• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Persepsi Pasien Luka Diabetik Tentang Perawatan Luka Lembab ASRI Wound Care Clinic Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Persepsi Pasien Luka Diabetik Tentang Perawatan Luka Lembab ASRI Wound Care Clinic Medan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Persepsi

1.1 Definisi

Persepsi merupakan keseluruhan proses mulai dari stimulus (rangsangan)

yang diterima pancaindera (hal ini dinamakan sensasi), kemudian stimulus diantar

ke otak dimana ia didekode serta diartikan dan selanjutnya mengakibatkan

pengalaman yang disadari (Maramis, 2006). Persepsi adalah proses

pengorganisasian, penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima oleh

organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan

aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu (Walgito, 2001 dalam Sunaryo,

2002).

Secara umum, persepsi adalah proses mengamati dunia luar yang

mencakup perhatian, pemahaman, dan pengenalan objek-objek atau peristiwa.

Biasanya persepsi diorganisasikan kedalam bentuk (figure), dasar (ground), garis

bentuk (garis luar, kontur) dan kejelasan (Pieter & Lubis, 2010).

Persepsi dapat diartikan juga sebagai proses diterimanya rangsang melalui

pancaindra yang didahului oleh perhatian sehingga individu mampu mengetahui,

mengartikan dan menghayati tentang hal yang diamati, baik yang ada di luar

maupun dalam diri individu (Sunaryo, 2002).

Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi

ke dalam otak manusia. Terus-menerus mengadakan hubungan dengan

(2)

1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Secara umum, adapun faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi

seseorang yaitu : (1) Minat, adalah semakin tinggi minat seseorang terhadap suatu

objek atau peristiwa, maka semakin tinggi juga minatnya dalam memersepsikan

objek atau peristiwa. (2) Kepentingan, adalah semakin dirasakan penting terhadap

suatu objek atau peristiwa tersebut bagi diri seseorang, maka semakin peka dia

terhadap objek-objek persepsinya. (3) Kebiasaan, adalah objek atau peristiwa

semakin sering dirasakan seseorang, maka semakin terbiasa dirinya di dalam

membentuk persepsi. (4) Konstansi, adalah adanya kecenderungan seseorang

untuk selalu melihat objek atau kejadian secara konstan sekalipun sebenarnya itu

bervariasi dalam bentuk, ukuran, warna dan kecemerlangan (Pieter & Lubis,

2010).

Menurut Siagian (1995), faktor- faktor persepsi seseorang menyebabkan

mengapa dua orang yang melihat sesuatu mungkin memberi interpetasi yang

berbeda tentang yang dilihatnya itu, yaitu (a) diri orang yang bersangkutan

sendiri. Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interpretasi

tentang apa yang sedang dilihanya itu, ia dipengaruhi oleh karakteristik individual

yang turut berpengaruh seperti sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman dan

harapan. (b) Sasaran persepsi tersebut. sasaran itu mungkin berupa orang, benda

atau peristiwa. (c) Faktor situasi. Perhatikan secara kontekstual yang berarti

(3)

1.3 Proses Terjadinya Persepsi

Suatu individu dapat menyadari dan dapat mengerti tentang keadaan

lingkungan yang ada di sekitarnya maupun tentang keadaan diri individu yang

bersangkutan dengan persepsinya (self perception). Menurut Sunaryo (2002)

syarat untuk mengadakan persepsi perlu adanya proses fisik, fisiologis dan

psikologis. Persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu

stimulus berasal dari luar individu (langsung mengenai alat indra/reseptor) dan

dari dalam diri individu (langsung mengenai saraf sensoris yang bekerja sebagai

reseptor). Kemudian dengan diterimanya stimulus oleh reseptor, lalu diteruskan

ke otak atau pusat saraf yang di koordinasikan dan diinterpretasikan sebagai

proses psikologis. Lalu pada akhirnya suatu individu menyadari tentang apa yang

dilihat dan didengarnya.

1.4 Indikator Persepsi

Menurut Bimo Walgito (1990), persepsi memiliki indikator-indikator

sebagai berikut:

1.4.1 Penyerapan terhadap rangsang atau objek dari luar individu

Rangsang atau objek tersebut diserap atau diterima oleh panca indera, baik

penglihatan, pendengaran, peraba, pencium, dan pencecap secara sendiri-sendiri

maupun bersama-sama. Dari hasil penyerapan atau penerimaan oleh alat-alat

indera tersebut akan mendapatkan gambaran, tanggapan, atau kesan di dalam otak.

Gambaran tersebut dapat tunggal maupun jamak, tergantung objek persepsi yang

(4)

yang lama maupun yang baru saja terbentuk. Jelas tidaknya gambaran tersebut

tergantung dari jelas tidaknya rangsang, normalitas alat indera dan waktu, baru

saja atau sudah lama.

1.4.2 Pengertian atau Pemahaman

Setelah terjadi gambaran-gambaran atau kesan-kesan didalam otak, maka

gambaran tersebut diorganisir, digolongkan (diklasifikasi), dibandingkan,

diinterpretasi, sehingga terbentuk pengertian atau pemahaman. Proses terjadinya

pengertian atau pemahaman tersebut sangat unik dan cepat. Pengertian yang

terbentuk tergantung juga pada gambaran-gambaran lama yang telah dimiliki

individu sebelumnya (apersepsi).

1.4.3 Penilaian atau Evaluasi

Setelah terbentuk pengertian atau pemahaman, terjadilah penilaian dari

individu. Individu membandingkan penge rtian atau pemahaman yang baru

diperoleh tersebut dengan kriteria atau norma yang dimiliki individu secara

subjektif. Penilaian individu berbeda-beda meskipun objeknya sama. Oleh karena

itu persepsi bersifat individual.

2. Luka Diabetik

2.1 Defenisi

Luka diabetik merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena

(5)

neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak

dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob

maupun anaerob (Misnadiarly, 2006 dalam Purwanti, 2013)

Luka diabetik (diabetic ulcer) seringkali disebut diabetic foot ulcer, luka

neuropati, luka diabetik neuropati merupakan beban sosial dan ekonomi bukan

hanya bagi sistem pelayanan kesehatan di Indonesia dan Internasional, tetapi bagi

pasien dan keluarganya. (Maryunani, 2013). Neuropati perifer/ luka kaki diabetik

adalah suatu komplikasi kronik dari diabetes dimana syaraf-sayaraf telah

mengalami kerusakan sehingga kaki pasien menjadi baal (tidak merasakan

sensasi) dan tidak merasakan adanya tekanan, injuri/trauma atau infeksi. (Genna,

2003 dalam Maryunani, 2013).

Luka kaki diabetik adalah luka yang terjadi pada pasien diabetik yang

melibatkan gangguan pada saraf periferal dan autonomik. Kerusakan pada syaraf

ini akan menyebabkan penderita kehilangan sensasi nyeri yang dapat mengenai

sebagian atau keseluruhan pada kaki yang terlibat (Suriadi, 2004). Kaki diabetik

adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat dalam yang berhubungan

dengan neuropati dan penyakit vaskuler perifer pada tungkai bawah (Boulton,

Kirsner, & Vileykite, 2004 dalam Decroli dkk, 2008).

Masalah pada kaki diabetik misalnya ulserasi, infeksi dan gangren,

merupakan penyebab umum perawatan di rumah sakit bagi para penderita

diabetes. Perawatan rutin luka, pengobatan infeksi, amputasi dan perawatan di

(6)

yang sangat besar dalam sistem pemeliharaan kesehatan (Kruse & Edelman, 2006

dalam Hariani & Perdanakusuma, 2012).

2.2 Patofisiologi

Salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang diabetes mellitus

adalah luka diabetik. Luka diabetik disebabkan adanya tiga faktor yang sering

disebut Trias yaitu Neuropati perifer, insufisiensi vaskuler (iskemia) dan Infeksi.

Bagi pasien-pasien dengan neuropati perifer, pengurangan maupun hilangnya

sensasi nyeri pada kaki dapat menyebabkan tidak diperhatikannya trauma akibat

pemakaian sepatu dan kuku jari kaki yang cacat. Trauma berulang, khususnya

tekanan yang berkepanjangan, dapat menyebabkan ulserasi pada telapak kaki,

terutama dibawah kaput tulang metatarsal pertama, diatas pembengkakan pada jari

yang membesar dan diatas tonjolan tulang jari kaki (Morison, 2004).

Pada pasien yang mengalami “Peripheral vascular disease” akan

menyebabkan kerusakan pada saraf yang berdampak pada sistem saraf otonom

yang mengontrol fungsi otot-otot halus kelenjar dan organ viceral yang

mempengaruhi perubahan tonus otot yang menyebabkan abnormalnya aliran

darah. Kejadian itu membuat kebutuhan akan nutrisi dan oksigen maupun

pemberian antibiotik tidak mencukupi atau tidak dapat mencapai jaringan perifer

dan atau untuk kebutuhan metabolisme pada lokasi tersebut. Efek otonomi

neuropati ini akan membuat kulit menjadi kering dan mudah rusak, sukar sembuh

(7)

pada saraf sensori dan sistem motor yang menyebabkan hilangnya sensasi rasa

nyeri, tekanan dan temperatur (Suriadi, 2004).

2.3 Faktor-faktor Risiko yang Mempengaruhi Luka Diabetik

Mengenal faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan timbulnya luka

pada kaki diabetik, merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk upaya

pencegahan. Salah satu faktor risiko yang sangat berperan adalah lamanya

menyandang penyakit diabetes mellitus, yang juga berperan atas timbulnya

berbagai komplikasi kronis lain seperti pada mata, jantung, ginjal, saluran

pencernaan, organ genital dll. Faktor-faktor lain penyebab lukadan amputasi pada

luka diabetik adalah gangguan saraf, kelainan bentuk kaki, peningkatan

tekanan/beban pada kaki, kelainan tulang-tulang kaki, gangguan pembuluh darah,

riwayat luka pada kaki, kelainan pertumbuhan kuku, tingkat pendidikan dan

lingkungan sosial, pemakain sepatu yang tidak sesuai (Em Yunir, 2006).

Pemeriksaan kaki dan pelajaran tentang perawatan kaki merupakan bahan

yang paling penting untuk dibicarakan ketika menghadapi pasien yang beresiko

tinggi mengalami infeksi kaki, yaitu (a) Lama penyakit diabetes melebihi 10 tahun

(b) usia pasien yang lebih dari 40 tahun (c) riwayat penyakit (d) penurunan nadi

perifer (e) penurunan sensibilitas (f) deformitas anatomis atau bagian yang

menonjol (g) riwayat luka kaki atau amputasi (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut

Suriadi (2004) faktor-faktor yang juga berkontribusi dalam menyebabkan luka

(8)

2.4 Derajat Luka Kaki Diabetik

Berdasarkan berat ringannya lesi, kelainan kaki diabetes dibagi menjadi

enam derajat menurut Wagner, yaitu, (1) Derajat 0 : Tidak ada lesi yang terbuka

dan terdapat deformitas atau selulitis. (2) Derajat 1 : luka/luka superfisial terbatas

pada kulit. (3) Derajat 2 : Luka/luka dalam sampai menembus tendon atau tulang.

(4) Derajat 3 : Luka/luka dalam dengan abses, osteomielitis atau sepsis

persendian. (5) Derajat 4 : Gangren setempat, ditelapak kaki atau tumit. (6)

Derajat 5 : Gangren pada seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah (Maryunani,

2013).

University of Texas membagi luka berdasarkan dalamnya luka dan

membaginya lagi berdasarkan adanya infeksi atau iskemi. Adapun klasifikasi

University Of Texas ini meliputi : Grade 0 : Pre atau post ulserasi. Grade 1 : Luka

superfisial yang mencapai epidermis atau keduanya, tapi belum menembus

tendon, kapsul sendi atau tulang. Grade 2 : Luka menembus tendon atau tulang

tetapi belum mencapai tulang atau sendi. Grade 3 : Luka menembus tulang atau

sendi (Doupis, Veves, 2008 dalam Linda, Perdanakusuma, 2013).

2.5 Pencegahan Luka Diabetik

Menurut Maryunani (2013), Pencegahan luka kaki diabetik seharusnya

dimulai jauh hari sebelum terjadi luka. Usaha yang perlu dilakukan adalah

rehabilitasi saat perawatan dan kemudian rehabilitasi untuk pencegahan timbulnya

ukus baru. Berikut ini beberapa hal yang perlu diberitahukan pada pasien diabetik

(9)

2.5.1 Perawatan Mandiri

Periksa kaki setiap hari, lihat apakah terdapat kalus, bula atau luka lecet.

Kemudian cuci kaki dan bersihkan setiap hari, lalu keringkan dengan baik

terutama disela jari. Jaga kuliat agar tetap lembut dan lentur. Pakailah kaus kaki

dan sepatu sesuai ukuran kaki setiap hari. Potong kuku secara hati-hati dan jangan

terlalu dalam. Dan lakukan pencegahan dini seperti hentikan kebiasaan merokok

dan olahraga teratur.

2.5.2 Nutrisi

Nutrisi meliputi kemampuan klien dan keluarga dalam mengontrol diet,

mengontrol dan mengenal batasan gula darah normal dan pengobatan yang teratur

untuk terapi diabetik.

2.5.3 Psikososial

Peran keluarga sangan penting disini. Keluarga harus mampu membantu

dan mendukung pasien dalam mengatasi masalah penyakit ini, termasuk adaptasi

terhadap lingkungan diluar dari anggota keluarga.

2.5.4 Konsultasi

Pasien dan keluarga harus membawa pasien kepada tim kesehatan yang

berkaitan dengan gejala yang timbul pada pasien.

3. Perawatan Luka Lembab

3.1 Konsep Perawatan Luka Lembab

Perawatan luka lembab atau perawatan luka modern adalah suatu

(10)

lingkungan yang optimal yang berperan dalam proses penyembuhan luka telah

diawali oleh George Winter pada tahun 1962 dengan menggunakan model babi.

Hasil percobaan menunjukkan aplikasi lapisan film semi-oklusif pada permukaan

luka menciptakan kondisi kelembaban optimal untuk penyembuhan luka.

Penelitian lebih lanjut tentang perawatan luka berbasis suasana lembab yaitu

mempercepat proses penyembuhan luka dan mengurangi rasa nyeri. Sutu

lingkungan luka fisiologis yang berhubungan dengan tingkat kelembaban

meliputi, meningkatkan dan mempertahankan suatu permukaan yang lembab,

tidak basah dan tidak kering dengan menggunakan materi eksogen, antara lain

balutan (Maryunani, 2013).

Metode moist wound healing adalah metode untuk mempertahankan

kelembaban luka dengan menggunakan balutan penahan kelembaban, sehingga

penyembuhan luka dan pertumbuhan jaringan dapat terjadi secara alami.

Penanganan luka ini saat ini digemari terutama untuk luka kronik, seperti venous

leg ulcers, pressure ulcers, dan diabetic foot ulcers (Tarigan, 2007).

Moisture balance memiliki tujuan yaitu mempertahankan kelembaban

yang seimbang, melindungi luka dari trauma saat mengganti balutan, melindungi

kulit sekitar luka, menyerap/menampung cairan luka. Falanga (2004)

mengemukakan bahwa cairan yang berlebihan pada luka dapat menyebabkan

terganggunya kegiatan sel mediator seperti growth factor pada jaringan.

Banyaknya cairan luka (eksudat) pada luka kronik dapat menimbulkan maserasi

dan perlukaan baru pada daerah sekitar luka, sehingga konsep kelembaban yang

(11)

3.2Penyembuhan Luka pada Konsep Lembab

Pada umumnya proses fisiologis penyembuhan luka ada dalam 3 fase

utama menurut Maryunani (2013), yaitu (1) fase inflamasi/ eksudasi (tahap

pembersihan) yaitu mencakup homeostatis, pelepasan histamin dan mediator lain

dari sel-sel yang rusak serta migrasi sel darah putih ke tempat yang rusak tersebut.

Fase ini terjadi pada 0-3 hari. (2) Fase ploriferasi (granulasi/ rekonstruksi), yaitu

fase yang terjadi selama 3-24 hari. Fase ini sering juga disebut sebagai fase

destruktif. Fase ini memiliki banyank aktivitas. Pada tahap ini, terjadi

pembersihan dan penggantian jaringan sementara serta aktivitas kontraksi yaitu

penarikan tepi-tepi luka untuk mengurangi area permukaan luka. (3) Fase

maturasi (epitelisasi/ diferensiasi), yaitu luka diperbaiki melalui proses

pembentukan kembali. Pada fase ini sel radang akut dan kronik menghilang secara

bertahap. Pada tahap ini jaringan yang telah terbenyuk menjadi lebih matang dan

fungsional. Fase ini berjalan selama 24-365 hari.

Penyembuhan luka yang lembab didefenisikan sebagai jumlah atau tingkat

kebasahan yang tepat. Saat ini secara umum diterima bahwa lingkungan luka yang

lembab mempercepat penyembuhan, baik luka akut maupun kronik dan

(Maryunani, 2013).

Kondisi yang lembab pada permukaan luka dapat meningkatkan proses

perkembangan perbaikan luka, mencegah dehidrasi jaringan dan kematian sel.

Kondisi ini juga dapat meningkatkan interaksi antara sel dan faktor pertumbuhan.

(12)

menurunnya faktor per tumbuhan (growth factor ) dan tidak seimbangnya antara

enzim proteolitik dan inhibitornya (Ismail, Irawaty, & Haryati, 2009).

Penyembuhan luka lembab memberikan beberapa keuntungan, yaitu

meningkatkan kecepatan penyembuhan, meningkatkan epitelisasi 90% setelah 3

hari, mengurangi kejadian infeksi yaitu lebih rendah dibandingkan perawatan

kering (2,6% vs 7,1%), percepatan pembentukan makrofag lebih awal dengan

jumlah yang banyak, mencegah pembentukan scar yang menghalagi re-epitelisasi,

mengurangi resiko perpindahan perpindahan mikroorganisme dan mengurangi

kemungkinan adanya luka baru pada saat penggantian balutan, menjaga luka pada

temperatur optimum, menghemat waktu, uang dan mengurangi rasa sakit

(Maryunani, 2013).

3.3 Pemilihan Balutan

Menurut Morison (2004) masalah pemilihan balutan sekarang ini begitu

banyak macam balutan yang membingungkan untuk dipilih tidak ada balutan luka

tunggal yang cocok untuk segala macam luka.memilih balutan yang paling sesuai

dengan kebutuhan masing-masing pasien merupakan hal yang penting.

Karakteristik balutan luka yang ideal adalah tidak melekat, impermeabel terhadap

bakteri, mampu mempertahankan kelembaban yang tinggi pada tempat luka

sementara juga mengeluarkan eksudat yang berlebihan, penyekat suhu,

non-toksik, nyaman dan mudah disesuaikan, mampu melindungi luka dan trauma lebih

lanjut tidak perlu mengganti terlalu sering balutan, biaya ringan, awet, tersedia

(13)

Menurut Maryunani (2013) Dengan perkembangan perawatan luka yang

sangat pesat, penggunaan dressing/balutan didasarkan dengan mengukur

kemampuan biaya yang ada, tentunya disesuaikan dengan prinsip dari perawatan

luka, yaitu mempertahankan fisiologi kelembaban pada lingkungan luka sehingga

memacu proses perbaikan jaringan. Pada dasarnya pemilihan balutan yang tepat

harus didasarkan pertimbangan biaya (cost), kenyamanan (comfort) dan keamanan

(safety). Secara umum, perawatan luka yang berkembang pada saat ini lebih

ditekankan pada intervensi yang melihat sisi klien dari berbagai dimensi, yaitu

dimensi fisik, psikis, ekonomi dan sosial.

Balutan luka memiliki dua tipe balutan yaitu balutan primer dan balutan

sekunder. Balutan primer adalah balutan yang menempel langsung pada luka dan

dapat lebih dari satu jenis balutan. Sedangkan balutan sekunder merupakan

balutan yang menutupi atau melapisi balutan primer yang juga dapat terdiri dari

beberapa lapisan balutan (Arisanty, 2012).

3.4 Macam-macam Balutan

Occlusive dressing adalah jenis balutan yang mempertahankan lingkungan

luka dalam keadaan optimal, saat penggantian balutan akan tampak peluruhan

jaringan nekrosis/slough dengan dasar luka bersih (Maryunani, 2013).

Berikut ini adalah contoh balutan dalam teknik balutan luka lembab

menurut Maryunani (2013). (1) Gauze / Kasa kering serat alami : Bahannya

mengandung katun, rayon, dan polyester. Berfungsi untuk absorbsi eksudat

(14)

thickness’, luka infeksi dan luka berongga. (2) Transparant Film : Bahannya tipis

transparan. Berfungsi untuk melindungi luka dari air, bakteri dan jamur dengan

tetap menjaga sirkulasi udara disekitar luka. Transparant film juga sangat elastis

dengan daya rekat kuat. Kontraindikasi untuk lika dengan eksudat banyak, sinus.

Contoh fixomol transparent, tegaderm, dll. (3) Hidrogels : Suatu colloid yang

terdiri dari polimer dalam bentuk air tetapi tidak terlarut. Indikasi hidrogel adalah

untuk luka kronis dan akut, luka kering dengan atau kedalamannya, menciptakan

lingkungan luka yang lembab, nekrotik dan luka basah, luka berlubang,mengisi

lubang dan mengurangi area jaringan mati. (4) Calcium Alginate : Merupakan

jalinaan serabut calcium alginate yang mirip dengan jalinan bulu domba. Daya

serap tinggi (15- 20x dari bobotnya). Alginate menyerap jumlah cairan yang

berlebihan dan menstimulasi proses pembekuan darah jika terjadi perdarahan

minor. Diindikasikan untuk luka dengan warna dasar luka merah, dengan eksudat

yang banyak, luka mudah berdarah, akut maupun kronik luka potong, dll. Contoh

: Cutimed Alginate, Seasorb, Curasorb, dll. (5) Hidrocolloids : Pembalut dengan

lapisan rangkap yang biasanya terbuat dari polyuretin film, gelatin, pectin, dll.

Diindikasikan untuk luka dengan sedikit eksudat, luka akut kronik, luka dangkal

dan abses. Contoh : Cutimed Hydro-L, Comfeel dll.

Luka sebaiknya dibalut rapat (occlusive dressing) dibandingkan dibiarkan

terbuka karena, (1) Balutan akan menggantikan fungsi kulit sebagai pelindung. (2)

Proses debris terjadi optimal pada suasana lembab, sehingga mempertahankan

kelembaban akan mempercepat penyembuhan luka. (3) mencegah infeksi atau

(15)

menempel pada kulit sehingga tidak nyeri saat penggantian luka. (5) menampung

cairan luka sehingga tidak mengiritasi kulit sekitar. (6) meningkatkan kualitas

hidup pasien karena setelah dibalut pasien dapat beraktivitas kembali. (7)

Mengatasi bau. (8) Biaya, waktu dan tenaga menjadi lebih efektif karena tidak

Referensi

Dokumen terkait

Scaffolded Reading Experience strategy can be categorized as moderately effective and better alternative than the strategy commonly used by the teacher to teach

[r]

Data dalam penelitian ini, yaitu; (1) RPP yang dibuat guru dan peneliti secara kolaborasi yang mencakup perencanaan, pelaksanaan serta hasil pengamatan dan

Setiap Pemegang saham public DVLA yang secara tegas memberikan suara tidak setuju atas rencana Penggabungan Usaha pada saat RUPSLB DVLA dan bermaksud untuk menjual saham

Pada sub indikator ini rata-rata respon siswa sebesar 81,1 % dengan kriteria sangat kuat sehingga dapat disimpulkan bahwa kalimat dalam modul tidak berbelit-belit dan

Tahapan penelitian pada Gambar 2, dapat dijelaskan sebagai berikut. 3) Tahap keempat: Pembuatan Aplikasi/Program pengujian, sekaligus pengujian algoritma dan analisis hasil

Finite state automata dapat digunakan untuk membuat model Non-Deterministic Finite Automata (NDFA), sehingga dapat mendeteksi keadaan yang tidak normal atau malfungsi

Secara khusus dapat disimpulkan bahwa (1) pengenalan awal terhadap dunia kerja dan usaha memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup, (2) pengenalan,