• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh : LINDA SETIONINGRUM E

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh : LINDA SETIONINGRUM E"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

ALAM DI KECAMATAN PANGALENGAN

BKPH PANGALENGAN, KPH BANDUNG SELATAN

PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN

Oleh :

LINDA SETIONINGRUM

E 14102034

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

(2)
(3)

KPH BANDUNG SELATAN, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN

LINDA SETIONINGRUM

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2006

(4)

Nama Mahasiswa NRP

: :

PANGALENGAN, KPH BANDUNG SELATAN, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN

Linda Setioningrum E 14102034

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP. 131 412 316

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. NIP. 131 430 799

(5)

Linda Setioningrum. E14102034. Strategi Pengembangan Usaha Persuteraan Alam di Kecamatan Pangalengan, BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Di bawah bimbingan Dr Ir. Nurheni Wijayanto, MS.

Kegiatan persuteraan alam merupakan salah satu peluang bisnis di Indonesia yang belum banyak dilakukan, padahal usaha ini memiliki banyak kelebihan. Kelebihan tersebut antara lain waktu yang singkat dalam budidaya murbei hingga panen kokon, mudah dilakukan, tidak memerlukan tempat yang luas, dapat dilakukan sebagai kegiatan rumah tangga dan keuntungan yang dihasilkan cukup tinggi.

Secara umum daerah Pangalengan memiliki kondisi fisik lingkungan yang sangat menunjang usaha persuteraan alam sehingga usaha tersebut sangat cocok dilakukan di daerah Pangalengan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pangalengan, karena daerah tersebut sangat berpotensi untuk pengembangan usaha persuteraan alam.

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan suatu strategi pengembangan usaha persuteraan alam. Penelitian dilakukan dengan dua tahapan yakni analisis strategis menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) dan analisis struktural dengan teknik Interpretative Structural Modelling (ISM).

Data primer pada penelitian ini diperoleh dari hasil kuisioner dan wawancara mendalam (in-depth interview) bersama pakar yang mengetahui seluk beluk mengenai usaha persuteraan alam. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil studi literatur.

Pengembangan usaha persuteraan alam di Kecamatan Pangalengan ditentukan keberhasilannya oleh unsur internal (kekuatan dan kelemahan) dan unsur eksternal (peluang dan ancaman). Unsur kekuatan yang paling tinggi nilai pengaruhnya adalah kondisi biofisik lingkungan dan total nilai pengaruh unsur kekuatan adalah 3,302. Pada unsur kelemahan, keterbatasan modal dinilai sebagai kelemahan yang sangat berpengaruh dan total nilai pengaruh unsur kelemahan adalah 2,259. Peluang yang memiliki nilai pengaruh tertinggi yang perlu direspon dengan baik adalah permintaan akan benang suteran yang terus meningkat tiap

(6)

unsur ancaman yang memiliki nilai pengaruh tertinggi adalah penghasilan yang lebih menjanjikan dari bidang lain selain persuteraan alam. Dan total nilai pengaruh unsur ancaman adalah 2,259.

Pada Diagram SWOT, diketahui bahwa posisi strategi pengembangan usaha persuteraan alam di Pangalengan terletak pada kuadran I. Menurut Rangkuti (2000) berarti situasi yang terjadi sangat menguntungkan. Maka strategi yang diterapkan adalah strategi SO dengan memaksimalkan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada.

Menurut Saxena, 1992 dalam Eriyatno 1999 bahwa suatu program dengan teknik ISM dapat dibagi menjadi 9 elemen. Dalam penelitian ini, struktur program yang digunakan adalah sektor masyarakat yang terpengaruhi, tujuan dari program, kebutuhan dari program, kendala utama, lembaga yang terkait dengan program, dan perubahan yang dimungkinkan.

Hasil dari analisis struktural menunjukkan bahwa sub-elemen kunci dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruhi adalah petani murbei dan ulat sutera, sub-elemen ini termasuk dalam sektor III. Sub-elemen kunci dari elemen tujuan program adalah meningkatkan usaha persuteraan alam dan memenuhi permintaan pasar yang besar akan kain sutera, sub-elemen ini termasuk dalam sektor III dan IV. Sub-elemen kunci dari elemen kebutuhan program adalah permodalan, sub-elemen ini termasuk dalam sektor IV. Sub-sub-elemen kunci dari sub-elemen kendala utama adalah kurangnya permodalan dan kualitas SDM rendah, sub-elemen ini termasuk dalam sektor III dan IV. Sub-elemen kunci dari elemen lembaga yang terkait dengan program adalah BKPH pangalengan dan KPH Bandung Selatan, sub-elemen ini termasuk dalam sektor III.. Sub-elemen kunci dari elemen perubahan yang dimungkinkan adalah peningkatan kualitas SDM, sub-elemen ini termasuk dalam sektor IV.

Berdasarkan hasil analisis strategis dan analisis struktural, diperoleh strategi pengembangan usaha persuteraan alam antara lain pemanfaatan kondisi alam untuk memperluas usaha, pemanfaatan sumberdaya manusia, pemberian kredit usaha dan penguatan kelembagaan.

(7)

Departemen Manajemen Hutan

Strategi Pengembangan Usaha Persuteraan Alam di Kecamatan Pangalengan, BKPH Pangalengan,

KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

Oleh :

Linda Setioningrum dan Nurheni Wijayanto

PENDAHULUAN. Kegiatan persuteraan alam merupakan salah satu peluang bisnis di Indonesia yang belum banyak dilakukan, padahal usaha ini memiliki banyak kelebihan. Kelebihan tersebut antara lain waktu yang singkat dalam budidaya murbei hingga panen kokon, mudah dilakukan, tidak memerlukan tempat yang luas, dapat dilakukan sebagai kegiatan rumah tangga dan keuntungan yang dihasilkan cukup tinggi. Secara umum daerah Pangalengan memiliki kondisi fisik lingkungan yang sangat menunjang usaha persuteraan alam sehingga usaha tersebut sangat cocok dilakukan di daerah Pangalengan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pangalengan, karena daerah tersebut sangat berpotensi untuk pengembangan usaha persuteraan alam.

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan suatu strategi pengembangan usaha persuteraan alam. Penelitian dilakukan dengan dua tahapan yakni analisis strategis menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) dan analisis struktural dengan teknik Interpretative Structural Modelling (ISM). Perangkat analisis SWOT yang digunakan adalah External Factor Evaluation Matrix (matriks EFE) dan Internal Factor Evaluation Matrix (Matriks IFE), Diagram SWOT dan Matriks SWOT. Metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub-elemen. Analisis struktural menghasilkan model interpretasi struktural bagi pengembangan usaha persuteraan alam. Data primer pada penelitian ini diperoleh dari hasil kuisioner dan wawancara mendalam (in-depth interview) bersama pakar yang mengetahui seluk beluk mengenai usaha persuteraan alam. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil studi literatur.

HASIL DAN KESIMPULAN. Pengembangan usaha persuteraan alam di Kecamatan Pangalengan ditentukan keberhasilannya oleh unsur internal (kekuatan dan kelemahan) dan unsur eksternal (peluang dan ancaman). Unsur kekuatan yang paling tinggi nilai pengaruhnya adalah kondisi biofisik lingkungan dan total nilai pengaruh unsur kekuatan adalah 3,302. Pada unsur kelemahan, keterbatasan modal dinilai sebagai kelemahan yang sangat berpengaruh dan total nilai pengaruh unsur kelemahan adalah 2,259. Peluang yang memiliki nilai pengaruh tertinggi yang perlu direspon dengan baik adalah permintaan akan benang sutera yang terus meningkat tiap tahun, dan jumlah total nilai pengaruh unsur peluang sebesar 3,144. Dan pada unsur ancaman yang memiliki nilai pengaruh tertinggi adalah penghasilan yang lebih menjanjikan dari bidang lain selain persuteraan alam. Dan total nilai pengaruh unsur ancaman adalah 2,259. Pada Diagram SWOT, diketahui bahwa posisi strategi pengembangan usaha persuteraan alam di Pangalengan terletak pada kuadran I. Menurut Rangkuti (2000) berarti situasi yang terjadi sangat menguntungkan. Maka strategi yang diterapkan adalah strategi SO dengan memaksimalkan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Hasil dari analisis struktural menunjukkan bahwa sub-elemen kunci dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruhi adalah petani murbei dan ulat sutera, sub-elemen ini termasuk dalam sektor III. Sub-elemen kunci dari elemen tujuan program adalah meningkatkan usaha persuteraan alam dan memenuhi permintaan pasar yang besar akan kain sutera, sub-elemen ini termasuk dalam sektor III dan IV. Sub-elemen kunci dari elemen kebutuhan program adalah permodalan, sub-elemen ini termasuk dalam sektor IV. Sub-elemen kunci dari elemen kendala utama adalah kurangnya permodalan dan kualitas SDM rendah, sub-elemen ini termasuk dalam sektor III dan IV. Sub-elemen kunci dari elemen lembaga yang terkait dengan program adalah BKPH pangalengan dan KPH Bandung Selatan, sub-elemen ini termasuk dalam sektor III.. Sub-elemen kunci dari elemen perubahan yang dimungkinkan adalah peningkatan kualitas SDM, sub-elemen ini termasuk dalam sektor IV. Berdasarkan hasil analisis strategis dan analisis struktural, diperoleh strategi pengembangan usaha persuteraan alam antara lain memperluas usaha persuteraan alam, memanfaatkan lahan kehutanan di bawah tegakan, dan memanfaatkan ketersediaan sumberdaya manusia. Selain itu mempermudah akses petani untuk mendapatkan pinjaman modal juga merupakan strategi yang perlu dilakukan.

(8)

Departement of Forest Management

Development Strategy of Natural Silk Effort in Subdistrict Pangalengan, BKPH Pangalengan,

KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III of West Java and Banten

By :

Linda Setioningrum and Nurheni Wijayanto

INTRODUCTION. Natural silk activity is one of the business opportunities which haven’t conducted by Indonesian society. Though this effort has many advantages, for example its not need long time in murbei plantation until cocoon harvest, easy to do and doesn’t need wide place. In the other hand, it can be done as a household activity and give a lot of earnings. Generally, Pangalengan has an environmental condition which is support and very compatible with the natural silk effort. Therefore this research is conducted in Subdistrict Pangalengan, because this area has a potency to develop natural silk effort.

MATERIALS AND METHODS. This research has an aim to formulate a development strategy of natural silk effort. This research is done with two step namely the strategic analysis use SWOT analysis (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) and the structural analysis with technique of Interpretative Structural Modelling ( ISM). External Factor Evaluation Matrix (EFE) and Internal Factor Evaluation Matrix (IFE), Diagram of SWOT and Matrix SWOT used for SWOT analysis. Methodologies and technique of ISM is divided become two shares that is compilation of hierarki and sub-element classification. The result of structural analysis is a structural interpretation model for development of natural silk effort. Primary data of this research is obtained from circumstantial result of quiz interview and in-depth interview with expert who knowing the ins and outs hit the natural silk effort. While secondary data is obtained from literature study.

RESULT AND CONCLUSION. Development of natural silk effort in Subdistrict Pangalengan is determined by internal element (strength and weakness) and external element (opportunity and threat). The highest assess of strength element is an environmental condition and the total influential assess of strength element is 3,302. The highest assess of weakness element is capital limitation and the total influential assess of weakness is 2,259. The highest assess of opportunity element is increasing of natural silk request and the total influential assess of opportunity is 3,144. And the threat element owning highest influence value is promising earning from another job. And the total influential assess of threat element is 2,259. At Diagram SWOT, known that the development strategy position of natural silk effort in Pangalengan lays in kuadran I. According to Rangkuti (2000) meaning situation that happened is very beneficial. Hence the strategy applied is strategy SO which maximizedly its strength so that can exploit existing opportunity. Structural analysis result indicate that sub-elemen key from affected society sector element is murbei and silkworm farmer, this sub-element is included in sector III. Sub-element key from programme target element are improved the natural silk effort and fulfill a market request of silk cloth, this sub-element are included in sector III and IV. Sub-element key from programme requirement element is capital, this sub-element is included in sector IV. Sub-element key from fundamental constraint element are the lack of capital and human resources quality, this sub-elemen are included in sector III and IV. Sub-element key from relevant institute element are BKPH pangalengan and KPH Bandung Selatan, both sub-element are included in sector III. Sub-element key from enabled change element is human resources improvement, this sub-element is included in sector IV. Pursuant to strategic analysis and the structural analysis result, obtained a development strategy of natural silk effort for example extending the natural silk effort, exploiting forestry farm under plantation, and exploiting availability of human resources. Others to facilitate farmer to get capital loan also represent strategy which require to be conducted.

(9)

A. Latar Belakang

Sistem agroforestry merupakan sistem yang telah biasa dilakukan masyarakat di Indonesia yang saat ini sedang diupayakan pengembangannya. Salah satu contoh dari sistem agroforestry adalah kegiatan persuteraan alam. Kegiatan ini perlu diperhatikan dan diterapkan dalam praktek di lapangan. Karena kegiatan ini memiliki sifat yang padat karya sehingga dapat memperluas lapangan pekerjaan, dapat meningkatkan taraf hidup, dapat menambah penghasilan masyarakat, dapat menanggulangi masalah kependudukan dan tenaga kerja dan juga dapat berperan serta dalam meningkatkan produksi sandang (garmen).

Kegiatan persuteraan alam merupakan salah satu peluang bisnis di Indonesia yang belum banyak dilakukan, padahal usaha ini memiliki banyak kelebihan. Waktu yang singkat dalam budidaya murbei hingga panen kokon adalah salah satu kelebihannya. Kelebihan lainnya adalah mudah dilakukan, tidak memerlukan tempat yang luas, dapat dilakukan sebagai kegiatan rumah tangga dan keuntungan yang dihasilkan cukup tinggi.

Kegiatan persuteraan alam sebenarnya telah lama dikenal dan dilakukan oleh manusia. Sebagai bangsa yang tercatat sebagai pelopor budidaya, bangsa Cina sejak sekitar tahun 200 SM sudah memiliki pabrik benang sutera yang besar dan dapat memasarkannya ke berbagai penjuru dunia. Usaha ini terus menyebar ke berbagai negara seperti Jepang, Korea, India, dan akhirnya sampai ke Indonesia.

Kebutuhan akan benang sutera dunia mencapai 700 ton per tahun, sedangkan produksi hanya sebesar 81,2 ton, sehingga Indonesia harus mengimpor benang sutera sekitar 618,8 ton pada tahun 2005. Pemerintah menargetkan produksi benang sutera nasional mencapai 400 ton pada tahun 2010, sehingga impor bisa ditekan hanya sekitar 275 ton (Seno, 2006). Maka peluang untuk berusaha di bidang persuteraan alam di Indonesia cukup besar, karena negara Indonesia memiliki iklim serta daerah yang keadaan biofisiknya

(10)

cocok untuk budidaya sutera alam, baik untuk penanaman tanaman murbei sebagai sumber pakan ulat sutera, juga untuk pembudidayaan ulat sutera.

Kegiatan persuteraan alam ini dalam pelaksanaannya melibatkan petani, pengusaha serta pemerintah. Petani sebagai produsen awal yang memelihara ulat sutera (Bombyx mori) dan menanam daun murbei (Morus sp.) sebagai pakan bagi ulat. Sedangkan peran pengusaha sebagai penampung hasil produksi petani yang kemudian dilakukan kegiatan pengolahan lebih lanjut. Pemerintah disini berperan sebagai pembina kegiatan persuteraan alam ini.

Pemerintah saat ini perlu memperhatikan dan menggalakkan budidaya ulat sutera karena komoditi sutera dianggap penting sedangkan produksi di dalam negeri masih rendah. Berbagai upaya untuk meningkatkan produksi benang sutera mulai diusahakan, diantaranya adalah dengan pembukaan dan perluasan daerah pemeliharaan baru, perbaikan penanaman murbei, perbaikan pembibitan ulat sutera dan intensifikasi pemeliharaan ulat sutera.

Usaha persuteraan alam belum banyak dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Pangalengan karena usaha tersebut begitu dikenal. Maka perlu dilakukan suatu penelitian terhadap strategi yang dapat menentukan upaya-upaya pengembangan kegiatan persuteraan alam yang diharapkan dapat menjadi daya tarik para petani sutera untuk lebih menekuni usahanya sehingga dapat meningkatkan taraf hidup petani sutera serta dapat merangsang masyarakat lainnya untuk melakukan usaha persuteraan alam.

B. Perumusan masalah

Besarnya permintaan benang sutera baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri belum diikuti dengan besarnya pertumbuhan produksi sutera alam. Untuk mengimbangi hal tersebut, maka diperlukan kegiatan pengembangan persuteraan alam di Indonesia.

Pengembangan persuteraan alam di Indonesia sebenarnya saat ini telah banyak dilakukan, salah satunya adalah di wilayah BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Akan tetapi banyak hal lain yang menjadikan para petani beralih ke usaha lain karena menginginkan keuntungan yang lebih besar. Hal ini sangat ironis,

(11)

karena di wilayah tersebut memiliki potensi alam yang cukup baik untuk dilakukannya pengembangan usaha persuteraan alam.

Oleh karena itu perlu dilakukan analisis mengenai pengembangan persuteraan alam di Kecamatan Pangalengan, BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan. Analisis dalam penelitian ini adalah analisis strategis menggunakan metode SWOT dan juga analisis struktural dengan teknik ISM (Interpretative Structural Modelling).

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain :

1. Mengidentifikasi dan mengevaluasi faktor eksternal dan internal yang dapat mempengaruhi perkembangan usaha persuteraan alam.

2. Menentukan model interpretasi struktural.

3. Merumuskan alternatif-alternatif strategi yang dapat diterapkan dalam rangka pengembangan usaha persuteraan alam di Kecamatan Pangalengan, BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Dapat menjadi bahan informasi dan perbandingan suatu analisis strategi yang dapat diterapkan pada pengembangan persuteraan alam.

2. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat Kecamatan Pangalengan dalam memanfaatkan potensi alam untuk usaha persuteraan alam.

(12)

A. Persuteraan Alam

Ada beberapa tujuan orang membudidayakan binatang, antara lain untuk mendapatkan produksi pangan (daging, telur, susu, dan madu), untuk tenaga kerja, untuk bahan obat-obatan, untuk bahan industri sandang (pakaian) serta untuk hobi, dan lain-lain. Budidaya ulat sutera memiliki tujuan untuk menghasilkan benang sutera sebagai bahan sandang (Guntoro, 1994).

Persuteraan alam merupakan kegiatan agroforestry yang mempunyai rangkaian yang cukup panjang sejak penanaman murbei, pembibitan ulat, sutera, pemeliharaan ulat sutera, processing (pengolahan) kokon, pemintalan serat, pertenunan dan pemasaran kain sutera. Kegiatan ini sudah lama dikenal dan dibudidayakan sebagian masyarakat Indonesia (Sunanto, 1997).

Usaha persuteraan alam, khususnya produksi kokon dan benang sutera dirasakan sangat menguntungkan karena cepat mendapatkan hasil dan memiliki nilai ekonomi tinggi, teknologi yang digunakan relatif sederhana, tidak memerlukan keterampilan khusus, dapat dilakukan sebagai usaha pokok ataupun sambilan, serta dapat dilakukan oleh pria, wanita, dewasa maupun anak-anak. Oleh karena itu, kegiatan ini merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan peranan sektor kehutanan dan perkebunan dalam mendorong perekonomian masyarakat di pedesaan, memberikan lapangan pekerjaan serta mendukung kegiatan reboisasi dan penghijauan (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Brantas, 2000).

1. Deskripsi Ulat Sutera

Dalam dunia persuteraan alam dikenal 4 jenis atau ras kupu sutera unggul yang memiliki produksi kokon yang tinggi dan dapat menghasilkan benang sutera dengan kualitas yang baik yakni Ras Cina, Ras Jepang, Ras Eropa dan Ras Tropika. Di Indonesia yang banyak dikembangkan adalah kupu ras Cina dan Jepang, dan hasil persilangan kedua ras tersebut. Namun, belakangan ini hasil persilangan ras Jepang dan ras Cina yang lebih banyak dikembangkan. karena dengan persilangan kedua ras kupu tersebut, maka

(13)

kelemahan-kelemahannya dapat dikurangi dan sifat unggulnya dapat ditonjolkan (Guntoro, 1994).

Ulat sutera (Bombyx mori) membutuhkan daun murbei sebagai makanannya. Sebelum mulai melakukan pemeliharaan ulat sutera, tanaman murbei harus sudah siap diambil daunnya sebagai bahan makanan. Ulat yang sudah menjadi serangga piaraan sangat peka terhadap faktor-faktor lingkungan. Maka pemeliharaan ulat sutera memerlukan tempat atau ruangan yang memiliki suhu dan kelembaban yang cocok dengan ulat sutera yang dipelihara (Sunanto, 1997).

Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, 1999 menyatakan terdapat beberapa persyaratan lokasi untuk kegiatan budidaya ulat sutera dari segi non teknis yakni harus didukung oleh kondisi sosial budaya setempat, tersedianya sarana transportasi yang memadai, tersedianya pasar lokal atau akses pasar yang jelas,serta adanya akses untuk memperoleh bibit tanaman murbei dan bibit ulat sutera secara mudah dan berkesinambungan. Sedangkan Samsijah dan Andadari (1995) menyatakan bahwa untuk menjamin berhasilnya suatu pemeliharaan ulat sutera, beberapa hal yang perlu diperhatikan yakni tersedianya daun murbei yang cukup baik kualitas maupun kuantitasnya, bibit unggul yang bebas penyakit serta teknik dan persiapan pemeliharaan perlu dikuasai dan ditingkatkan.

Perkembangan budidaya ulat sutera dapat dibedakan menjadi tiga fase, dimana setiap fasenya memerlukan lingkungan dan perlakuan yang agak berbeda. Ketiga fase tersebut adalah fase ulat kecil, fase ulat besar dan fase pengkokonan. Fase ulat kecil terhitung sejak telur kupu menetas hingga ulat berumur 1 minggu. Fase ulat besar adalah sejak ulat berumur sekitar delapan hari hingga 3 minggu (21-22 hari), dan fase pengkokonan adalah dari umur sekitar 21 hari hingga umur 27 atau 28 hari. Dengan demikian proses sejak telur menetas (lahir larva) hingga larva atau ulat membentuk kokon memerlukan makanan berupa daun murbei. Sedangkan untuk fase pengkokonan memerlukan waktu sekitar 6-7 hari (Guntoro, 1994).

Hasil akhir dari suatu pemeliharaan ulat sutera adalah kokon dan mutunya sangat ditentukan oleh keadaan selama pemeliharaan dan waktu

(14)

ulat membentuk kokon, disamping sifat keturunan dari ulat sutera itu sendiri. Jadi kualitas kokon dan kualitas serat sutera akan tergantung dari faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu, untuk mendapatkan benang sutera yang baik, perlu dihasilkan kokon yang baik pula dan untuk mencapai tujuan ini, maka perlu memperhatikan keadaan bibit ulat sutera pada saat pemeliharaan dan ulat membentuk kokon (Samsijah dan Andadari, 1992a).

2. Deskripsi Tanaman Murbei

Tanaman murbei (Morus sp.) yang dalam bahasa Jawa disebut Besaran dapat tumbuh hampir di semua jenis tanah. Namun demikian tanaman ini akan tumbuh baik pada daerah berketinggian di atas 300 meter dari permukaan laut, dengan kondisi tanah yang gembur dan subur. Dengan sistem pemeliharaan yang baik, tanaman ini juga dapat diusahakan pada lahan-lahan yang kurang subur, sebagai tanaman penghijauan di daerah gundul. Murbei dapat diusahakan secara besar-besaran sebagai tanaman pagar, atau tanaman sela di pekarangan (Guntoro, 1994).

Gambar 1. Berbagai Jenis Daun Murbei ( Ket : 1. Morus canva II, 2. Morus khumpai, 3. Morus multicaulis, 4. Morus alba, 5. Morus cathayana, 6. Morus nigra)

Tanaman murbei (Morus sp.) mempunyai peranan penting dalam usaha persuteraan alam karena merupakan bahan makanan utama bagi ulat sutera jenis Bombyx mori. Dalam pemeliharaan ulat tersebut diperlukan daun-daun murbei yang masih segar, sedangkan daun-daun yang sudah layu dan daun dari tumbuhan lain tidak dapat dipergunakan untuk bahan makanan ulat sutera dengan baik. Produksi dan kualitas daun murbei tidak

(15)

hanya menentukan pertumbuhan dan kesehatan ulat sutera tapi juga berpengaruh terhadap kualitas kokon yang dihasilkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka akan berpengaruh juga terhadap produksi benang suteranya (Samsijah dan Andadari, 1992b).

Daun murbei adalah satu-satunya makanan ulat sutera jenis Bombyx mori, dimana untuk pertumbuhannya memerlukan zat-zat makanan yang ada di dalamnya. Susunan kimia daun murbei terdiri dari air, protein, dekstrin garam-garam anorganik (phosfat, kalium, kalsium, dan lain-lain), vitamin (provitamin A, B1, B2, C dan sebagainya), karbohidrat, bahan ekstraksi, macam-macam gula dan juga asam-asam organik (Samsijah dan Kusumaputera, 1976 dalam Fauziyah, 2003).

Katsumata (1964) menyatakan bahwa dalam rencana penanaman tanaman murbei di daerah tropis sebaiknya memperhatikan beberapa hal seperti letak perkebunan murbei dan jenis tanahnya, keadaan sekitar perkebunan murbei, persiapan tanah untuk tanaman murbei, pengairan untuk kebun murbei, penggunaan mata air dalam tanah, serta pemilihan jenis tanaman murbei.

B. Prospek Pengembangan Persuteraan Alam

Perkembangan ulat sutera alam pada tahun-tahun terakhir ini menunjukkan prospek yang cukup baik. Dapat tergambarkan dari jumlah produksi raw silk dunia yang terus menurun selama enam tahun terakhir dari 55.222 ton menjadi 52.342 ton, sedangkan kebutuhan dunia cukup besar dan stabil yaitu sebesar 81.546 ton. Kebutuhan akan benang sutera ini diprediksi akan terus meningkat seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk serta semakin membaiknya kondisi perekonomian (Pemda Kabupaten Tasikmalaya, 2005).

Indonesia memiliki potensi lahan yang masih luas, iklim yang mendukung, tenaga kerja yang cukup banyak dan murah serta teknologi persuteraan alam yang telah dikuasai, tetapi perkembangan kegiatan persuteraan alam di Indonesia selama ini masih mengalami pasang surut seperti komoditas lainnya. Tingkat produksi sutera alam di dalam negeri

(16)

masih rendah yakni hanya 30 % dari kebutuhan nasional, khususnya untuk memenuhi kebutuhan industri sutera rakyat. Dan dengan peningkatan kebutuhan benang sutera negara-negara Eropa dari 30 gram/kapita/tahun menjadi 100 gram/kapita/tahun, maka memberi peluang yang sangat prospektif bagi persuteraan alam di Indonesia, dimana persuteraan alam sifatnya padat karya sehingga sangat cocok bagi Indonesia yang penduduknya cukup padat terutama di pedesaan (Sunanto, 1997).

Kegiatan usaha persuteraan alam yang telah berkembang di Indonesia terdapat di propinsi Sulawesi Selatan, D.I. Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera Barat. Dari lima propinsi tersebut dihasilkan benang sutera rata–rata per tahun sebesar 140 ton. Sesungguhnya kebutuhan benang sutera mencapai 400 ton per tahun. Hal ini menunjukkan masih terdapat peluang pasar dalam negeri sebesar 260 ton per tahun yang setara dengan 4500-5000 ha areal tanaman monokultur murbei. Dengan demikian telah terbuka peluang usaha yang cukup besar dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi untuk mengisi pasar sutera alam baik di dalam maupun di luar negeri (Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Program kemitraan di bidang persuteraan alam dimaksudkan sebagai bentuk upaya kerjasama yang berlandaskan kepada semangat kekeluargaan dan kebersamaan antara yang kuat dengan yang lemah dalam rangka pemberdayaan yang lemah, agar tidak menjadi korban dalam persaingan usaha dengan tujuan tercapainya tujuan–tujuan pembangunan persuteraan alam (Atmosoedarjo et al, 2000).

Kegiatan persuteraan alam di Perum Perhutani dimulai sekitar tahun 1960 sebagai proyek Prosperity Approach. Kegiatan ini merupakan salah satu cara pendekatan pengamanan hutan sekaligus sebagai diversifikasi produk yang cepat menghasilkan. Akan tetapi hingga saat ini usaha persuteraan alam di Perum Perhutani belum menunjukkan angka yang menggembirakan karena potensi usaha belum didayagunakan secara optimal. Penyebabnya adalah belum adanya keterpaduan usaha persuteraan alam mulai dari sektor hulu (budidaya murbei dan ulat sutera) sampai dengan sektor hilir (industri raw silk dan twist silk) (Sunanto, 1997).

(17)

C. Analisis SWOT

Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) adalah suatu analisa lingkungan internal dan eksternal. Analisa internal lebih menitik beratkan pada kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) yang dimiliki oleh organisasi, sedangkan analisa eksternal untuk menggali dan mengidentifikasi semua peluang (opportunity) yang ada dan yang akan datang serta ancaman (threat) dari pesaing dan calon pesaing (Cahyono, 1999).

Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses). Analisis SWOT tidak hanya dipakai untuk menyusun strategi di medan pertempuran, melainkan banyak dipakai dalam penyusunan strategi bisnis yang bertujuan untuk menyusun strategi-strategi jangka panjang sehingga arah dan tujuan perusahaan dapat dicapai dengan jelas dan dapat segera diambil keputusan, berikut semua perubahannya dalam menghadapi pesaing (Rangkuti, 2000).

D. Teknik ISM (Interpretative Structural Modelling)

Teknik ISM (Interpretative Structural Modelling) adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat (Eriyatno, 1999).

Metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub-elemen. Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik (Eriyatno, 1999).

(18)

A. Kerangka Pemikiran

Kegiatan persuteraan alam memiliki arti khusus bagi penduduk di Kecamatan Pangalengan yang berada di wilayah BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan. Hal ini karena kegiatan persuteraan alam dapat membuka lapangan pekerjaan, menghasilkan pendapatan yang cukup besar sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem manajemen yang tepat sehingga dapat meningkatkan hasil dari kegiatan persuteraan alam tersebut.

Analisis yang dilakukan terdiri dari dua tahapan yakni analisis strategis dengan metode SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) dan analisis struktural menggunakan teknik ISM (Interpretative Structural Modelling). Pada analisis SWOT, informasi yang diperoleh dari tahap masukan diolah untuk memadukan antara peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal. Perpaduan antara faktor eksternal dan internal merupakan kunci yang efektif untuk merumuskan strategi.

Sedangkan pada analisis struktural yang menggunakan teknik ISM merupakan analisis sistematik dari suatu program sehingga memberikan nilai yang berharga dalam memenuhi kebutuhan masa kini maupun masa yang akan datang. Dengan menggunakan teknik ISM diharapkan akan diperoleh suatu model struktural sistem persuteraan alam. Model interpretasi struktural tersebut termasuk metode yang menitikberatkan pada informasi yang relevan pada penetapan kebijaksanaan (policy research).

Kerangka pemikiran di atas disajikan dalam bentuk diagram yang dapat dilihat pada Gambar 2.

(19)

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Pendekatan Sistem

System Approach

Model Struktural Usaha Persuteraan Alam

Strategi Pengembangan Usaha Persuteraan Alam Faktor Eksternal dan Internal Usaha Persuteraan Alam Diagram dan matriks SWOT Analisis Strategis Analisis SWOT Analisis Struktural Teknik ISM Usaha Persuteraan Alam Elemen penentu usaha persuteraan alam

(20)

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini berlokasi di Kecamatan Pangalengan, BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani III Unit Jawa Barat dan Banten. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat daerah ini melakukan usaha persuteraan alam yang dibimbing oleh BKPH Pangalengan. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, mulai bulan Mei hingga bulan Juni 2006.

C. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa daftar pertanyaan (kuisioner), alat perekam suara (tape recorder), alat tulis menulis dan alat hitung yang diperlukan. Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini berupa lahan kegiatan persuteraan alam yang dilakukan oleh masyarakat pada lokasi penelitian.

D. Metode Pengambilan Contoh

Dalam penelitian ini jumlah responden terdiri dari 8 orang responden yang terdiri dari petani, pengusaha persuteraan alam, pihak Perum Perhutani, dan para pakar persuteraan alam, serta masyarakat umum..

Menurut David (2003), dalam analisis ini (SWOT) untuk menentukan responden tidak ada jumlah minimal yang diperlukan sepanjang responden yang dipilih merupakan ahli (expert) pada bidangnya. Hal ini berarti bahwa responden adalah orang-orang yang mengenal betul bisnis yang dijalani. Namun demikian semakin banyak responden yang dilibatkan akan semakin baik untuk mengurangi unsur subyektivitas.

E. Metode Pengumpulan Data

Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam terhadap para pakar yang terpilih. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap pembudidayaan tanaman murbei dan cara pemeliharaan ulat sutera. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi literatur dan data-data dari pihak yang terkait dengan usaha persuteraan alam.

(21)

F. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan dua tahapan, yakni analisis strategis dengan metode SWOT dan analisis struktural dengan teknik ISM.

1. Identifikasi dan Evaluasi Faktor Internal dan Faktor Eksternal

Metode SWOT merupakan identifikasi yang sistematis dari faktor kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Metode ini diawali dengan mengidentifikasi variabel lingkungan internal dan eksternal kegiatan persuteraan alam. Variabel lingkungan internal dijadikan rujukan dalam menentukan kekuatan dan kelemahan dari kegiatan persuteraan alam. Sedangkan variabel eksternal dijadikan rujukan dalam penentuan peluang dan ancaman yang dihadapi kegiatan persuteraan alam. Selanjutnya dilakukan pembandingan antara faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan yang mempengaruhi usaha persuteraan alam.

Data yang termasuk faktor internal dimasukkan ke dalam Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) sedangkan data yang termasuk faktor eksternal dimasukkan ke Matriks External Factor Evaluation (EFE).

a. Matriks EFE dan Matriks IFE

Tahapan untuk menentukan faktor-faktor lingkungan dalam matriks EFE dan IFE adalah sebagai berikut :

1. Tuliskan faktor-faktor eksternal dan internal yang diidentifikasi dalam proses evaluasi sebanyak 5-10 faktor.

2. Beri bobot masing-masing faktor dengan skala mulai dari 0,00 (tidak penting) sampai dengan 1,00 (sangat penting). Penentuan bobot ini diperoleh dengan mengisi tabel dengan metode Paired Comparison. Jumlah dari pembobotan ini tidak boleh melebihi skor total 1,00. Bobot setiap peubah diperoleh dengan menentukan nilai setiap peubah terhadap jumlah nilai keseluruhan peubah, dengan rumus berikut :

(22)

Keterangan :

ά = Bobot peubah ke-i

Xi = Nilai peubah ke-i

i = 1,2,3...n

n = jumlah peubah

3. Untuk Matriks EFE, berikan nilai peringkat 1 sampai 4 pada setiap faktor. Skala nilai peringkat yang digunakan untuk peluang dan ancaman eksternal yaitu : 1 = respon rendah (kurang), 2 = respon sedang (respon sama dengan rata-rata), 3 = respon tinggi (respon di atas rata-rata), dan 4 = respon sangat tinggi (respon superior). Sedangkan untuk Matriks IFE, beri peringkat 1 sampai 4 pada setiap faktor. Skala nilai peringkat yang digunakan untuk kekuatan yaitu : 4 = sangat kuat, 3 = kuat, 2 = lemah dan 1 = sangat lemah.

4. Kalikan setiap bobot pada faktor dengan peringkat untuk menentukan skor atau nilai yang dibobot untuk setiap variabel.

5. Jumlahkan nilai yang dibobot untuk setiap variabel untuk menentukan total nilai yang dibobot untuk organisasi.

Analisis faktor eksternal berupa peluang dan ancaman dapat dilihat pada Tabel 1 dan analisis faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini :

Tabel 1. Matriks EFE Faktor Strategis Eksternal

(1) Bobot (2) Rating/peringkat (3) Skor (4) Peluang 1. 2. Dst Ancaman 1. 2. Dst Total Sumber : David, 2003

ά =

n Σxi i=1

Xi

(23)

Tabel 2. Matriks IFE Faktor Strategis Internal

(1) Bobot (2) Rating/peringkat (3) Skor (4) Kekuatan 1. 2. Dst Kelemahan 1. 2. Dst Total Sumber : David, 2003

b. Diagram dan Matriks SWOT

Metode SWOT memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi peubah-peubah internal dan eksternal secara baik. Kemudian menggunakan Diagram SWOT dan Matriks SWOT akan dapat dirumuskan suatu strategi perusahaan. Dan diagram SWOT dapat dilihat seperti pada Gambar 3 berikut ini.

3. mendukung strategi 1. mendukung strategi turnaround agresif

4. mendukung strategi 2. mendukung strategi defensif diversifikasi

Gambar 3. Diagram SWOT (Rangkuti, 2000)

Gambar 3 menjelaskan bahwa pada kuadran 1 merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Usaha persuteraan alam memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Kuadran 2 menyatakan bahwa meskipun menghadapi berbagai ancaman, usaha persuteraan alam ini masih memiliki kekuatan dari segi internal. Kuadran 3 menyatakan bahwa usaha persuteraan alam menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tapi di lain pihak ia menghadapi beberapa kendala

Kekuatan internal Kelemahan internal

Berbagai ancaman Berbagai peluang

(24)

internal. Sedangkan kuadran 4 merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, usaha tersebut menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal.

Peluang dan ancaman eksternal lebih sistematis bila dibandingkan dengan kekuatan dan kelemahan dalam pendekatan yang terstruktur. Hal ini memunculkan empat pola strategi sebagai hasil perpaduan situasi internal dan eksternal perusahaan. Pendekatan ini dapat ditampilkan dalam sebuah matriks SWOT yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Matriks SWOT IFAS EFAS Strengths (S) Weaknesses (W) Opportunities (O) Strategi SO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang Strategi WO Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang Threats (T) Strategi ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman

Strategi WT Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman Sumber : Rangkuti, 2000

Strategi SO dibuat dengan berdasarkan jalan pikiran perusahaan untuk merebut dan memanfaatkan peluang dengan sebesar-besarnya. Strategi ST adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki perusahaan untuk mengatasi ancaman. Strategi WO diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. Sedangkan strategi WT didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman (Rangkuti, 2000).

2. Model Interpretasi Struktural

Analisis struktural menggunakan teknik ISM (Interpretative Structural Modelling). Metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub-elemen. Prinsip

(25)

dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem akan memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengembilan keputusan yang lebih baik.

a. Penyusunan Hierarki

Penyusunan hierarki adalah menentukan tingkat jenjang struktur dari suatu sistem untuk lebih menjelaskan pemahaman hal yang sedang dikaji. Struktur menggambarkan pengaturan dari elemen-elemen dan hubungan antar elemen dalam membentuk suatu sistem.

Program yang sedang ditelaah perjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen dimana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah sub-elemen. Menurut Saxena, 1992 dalam Eriyatno, 1999 program dapat dibagi menjadi 9 elemen, namun pada penelitian ini hanya menggunakan 6 elemen yakni 1) Sektor masyarakat yang terpengaruhi; 2) Tujuan program; 3) Kebutuhan program; 4) Kendala utama; 5) Lembaga yang terkait dengan program; dan 6) Perubahan yang dimungkinkan.

Hubungan kontekstual pada teknik ISM dinyatakan dalam terminologi sub-ordinat yang menuju perbandingan berpasangan antar sub-elemen. Keterkaitan antar sub-elemen dapat dilihat pada Tabel 4.

Berdasarkan pertimbangan hubungan kontekstual maka disusunlah Structural Self-Interaction Matrix (SSIM). Penyusunan SSIM menggunakan simbol V, A, X dan O dimana V adalah eij = 1 dan eji = 0, A adalah eij = 0 dan eji = 1, X adalah eij = 1 dan eji = 1 dan O adalah eij = 0 dan eji = 0. Dengan pengertian simbol 1 adalah terdapat atau ada hubungan kontekstual, sedangkan simbol 0 adalah tidak tertapad hubungan kontekstual antara elemen i dan j dan sebaliknya.

Setelah SSIM dibentuk, kemudian dibuat tabel Reachibility Matrix dengan mengganti V, A, X, O menjadi bilangan 1 dan 0. Dan setelah melalui proses modifikasi berdasarkan aturan transitivity maka dihasilkan suatu SSIM akhir dan Reachibility Matrix akhir.

(26)

Hasil akhir Reachibility Matrix dapat menunjukkan hubungan antar sub elemen yang diaplikasikan dalam bentuk grafis pada diagram model struktural tiap elemen program.

Tabel 4. Keterkaitan Antar Sub-elemen pada Teknik ISM

No. Jenis Interpretasi

1. Perbandingan (comparative) • A lebih penting/besar/indah daripada B 2. Pernyataan (definitive) • A adalah atribut B • A termasuk dalam B • A mengartikan B 3. Pengaruh (infleunce) • A menyebabkan B

• A adalah sebagian penyebab B • A mengembangkan B • A menggerakkan B • A meningkatkan B 4. Keruangan (spatial) • A adalah selatan/utara B • A di atas B • A sebelah kiri B 5. Kewaktuan (temporal / time scale) • A mendahului B • A mengikuti B

• A mempunyai prioritas lebih dari B Sumber : Eriyatno, 1999

b. Klasifikasi Sub-elemen

Pada penentuan model interptretasi struktural dengan teknik ISM, beragam sub-elemen dalam suatu elemen yang telah disusun dengan Structural Self–Interaction Matrix (SSIM) dan Reachability Matrix kemudian disusun dalam Driver–Power–Dependence Matrix, yaitu mengklasifikasikan sub-elemen ke dalam 4 sektor yakni :

Sektor 1: Weak driver-weak dependent variables. (AUTONOMOUS). Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan kecil, meskipun hubungan itu bisa saja kuat.

Sektor 2: Weak driver-strongly dependent variables. (DEPENDENT). Umumnya peubah di sini adalah peubah tidak bebas.

(27)

Sektor 3: Strong driver-strongly dependent variables. (LINKAGES). Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah adalah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah itu akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak. Sektor 4 : Strong drive-weak dependent variables. (INDEPENDENT).

Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.

Dalam keseluruhan proses teknik ISM maka berbagai urutan kerja dari tahap penyusunan hierarki sampai hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 4.

(28)

Gambar 4. Diagram Teknik ISM (Eriyatno, 1999) PROGRAM

Tentukan hubungan kontekstual antara sub-elemen pada setiap elemen Uraikan setiap elemen menjadi sub-elemen

Susunlah SSIM untuk setiap elemen Uraikan program menjadi perencanaan

Bentuk Reachibility matrix setiap elemen

Uji matriks dengan aturan transtivity

Modifikasi SSIM

Tentukan level melalui pemilihan

Ubah RM menjadi format Lower Triangular RM

Susun diagram dari Lower Triangular

RM Tetapkan driver

dependence matrix setiap elemen

Tentukan rank dan hierarki dari sub elemen Tetapkan Driver dan Driver

power setiap sub elemen

Klasifikasi sub elemen pada empat peubah

kategori Plot sub elemen pada

empat sektor Susunlah ISM dari setiap

elemen

(29)

A. Kondisi Fisik

Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Pangalengan merupakan salah satu bagian dari unit kerja Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan di bawah pengelolaan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.

Wilayah BKPH Pangalengan secara administratif berada pada Kecamatan Kertasari dan Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat. Kecamatan Pangalengan terdiri dari 11 desa hutan dan Kecamatan Kertasari terdiri dari 5 desa hutan. Penelitian ini dilaksanakan pada Kecamatan Pengalengan yang merupakan bagian dari BKPH Pangalengan.

Batas wilayah kerja BKPH Pangalengan yaitu :

Sebelah Utara : Perkebunan teh Kertamanah, wilayah hutan BKPH Banjaran dan BKPH Ciparay KPH Bandung Selatan. Sebelah Timur : Batas hutan KPH Garut.

Sebelah Selatan : Perkebunan teh Pasir Malang dan wilayah hutan BKPH Cileuleuy KPH Garut.

Sebelah Barat : Wilayah hutan BKPH Ciwidey KPH Bandung Selatan.

Luas kawasan hutan BKPH Pangalengan adalah 8.736,81 ha yang seluruhnya berstatus Hutan Lindung. Pembagian luas hutan BKPH Pangalengan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Luas Kawasan Hutan BKPH Pangalengan No.

(1) Resort Pemangkuan Hutan (RPH) (2) Luas Hutan (ha) (3)

1. Papandayan 1.077,00 2. Wayang Windu 2.749,38 3. Pangalengan 1.935,77 4. Kancana 2.974,66 Jumlah 8.736,81 Sumber : BKPH Pangalengan, 2005

(30)

Kawasan hutan BKPH Pangalengan merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian diatas 1.400 m dpl-1.700 m dpl, beriklim dingin dengan suhu udara rata-rata 20oC, kelembaban udara sekitar 75%-90%, curah hujan 1.250 mm/tahun serta mempunyai kesuburan tanah pegunungan yang memadai untuk pertanian dan perkebunan. Kawasan BKPH Pangalengan sebagian besar berbentuk lapangan bergelombang. Pada kawasan ini juga terdapat hulu sungai DAS Citarum yang sangat potensial, sungai tersebut mengalir sampai ke Pantai Utara Jawa Barat, sehingga perlu perhatian serius untuk menjaga baik keamanannya maupun kelestariannya.

Sesuai dengan kondisi fisiknya, kawasan hutan BKPH Pangalengan terbagi menjadi Blok Perlindungan seluas 5.699,17 ha dan Blok Pemanfaatan seluas 3.035,50 ha.

Jenis tanaman kehutanan pada BKPH Pangalengan berupa rimba campur yang terdiri dari rasamala, eucalyptus, pinus, dan lain-lain. Selain itu kawasan hutan BKPH Pangalengan juga memiliki potensi lahan yang cukup subur untuk ditanami oleh jenis tanaman tertentu diantara tanaman kehutanan. Saat ini program yang sedang digalakkan oleh BKPH Pangalengan yakni program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di bidang agroforestry dengan mengembangkan beberapa komoditi yang ditanam di antara tanaman kehutanan yakni rumput gajah, kopi, murbei, terong kori, dan lain-lain. Program ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi para perambah hutan selain itu juga lingkungan hutan akan terjamin baik keamanan maupun kelestariannya.

Melalui sistem PHBM yang sedang digalakkan, dari 16 desa hutan di BKPH Pangalengan, saat ini telah terbentuk 14 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang terdiri dari 72 Kelompok Tani Hutan (KTH). Dari 14 LMDH, 11 LMDH diantaranya telah mempunyai Akta Notaris. Sedangkan yang telah melakukan perjanjian kerjasama dengan Perum Perhutani sebanyak 10 LMDH.

Potensi lain di kawasan hutan BKPH Pangalengan berupa wana wisata hulu sungai Citarum RPH Wayang Windu dan pemandian air panas Cibolang, namun masih perlu dikembangkan terus guna meningkatkan minat

(31)

pengunjung. Potensi wisata lain yang belum dikembangkan berupa arung jeram di Rahong RPH Pangalengan, dan Kawah Gunung Wayang.

B. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk

Berdasarkan data monografi, penduduk Kecamatan Pangalengan berjumlah 124.498 jiwa dengan 35.576 kepala keluarga. Berdasarkan jenis kelamin penduduk Kecamatan Pangalengan terdiri dari 62.363 jiwa laki-laki dan 62.135 jiwa perempuan (Pemerintah Kabupaten Bandung, 2005).

Sebagian besar mata pencaharian penduduk Kecamatan Pangalengan adalah petani dengan jumlah 52.270 orang, pengusaha sedang/besar sebanyak 993 orang, perajin 2.675 orang, pedagang 3.466 orang, buruh perkebunan sebanyak 10.230 orang, transportasi 1.687 orang, pegawai negeri sipil 3.627 orang, ABRI 190 orang, dan pensiunan (ABRI/PNS) 2.271 orang. Jumlah pencari kerja pria sebanyak 1.953 orang dan wanita berjumlah 1.302 orang. Mayoritas penduduk Kecamatan Pangalengan mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama (Pemerintah Kabupaten Bandung, 2005).

Jumlah penduduk Kecamatan Pangalengan yang belum sekolah sebesar 22.326 orang, tidak tamat sekolah (SD) sebanyak 526 orang, tamat SD sebanyak 53.816 orang, tamat SMP 24.321 orang, tamat SMU 6.076 orang, tamat akademi 2.344 orang, tamat perguruan tinggi 694 orang, dan penduduk yang buta huruf sebanyak 1.119 orang (Pemerintah Kabupaten Bandung, 2005).

Jumlah penduduk dan pendidikan masyarakat sangat berpengaruh terhadap keadaan ekonomi, dimana sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai petani hortikultura. Hal tersebut karena keadaan topografi dan iklim yang cocok di Kecamatan Pangalengan sangat menunjang perekonomian di bidang pertanian.

(32)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi dan Evaluasi Faktor Internal dan Faktor Eksternal

Identifikasi dan evaluasi faktor internal dan eksternal pada usaha persuteraan alam ini dilakukan dengan menggunakan metode SWOT. Metode SWOT adalah membandingkan antara faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) (Rangkuti, 2000).

Analisis ini menghasilkan peubah-peubah yang bersifat strategis unsur internal dan unsur eksternal serta nilai pengaruh yang bersifat strategis terhadap pengembangan usaha persuteraan alam Selanjutnya dengan menggunakan diagram SWOT dan matriks SWOT akan menghasilkan arahan strategi dalam pengembangan usaha persuteraan alam.

1. Kekuatan

Tabel 6 menyajikan peubah-peubah unsur kekuatan yang berpengaruh terhadap pembangunan usaha persuteraan alam dan nilai pengaruhnya. Peubah-peubah ini harus dipertahankan dan ditingkatkan supaya usaha persuteraan alam dapat berkembang.

Tabel 6. Peubah-peubah Unsur Kekuatan dan Nilai Pengaruhnya

No. (1) Peubah (2) Nilai Pengaruh (3) 1. Kondisi biofisik lingkungan menunjang 0,618

2. Keuntungan yang cukup tinggi 0,444

3. Dapat dilakukan oleh pria, wanita, dewasa dan anak-anak 0,433

4. Peningkatan penghasilan 0,381

5. Ketersediaan SDM 0,376

6. Waktu dari penanaman murbei hingga produksi kokon singkat 0,374

7. Pemanfaatan lahan kehutanan 0,355

8. Teknologi cukup sederhana 0,321

(33)

Penjelasan setiap peubah yang bersifat strategis unsur kekuatan disajikan berikut ini.

a. Kondisi biofisik lingkungan menunjang

Kesesuaian suhu udara akan mempermudah usaha persuteraan alam, karena tidak memerlukan perlakuan-perlakuan khusus. Suhu udara ideal untuk pemeliharaan ulat sutera adalah 20–30oC. Suhu seperti ini biasanya terdapat di tempat yang memiliki ketinggian sekitar 400 m dpl-800 m dpl. Selain itu dalam pemeliharaan ulat sutera dibutuhkan kelembaban ideal yang berkisar antara 70%-90% (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1995).

Secara umum, daerah Pangalengan merupakan daerah pegunungan dengan suhu udara rata-rata 20oC dan memiliki kelembaban udara sekitar 75%-90% serta mempunyai tanah yang cukup subur. Kondisi ini sangat menunjang terhadap pemeliharaan ulat sutera dan penanaman tanaman murbei sebagai bahan makanan ulat sutera.

b. Keuntungan yang cukup tinggi

Keuntungan usaha kokon per kotak per siklus produksi di Kabupaten Garut yaitu Rp 35.278, di Sukabumi Rp 139.397, sedangkan di Soppeng Rp 83.288 (Tim Peneliti IPB, 2006).

Bila diusahakan dalam skala yang cukup besar serta didukung oleh para petani sutera yang lain, maka usaha ini akan menghasilkan cukup banyak keuntungan. Namun saat ini pengusahaan sutera alam masih dilakukan secara sederhana dengan modal yang minim sehingga keuntungan yang didapatkan tidak begitu banyak.

c. Dapat dilakukan oleh pria, wanita, dewasa dan anak-anak

Memelihara ulat sutera tidak terlalu sulit. Setiap orang baik pria maupun wanita dan baik dewasa maupun anak-anak dapat melakukannya dengan bekal keterampilan yang cukup mengenai cara-cara pemeliharaan ulat sutera yang benar. Tetapi pada kenyataan di lapangan, usaha ini masih didominasi oleh orang dewasa pria dan wanita. Karena di Pangalengan kegiatan ini dilakukan pada wilayah hutan yang cukup jauh dari pemukiman petani.

(34)

d. Peningkatan penghasilan

Sebagian besar masyarakat Pangalengan memiliki mata pencaharian sebagai petani sayuran. Penghasilan yang mereka dapatkan telah cukup dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Apabila kegiatan persuteraan alam mereka lakukan sebagai usaha sampingan, maka mereka akan mendapatkan penghasilan tambahan selain dari pekerjaan utama mereka.

e. Ketersediaan sumberdaya manusia

Semenjak dikeluarkannya SK Gubernur No. 522/1224/Bimprod tanggal 20 Mei 2003 tentang penutupan tumpangsari di kawasan Perum Perhutani, banyak petani yang kehilangan pekerjaan awal sebagai petani sayuran. Maka mulai dilakukan kegiatan persuteraan alam dengan langkah-langkah kegiatan yang tidak bertentangan dengan ketentuan pemerintah. Karena kegiatan ini memiliki sifat yang padat karya sehingga dapat memperluas lapangan pekerjaan sehingga dapat menambah penghasilan masyarakat.

f. Waktu dari penanaman murbei hingga produksi kokon singkat

Hal lain yang menarik dari usaha persuteraan alam ini adalah relatif singkatnya masa penanaman murbei hingga pemeliharaan ulat. Mulai penanaman tanaman murbei dan melakukan pemanenan daun murbei pertama hanya sekitar 9-12 bulan. Dan pada pemeliharaan ulat sutera, dalam waktu sekitar sebulan, kokon dapat dipanen dan dapat segera dijual.

Pemeliharaan ulat sebanyak 12 kali dalam setahun dapat saja dilakukan di Indonesia, asal tersedia paling sedikit empat bagian kebun murbei yang berlainan waktu penanamannya dan sedikitnya harus ada dua tempat pemeliharaan ulat sutera (Atmosoedarjo et al, 2000).

g. Pemanfaatan lahan kehutanan

Status kawasan BKPH Pangalengan saat ini telah berubah dari hutan produksi menjadi hutan lindung. Kawasan Hutan BKPH Pangalengan berdasarkan kondisi fisik terbagi menjadi blok perlindungan seluas 5.699,17 ha dan blok pemanfaatan seluas 3.035,50 ha Sehingga

(35)

kegiatan persuteraan alam yang merupakan pola agroforestry adalah solusi yang tepat dalam rangka memanfaatkan lahan di bawah tegakan serta memanfaatkan lahan yang sebelumnya digunakan untuk tumpangsari sayuran oleh masyarakat sekitar kawasan hutan.

h. Teknologi cukup sederhana

Kegiatan persuteraan alam sebenarnya tidak begitu sulit. Teknologi yang digunakan cukup sederhana sehingga petani dapat dengan mudah melakukannya. Alat yang digunakan dalam usaha persuteraan alam adalah rak atau sasag kayu, kotak bingkai yang terbuat dari papan, rak bertingkat, seriframe, floss removal dan lain-lain. Selain itu prasarana berupa rumah ulat kecil dan rumah ulat besar juga perlu dibangun untuk menunjang kegiatan persuteraan alam.

Gambar 5. Seriframe

Kegiatan seperti budidaya murbei, pemeliharaan ulat sutera dan produksi kokon cukup mudah dilakukan. Yang diperlukan dalam usaha persuteraan alam adalah keuletan dan ketelatenan, karena ulat sutera perlu diberi makan daun murbei yang cukup secara rutin.

2. Kelemahan

Peubah-peubah unsur kelemahan dan nilai pengaruhnya terhadap persuteraan alam di Kecamatan Pangalengan dapat dilihat pada Tabel 7.

(36)

Tabel 7. Peubah-peubah Unsur Kelemahan dan Nilai Pengaruhnya

No.

(1) Peubah (2) Nilai Pengaruh (3)

1. Keterbatasan modal 0,492

2. Sarana dan prasarana kurang memadai 0,306

3. Keterbatasan akses pemasaran 0,300

4. Kelembagaan masyarakat masih lemah 0,283 5. Tenaga pelatihan masih terbatas 0,259

6. Kualitas SDM rendah 0,247

7. Kurangnya penerapan teknologi standar 0,209 8. Anggapan rendahnya nilai ekonomi sutera alam 0,163

Jumlah 2,259

Penjelasan terhadap setiap peubah strategis unsur kelemahan disajikan di bawah ini.

a. Keterbatasan modal

Kegiatan usaha persuteraan alam sebenarnya tidak memerlukan biaya/modal yang banyak. Dalam skala kecil, usaha persuteraan alam dapat dilakukan sebagai kegiatan rumah tangga. Walaupun demikian, permodalan merupakan kendala yang paling utama yang dihadapi para petani sutera di Pangalengan.

Secara sederhana usaha tani persuteraan alam dalam satu hektar memerlukan biaya sebesar Rp 10.548.000. Untuk selanjutnya penerimaan yang akan diperoleh setahap demi setahap akan meningkat seiring dengan volume pemeliharaan ulat sutera yang dilakukan (Pemda Kabupaten Tasikmalaya, 2003).

b. Sarana dan prasarana kurang memadai

Saat ini baru ada satu rumah ulat kecil dan satu rumah ulat besar yang berada pada kawasan hutan yang dekat dengan lokasi tanaman murbei. Rumah ulat besar tersebut memiliki 4 tingkat rak dan dapat menampung sekitar 8 boks ulat sutera. Selain itu terdapat pula 3 rumah kokon yang terdapat di Desa Sukamanah (BKPH Pangalengan, 2006).

Sarana dan prasarana dalam produksi ulat sutera dirasakan masih sangat minim. Karena sebenarnya Pangalengan berpotensi besar dalam

(37)

menghasilkan tanaman murbei dalam jumlah yang sangat banyak sehingga apabila rumah ulat ditambah maka akan dapat menampung lebih banyak ulat sutera dan dapat menghasilkan kokon lebih banyak. c. Keterbatasan akses pemasaran

Semua kegiatan usaha selain produksi bagus, harga bagus juga paling penting adalah pemasaran yang menjanjikan dan menjamin. Dan untuk ulat sutera ini pasaran cukup menjanjikan yaitu dengan jumlah produksi kokon yang cukup besar, dan untuk bahan jadinya pun pangsa pasar sudah menunggu.

Namun di lapangan selama ini permintaan yang datang untuk memenuhi kebutuhan akan kokon masih berasal dari sekitar daerah Jawa Barat. Hal ini terjadi karena produksi kokon belum dapat dilakukan secara kontinu dan kokon yang dihasilkan masih belum dapat memenuhi standar kualitas yang bagus.

d. Kelembagaan masyarakat masih lemah

Salah satu titik lemah dari pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan hutan dan lahan dalam hal ini usaha persuteraan alam adalah belum berkembangnya kelembagaan masyarakat serta tingkat kemampuan dan persepsi masyarakat yang sangat beragam dalam melaksanakan dan memahami rehabilitasi hutan dan lahan (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Brantas, 2000).

Kegiatan persuteraan alam di wilayah Pangalengan baru selama 3 tahun dilakukan, maka kelembagaan yang ada masih belum begitu kuat. LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) Sukamanah yang baru terbentuk sekitar 3 tahun masih berusaha untuk mengarahkan KTH-KTH (Kelompok Tani Hutan) yang ada di Kecamatan Pangalengan untuk melakukan usaha persuteraan alam.

e. Tenaga pelatihan masih terbatas

Hingga saat ini baru sedikit tenaga ahli yang benar-benar ahli dan khusus membidangi persuteraan alam. Tenaga ahli tersebut bertempat tinggal di daerah Desa Sukamanah, Kecamatan Pangalengan. Beliau

(38)

telah memiliki pengalaman dalam bidang persuteraan alam di daerah Solok (Sumatera Barat) selama lebih dari 10 tahun.

Selama 3 tahun terakhir seiring dengan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dilakukan pengembangan usaha persuteraan alam di daerah Pangalengan, tenaga ahli tersebut mulai melakukan kegiatan usaha persuteraan alam di Desa Sukamanah sekaligus memperkenalkan usaha persuteraan alam kepada masyarakat Pangalengan.

f. Kualitas sumberdaya manusia rendah

Tingkat pendidikan masyarakat Pangalengan yang rendah menyebabkan masyarakat kurang dapat menerima sesuatu yang baru, seperti usaha persuteraan alam. Hingga saat ini, mereka belum berani melakukan usaha persuteraan alam. Selain kendala utama yakni rendahnya permodalan, mereka akan berani melakukan usaha persuteraan alam setelah adanya contoh masyarakat yang berhasil dalam usaha persuteraan alam.

g. Kurangnya penerapan teknologi standar

Dalam kaitannya dengan pemeliharaan ulat sutera, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yakni keadaan ruangan dan alat harus steril, membersihkan tangan dengan larutan desinfektan sebelum memulai pekerjaan dan meminimalkan keluar masuknya orang ke dalam ruangan,. Selain itu makan, minum serta merokok dalam ruangan juga merupakan hal yang tidak boleh dilakukan pada kegiatan pemeliharaan ulat sutera (Guntoro, 1994).

Teknologi yang digunakan dalam usaha persuteraan alam tidak perlu peralatan canggih. Usaha ini dapat dilakukan hanya dengan menggunakan alat-alat yang yang cukup sederhana. Masalah yang sering terjadi adalah petani kurang dapat menjaga kebersihan ruangan untuk ulat. Merokok dan kurangnya sanitasi terhadap ulat sutera merupakan hal-hal yang sering terjadi. Padahal bila penyakit sudah masuk ke ruangsan ulat dapat menjadikan panen ulat sutera sampai gagal total.

(39)

Kelompok petani sutera alam yang telah memperoleh keterampilan menerapkan teknologi serikultur ulat sutera standar nasional dan alat pemintal kokon yang bermanfaat dalam meningkatkan produksi kokon/benang sutera. Selain itu introduksi serikultur ulat sutera standar nasional dan alat pemintal kokon menjadi benang sutera alam mendukung manajemen usaha persuteraan alam di wilayah tersebut (Herminanto dan Mujiono, 2006).

h. Anggapan rendahnya nilai ekonomi sutera alam

Usaha persuteraan alam masih belum populer di daerah Pangalengan. Padahal dengan potensi lingkungan yang terdapat di Pangalengan, usaha tersebut akan dapat menghasilkan keuntungan yang cukup besar.

Selain itu juga pada tingkat mikro menunjukkan usaha tani murbei dan kokon mampu memberikan keuntungan jika dilakukan secara lebih intensif dengan pembinaan yang berkelanjutan (Tim Peneliti IPB, 2006).

3. Peluang

Peubah-peubah yang merupakan unsur peluang dan nilai pengaruhnya dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Peubah-peubah Unsur Peluang dan Nilai Pengaruhnya

No. (1) Peubah (2) Nilai Pengaruh (3) 1. Permintaan akan benang sutera meningkat tiap tahun 0,648 2. Harga jual kain sutera yang tinggi 0,597 3. Adanya dukungan dari pemerintah 0,582 4. Belum ada usaha persuteraan di wilayah Pangalengan 0,551 5. Masih ada lahan kehutanan yang tidak produktif 0,401

6. Adanya pola kemitraan 0,365

Jumlah 3,144

Penjelasan setiap peubah yang bersifat strategis unsur peluang disajikan berikut ini.

(40)

a. Permintaan akan benang sutera meningkat tiap tahun

Kegiatan persuteraan alam mempunyai prospek yang baik dan diperkirakan permintaan sutera akan meningkat antara 2 – 3 % per tahun (ISA) sementara FAO meramalkan lebih besar hingga 5%, sementara peningkatan permintaan di Indonesia sendiri diperkirakan mencapai 12,24% (Kuncoro, 2000 dalam Pemda Kabupaten Tasikmalaya, 2003).

Proyeksi dalam tahun 2000 menunjukkan bahwa permintaan akan produk sutera akan meningkat menjadi 179,24 ton sedangkan produksi hanya akan mencapai 148,98 ton. Sehingga dari angka ini dapat disimpulkan bahwa Indonesia sebenarnya bukan dalam posisi menawarkan produk sutera tetapi dalam posisi untuk dimasuki produk sutera dari luar negeri (Kuncoro,1995 dalam Atmosoedarjo et al, 2000).

Tingkat produksi sutera alam di dalam negeri masih rendah yakni hanya 30% dari kebutuhan nasional, khususnya untuk memenuhi kebutuhan industri sutera rakyat. Oleh karena itu usaha persuteraan alam akan memiliki peluang yang sangat bagus.

b. Harga jual kain sutera yang tinggi

Dalam usaha persuteraan alam, harga tertinggi diperoleh pada saat penjualan produk berupa kain. Harga kokon berkisar antara Rp 20.000-Rp 24.000/kg, kokon tersebut dapat dijadikan benang yang kemudian dapat dijual dengan harga sekitar Rp 450.000/kg dengan asumsi bahwa 8 kg kokon dapat dipintal menjadi 1 kg benang. Selanjutnya apabila benang tersebut ditenun menjadi kain maka akan dihasilkan kain sutera dengan harga Rp 70.000/m dengan asumsi bahwa 1 kg benang dapat ditenun menjadi 12 m kain sutera. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan petani sutera untuk mengembangkan usaha persuteraan alam. Namun usaha persuteraan alam di Pangalengan baru sampai tahap pemintalan benang karena belum tersedianya alat tenun.

c. Adanya dukungan dari pemerintah

Dalam rangka pemberian modal kepada para petani sutera, pemerintah juga menerbitkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 50/Kpts : II/1997, yang ditindak lanjuti oleh Keputusan Direktur Jenderal

(41)

Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan No.03/Kepts/V/1997 (Atmosoedarjo et al, 2000).

Usaha persuteraan alam di daerah ini pada awalnya mendapatkan dukungan dari pemerintah seperti modal usaha dan penyediaan sarana dan prasarana berupa rumah ulat kecil dan rumah ulat besar. Seiring dengan berkembangnya usaha persuteraan alam ini, maka petani mengharapkan bantuan modal yang lebih besar untuk kemajuan usaha persuteran alam. Akan tetapi setelah sekian lama mengajukan permohonan pinjaman lunak untuk upaya pengembangan persuteraan alam, pinjaman tersebut belum juga turun.

d. Belum ada usaha persuteraan di wilayah Pangalengan

Di daerah Pangalengan masih belum banyak masyarakat yang melakukan usaha persuteraan alam. Usaha persuteraan alam yang berada paling dekat dengan Pangalengan adalah di daerah Garut, Tasikmalaya dan Sukabumi. Padahal daerah Pangalengan juga memiliki potensi lingkungan yang cukup baik untuk usaha persuteraan alam.

Selama ini kondisi fisik lingkungan daerah Pangalengan yang berpotensi sangat baik hanya dimanfaatkan untuk melakukan pengembangan usaha pertanian baik sayuran maupun buah-buahan. Karena keterbatasan pengetahuan para petani akan persuteraan alam, maka sebagian besar masyarakat menggunakan lahan hanya untuk bertani sayuran dan buah-buahan. Apalagi saat pemerintah memperbolehkan masyarakat untuk memanfaatkan lahan hutan, maka masyarakat menggunakan lahan hutan untuk melakukan tumpangsari. Padahal di balik itu semua ada pengaruh yang sangat nyata terhadap masyarakat itu sendiri. Pada saat musim hujan, selalu terjadi bencana banjir yang akan merugikan masyarakat.

e. Masih ada lahan kehutanan yang tidak produktif

Pengembangan persuteraan alam merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan daya dukung lahan bagi pemenuhan kebutuhan manusia melalui kegiatan budidaya tanaman murbei yang dikombinasikan dengan pemeliharaan ulat sutera dan penanganan pasca

(42)

panennya (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Brantas, 2000).

Persuteraan alam di Indonesia sudah ada sejak 1960-an, khususnya di Sulawesi Selatan. Kebanyakan lokasi budidaya ulat sutera (serikultur) dilakukan di daerah-daerah kritis, karena tanaman murbei yang merupakan makanan pokok ulat sutera dijadikan sebagai tanaman penghijauan (Widagdo dan Sasangka, 2006).

Usaha persuteraan alam mencakup 2 kegiatan utama, yakni penanaman tanaman murbei dan pemeliharaan ulat sutera. Tanaman murbei dapat ditanam di bawah tegakan hutan karena selain dapat menghasilkan panen daun murbei, tanaman murbei juga berfungsi sebagai pencegah banjir dan erosi tanah, karena tanaman murbei memiliki perakaran yang cukup kuat.

f. Adanya pola kemitraan

Dalam usaha persuteraan alam di Pangalengan terdapat pola kemitraan. Bentuk dari pola kemitraannya adalah bentuk vertikal yaitu antara petani dan pemerintah (BKPH Pangalengan) serta petani dan pabrik tekstil Majalaya. Pabrik tekstil Majalaya berfungsi sebagai wadah penampung dan pemasaran produk kokon dari petani.

Tujuan dari adanya pola kemitraan pada usaha persuteraan alam adalah melindungi para petani sutera yang memiliki modal lemah dalam persaingan usaha. Selain itu juga sebagai perantara dalam usaha mendapatkan modal berupa kredit dengan bunga yang rendah.

4. Ancaman

Tabel 9 menyajikan tentang peubah-peubah unsur ancaman dan nilai pengaruhnya terhadap persuteraan alam di wilayah BKPH Pangalengan.

(43)

Tabel 9. Peubah-peubah Unsur Ancaman dan Nilai Pengaruhnya No.

(1) Peubah (2) Nilai Pengaruh (3)

1. Penghasilan yang lebih menjanjikan dari bidang selain

sutera 0,533

2. Adanya hama dan penyakit tanaman murbei dan ulat

sutera 0,438

3. Kurang stabilnya mutu bibit/telur sutera 0,350

4. Ketergantungan petani sutera kepada pihak lain

masih sangat tinggi 0,333

5. Persaingan dengan komoditas lainnya 0,310

6. Harga kokon masih rendah 0,295

Jumlah 2,259

b. Adanya hama dan penyakit tanaman murbei dan ulat sutera

Salah satu kunci keberhasilan dari pemeliharaan ulat sutera adalah keahlian petani sutera dalam menghindarkan ulat-ulatnya dari serangan hama dan penyakit. Kegiatan tersebut tidak dapat dikatakan mudah, dimana petani harus menghindarkan ulat suteranya dengan jumlah ratusan ribu bahkan jutaan dari serangan hama dan penyakit. Tetapi, walaupun sulit, kegiatan tersebut harus tetap dijalankan agar petani tersebut dapat menghasilkan kokon dengan jumlah yang optimal.

Dalam mengusahakan tanaman murbei banyak menghadapi masalah gangguan hama dan penyakit, serangannya dapat mengakibatkan kerusakan tanaman, dengan demikian akan menyebabkan kekurangan daun murbei untuk pakan ulat kecil maupun ulat besar (Samsijah dan Andadari, 1992b).

Pada pengusahaan ulat sutera di Pangalengan hampir tidak ditemukan hama dan penyakit yang mengganggu produksi daun murbei. Selama 3 tahun penanaman tanaman murbei hanya cacar daun yang ditemukan, itu pun tidak terlalu menurunkan produksi daun murbei. c. Kurang stabilnya mutu bibit/telur sutera

Bibit ulat sutera dan pakan berupa daun murbei merupakan sarana produksi terpenting. Bibit ulat berupa telur dibeli oleh para peternak dari dua pusat pembibitan, yakni Pusat Pembibitan Ulat Sutera (PPUS)

Gambar

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Pendekatan Sistem
Gambar 3 menjelaskan bahwa pada kuadran 1 merupakan situasi  yang sangat menguntungkan
Tabel 3. Matriks SWOT         IFAS  EFAS  Strengths (S)  Weaknesses (W)   Opportunities  (O)  Strategi SO  Ciptakan strategi yang  menggunakan kekuatan   untuk memanfaatkan  peluang  Strategi WO  Ciptakan strategi   yang meminimalkan kelemahan untuk  meman
Gambar 4. Diagram Teknik ISM (Eriyatno, 1999) PROGRAM
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu dievaluasi bahan pakan hasil samping agro industri berupa ampas tahu, bungkil kopra, bungkil kelapa sawit, bungkil

Jadi yang dimaksud penulis dengan judul problematika perkawinan beda kultur adalah problem-problem yang akan muncul dan dihadapi pasangan suami istri yang berbeda

Apakah persepsi konsumen tentang atribut produk (merek, ciri produk, jaminan, kualitas) berpengaruh secara bersama - sama terhadap keputusan pembelian motor

Lakukan pemasangan dengan langkah kebalikan dari saat membuka, spi harus terpasang tepat pada alurnya agar field coil tidak bergerak dari dudukannya. Memasang pulley rotor..

Saya lebih mudah berteman dengan orang dewasa daripada dengan orang – orang yang seumur

Artinya pada suatu tingkat upah tertentu, jumlah orang yang diminta untuk. bekerja dalam suatu lapangan pekerjaan tertentu lebih

Berdasarkan pengamatan suspensi siprofloksasin terhadap stabilitas fisik didapatkan hasil bahwa formula II merupakan suspensi yang memiliki stabilitas yang paling

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi bakteri asam laktat isolat BAL 18A (Lactococcus lactis ssp lactis 1)yang diisolasi dari kolon sapi bali sebagai