• Tidak ada hasil yang ditemukan

arsitektur.net 2009 vol. 3 no. 2 Out of the Box: Penjelajahan Ruang, Tipologi dan Konteks dalam Arsitektur dan Sepakbola Ferro Yudhistira

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "arsitektur.net 2009 vol. 3 no. 2 Out of the Box: Penjelajahan Ruang, Tipologi dan Konteks dalam Arsitektur dan Sepakbola Ferro Yudhistira"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Bagaimana sebenarnya seharusnya seorang arsitek berpikir untuk menghasilkan sebuah desain arsitektural yang baik? Pertanyaan ini mungkin akan menghasilkan ribuan jawaban yang berbeda-beda. Setiap arsitek tentunya memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang proses desain dan memang tidak ada yang memaksa setiap arsitek untuk mengikuti atau menggunakan metoda tertentu, semua tergantung pilihan dari tiap–tiap pribadi dari arsitek. Walaupun tidak mungkin menyetarakan persepsi tentang metode dalam merancang atau mendesain, paling tidak kita bisa mencoba untuk melihat salah satu cara dalam mendesain, sehingga kita bisa melihat mengapa cara tersebut layak untuk dilakukan dan dalam kondisi apa seorang arsitek bisa melakukannya. Untuk itu pada penulisan kali ini akan coba dijabarkan alasan mengapa seorang arsitek–dalam suatu kondisi - perlu untuk berpikir out of the box.

Telah disebutkan bahwa seorang arsitek perlu berpikir out of the box dalam suatu kondisi tertentu. Lalu dalam “kondisi” yang seperti apa seorang arsitek boleh dan perlu berpikir out of the box? Salah satu yang paling mempengaruhi kondisi ini ialah “apa” sebenarnya yang harus diselesaikan oleh seorang arsitek? Atau apa yang menjadi esensi dari arsitektur?

Menjelaskan esensi dari arsitektur merupakan hal yang sangat rumit, untuk itu penulis akan mencoba menggunakan instrumen lain dari luar dunia arsitektur sebagai perbandingan agar penjelasan yang diberikan menjadi sangat menarik dan mudah dimengerti. Dalam penulisan kali ini penulis akan membandingkan arsitektur dengan olaharaga sepakbola. Mengapa sepakbola? Alasan yang paling mendasar adalah banyak pendapat yang mengatakan bahwa esensi dari arsitektur adalah tentang ruang dan manusia. Dilihat dari sudut pandang manusia dan ruang, sepakbola adalah olahraga yang sangat menarik, bagaimana di lapangan yang begitu besar setiap pemain seolah memiliki ‘tempatnya’ masing– masing, dimana tempat ini menjadi ruang gerak bagi setiap pemain untuk kemudian bekerja sama dengan rekan satu timnya. Seolah-olah ada suatu struktur yang membentuk formasi dan menghubungkan pikiran dari tiap pemain sebagai sebuah tim.

Hal lain yang menjadi alasan mengapa sepakbola dipilih untuk dijadikan perbandingan dalam penulisan kali ini adalah pandangan masyarakat khususnya kaum jurnalis yang sering menyebut pelatih dari sebuah klub sepakbola dengan sebutan ‘arsitek’.

“Arsene Wenger selaku arsitek Arsenal jelas tak menyangka kalau timnya bisa ditaklukan dengan cara seperti itu . Tetapi , ia bisa mengakui bahwa menghadapi situasi throw in seperti itu bukanlah hal yang mudah.” (www.detiksport.com) “Arsitek Barcelona Frank Rijaard mengatakan juara Liga Champion 2006 siap memenangi gelar juara Piala Dunia Antarklub pertama..” (www.media-indonesia. com).

Dua kutipan dari website diatas hanya merupakan sebagian dari begitu banyak penggunaan istilah ‘arsitek’ sebagai pengganti pelatih dalam dunia sepakbola. Ada

Ferro Yudhistira

Out of the Box: Penjelajahan Ruang, Tipologi dan

Konteks dalam Arsitektur dan Sepakbola

(2)

apa sebenarnya sehingga para penulis berita begitu senang memakai sebutan arsitek sebagai pengganti pelatih? Tidak dapat dipungkiri bahwa ini mungkin hanya bagian dari bahasa jurnalistik agar kalimat yang disampaikan terasa lebih ‘berbobot’. Namun jika kita mencoba menganalisis lebih dalam, maka kita dapat menemukan bahwa memang ada kesamaan antara dunia sepakbola dan dunia arsitektur, yang membuat pengumpamaan pelatih sepakbola sebagai seorang arsitek terasa ‘masuk akal’.

Jika terdapat hubungan antara sepakbola dengan dunia aristektur, adakah elemen - elemen dari dunia sepakbola yang bisa dimasukkan ke dalam arsitektur ? Atau mungkinkah ada bagian dari metode – metode yang dipakai dalam dunia sepakbola yang dapat digunakan dalam dunia arsitektur ? Dan bagaimana fakta–fakta yang terjadi dalam dunia sepakbola dapat menjadi pelajaran dan pertimbangan mengapa seorang arsitek perlu berpikir out of the box?

Ruang - Esensi Dari Arsitektur

“What I am really interested in is designing architectural space. “(Denari, 1993: 95)

Tiga pernyataan di atas menyebutkan bahwa ruang adalah ‘inti’ dari arsitektur. Walaupun sampai sekarang masih sangat banyak pendapat tentang apa itu arsitektur dan juga apa sebenarnya yang menjadi inti dari arsitektur, pendapat tentang ruang sebagai inti dari aristektur ini bisa dibilang merupakan yang paling mendekati kenyataan. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa sebagian besar karya arsitektur berhubungan dengan ruang, atau lebih tepatnya bagaimana hubungan manusia dengan ruang, mulai dari ruang dalam skala yang sangat besar seperti kota sampai dengan ruang dalam skala yang sangat kecil seperti toilet.

Namun jika pernyataan di atas diulangi, maka sesungguhnya terdapat dua elemen yaitu manusia dan ruang. Jika ruang dianggap sebagai inti dari arsitektur, bagaimana dengan manusia? Bukankah ruang tersebut dibentuk sebagai respon atas kebutuhan manusia? Atau justru sebaliknya, dimana ruang justru membentuk di dalam sebuah ruang? Jika kita mencoba menganalisa lebih lanjut hubungan antara manusia dan ruang, maka akan muncul pertanyaan yang lain yaitu apa sebenarnya yang menjadi media penghubung antara manusia dan ruang? Jawaban yang mungkin muncul adalah ‘pikiran’.

Lalu bagaimana posisi dari ‘pikiran’ di dalam arsitektur? Apa dan bagaimana penjelasannya hingga pikiran ini membentuk hubungan antara manusia dan ruang, dimana keduanya bisa saling mempengaruhi? Lalu bagaimana sebaiknya seorang aristek ‘berpikir’ sehingga dapat menghasilkan desain yang maksimal? Untuk mempermudah analisa dan juga agar lebih mudah dimengerti, penulis mencoba untuk membahasnya dengan menggunakan perbandingan antara arsitektur dengan bidang lain yaitu olahraga, yaitu antara arsitektur dengan sepakbola.

(3)

Sepakbola Sebagai Sebuah ‘Ruang’

Telah dibahas sebelumnya bahwa banyak pendapat yang mengatakan bahwa inti dari arsitektur terletak pada bagaimana mendesain sebuah ruang. Untuk itu, agar dapat menangkap hubungan antara sepakbola dan arsitektur kita dapat mulai melihat sepakbola sebagai sebuah ruang. Sepakbola sebagai sebuah berlangsungnya pertandingan sepakbola. Lapangan sepakbola merupakan sebuah ruang terbuka dengan ukuran standar kurang lebih 100 m x 90 m hingga 120 m x 100 m. Di lapangan sepakbola terdapat garis-garis yang menjadi ”tanda” dan kemudian membagi lapangan sepakbola menjadi beberapa ruang yang lebih kecil sehingga muncul berbagai istilah ruang, antara lain: tengah lapangan, kotak penalti, daerah pertahanan hingga gawang. Ruang ruang di dalam lapangan ini yang kemudian menjadi sebuah tempat (place) berupa ‘daerah operasi’ bagi pemain sepakbola, dimana tiap pemain memiliki ‘tempatnya’ masing-masing. Hal ini kemudian yang menghasilkan apa yang disebut ‘posisi’ pemain di dalam lapangan. Pada dasarnya, di dalam sepakbola hanya ada empat posisi utama yaitu penjaga gawang (goalkeeper), pemain bertahan (defender), pemain tengah

Pemberian posisi ini menjadi hal yang penting karena berfungsi membentuk ‘ruang di dalam pikiran’ dari tiap - tiap pemain yang berfungsi untuk ‘mengatur’ pergerakan tiap pemain di dalam lapangan yang begitu besar. Karena pada saat permainan berlangsung, selama masih berada di dalam lapangan permainan, maka tiap pemain sesungguhnya bebas untuk bergerak kemana saja.

Namun dengan adanya posisi, maka di dalam pikiran tiap pemain telah terpetakan sebuah ‘ruang gerak’ yang menjadi tanggung jawab dari pemain tersebut. Hal ini yang membuat seorang pemain belakang cenderung untuk tidak bergerak terlalu jauh pada saat timnya melakukan serangan karena ia memiliki ruang gerak yang harus ia jaga.

recognizes and reaches out to more permanent object and places.

Tiap pemain kemudian akan mencoba untuk mengenali dan mengerti secara mendalam ruang geraknya masing-masing sehingga ruang gerak ini menjadi sebuah tempat (place) bagi pemain tersebut. Pemain yang memahami secara mendalam ruang geraknya akan mampu bertindak secara tepat dan intuitif pada saat pertandingan berlangsung. Ketika seorang pemain sudah menemukan ‘tempatnya’, maka ia akan merasa kesulitan pada saat posisiya diubah. Atau sebaliknya, pemain yang tidak bisa beradaptasi dengan sebuah posisi ternyata bisa menemukan tempatnya di posisi yang lain. Seperti yang dikemukakan pemain klub sepkabola AS Roma Julio Baptista tentang posisi barunya di situs Goal.com ”...bermain di posisi ini membuat saya lebih nyaman dan tempat di mana saya merasa lebih banyak membantu tim.”

Gambar 1. Lapangan Sepakbola

(4)

People know better

when the arena is humanly designed rather than nature raw

Dari penjelasan diatas kita mulai dapat melihat persamaan antara sepakbola dan arsitektur yaitu bagaimana arsitektur membentuk ruang untuk aktivitas manusia di suatu lokasi, dimana tiap ruang harus memiliki ‘batas’, sehingga di dalamnya (1977) berpendapat bahwa arsitektur mampu membentuk posisi dan peran dari setiap orang di dalam masyarakat sosial, dimana manusia bisa mengetahui bagaimana mereka bisa bertindak dan melakukan suatu aktivitas secara lebih baik di dalam sebuah ‘ruang arsitektural’. Bukankah ini hampir serupa dengan apa yang terjadi di sepkabola dimana tiap pemain bisa mengerti perannya di dalam permainan ketika ia sudah memiliki ruang untuk bergerak yang kemudian disampaikan melalui apa yang disebut posisi.

Formasi, Pelatih dan Tipe-Tipe Posisi

Tiap posisi pemain di sepakbola memiliki tugas masing-masing yang terbagi dalam dua kondisi, yaitu pada saat bertahan (defense) dan pada saat menyerang (offense). Baik pada keadaan menyerang maupun bertahan, tempat dan tugas dari masing–masing posisi ini sesuai dengan namanya, contohnya penjaga gawang bertugas menjaga gawang dan pemain belakang bertugas menjaga bagian belakang sebagai daerah pertahanan.

Seiring dengan perkembangan jaman dan kebutuhan, posisi dari pemain ini kemudian menjadi semakin berkembang, dimana dari empat posisi utama tadi berkembang berbagai macam tipe misalnya dari pemain belakang atau defender berkembang menjadi central defender, libero, sweeper, wing back. Dengan perkembangan dari berbagai posisi ini maka sesungguhnya telah terjadi perpotongan antara empat posisi utama. Contohnya, pemain belakang dengan tipe wing back bisa masuk ke dalam ‘tempat’ dari pemain tengah untuk membantu menyuplai bola bagi pemain depan, atau pemain tengah dengan tipe defensive tempat bagi pemain bertahan–untuk membantu pertahanan .

pertama sebenarnya saling mengisi satu sama lain, dimana pengaturan formasi ini merupakan salah satu tugas utama dari seorang pelatih sepakbola .

di area tertentu dari lapangan permainan, yang dimulai dari bagian belakang atau pertahanan (tidak termasuk penjaga gawang). Misalnya formasi 4-4-2, ini berarti di daerah pertahanan ada 4 pemain bertahan, di daerah tengah lapangan terdapat 4 pemain tengah dan di depan ada 2 pemain depan atau penyerang. Atau 4-3-3, berarti ada 4 pemain bertahan, 3 pemain tengah dan 3 pemain depan. Jika kita kaitkan formasi dengan ruang gerak dari setiap posisi, maka formasi dapat dilihat sebagai jaringan antara berbagai ruang gerak dari setiap posisi. Dimana ruang gerak dari setiap posisi akan berhubungan dengan ruang gerak dari posisi yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk kemudian

(5)

saling mendukung baik pada saat bertahan maupun pada saat menyerang. Pada saat pembentukan formasi inilah kemudian pelatih mencoba menganalisa pemain dengan tipe seperti apa yang ia butuhkan untuk mengisi suatu posisi. Karena kombinasi dari formasi ini bisa dibilang tidak terbatas, maka dari itu tipe– tipe pemain yang kemudian muncul menjadi sangat banyak. Hadirnya berbagai tipe ini bisa menjadi referensi bagi pelatih, sehingga ia bisa melihat tipe pemain seperti apa yang ia butuhkan.

Namun tipe-tipe ini sesungguhnya merupakan pedang bermata dua, di satu sisi bisa membantu untuk menemukan pemain seperti apa yang dibutuhkan oleh tim, namun disisi lain juga bisa membuat seseorang pelatih menjadi terobsesi terhadap suatu tipe posisi.

Disini kita dapat melihat bahwa pelatih sepakbola memang memiliki beberapa kesamaan dengan arsitek. Ketika ditugaskan untuk melatih sebuah tim, maka seorang pelatih dituntut untuk mampu mengerti secara mendalam kondisi timnya. Layaknya seorang arsitek, pelatih harus bisa menganalisa potensi dan juga permasalahan dari tim yang ia latih, menemukan solusinya dan kemudian gunakan? Pemain mana dengan tipe seperti apa yang ia butuhkan? Pelatih juga harus dapat memprediksi bagaimana pemainnya akan bergerak pada saat pertandingan berlangsung, posisi apa saja yang akan saling mendukung sehingga harus diletakkan berdekatan, atau sebaliknya posisi mana yang justru akan saling mengganggu jika diletakkan berdekatan. Dengan kata lain seorang pelatih harus mampu men’desain’ tim yang ia latih, ia harus melakukan suatu proses yang dapat membuat timnya menjadi lebih baik. Proses ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh seorang arsitek ketika akan mendesain sebuah objek arsitektural, dimana seorang arsitek harus melakukan berbagai analisa seperti; analisa terhadap tapak dimana objek tersebut akan dibuat, potensi apa yang dimiliki oleh tapak tersebut, apa masalahnya jika dihubungkan dengan objek yang akan dibuat dan ruang–ruang apa saja yang dibutuhkan. Secara diagram, formasi sendiri hadir dalam sebuah gambar dengan esensi yang mirip dengan layout dalam dunia arsitektur.

Peran Dari Tipologi dan Penggalian Potensi

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa di dalam sepakbola terdapat banyak tipe tipe pemain dan formasi. Ada pelajaran yang dapat kita ambil dari fakta ini, baik secara positif maupun negatif. Hal positif yang bisa diambil adalah bagaimana seorang pelatih dapat menganalisa dan mengerti berbagai tipe posisi di dalam sepakbola dimana hal yang penting bukanlah nama–nama dari berbagai tipe posisi tersebut, namun strategi apa yang dapat disampaikan melalui posisi tersebut. Bagaimana pemain dengan posisi tersebut merespon ruang gerak yang diberikan padanya untuk kemudian membawa dampak yang positif ke dalam tim. Pemahaman yang mendalam tentang posisi ini kemudian digunakan oleh sang pelatih untuk menggali potensi dari tiap pemain yang ada di timnya. Pelatih kemudian dapat menentukan posisi apa yang tepat untuk pemain di dalam timnya, dapat diambil dari salah satu tipe yang sudah ada saat ini, tetapi bisa Pelatih dengan pola pikir seperti ini biasanya menghasilkan banyak inovasi dan juga memproduksi talenta-talenta baru di setiap posisi.

Hal negatif yang harus dihindari atau tidak bisa dilakukan dalam dunia arsitektur

(Sumber: petromaks.wordpress. com)

(6)

adalah fakta bahwa di dunia sepakbola tidak jarang seorang pelatih menjadi ”egois” dengan memaksakan kehendak untuk mendapatkan seorang pemain yang dianggap sebagai tipe ideal di sebuah posisi, walaupun mungkin sesungguhnya pemain tersebut tidaklah terlalu dibutuhkan di dalam tim. Bahkan tidak jarang kehadiran pemain tersebut justru merusak atau memperburuk kondisi di dalam tim.

Dalam dunia arsitektur, bagian yang mempelajari tipe–tipe ini disebut dengan tipologi. Perlu atau tidaknya tipologi dalam proses desain aristektur sendiri masih menjadi pro dan kontra. Saya sendiri cenderung untuk berada pada posisi yang menganggap tipologi perlu untuk dilakukan akan tetapi hanya pada tahap tertentu. Tipologi di dalam dunia arsitektur sendiri lebih kompleks dari yang terjadi di sepakbola, seperti yang dikemukakan oleh Colquhoun (1996) bahwa tipologi bisa menjadi alat untuk mengetahui bagaimana arsitektur memberikan arti terhadap banyak hal mulai dari budaya, ideology dan juga agama. Jika suatu tipe arsitektur dapat memiliki arti terhadap begitu banyak hal tentu arsitektur tersebut memiliki suatu ‘nilai’. Nilai inilah yang harus kita tangkap dan kita analisa. Di dalam sepakbola yang menjadi nilai bukanlah berbagai nama seperti second striker atau playmaker yang penting untuk diperhatikan akan tetapi adalah ide tentang suatu strategi yang ingin digunakan melalui posisi tersebut. Demikian halnya di dalam arsitektur dimana nilai tersebut bukanlah terdapat dalam nama– nama ruang seperti ‘ruang keluarga’ atau ‘ruang tamu’ akan tetapi ide apa yang ingin disampaikan melalui ruang tersebut.

Sampai pada tahap ini – seperti yang terjadi di sepakbola – tipologi kembali menjadi pisau bermata dua, dimana nilai yang kita tangkap dari suatu tipe bisa menghasilkan inovasi atau justru membatasi inovasi. Sebagai arsitek tentunya akan lebih baik untuk memilih melakukan inovasi dalam setiap desain. Karena sesungguhnya selalu ada “celah” untuk sebuah inovasi bahkan untuk desain dengan aturan yang sangat ketat seperti rumah ibadah. Karena itu analisa yang mendalam terhadap suatu konteks melalui tipologi menjadi penting untuk menemukan celah ini.

Out of Position, Out of the Box Tapi Tidak Out of Context

Masih berkaitan dengan posisi dalam dunia sepakbola, ada kalanya pelatih bisa melakukan inovasi yang cukup ekstrem. Hal ini bisa dilihat dari kasus pemain Brasil bernama Mario Zagallo, ia mengalami perubahan posisi dari pemain bertahan menjadi penyerang pada saat Piala Dunia 1962. Karena pada piala dunia 1962, Pele sebagai penyerang utama Brazil mengalami cidera, sehingga pelatih Brazil pada saat itu menempatkan Zagallo di posisi penyerang. Pemilihan Zagalo ini tentunya didasarkan pada beberapa faktor, faktor utama adalah bakat yang dimiliki Zagalo sebagai pemain, yang kedua adalah pemahaman sang pelatih dalam melihat karakter permainan Zagalo sehingga ia berani mengambil keputusan yang out of the box dengan menempatkan Zagallo secara out of position. Disini sang pelatih berhasil menangkap nilai lebih yang dimiliki Zagallo sebagai pemain, dan ia melihat celah untuk keluar dari masalah yang ada dalam diri Zagalo. Disini kita kita melihat ada kesesuaian antara pengambilan keputusan

(7)

(perubahan posisi dari seorang pemain) dengan konteks yang hadir dari suatu masalah (kehilangan pemain di posisi yang penting).

Dari kasus diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa pengambilan keputusan akan selalu berhubungan dengan kondisi atau konteks. Dimana terdapat suatu kondisi yang sangat rumit sehingga memaksa kita untuk berani mengambil keputusan yang out of the box. Dalam dunia arsitektur, dimana hampir setiap masalah adalah masalah yang rumit, sesungguhnya seorang arsitek juga diperbolehkan untuk berpikir secara out of the box. Dengan berpikir out of the box, seorang arsitek diharapkan dapat menghasilkan berbagai keputusan yang inovatif untuk menyelesaikan masalah masalah rumit tadi. Namun pengambilan keputusan yang dilakukan secara out of the box tadi tetap harus sesuai dengan konteks ari desain, sehingga walaupun terkesan ”nyeleneh” namun keputusan tersebut boleh dilakukan oleh seorang arsitek adalah out of the box bukan out of the context. Jika kita kembali pada dunia sepakbola, besar kemungkinan pelatih dari Brazil tidak akan merubah posisi Zagallo (sebagai sebuah keputusan) apabila tidak kehilangan penyerang sekaliber Pele (sebagai sebuah konteks).

Daftar Pustaka

. London: Thames And Hudson.

Lefebvre, Henry (1974). Nesbitt ,Kate (1996).

Architectural Theory

. London: University of Minnessota Press.

www.detiksport.com www.media-indonesia.com www.wikipedia.com

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor yang memengaruhi DAS adalah iklim, jenis batuan yang dilalui, dan banyak sedikitnya air yang jatuh ke alur pada waktu hujan. Cepat atau lambatnya air hujan yang

Mendapatkan besar debit limpasan yang diperkenankan keluar menuju saluran cacing yang berada pada lahan luar kawasan.. Mengetahui fasilitas drainase

Bilyet giro merupakan surat perintah dari nasabah kepada bank yang memelihara rekening giro nasabah tersebut untuk memindah bukuan sejumlah uang dari rekening

Jurusan Kimia FMIPA (Kelas B) – Universitas Brawijaya Biologi S1 Fakultas Teknologi Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian – Universitas Brawijaya (Kelas

Pertanyaan berkaitan dengan data demografi responden serta opini atau tanggapan terhadap skeptisme profesional auditor, fraud risk assessment , dan prosedur audit

Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut: (1) Fimbriae S.mutans berfungsi sebagai sarana perlekatan pada reseptor spesifik

Sementara di Kabupaten Demak pada tahun 2011 jumlah kejadian kematian ibu sebanyak 26 kasus, dan Upaya yang telah dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Demak

Dari perilaku agresif remaja itu, penyebabnya adalah adanya dua faktor utama dari serangan dan frustasi, faktor yang sering menjadikan penyebab ialah serangan agresif dan