• Tidak ada hasil yang ditemukan

Progress Report III Monitoring Pengadilan HAM ad hoc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Progress Report III Monitoring Pengadilan HAM ad hoc"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Progress Report III

Monitoring Pengadilan HAM ad hoc

Pendahuluan

Pengadilan HAM ad hoc kasus timor timur telah berjalan hampir empat bulan sejak dimulainya sidang pertama pada bulan Februari 2002.

Saat ini proses pemeriksaan telah masuk pada proses pemeriksaan saksi. Proses ini merupakan proses lebih lanjut setelah diajukannya dakwaan dan tanggapan serta keputusan sela hakim HAM ad hoc atas keberatan penasehat hukum berkaitan dengan kewenangan pengadilan atas perkara. Dengan demikian proses pemeriksaan saksi ini pertama-tama di dasarkan pada usaha untuk memperoleh keterangan mengenai fakta hukum yang berkaitan dengan butir-butir yang di dakwakan dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum ad hoc. Upaya ini dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada saksi di muka sidang pengadilan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diturunkan dalam upaya menemukan element of crime dari dakwaan dalam hal ini kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan tanggung jawab komando (command responsibility).1 Diharapkan pengetahuan saksi atas peristiwa dapat membantu menemukan fakta hukum yang dibutuhkan dalam pencarian kebenaran di muka persidangan. Dengan demikian dalam tahap ini kemampuan jaksa penuntut umum untuk merumuskan secara jelas unsur kejahatan dari dakwaan yang telah dirumuskan menjadi salah satu faktor penting. Sebab sebagaimana juga diatur dalam aturan pembuktian KUHAP, keterangan saksi merupakan alat bukti yang utama dalam proses persidangan.2 Terdapat tiga hal penting yang akan diuraikan lebih lanjut pada laporan ini (1) Pengamatan umum seluruh proses pemeriksaan saksi selama satu bulan, (2) isi kesaksian, dan (3) prosedur pemeriksaan saksi termasuk di dalamnya mengenai hak-hak saksi dalam persidangan-khususnya berkaitan dengan saksi korban.

1. Pengamatan Umum

Sampai saat ini, proses persidangan masih terus berada pada tahap pemeriksaan saksi. Sejak pertama pemeriksaan saksi dimulai pada bulan Februari yang lalu, setidaknya telah mendengarkan keterangan sebanyak 31 orang saksi (lihat tabel).

1

Lihat Progress report 1&2 ELSAM atas pengadilan HAM Ad hoc kasus Timor Timur, ELSAM 2002 . 2

(2)

Dari seluruh 31 orang saksi tersebut, ternyata hanya tiga orang saksi korban atau keluarga korban dalam pengadilan HAM ad hoc kasus Timor Timur yang dapat dihadirkan di persidangan. Ini sangat jauh dari proporsi yang ideal, mengingat banyaknya korban yang jatuh sebagaimana didakwakan oleh jaksa. Kegagalan Jaksa Penuntut Umum RI untuk menghadirkan para saksi korban yang lain membuat komposisi kesaksian menjadi tidak seimbang untuk dapat disebut sebagai sebuah proses kesaksian yang adil.

Ketidakmampuan menghadirkan saksi korban secara berimbang dengan saksi lainnya sebenarnya menuntut kebijakan hakim untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan, seperti menggantikan kehadiran dengan pembacaan berita acara kesaksian atau bahkan menemukan terobosan-terobosan yang dapat mempermudah jalannya pemeriksaan perkara.3

Selain hal tersebut, sebagian besar saksi yang berasal dari kesatuan ABRI atau Kepolisian yang diajukan oleh jaksa penuntut umum cenderung memberikan keterangan yang tidak memperkuat dakwaan yang telah disusun oleh jaksa penuntut umum. Dalam pengamatan atas beberapa pemeriksaaan saksi di pengadilan ysng terjadi justru sebaliknya, terutama pada saksi-saksi yang memegang kedudukan penting dalam struktur organisasi ABRI/POLRI yang diperiksa di awal-awal proses pemeriksaan saksi.4 Sementara dari pihak penasehat hukum sendiri telah pula diajukan saksi-saksi meringankan (a decharge) bagi terdakwa. Tata cara pemeriksaan saksi di pengadilan HAM ad hoc ini mengacu pada aturan pembuktian sebagaimana diatur dalam KUHAP. Pemeriksaan saksi ini diatur dalam pasal 159-182 KUHAP.

2. Pemeriksaan element of crime dalam pemeriksaan saksi

Mengingat pemeriksaan perkara mendasarkan diri pada prosedur beracara sebagaimana diatur dalam KUHAP, maka kesaksian memiliki peran yang vital. Kesaksian di depan persidangan merupakan salah satu alat bukti terkuat yang mempengaruhi penilaian hakim atas dakwaan yang diajukan pada para terdakwa. Dengan merujuk pada proses beracara ini, fakta dipersidangan merupakan hal yang utama yang akan dijadikan landasan bagi hakim dalam mengambil keputusan atas perkara.

Dengan demikian seluruh proses pemeriksaan saksi berpangkal pada dakwaan yang dirumuskan jaksa penuntut ad hoc. Keseluruhan berkas perkara memusatkan dakwaan pada dua hal penting.

Pertama menyangkut bentuk perbuatan Kejahatan kemanusiaan (pasal 7 UU No 26/2000).

Perbuatan ini dalam dakwaan yang disusun oleh jaksa penuntut ad hoc dilakukan dalam dua bentuk berupa pembunuhan dan penganiayaan (pasal 9 UU No 26/2000) sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik (yang diketahui bahwa serangan) ditujukan pada penduduk sipil. Kedua berkaitan dengan tanggung jawab komando (command responsibility) dari para

3

Lihat juga pasal 162 (1) KUHAP,”… atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya, …maka keterangan yang telah diberikan itu dibacakan”.

4

Lihat laporan observasi monitoring pengadilan HAM ad hoc ELSAM untuk pemeriksaan Jend. Wiranto, Abdul Muis, dimana proses dipenuhi sorak sorai dari pengunjung yang mendukung loyalitas terdakwa pada Indonesia, dan mengecam PBB dan dunia internasional dalam persoalan timtim, April-Mei 2002.

(3)

terdakwa baik yang berasal dari kalangan militer ataupun sipil. Para terdakwa sebagai pemegang otoritas memiliki tanggung jawab secara pidana atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan bawahannya. Sebagai atasan para terdakwa didakwa tidak mampu melakukan pengendalian yang efektif secara patut dan benar (pasal 42 UU No 26/2000).5

Proses pembuktian dakwaan ini, memiliki beberapa perhatian penting khususnya berkaitan dengan upaya jaksa penuntu ad hoc untuk menurunkan element of crime dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan tanggung jawab komando dalam pemeriksaan terhadap saksi. Dalam unsur kejahatan pada kejahatan terhadap kemanusiaan, tantangan terbesar adalah pembuktian mengenai unsur sistematik dan meluas.6 Selain itu jaksa juga harus mampu melakukan pembedaan pengertian pembunuhan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dengan pengertian umum pembunuhan sebagai kejahatan pidana biasa. Dalam kejahatan pidana biasa pelaku biasanya adalah orang yang bertanggung jawab atas perbuatan itu baik dalam kedudukannya sebagai pelaku langsung maupun sebagai penganjur atau pembantu melakukan kegiatan.7 Sementara dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, perbuatan-meskipun dilakuakn secara individual- namun ada sebagai hasil dari aksi kolektif (collective action).8 Dalam pengertian ini pula terdapat elemen yang merupakan fondasi penting yakni adanya pemegang otoritas kebijakan yang membuat terbentuknya rangkaian kejadian yang menyebabkan perbuatan individu tersebut dapat dikategorikan dalam pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan.

Selain itu juga distorsi penerjemahan konsep dalam klasifikasi perbuatan dibawah definisi kejahatan kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan penerjemahan “persecution” sebagai penganiayaan dalam UU No 26 tahun 2000 juga merupakan tantangan pembuktian yang tak mudah bagi jaksa.9

Sementara berkaitan dengan tanggung jawab komando, tantangan terbesar yang dihadapi persidangan adalah pembuktian terhadap ketidakmampuan melakukan pengendalian efektif. Berkaitan dengan ini pembuktian mengenai kualifikasi pengabaian informasi dan tindakan yang layak dan diperlukan untuk menghentikan perbuatan pelanggaran HAM berat menjadi titik terpenting dalam pembuktian. Tantangan ini semakin besar mengingat dalam perkara ini, berkaitan dengan tanggung jawab komando, persidangan berhadapan dengan perbuatan yang

5

Lihat progress report 1&2; Ketidakmampuan melakukan pengendalian ini dilakukan dengan mengabaikan informasi yang menunjukkan bahwa bawahannya baru saja melakukan pelanggaran berat HAM ( pasal 42 ayat 1(a) untuk militer dan ayat 2(a) untuk pejabat sipil serta tidak mengambil tindakan yang layak untuk menghentikan perbuatan tersebut [pasal 42 ayat 1 b dan 2 (b)]

6

Pengertian menyangkut pembuktian adanya perencanaan yang sistematis yang dalam banyak kasus hampir selalu melibatkan kewenangan pemegang otoritas birokrasi.

7

Lihat pengaturan dalam KUHP buku kedua 8

Lihat M. Cherif Bassiouni, Crimes Against Humanity in The International Law, Kluwer Law International , 1999, hal 247.

9

Bandingkan pengertian “persecution” dalam ICC atau ICTY Statute dengan pengertian penganiayaan dalam UU No 26/2000 pasal 9 (h). Penganiayaan sebagaimana pengertian dalam KUHP dalam bahasa inggris setara dengan pengertian “assault” yang menunjuk pada penyerangan secara langsung terhadap fisik seseorang. Lihat juga Bassiouni, ibid., Persecution memiliki arti yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik, ataupun ekonomis. Artinya tidak mensyaratkan perbuatan yang langsung ditujukan pada badan seseorang.

(4)

dilakukan tidak secara langsung oleh aparat negara (sipil atau militer) melainkan dengan perbuatan yang dilakukan oleh milisi sipil. Khususnya berkaitan dengan pembuktian rantai pengendalian secara langsung antara pejabat (sipil/militer) dengan milisi sipil yang melakukan tindakan langsung. Kesulitan serupa dialami pula dalam pembuktian terhadap kejahatan kemanusiaan yang melibatkan milisi sipil dalam kasus tribunal internasional untuk Yugoslavia, dan Rwanda.10

Selain itu dengan mempertimbangkan lemahnya penyusunan dakwaan dalam memperlihatkan unsur-unsur tersebut, proses pemeriksaan saksi menjadi pilar penting pembuktian atas elemen kejahatan dalam perkara ini. Terlebih lagi, mengingat pengaturan dalam KUHAP mengenai pemeriksaan saksi, memberikan pengakuan pentingnya fakta persidangan dalam pemeriksaan saksi. Keterangan saksi yang dipergunakan sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.11

Proses pemeriksaan saksi ini diwarnai dengan pencabutan beberapa isi penting kesaksian dalam Berita Acara Pemeriksaan (selanjutnya disebut BAP) yang dilakukan oleh para saksi. Dalam perkara untuk Herman sedyono dkk, hampir semua saksi mencabut kesaksian mereka sebagaimana tercantum di BAP untuk beberapa butir pembuktian yang signifikan seperti pengakuan adanya penyerangan, rapat koordinasi antar pejabat pemerintah dan pejabat militer, suara letusan senjata dan pembentukan kelompok-kelompok pengamanan sipil di cabut dalam pemeriksaan persidangan.12 Adapun alasan pencabutan mulai dari adanya tekanan ataupun pernyataan bahwa keterangan sebelumnya merupakan pendapat saksi sehingga tidak memenuhi kualifikasi sebagai kesaksian. Atas hal ini majelis hakim maupun jaksa penuntut umum sendiri tidak mengelaborasi lebih lanjut dalam pemeriksaan di persidangan. Dalam berkas terdakwa Abilio dan Timbul Silaen, hal yang serupa terjadi.

Pencabutan kesaksian juga dilakukan pada beberapa bagian penting yang berkaitan dengan pengakuan adanya keterkaitan anatara pembentukan satuan keamanan sipil dengan kebijakan ataupun dukungan dari pemegang otoritas kekuasaan di tingkat daerah baik dalam hubungan administrasi maupun dalam hubungan teknis seperti pembinaan dan pelatihan. Sehingga dalam pemeriksaan saksi lanjutan sepanjang bulan Mei hampir tidak ditemukan pengakuan akan adanya penyerangan. Dalam perkembangan selanjutnya hakim maupun penuntut umum bahkanjuga turut menggunakan kata bentrokan sebagai pengganti pengertian akan penyerangan ini. Penggunaan kata ini sendiri berimplikasi pada pemenuhan dan pembuktian unsur kejahatan dalam dakwaan.13

10

Lihat M. Cherif Bassiouni, op.cit. 11

Lihat pasal 185 (1) KUHAP; pengaturan ini memperkecil kemungkinan penggunaan model alternatif dalam pemeriksaan saksi oleh hakim, khususnya berkaitan dengan kehadiran saksi korban.

12

Lih. Laporan observasi Pengadilan HAM ad hoc; Saksi Sonny Iskandar mencabut seluruh BAP dengan alasan berada di bawah tekanan. Dalam pemeriksaan tersebut pengakuan saksi sangat signifikan mengenai keterlibatan saksi dalam penyerangan di gereja Ave Maria Suai. I wayan Suka Antara mencabut hasip pemeriksaan di Bap berkaitan dengan bunyi suara tembak menembak, rapat koordinasi bupati dengan Kodim pada saat kejadian, serta kata penyerangan. Jehezkiel Berek mencabut kesaksian yang mengatakan bahwa pembentukan milisi sipil itu dikukuhkan oleh kebijakan Bupati setempat.

13

Apabila merujuk pada pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam UU No 26/2000 maka disyaratkan bahwa perbuatan tersebut ( pembunuhan dan penganiayaan) merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diketahui secara langsung ditujukan pada penduduk sipil.

(5)

Sebagai contoh yang lain, dalam pemeriksaan saksi Adam Damiri, misalnya pengertian satuan keamanan sipil bersenjata (milisi) bahkan dinyatakan tidak ada.14 Lebih jauh dalam pemeriksaan yang sama, saksi juga mencabut keterangan yang menyatakan bahwa Pam Swakarsa adalah perubahan bentuk dari Pejuang Pro Integrasi.15

Dalam bagian yang lain, isi kesaksian sepanjang bulan Mei ini masih banyak diwarnai dengan pernyataan yang dapat diklasifikasikan sebagai pendapat atau opini bahkan perasaan. Hal ini tidak terlepas dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bahkan oleh hakim sendiri kepada para saksi. Beberapa pertanyaan yang diajukan baik oleh penuntut umum sendiri ataupun oleh jaksa tidak seluruhnya mengarah pada adanya jawaban yang berupa fakta hukum peristiwa tersebut. Dalam pemeriksaan saksi Adam Damiri misalnya, muncul pertanyaan mengenai penilaian saksi atas tindakan yang telah diambil oleh mantan Gubernur Timtim Abilio dalam penanganan keamanan:

T: Ada, menurut pengetahuan anda. Jadi di dalam bentrok yang didakwakan jaksa yang dilibatkan, katanya, gubernur dalam isi dakwaan itu, menurut anda tidak ada peranan gubernur ini, hanya gebernur ini berusaha selalu?

J: Sudah

T: Sudah maksimalkah usahanya ini? J: Sudah

T: Untuk menyelesaikan persoalan? J: Ya

T: Terima kasih, Pak jenderal!

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini terutama ditemukan pada pertanyaan yang diajukan oleh penasehat hukum terdakwa. Banyak sekali pertanyaan yang ada merupakan pertanyaan yang bersifat meminta penilaian dari saksi atas peristiwa dan bukan kepastian dan validitas dari ada atau tidaknya peristiwa itu sendiri.Beberapa pertanyaan lain yang sering muncul adalah pertanyaan yang bersifat penegasan dan dikotomi seperti jawaban ya dan tidak atau betul dan salah atau pertanyaan yang mengarahkan. Khususnya ini berkaitan dengan beberapa latar belakang yang juga ditemukan dalam nota keberatan terdakwa atas jalannya pengadilan dan atas dakwaan jaksa. 16

Majelis hakim pun dalam beberapa pemeriksaan saksi di pengadilan melakukan hal yang serupa seperti dapat ditemui dalam pemeriksaan terhadap Emilio Bareto, saksi korban untuk berkas Timbul Silaen seperti dapat dilihat dalam cuplikan berikut:

14

Lihat Laporan pemeriksaan saksi Adam Damiri untuk berkas Abilio J. Osorio Soares tanggal 8 Mei 2002 15

ibid. Pencabutan kesaksian ini tanpa disertai alasan yang cukup memadai, dan hakim maupun jaksa penuntut ad hoc juga tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

16

Lihat transkrip pemeriksaan Emilio Bareto tanggal 30 Mei 2002; Dalam pemeriksaan saksi korban Emilio Breto untuk berkas Timbul Silaen, Penasehat hukum menanyakan pada saksi karena pihak yang terlibat sama-sama orang Timtim, sehingga bisa dikatakan sebagai perang saudara, yang artinya saudara dengan saudara. Ini kemudian dijwaab saksi dengan jawaban saudara dengan saudara. Ini kemudian dipertegas dengan pertanyaan sebagai berikut : ‘karena saudara dengan saudara benar nggak jadi perang saudara?”

(6)

Hakim : Merasa aman ya, Terus kendatipin begitu, tiba-tiba ada serangan masuk, dengan melihat begitu apakah ada rasa saudara merasa kecewa terhadap pengamanan diluar itu?

Saksi : Kecewa ….

Majelis: Apakah saudara mengatakan kecewa ini, saudara mengatakan kecewa karena apa? Saksi: karena tidak mengatasi keadaan

….

Majelis : Dengan milisi begitu. Nah Saudara kecewa bagimana, apa kecewa sepenuhnya, apa sedikit

kecewa, atau bagaimana saudara?

Saksi : Sedikit kecewa, karena saya adalah termasuk korban di sana.

Bahkan berkaitan dengan saksi korban, pertanyaan-pertanyaan yang berasal dari penasehat hukum merupakan pertanyaan yang memojokkan saksi. Dalam pemeriksaan saksi.

…..Ibu yang saya cintai mohon kejujuran ibu. Fatimah bekerja setelah ibu menjadi saksi atau sebelum ibu menjadi saksi? Enggak usah lihat bule yang sebelah kanan ibu, saya tahu dari

tadi dia ngajarin ibu, enggak usah ibu lihat. Lihat kesaya kalau perlu ibu lihat ke bapak hakim,

dengar saja enggak usah lihat muka saya. Ibu lihat ke bapak hakim saja, tolong ibu lihat kesana, ibu kayaknya diajar-ajarin. Ibu yang saya cintai, ibu fatimah itu bekerja setelah ibu jadi saksi atau sebelum ibu jadi saksi? (saksi tidak menjawab). Terima kasih kalau ibu tidak mau menjawab, saya juga tidak mau memaksa. Tapi lubuk hati sanubari ibu yang paling dalam yang bicara, ibu yang saya cintai apakah puteri-puteri ibu diperkosa atau mau diperkosa? Ibu tolong ibu jawab,

diperkosa atau mau diperkosa?

Selain itu dalam pemeriksaan beberapa saksi, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan jaksa penuntut umum justru diluar konteks perkara dan cenderung melecehkan pengadilan dan mendapat reaksi yang cukup keras dari majelis hakim.

Penasehat hukum: “… di desa Soya itu terjadi kerusuhan, nah sekarang misalkan itu diamankan oleh Polri atau Tentara nanti dimajukan ke pengadilan HAM? Sepengetahuan saksi apakah kerusuhan di Indonesia ini diamankan saja oleh jaksa atau oleh pejuang-pejuang HAM supaya ia tidak dimajukan ke pengadilan HAM?

Majelis: (mengetuk-ketuk mic) tidak perlu dijawab, itu pendapat. ( dan masih juga dijawab oleh saksi).

Penasehat hukum: “….peristiwa penyanderaan danramil Suai oleh Falintil, itu kan tindakan hukum, pada waktu itu di provinsi Timtim, apakah sepengetahuan saksi … mereka dimajukan ke peradilan HAM?

Saksi: Tidak ada

Penasehat Hukum: Jadi kalau kelompok pro kemerdekaan melakukan pelanggaran HAM tidak dimajukan kalau yang lain dimajukan

3. Prosedur pemeriksaan saksi:

Berdasarkan pengamatan dalam proses persidangan khususnya dalam tahap pemeriksaan saksi dipersidangan, terdapat beberapa pokok perhatian khusus, terutama yang berkaitan dengan saksi

korban. Terdapat tiga hal penting berkaitan dengan prosedur pemeriksaan saksi ini, meliputi (1)

(7)

3.1. Tentang Keamanan Saksi

Sampai dengan 31 April 2002, baru ada tiga orang saksi korban / keluarga korban yang bersaksi di muka pengadilan atas pengajuan Jaksa Penuntut Umum. Masing-masing adalah: Dominggas dos Santos Muzinho (untuk perkara Herman Sedyono, dkk), Joao Perreira dan Emilio Bareto (untuk perkara Timbul Silaen).17

Terdapat tiga orang saksi korban atau keluarga korban yang batal hadir, yaitu Armendo de Deus Granan Deiro, Frez da Costa, dan Tobias dos Santos (semuanya untuk perkara Herman Sedyono, dkk). Ketidakhadiran para saksi tersebut menurut surat penjelasan Jaksa Agung RDTL, Longhuinos Monteiro, adalah karena alasan tidak adanya jaminan keamanan bagi para saksi korban.18

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI, Barman Zahir SH, dalam siaran persnya tanggal 5 Juni 2002 menganggap keberatan Jaksa Agung Monteiro tidak beralasan, karena pemerintah RI secara khusus telah menjamin keselamatan mereka, tidak hanya di ruang sidang, tetapi juga di penginapan dan perjalanan.

Selain perlindungan fisik, prinsip-prinsip tentang peradilan yang adil mensyaratkan juga adanya perlindungan terhadap ancaman psikologis yang mungkin saja terjadi.19 Selain itu pasal 34 ayat 1 UU no.26 tahun 2000 juga menyatakan: “Setiap korban dan saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.” Sayangnya PP no.2 tahun 2002 yang mengatur tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak dilengkapi dengan aturan mengenai prosedur pengamanan yang baku.

Memang tidak terjadi serangan secara fisik maupun ancaman langsung yang dialami oleh para saksi korban yang bersedia melakukan kesaksian. Meskipun demikian, saksi akan kesulitan untuk memberikan keterangan dengan leluasa kalau pengunjung sidang bisa berteriak-teriak dan mencemooh, sementara di luar pengadilan ada kelompok-kelompok yang terus melakukan unjuk rasa. Persidangan kasus pelanggaran berat HAM Timor Timur, pada awalnya dihadiri Panglima TNI dan jajaran pimpinan teras TNI. Kemudian, dalam setiap persidangan selalu didatangi kelompok pro-integrasi dan penonton yang bisa menyoraki saksi. Kondisi seperti ini dapat dikategorikan sebagai bentuk tekanan. Keadaan seperti ini seharusnya bisa ditertibkan oleh otoritas pengadilan. Harus ada usaha nyata dari otoritas pengadilan untuk memberikan ketenangan dalam proses peradilan.

Persoalan lain berkaitan dengan keamanan ini adalah pertanyaan-pertanyaan penasehat hukum yang dalam banyak kesempatan menyudutkan dan cenderung berisi ancaman bagi saksi. Terhadap kejadian ini, majelis hakim dalam beberapa kesempatan telah memperingatkan penasehat hukum. Dalam salah satu pemeriksaan saksi bahkan saksi terlihat dalam situasi tidak 17

Joao Perreira dan Emilio Bareto, atas permintaan Jaksa Penuntut Umum yang disetujui oleh Majelis Hakim, kemudian juga menjadi saksi untuk perkara Abilio Soares.

18

Dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebelum persidangan tanggal 5 Juni 2002. 19

(8)

relaks dan tertekan, tidak bersedia berhadapan muka dengan penasehat hukum.20 Lebih lanjut, bahkan tidak bersedia menjawab sebagian besar pertanyaan yang datang dari salah satu penasehat hukum, sementara terhadap pertanyaan yang datang dari beberapa penasehat hukum yang lain dengan lancar dapat dijawab.

Selain masalah keamanan saksi korban, masalah lain yang menyulitkan untuk mendatangkan saksi korban atau keluarga korban adalah masalah tidak adanya biaya. Pengadilan HAM tidak dibekali dengan dukungan dana yang memadai untuk melakukan prosedur ini, sementara pihak PBB melalui UNMISET (United Nations Mission of Support in East Timor) tidak dapat memberikan bantuan biaya karena dapat menjadi preseden bagi kasus-kasus serupa di masa datang.

Selain itu, belum ada perjanjian ekstradisi yang jelas antara pihak pemerintah Indonesia dengan Timor Timur. Selama ini proses yang berkaitan dengan ekstradisi dilakukan berdasarkan memorandum of understanding (MOU) antara pihak Deplu RI dengan UNTAET. Saat ini Timor Timur tidak lagi ditangani oleh UNTAET melainkan telah membentuk pemerintahan sendiri dengan dukungan PBB melalui UNMISET, dan tidak ada penjelasan mengenai pelimpahan wewenang masalah ekstradisi dari UNTAET berdasarkan MOU tersebut kepada pemerintah Timor Timur maupun UNMISET.

3.2. Hak untuk mendapatkan penerjemah

Dalam persidangan tanggal 28 Mei 2002, untuk perkara Herman Sedyono, dkk dihadirkan saksi Dominggas dos Santos Mauzinho. Terhadap saksi ini, jaksa penuntut umum menginformasikan bahwa saksi kurang begitu lancar berbahasa Indonesia sehingga disiapkan seorang penerjemah bahasa Tetun dari Timor Timur.

Majelis Hakim yang diketuai oleh Cicut Sutiarso menolak penerjemah yang disediakan dengan alasan tidak adanya surat pengantar dan sertifikat sebagai seorang penerjemah. Majelis Hakim akhirnya memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia dan hanya akan menggunakan penerjemah jika dirasa dibutuhkan, tanpa kriteria ataupun batasan yang jelas tentang skala kebutuhan tersebut.

Sampai berakhirnya sidang pemeriksaan saksi tersebut, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Hal ini menyebabkan saksi tidak bisa menjawab secara lancar dan tersendat-sendat ketika ditanya dengan intonasi yang cepat dan istilah yang tidak familiar. Sehingga, baik Hakim, Jaksa Penuntut Umum, maupun Penasehat Hukum Terdakwa seringkali harus mengulang pertanyaan. Saksi pun, dalam sebagian besar kesempatan terpaksa dikondisikan pada pertanyaan berjawaban “ya” dan “tidak” akibat keterbatasannya berbahasa Indonesia. Kondisi ini secara otomatis telah mengurangi kedalaman eksplorasi kesaksian.

Alasan penolakan Majelis Hakim terhadap pendampingan seorang penerjemah ini kurang tepat, mengingat bahasa Tetun adalah bahasa yang tidak lazim digunakan sebagai bahasa komunikasi standar dalam hubungan internasional. Sehingga pensyaratan sertifikat penerjemah merupakan

20

(9)

permintaan yang tidak bisa dipenuhi. Padahal, hak seseorang untuk mendapatkan seorang penterjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan merupakan salah satu bentuk jaminan pengadilan yang adil, sebagaimana juga tercantum dalam pasal 14 ayat 3 (f) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).21 Selain itu dalam pengaturan tentang saksi menurut KUHAP pasal 177, hakim dapat menunjuk seorang penerjemah apabila saksi atau terdakwa tidak paham bahasa Indonesia.

3.3. Kalender persidangan

Dalam persidangan tanggal 29 Mei 2002 dalam perkara Herman Sedyono, dkk, Majelis Hakim yang diketuai oleh Cicut Sutiarso memberikan ultimatum kepada Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan seluruh saksi korban yang mungkin hadir dan menyelesaikan proses kesaksian dalam jangka waktu satu minggu.

Perintah hakim ini merupakan konsekuensi dari pasal 31 UU no. 26 tahun 2000 yang menyatakan bahwa perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan HAM dalam waktu paling lama 180 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan. Perintah hakim tersebut akan membawa konsekuensi lain yaitu “dipertentangkannya” asas keadilan dengan asas kepastian hukum.

Melihat kesulitan pihak Jaksa Penuntut Umum untuk mendatangkan saksi korban, maka kemungkinan besar seluruh saksi korban yang dibutuhkan untuk bersaksi tidak akan dapat melakukan kesaksian dalam jangka waktu satu minggu tersebut. Akibatnya, komposisi kesaksian menjadi semakin menjauh dari proporsional. Dan peradilan yang adil pun kemungkinan besar tidak akan dapat terlaksana dengan baik.

Sementara itu, jika demi memenuhi asas proporsionalitas kesaksian pengadilan memutuskan untuk memberi waktu yang luas pada Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan seluruh saksi korban yang dibutuhkannya untuk bersaksi, dan demikian juga terhadap para saksi yang diajukan oleh Penasehat Hukum Terdakwa nantinya, maka jalannya pengadilan akan memakan waktu yang lebih lama. Dan jika sampai dengan 180 hari sejak dilimpahkannya perkara ke pengadilan ternyata belum dapat diputuskan oleh Majelis Hakim, bukan tidak mungkin pengadilan “batal demi hukum”.

Khusus untuk perkara Herman Sedyono, dkk, Majelis Hakim masih memberikan sekali lagi kesempatan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan saksi korban meskipun sudah melampaui court calendar (kalender persidangan) yang dibuat oleh hakim.

21

Lihat juga Amnesty Internasional, Fair Trial, Blackmore Ltd. Dorset, 1998. Meskipun diutamakan unutk terdakwa namun juga berlaku dalam kasus saksi yang tidak dapat menggunakan bahasa lokal yang digunakan di persidangan.

(10)

Tabel: Saksi-saksi yang didengarkan kesaksiannya sampai akhir bulan Mei 2002

Terdakwa No saksi Jabatan Tgl diperiksa Keterangan

Abilio Jose Osorio Soares

1 M .Nur Muis Mantan Danrem 164 WD 17/4/ 2002

2 Herman Sedyono Mantan Bupati Covalima 17 /4/2002 Terdakwa untuk Berkas III 3 Suprapto Tarman Mantan Bupati Ailio 18/4/ 2002

4 Tono Suratman Mantan Danrem 164 WD 18/4/ 2002

5 Timbul Silaen Mantan Kapolda Tim-Tim 24/4/2002 Terdakwa untuk berkas II 6 Domingus Soares Mantan Bupati Dilli 25/4/2002

7 Mudjiono Mantan wakil Komandan Korem Tim-Tim 25/4/2002

8 Adam Damiri Pangdam IV Udayana 08/5/2002 Terdakwa selanjutnya 9 Leoneto Martin Mantan Bupati Liquisa 23/5/2002

10 Mathius Maia Walikota Adm. Dilli 08/5/2002

11 Joao Fereira Petani 30/5/2002 Saksi korban

12 Emilio Bareto Mantan Pegawai BAPEDDA Liquisa 30/5/2002 Saksi korban 13 Eurico Gutteres Wakil Panglima PPI 30/5/2002 Terdakwa

selanjutnya Timbul Silaen

1 Wiranto Mantan Menhankam/Pangab 4/4/ 2002 2 Adam Rahmat

damiri

Mantan Pangdam Udayana 11/4/ 2002 Terdakwa Kasus Tim-Tim 3 Mohammad Noer

Muis 11/4/ 2002

4 Joseph Josua

Sitompul Mantan Polri kapusdiklat Polda Tim-Tim 18/4/2002 5 Leo Pardede Mantan Kapusdalops Polda Tim-Tim

1997-1999 18/4/2002

6 Muafi Sahudji Mantan Wakapolda Tim-Tim 1997-1999 25/4/ 2002 7 Adio Salova Mantan kapolres Liquisa 02/5/2002

8 Hulman Gultom Kapolres Dilli 02/5/2002 Pelaku lapangan 9 Carlo Brigs Tewu Sekditserse Polda Tim Tim 13/5/2002

10 Gatot Subyaktoro Kapolres Suai 16/5/2002 Terdakwa untuk Berkas III 11. Leoneto Martin Mantan Bupati Liquisa 23/5/2002 Terdakwa untuk

berkas selanjutnya

12 Joao Fereira Petani 30/5/2002 Saksi Korban

13 Emelio Bareto Mantan Pegawai BAPEDDA Liquisa 30/5/2002 Saksi Korban

Herman

Sedyono dkk 1 Sony Iskandar Mantan supir kasdim Acmad syamsuddin (terdakwa IV) 23/4/2002 2 I Wayan Suka

Antara

Penjaga PLN Suai diperintah oleh Dandim

23/4/ 2002 3 Sulistyono Mantan Sopir Truk di kodim 1635 Suai 23/4/ 2002 4 Jehezkiel Berek Mantan Wakapolres Covalima 30/4/2002 5 Jacobus Tanamal Mantan Kapusdalop Polres Covalima 30/4/ 2002 6 Yopi

Lekatompessy

Mantan Kapolsek Kota Covalima 30 /4/2002 7 Julius Basa Bae Mantan Kapolpos Metamau 07/5/2002 8 Sudharminto Mantan Sat Brimob NTT 07/5/2002 9 Pranoto Mantan Kep.Sek SLTPN I Suai 13/5/2002 10 Dominggas D S

Mauzinho

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.651/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 tentang Bidang-bidang Penanaman Modal Tertentu yang Memberikan

800/Kep.84-Infokom/2011 Penunjukan PPID Di Lingkungan Pemerintahan Kota Tangerang 30 Juni 2011 4 Kota Tangerang Selatan Keputusan Walikota Nomor: 043.3/Kep.105- Huk/2012

Ketenagalistrikan Dicabut dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pedoman Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN

Kesimpulan penelitian ini adalah dalam segi aksesibilitas dan sirkulasi RPTRA belum sesuai dengan kriteria taman terbuka publik dalam suatu wilayah, kualitas RPTRA

Strategi PQ4R digunakan dalam pembelajaran membaca untuk membantu peserta didik mengingat apa yang telah dibacanya dari teks melalui enam tahapan yaitu,

Perluasan infeksi odontogenik hingga ke regio bukal, fasial, dan subkutaneus servikal, sehingga berkembang menjadi selulitis fasialis dapat menyebabkan kematian jika

Taong 1543 dumating si aong 1543 dumating si Villalobos sa pulo ng Leyte. Siya Villalobos sa pulo ng Leyte. Siya ang nagpangalan sa ang nagpangalan sa ating bansa ng Felipinas

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2010 dalam enam tahap, yaitu mencari dan mengkoleksi ayam petelur yang terinfeksi kutu, mengidentifikasi spesies kutu,