• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Teh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Teh"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Teh

Teh merupakan salah satu minuman terpopuler di dunia karena selain nikmat juga bermanfaat untuk kesehatan. Kombinasi antara kenikmatan dan kesehatan menjadikan teh memiliki daya saing kuat dibandingkan minuman kesegaran lainnya (Suprihatini 2007).

Perbedaan kelompok dan penamaan teh dilakukan berdasarkan cara pengolahan sebelum dan sesudah dipetik dari pohon, yaitu 1) teh hitam (black tea), yaitu teh yang dalam pengolahannya melalui proses fermentasi penuh. Sering juga dikenal dengan nama teh merah; 2) teh oolong, teh ini dalam pengolahannya melalui setengah proses fermentasi; 3) teh hijau, teh ini dalam pengolahannya tidak melalui proses fermentasi, setelah daun teh dipetik langsung diolah; 4) teh putih, teh ini dalam pengolahannya tidak melalui proses oksidasi. Saat di pohon, daun teh juga terlindung dari sinar matahari agar tidak menghasilkan klorofil atau zat hijau daun, karena diproduksi lebih sedikit, sehingga harganya lebih mahal (Anonim 2008a).

Diantara keempat jenis teh di atas, ada dua bentuk teh yang paling banyak dikonsumsi, yakni teh hitam dan teh hijau. Teh hitam paling banyak dikonsumsi yaitu 69% dari total konsumsi teh dunia. Teh hijau mengandung epikatekin sebagai komponen polifenol utama yang memiliki aroma khas teh hijau, sedangkan pada teh hitam selain mengandung katekin, juga mengandung theaflavin (TF) dan thearubigin (TR) sebagai hasil dari proses oksidasi enzimatik yang juga merupakan suatu antioksidan kuat yang memiliki manfaat khusus bagi kesehatan (Suprihatini 2007; Silalahi 2006).

Katekin yang mendominasi ±20% berat kering teh merupakan substansi utama yang menyebabkan teh memenuhi persyaratan sebagai minuman

fungsional. Senyawa ini dikandung lebih banyak pada pucuk tanaman teh Camelia sinensis varietas assamica dibandingkan varietas sinensis. Teh hitam

lebih sedikit mengandung katekin daripada teh hijau karena dalam proses pengolahannya sengaja mengoksidasi katekin untuk memperbaiki warna, rasa, dan aromanya. Karena kondisi tanah dan iklim lingkungannya, hampir 100% tanaman teh di Indonesia adalah C. sinensis varietas assamica . Pucuk teh yang dihasilkan

(2)

tanaman tersebut 80% diolah menjadi teh hitam, sedangkan sisanya diolah menjadi teh hijau (Bambang 2006).

Teh Hitam

Berdasarkan sistem pengolahannya, teh hitam di Indonesia dapat dibagi menjadi dua, yaitu 1) sistem ortodoks terdiri atas ortodoks murni dan ortodoks rotorvane; 2) sistem baru, seperti crushing, tearing and curling (CTC). Pengolahan teh CTC di Indonesia mulai dicoba di Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung sejak awal 1984. Perbedaan teh hitam ortodoks dan CTC dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbedaan Teh Hitam Ortodoks dan CTC

Uraian Ortodoks CTC Bentuk Cita rasa Penyajian Kebutuhan penyeduhan Agak pipih Kuat Lambat 400-500 cangkir/kg teh Butiran Kurang Cepat 800-1000 cangkir/kg teh Sumber : PPTK (2008)

Mesin giling yang digunakan dalam pembuatan teh merupakan gabungan sistem giling CTC Kenya dan India Utara (Doars). Pada proses oksidasi enzimatis dipakai continuous fermenting machine, sedangkan pengeringan teh pada umumnya menggunakan fluid bed dryer 6 section. Pengolahan teh hitam secara CTC meliputi pelayuan, pengayakan pucuk layu, penggilingan persiapan, penggilingan CTC, oksidasi, pengeringan dan sortasi kering (Gambar 1).

Jumlah substansi theaflavin dan thearubigin yang dihasilkan selama proses oksidasi akan menentukan sifat air seduhan yang sering digambarkan oleh tea taster sebagai colour, strength, quality dan briskness. Komposisi terbaik antara theaflavin dengan thearubigin teh hasil olahan orthodoks adalah 1/10 sampai 1/12. Teh akan kehilangan briskness dan strength pada komposisi ratio theaflavin dengan thearubigin lebih besar atau sama dengan 1/20. Selama proses ini berlangsung terjadi perubahan warna dari hijau ke coklat dan kemudian menjadi hitam. Perubahan warna ini dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan tingkat oksidasi polifenol yang optimun (Tadjudin 2007).

(3)

Gambar 1. Diagram Alir Proses Pengolahan Teh Hitam CTC(PPTK 2008) Terdapat tiga jenis theaflavin yang diidentifikasi yaitu theaflavin 3-o-galat, theaflavin 3'-o-galat, theaflavin 3,3'di-o-galat. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa katekin dan theaflavin memiliki aktivitas menangkal radikal bebas secara in vitro dan in vivo. Kehadiran theaflavin dalam teh hitam memiliki potensi antioksidan yang sedikitnya sama dengan katekin yang ada dalam teh hijau dan konversi dari katekin menjadi theaflavin selama fermentasi dalam pembuatan teh hitam, tidak merubah secara signifikan aktivitas radikal bebasnya (Leung et al. 2001).

BAHAN BAKU

PELAYUAN

PENGAYAKAN PUCUK LAYU

PENGGILINGAN PERSIAPAN PENGGILINGAN CTC OKSIDASI PENGERINGAN SORTASI KERING PENGEMASAN

(4)

Gambar 2. Struktur kimia Theaflavin dan Thearubigin Konsumsi teh hitam

resiko penyakit jantung koroner dan meningkatkan status antioksidan dengan konsumsi satu sampai

hari akan mengurangi beberapa resi

komsumsi kafein (Gardner 2007).

Diantara sekian banyak manfaat teh bagi kesehatan, yang paling banyak dipublikasikan adalah manfaatnya untuk mencegah dan mengendalikan kanker, tekanan darah tinggi dan kesehatan jantung.

hitam yang sangat penting untuk mengendalikan diabetes belum banyak diketahui (Suprihatini 2007).

menunjukkan bahwa

melitus. Zat aktif yang terkandung dalam teh hitam berupa

thearubigin dapat meniru kerja insulin.

Teh Hijau

Kualitas teh hijau ditentukan oleh kualitas kandungan katekin. Pada proses pengolahan teh hijau yang paling menentukan kandungan katekin adalah proses pelayuan untuk mengaktivasi enzim polifenol oksidase, sehingga senyawa katekin tidak teroksidasi. Proses

80-100 0C selama 5 menit) memberikan kandungan katekin yang lebih tinggi pada teh hijau yang dihasilkan (Gambar 3).

Gambar 2. Struktur kimia Theaflavin dan Thearubigin

(Mukhtar & Ahmad 2008)

Konsumsi teh hitam 3 gelas per hari dihubungkan dengan pengurangan resiko penyakit jantung koroner dan meningkatkan status antioksidan dengan konsumsi satu sampai enam gelas per hari. Konsumsi maksimal delapan gelas per hari akan mengurangi beberapa resiko yang berhubungan dengan kelebihan

si kafein (Gardner 2007).

Diantara sekian banyak manfaat teh bagi kesehatan, yang paling banyak dipublikasikan adalah manfaatnya untuk mencegah dan mengendalikan kanker, tekanan darah tinggi dan kesehatan jantung. Manfaat teh lainnya khususnya teh hitam yang sangat penting untuk mengendalikan diabetes belum banyak diketahui (Suprihatini 2007). Studi yang dilakukan oleh Cameron

menunjukkan bahwa teh hitam dapat digunakan untuk mengendalikan diabetes Zat aktif yang terkandung dalam teh hitam berupa

dapat meniru kerja insulin.

Kualitas teh hijau ditentukan oleh kualitas kandungan katekin. Pada proses pengolahan teh hijau yang paling menentukan kandungan katekin adalah proses pelayuan untuk mengaktivasi enzim polifenol oksidase, sehingga senyawa katekin tidak teroksidasi. Proses pelayuan dengan cara steaming (pemberian uap panas C selama 5 menit) memberikan kandungan katekin yang lebih tinggi pada teh hijau yang dihasilkan (Gambar 3).

Gambar 2. Struktur kimia Theaflavin dan Thearubigin

3 gelas per hari dihubungkan dengan pengurangan resiko penyakit jantung koroner dan meningkatkan status antioksidan dengan gelas per hari. Konsumsi maksimal delapan gelas per ko yang berhubungan dengan kelebihan Diantara sekian banyak manfaat teh bagi kesehatan, yang paling banyak dipublikasikan adalah manfaatnya untuk mencegah dan mengendalikan kanker, Manfaat teh lainnya khususnya teh hitam yang sangat penting untuk mengendalikan diabetes belum banyak diketahui

Cameron et al. (2008)

mengendalikan diabetes

theaflavin dan

Kualitas teh hijau ditentukan oleh kualitas kandungan katekin. Pada proses pengolahan teh hijau yang paling menentukan kandungan katekin adalah proses pelayuan untuk mengaktivasi enzim polifenol oksidase, sehingga senyawa katekin (pemberian uap panas C selama 5 menit) memberikan kandungan katekin yang lebih tinggi pada

(5)

Gambar 3 Proses pengolahan teh hijau berkatekin tinggi (Damayanthi et al. 2008; PPTK 2008)

Ekstrak daun teh hijau (green tea extract/GTE) mengandung sejumlah kompenen termasuk katekin, saponin dan flavanoid. Katekin dapat mengurangi tekanan darah, oksidasi selular dan mutasi, kadar glukosa darah dan absorpsi kolesterol. Saponin dan flavanoid juga memiliki manfaat kesehatan. Oleh karena itu, konsumsi GTE akan mencegah atau menunda onset dari penyakit seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes dan kanker (Shirai & Suzuki 2004). Menurut Polychronopoulus et al. (2008) konsumsi teh dihubungkan dengan pengurangan tingkat glukosa darah dari glukosa darah setelah puasa hanya pada pada orang tua (usia lanjut) yang tidak obes.

Efek kesehatan dari teh hijau terutama dikaitkan dengan kandungan polifenol. Teh hijau merupakan sumber yang kaya akan polifenol terutama flavanol dan flavonol, yang setara 30% dari berat daun kering. Katekin merupakan bentuk utama dari flavanol yang terdiri dari epigalokatekin galat (EGCG), epigalokatekin (EGC), epikatekin galat (ECG) dan epikatekin (EC) (Gambar 4). Beberapa penelitian yang terbaru menyatakan bahwa efek dari teh hijau sebagian besar dikaitkan dengan katekin, yaitu EGCG. Penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa penggunaan EGCG mempunyai potensi efek antiobesitas pada tikus percobaan yang obes karena pola makan, yang merupakan dampak langsung dari EGCG pada jaringan adipose (Wolfram et al. 2006).

Studi yang dilakukan oleh Waltner-Lat et al. (2002) menunjukkan bukti in vitro bahwa EGCG menurunkan produksi glukosa dari H4IIE sel hepatoma tikus. Pada penelitian ini diperlihatkan bahwa EGCG menyerupai insulin yaitu meningkatkan fosfolirasi tirosin dari reseptor insulin dan substrat reseptor insulin dan mengurangi ekspresi gen dari enzim glukonegenik PEPCK (phosphoenolpyruvate carboxykinase). Jika efek ini relevan untuk pengamatan in vivo, maka EGCG memiliki potensi untuk digunakan sebagai antidiabetes. Potenza et al. (2007) EGCG, polifenol teh hijau dapat meningkatkan fungsi

(6)

endotelial dan sensitivitas insulin, mengurangi tekanan darah. Penelitian yang dilakukan Collins et al. (2007) menyatakan bahwa EGCG menekan glukoneogenesis hepatik melalui 5’-AMP-activated Protein Kinase (AMPK) dengan memblokade aktivitas AMPK.

Gambar 4 Stuktur Kimia Polifenol Teh Hijau (Kobayashi et al. 2000) Dosis Teh

Bahan alami yang telah banyak diteliti untuk mengendalikan DM adalah daun teh. Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan teh dalam bentuk seduhan, ekstrak maupun zat aktif misalnya epigalokatekin galat (EGCG).

Pemberian polifenol teh hijau (500 mg/kg berat badan) pada tikus normal meningkatkan toleransi glukosa secara signifikan pada menit ke 60. polifenol teh hijau juga ditemukan mengurangi level serum glukosa pada tikus diabetes melitus yang diinduksi oleh aloksan dengan signifikan pada level dosis 100 mg/kg berat badan. Selanjutnya pemberian setiap hari selama 15 hari dari ekstrak 50, 100 mg/kg berat badan menghasilkan 29-44% pengurangan dari peningkatan level serum glukosa yang disebabkan oleh pemberian aloksan (Sabu et al. 2002).

Studi yang dilakukan oleh Shokrzadeh et al. (2006) menunjukkan bahwa dengan pemberian 450 mg/kg ekstrak daun teh hijau encer menunjukkan efek

(7)

yang kuat dalam menurunkan kadar glukosa darah setelah pemberian secara oral pada tikus. Pemberian EGCG 200 mg/kg BB/hari dapat meningkatkan sensitivitas insulin (Potenza et al. 2007).

Damayanthi et al. (2008) dalam studinya menggunakan dosis seduhan teh hijau dan teh daun murbei dengan berat masing – masing 20 g serta campuran teh hijau + teh daun murbei (1:1), diseduh dengan air panas 70-80 0C selama 15 menit. Hasil dari studi tersebut menunjukkan bahwa teh hijau, teh daun murbei dan campurannya dapat mengendalikan kadar glukosa darah tikus DM secara in vivo. Studi yang dilakukan Widowati (2007) menunjukkan bahwa suhu ekstraksi berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan teh, sehingga kondisi ekstraksi yang dipilih adalah suhu 85 0C, perbandingan teh dengan air 10:100 b/v dan waktu ekstraksi 8 menit. Hal ini karena pada kondisi ekstrasi tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang sama dengan trolox 9,42 mM.

Murbei

Murbei (Morus alba L.) termasuk dalam famili moraceae, dan berasal dari Cina. Tanaman murbei tumbuh baik pada ketinggian lebih dari 100 m dpl. dan memerlukan cukup sinar matahari. Tumbuhan yang sudah dibudidayakan ini menyukai daerah-daerah yang cukup basa seperti lereng gunung dan tanah yang berdrainase baik. Tanaman ini kadang ditemukan tumbuh liar. Murbei dikenal dengan nama yang berbeda-beda, seperti besaran (Indonesia); murbai, besaran (Jawa); kerta, kitau (Sumatera); sangye (China); may mon, dau tam (Vietnam); morus leaf, morus bark, morus fruit, mulberry leaf, mulberry bark, mulberry twigs, white mulberry, mulberry (Inggris) (Dalimartha 2000).

Tanaman murbei dengan nama latin Morus alba L dikenal sebagai pakan ulat sutera dalam aktivitas persuteraan alam. Daun murbei juga merupakan ramuan kuno obat tradisional Cina untuk mengobati berbagai penyakit, salah satunya diabetes melitus. Menurut penelitian Kim et al. (2006) pemberian ekstrak daun murbei pada tikus DM, secara nyata dapat menurunkan kadar glukosa darah. Penurunan kadar glukosa darah pada tikus DM yang diberi ekstrak daun murbei lebih baik daripada glibenclamide (obat anti diabetes).

(8)

Studi yang dilakukan oleh Zhong et al. (2006) terhadap campuran ekstrak teh hijau (0.1 g), teh hitam (0.1 g), dan teh daun murbei (1.0 g), menemukan komponen 1-deoxynojirimycin (DNJ) 5 mg, Epikatekin galat 100 mg, epigalokatekin galat 300 mg, dan theaflavin 100 mg. Senyawa DNJ merupakan zat aktif yang dari daun murbei. Epikatekin galat dan epigalokatekin galat merupakan polifenol yang terdapat dalam teh hijau, sedangkan theaflavin merupakan kandungan yang berasal dari teh hitam.

Penemuan tentang senyawa (DNJ) yang berhasil diisolasi dari tanaman murbei dan ditemukan tepatnya terkandung di dalam getahnya. Senyawa acarbose yang mirip dengan glukosa dapat menghambat aktivitas - glukosidase dengan cara mengintervensi proses hidrolisis karbohidrat sehingga menghambat penyerapan glukosa dan monosakarida – monosakarida lainnya. Senyawa acarbose dan DNJ, keduanya mempunyai mekanisme kerja yang sama dalam menurunkan kadar glukosa darah penderita diabetes yaitu menghambat aktivitas enzim - glukosidase yang berfungsi memecah senyawa polisakarida menjadi monomer – monomer glukosa (Sofian 2005).

Diabetes Mellitus

Kelainan yang disebabkan oleh defisiensi insulin disebut diabetes melitus (Ganong 2002). Menurut Dallimunthe (2004) penyakit DM telah diketahui sejak ribuan tahun sebelum masehi. Ebers Papyurus menuliskan bahwa di Mesir sekitar tahun 1550 Sebelum Masehi ditemukan suatu penyakit yang ditandai dengan banyak kencing. Sebagian besar kasus DM disebabkan oleh rusaknya sel pankreas sehingga produksi insulin menjadi terhambat atau tidak ada sama sekali. Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya umur, maka intoleransi terhadap glukosa juga meningkat.

Intoleransi glukosa pada usia lanjut berkaitan dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa otot, penyakit penyerta, penggunaan obat – obatan, sehingga terjadi penurunan sekresi insulin dan resistensi insulin (Misnadiarly 2006). DM merupakan penyakit yang diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan. Para ahli kesehatan juga menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau kelamin. Faktor herediter sering kali pula

(9)

penyebab timbulnya DM melalui peningkatan kerentanan sel – sel terhadap penghancuran oleh virus atau mempermudah perkembangan antibodi autoimun melawan sel – sel , sehingga mengarah pada penghancuran sel – sel .

Gejala klinis DM meliputi gejala – gejala pada stadium kompensasi dan dekompensasi pankreas, serta gejala – gejala kronik lainnya. Gejala – gejala pada stadium kompensasi, misalnya polifagia, poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan. Adanya gejala klinis hiperglikemia dan glukosuria akan menyebabkan tekanan osmotik di dalam tubuli ginjal naik dan menghambat rearbsorsi air sehingga menyebabkan poliuria dan akibat adanya poliuria akan terus menerus menyebabkan dehidrasi tingkat jaringan. Penderita DM tidak dapat menggunakan glukosa dalam darah dan akan menggunakan lemak tubuhnya untuk mengganti energi atau makanan bagi sel, sehingga terjadi ketonemia dan ketonuria dan tubuh terlihat kurus. Adanya badan – badan keton di dalam darah akan menimbulkan terjadinya asidosis, sehingga frekuensi nafas meningkat dan penderita mengalami koma (Ressang 1984).

Cara umum yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit DM didasarkan pada berbagai tes kimiawi terhadap urin dan darah (Guyton & John 1997). Pemeriksaan glukosa urin melalui tes sederhana atau kuantitatif laboratorium, dapat digunakan untuk menentukan jumlah glukosa yang hilang dalam urin. American Diabetes Association (ADA) menggunakan tiga standar untuk menentukan diagnose terjadinya DM, yaitu 1) konsentrasi glukosa plasma puasa lebih dari atau sama dengan 200 mg/dl atau 11.1 mmol/l; 2) glukosa plasma puasa lebih dari atau sama dengan 126 mg/dl atau 7 mmol/l, puasa dilakukan selama 8 jam; 3) glukosa darah lebih dari atau sama dengan 200 mg/dl atau 11.1 mmol/l (Rimbawan & Siagian 2004; Rubin 2004). Sebelum terjadi DM, biasanya diawali dengan prediabetes. Standar yang digunakan untuk mengetahui adanya prediabetes adalah bila gula darah sebelum makan mencapai 100 – 126 mg/dl atau 5.5 – 7 mmol/l dan glukosa darah setelah satu jam makan mencapai 140 – 199 mg/dl atau 7.8 – 11.1 mmol/l (Rubin 2004).

(10)

Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut Misnadiarly (2006) DM diklasifikasikan ke dalam dua tipe yaitu DM tipe 1, DM yang tergantung insulin atau Diabetes Mellitus Dependen-Insulin (IDDM) dan tipe 2 DM tidak tergantung insulin atau Diabetes Mellitus Non-Dependent Insulin (NIDDM).

Diabetes Tipe 1

Diabetes tipe 1 adalah kondisi yang ditandai oleh tingginya kadar glukosa darah yang disebabkan oleh ketiadaan total hormon insulin. Diabetes tipe 1 terjadi ketika sistem imun tubuh menyerang sel yang menghasilkan insulin pada pankreas dan menghancurkannya (Jacquie et al. 2004). Menurut PERKENI (2002) diabetes tipe 1 memiliki karakteristik mudah terjadi ketoasidosis, pengobatannya harus dengan insulin, onset akut, penderita biasanya kurus, terjadi pada umur muda, di dapatkan antibodi sel islet, 10% ada riwayat diabetes pada keluarga, 30-50% terjadi pada kembar identik.

Individu yang mengalami DM tipe 1 mempunyai ciri – ciri poliuria, polidipsia dan poliphagia. Berdasarkan pengujian glukosa darah, pasien yang mengalami tipe ini jika diberi 75 gram glukosa secara oral dan sebelumnya telah melakukan puasa selama satu malam, konsentrasi gula darahnya akan meningkat lebih dari 200 md/dl, sedangkan pada individu normal dengan perlakuan yang sama akan meningkat glukosa darah berkisar 140 mg/dl. Tingginya kandungan darah dalam tubuh, mengakibatkan laju filtrasi glomerulus terhadap glukosa menjadi berlebihan dan urin akan mengandung banyak glukosa (Champe & Harvey 1994).

Diabetes Tipe 2

Diabetes tipe 2 tidak tergantung insulin atau Diabetes Mellitus Non-Dependent Insulin (NIDDM), sebab tidak membutuhkan penambahan hormon insulin untuk mempertahankan keseimbangan glukosa darah (Carolyn 2001). Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemi akibat kelainan sekresi insulin oleh sel pankreas, gangguan kerja insulin/resistensi insulin, atau keduanya.

(11)

Kasus diabetes terbanyak adalah DMT2 yang umumnya mempunyai latar belakang resistensi insulin. Pada awalnya, resistensi insulin belum menyebabkan diabetes klinis. Sel pankreas masih dapat mengkompensasi, sehingga terjadi hiperinsulinemi, kadar glukosa darah masih normal atau sedikit meningkat. Jika terjadi kelelahan sel beta pankreas, maka dapat mengakibatkan DM klinis, yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang meningkat.

Pada DMT2, sekresi insulin di fase 1 tidak dapat menurunkan glukosa darah, sehingga merangsang fase 2 untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi tidak mampu meningkatkan sekresi insulin seperti pada orang normal. Gangguan sekresi sel menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan. Kadar insulin dalam darah turun menyebabkan produksi glikogen oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa darah puasa meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk menghasilkan insulin akan menurun. Mekanisme DMT2 dimulai dengan gangguan fase 1 yang menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel (Merentek 2006).

Menurut PERKENI (2002) karakteristik dari DMT2 , yaitu sukar terjadi ketoasidosis, pengobatannya tidak harus menggunakan insulin, onsetnya lambat, penderitanya gemuk atau tidak gemuk, biasanya terjadi pada umur tua, tidak ada antibody sel islet, 30% ada riwayat diabetes pada keluarga, 100% terjadi pada kembar identik.

Insulin

Insulin adalah hormon protein berantai ganda dan dibentuk dari pro insulin di sel beta pulau kecil pankreatik Langerhans yang berfungsi mengubah glukosa menjadi glikogen (Silalahi 2006). Insulin disintesis oleh sel – sel dengan cara yang mirip dengan sintesis protein, yang biasanya dipakai oleh sel, yaitu diawali dengan translasi RNA insulin oleh ribosom yang melekat pada retikulum endoplasma untuk membentuk preprohormon insulin. Preprohormon awal ini memiliki berat molekul kira-kira 11.500, namun selanjutnya akan melekat erat pada retikulum endoplasma untuk membentuk proinsulin dengan berat molekul kira-kira 9000. Lebih lanjut sebagian besar proinsulin melekat erat pada badan

(12)

golgi untuk membentuk insulin sebelum terbungkus dalam granula sekretorik. Kurang lebih seperenam dari hasil akhirnya tetap dalam bentuk proinsulin. Proinsulin ini tidak memiliki aktivitas insulin (Guyton & John 1997).

Sekresi insulin oleh sel beta tergantung 3 faktor utama, yaitu kadar glukosa darah, ATP-sensitive K channels dan Voltage-sensitive Calcium Channels sel pankreas. Mekanisme kerja ketiga faktor ini sebagai berikut : pada keadaan puasa saat kadar glukosa darah turun, ATP sensitive K channels di membran sel akan terbuka sehingga ion kalium akan meninggalkan sel (K-efflux), dengan demikian mempertahankan potensial membran dalam keadaan hiperpolar, sehingga Ca-channels tertutup, akibatnya kalsium tidak dapat masuk ke dalam sel , sehingga perangsangan sel untuk mensekresi insulin menurun. Sebaliknya pada keadaan setelah makan, kadar glukosa darah yang meningkat akan ditangkap oleh sel melalui glucose transporter 2 (GLUT2) dan dibawa ke dalam sel. Di dalam sel, glukosa akan mengalami fosforilase menjadi glukosa-6 fosfat (G6P) dengan bantuan enzim penting, yaitu glukokinase. Glukosa 6 fosfat kemudian akan mengalami glikolisis dan akhirnya akan menjadi asam piruvat. Dalam proses glikolisis ini akan dihasilkan 6 – 8 ATP. Penambahan ATP akan meningkatkan rasio ATP/ADP dan ini akan menutup terowongan kalium. Dengan demikian kalium akan tertumpuk dalam sel dan terjadilah depolarisasi membran sel, sehingga membuka terowongan kalium dan kalsium akan masuk ke dalam sel. Dengan meningkatnya kalsium intrasel, akan terjadi translokasi granul insulin ke membran dan insulin akan dilepaskan ke dalam darah (Merentek 2006).

Aloksan

Aloksan (2,4,5,6-tetraoxypyrimidine; 5,6-dioxyuracyi) pertama kali ditemukan oleh Brugnatelli pada tahun 1818. Wohler dan Liebeg menggunakan nama “aloksan” dan menggambarkan sintesisnya dengan oksidasi asam urat. Efek diabetogenik dari zat ini dilaporkan oleh Dunn, Sheehan dan Mclethie (1943) dalam Szkudelski T (2001) yang diberikan pada kelinci dan menunjukkan adanya nekrosa spesifik pada pulau langerhans.

Aloksan berbentuk kristal, berwarna putih dan sangat mudah larut dalam air. Dalam bentuk larutan, apabila terjadi kontak dengan kulit, aloksan akan

(13)

berubah menjadi warna merah. Aloksan digunakan untuk merusak sel pankreas pada hewan coba, perubahan pada sel – sel yang ditimbulkan oleh zat ini menyerupai perubahan sel – sel pada diabetes, yaitu pengecilan pulau – pulau pankreas, pengurangan jumlah sel – sel dan degranulasi (Ressang 1984).

Menurut Turner (1976) hewan yang menderita DM secara eksperimental oleh aloksan akan menderita defisiensi insulin karena pada dosis tertentu aloksan dapat merusak sel – sel pulau langerhans pankreas. Pemberian bahan yang berkhasiat akan meningkatkan sekresi insulin oleh sel – sel yang sehat pada individu yang menderita DM akibat induksi aloksan sehingga terjadi perbaikan metabolisme.

Dosis aloksan optimum yang dapat menghasilkan kondisi hiperglikemia permanen tergantung dari jenis kelamin, umur dan kondisi hewan percobaan. Andayani (2003) melaporkan bahwa tikus putih berumur tiga bulan dengan berat badan 200 – 270 g yang diinduksi dengan alokasan 75 mg/kg berat badan hanya menghasilkan tikus dengan kadar glukosa sesaat 150 – 200 mg/dl sebanyak 25%, tetapi dalam waktu satu minggu kadar glukosa akan kembali normal. Selanjutnya digunakan dosis 125 mg/kg berat badan untuk menghasilkan tikus DM sedang, ternyata dapat menghasilkan 80% tikus DM sedang dengan kadar glukosa darah 200 – 450 mg/dl.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ama (2009) digunakan aloksan dengan dosis Andayani (2003) dan dosis tersebut setelah tiga hari tikus yang mengalami hiperglikemia permanen (kadar glukosa darah sesaat lebih besar dari 200 mg/dl) lebih dari 90% dengan peningkatan kadar glukosa darah sebesar 386,7%. Rata – rata kadar glukosa darah setelah induksi masing – masing kelompok berkisar antara 200 mg/dl sampai 450 mg/dl. Aloksan lazim digunakan karena zat kimia ini cepat menimbulkan hiperglikemik yang pemanen dalam waktu 2 – 3 hari (Suharmiati 2003).

Hemoglobin Glikosilat

Beberapa tahun terahir ini mulai banyak diperiksa kadar hemoglobin glikosilat (glycosylated hemoglobin) sebagai suatu tolok ukur baru yang memberikan pengertian lebih baik tentang status kontrol metabolisme glukosa dan

(14)

kemungkinan terjadinya komplikasi pada penderita DM (Suryaatmadja 1983). Glikosilasi dari hemoglobin ditemukan pada manusia dan hewan yang DM. Pada tahun 1976 Koenig telah melaporkan kadar hemoglobin glikosilat berkorelasi dengan glukosa serum puasa dan tes toleransi glukosa. Secara umum, diakui bahwa usia berkaitan dengan penurunan progresif toleransi glukosa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hsu & Hsu (1986), setelah diinduksi aloksan, kinetika hemoglobin glikosilat meningkat linear dalam enam minggu. Hasil akhir menunjukkan bahwa usia merupakan faktor penting yang mempengaruhi kinetika dari hemoglobin glikosilat pada tikus diabetes.

Hemoglobin glikosilat (HbA1c) merupakan tanda dari evaluasi jangka panjang kontrol glikemik pada pasien diabetes dan memprediksi resiko untuk perkembangan dan atau progresi dari komplikasi DM. HbA1c merupakan produk dari reaksi non enzimatis antara glukosa dan asam amino bebas dari hemoglobin, reaksi ini disebut glikosilasi (Calisti & Tognetti 2005).

HbA1c terbentuk dari ikatan glukosa dengan gugus amida pada asam amino valin di ujung rantai dari globulin Hb dewasa normal. Pengikatan ini terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama, yaitu terjadi ikatan kovalen aldimin berupa basa schiff yang bersifat labil. Tahap kedua terjadi penyusunan kembali secara amadori menjadi bentuk ketamin yang stabil (Gambar 5). Bentuk labil sudah naik dalam jangka waktu 2 jam setelah pemberian 100 gram glukosa per oral. Apabila kadar glukosa kembali merendah maka ikatan labil ini akan terurai kembali (reversibel). Bentuk stabil akan meningkat bila kadar glukosa melampaui 160 – 180 mg/dl selama lebih dari 12 jam. Berdasarkan biomatematika diperhitungkan bahwa kira – kira 28% dari HbA1c yang stabil mencerminkan keadaan kadar glukosa selama 2 minggu terakhir, kira – kira 50 dan 86% mencerminkan keadaan 1 dan 2 bulan sebelumnya (Suryaatmadja 1983).

(15)

Gambar 5 Pembentukan HbA1c (Suryaatmadja 1983)

Kontrol DM secara keseluruhan dapat dinilai dari penetapan kadar hemoglobin glikosilat (HbA1c) yang dalam keadaan normal jumlahnya tidak lebih dari 7% dari Hb total. Pada penderita DM kurang terkontrol jumlahnya akan bertambah 2 – 3 kali (Kusnandar 1983).

Gambar

Gambar 1. Diagram Alir Proses Pengolahan Teh Hitam CTC(PPTK 2008)  Terdapat tiga jenis theaflavin yang diidentifikasi yaitu theaflavin 3-o-galat,  theaflavin 3'-o-galat, theaflavin 3,3'di-o-galat
Gambar 2. Struktur kimia Theaflavin dan Thearubigin
Gambar 4 Stuktur Kimia Polifenol Teh Hijau (Kobayashi et al. 2000)  Dosis Teh
Gambar 5 Pembentukan HbA1c (Suryaatmadja 1983)

Referensi

Dokumen terkait

Pada konsentrasi 10 mg/mL, ekstrak teh hijau memiliki potensi lebih tinggi (53%) dibandingkan dengan ekstrak teh hitam (13%) menghambat biofilm S.mutans.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh durasi waktu dan suhu penyeduhan teh terhadap aktivitas antioksidan teh hijau dan teh hitam dalam bentuk curah dan

Berdasarkan analisis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan cara pengolahan teh menjadi teh hitam dan teh hijau berpengaruh terhadap kadar taninnya, terlihat

ini bertujuan untuk melakukan pembuatan prodak pasta gigi katekin teh hijau dengan formula yang sesuai dengan hasil uji dan melakukan pengujian daya hambat pasta gigi katekin teh

Penelitian kami sebelumnya tahun 2015 terhadap pasta gigi katekin teh hijau membuktikan bahwa pasta gigi katekin teh hijau dapat menghambat aktifitas bakteri

Penelitian kami sebelumnya tahun 2015 terhadap pasta gigi katekin teh hijau membuktikan bahwa pasta gigi katekin teh hijau dapat menghambat aktifitas bakteri

Sebanyak 100 g serbuk teh (teh hitam, teh oolong, teh hijau) ditambahkan 1 liter air mendidih, didiamkan selama 15 menit kemudian dibiarkan agar menjadi dingin. Cairan kemudian

• Peningkatan aktivitas metabolisme mikroba dalam yogurt teh hijau mendorong degradasi komposisi senyawa fenolik yang memiliki efek kecil pada aktivitas antioksidan yogurt teh hijau