• Tidak ada hasil yang ditemukan

terhadap masa depannya. Menurut Santrock (2011) pada masa ini individu dihadapkan pada situasi yang melibatkan pengambilan keputusan salah satunya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "terhadap masa depannya. Menurut Santrock (2011) pada masa ini individu dihadapkan pada situasi yang melibatkan pengambilan keputusan salah satunya"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 Individu yang memasuki masa remaja memiliki tanggung jawab penting terhadap masa depannya. Menurut Santrock (2011) pada masa ini individu dihadapkan pada situasi yang melibatkan pengambilan keputusan salah satunya untuk memilih pendidikan lanjutan setelah menyelesaikan sekolah menengah atas. Keputusan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi menjadikan remaja dihadapkan pada fase transisi dari struktur sekolah yang lebih besar, interaksi dengan teman sebaya yang lebih beragam latar belakang etnis dan geografisnya, serta bertambahnya tekanan untuk mencapai prestasi (Santrock, 1996).

Peralihan dari masa sekolah menengah atas menuju perguruan tinggi membuat individu dihadapkan pada perubahan-perubahan yang terjadi. Abeele dan Roe (2011) menyatakan kehidupan seorang remaja akan berubah ketika mereka meninggalkan sekolah menengah atas menuju perguruan tinggi. Bagi remaja yang memilih untuk melanjutkan pendidikan jauh dari rumah mereka akan mulai jauh dari orangtua. Mahasiswa tahun pertama akan dihadapkan pada tugas untuk dapat menjalin hubungan dengan teman mereka yang sudah ada sebelumnya serta membangun hubungan pertemanan yang baru dengan orang-orang yang baru mereka temui di bangku perkuliahan. Kurang mampu mengelola hubungan dengan orang lain akan mengakibatkan permasalahan pada diri remaja itu sendiri. Permasalahan yang biasanya terjadi berkaitan dengan penyesuaian sosial dan juga akademik pada kehidupan di perguruan tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Paul dan Brier (dalam Abeele dan Roe 2011) ditemukan bahwa pada mahasiswa Amerika yang berada dalam tahun pertama perkuliahan ditemukan ketika hubungan dengan teman-teman yang baru belum

(2)

2 dibangun atau masih dalam tahap awal, mereka sering mengalami “friendsickness” dimana mereka mengalami kurangnya rasa memiliki. Mahasiswa tahun pertama akan dihadapkan pada kemampuan untuk menyelesaikan tugas, menghadapi stres terkait perkuliahan, serta menyesuaikan diri secara sosial untuk menghilangkan rasa kesepian dan merasa sendiri (Hall, dkk., 2016; Liu & Chang, 2014). Mahasiswa yang duduk pada tahun pertama dan kedua dihadapkan pada proses penyesuaian pada perubahan-perubahan yang terjadi, seperti berkurangnya supervisi dari orangtua serta guru dalam proses belajar, perubahan rutinitas yang terjadi, tuntutan untuk dapat memenuhi tugas kuliah yang diberikan, serta melakukan sosialiasi (Tao dkk, 2000).

Perubahan yang terjadi pada proses akademik adalah proses belajar yang menuntut remaja untuk menjadi lebih mandiri. Ketika SMA biasanya remaja akan diberikan materi-materi oleh guru namun pada saat memasuki perguruan tinggi remaja dituntut untuk lebih aktif dalam mencari bahan-bahan yang akan diajarkan. Baba dan Hasoda (2010) menyatakan bahwa mahasiswa mengalami tekanan secara akademik dikarenakan harapan tugas perkuliahan, beban tugas, serta ujian yang dihadapi. Ketika mengalami kesulitan terhadap materi maupun tugas perkuliahan mahasiswa baru cenderung ragu untuk bertanya hal tersebut disebabkan oleh lingkungan yang baru. Mooney dan Gordon (dalam Siregar, 2012) membagi masalah yang terjadi pada mahasiswa ke dalam 12 klasifikasi masalah, yakni: masalah kesehatan dan perkembangan fisik, masalah keuangan serta pekerjaaan yang dihadapi, masalah dalam pengaturan waktu, masalah psikologis individu saat berada di lingkungan sosial, masalah yang berkaitan

(3)

3 dengan diri sendiri, masalah dengan hubungan romantis, masalah yang berkaitan dnegan orangtua dan keluarga, masalah yang berkaitan dengan agama, masalah dalam menghadapi dunia perkuliahan, masalah dalam karir, masalah yang berkaitan dengan proses belajar di kampus, serta masalah yang menjadi isi terkini (seperti game online, narkoba, atau media sosial).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Administratif dan Akademik (DAA) UGM total jumlah mahasiswa yang berasal dari Bali lima tahun terakhir terhitung dari tahun 2011 hingga 2015 adalah 426 orang. Tahun 2011 jumlah mahasiswa yang berasal dari Bali 82 orang, selanjutnya di tahun 2012 mahasiswa yang masuk berjumlah 81 orang. Di tahun 2013 jumlah mahasiswa yang masuk 76 orang, tahun 2014 terjadi peningkatan jumlah mahasiswa yang masuk yaitu sebanyak 109 orang. Tahun 2015 Jumlah mahasiswa yang masuk adalah 78 orang.

Tabel 1. Jumlah mahasiswa asal Bali yang diterima di UGM

Tahun Masuk Jumlah mahasiswa yang diterima

2011 82 orang 2012 81 orang 2013 76 orang 2014 109 orang 2015 78 orang Total 426 orang

Selain itu terdapat pula mahasiswa yang mengalami drop out mahasiswa angkatan tahun 2006 dan 2007 dengan jumlah masing-masing tahun adalah 1 orang. Rata-rata lama studi mahasiswa yang berasal dari Bali untuk jenjang S1 adalah 51,62 bulan atau sekitar 4 tahun 3 bulan, sedangkan untuk jenjang vokasi rata-rata lama studi yaitu 35,67 bulan atau sekitar 2 tahun 9 bulan. Data di atas menunjukkan

(4)

4 bahwa mahasiswa asal Bali dapat mengikuti proses pembelajaran dengan lama studi yang sesuai dengan ketentuan.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh peneliti tahun 2016 pada mahasiswa asal Bali angkatan tahun 2015 yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) Universitas Gadjah Mada (UGM) diketahui bahwa 14 orang dari 43 orang yang mengisi survei merasakan kurang dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Selain itu terdapat kesulitan untuk berbaur dengan teman-teman baik di kampus maupun di tempat tinggal. Adanya kecenderungan untuk malu memulai pembicaraan membuat mereka lebih sering menyendiri sehingga sering merasakan rindu akan rumah dan juga kesepian. Selain itu kebanyakan dari mereka merupakan mahasiwa yang baru pertama kali merantau dan jauh dari orangtua.

Peneliti juga melakukan wawancara terhadap 4 orang mahasiswa baru asal Bali, yang sebelumnya telah mengisi survei. Wawancara dilakukan pada bulan Mei tahun 2016. Hasil yang diperoleh adalah 3 dari 4 orang merasakan kesulitan untuk dapat berkomunikasi dengan teman di kampus.

Subjek A mengatakan:

“Kalau di kelas aku ga ketemu sama teman-teman yang cocok sama aku. Selain itu kak, teman-teman di kelas juga udah punya kelompok sendiri. Nah, aku jadinya enakan temenan sama siapa saja. Ga mau harus masuk kelompok A, kelompok B, atau C. Di kelas aku juga kan sering ngomong “cuk” sama teman yang dari Bali, itu kan udah biasa yah kak, temen-temenku di sini jadi langsung ngeliatin, ga enak gitu kak cara ngeliatnya ke aku. Yah aku tahu sih di sini kan etikanya bagus banget kak. Kalau secara akademik aku ga masalah sih kak, bisa aja ngikutin kuliah di kelas. Tapi emang klo di kelas aku kurang aktif.”

(5)

5 Subjek B mengatakan:

“Nah dulu itu aku punya dua orang teman dekat, terus kami masuk ke dalam organisasi bareng juga. Kami di sana masuk ke bagian yang beda-beda. Mereka sibuk sama kegiatannya, dari situ dah aku mulai ngerasa kayak ga punya teman kak. Aku ngerasa susah interaksi sama orang lain. Jadi sampai sekarang aku ngerasa ga punya teman dekat kayak waktu SMA. Aku sering ngerasa kesepian jadinya kak. Aku juga ngerasa malu buat minta tolong sama orang lain. Pernah waktu itu aku harusnya ngeberesin kamar tapi ada yang susah aku pindahin sendiri. Aku malu minta tolong sama orang jadi terpaksa ditunda sampai akhirnya ga jadi aku pindahin barang-barangnya.”

Subjek C mengatakan:

“Aku susah buka diri sama orang baru, jadi semester 1 aku ga punya temen di kelas. Teman-teman juga ngira aku anaknya kurang ramah dan lebih suka menyendiri. Mulai masuk semester 2, aku baru bisa berbaur sama teman-teman di kelas. Jadi habis itu aku baru ngerasa nyaman sama teman-temanku di kampus.”

Subjek D mengatakan:

“Aku ga punya kendala sih dalam hubungan sama orang lain. Soalnya dari awal ga sengaja ketemu sama temen di kos yang satu fakultas sama aku. Jadi ngerasa nyaman buat belajar sama temenan kak.” Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan diperoleh gambaran bahwa terdapat mahasiswa baru yang berasal dari Bali mengalami kesulitan berinteraksi dengan orang lain, membuka diri dengan orang baru, serta pada saat meminta bantuan dengan orang lain. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedanaan antara lingkungan yang baru dengan lingkungan tempat individu dibesarkan sehingga individu merasa kurang nyaman di tempat rantauan. Peneliti juga melihat, disisi lain terdapat suatu kondisi yang dihadapi oleh kebanyakan mahasiswa baru asal Bali, yaitu ketika memilih tempat tinggal cenderung lebih mengelompok dengan sesama teman-teman yang berasal dari

(6)

6 Bali. Hal ini menyebabkan kurang dapat bersosialisasi dengan lingkungan lain. Yogyakarta sendiri, memiliki lingkungan yang cenderung heterogen dengan orang-orang yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia untuk melanjutkan pendidikan. Sehingga mahasiswa baru asal Bali perlu untuk dapat berbaur dengan teman-teman yang berasal dari daerah dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti diperoleh bahwa mahasiswa baru asal Bali yang datang ke Yogyakarta tidak mengalami kesulitan dalam proses akademik. Tantangan yang dihadapi lebih kepada proses sosial dengan merasa sulit untuk berinteraksi dengan orang baru, membuka diri dengan orang baru, serta meminta bantuan dengan orang lain. Hal ini disebabkan oleh perbedaan lingkungan budaya individu daat dibesarkan, merasa kurang nyaman di tempat rantauan, kebanyakan memilih untuk tinggal satu tempat dengan teman yang berasal dari satu daerah.

Mahasiswa tahun pertama yang memiliki kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru maka akan berdampak susah memiliki teman (Hall, dkk, 2016). Menurut Hurlock (1959) salah satu permasalahan yang biasanya dialami oleh remaja, terutama remaja akhir adalah penyesuaian sosial serta kesuksesan akademik. Hal serupa disampaikan pula oleh Wardani dan Apollo (2010) salah satu permasalahan yang dihadapi oleh remaja adalah proses penyesuaian sosial.

Proses penyesuaian sosial akan lebih mudah jika remaja memiliki dukungan sosial dari orang-orang terdekatnya. Sugiyanto (dalam Hapsari, 2010)

(7)

7 menyatakan bahwa penyebab dan penanggulangan permasalahan remaja dapat dilihat melalui konsep dukungan sosial. Hubungan yang terjalin antara remaja dengan lingkungan sebayanya memainkan peran yang penting bagi perkembangan keterampilan sosial, berkembangnya berbagai potensi kehidupan, serta berbagai fungsi di masa remaja (La Greca & Lopez, 1998; Hansen, Nangle, dan Mayer, 1998). Menurut Kelly dan Hansen (dalam Hapsari, 2010) terbinanya hubungan yang baik dengan teman sebaya membuat remaja dapat memperoleh fungsi positif, diantaranya adalah meningkatkan keterampilan sosial remaja, maka remaja akan mampu mengembangkan kemampuan penalaran, dan belajar untuk mengekspresikan perasaan-perasaan dengan cara yang lebih matang. Memiliki keterampilan sosial yang baik dapat membantu individu dalam proses penyesuaian sosial (Cartledge dan Milburn, 1995). Individu yang mampu menampilkan keterampilan sosial yang sesuai dengan tempat dimana mereka tinggal akan menjadikan individu tersebut lebih mudah melakukan penyesuaian. Mota dan Motas (2012) menyatakan bahwa perkembangan keterampilan sosial pada individu berkontribusi pada kestabilan emosi pada remaja dimana mereka akan merasa diterima dan dihargai sehingga hal tersebut akan meningkatkan harga diri dari remaja itu sendiri.

Menurut Lodder dkk. (2016) remaja yang kesepian dilaporkan memiliki keterampilan sosial yang buruk namun hal itu terjadi karena remaja memang memiliki keterampilan sosial yang buruk atau bias persepsi yang negatif. Pada masa remaja awal individu masuk ke dalam dunia yang kompleks mengenai hubungan sosial, dimana peran teman menjadi lebih penting. Individu dengan

(8)

8 keterampilan sosial yang rendah mengalami kesulitan berinteraksi dengan orang lain, hal tersebut membatasi mereka untuk membentuk dan mempertahankan persahabatan yang memuaskan dengan rekan-rekan mereka, sehingga mereka membatasi kuantitas hubungan sosial. Ada bukti yang menunjukkan bahwa kesepian berhubungan dengan penarikan diri serta perilaku malu, dimana beberapa peneliti menyatakan bahwa hal ini merupakan tanda dari buruknya keterampilan sosial (Loder, dkk. 2016). Menurut Loder, dkk. (2016) remaja akan lebih merasa kesepian jika dia mengevaluasi diri lebih buruk dari evaluasi yang dilakukan oleh teman-temannya atau mereka mengevaluasi diri baik namun teman-teman mengevaluasi diri mereka negatif. Mereka memiliki pengetahuan mengenai bagaimana cara menerapkan keterampilan sosial yang baik, namun pada pelaksanaanya mereka tidak mampu mengaplikasikannya dengan baik. Spence (2003) menyatakan bahwa individu yang memiliki keterampilan sosial yang buruk serta hubungan yang sulit dengan teman, orangtua, serta guru diasosiasikan dengan banyak bentuk psikopatologi seperti depresi, conduct disorder, social phobia, autis serta sindrom asperger.

Proses penyesuaian sosial akan menjadi baik jika individu memiliki keterampilan sosial yang baik pada saat berada di lingkungan yang baru. Menurut Cartledge dan Milburn (1995) keterampilan sosial merupakan kemampuan bersosialisasi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara tertentu sehingga individu akan diterima atau dihargai secara sosial dan akan saling menguntungkan satu sama lain. Trower (dalam Cartledge dan Milburn, 1995) selanjutnya membagi keterampilan sosial kedalam dimensi perilaku dan dimensi

(9)

9 kognitif menjadi skill component dan skill processes. Skill components adalah elemen tunggal seperti cara memandang atau cara mengangguk, atau rangkaian perilaku dalam berinteraksi seperti menyapa. Skill processes mengacu pada kemampuan individu dalam menghasilkan perilaku yang terampil dan sesuai dengan aturan serta tujuan dalam memberikan tanggapan sosial. Instruksi dalam keterampilan sosial banyak digunakan dalam bidang pendidikan atau klinis sebagai sarana memperbaiki permasalahan dalam penyesuaian sosial.

Menurut Cartledge dan Wilburn (1995) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial individu, yaitu:

1. Karakteristik individu

Karakteristik individu yang dimaksud mengacu pada tahap perkembangan individu, gender, serta kemampuan kognitif dan perilaku yang kurang berkembang dengan baik. Perkembangan individu merupakan salah satu karakteristik yang digunakan untuk mengidentifikasi keterampilan sosial individu yang akan diajarkan. Mempertimbangkan tahapan perkembangan tidak hanya digunakan untuk memilih keterampilan sosial yang akan diajarkan tetapi juga menentukan pendekatan yang akan digunakan untuk melakukan pelatihan keterampilan sosial. Gender secara tidak langsung berperan dalam proses keterampilan sosial individu, namun banyak faktor yang memepengaruhi hal ini seperti faktor budaya, level sosial ekonomi, serta aturan yang ada di masyarakat mengenai laki-laki dan perempuan. Individu dengan kemampuan kognitif dan perilaku yang terbatas akan mengakibatkan individu lebih menarik diri dari perkumpulan sosial, oleh karena itu penting untuk mengetahui keterbatasan yang

(10)

10 dimiliki oleh individu mengetahui keterbatasan yang dimiliki individu, akan membantu trainer untuk mengatahui cara yang tepat dalam meningkatkan keterampilan sosial.

2. Kriteria sosial dalam pemilihan keterampilan a. Konteks budaya

Budaya memegang peranan penting dalam mempelajari keterampilan sosial yang akan diberikan pada individu. Budaya juga memiliki aturan bagaimana seseorang seharusnya berperilaku dengan orang lain dalam konteks sosial. Misalkan dalam mengajarkan perilaku asertif akan mudah pada negara seperti Amerika Serikat jika dibandingkan Indonesia., hal ini dikarenakan terdapat budaya segan yang ada di Indonesia. Menurut Trower, dkk. (1978) perilaku sosial pada individu tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan tetapi juga budaya, kelas sosial, ras, dan usia dalam kelompok budaya yang sama. Beberapa aspek dari variasi perilaku yang dipengaruhi oleh budaya adalah sebagai berikut: (1) Non-verbal signal, (2) Aturan untuk beberapa situasi tertentu, (3) Efek dari ide/pemikiran dan bahasa, dan (4) Struktur sosial.

b. Situasi spesifik

Keterampilan sosial akan efektif jika dilatihkan pada satu situasi yang spesifik. Pada situasi tertentu perilaku individu akan dievaluasi untuk mengetahui hal-hal apa yang kurang dimiliki sehingga nantinya dapat dikembangkan sesuai dengan tuntutan lingkungan.

(11)

11 c. Hubungan dengan teman

Individu yang memiliki hubungan baik dengan teman cenderung memiliki keterampilan sosial yang baik, sedangkan individu yang cenderung bertindak agresif dan menarik diri memiliki keterampilan sosial yang kurang baik. Remaja merasa nyaman dalam mengembangkan berbagai keterampilan sosial seperti berbagi dan berkomunikasi jika mendapatkan penerimaan oleh teman sebaya (Rachmawati, 2013).

d. Validitas sosial

Validitas sosial menurut Wolf (dalam Cartledge dan Wilburn, 1995) diartikan sebagai individu dapat menunjukkan perilaku yang sesuai dengan harapan atau tuntutan masyarakat, perubahan perilaku yang terjadi pada individu nantinya akan memuaskan orang-orang yang berada di sekitar individu serta individu itu sendiri. Maka dapat diketahui keterampilan sosial pada individu dipengaruhi oleh beberapa hal baik yang berasal dari individu itu sendiri maupun di luar dari individu itu sendiri.

Riggio (1986) menyatakan keterampilan sosial sebagai kemampuan dasar dalam menyampaikan serta menerima informasi dari orang lain yang direpresentasikan ke dalam 2 dimensi yaitu: emotional (non verbal) dan social (verbal). Selanjutnya kedua dimensi ini akan dievaluasi berdasarkan 3 aspek, yaitu: 1) expressitivity, 2) sensitivity, serta 3) control. Proses ini melibatkan kemampuan kognitif seperti kemampuan interpersonal problem-solving dan kemampuan role playing. Berdasarkan dimensi dan juga aspek keterampilan sosial oleh Riggio (1992), kemudian terdapat 6 domain keterampilan sosial:

(12)

12 1. Emotional expressivity

Emotional expressitivity merupakan keterampilan individu dalam berkomunikasi secara non verbal, khususnya dalam mengirimkan pesan emosional. Domain ini meliputi ekspresi non verbal dari sikap, dominasi, dan orientasi interpersonal. Individu yang mampu mengekspresikan kondisi emosional yang sedang dirasakan dengan tepat. Individu yang mampu mengekspresikan emosinya dengan baik adalah individu yang antusias, bersemangat, serta mampu menstimulasi dan menginspirasi orang lain dari kemampuannya menyalurkan perasaan.

2. Emotional sensitivity

Emotional sensitivity merupakan keterampilan individu dalam menerima dan mengintepretasikan komunikasi non verbal dari orang lain. Individu dengan sensitivitas emosi yang tinggi akan memperhatikan serta waspada dalam mengobservasi isyarat non verbal yang dimunculkan oleh orang lain. Hal ini dikarenakan individu dengan sensitivitas yang tinggi mampu untuk mengintepretasikan komunikasi melalui emosi yang dimunculkan dengan cepat dan efisien.

3. Emotional control

Emotional control merupakan keterampilan yang dimiliki individu dalam mengontrol dan meregulasi tampilan non verbal dan emosional yang dimilikinya. Individu yang memiliki kontrol emosi yang tinggi adalah individu yang pandai dalam menunjukkan atau menyembunyikan perasaan sebenarnya pada saat diperlukan. Kontrol emosional merupakan keterampilan yang penting untuk

(13)

13 dikombinasikan dengan keterampilan lain. Individu yang memiliki kontrol emosional yang tinggi cenderung akan meredakan tampilan emosi yang sebenarnya kuat dirasakan. Selain itu, lebih menahan munculnya sinyal emosional yang bersifat ekstrim dan spontan. Individu yang memiliki kontrol emosional yang sangat tinggi akan cenderung untuk selalu menahan diri agar tidak memperlihatkan kondisi yang sebenarnya.

4. Social expressitivity

Social expressitivity merupakan kemampuan individu dalam ekspresi verbal dan kemampuan untuk mengajak orang lain terlibat dalam suatu percakapan. Individu dengan ekspresitivitas tinggi senang muncul di luar serta berteman karena kemampuan yang dimiliki untuk berinisiatif memulai pembicaraan dengan orang lain. Selain itu, individu juga biasanya mampu berbicara secara spontan namun terkadang tanpa kendali atau monitoring dari isi pembicaraan.

5. Social sensitivity

Social senssitivity merupakan kemampuan individu dalam mengintepretasikan dan memahami komunikasi verbal yang disampaikan oleh orang lain. Hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan umum serta norma yang berlaku di masyarakat. Individu yang memiliki sensitivitas sosial akan memperhatikan perilaku sosial yang ditunjukkan oleh dirinya serta perilaku yang dimunculkan oleh orang lain. Individu yang memiliki sensitivitas sosial akan memperhatikan perilaku sosial orang lain dan juga kesesuaian respon perilakunya sendiri. Sensitivitas yang baik menjadikan individu sebagai penonton serta pendengar

(14)

14 yang baik. Sementara individu dengan sensitivitas sosial yang terlalu tinggi atau rendah menyebabkan individu memiliki kewaspadaan yang berlebihan sehingga menghambat proses interaksi sosial.

6. Social control

Social control merupakan keterampilan individu dalam bermain peran. Hal ini berarti individu mampu mempresentasikan social self yang dimilikinya. Individu yang memiliki kontrol sosial terlihat ahli, diplomatis, dan percaya diri dalam situasi sosial. Individu ini dapat menyesuaikan diri dengan nyaman pada berbagai situasi sosial dan mampu memainkan peran sosial. Kontrol sosial memiliki peranan penting dalam mengarahkan proses komunikasi pada saat terjadinya interaksi sosial.

Collins dan Collins (1992) menyatakan bahwa pelatihan keterampilan sosial merupakan peningkatan kualitas interaksi antar individu dalam lingkup pekerjaan yang dilakukan secara sosial. Individu akan berusaha keras untuk dapat bertemu serta berfungsi secara keseluruhan dalam hubungan sosial yang dilakukannya. Pelatihan keterampilan sosial tidak hanya melibatkan perilaku tetapi juga memerlukan proses kognitif mengenai diri mereka sendiri yang kemudian akan ditunjukan oleh individu dalam bentuk perilaku. Sejalan dengan hal tersebut menurut Koehler (2012) pelatihan keterampilan sosial efektif diberikan untuk remaja dengan memfokuskan pada proses pengajaran kemampuan untuk mencapai sukses dalam situasi sosial tertentu serta untuk mengenali stimulus yang tepat. Menurut Spence (2003) pelatihan keterampilan sosial bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dengan menujukkan perilaku sosial

(15)

15 sehingga individu sukses saat berada dalam situasi sosial. Menurut Goforth (2016) intervensi kelompok yang berfokus pada keterampilan sosial sangat berguna karena hal ini memungkinkan praktisi untuk mengajar satu set keterampilan untuk beberapa individu dan memfasilitasi pengembangan keterampilan sosial dalam setiap sesi. Kelly (dalam Hapsari, 2007) pelatihan keterampilan sosial dapat dilakukan secara berkelompok dengan jumlah 4 sampai 8 orang jika pelatihan dilaksanakan dalam beberapa jam setiap pertemuannya. Terdapat beberapa manfaat pelatihan keterampilan sosial antara lain menurunkan kecemasan (Hapsari dan Hasanat, 2010; Miers, dkk. 2009), menurunkan agresi verbal pada remaja (Babakhani, 2011), membantu remaja yang mengalami kesulitan bergaul (Ramdhani & Martaniah, 1995), meningkatkan konsep diri, efikasi diri, serta penyesuaian perilaku sosial (Harrel, dkk. 2008), dan menurunkan depresi pada remaja terutama remaja laki-laki (Reed, 1994).

Pendekatan yang digunakan dalam proses pelatihan adalah experiential learning. Menurut Kolb (dalam Guthrie dan Jones, 2012) proses pada experiential learning terdapat sebuah siklus pembelajaran dengan 4 tahapan. Tahap pertama adalah concrete experience, pada tahap ini belajar dari pengalaman yang ditemuinya. Selanjutnya adalah tahap abstract conceptualization individu melakukan analisis terhadap ide-ide yang ada. Tahap ketiga adalah reflective observation, pada tahap ini individu melakukan observasi secara berhati-hati sebelum membuat suatu keputusan Tahapan terakhir adalah active experimentation merupakan tahap dimana individu menunjukkan perilaku yang telah dipelajari.

(16)

16

Gambar 1. Tahap experiential learning

Pengembangan modul dalam penelitian ini menggunakan model Russel. Russel (dalam Ahmad dkk., 2008; Ahmad dkk., 2009; Ahmad dkk., 2011; Zuki dan Hamzah, 2014) mengembangkan tahapan dalam proses pembuatan modul. Tahapan tersebut yaitu: (1) menentukan subjek yang akan mendapat pelatihan dari modul yang dikerjakan, (2) mengidentifikasi tujuan dalam proses pembuatan modul, (3) mengembangkan alat ukur berdasarkan tujuan dari proses pembuatan modul untuk mengetahui level pencapaian dari para peserta, (4) melakukan analisis, (5) menyusun bagian modul, (6) melakukan uji coba awal, dan (7) melakukan uji reliabilitas dan validitas. Setelah rangkaian tersebut dilakukan maka modul siap untuk diimplementasikan.

Menurut Russell (dalam Ahmad dkk., 2008; Ahmad dkk., 2011; Zuki dan Hamzah 2014) sebuah modul dapat dikatakan memiliki validitas isi yang baik

Concrete experience (learning by encounter) Abstract Conceptualization (learning by thinking) Active Experimentation (learning by doing) Reflective Observation (learning by encounter)

(17)

17 apabila modul tersebut mencapai populasi yang ditargetkan, situasi pada saat proses pelaksanaan modul bagus dan memuaskan, waktu yang dialokasikan untuk subjek menjalankan modul cukup, terdapat peningkatan performa subjek setelah menjalankan modul, serta terdapat perubahan sikap menjadi lebih baik setelah menjalankan kegiatan pada modul.

Modul “CAKAP” dibutuhkan oleh mahasiswa baru asal Bali yang tergabung dalam KMHD dikarenakan para mahasiswa baru datang ke daerah dengan kondisi lingkungan yang berbeda dari daerah asal serta bertemu dengan individu yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang baru maka diperlukan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan serta keterampilan pada mahasiswa baru asal Bali dalam melakukan keterampilan sosial pada lingkungan yang baru.

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan validasi modul “CAKAP” (Cara untuk Asertif, Komunikatif, dan emPati) untuk meningkatkan keterampilan sosial remaja asal Bali pada lingkungan yang baru. Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah modul “CAKAP” (Cara untuk Asertif, Komunikatif, dan emPati) valid untuk meningkatkan keterampilan sosial remaja Bali pada situasi lingkungan yang baru. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap bidang psikologi khususnya psikologi pendidikan dalam bentuk modul pelatihan pada remaja. Implikasi dari penelitian ini secara praktis adalah dapat membantu remaja asal Bali yang tergabung dalam KMHD untuk menampilkan keterampilan sosial yang tepat saat berada di lingkungan yang baru selain itu nantinya modul dapat digunakan untuk membantu mahasiswa asal Bali.

(18)

18

Kondisi mahasiswa baru asal Bali :

1. Mengalami kesulitan dalam

melakukan proses

penyesuaian sosial. 2. Merasa sendiri.

3. Merasa tidak memiliki teman yang cocok.

4. Takut untuk meminta bantuan kepada orang lain.

Pelatihan kepada mahasiswa Baru asal Bali dengan modul pelatihan “CAKAP”

Proses belajar melalui observational learning: (dibagi menjadi 4 tahapan)

Pengetahuan dan

keterampilan dalam melakukan keterampilan sosial meningkat.

Berdasarkan fakta-fakta yang ditemui di lapangan diperoleh kesimpulan keterampilan sosial yang dimiliki perlu ditingkatkan.

Gambar

Tabel 1. Jumlah mahasiswa asal Bali yang diterima di UGM
Gambar 2. Kerangka alur berpikir  penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kreativitas dan pemahaman konsep Matematika siswa melalui model Problem Based Learning di SD Negeri Kalisari 1

Penelitian ini menerapkan metode deskriptif dengan data kualitatif dimana sumber data diperoleh dari wawancara mendalam dengan narasumber yang telah ditetapkan

Selaras dengan apa yang ingin dicapai dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka melalui Peraturan Daerah tentang Retribusi

menyampaikan laporan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi mengenai pelaksanaan kegiatan usaha Pengangkutan Minyak

Oleh karena itu untuk menganggulangi masalah tersebut perlu adanya perencanaan dan orientasi masa depan yang jelas dalam hal pekerjaan, memikirkan gambaran jenis pekerjaan yang

Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah kualitas mikrobiologik keju impor dengan judul: Kajian Tingkat Keamanan Keju Impor Ditinjau dari Pencemaran

Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran yang dapat meningkatkan konsentrasi siswa dalam proses pembelajaran Matematika pada kelas VII.2 di

Luka kaki diabetik adalah luka yang terjadi pada pasien diabetik yang.. melibatkan gangguan pada saraf periferal