• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

48

4 TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN

4.1 Pendapatan dan Konsumsi Rumah Tangga

Pendapatan dan konsumsi rumah tangga merupakan indikator kesejahteraan penting yang dikeluarkan oleh BPS (1991) dalam mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat termasuk nelayan. Indikator ini sangat relevan untuk penelitian sosial kemasyarakatan karena aspek analisisnya sesuai dengan kondisi sosial yang ada dan dijalani oleh masyarakat nelayan. Dalam kaitan dengan pendapatan dan konsumsi, indikator ini mencakup hal-hal yang terkait dengan kemampuan nelayan untuk mendapatkan uang dan membelanjakan kembali menjadi barang konsumsi untuk rumah tangganya.

4.1.1 Pendapatan Rumah Tangga Nelayan

Tingkat pendapatan rumah tangga nelayan diukur dari jumlah pendapatan yang didapat oleh rumah tangga nelayan (RTN) dari kegiatan perikanan yang dilakukannya baik langsung maupun tidak langsung. Tabel 12 menyajikan kondisi pendapatan rumah tangga nelayan (RTN) di kawasan Selat Bali.

Tabel 12 Hasil analisis indikator pendapatan Rumah Tangga Nelayan (RTN)

Uraian Jumlah (RTN) Bobot Total Skor

Pendapatan RTN

a. > Rp 2500000 15 3 45

b. > Rp 750000 - Rp 2500000 29 2 58

c. < Rp 750000 16 1 16

Skor indikator 1.98

Sumber : Hasil analisis data lapangan (2010)

Berdasarkan Tabel 12, pendapatan nelayan di kawasan Selat Bali termasuk cukup baik, yaitu dengan skor indikator 1,98 pada skala 1-3. Hal ini karena 15 dari 60 RTN yang menjadi responden mempunyai pendapatan tinggi > Rp 2,500,000,- per bulan dan 29 RTN mempunyai pendapatan sedang antara < Rp 750,000,- – Rp 2,500,000,- per bulan. Menurut Liana et. al (2001) pendapatan yang baik/layak akan meningkatkan eksistensi masyarakat nelayan (community) di kawasan perikanan. Hal ini karena nelayan akan betah tinggal di kawasan dan lebih giat beraktivitas dalam pengembangan ekonomi kawasan. Namun bila tiga kabupaten di

(2)

49

kawasan diperbandingkan, maka pendapatan nelayan di Kabupaten Banyuwangi relatif lebih baik daripada pendapatan nelayan di Kabupaten Jembrana dan Buleleng (Gambar 4).

Gambar 4 Pendapatan rumah tangga nelayan di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)

Pendapatan nelayan yang relatif tinggi di Kabupaten Banyuwangi disebabkan oleh lebih intensifnya kegiatan penangkapan ikan dilakukan oleh nelayan di lokasi, sementara harga jual juga relatif stabil, sehingga hasil tangkapannya selalu dapat dijual dalam bentuk segar dengan harga yang lumayan. Di Kabupaten Jembrana kadang harga jual kurang bagus sehingga beberapa hasil tangkapan nelayan yang tidak terjual diolah menjadi tepung ikan. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Buleleng karena tempat tinggal nelayan yang relatif jauh dengan pusat kota. Menurut Hendriwan et al. (2008) optimasi kegiatan penangkapan yang diimbangi dengan harga jual yang baik akan menyebabkan kegiatan ekonomi perikanan semakin berkembang di kawasan. Namun demikian, karena hasil tangkapan nelayan cukup memuaskan setiap kali melaut, maka secara umum pendapatan yang didapatnya cukup lumayan. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buleleng (2009) kegiatan pelelangan ikan di Kabupaten Buleleng terus diaktifkan dan berbagai sarana pendukungnya terus dibangun, sehingga praktek monopoli harga dapat dikurangi.

8 9 3 6 8 6 1 12 7 0 2 4 6 8 10 12 14 a. > Rp 2500000 b. > Rp 750000 - Rp 2500000 c. < Rp 750000 Pendapatan Jumlah RTN

(3)

50

4.1.2 Konsumsi Rumah Tangga Nelayan

Konsumsi rumah tangga nelayan merupakan jumlah bahan makanan pokok yang dapat dibeli dan dikonsumsi oleh rumah tangga nelayan dalam menjalankan kehidupannya. Oleh karena makanan pokok nelayan di Selat Bali berupa beras, maka konsumsi rumah tangga ini diukur dari tingkat konsumsi beras yang dilakukan setiap tahunnya oleh nelayan tersebut. Pemilihan ukuran beras ini mengacu kepada Sayogyo (1977) tentang pengukuran kesejahteraan masyarakat dari pemenuhan bahan pokok bagi rumah tangganya, dimana beras juga merupakan bahan pokok bagi rumah tangga nelayan di kawasan Selat Bali. Hasil analisis skoring menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga nelayan di kawasan Selat Bali mempunyai skor indikator 3,33 pada skala 1-4. Skor yang cukup tinggi didukung oleh keadaan dominan nelayan di lokasi yang dapat mengkonsumsi beras > 480 kg per tahun (28 dari 60 RTN responden). Rumah tangga nelayan yang mengkonsumsi beras 270 – 379 kg per tahun hanya 8 RTN, sedangkan yang mengkonsumsi beras < 270 kg per tahun tidak ada (Tabel 13).

Tabel 13 Hasil analisis indikator konsumsi rumah tangga (diukur dengan konsumsi beras per tahun)

Uraian Jumlah (RTN) Bobot Total Skor

Konsumsi rumah tangga

a. >480 kg 28 4 112

b. 380-480 kg 24 3 72

c. 270 – 379 kg 8 2 16

d. <270 kg 0 1 0

Skor indikator 3.33

Sumber : Hasil analisis data lapangan (2010)

Kabupaten Banyuwangi dan Jembrana merupakan kabupaten yang banyak rumah tangga nelayannya mengkonsumsi beras > 480kg per tahun, yaitu masing-masing 12 RTN dan 11 RTN dari 60 RTN responden (Gambar 5). Konsumsi beras RTN yang tinggi mengindikasikan bahwa nelayan di kedua kabupaten umumnya bertarap hidup layak (tidak miskin). Hal ini bisa jadi karena pendapatan yang diperoleh setiap kali melaut cukup baik (terutama di Kabupaten Banyuwangi), sehingga rumah tangga nelayan mempunyai daya beli yang cukup tinggi terhadap bahan pokok konsumsi. Jusuf (2005) menyatakan bahwa peningkatan pendapatan merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pemberdayaan ekonomi nelayan. Hal ini penting supaya daya beli nelayan meningkat dan nelayan lebih terpacu untuk

(4)

51

berkontribusi dalam pembangunan nasional.

Sedangkan di Kabupaten Buleleng, dominan nelayan mempunyai tingkat komsumsi beras 380 – 480 kg per tahun. Hal ini terjadi karena nelayan di lokasi ini umumnya nelayan skala kecil yang kegiatan penangkapannya sangat bergantung kepada musim (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buleleng, 2009). Hasil tangkapan yang kadang tidak menentu menyebabkan pendapatan dan daya beli terhadap bahan konsumsi bisa terganggu. Terhadap konsumsi ini, beberapa nelayan di lokasi juga ada yang menjalankan usaha sampingan sebagai petani kebun, sehingga kebutuhan pokok dapat dipenuhi dari hasil kebun (singkong, pisang dan kelapa).

12 5 3 0 11 6 3 0 5 13 2 0 0 2 4 6 8 10 12 14 a. >480 kg b. 380-480 kg c. 270 – 379 kg d. <270 kg Konsumsi Beras J u m la h R T N

Banyuwangi Jembrana Buleleng

Gambar 5 Konsumsi rumah tangga nelayan di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)

Secara umum, konsumsi nelayan di ketiga kabupaten tersebut termasuk cukup baik. Meskipun ada beberapa yang tidak bisa memenuhi konsumsi beras secara ideal, tetapi tidak ada nelayan di ketiga kabupaten Wilayah selat Bali yang tergolong paling miskin. Kondisi ini tentu relatif baik, dan program pemerintah terutama terkait dengan pemberdayaan ekonomi tinggal diarahkan pada kelompok kecil dari nelayan yang ada di kawasan, yaitu 13 % nelayan dengan konsumsi RTN 270 – 379 kg per tahun. Jusuf (2005) menambahkan bahwa nelayan kecil harus menjadi prioritas dalam pemberdayaan ekonomi pesisir, selain untuk menghindari kesenjangan diantara nelayan juga untuk mempercepat pembangunan pesisir yang masyarakatnya kebanyakan dari nelayan kecil.

(5)

52

4.2 Keadaan Tempat Tinggal

4.2.1 Keadaan Rumah

Tempat tinggal atau secara spesifik rumah juga merupakan indikator penting dalam menilai kesejahteraan nelayan. Hal ini karena rumah telah menjadi kebutuhan setiap orang termasuk nelayan sebagai bagian kehidupan normal dan sejahtera. Menurut Sayogyo (1977) kedaaan rumah dapat memberi indikasi apakah seseorang dapat menghidupI keluarganya secara wajar atau tidak dalam suatu masyarakat. Keadaan rumah ini dapat dinilai dari subindikator keadaan atap rumah, keadaan bilik, status kepemilikan rumah, kondisi lantai rumah tempat tinggal, dan luas lantai rumah tempat tinggal. Tabel 14 menyajikan hasil analisis indikator keadaan rumah yang di miliki nelayan di kawasan Selat Bali.

Tabel 14 Hasil analisis indikator keadaan rumah

No. Uraian Skor Subindikator

1 Keadaan atap rumah 3.82

2 Keadaan bilik 3.48

3 Status kepemilikan 1.97

4 Lantai rumah tempat tinggal 2.27

5 Luas lantai rumah tempat tinggal 1.37

Total (Ada dalam range II : 10-14) 12.90

Skor indikator 2.00

Sumber : Hasil analisis data lapangan (2010)

Berdasarkan Tabel 14, skor keadaan rumah nelayan di kawasan Selat Bali sekitar 2.00. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan rumah nelayan termasuk semi permanen. Rumah nelayan di kawasan Selat Bali, umumnya mempunyai atap bagus (skor subindikator = 3.82) dan bilik yang permanen (skor subindikator = 3.48). Sebagian besar nelayan mempunyai atap rumah yang terbuat dari genteng terutama rumah nelayan di Kabupaten Banyuwangi (Gambar 6). Hal ini karena bahan atap dari genteng relatif mudah dapat diperoleh karena dekat dengan tempat pembuatannya. Di samping itu, harganya juga terjangkau bagi nelayan di Kabupaten Banyuwangi.

(6)

53

10 2 7 1 0 6 4 9 0 1 7 4 7 0 2 0 2 4 6 8 10 12 a. genteng b. asbes c. seng d. sirap e. daun K ead aan A tap R u m ah Jumlah RTN

Banyuwangi Jembrana Buleleng

Gambar 6 Kedaaan atap rumah nelayan di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)

Penggunaaan seng sebagai atap rumah banyak digunakan oleh nelayan di Kabupaten Jembrana. Hal ini disamping karena harga genteng relatif lebih mahal, juga penggunaan seng sudah menjadi kebiasaan beberapa nelayan di lokasi. Di Kabupaten Buleleng penggunaan genteng dan seng sebagai atap rumah berimbang (masing-masing 7 RTN). Hal ini karena lokasi tempat tinggal nelayan cukup dekat dengan lokasi pembuatan genteng, harga jualnya relatif murah, dan beberapa nelayan juga dapat membuatnya sendiri. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buleleng (2009) sejak dulu nelayan dan masyarakat pesisir di Kabupaten Buleleng umumnya menyiapkan secara mandiri berbagai perlengkapan rumah tangganya karena lokasinya yang cukup jauh dari pusat kota.

Sebagian besar nelayan mempunyai bilik dari tembok atau setengah tembok (Gambar 7). Untuk nelayan di Kabupaten Banyuwangi dan Jembrana, umumnya mempunyai bilik setengah tembok (masing-masing 8 RTN). Hal ini karena nelayan di kedua lokasi ini lebih mengutamakan rumah yang layak, kemudian bila punya uang lebih, baru membuat bilik secara bertahap. Menurut Mantjoro (1997) masyarakat pesisir umumnya membangun rumah secara bertahap, dimana pada musim puncak nelayan biasanya menabung, dan pada musim paceklik bila kegiatan melaut kurang, nelayan melanjutkan kembali pembangunan rumahnya secara mandiri.

(7)

54

Gambar 7 Kedaaan bilik rumah nelayan di kawasan Selat Bali (Responden = 60

RTN)

Nelayan Selat Bali di Kabupaten Buleleng umumnya mempunyai bilik rumah yang terbuat dari kayu (6 dari 60 RTN responden). Hal ini karena nelayan umumnya menyukai rumah tanpa bilik, sehingga bila harus membuat bilik maka cukup dari kayu atau bambu. Di samping itu, nelayan Selat Bali di Kabupaten Buleleng ini termasuk nelayan kecil yang bekerja sendiri-sendiri dengan penghasilan yang tidak begitu besar (Gambar 4).

Meskipun atap dan bilik rumah termasuk baik, tetapi dari status kepemilikan umumnya bukan rumah milik sendiri (numpang atau sewa/kontrak). Hal ini menjadi salah satu penyebab keadaan rumah nelayan di kawasan Selat Bali dianggap semi permanen (skor = 2). Data Gambar 8 memperlihatkan hanya 41.67 % dari nelayan Selat Bali yang benar-benar rumah yang ditinggalinya merupakan milik sendiri. Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar ABK nelayan merupakan anak muda yang masih berstatus numpang pada saudara atau teman. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi (2008) nelayan ABK umumnya merupakan pendatang dari Madura, Tuban, dan Tegal, dan para nelayan ini menumpang pada rumah teman atau rumah yang disediakan oleh juragan pemilik kapal. Bagi yang sudah berkeluarga, misalnya lebih memilih menyewa/ kontrak rumah. Para nelayan dipekerjakan oleh pemilik kapal, karena umumnya pekerja keras, berani terhadap tantangan, dan lebih terampil dalam melakukan penangkapan ikan.

6 8 4 0 2 4 8 4 1 3 5 4 6 0 5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 a. tembok b.setengah tembok c. kayu d. bambu kayu e. bambu Keadaan Bilik Jumlah RTN

(8)

55

41.67%

13.33% 45.00%

a. milik sendiri b. sewa/kontrak c. numpang

Gambar 8 Status kepemilikan rumah tinggal nelayan di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)

Luas lantai rumah tempat tinggal mempunyai skor subindikator cukup rendah (1.37 pada skala 1-3). Hal ini karena rumah tempat tinggal nelayan terutama ABK umumnya berukuran kecil (66.67 %) dan nelayan lebih menyukai kebersamaan baik dalam melakukan penangkapan maupun urusan tempat tinggal setelah pulang melaut. Beberapa diantaranya memang ada yang mempunyai rumah dengan luas lantai berkisar 50 – 100 m2

Terlepas dari hal tersebut di atas, keadaan rumah tempat tinggal nelayan di kawasan Selat Bali termasuk cukup baik dan dapat dikatakan lebih baik dari rumah kebanyakan nelayan di negeri ini. Meskipun cukup banyak yang kecil, namun rumah tersebut umumnya tidak kumuh dan layak sebagai tempat tinggal nelayan dan keluarganya. Menurut Pomeroy (1998) tempat tinggal yang layak akan memberi kenyamanan bagi keluarga dan masyarakat nelayan dalam menjalani kehidupannya di suatu kawasan pesisir.

atau lebih, namun nelayan umumnya dari penduduk asli yang lahir dan besar di lokasi.

4.2.2 Keadaan Fasilitas Pendukung Tempat Tinggal

Fasilitas pendukung yang ada di rumah tempat tinggal sangat menentukan kenyamanan hidup bagi penghuninya. Bila fasilitas yang dibutuhkan tidak memadai, maka penghuni rumah cenderung tidak kerasan berada di rumah tempat tinggalnya. Menurut Pomeroy (1998) tempat tinggal yang tidak nyaman cenderung membuat kehidupan rumah tangga nelayan tidak harmonis, dan bila ini terjadi

(9)

56

umumnya nelayan tidak dapat menyelesaikannya. Dalam kaitan ini, maka keberadaan fasilitas tersebut menjadi ukuran penting dalam menilai kesejahteraan hidup bagi keluarga yang menghuninya termasuk dari keluarga nelayan.

Menurut BPS (1991) fasilitas pendukung tempat tinggal yang menjadi subindikator dalam menilai kesejahteraan suatu masyarakat dapat mencakup luas pekarangan rumah, hiburan utama yang ada di rumah, pendingin, penerangan, bahan bakar, sumber air, dan MCK. Hasil analisis indikator fasilitas pendukung tempat tinggal tersebut di kawasan Selat Bali disajikan di Tabel 15.

Tabel 15 Hasil analisis indikator fasilitas pendukung tempat tinggal

No. Uraian Skor Subindikator

1 Luas pekarangan 1.22 2 Hiburan utama 1.60 3 Pendingin 1.58 4 Penerangan 2.72 5 Bahan bakar 2.63 6 Sumber air 4.87 7 MCK 1.58

Total (Ada dalam range II : 14-20) 16.20

Skor Indikator 2

Sumber : Hasil analisis data lapangan (2010)

Fasilitas pendukung tempat tinggal nelayan di Kawasan Selat Bali mempunyai skor indikator 2.00, yang berarti termasuk kategori cukup (tabel 15). Bila melihat satu per satu fasilitas yang ada, maka sumber air, penerangan, dan bahan bakar termasuk fasilitas pendukung yang banyak menunjang kehidupan nelayan di kawasan Selat Bali, dengan skor subindikator masing-masing 4.87, 2.72, dan 2.63. Luas pekarangan, hiburan utama, pendingin, dan MCK yang dimiliki nelayan belum optimal dan tidak banyak dirasakan manfaatnya.

Sebagian besar nelayan di kawasan Selat Bali tidak kesulitan dalam penyediaan air bersih. Hal ini karena PDAM telah masuk pada sentra-sentra kegiatan perikanan di sepanjang kawasan pesisir Selat Bali. Untuk Kabupaten Banyuwangi misalnya, 60 % (12 dari 20 RTN) telah memanfaatkan air bersih dari PDAM untuk keperluan sehari-hari keluarganya. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi (2007) Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah memberi prioritas utama terhadap penyediaan air bersih ini, supaya kegiatan perikanan yang ada di kawasan Selat Bali dapat terus berkembang. Hal yang sama

(10)

57

juga terjadi di dua wilayah lainnya, dimana 50 % RTN nelayan di Kabupaten Jembrana dan 45 % RTN nelayan di Kabupaten Buleleng juga memanfaatkan PDAM sebagai penyedia air bersih.

12 4 4 0 0 0 10 2 5 0 0 3 9 5 2 0 0 4 0 2 4 6 8 10 12 14 a. PAM b.Sumur bor c. Sumur d. Mata air e. Hujan f. Sungai S u m b e r A ir Jumlah RTN

Banyuwangi Jembrana Buleleng

Gambar 9 Sumber air bersih nelayan di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)

Sumur bor (pompa) dan sumur timbah tidak banyak dimanfaatkan oleh nelayan untuk penyediaan air bersih bagi rumah tangganya. Sumur bor biasanya digunakan oleh nelayan yang tinggal terpisah dari komunitas masyarakat dan tidak ada fasilitas PDAM ke lokasi tempat tinggalnya. Sungai masih dimanfaatkan oleh nelayan di Kabupaten Jembrana dan Buleleng, karena kondisi airnya yang relatif bagus dan mengalir sepanjang tahun. Namun penggunaan air sungai ini hanya oleh sebagian kecil nelayan yang kebetulan tinggal di dekat sungai atau saluran terasering yang terdapat di kedua kabupaten tersebut. Menurut Dinas PU Propinsi Bali (2010) sungai dan saluran irigasi terasering selalu dijaga di Propinsi Bali karena mempunyai peran sangat besar bagi kehidupan masyarakat dan kesuburan alam sekitar, dan hal ini merupakan warisan yang tak ternilai harganya.

(11)

58

Gambar 10 Bahan bakar dan penerangan nelayan di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)

Bahan bakar dan penerangan rumah tangga nelayan mempunyai skor subindikator cukup tinggi masing-masing 2.63 dan 2.72. Bahan bakar rumah tangga nelayan di kawasan Selat Bali umumnya dari gas (Gambar 10). Penggunaan gas ini lebih disebabkan oleh program pemerintah untuk mengurangi beban subsidi bahan bakar termasuk minyak tanah, yaitu dengan konversinya kepada penggunaan gas. Penggunaan gas ini termasuk modern pada sebagain besar masyarakat, apalagi bisa dimiliki oleh rumah tangga nelayan. Penggunaan minyak tanah (12.33 %) dan kayu (11.67 %) masih digunakan pada beberapa keluarga nelayan kecil yang belum sanggup membeli kompor dan tabung. Minyak tanah tersebut digunakan dalam jumlah sedikit, yaitu hanya sebagai pemicu timbulnya nyala api pada saat memasak menggunakan kayu bakar. Penggunanan kayu sebagai bahan bakar banyak digunakan oleh nelayan Selat Bali di Kabupaten Banyuwangi dibandingkan di Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Buleleng. Kayu bakar tersebut umumnya diperoleh oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi banyak dari kayu bekas palet, kotak kayu, dan potongan kayu limbah industri yang banyak terdapat di lokasi.

Luas pekarangan, pendingin, dan MCK mempunyai skor subindikator yang rendah, yaitu masing-masing 1.22, 1.58, dan 1.58. Rendahnya skor subindikator ketiga fasilitas ini menjadi penyebab dominan fasilitas pendukung tempat tinggal nelayan di kawasan Selat Bali hanya berkategori cukup, meskipun untuk sumber air, bahan bakar, dan penerangan mempunyai skor subindikator yang cukup tinggi. Menurut Berkes (1994) kehidupan masyarakat termasuk nelayan akan lebih baik bila semua kebutuhan dasarnya terpenuhi terutama dari jenis sandang dan papan.

Bahan Bakar

75.00% 13.33%

11.67%

a. gas b.minyak tanah c. kayu

Penerangan

76.67% 18.33%

5.00%

(12)

59

.

Gambar 11 Luas pekarangan rumah nelayan di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)

Gambar 11 menunjukkan bahwa nelayan Selat Bali umumnya (81.67 %) mempunyai rumah dengan pekarangan yang kecil (<50 m2). Hal ini karena nelayan di lokasi sudah terbiasa dengan rumah berpekarangan kecil atau bahkan tanpa pekarangan. Untuk nelayan yang tinggal di wilayah kota (misalnya di Kota Banyuwangi) umumnya tidak mempunyai pekarangan sama sekali. Perbaikan alat tangkap dan persiapan melaut biasanya para nelayan melakukan di dalam rumah atau di pinggir pantai tempat perahu bersandar.

Gambar 12 MCK keluarga nelayan di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)

1 4 3 12 0 2 5 13 0 1 10 9 0 2 4 6 8 10 12 14 a. Sendiri b.Umum c. Perairan d. Kebun MCK Jumlah RTN

Banyuwangi Jembrana Buleleng c. <50 m2 ,

81.67%

a. >100m2, 3.33%

b. 50-100 m2, 15.00%

(13)

60

Sebagian besar nelayan di kawasan Selat Bali tidak mempunyai MCK sendiri. Keperluan mandi dan buang air besar nelayan biasanya memanfaatkan MCK umum yang dibuat oleh pemerintah di areal yang kosong, misalnya kebun. Khusus untuk nelayan Selat Bali di Kabupaten Buleleng biasanya mandi, mencuci, dan lainnya di sungai atau parit dari pengairan sawah yang melintasi tempat tinggal nelayan (10 dari 20 RTN responden lokasi). Hal ini sudah menjadi kebiasaan secara turun temurun (Dinas PU Propinsi Bali, 2010).

4.3 Pemenuhan Kesehatan

4.3.1 Kesehatan Anggota Keluarga

Kesehatan anggota keluarga termasuk indikator penting dalam menilai kesejahteraan masyarakat termasuk masyarakat nelayan. Menurut BPS (1991) dan Dutton (1998) kesehatan anggota keluarga merupakan penciri dari kemampuan nelayan untuk memastikan dan menjamin anggota keluarganya dapat terpenuhi kebutuhan kesehatannya baik saat berada di rumah maupun di luar rumah. Hasil analisis indikator kesehatan anggota keluarga ini ditunjukkan pada Tabel 16.

Tabel 16 Hasil analisis indikator kesehatan anggota keluarga

Uraian

Jumlah (RTN) Bobot Total Skor

Kesehatan anggota keluarga

a. Baik (<25% sering sakit)

22

3

66

b. Cukup (25-50% sering sakit)

28

2

56

c. Kurang (>50% sering sakit)

10

1

10

Skor indikator

2.20

Sumber : Hasil analisis data lapangan (2010)

Kesehatan anggota keluarga nelayan di kawasan Selat Bali termasuk cukup baik, yaitu dengan skor indikator 2.22 pada skala 1-3 (tabel 16). Hal ini karena 22 dari 60 RTN yang menjadi responden mempunyai kondisi kesehatan kategori “baik”, yaitu kurang dari 25 % anggota keluarganya yang sering sakit, dan ada 28 dari 60 RTN responden yang mempunyai kondisi kesehatan kategori “cukup baik”. Nelayan Selat Bali di Kabupaten Jembrana mempunyai kesehatan anggota keluarga yang relatif lebih baik daripada di dua kabupaten lainnya (Gambar 13).

(14)

61

8 10 4 11 8 1 5 12 3 0 2 4 6 8 10 12 14 a. Baik (<25% sering sakit) b. Cukup (25-50% sering sakit) c. Kurang (>50% sering sakit) K eseh at an A n g g o ta K el u ar g a Jumlah RTN

Banyuwangi Jembrana Buleleng

Gambar 13 Kesehatan anggota keluarga nelayan di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)

Kesehatan anggota nelayan Selat Bali yang lebih baik di Kabupaten Jembrana lebih didukung oleh intensifnya program Pemerintah Daerah (PEMDA) dalam memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakatnya. Dalam pelaksanaan program ini, disamping pelayanan kesehatan gratis di Puskesmas, aparat PEMDA Kabupaten Jembrana juga aktif memberikan bimbingan dan penyuluhan kesehatan kepada anggota masyarakat melalui program lingkungan bersih, penyemprotan obat nyamuk malaria, kegiatan KB dan penimbangan bayi (PEMDA Kabupaten Jembrana, 2008).

4.3.2 Kemudahan Mendapatkan Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan merupakan penunjang penting terjaminnya kesehatan anggota keluarga nelayan di Kawasan Selat Bali. Bila pelayanan kesehatan ini kurang memadai, maka nelayan tidak bisa berbuat banyak, apalagi untuk mencari alternatif pelayanan lain di luar daerah/kawasan. Hal ini karena secara umum, nelayan termasuk masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah. Terkait dengan ini, maka kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan ini sangat mempengaruhi kesejahteraan hidupnya. Menurut BPS (1991) kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan ini dapat dinilai dari subindikator jarak rumah sakit terdekat, jarak ke poliklinik dari tempat tinggal nelayan, biaya berobat, penanganan dalam berobat, alat kontrasepsi, konsultasi KB, dan harga obat. Hasil analisis indikator kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan di kawasan Selat Bali disajikan di Tabel 17.

(15)

62

Tabel 17. Hasil analisis indikator kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan

No.

Uraian

Skor Subindikator

1

Jarak dari rumah sakit terdekat

2.13

2

Jarak ke poliklinik

2.18

3

Biaya berobat

2.08

4

Penanganan berobat

1.92

5

Alat kontrasepsi

1.85

6

Konsultasi KB

1.95

7

Harga obat

1.93

Total (Ada dalam

range

II : 13-17)

14.05

Skor Indikator

2.00

Sumber : Hasil analisis data lapangan (2010)

Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan bagi nelayan di Kawasan Selat Bali termasuk kategori cukup (skor =2.00) (tabel 17). Hal ini karena dari subindikator yang dinilai, tidak ada yang mempunyai skor tinggi, tetapi kebanyakan cukup tinggi, sedang dan rendah. Jarak rumah sakit terdekat, jarak ke poliklinik dari tempat tinggal nelayan, dan biaya berobat merupakan subindikator dengan nilai skor cukup tinggi, yaitu masing-masing 2.13, 2.18, dan 2.08. Sedangkan alat kontrasepsi merupakan subindikator dengan skor paling rendah, yaitu 1.85. Menurut Mantjoro (1997) pemenuhan kesehatan termasuk pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat nelayan, terutama untuk mengendalikan pertumbuhan dan mengurangi tingkat kematian bayi. Pemenuhan kesehatan ini menjadi hal yang mutlak bila tempat tinggal nelayan berjauhan dengan pusat pelayanan kesehatan

Gambar 14 Jarak rumah sakit dan poliklinik dari tempat tinggal nelayan di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)

Jarak dari Rumah Sakit Terdekat

1.67% 23.33% 61.67% 13.33% a. 0 km b. 0-3 km c. >3 km d. tidak ada RS Jarak ke Poliklinik 6.67% 31.67% 35.00% 26.67%

(16)

63

Gambar 14 menunjukkan bahwa jarak rumah sakit dan poliklinik dari tempat tinggal nelayan umumnya cukup jauh. Sekitar 61.67 % nelayan mempunyai tempat tinggal lebih dari 3 km dari rumah sakit, baik di Kabupaten Banyuwangi, Jembrana maupun Buleleng. Untuk poliklinik, hanya 35.00 % nelayan yang mempunyai tempat tinggal lebih dari 3 km dari poliklinik tersebut, dan 31.67 % lainnya kurang dari 3 km. Namun bila ketiga lokasi diperbandingkan, maka jarak poliklinik dari tempat tinggal nelayan di Kabupaten Jembrana umumnya kurang dari 3 km, sedangkan dua kabupaten lainnya umumnya lebih dari 3 km. Namun demikian, di ketiga lokasi, tidak ada tempat tinggal nelayan yang sangat jauh atau tidak ada akses untuk mendapat pelayanan kesehatan dari rumah sakit maupun poliklinik. Kondisi ini cukup mendukung pelayanan kesehatan bagi nelayan Selat Bali di ketiga kabupaten tersebut.

Berkaitan dengan biaya berobat, secara umum nelayan Selat Bali cukup terjangkau dengan biaya berobat yang ada, namun di Kabupaten Jembrana termasuk sangat terjangkau (Gambar 15). Hal ini karena di Kabupaten Jembrana, program pelayanan kesehatan gratis berjalan efektif, sedangkan di kabupaten lainnya kawasan Selat Bali misalnya Kabupaten Banyuwangi hanya untuk pengobatan tertentu saja yang mendapat pelayanan gratis.

5 10 5 12 6 2 3 9 8 0 2 4 6 8 10 12 14 a. terjangkau b. cukup c. kurang terjangkau B iaya B er o b at Jumlah RTN

Banyuwangi Jembrana Buleleng

Gambar 15 Biaya berobat bagi nelayan di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)

Ditinjau dari kemudahan keluarga nelayan memperoleh alat kontrasepsi, hanya sebagian kecil nelayan 13.33 % atau 8 orang yang menyatakan bahwa alat

(17)

64

kontrasepsi tersebut mudah didapat seperti tertera pada Gambar 16. Setelah diidentifikasi, hal ini bukan karena alat tersebut tidak tersedia di lokasi, tetapi kebanyakan nelayan enggan dan malu untuk membelinya. Namun bila mau dicari, sebagian besar nelayan menyatakan bahwa alat kontrasepsi cukup mudah didapat, tinggal dibeli di apotek atau dipesan melalui bidan dan lainnya.

Gambar 16 Kemudahan mendapatkan alat kontrasepsi di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)

Gambar 16 menunjukkan bahwa mayoritas nelayan di ketiga Kabupaten menyatakan bahwa cukup mudah memperoleh alat kontrasepsi, namun nelayan di Kabupaten Buleleng juga banyak yang menyatakan sulit mendapatkan alat kontrasepsi. Hal ini karena kebanyakan nelayan Selat Bali di Kabupaten Beluleng ini tinggal di desa kecil dan cukup jauh dengan dengan pusat keramaian. Kondisi ini menyebabkan cukup banyak dari keluarga nelayan di Kabupaten Buleleng yang sama sekali belum mengenal alat kontrasepsi.

Penanganan dalam berobat juga mempunyai skor subindikator yang rendah di kawasan Selat Bali (1.92). Hal ini karena pengobatan oleh keluarga nelayan umumnya dilakukan di Puskesmas yang selain jumlah pasien umumnya lebih banyak, juga karena beberapa obat yang digunakan termasuk obat generik hasil racikan. Namun demikian, hal ini cukup membantu untuk memudahkan nelayan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan wajar. Menurut PEMDA Kabupaten Jembrana (2008) nelayan tinggal membeli beberapa obat paten yang tersedia di apotek bila ingin mendapat penanganan berobat lebih.

(18)

65

4.4 Pendidikan dan Kesempatan Kerja

4.4.1 Pendidikan Anak

Hasil analisis metode skoring menunjukkan bahwa kemudahan memasukkan anak ke suatu jenjang pendidikan di kawasan Selat Bali mempunyai skor indikator yang tinggi, yaitu 3 (Tabel 18). Hal ini menunjukkan bahwa nelayan termasuk kategori ”mudah” dalam menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang diinginkan. Skor indikator tersebut merupakan kontribusi dari subindikator yang terdiri dari biaya sekolah (skor subindikator 2.6 pada skala 1-3), jarak ke sekolah (skor subindikator 2.73 pada skala 1-3), dan prosedur penerimaan murid (skor subindikator 2.80 pada skala 1-3). Mantjoro (1997), pendidikan anak merupakan pertimbangan penting bagi masyarakat pesisir dalam menjalankan usaha di bidang perikanan dewasa ini. Hal ini karena masyarakat pesisir (termasuk nelayan) sudah semakin mengerti tentang peran penting pendidikan bagi masa depan anaknya. Hasil analisis detail untuk ketiga subindikator yang menjelaskan indikator kemudahan memasukkan anak ke suatu jenjang pendidikan tersebut bagi nelayan di kawasan di Selat Bali disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Hasil analisis indikator kemudahan memasukkan anak ke suatu jenjang pendidikan

No. Uraian Skor Subindikator

1 Biaya sekolah 2.60

2 Jarak ke sekolah 2.73

3 Prosedur penerimaan murid 2.80

Total (Ada dalam range II : 8-9) 8.13

Skor Indikator 3

Sumber : Hasil analisis data lapangan (2010)

Nilai skor subindikator biaya sekolah yang tinggi tersebut terjadi karena 71.67 % dari responden kawasan menyatakan mendapat kemudahan terkait biaya pendidikan bagi anak-anaknya. Hal ini terjadi terutama pada Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Banyuwangi (Gambar 17), karena adanya program pendidikan gratis yang diberikan oleh Pemerintah Daerah. Program pendidikan gratis ini lebih terasa pada Kabupaten Jembrana, dimana pada beberapa lokasi yang dianggap banyak dilalui anak sekolah, Pemerintah Kabupaten Jembrana juga menyediakan fasilitas kendaraan antar-jemput, sehingga biaya transportasi dapat dihemat (PEMDA Kabupaten Jembrana, 2008).

(19)

66

Untuk Kabupaten Buleleng, biaya sekolah juga umumnya dianggap cukup sulit dan sangat sulit (11 dari 20 RTN responden lokasi). Hal ini terjadi karena tempat tinggal nelayan yang banyak di desa dan subsidi pendidikan hanya diberikan secara terbatas oleh Pemerintah Daerah. Beberapa desa nelayan di Kabupaten Buleleng ada yang tidak memiliki fasilitas sekolah, sehingga selain biaya buku-buku, juga perlu menyediakan biaya transportasi untuk anak-anaknya ke sekolah.

15 4 1 19 1 0 9 5 6 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 a. mudah didapat b. cukup c. sulit didapat B iaya S eko lah Jumlah RTN

Banyuwangi Jembrana Buleleng

Gambar 17 Biaya sekolah anak nelayan di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)

Sekitar 75 % dari anak-anak di kawasan Selat Bali menempuh jarak 0 – 3 km untuk sampai ke sekolahnya (Gambar 18). Hal ini umumnya terjadi di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. Di Kabupaten Banyuwangi, nelayan umumnya bertempat tinggal di Muncar, yang mana di lokasi ini nelayan dapat dengan mudah menyekolahkan anaknya terutama untuk tingkat SD dan SMP. Di Kabupaten Jembrana, nelayan banyak tinggal di sekitar PPN Pengambengan. Di lokasi tersebut, juga cukup mudah menemukan sekolah yang dekat untuk anak-anakya. Di Kabupaten Buleleng, nelayan umumnya tinggal menyebar dan kebanyakan di desa terpencil. Hal ini menjadi penyebab cukup banyak anak nelayan harus menempuh perjalanan lebih dari 3 km. Menyebarnya kegiatan nelayan Selat Bali di Kabupaten Buleleng ini lebih disebabkan oleh belum adanya sentra perikanan yang memadai di lokasi, sehingga nelayan melakukan kegiatan perikanan berdasarkan tempat tinggalnya secara turun temurun.

(20)

67

0 17 3 0 0 16 4 0 0 12 7 1 0. 00% 75. 00% 23. 33% 1. 67% 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 a. 0 km b. 0-3 km c. >3 km d. tidak ada sekolah

Banyuwangi Jembrana Buleleng Prosentase

Gambar 18 Jarak ke sekolah di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)

Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buleleng (2009) program jangka panjang Kabupaten Buleleng di bidang pendidikan adalah membangun fasilitas sekolah (minimal SD) pada semua desa termasuk di pesisir dan pedalaman. Hal ini juga untuk mendukung program wajib belajar sembilan tahun. .

Prosedur penerimaan murid termasuk mudah di kawasan Selat Bali (skor subindikator 2.80 pada skala 1-3). Sekitar 81.67 % nelayan di kawasan Selat Bali sangat bersemangat untuk menyekolahkan anaknya karena nelayan cukup datang ke sekolah pada awal tahun ajaran, maka anaknya bisa langsung diterima.

81.67%

16.67% 1.67%

a. mudah b. cukup c. sulit

Gambar 19 Prosedur penerimaan murid di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)

(21)

68

Proses seleksi biasa dikatakan tidak ada karena Pemerintah Daerah, terutama di Kabupaten Jembrana sangat mengharapkan masyarakat termasuk nelayan dapat memanfaatkan fasilitas gratis yang telah disediakan oleh Pemerintah Daerah. Bila anak nelayan belum cukup umur, tetap dapat didaftarkan selama anak tersebut bisa mengikuti proses belajar mengajar yang diberikan. Menurut PEMDA Kabupaten Jembrana (2008) anak-anak yang sudah punya semangat untuk belajar selalu diberikan kesempatan untuk memasuki jenjang pendidikan formal, dan PEMDA memberi kesempatan tersebut secara gratis.

Mengacu kepada hal tersebut di atas, secara umum nelayan tidak mengalami kesulitan apapun untuk menyekolahkan anak di kawasan Selat Bali. Pemerintah Daerah memberikan pelayanan penuh terkait masalah pendidikan, karena masyarakat termasuk nelayan merupakan kontributor penting bagi perekonomian kawasan Selat Bali. Dengan demikian, maka kesejahteraan dari indikator pendidikan ini terpenuhi dengan baik di Kawasan Selat Bali.

4.4.2 Kesempatan Kerja

Hasil analisis metode skoring menunjukkan bahwa kemudahan mendapatkan kesempatan kerja bagi nelayan di kawasan Selat Bali termasuk kategori ”cukup mudah” (skor indikator 2) (Tabel 19). Hal ini karena dari tiga subindikator yang ada, yaitu kemudahan mendapat pekerjaan, alternatif pekerjaan yang bisa diperoleh, dan kesesuaian pekerjaan dengan harapan, semuanya tidak ada yang terlalu sulit maupun terlalu mudah. Hasil analisis detail untuk ketiga subindikator yang menjelaskan indikator kemudahan mendapatkan kesempatan kerja bagi nelayan di kawasan Selat Bali disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 Hasil analisis indikator kemudahan mendapatkan kesempatan kerja

No. Uraian Skor Subindikator

1 Kemudahan mendapat pekerjaan 1.82

2 Alternatif pekerjaan yang bisa diperoleh 1.98 3 Kesesuaian pekerjaan dengan harapan 1.98 Total (Ada dalam range II : 5-6) 5.78

Skor Indikator 2

Sumber : Hasil analisis data lapangan (2010)

Skor subindikator kemudahan mendapat pekerjaan sekitar 1.82 pada skala 1-3. Nilai ini tidak terlalu besar, karena sebagian besar (48.33%) RTN responden

(22)

69

menyatakan ”biasa saja” dalam hal kemudahan mendapatkan pekerjaan di kawasan Selat Bali. Sedangkan yang menyatakan “cepat” dan “lambat” masing-masing 16.67 % dan 35.00 % (Gambar 20). Hal ini dapat dipahami karena menurut PEMDA Kabupaten Banyuwangi (2007) dan PEMDA Kabupaten Jembrana (2008) banyak anak termasuk dari keluarga nelayan yang lulus sekolah (SMA dan Perguruan Tinggi) membutuhkan waktu 1-3 tahun untuk mendapatkan pekerjaan. Namun demikian tidak semua dapat diterima dengan status pegawai tetap. Untuk perusahaan swasta termasuk perusahaan perikanan, umumnya keluarga nelayan tersebut diterima dengan status karyawan biasa, sedangkan untuk instansi pemerintah, umumnya diterima sebagai tenaga honor dulu, baru bila ada formasi dapat diangkat sebagai PNS.

16.67%

48.33% 35.00%

a. cepat b. biasa saja c. lambat

Gambar 20 Kemudahan mendapat pekerjaan di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)

Namun demikian, tidak semua anggota keluarga nelayan yang berpendidikan tinggi mendapat kesempatan tersebut. Beberapa diantaranya yang tidak sanggup bertahan ada yang kembali menjadi nelayan mengikuti orang tuanya. Hal ini karena alternatif pekerjaan yang ada di lokasi umumnya termasuk biasa atau cukup saja (45,00 %) (Gambar 21), sehingga banyak dari keluarga nelayan tersebut yang tidak sabar menunggu.

(23)

70

5 8 7 4 12 4 7 7 6 26. 67% 45. 00% 28. 33% 0 5 10 15 20 25 30 a. banyak b. cukup c. kurang A lt er n at if P eker jaan Jumlah RTN

Banyuwangi Jembrana Buleleng Prosentase

Gambar 21 Alternatif pekerjaan yang bisa diperoleh di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)

Dibandingkan dua kabupaten lainnya di kawasan Selat Bali, alternatif pekerjaan bagi nelayan Selat Bali di Kabupaten Buleleng masih lebih banyak. Di Kabupaten Buleleng, lahan tersedia cukup banyak sehingga nelayan dapat bekerja sebagai petani bila hasil tangkapan kurang baik. Untuk anak yang berpendidikan lebih baik, selain mencoba sebagai PNS atau karyawan perusahaan, juga menjadi pemandu wisata, bekerja di kawasan taman nasional, hotel, dan jasa transportasi travelling. Kabupaten Buleleng merupakan area pengembangan wisata di Propinsi Bali baik wisata pantai maupun wisata alam, sehingga di lokasi ini banyak dibangun hotel, dikembangkan wisata alam, dan jasa travelling baik untuk jalur Pelabuhan Gilimanuk maupun Denpasar (PEMDA Kabupaten Buleleng, 2009 dan Jusuf, 2005).

Untuk kesesuaian pekerjaan, secara umum pekerjaan yang didapat nelayan dan anaknya yang telah lulus termasuk cukup sesuai (58.33 %). Hal ini memberi indikasi bahwa apa yang diharapkan nelayan dari kerja kerasnya dan menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi, ada yang tercapai. Kondisi ini tentu sangat umum terjadi di manapun di tanah air karena adanya proses seleksi alam dari banyak penduduk, sementara lapangan pekerjaan yang ideal sesuai harapan sangat terbatas (Jusuf, 1999). Dalam kaitan ini, maka kesejahteraan nelayan cukup dapat dipenuhi dari indikator kemudahan mendapat kesempatan kerja tersebut.

(24)

71

4.5 Kehidupan Sosial

4.5.1 Kehidupan Beragama dan Rasa Aman

Kehidupan beragama dan rasa aman dari gangguan merupakan hak azasi setiap orang termasuk nelayan di kawasan Selat Bali. Bila masalah mendasar ini dapat dipenuhi dengan baik, maka kegiatan perikanan tangkap dapat terjamin keberlanjutannya dan kontribusinya terhadap pembangunan kawasan akan semakin nyata.

Tabel 20 Hasil analisis indikator kehidupan beragama

Uraian Jumlah (RTN) Bobot Total Skor

Kehidupan beragama

a. toleransi tinggi 43 3 129

b. toleransi cukup 16 2 32

c. toleransi kurang 1 1 1

Skor Indikator 2.70

Dalam kaitan dengan kehidupan beragama, hasil analisis metode skoring menunjukkan bahwa indikator ini mempunyai skor yang tinggi, yaitu 2.70 pada skala1-3, yang berarti toleransi kehidupan beragama sangat tinggi di kawasan Selat Bali. Menurut Ditjen Perikanan Tangkap (2009), dari sejumlah konflik nelayan yang terdapat di kawasan Selat Bali, belum ada satupun yang terkait dengan agama. Konflik yang ada, umumnya terjadi karena persaingan fishing ground, adanya perbedaan teknologi (armada, alat tangkap, dan alat bantu penangkapan ikan), dan perbedaan penafsiran dalam menjalankan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) pengelolaan perairan Selat Bali.

Tabel 21 Hasil analisis indikator rasa aman dari gangguan kejahatan

Uraian Jumlah (RTN) Bobot Total Skor

Rasa aman dari gangguan kejahatan

a. Aman 22 3 66

b. Cukup aman 32 2 64

c. Kurang aman 6 1 6

Skor Indikator 2.27

Sumber : Hasil analisis data lapangan (2010)

Khusus untuk persaingan pemanfaatan fishing ground, hal ini cukup sering terjadi namun dapat diselesaikan melalui mediasi oleh PEMDA dari nelayan terkait. Dalam berbagai pertemuan resmi antar PEMDA terkait di kawasan, berbagai pemasalahan teknis yang terjadi di lapangan cukup intensif dibicarakan, sehingga

(25)

72

tidak sampai meluas di kalangan nelayan (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi, 2010). Kondisi ini memberi kontribusi besar bagi adanya rasa aman yang cukup tinggi dari gangguan kejahatan yang dirasakan oleh nelayan di kawasan Selat Bali (skor indikator 2,27 pada skala 1-3). Tindakan kejahatan lainnya seperti pencurian, pemerasan, teror termasuk jarang terjadi di kawasan Selat Bali baik di wilayah Kabupten Banyuwangi, Kabupaten Jembrana, maupun Kabupaten Buleleng. Hal ini karena aktivitas ekonomi terutama kegiatan perikanan tangkap sangat berkembang di lokasi dan sebagian besar melibatkan masyarakat setempat, sehingga jarang ada anggota masyarakat yang terpaksa melakukan tindakan kejahatan untuk menopang hidupnya. Menurut Wiranto (2004) pelibatan masyarakat lokal sangat menopang tumbuh dan berkembangnya ekonomi daerah di era otonomi karena masyarakat lokal lebih mengetahui karakter daerahnya dan dapat menjamin rasa aman yang lebih baik.

4.5.2 Kemudahan Berolah Raga

Olah raga disamping bertujuan menyehatkan badan, juga merupakan hobi atau alat menghindari stress bagi kebanyakan nelayan di kawasan Selat Bali. Bermain bola voli dan sepakbola merupakan jenis olahraga yang paling sering dilakukan oleh nelayan di kawasan Selat Bali. Hasil analisis untuk indikator kemudahan berolah raga di kawasan Selat Bali disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22 Hasil analisis indikator kemudahan berolah raga

Uraian Jumlah (RTN) Bobot Total Skor

Kemudahan berolah raga

a. Mudah 20 3 60

b. Cukup 31 2 58

c. Sulit 9 1 11

Skor Indikator 2.18

Sumber : Hasil analisis data lapangan (2010)

Berdasarkan Tabel 22, kemudan berolah raga bagi nelayan di kawasan Selat Bali tidak termasuk kategori “mudah”, tetapi “cukup mudah” (skor 2.18 pada skala 3). Meskipun, oleh raga merupakan hobi bagi nelayan, tetapi tidak semuanya dapat dipenuhi dengan mudah karena fasilitas olah raga yang tidak tersedia di semua tempat. Untuk bermain sepakbola misalnya, nelayan di Muncar, Kabupaten Banyuwangi harus naik kendaraan umum untuk menuju lokasi lapangan sepak bola. Sedangkan fasilitas untuk olah raga dengan lapangan kecil seperti voli, bulu tangkis

(26)

73

dapat diperoleh dengan mudah di lokasi. Hal yang sama juga dialami oleh nelayan di kawasan Pengambengan, Kabupaten Jembrana, namun umumnya dapat memanfaatkan lahan kosong yang banyak terdapat di kawasan Pengambengan. Menurut Widodo dan Nurhakim. (2002) fasilitas sosial yang baik dapat mendukung pengembangan masyarakat nelayan yang berdampak positif bagi peningkatan motivasinya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan kawasan.

5 12 3 6 10 4 9 9 2 51. 67% 33. 33% 15. 00% 0 5 10 15 20 25 30 35 a. Mudah b. Cukup c. Sulit K e m u d a h a n B e ro la h R a g a Jumlah RTN

Banyuwangi Jembrana Buleleng Prosentase

Gambar 22 Kemudahan berolah raga di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)

Untuk nelayan Selat Bali di Kabupaten Buleleng, menyalurkan hobi olah raga terutama sepak bola dan bola voli relatif lebih mudah daripada di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana (Gambar 22). Hal ini karena lahan kosong yang dapat dimanfaatkan untuk olah raga tersebut cukup banyak di lokasi (nelayan banyak di desa), sehingga nelayan tidak harus bepergian ke tempat yang lebih jauh untuk menyalurkannya. Namun demikian, sarana olah raga yang ada di lokasi juga terbatas seperti di dua kabupaten lainnya, sehingga untuk menyalurkan hobi olah raga lainnya yang bersifat indoor dan memerlukan sarana khusus juga tidak mudah (cukup jauh). Namun demikian secara umum, nelayan Selat Bali masih dapat menjalankan hobi dalam olah raga di sekitar tempat tinggalnya, meskipun tidak semua terpenuhi karena keterbatasan fasilitas olah raga yang ada di lokasi.

4.6 Tingkat Kesejahteraan Nelayan Menurut Indikator Kesejahteraan

Menurut BPS (1991) kesejahteraan merupakan hal yang sangat penting tatkala kita berbicara tentang masyarakat (community) termasuk masyarakat

(27)

74

nelayan di kawasan Selat Bali yang sebagian besar menggantungkan hidupnya pada kebaikan alam. Seperti masyarakat nelayan pada umumnya, kehidupan nelayan Selat Bali sangat bergantung pada potensi sumberdaya ikan, pola musim, dan kondisi iklim perairan yang ada di Selat Bali. Menurut Putra (2000) bila potensi sumberdaya ikan melimpah dan kondisi perairan bersahabat, maka hasil tangkapan yang didapat nelayan akan semakin banyak, kesejahteraan nelayan dapat terangkat, dan konflik pengelolaan selalu dapat diselesaikan dengan baik. Hal ini karena kebutuhan dasar nelayan dapat terakomodir dengan baik dari pendapatan penangkapan ikan yang layak.

Tingkat kesejahteraan akan sangat mempengaruhi produktivitas kerja nelayan, daya beli keluarga nelayan, dan kehidupan sosial yang dijalaninya. Secara luas, tingkat kesejahteraan nelayan ini akan mempengaruhi perilaku dalam berinteraksi dengan komunitas dan dengan lingkungan sekitarnya termasuk dalam pengelolaan potensi perikanan dan kelautan di kawasan Selat Bali. Perilaku dan potensi nelayan dapat diarahkan pada hal-hal yang lebih positif, bila para nelayan tidak terlalu banyak disibukkan oleh urusan perut dan bagaimana bisa bertahan hidup dari hari ke hari. Terkait dengan ini, tingkat kesejahteraan merupakan kebutuhan vital yang perlu dipenuhi segera, sebelum mengharapkan peran dari suatu kelompok masyarakat termasuk nelayan di kawasan Selat Bali. Dahuri et. al (1996) untuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang terpadu, maka nelayan sebagai pelaku utama harus dipenuhi kebutuhannya (kesejahteraannya) terlebih dahulu, dan bila hal ini dapat dilakukan maka potensi nelayan dapat diandalkan secara maksimal.

Hasil analisis dan bahasan tingkat kesejahteraan menurut indikator kesejahteraan yang dikeluarkan oleh BPS (1991) pada Bagian 4.1-4.4 telah memberikan petunjuk penting tentang tingkat kesejahteraan nelayan di kawasan Selat Bali baik yang terdapat di pesisir Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Jembrana maupun Kabupaten Beleleng. Rangkuman penilaian terhadap semua indikator yang dinilai disajikan pada Tabel 23.

(28)

75

Tabel 23 Tingkat kesejahteraan nelayan menurut indikator kesejahteraan

No. Indikator Kesejahteraan Skor Indikator

1 Pendapatan Rumah Tangga Nelayan (RTN) (per bulan) 1.98 2 Konsumsi rumah tangga (diukur dengan konsumsi beras

per tahun)

3.33

3 Keadaan tempat tinggal I (atap, nilik, status kepemilikan, jenis lantai, luas lantai)

2.00

4 Keadaan tempat tinggal II (luas pekarangan, hiburan, pendingin ruangan, penerangan, bahan bakar, sumber air, dan MCK)

2.00

5 Kesehatan anggota keluarga 2.33

6 Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan dari petugas medis, termasuk didalamnya pelayanan KB dan obat-obatan (jarak RS terdekat, jarak ke poliklinik, kesiapan biaya berobat, penanganan berobat, alat kontrasepsi, konsultasi KB)

2.00

7 Kemudahan memasukkan anak ke suatu jenjang

pendidikan (biaya sekolah, jarak ke sekolah, dan prosedur penerimaan)

3.00

8 Kemudahan mendapatkan pekerjaan/kesempatan kerja (lama mendapat pekerjaan, alternatif pekerjaan yang bisa diperoleh, kesesuaian pekerjaan dengan harapan)

2.00

9 Kehidupan beragama 2.70

10 Rasa aman dari gangguan kejahatan 2.27

11 Kemudahan berolah raga 2.18

Total Skor Indikator 25.80

Menurut BPS (1991), tingkat kesejahteraan termasuk ‘tinggi’ bila mempunyai total skor indikator 27-34, ‘sedang’ bila mempunyai total skor indikator 19-26, dan ‘rendah’ bila mempunyai total skor indikator 11-18. Mengacu kepada klasifikasi tersebut, maka tingkat kesejahteraan nelayan di kawasan Selat Bali termasuk ‘sedang’ karena mempunyai total skor indikator sekitar 25.80 (ada dalam range 19-26).

Bila dibandingkan dengan kehidupan nelayan pada umumnya di tanah air, maka tingkat kesejahteraan kawasan Selat Bali tersebut bisa dikatakan lebih baik. Kondisi ini lebih disebabkan oleh adanya beberapa indikator kesejahteraan yang mempunyai skor yang tinggi, seperti konsumsi rumah tangga (diukur dengan konsumsi beras per tahun) (skor indikator 3.33 pada skala 1-4), kesehatan anggota keluarga (skor indikator 2.33 pada skala 1-3), kemudahan memasukkan anak ke suatu jenjang pendidikan (skor indikator 3 pada skala 1-3), kehidupan beragama

(29)

76

(skor indikator 2.70 pada skala 1-3), dan rasa aman dari gangguan kejahatan (skor indikator 2.27 pada skala 1-3). Tingginya kontribusi indikator konsumsi rumah tangga terhadap kesejahteraan nelayan lebih didukung oleh pendapatan nelayan yang tidak begitu jelek dari kegiatan penangkapan ikan (48.33 % berpendapatan Rp 750.000 – Rp 2.500.000 per bulan) dan berkembangnya usaha sampingan yang dilakukan oleh beberapa nelayan, seperti berkebun, menjadi pemandu wisata dan lainnya. Menurut Pinkerton dan Evelyn (1989) pengembangan usaha sampingan sangat penting untuk mempertahankan eksistensi perikanan lokal. Hal ini disamping menumbuhkan inovasi produk perikanan lokal juga dapat memberi pendapatan tambahan bagi masyarakat nelayan lokal. Kegiatan penangkapan ikan yang bergantung kepada musim, akan dapat disubstitusikan sementara waktu bila usaha sampingan berjalan dengan baik, dimana anggota keluarga nelayan terlibat aktif di dalamnya.

Kesehatan anggota keluarga juga dianggap mempunyai kontribusi besar (skor indikator 2.33 pada skala 1-3) bagi kesejahteraan nelayan dominan karena semakin baik atau minimal cukup baiknya kondisi kesehatan anggota keluarga nelayan (Tabel 16), dimana hanya 12.90 % RTN yang pernah sakit > 50 % dari anggota keluarganya. Hal ini lebih didukung oleh intensifnya program Pemerintah Daerah (PEMDA) dalam memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakatnya terutama di Kabupaten Jembrana. Dalam pelaksanaan program ini, aparat PEMDA juga aktif memberikan bimbingan dan penyuluhan kesehatan kepada anggota masyarakat melalui program lingkungan bersih, penyemprotan obat nyamuk malaria, kegiatan KB dan penimbangan bayi. Di Kabupaten Banyuwangi, pelayanan kesehatan gratis juga diberikan, namun masih terbatas untuk pengobatan penyakit tertentu yang sifatnya ringan dan musiman. Namun demikian, konsumsi rumah tangga nelayan yang tinggi seperti dijelaskan sebelumnya, juga mendukung kondisi kesehatan anggota keluarga nelayan. Menurut Dutton (1998) kondisi yang baik pada anggota masyarakat pesisir dapat mendukung interaksi yang lebih diantara anggota dalam semua kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada di kawasan.

Kemudahan memasukkan anak ke suatu jenjang pendidikan mempunyai kontribusi sangat besar (skor indikator 3 pada skala 1-3) bagi kesejahteraan nelayan lebih karena adanya beberapa hal positif terkait pendidikan di kawasan Selat Bali, seperti adanya program pendidikan gratis yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, ketersediaan fasilitas pendidikan di semua lokasi/desa tempat

(30)

77

tinggal nelayan di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana, dan 90 % desa tempat tinggal nelayan di Kabupaten Buleleng. Disamping itu, proses penerimaan murid juga mudah dimana nelayan tinggal membawa anak ke sekolah yang dituju, maka akan langsung diterima. Khusus untuk Kabupaten Jembrana, menurut PEMDA Kabupaten Jembrana (2008) PEMDA menyediakan fasilitas kendaraan antar-jemput pada beberapa lokasi yang dianggap banyak dilalui anak sekolah, sehingga biaya transportasi dapat dihemat. Kondisi ini tentu sangat baik, sehingga nelayan dapat berharap banyak tentang pendidikan dan masa depan anaknya di kemudian hari sehingga lebih produktif dan tidak banyak beban dalam bekerja, serta lebih termotivasi untuk mendukung setiap program pemerintah termasuk dalam mendukung pembangunan perikanan berkelanjutan di kawasan Selat Bali.

Kehidupan beragama (skor indikator 2.70 pada skala 1-3) dan rasa aman dari gangguan kejahatan (skor indikator 2.27 pada skala 1-3) juga mempunyai kontribusi besar bagi kesejahteraan nelayan di kawasan Selat Bali karena secara umum toleransi kehidupan beragama sangat tinggi di kawasan Selat Bali, dimana nelayan yang beragama Islam, Hindu, Kristen tidak pernah konflik karena urusan agama di lokasi. Hal ini bisa terjadi karena kultur saling menghargai sangat dijunjung tinggi di lokasi dan secara historis kerajaan Islam di Banyuwangi dan kerajaan Hindu di Bali selalu hidup berdampingan, dan dalam hal-hal tertentu terjadi alkulturasi budaya, seperti pada bentuk bangunan dan penghormatannya terhadap alam dan lingkungan. Kondisi ini juga berdampak positif bagi penciptaan rasa aman dari kejahatan. Memang di sana sini terjadi perbedaan, seperti perebutan fishing ground, namun sikap tanggap dari PEMDA terkait untuk segera menengahinya menjadi hal positif yang terus dipertahankan. Menurut Charles (1992) pemerintah harus memberi perhatian penuh terhadap konflik perikanan yang ada dan tidak hanya sebatas menyelesaikan tetapi harus menjamin suasana kondusif sehingga konflik sejenis tidak terjadi lagi di kemudian hari, dan stakeholders lainnya seperti nelayan, pedagang, dan masyarakat umumnya juga harus mendukung.

Terlepas dari itu semua, tingkat kesejahteraan nelayan di kawasan Selat Bali cukup mudah untuk ditingkatkan sehingga masuk klasifikasi ‘tinggi’ karena skor indikatornya (25.80) lebih dekat ke angka 27 sebagai batas minimal tingkat kesejahteraan tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbaiki indikator dengan skor yang masih rendah, misalnya indikator Pendapatan Rumah Tangga Nelayan (skor indikator 1.98 pada skala 1-3). Terkait dengan hal ini, maka upaya-upaya

(31)

78

yang realistis yang dapat menambah pendapatan rumah tangga nelayan dan mengangkat kesejahteraan secara umum perlu terus dilakukan di kawasan Selat Bali. Upaya dan tindakan tersebut akan menjadi bagian bahan pertimbangan penting dalam perumusan strategi interaksi kelembagaan dan pemodelan terkait pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan Selat Bali. Menurut Fauzi (2005) upaya yang realistis harus menjadi muatan utama dalam perumusan strategi dan kebijakan sehingga dapat diaplikasi secara nyata di kemudian hari.

Gambar

Gambar 4  Pendapatan rumah tangga nelayan di kawasan Selat Bali   (Responden = 60 RTN)
Gambar 5  Konsumsi rumah tangga nelayan di kawasan Selat Bali  (Responden = 60 RTN)
Gambar 8  Status kepemilikan rumah tinggal nelayan di kawasan Selat Bali  (Responden = 60 RTN)
Gambar 9  Sumber air bersih nelayan di kawasan Selat Bali (Responden = 60 RTN)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Lingkup pekerjaan : Melakukan inventarisasi data infrastruktur industri pengguna energi panas bumi, melakukan evaluasi terhadap data yang terkumpul dan selanjutnya

Adanya variasi waktu penahanan yang diberikan pada briket batok kelapa muda pada proses pirolisis fluidisasi bed menggunakan media gas argon, mampu memperbaiki

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena dengan rahmat dan karunia-Nya tesis yang berjudul “ANALISIS TENTANG KONSOLIDASI TANAH PADA DESA

WLD2 Bulak Banteng-Dukuh Kupang PP

Para PNS lingkungan Kecamatan dan Kelurahan wajib apel pagi setiap hari senin di Halaman Kantor Kecamatan Kebayoran Baru, dan akan diberikan teguran kepada yang tidak ikut apel

Penelitian ini bertujuan: a) untuk menguji dan menganalisis pengaruh tingkat pendidikan dan keterampilan terhadap kinerja PPL pada aplikasi pertanian organik dan

Setelah melalui proses evaluasi dan analisa mendalam terhadap berbagai aspek meliputi: pelaksanaan proses belajar mengajar berdasarkan kurikulum 2011, perkembangan

Penelitian ini secara umum bertujuan menganalisis pengaruh pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar, dan potensi akademik terhadap prestasi akademik siswa