• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. PEMBAHASAN. Merozoit generasi ke- 2 yang diperoleh mempunyai ukuran 11.5 pm, Perbedaan yang dijumpai baik mengenai ukuran, waktu sporulasi ookista

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. PEMBAHASAN. Merozoit generasi ke- 2 yang diperoleh mempunyai ukuran 11.5 pm, Perbedaan yang dijumpai baik mengenai ukuran, waktu sporulasi ookista"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

V. PEMBAHASAN

Dari isolasi sel tunggal, diperoleh ookista E. tenella yang berbentuk bulat lonjong, dengan ukuran 21,9 - 26,4 x 16,6 - 21,6 pm, sedangkan menurut Conway d a n Mc Kenzie (1991), ukuran ookista E. fenella berada dalam kisaran 19,5 - 26,O pm x 16,s-22,8 pm. Menurut Levine (1985), ookista E. tenella berbentuk ovoid, berukuran rata-rata 19,O x 25,O p m . Waktu spomlasi yang diperoleh adalah 24 jam, dengan masa prepaten 7 hari. Menurut Levine (1985), waktu sporulasi E .

fenella berkisar antara 18 jam

- 2 hari, dengan masa prepaten 6 hari.

Merozoit generasi ke- 2 yang diperoleh mempunyai ukuran 11.5 pm, sedangkan menurut Levine (1985), merozoit generasi ke 2 dari E. fenella berukuran rata-rata 16 pm.

Perbedaan yang dijumpai baik mengenai ukuran, waktu sporulasi ookista d a n masa prepaten, kemungkinan karena adanya perbedaan galur dari E. tenelln, seperti yang dikemukakan oleh beberapa peneliti, bahwa terdapat perbedaan masa prepaten pada galur E. tenella, seperti 96 jam (Jeffers d a n ShirIey, 1982), 120 jam (Levine, 19821, 130 jam (Akasu d a n Nakai, 1991). Pada studi in vitro diperoleh bahwa jumlah sporozoit yang sudah diinkubasi dengan antibodi monoklonal (MAb), penetrasinya menjadi terhambat d i dalam biakan jaringan. h i ditunjukkan dengan jumlah sporozoit yang diinkubasi dengan MAb lebih sedikit pada biakan jaringan, jika dibandingkan dengan sporozoit kontrol yang

(2)

tidak diinkubasi dengan MAb (Tabel 5). Dengan demiluan MAb yang dibuat terhadap merozoit E. tenella, ternyata mampu menghambat daya penetrasi sporozoit dalam biakan jaringan.

Dari studi in vih-o perbandingan antara kedua MAb yang dihasilkan menunjukkan bahwa MAb 2B1 lebih baik dari pada MAb 3E4, berdasarkan jumlah sporozoit yang dapat menginvasi biakan jaringan. Hal ini diduga karena MAb yang terbentuk, bereaksi dengan bagian yang berbeda dari sporozoit. Dugaan ini sesuai dengan temuan Augustine dan Danforth (1985), yang menyatakan bahwa antibodi yang bereaksi dengan bagian ujung anterior dan badan refraktil dari sporozoit mempunyai daya hambat yang kecil dibandingkan dengan yang bereaksi dengan bagian permukaan dari sporozoit.

Mekanisme penghambatan terhadap invasi sporozoit baik pada biakan jaringan, maupun secara in vivo belum diketahui dengan pasti (Augustine dan Danforth, 1985; Crane et al., 1986 ). Menurut Walker, Wu, Isselbacher dan Bloch (1975), antibodi beke rjasama dengan enzim proteolitik untuk menghancurkan protein antigen pada permukaan mukosa usus. Penetrasi sporozoit dapat berhasil apabila sporozoit meninggalkan lumen usus dan masuk ke dalam sel epitel induk semang dalam waktu yang singkat, karena isi usus mempunyai kemampuan untuk merusak.sporozoit. Sedangkan menurut Crane et al. (1986), infektifitas secara in vivo dan in vitro dinetralisasi oleh faktor humoral melalui mekanisme yang melibatkan komplemen. Aglutinasi saja tidak cukup untuk

(3)

rnenetralisasi infeksi. Menurut Danforth (19831, penghambatan penetrasi oleh sporozoit disebabkan karena pengerutan atau perubahan struktur dari sporozoit yang terjadi selama inkubasi dengan antibodi. Hal ini mendukung pendapat Davis d a n Porter (1979), yang menyatakan bahwa hilangnya protein antigen permukaan dari sporozoit menyebabkan sporozoit tidak memiliki kemampuan untuk penetrasi. Sedangkan menurut Augustine (1986) penghambatan penetrasi dapat terjadi karena protein dari sel biakan jaringan memiliki bagian yang mengenali sporozoit. Apabila antibodi mengikat bagian yang dikenali dari sporozoit

,

maka pangenalan terhadap sel biakan jaringan oleh sporozoit akan berkurang, sehingga te rjadi penurunan invasi yang ditandai dengan penurunan jumlah sporozoit pada biakan jaringan.

Mortalitas ayam yang te rjadi setelah imunisasi pasif cenderung semakin berkurang dengan bertambahnya konsentrasi MAb. Hal ini tampak pada kelompok A dengan angka mortalitas mencapai 70%, sedangkan pada kelompok B te rjadi penurunan angka mortalitas menjadi 46%. Pada kelompok C dengan penambahan konsentrasi MAb angka mortalitas menurun hingga 42%, dan kelompok D mortalitas hanya 22%. Sedangkan pada kelompok E.F,G,H tidak terjadi kematian. Hal ini menunjukkan kemungkinan dengan konsentrasi MAb seperti yang diberikan pada kelompok E, paling tidak dapat digunakan sebagai ukuran konsentrasi dari MAb sebagai bahan imunisasi pasif, apabila dilihat dari konsentrasi yang diberikan kepada kelompok berikutnya (F, G, dan H).

(4)

Perubahan berat badan terjadi pada kelompok A, B dan C. Sedangkan pada kelompok D menunjukkan tidak adanya perubahan berat badan, bahkan pada kelompok E,F,G dan H berat badan tidak berbeda nyata dengan keIompok K ( p < 0.01).

Menurut Allen dan Danforth (1984), infeksi Coccidia menyebabkan penurunan absorbsi nutrien, dan lebih lanjut lagi keadaan maIabsorbsi ini disebabkan oleh hilangnya pemukaan mukosa yang bersifat absorptif yaitu vili-vili usus, sehingga dapat menimbulkan gangguan absorbsi makanan yang berakibat terjadinya penurunan berat badan. Dengan pemberian MAb yang cukup, tampak bahwa gangguan pada berat badan dapat diatasi.

Skor perlukaan pada sekum ayam kelompok A,B,C dan D mengalami penurunan, dengan bertambah tingginya konsentrasi MAb. Pada kelornpok E,F,G dan H skor perlukaan tidak berbeda dengan kontrol (p < 0 , O l ) (Tabel 8). Menurut Ruff et al. (1981) malabsorbsi yang terjadi biasanya selalu berhubungan dengan adanya lesio dan kerusakan pada usus.

Ookista masih dijumpai dalam tinja, meskipun mengalami penurunan jumlah. Keadaan ini menunjukkan bahwa kekebalan yang timbul adalah kekebalan relatif (Leathem dan Burns, 1963). Menurut Davis, Parry dan Porter (1978), pemberian serum kebal sebagai imunisasi pasif secara intravena, menimbulkan derajat kekebalan tertentu terhadap tantangan peroral tetapi bukan kekebalan yang sempurna. Selanjutnya menurut Barriga (1981), pada

(5)

kekebalan relatif sebagian sporozoit dapat berkembang menjadi skizon, tetapi bentuk ini tampak abnormal dan akhirnya menghilang. Penurunan jumlah ookista yang diproduksi menurut Laxer, Healey dan Youssef (1987), merupakan akibat hambatan fertilisasi gamet oleh MAb, sebab antibodi ini bekerja mencegah terjadinya perlekatan gamet. Paling tidak menghambat terjadinya kontak antara permukaan mikrogamet dan makrogamet, yang penting bagi pembentukan dinding ookista.

Kekebalan yang sempurna tidak hanya merupakan produk dari mekanisme kekebalan berperanbra antibodi, tetapi juga kekebalan berperantara sel, yang berfungsi secara simultan. Akan tetapi peranan antibodi dalam kekebalan terhadap Eimeria masih diperdebatkan. Menurut Laxer et al. (1987), selama infeksi berlangsung antigen merangsang sistem kekebalan humoral, yang kemudian memproduksi antibodi d i dalam sirkulasi darah. Antibodi ini tampaknya tidak berperanan dalam ha1 proteksi, meskipun sebenarnya mempunyai kepentingan sebagai pendukung pada reaksi kekebalan dan ikut berperanan pada saat infeksi semakin hebat. Menurut Davis e t al. (1978), tidak tertutup kemungkinan bahwa reaksi humoral berperanan dalam mencegah merozoit terbawa aliran darah menuju organ lain, mengingat adanya laporan bahwa infeksi melibatkan organ hati pada induk semang dengan sistem kekebalan yang mengalami penekanan (Immunosupressed).

(6)

Reaksi utama melibatkan imunoglobulin A (IgA) sekretori yang dihasilkan pada mukosa usus d a n sekum. Kemudian imunoglobulin M (IgM) dan imunoglobulin G (IgG) dinyatakan ikut berperan. Campbell dan Current (1983, dalam Laxer e f al., 1987) menyatakan bahwa IgM dan IgG dijumpai pada cairan usus pada saat invasi patogen, seperti pada Cryptosporidia. E.tenella merupakan parasit yang menginfeksi induk semang, dengan jalan menginvasi, maka dua imunoglobulin ini diharapkan dapat ikut berperanan, meskipun secara keseluruhan IgA sekretori lebih penting dalam reaksi humoral

.

IgM ditranspor melalui permukaan epitel dengan m e k a ~ s m e yang sarna, terutama apabila IgA terdapat dalam konsentrasi rendah. IgM terdeteksi pertamakali, kemudian konsentrasinya meningkat hingga mencapai maksimum, untuk kemudian menurun kembali dalam waktu singkat d a n IgG muncul kemudian (Rose, 1986). Pada ayam germ free, dengan tidak adanya stimuIasi antigen, IgA tetap disekresikan tetapi pada konsentrasi yang sangat rendah sehingga sulit untuk dapat dideteksi. Usus yang tidak terinfeksi juga mensekresikan IgA dalam konsentrasi normal dan seimbang. Dengan adanya infeksi E.teneeIla, te rjadi peningkatan sintesis IgA sekretori, sehingga konsentrasi IgA dalam isi usus meningkat (Parry, Allen dan Porter 1977). Menurut Long dan Rose (1970), jumlah germinal centres di dalam usus yang terinfeksi meningkat dan mencapai puncak pada hari ke 14 pasca infeksi dan kemudian menurun kembali. Keadaan ini sejalan dengan tahapan peningkatan konsentrasai IgA.

(7)

Menurut Wakelin dan Rose (1990) sporozoit merupakan target pertama dari pertahanan tubuh. Sporozoit ini peka terhadap IgA dan IgM dalam lumen usus, tetapi IgG juga berperanan terhadap stadium sporozoit ini. Imunoglobulin ini menetralisasi stadium sporozoit secara in uiho dan juga efektif secara in vivo pada imunisasi pasif. Isotipe antibodi yang lain, yang bersirkulasi dalam darah, kemungkinan juga ikut berperanan dalam kekebalan yang protektif. IgG masuk ke dalam lumen usus dengan bantuan peningkatan permeabilitas vaskuler dan epitelial.

Speer , Wong dan Schenkel(1983a) menyatakan bahwa antibodi monoklonal IgG menyebabkan lisisnya sporozoit E. tenella. Pengamatan dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM), memperlihatkan adanya perubahan ukuran dan tekstur permukaan sporozoit (Speer, Wong dan Schenkel, 1983b), sporozoit menjadi lebih pendek dengan permukaan yang kasar dibanding sporozoit normal. Dikatakan pula bahwa antibodi monoklonal IgG ini, juga melekat pada struktur intraseluler, terutama pada pembungkus inti dan matrik sitoplasma, sehingga disimpulkan bahwa antibodi ini tidak hanya mengganggu permukaan sporozoit, akan tetapi juga menyebabkan gangguan internal dari sporozoit.

Serum kebal yang berasal dari ayam-ayam yang diinfeksi dengan E. tenella dapat melindungi terhadap infeksi tantangan yang homolog secara pasif (Long, 1990). Demikian pula terdapat penghambatan terhadap penetrasi sporozoit

(8)

yang diinkubasi dengan serum kebal secara in vitro (Handajani, 1994). Menurut

Davis e t al. (1978), dengan konsentrasi yang cukup d a n pada tempat dimana parasit menyerang membuktikan bahwa serum kebal juga berperanan dalam reaksi kekebalan yang protektif terhadap E. tenella. Menurut Rose (1982), dengan pemberian antibodi kekebalan dapat diperoleh

,

tetapi dibutuhkan dalam jumlah besar dan pemberian yang berulang

.

Akan tetapi menurut Crane e t al. (1986), antibodi dari serum kebal dengan titer yang rendah tetap dapat mengenali permukaan sporozoit d a n berperanan daIam proses infeksi. M e k a ~ s m e yang bagaimana sehingga antigen dapat dikenali masih belum dapat diketahui secara tepat (Danforth, Augustine, Barta d a n Jenkins, 1994). Demikian juga menurut Speer et al. (1983b) , bahwa dengan jalan bagaimana serum kebal berperanan terhadap parasit ini masih belum jelas, meskipun telah terbukti adanya efek litik atau penghambatan terhadap sporozoit dan merozoit E. tenella . Dengan menggunakan SEM, Witlock dan Danforth (1982), menemukan bahwa serum kebal menyebabkan adanya penonjolan-penonjolan pada permukaan, terbentuknya selaput fibrin dan menyebabkan Iisis pada sporozoit d a n merozoit E.fenella, dan dari pengamatan tersebut kemudian disimpulkan bahwa reaksi ini terjadi dengan adanya peran serta dari kompIemen. Keadaan ini mirip dengan kejadian parasitemia pada mencit yang diinfeksi dengan Trypanosoma, dimana pada serumya mengandung antibodi dari

(9)

subkelas IgG2 yang menyebabkan lisis pada trypomastigot dengan perantaraan komplemen (Behnke dan Barnard, 1990).

DaIam penelitian ini dijumpai bahwa penggunaan antibodi monokolonal terhadap merozoit, memperlihatkan adanya kekebalan yang protektif. Hal ini menunjukkan pula bahwa merozoit ikut serta berperan aktif dalam proses kekebalan yang protektif, yang membuktikan bahwa antibodi dapat mencapai mukosa usus dan berpengaruh terhadap perkembangan sporozoit. Lebih jauh lagi merozoit merupakan penyebab perubahan patologi yang utama, sehingga kekebalan yang muncul terhadap stadium ini bukan hanya memblok transmisi parasit, tetapi juga dapat menurunkan efek patogeniknya.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara

Analisis secara kualitatif terhadap karbon aktif kayu randu dan tempurung kelapa dibandingkan dengan karbon aktif standar, dilakukan dengan cara : (1) menghitung luas permukaan

Reaksi Mannich merupakan reaksi yang digunakan untuk memasukkan gugus dialkilaminometil pada tipe-tipe senyawa enolat yang mempunyai atom hidrogen aktif. Reaksi Mannich terjadi

21 Penelitian terbaru dilakukan oleh Karadag dkk (2007) menemukan derajat disfungsi ereksi tidak berkorelasi bermakna dengan kadar serum testosteron meskipun terdapat

Usulan Skripsi (TA) atau proposal penelitian merupakan dokumen yang dibuat untuk mengkomunikasikan usulan penelitian kepada pembimbing, penyandang dana, atau sponsor

Data hasil pengamatan produksi kakao pada perlakuan predator (sarang buatan) dibandingkan tanpa perlakuan predator dapat dianalisis dengan menggunakan uji-t pada taraf

Di dalam kasus ahli waris pengganti di desa Kalisoka, peneliti menyimpulkan bahwa pembagian harta ahli waris pengganti tidak sesuai dengan pembagian yang ada di

antara 2 orang atau lebih di dalam suatu kelompok manusia kecil. dengan berbagai efek dan umpan