) pada bayi yang sedang dikandung dan menimbulkan penyakit ketika bayi tersebut lahir. 3. Berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) karena

racun dalam rokok bisa menghambat aliran darah yang merupakan sumber nutrisi bagi bayi.

(16)

4. Asap rokok bisa meningkatkan risiko bayi meninggal akibat mengalami SIDS (Sudden Infant Death Syndrome) dibandingkan dengan bayi yang tidak terpapar asap rokok.

5. Meningkatkan risiko bayi terkena bronkitis, pneumonia, infeksi telinga dan memperlambat pertumbuhan paru-paru.

Secara ekonomis, rokok juga berdampak terhadap status kesehatan masyarakat karena dapat menjadi pemicu terjadinya gizi rendah dalam rumah tangga. Penggunaan uang untuk rokok mengurangi kepedulian terhadap kecukupan nutrisi ibu dan anak dan pemeliharaan kesehatannya (Prabaningrum, 2008). Berdasarkan kajian Dinas Kesehatan Provinsi DIY disebutkan bahwa rata-rata pengeluaran keluarga di Provinsi DIY per bulan mencapai Rp. 894.672. Pengeluaran terbesar adalah pengeluaran konsumsi (47%). Pengeluaran kesehatan berada jauh di bawah pengeluaran konsumsi. Pengeluaran rokok berada jauh diatas pengeluaran kesehatan. Pengeluaran rokok rata-rata rumah tangga per bulan hampir mencapai 4 kali lipat pengeluaran kesehatan. Pengeluaran rokok menempati urutan kedua terbesar pengeluaran rumah tangga.

Tabel 2.1 Jenis Pengeluaran Rumah Tangga

Jenis Pengeluaran Rata-rata/bulan dalam Rupiah

Air 11.823 Komunikasi 28.208 Kesehatan 30.482 Listrik 44.395 Sosial 61.200 Transport 68.274 Pendidikan 91.845 Konsumsi 374.138 Rokok 111.015 Total Pengeluaran 894.672

(17)

Hasil penelitian menemukan bahwa rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap dalam satu hari per keluarga (perokok) mencapai 5-6 batang. Dengan menggunakan asumsi harga rokok per batang mencapai Rp.750 maka pengeluaran rata-rata untuk rokok mencapai Rp. 111.015. Sementara untuk pengeluaran kesehatan Rp. 30.482. Rendahnya pengeluaran untuk kesehatan dibandingkan dengan biaya pengeluaran untuk membeli rokok ini pada akhirnya akan berdampak buruk juga pada perkembangan kesehatan keluarga. Apalagi saat istri mengandung, membutuhkan nutrisi yang cukup serta lingkungan yang lebih sehat tanpa asap rokok.

2.3 Konsep Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku a. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil pengindraan terhadap suatu obyek yang dipengaruhi oleh intensitas perhatian persepsi terhadap obyek tersebut. (Soekidjo, 2003). Pengetahuanlah yang akan memberikan pengaruh terhadap sikap atau perilaku seseorang. Berdasarkan pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Hal inilah yang menyebabkan tiap orang memiliki intensitas pengetahuan yang berbeda-beda yang dapat dikelompokkan menjadi enam tingkatan (Notoadmojo, 2003). Tingkat pengetahuan yang paling rendah adalah ‘tahu’ yang didapatkan berdasarkan proses mengingat suatu materi yang dipelajari sebelumnya yang kemudian akan masuk dalam tingkatan memahami (comprehention) ketika ia sudah dapat menginterpretasikan suatu obyek dengan benar. Tingkatan berikutnya adalah mulai muncul kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi yang sebenarnya (application) sehingga kemudian mampu untuk menganalisis suatu obyek (analysis) atau materi kedalam komponen-komponen yang

(18)

masih berkaitan satu sama lain. Ketika sudah mampu untuk menyatakan, maka tingkatan pengetahuan selanjutnya adalah menghubungkan bagian-bagian untuk menyusun suatu formulasi baru (syntesis). Tahapan paling tinggi dalam suatu proses pengetahuan adalah melakukan evaluasi dengan memberikan penilaian terhadap suatu obyek atau materi dengan menggunakan kriteria sendiri atau yang telah ada. (Notoadmojo, 2003).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang dapat disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari pendidikan, pekerjaan, dan umur. Menurut YB Mantra yang dikutip Notoadmojo (2003), pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk bersikap. Sedangkan untuk faktor eksternal dipengaruhi oleh lingkungan dan sosial budaya yang berpengaruh terhadap sikap dalam menerima informasi dan pengetahuan (Wawan, 2010).

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan suami dan istri terhadap kebiasaan merokok dan kampanye bebas asap rokok di dusun Kweden, Bantul Yogyakarta mengemukakan bahwa pengetahuan suami dan istri terhadap kebiasaan merokok dan kampanye bebas asap rokok cukup bagus sekitar 54,7 persen dari 216 responden menyatakan bahwa menjadi perokok pasif dapat menyebabkan penyakit yang serius (Sariningtyas, 2010).

b. Sikap

Dengan pengetahuan yang dimiliki maka seseorang akan dapat menentukan sikap mereka. Melalui sikap, maka akan dapat dipahami proses kesadaran yang menentukan tindakan nyata dan yang tindakan yang mungkin dilakukan individu

(19)

dalam kehidupan sosialnya. Menurut pandangan Bem dalam Self Perception Theory

orang bersikap positif atau negatif terhadap sesuatu obyek sikap dibentuk melalui pengamatan pada perilaku dirinya sendiri. Campbel mengemukakan bahwa sikap adalah “A syndrom of response consistency with regard to social objects”. Sikap adalah sekumpulan respon yang konsisten terhadap objek sosial. Penekanan konsistensi respon ini memberikan muatan emosional pada definisi yang dikemukakan Campbel tersebut. Sikap tidak hanya kecenderungan merespon yang diperoleh dari pengalaman tetapi sikap tersebut harus konsisten (Wawan, 2010).

Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk berespons (secara positif atau negatif) terhadap orang obyek atau situasi tertentu. Sikap mengandung suatu penilaian emosional /afektif (senang benci, sedih, dsb), disamping komponen kognitif (pengetahuan tentang objek itu) serta aspek konatif (kecenderungan bertindak), sedangkan pengetahuan lebih bersifat positif atau negatif, sikap memiliki tingkat kedalaman yang berbeda–beda. (sangat benci, agak benci, dsb). Sikap itu tidaklah sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang, sebab seringkali seseorang cenderung memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut, melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosial. (Sarwono, 2007)

Menurut data dari hasil kajian Dinas Kesehatan Provinsi DIY mengenai gambaran perilaku merokok rumah tangga, hampir seluruh responden menyatakan sikap tidak setuju jika ada perokok yang melakukan aktifitasnya di dekat ibu hamil atau anak-anak. Sikap tersebut tidak hanya terjadi pada kelompok keluarga yang bebas asap rokok tetapi juga pada keluarga yang tidak bebas asap rokok. Gambaran tersebut dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini.

(20)

Tabel 2.2 Sikap terhadap Perokok Dalam Situasi Tertentu KK Rumah Tangga

Total Perokok Non Perokok

Di sekitar anak2 Setuju 3,1% 1,4% 2,3%

Tidak 96,9% 98,6% 97,7%

Di sekitar Bumil Setuju 3,3% 1,4% 2,4%

Tidak 96,7% 98,6% 97,6%

Pertemuan Setuju 44,2% 18,3% 32,7%

Tidak 55,8% 81,7% 67,3%

Sumber : Dinkes Prov. DIY, 2009

Dari data pada tabel di atas, terdapat hasil yang berbeda dari sikap responden pada pertemuan, forum, rapat atau sejenisnya. Terdapat perbedaan mencolok antara kelompok keluarga yang bebas asap rokok dengan yang tidak bebas. Keluarga bebas asap rokok, sebagian besar (81,7%) menentang merokok saat pertemuan, sementara untuk keluarga tidak bebas asap rokok 55,8% diantaranya menentang.

c. Perilaku

Menurut Skinner (1938), seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa prilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Kedua respon tersebut adalah respondent respons yang ditimbulkan oleh rangsanagan dengan respon yang relatif tetap, serta operant respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan yang lain (reinforcing stimuli) untuk memperkuat respon. (Notoamodjo, 2010)

Teori WHO yang dirumuskan oleh tim kerja pendidikan kesehatan dari WHO membuat suatu determinan perilaku dengan sangat sederhana. Mereka mengatakan bahwa alasan pokok seseorang berperilaku karena didasari oleh (Notoatmodjo, 2010):

(21)

1. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling)

Hasil pemikiran dan perasaan seseorang atau lebih tepat diartikan pertimbangan pribadi terhadap objek yang menjadi modal awal untuk bertindak atau berperilaku.

2. Referensi pribadi (Personal References)

Di dalam sebuah lingkungan masyarakat dengan unsur paternalistik yang kuat, maka perubahan perilaku masyarakat tergantung pada arahan dari pemuka adat atau tokoh masyarakat di daerah tersebut.

3. Sumber daya (resources)

Tersedianya sumber daya, maka akan menyebabkan seseorang untuk dapat berperilaku dengan lebih sehat atau lebih baik. Sumber daya ini akan mendukung terjadinya perilaku.

4. Sosio budaya (culture)

Faktor sosio budaya sangat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku masyarakat. Di Indonesia, masing-masing wilayah memiliki budaya yang berbeda-beda dan mencirikan daerahnya masing-masing.

Menurut G.M Foster aspek budaya dapat mempengaruhi kesehatan seseorang antara lain adalah : 1) tradisi, 2) sikap fatalism, 3) nilai, 4) ethnocentrism 5) unsur budaya yang dipelajari pada tingkat awal dari proses sosialiasi terhadap perilaku kesehatan. (Notoatmodjo, 2010)

Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui perilaku merokok di masyarakat yang saat ini sudah mulai difokuskan pada remaja. Sebenarnya perilaku merokok telah banyak dilakukan pada zaman Tiongkok Kuno dan Romawi dengan menggunakan suatu ramuan yang mengeluarkan asap dan menimbulkan

(22)

kenikmatan dengan jalan dihisap melalui hidung dan mulut (Danusantoso, 1991). Namun seiring dengan perkembangan di dunia kesehatan, perilaku merokok kini telah menjadi salah satu kebiasaan padahal telah terbukti tidak sehat. Dalam hal ini nilai sangat berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. Misalnya saja, masih banyak petugas kesehatan yang merokok meskipun emreka tahu bahaya rokok terhadap kesehatan. Mereka memberi nilai tinggi untuk perilaku merokok karena rokok memberikan kenikmatan, sedangkan bahaya rokok tidak dapat segera dirasakan. (Notoatmodjo, 2010)

Perilaku merokok ini pun tak hanya merugikan diri sendiri, namun membawa dampak buruk bagi orang lain ketika dilakukan di tempat publik atau di dalam rumah. Data Susenas pada tahun 2004 menunjukkan sebanyak 64% perokok di Indonesia merokok di dalam rumah tempat mereka tinggal bersama dengan anggota keluarga lainnya. Sementara data yang dikeluarkan dalam “Tobacco Atlas” menunjukkan sebanyak 66,8% remaja Indonesia terpapar asap rokok di rumah. Angka ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan remaja Malaysia dan Thailand yang terpapar asap rokok di rumah, masing-masing yaitu 59% dan 47,8%. (Prabandari, et.all 2009)

2.4 Teori Perubahan Perilaku ‘Health Belief Model’

Teori Health Belief Model oleh Rosenstock (1982) mengungkapkan bahwa perilaku individu ditentukan oleh motif dan kepercayaan tanpa mempedulikan apakah motif dan kepercayaan itu sesuai atau tidak dengan realitas atau pandangan orang lain tentang apa yang baik untuk individu tersebut. Rosenstock mengungkapkan dua kebutuhan kesehatan yaitu kebutuhan kesehatan objektif dan kebutuhan subyektif. Kebutuhan obyektif diidentifikasi oleh petugas kesehatan

(23)

berdasarkan penilaiannya secara professional misalnya melalui gejala yang tampak dan dapat membahayakan. Sedangkan kebutuhan subyektif memberikan individu untuk memilih apakah dirinya mengandung penyakit atau tidak sesuai dengan perasaan dan penilaiannya sendiri. Pendapat/kepercayaan ini dapat sesuai dengan realitas tapi juga bisa berbeda dengan kenyataan yang bisa dilihat oleh orang lain. Ia menegaskan bahwa pendapat subyektif inilah yang menjadi kunci dalam suatu tindakan kesehatan. Karena individu akan melakukan suatu tindakan untuk menyembuhkan penyakitnya jika benar-benar merasa terancam oleh penyakit tersebut. Jika tidak maka dia tidak akan melakukan tindakan apa-apa.

Model kepercayaan ini mencakup lima unsur yaitu persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit (perceived susceptibility) dalam hal ini mereka yang merasa lebih cepat terkena penyakit akan merasa lebih terancam. Selanjutnya adalah pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut (perceived seriousness) yaitu kesulitan apa saja yang akan dialami dari penyakit tersebut. Semakin berat suatu risiko penyakit maka makin besar kemungkinan individu untuk terkena penyakit maka makin dirasakan ancamannya (perceived threats). Ancaman inilah yang akan mendorong individu untuk melakukan tindakan pencegahan atau penyembuhan penyakit.

Namun ada kalanya, ketika rasa takut yang dialami seseorang dalam porsi yang berlebihan malah akan membuatnya tak berdaya dan tak melakukan tindakan apapun. Untuk itu diperlukan alternatif tindakan oleh petugas kesehatan. Namun, individu tetap memiliki hak untuk mengikuti atau tidak mengikuti alternatif tindakan tersebut. Ini menunjukan perceived benefits and barriers dari tindakan yang dianjurkan untuk menerima atau menolak alternatif yang ditawarkan oleh petugas

(24)

kesehatan. Dalam hal ini diperlukan faktor pencetus (cues to action) yang dapat berupa gejala penyakit atau nasihat dari luar.

Gambaran skematis dari model Rosenstock dapat dilihat dalam bagan berikut :

Sumber : Rosenstock, dalam Sarwono 2007 Gambar 3.1 Model Rosenstock

Variabel demografis; sosio-psiko Besarnya ancaman penyakit Faktor pencetus tindakan Dilakukannya tindakan yang dianjurkan Persepsi tentang kemungkinan kena penyakit Persepsi tentang berat/serius nya penyakit

Besarnya manfaat dikurangi besarnya kerugian tindakan

Gambar

Gambar  2.1  diagram  alur  mekanisme  efek  paparan  asap  rokok  terhadap  risiko  terjadinya kelahiran BBLR
Tabel 2.1 Jenis Pengeluaran Rumah Tangga
Tabel 2.2 Sikap terhadap Perokok Dalam Situasi Tertentu   KK Rumah Tangga

Referensi

Dokumen terkait

Std. Test distribution is Normal. Calculated from data. Dependent Variable: Unstandardized Residual.. Dependent Variable: LN_HargaSaham.. Pengaruh Nilai Tukar Rupiah Terhadap

Berdasarkan penelitian identifikasi yang dilaksanakan sebelumnya maka dapat diuraikan sebagai berikut Tipe ini merupakan candi dengan landasan berupa kaki candi

Dari beberapa teori dapat disimpulkan bahwa kemampuan matematika awal adalah kepekaan terhadap cara berpikir ilmiah dan membangun konsep yang ditunjukkan dengan

Adapun tujuan utama dari penelitian ini yaitu: (1) mengidentifikasi karakteristik keluarga, dukungan sosial serta fungsi AGIL pada keluarga nelayan juragan dan

Jika matahari tinggi maka radiasi yang jatuh hampir tegak lurus pada permukaan bumi, sedangkan jika matahari rendah ma- ka radiasi akan disebarkan dalam area yang luas sehingga

membentuk lapisan &gt;e(/2 atau hidrksida yang terus menerus bertambah seiring dengan  berjalannya waktu. Piringan pisau menggunakan bahan dasar durall . Bahan dasar durall 

Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari tahu apakah tepung tapioka dapat digunakan sebagai bahan pengganti tepung terigu, serta mencari tahu tingkat kesukaan

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi efek hipoglikemik kecambah beras merah pada tikus diabetes yang diinduksi STZ-NA terhadap kadar glukosa darah, insulin, serta indeks