• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH AKSEN JAWA DAN BANJAR DALAM PELAFALAN BEBERAPA KATA BERBAHASA INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH AKSEN JAWA DAN BANJAR DALAM PELAFALAN BEBERAPA KATA BERBAHASA INDONESIA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN: 2089-3884

PENGARUH AKSEN JAWA DAN BANJAR DALAM

PELAFALAN BEBERAPA KATA BERBAHASA

INDONESIA

Azian Septianhardini A. R e-mail: syadzalia08@gmail.com ABSTRACT

Unlike English and Arabic language, Indonesian language has still no standardized phonological system in pronouncing words. It is closely related to the diversity of the local languages owned by Indonesia. The existence of both local languages and accents throughout Indonesia has finally led to the diversity of pronunciation of Indonesian language itself. Therefore, this paper is aimed to explain how these differences influence Indonesian language and how far those differences affect the language system of Indonesian language itself. The theory applied in this paper is theory of phonology of the Prague School. The method applied in this paper is the allophonic analysis method since this paper discusses how those sounds alter and also it uses sociolinguistic approach. The analysis shows that the accents of Java and Banjar are very influential in those different pronunciations. In its progress, accent does not essentially influence the lexical meaning of words. Nevertheless, this kind of research that observes the pronunciations affected by accent is very important to do in order to standardize the phonological system of Indonesian Language so that it can standardize the pronunciations and avoid ambiguity due to those different pronunciations.

ABSTRAK

Berbeda dengan bahasa Inggris dan Arab, bahasa Indonesia belum memiliki standarisasi lafal atau bunyi dalam pengucapan. Hal ini berkaitan erat dengan keragaman bahasa daerah yang dimiliki oleh Indonesia. Adanya variasi bahasa daerah serta aksen yang terdapat di seluruh penjuru Indonesia menyebabkan pelafalan beberapa kosa-kata dalam bahasa Indonesia menjadi beragam pula. Oleh karena itu, paper ini akan membahas bagaimana aksen-aksen itu mempengaruhi pelafalan bahasa Indonesia serta sejauh mana pengaruh tersebut mempengaruhi sistem kebahasaan bahasa Indonesia. Teori yang melandasi penelitian ini adalah teori fonologi aliran Praha. Metode yang digunakan dalam paper ini adalah metode analisis alofon karena penelitian ini berdasar pada bagaimana bunyi-bunyi fonem yang dihasilkan dapat berbeda serta dengan pendekatan sosiolinguistik. Hasil analisis menunjukkan bahwa aksen (khususnya aksen Jawa) sangat berpengaruh dalam pelafalan bunyi yang berbeda dengan bunyi yang seharusnya. Dalam perkembangannya, aksen tersebut tidak

(2)

terlalu berpengaruh pada rusaknya makna leksikal kata. Meskipun demikian, penelitian mengenai bunyi-bunyi yang terpengaruh oleh aksen ini sangat perlu dilakukan dalam upaya penyusunan standarisasi lafal bahasa Indonesia agar tercipta keseragaman bunyi dan menghindari ambiguitas makna akibat perbedaan bunyi.

Kata kunci: aksen, alofon, fonologi, pelafalan

A. PENDAHULUAN

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang memiliki kekayaan budaya dan suku-bangsa. Di dalamnya, termasuk pula bahasa daerah yang beragam. Di Indonesia sendiri, diperkirakan terdapat ratusan bahasa daerah yang digunakan di berbagai daerah di Indonesia.

Dalam perkembangannya, adanya keragaman bahasa daerah tersebut justru menyebabkan sulitnya upaya standarisasi fonologis pada pelafalan bahasa Indonesia itu sendiri. Permasalahan kebahasaan dalam tataran fonologis ini mutlak menjadi hal yang perlu dipertimbangkan karena sampai saat ini belum ada pembakuan bunyi bahasa Indonesia. Keanekaragaman bahasa daerah tentu sangat mempengaruhi bagaimana bahasa dibunyikan atau dilafalkan, terlebih bila bahasa daerah itu menjadi bahasa ibu yang cenderung lebih sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Sebagai contoh, di Yogyakarta, bahasa Jawa menjadi bahasa ibu yang lebih umum digunakan sehari-hari mengingat penduduk Yogyakarta sebagian besar adalah etnis Jawa. Lain halnya di Samarinda, bahasa yang umum digunakan adalah bahasa Banjar, mengingat banyaknya etnis Banjar yang mendiami wilayah tersebut.

Penggunaan bahasa ibu yang sudah melekat pada pola pikir masyarakat tertentu mengakibatkan adanya perbedaan dalam melafalkan kata-kata berbahasa Indonesia. Sebagai contoh, ujaran “tahukah kamu?”, pelafalan bunyi “tahu” itu sendiri akan berbeda. Perbedaan pelafalan itu sebagaimana terlihat pada transkripsi fonetis kata “tahu” di bawah ini:

Aksen Jawa Transkripsi yang dianggap benar Aksen Banjar

(3)

Pengaruh Aksen Jawa dan Banjar dalam Pelafalan…(Azian Septianhardini A.R.) Transkripsi fonetis bunyi ‘tahu’ di atas menunjukkan perbedaan pada tataran segmental fonem /t/ dan /h/. Pada pelafalan yang terpengaruh aksen Jawa, bunyi alveolar frikatif /t/ dibunyikan secara aspirated (terdengar ada sisipan [h] di dalam pelafalan)

menjadi [th]. Sementara bunyi glottal /h/ dihilangkan. Di dalam

pelafalan yang terpengaruh aksen Banjar, pelafalan fonem /t/ tidak mengalami proses aspirasi, sementara fonem /h/ benar-benar dilafalkan sebagai bunyi glotal frikatif. Pada tingkat pelafalan yang terpengaruh aksen Jawa, perbedaan pelafalan bunyi alveolar /t/ dianggap tidak mempengaruhi makna kata ‘tahu’ itu sendiri,

sehingga lafal [th] hanya dianggap sebagai alofon dari fonem /t/ itu

sendiri. Sementara dalam pelafalan fonem /h/ yang terpengaruh oleh aksen Banjar, akan menimbulkan ambiguitas, sebab kata ‘tahu’ itu sendiri memiliki dua makna. Sebagaimana tercantum dalam KBBI, yakni: satu, sebagai verba, ia dapat diartikan sebagai mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami, dsb); kedua, sebagai nomina, ia dapat berarti sebagai makanan dari kedelai putih yang digiling halus-halus, direbus, dan dicetak.

Kasus di atas sejalan dengan yang tercantum dalam

Linguistics: An Introduction (2009: 47), yang menyatakan bahwa

perbedaan fonologis dapat disebabkan tidak hanya oleh perbedaan kelas sosial, perbedaan tingkat edukasi penutur, dan jenis kelamin penutur, akan tetapi adanya kelompok etnis tertentu juga dapat mempengaruhi bagaimana perbedaan dalam tataran fonologis ini terjadi.

Adanya variasi bunyi bahasa dalam pelafalan bahasa Indonesia ini tentu saja terjadi di berbagai daerah di Indonesia yang memiliki bahasa lokal yang beragam. Namun penelitian ini difokuskan pada perbedaan pelafalan yang dipengaruhi aksen Jawa dan Banjar. Penelitian ini juga dikhususkan untuk menjawab dua permasalahan utama, yaitu: (1) bagaimana aksen-aksen tersebut mempengaruhi perbedaan fonologis bahasa Indonesia, dan (2) sejauh mana aksen mempengaruhi sistem kebahasaan bahasa Indonesia itu sendiri.

Berdasarkan fokus penelitian yang terbatas pada bagaimana bunyi-bunyi bahasa dihasilkan secara berbeda, maka penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan metode analisis alofon.

(4)

bukunya Linguistic Fieldwork: A Practical Guide (2008: 67), bahwa dalam penelitian fonologi, setidaknya ada dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu (1) pernyataan kontrastif segmental bahasa, (2) deskripsi alofoni. Metode analisis alofonis didasarkan pula pada proses fonologi bahasa, menurut Davenport dan Hannah (1998: 114), yang dinyatakan sebagai kontrol fonologis bahasa, yaitu hubungan antarunit pada tataran atau tingkat yang berbeda pada

komponen-komponen fonologis. Selain itu, pendekatan

sosiolinguistik juga diperlukan dalam penelitian ini karena bagaimana aksen mempengaruhi bahasa tak lepas dari kajian sosiolinguistik. Sementara itu, data dalam penelitian ini dikumpulkan

dengan teknik wawancara personal, di mana wawancara

dilaksanakan secara langsung dan santai. Setelah data terkumpul,

maka dibentuklah daftar kata-kata yang dirasa berbeda

pelafalannya.

B. SEKILAS TENTANG FONOLOGI DAN PERBEDAAN ALOFON Teori fonologi yang digunakan adalah teori fonologi yang diprakarsai oleh linguis Aliran Praha (The Prague School) yang telah berkontribusi dalam bidang fonologi secara umum. Dalam aliran ini, fonologi dibahas sebagai suatu pola bunyi yang mempunyai arti fungsional. Abdul Chaer dalam bukunya Linguistik Umum mengatakan bahwa aliran inilah yang pertama kali membedakan tataran fonetik dan fonologi. Fonetik, menurut aliran ini, adalah ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi itu sendiri, sedangkan fonologi mempelajari fungsi bunyi tersebut dalam suatu sistem. (Chaer, 2007: 351)

Sejalan dengan definisi fonologi dari Aliran Praha, Gerald Delahunty juga mendefinisikan fonologi sebagai disiplin ilmu yang berbicara tentang cara bahasa menggunakan bunyi untuk membedakan satu kata dengan yang lainnya, sementara fonetik diartikan sebagai suatu sistem yang digunakan untuk merekam bahasa ke dalam bentuk tulisan secara objektif (Delahunty, 2010: 89). Secara khusus, Delahunty (2010: 108) juga menjelaskan bahwa fonologi terfokus pada dua bahasan, yakni (1) bagaimana bunyi bahasa digunakan dalam bahasa tertentu dalam upaya pembeda makna, dan (2) bagaimana bunyi tersusun dalam bahasa. Sedangkan fonologi menurut David Odden didefinisikan sebagai

(5)

Pengaruh Aksen Jawa dan Banjar dalam Pelafalan…(Azian Septianhardini A.R.) “one of the core fields that composes the discipline of linguistics, which is defined as the scientific study of language structure” (Odden, 2005: 18) yaitu “salah satu bidang inti yang membentuk disiplin ilmu linguistik, yang didefinisikan sebagai studi ilmiah terhadap struktur kebahasaan”.

Sementara itu, teori fonologi yang dijelaskan oleh Aliran Praha adalah struktur bunyi yang dijelaskan memakai kontras atau oposisi, dimana yang menjadi penentunya adalah perbedaan makna. Menurut aliran ini, adanya perbedaan bunyi yang distingtif dapat mengacu pada dua hal: (1) bersifat fonemis, dan (2) merupakan alofon dari satu fonem. Pada tataran fonemis, perbedaan bunyi pada sebuah kata akan menimbulkan perbedaan makna, seperti dalam kata bintang dan lintang. Sama seperti aliran Praha, perbedaan dalam bunyi tersebut, menurut Delahunty (2010: 110), dibedakan menjadi dua bentuk: (1) perubahan yang mengindikasikan adanya perubahan makna, disebut sebagai perubahan fonemis, distingtif, atau kontrastif, dan (2) perubahan yang tidak mengindikasikan perubahan makna, disebut perubahan distingtif atau non-kontrastif. Fonem /b/ dan /l/ yang distingtif secara bunyi mengakibatkan keduanya memiliki arti yang berbeda. Sementara dalam kata jawab dan jawap, perbedaan fonem /b/ dan /p/ sama sekali tidak mengubah arti yang ada, sehingga fonem /p/ hanya dianggap sebagai sebuah alofon dari fonem /b/ atau disebut sebagai arkifonem sebagai wujud dari adanya asimilasi fonem.

Perbedaan pengucapan terhadap suatu kata yang sama dimana tidak mengubah makna sebelumnya yang sudah ada, juga ditemukan dalam berbagai bahasa di dunia, termasuk dalam bahasa Indonesia. Terlebih lagi, dikarenakan banyaknya variasi aksen dan bahasa adat di Indonesia yang berbeda-beda, menyebabkan pelafalan bunyi terhadap suatu kata bisa saja beragam. Karena itu, penelitian ini adalah untuk melihat contoh-contoh kasus dimana suatu fonem pada suatu kata dapat memiliki beberapa alofon atau arkifonem yang berbeda-beda.

Berkenaan dengan permasalahan alofon ini, seperti yang dikemukakan oleh Geoffrey Sampson (1980: 111), bahwa aliran Praha beranggapan bahwa perbedaan alofon pada sebuah fonem dapat ditentukan secara fonologis atau dikatakan sebagai sebuah variasi bebas saja. Di Indonesia sendiri, terdapat 5 fonem vokal,

(6)

yaitu /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/, dan 21 fonem konsonan yaitu /b/, /c/, /d/, /f/, /g/, /h/, /j/, /k/, /l/, /m/, /n/, /p/, /q/, /r/, /s/, /t/, /v/, /w/, /x/, /y/, dan /z/, serta masih ada 3 jenis diftong yang telah dibakukan yaitu /ai/, /oi/, dan /au/. Semua fonem tersebut akan memiliki variasi pelafalan yang beragam seperti yang akan dibahas lebih lanjut pada bab pembahasan.

C. HUBUNGAN DIALEK, AKSEN, DAN PERBEDAAN PELAFALAN DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLINGUISTIK Jika membicarakan aksen, maka kita tidak lepas dari aspek-aspek sosiolinguistik. Wacana tentang korelasi antara fonologi dan

sosiolinguistik pun telah berkembang. Seperti yang telah

dikemukakan Paul Kerswill dan Linda Shockey (2007: 53), bahwa fonologi lebih tertarik pada pembahasan mengenai perubahan-perubahan bunyi sepanjang zaman dan memformulasikan rumus dalam upaya penentuan aturan fonologis bunyi, sementara sosiolinguistik berkecimpung dalam ranah bagaimana bahasa

berubah dalam tataran sosial. Ditinjau dari aspek-aspek

sosiolinguistik, permasalahan perbedaan bunyi bahasa dipandang sebagai variasi fonetik atau fonologi. Di dalam tinjauan ini, fonologi difokuskan pada adanya variasi dalam bahasa itu sendiri (adanya dialek, sosiolek, dll), variasi bahasa antar penutur secara individu (menyangkut idiolek), antar penutur dalam satu bahasa (menyangkut style dan register), dan juga perubahan bunyi bahasa secara historis. (Kerswil and Shockey, 2007: 57)

Dalam perkembangannya, sosiolinguistik mengamati berbagai gejala bahasa yang timbul di masyarakat bahasa. Gejala berbahasa yang ditimbulkan pun bisa bermacam-macam, tergantung pada beberapa faktor di dalam masyarakat itu sendiri. Adanya variasi berbahasa disebut pula sebagai keragaman bahasa. Seperti yang dikemukakan Chaer dan Kristina (2010: 65), bahwa keragaman bahasa dapat disebabkan oleh empat faktor, yakni dari segi penutur, segi penggunaan, segi formalitas, dan segi media yang digunakan.

Dialek, sebagai salah satu fenomena keragaman bahasa, merupakan salah satu keragaman yang lahir dari tataran penutur atau pengguna bahasa itu sendiri. Pengertian mengenai dialek itu sendiri sebenarnya masih sulit didefinisikan secara pasti karena sulitnya menemukan batasan-batasan yang dapat membedakan

(7)

Pengaruh Aksen Jawa dan Banjar dalam Pelafalan…(Azian Septianhardini A.R.) antara bahasa dengan aksen itu sendiri. Namun Wardhaugh (2006: 40) menyimpulkan pengertian dialek secara singkat yakni bahwa dialek merupakan subordinat dari variasi bahasa itu sendiri. Sementara aksen, sebagai suatu bagian dari dialek, merupakan hal yang umum dijumpai di dalam dialek regional. Wardhaugh juga menjelaskan lebih lanjut mengenai aksen (2006: 46) sebagai sebuah pelafalan yang telah diterima (Received Pronunciation).

Pelafalan yang telah diterima oleh masyarakat bahasa menjadi salah satu sumber penyebab timbulnya variasi bunyi bahasa. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan berbahasa yang tumbuh dan berkembang di masyarakat tanpa sengaja terbawa dalam pelafalan bahasa Indonesia yang tidak sebagaimana seharusnya. Dalam penelitian ini, aksen Jawa dan Banjar yang dibahas memiliki pengaruh yang berbeda pada pelafalan bunyi bahasa Indonesia. Sebagai contoh, pada kata ‘berjongkok’. Meskipun secara tertulis dan ejaannya sama, namun pada tataran fonologis dapat dilihat perbedaannya sebagaimana transkripsi fonetis berikut:

Aksen Jawa Bahasa Indonesia Baku Aksen Banjar

/bɜr.ndʒɒŋ.kɑ?/ /j/: [ndʒ] /k/: [?] Berjongkok: /bɜr.dʒɒŋ.kɑk/ /bʌ.dʒɒŋ.kɑk/ /e/: [ʌ] /r/: [ø]

Dari transkripsi di atas, terlihat bahwa terdapat perbedaan bunyi pada tiap aksen. Pelafalan yang dipengaruhi aksen Jawa akan muncul bunyi nasal [n] di sela-sela fonem /r/ dan /j/ dan fonem /k/ tidak dibunyikan secara velar plosive, melainkan menjadi glottal stop [?]. Sehingga bunyi yang dihasilkan akan terdengar menjadi bernjongko’. Sementara pada pelafalan yang beraksen Banjar,

fonem /e/ dilafalkan [ʌ], sementara fonem /r/ tidak dibunyikan atau

dihilangkan.

Bagi komunitas Jawa, pelafalan ‘berjongkok’seperti yang

tertulis di atas mungkin sudah diterima menjadi suatu bentuk yang tidak menyalahi aturan dan dipahami oleh semua kalangan masyakarat Jawa pada umumnya, begitu pula dalam komunitas

Banjar. Pelafalan‘berjongkok’menjadi ‘bajongkok’pun menjadi

(8)

dimaksud Wardhaugh sebagai pelafalan yang telah diterima. Meskipun pada kenyataannya, bunyi-bunyi tersebut, baik yang dipengaruhi oleh aksen Jawa dan Banjar, terlihat berbeda dengan pelafalan yang seharusnya.

D. PEMBAHASAN

Di dalam tataran fonologi, perubahan bunyi dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu segmen internal (segmental) dan suprasegmental (Ewen, Collin, 2001: xi). Akan tetapi, dalam penelitian ini, penulis tidak memasukkan unsur-unsr suprasegmental sebagai salah satu bagian yang perlu dibahas di dalam paper ini. Unsur-unsur fonologi suprasegmental seperti penekanan (stressing), kualitas (tone) serta tinggi-rendah bunyi (pitch), atau intonasi (intonation) sengaja dihindari dari penelitian ini.

Penelitian ini hanya difokuskan untuk menjawab bagaimana

bunyi-bunyi dihasilkan secara internal, bukan secara

suprasegmental, mengingat aksen yang berpengaruh pada tinggi-rendah bunyi, intonasi, serta penekanan ucapan, tidak bisa dijadikan dasar terhadap benar atau salah sebuah pelafalan selama unsur-unsur suprasegmental tersebut tidak mengacaukan tatanan gramatika bahasa yang ada. Sehingga, pembahasan penelitian ini hanya dalam lingkup pelafalan fonem vokal, konsonan, dan diftong dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, perlu diingat bahwa tidak semua fonem dilafalkan secara berbeda. Oleh karena itu, data yang ada dalam penelitian ini adalah representasi data yang dirasa paling dimungkinkan menunjukkan perbedaan.

1. Fonem Vokal

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahasa Indonesia memiliki 5 fonem vokal, yaitu /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/. Kelima fonem vokal ini ternyata dapat memiliki bunyi yang berbeda-beda saat diucapkan, baik dalam pengucapan yang terpengaruh aksen Jawa dan aksen Banjar. Namun pada tabel di bawah ini, tidak semua fonem vokal diikutkan sebagai data melainkan hanya fonem-fonem yang kemungkinan paling umum berbeda pengucapannya.

(9)

Pengaruh Aksen Jawa dan Banjar dalam Pelafalan…(Azian Septianhardini A.R.)

Penempatan fonem Bahasa Indonesia

Aksen Jawa Aksen Banjar

1. awal Aku  /ʌkʊ/ /a/: [wʌ] Aku /wʌkʊ/ /a/: [ɑ:] Aku  /ɑ:kʊ/ Empat  /əmpʌt/ /əmpʌt/ /e/: [ʌ] Empat /ʌmpʌt/ Orang  /ɒrʌŋ/ /ɒrʌŋ/ /o/: [ʊ] Orang /ʊrʌŋ/ 2. tengah Sandal  /sɑndɑl/ /a/: [ə] Sandal /səndɑl/ Sandal /sɑndɑl/ Sempat /səmpʌt/ /a/: [ə] Sempat /səmpət/ /e/: [ʌ] Sempat /sʌmpʌt/ Bus  /bʊs/ /u/: [e]

Bus /bes/

/u/: [ɪ] Bus /bɪs/ 3. akhir Mau /mʌʊ/ Mau /mʌʊ/ /u/: [hʊ]

Mau /mʌ hʊ / Pada tabel di atas, nampak perbedaan fonetis pada pelafalan kata-kata. Pada posisi inisial (fonem di awal), fonem /a/ pada kata

‘aku’ dilafalkan dengan bunyi [wʌ]. Pada bunyi [ʌ], dalam bunyi yang

ditimbulkan terkesan adanya proses labialisasi sehingga terdengar seolah ada bunyi labial-velar approximant [w] yang mengawali bunyi

[ʌ] itu sendiri. Bunyi labial-velar [w] itu sendiri terkesan lemah

sehingga nyaris tidak terdengar perbedaannya. Sementara pada

aksen Banjar, fonem /a/ dibunyikan sebagai [ɑ:] dengan bunyi fonem

/a/ yang cenderung agak panjang.

Lain halnya dengan kata ‘empat’. Pada pelafalan dengan aksen Jawa terdengar sama dengan pelafalan bahasa Indonesia yang seharusnya. Namun pada pelafalan dengan aksen Banjar,

fonem /e/ tidak lagi dibunyikan sebagai bunyi [ə] melainkan menjadi

(10)

melafalkan bahasa, sehingga meskipun bunyi yang seharusnya

adalah [ə], mereka justru melafalkannya sebagai [ʌ]. Bagi

masyarakat yang memiliki aksen semacam ini, perbedaan pelafalan fonem /a/ tidak mempengaruhi makna yang ada.

Sementara pada kata “orang”, fonem /o/ seharusnya

dibunyikan dengan lafal [ɒ]. Pada kata ini, pada pelafalan yang

dipengaruhi aksen Jawa tidak menunjukkan perbedaan. Tetapi pada pelafalan dengan aksen Banjar, fonem inisial /o/ justru dibunyikan

dengan bunyi [ʊ]. Sama kasusnya dengan kata ‘empat’, kata

‘orang’ yang diucapkan dengan bunyi /ʊrʌŋ/ sudah diterima

sebagai suatu bunyi yang sama maknanya dengan kata ‘orang’ itu sendiri. Sebab, dalam bahasa Banjar sendiri, kata ‘orang’ itu disebut ‘urang’. Namun pada perkembangannya, meskipun mereka menggunakan tatanan gramatika bahasa Indonesia, mereka akan tetap mengucapkan kata ‘orang’ menjadi ‘urang’, meskipun secara tertulis mereka tetap menuliskan kata tersebut dengan fonem /o/ dan bukan /u/ sebagai fonem inisial.

Pada kasus fonem vokal dengan posisi di tengah, fonem /a/ dapat dilafalkan secara berbeda oleh pelafalan aksen Jawa. Pada pelafalan dengan aksen Jawa, fonem /a/ setelah fonem /s/ pada kata

‘sandal’, tidak dibunyikan dengan lafal [ɑ] melainkan [ə]. Sementara

pada aksen Banjar tidak terlihat adanya perbedaan pelafalan.

Perbedaan bunyi fonem /a/ yang dilafalkan dengan bunyi [ə] pada

kasus ini tidak menimbulkan perbedaan makna. Sehingga [ə] hanya

dianggap sebagai alofon dari fonem /a/.

Sementara pada kata ‘bus’, terdapat perbedaan pelafalan baik dari aksen Jawa maupun aksen Banjar. Pada kata ‘bus’, fonem /u/

yang seharusnya dilafalkan sebagai [ʊ], justru dibunyikan sebagai [e]

pada pelafalan aksen Jawa dan dibunyikan sebagai [ɪ] pada

pelafalan aksen Banjar. Untuk perbedaan bunyi yang ditimbulkan karena adanya aksen Jawa, dalam kasus ini, tidak menimbulkan

perbedaan makna. Namun untuk perbedaan bunyi [ʊ] menjadi [ɪ]

pada aksen Banjar justru menimbulkan ambiguitas pada bahasa

Indonesia. Sebab, menurut KBBI, ‘bus’ dan ‘bis’ adalah

leksikon yang berbeda. Kata ‘bus’, menurut KBBI, adalah

kendaraan bermotor angkutan umum yang besar, beroda empat atau lebih, yang dapat memuat penumpang banyak; sementara kata

(11)

Pengaruh Aksen Jawa dan Banjar dalam Pelafalan…(Azian Septianhardini A.R.) ‘bis’ berarti kotak kecil (di tepi jalan, di depan kantor pos), milik kantor pos, tempat memasukkan surat yang akan dikirimkan melalui jasa kantor pos. Kedua makna yang berbeda ini menunjukkan bahwa fonem /u/ dan /i/ adalah perbedaan yang bersifat fonemis. Namun pada kasus pelafalan yang berbeda karena pengaruh aksen,

perbedaan bunyi [ʊ] dan [ɪ] hanya merupakan perbedaan dalam

tataran alofon saja.

Bunyi fonem /u/ pada posisi final (akhir) terlihat tidak ada perubahan untuk pelafalan aksen Jawa. Tetapi pada pelafalan aksen

Banjar, fonem /u/ yang seharusnya dilafalkan dengan bunyi [ʊ],

dilafalkan dengan bunyi [hʊ]. Tampak adanya bunyi sisipan [h] tipis

sebelum bunyi [ʊ]. Namun adanya penambahan bunyi [h] ini tidak

sampai mengubah makna kata ‘mau’ yang ada.

Dari tabel di atas, dapat terlihat beberapa hal mengenai pelafalan fonem vokal ditinjau dari beberapa posisi. Pada aksen Jawa, fonem /a/ cenderung berubah bunyinya. Sementara pada aksen Banjar, fonem /a/ cenderung tidak berubah. Fonem /e/ pada aksen Jawa juga tidak terlalu menunjukkan perubahan, mengingat dalam bahasa Jawa sendiri, penggunaan fonem /e/ sudah umum dijumpai. Sementara pada aksen Banjar, fonem /e/ cenderung berubah bunyi. Fonem /u/ pada aksen Jawa sebenarnya tidak terlalu

mengalami perubahan. Hanya pada kasus kata ‘bus’, fonem /u/

dilafalkan sebagai bunyi [e] namun tidak sampai mengubah makna ‘bus’ itu sendiri. Sementara untuk pelafalan aksen Banjar, fonem /u/ cenderung berubah bunyi. Biasanya, fonem /u/ dibunyikan dengan sisipan bunyi [h]. Pada kasus kata ‘bus’, fonem /u/ justru dibunyikan

sebagai bunyi [ɪ], karena adanya pengaruh bahasa Indonesia lama,

di mana ‘bus’ dilafalkan dengan bunyi ‘bis’. Sementara saat ini, dalam KBBI, ‘bus’ dan ‘bis’ adalah dua kata berbeda. Pada fonem /o/ yang dilafalkan dengan aksen Jawa tidak terlalu menunjukkan perubahan. Karena di dalam bahasa Jawa sendiri, penggunaan fonem /o/ umum digunakan dalam leksikon-leksikonnya. Sementara

pada aksen Banjar, fonem /o/ cenderung berubah bunyi menjadi [ʊ].

Di dalam bahasa Banjar sendiri, penggunaan bunyi fonem /o/

(12)

2. Fonem Konsonan

Bahasa Indonesia memiliki 21 fonem konsonan yang terdiri atas fonem /b/, /c/, /d/, /f/, /g/, /h/, /j/, /k/, /l/, /m/, /n/, /p/, /q/, /r/, /s/, /t/, /v/, /w/, /x/, /y/, dan /z/. Tabel di bawah ini akan menunjukkan bagaimana konsonan-konsonan tersebut dibunyikan oleh aksen Jawa dan Banjar. Namun perlu diingat bahwa tidak semua konsonan dijadikan data pada pembahasan ini dan berbeda dengan pembahasan fonem vokal, pembahasan fonem konsonan tidak dibagi berdasarkan posisi, mengingat tidak terlalu banyak perbedaan pelafalan pada posisi inisial.

No. Bahasa Indonesia Aksen Jawa Aksen Bajar

1. Alhamdulillah /ælhəmdʊlɪllə/ /h/: [k], [kh] Alhamdulillah /ælkəmdʊlɪllə/ Atau /ælkhəmdʊlɪllə/ Alhamdulillah /ælhəmdʊlɪllə/ 2. Bodoh /bodoh/ b/: [bh] /d/: [dh] /h/: [ø] Bodoh /bhodho/ /h/: [h], [ø] Bodoh / bodoh/ Atau /bodo/ 3. Dari /dʌrɪ/ /d/: [dh] Dari /dhʌrɪ/ Dari /dʌrɪ/ 4. Ganteng  /gʌntəŋ/ /g/: [gh] /t/: [th] Ganteng /ghʌnth əŋ/ Ganteng /gʌntəŋ/

5. Pojok /podʒok/ /p/: [ph] /k/: [?]

Pojok/phodʒo?/

Pojok/podʒok/

6. Azan  /ʌzʌn/ /z/: [d] Azan /ʌdʌn/

/z/: [dʒ] Azan / ʌdʒʌn/ Pada tahap fonem konsonan, terlihat bahwa yang jauh lebih banyak berubah pelafalannya adalah pada pelafalan aksen Jawa. Pada kata ‘alhamdulillah’, fonem /h/ pertama diucapkan dengan bunyi [k] atau [kh]. Sementara pada pelafalan aksen Banjar tidak

(13)

Pengaruh Aksen Jawa dan Banjar dalam Pelafalan…(Azian Septianhardini A.R.) terdapat perubahan. Dalam perubahan bunyi fonem /h/ menjadi /k/ atau /kh/ bagi masyarakat Jawa bukan suatu permasalahan dimana perubahan bunyi tersebut dapat mengubah arti. Namun karena kata ‘alhamdulillah’ merupakan kata berbahasa Arab yang berarti ‘Segala puji bagi Allah’ tentunya akan berubah arti jika salah satu fonemnya diganti.

Untuk pelafalan beraksen Jawa, beberapa fonem konsonan cenderung berbunyi tebal sehingga terkesan ada sisipan bunyi [h] dalam pengucapan. Seperti fonem /b/, /d/, /g/, /t/, dan /p/. Pada kata

‘bodoh’, fonem /b/ dibunyikan tebal menjadi [bh], dan fonem /d/ juga

dibunyikan tebal menjadi [dh]. Begitu pula untuk fonem /d/ inisial

pada kata ‘dari’ dimana fonem /d/ juga berbunyi [dh]. Pada kata

‘ganteng’, fonem /g/ inisial juga berbunyi tebal menjadi [gh] dan

fonem /t/ dilafalkan menjadi [th]. Sama halnya dengan fonem /p/

inisial yang juga dibunyikan tebal menjadi [ph]. Sementara di dalam

pelafalan beraksen Banjar tidak ditemukan adanya bunyi-bunyi yang dilafalkan tebal sebagaimana terdapat pada aksen Jawa. Salah satu penyebab yang menimbulkan penebalan bunyi pada fonem-fonem tertentu untuk pelafalan beraksen Jawa adalah adanya fonem /dh/ dan /th/ dalam huruf Jawa. Di dalam aksara Jawa, fonem /dh/ dan th/ memiliki penggunaan yang berbeda dengan penggunaan fonem /d/ dan /t/ dalam leksikon. Adanya huruf Jawa yang berbunyi tebal tersebut mengakibatkan terpengaruhnya pelafalan mereka dalam membunyikan fonem-fonem bahasa Indonesia.

Dalam pelafalan leksikon berbahasa Indonesia, terdapat pula delesi beberapa fonem atau fonem-fonem tertentu tidak dibunyikan. Seperti pada kata ‘bodoh’, fonem /h/ final tidak dibunyikan oleh pelafalan beraksen Jawa. Sementara pada pelafalan beraksen Banjar, fonem /h/ terkadang dibunyikan dan terkadang juga dihilangkan.

Sementara pada pelafalan beraksen Jawa untuk kata ‘pojok’, fonem /k/ final tidak didelesi, melainkan berubah bunyi. Fonem /k/ yang seharusnya dibunyikan sebagai bentuk velar plosive justru dimatikan menjadi glottal stop [?]. Sebaliknya, pada pelafalan beraksen Banjar tidak terdapat perubahan bunyi.

Bicara mengenai fonem-fonem konsonan bahasa Indonesia, terdapat fonem-fonem tertentu yang dianggap sulit pengucapannya oleh seseorang beraksen Jawa dan Banjar, salah satunya adalah

(14)

fonem /z/. Terlihat pada kata ‘azan’, fonem alveolar frikatif /z/ justru dibunyikan sebagai bunyi alveolar plosive [d]. Sementara bagi seseorang beraksen Banjar, fonem alveolar frikatif /z/ justru

dibunyikan sebagai bunyi post-alveolar afrikatif [dʒ]. Namun, kedua

perubahan bunyi alveolar /z/ ini tidak mempengaruhi perubahan makna leksikal kata ‘azan’ itu sendiri.

3. Fonem Diftong

Delahunty (2010: 104) mendefinisikan diftong sebagai fonem vokal yang diartikulasikan oleh konfigurasi tertentu dari lidah, bibir, dan rongga mulut, yang dibunyikan bersamaan. Dalam bahasa Indonesia, ada tiga diftong yang tercantum dalam EYD, yakni diftong /ai/, /au/, dan /oi/. Pada ketiga diftong ini, terdapat perbedaan pelafalan yang dipengaruhi aksen Jawa dan Banjar seperti tertulis pada tabel di bawah ini:

Penempatan Diftong Bahasa Indonesia

Aksen Jawa Aksen Banjar

1. awal Aula /aʊlʌ/ /au/: [aw] Aula /awlʌ/ /au/: [aw] Aula /awlʌ/ 2. tengah Jauhar  /dʒaʊhʌr/ /au/: [ɒ] Jauhar /dʒɒhʌr/ /au/: [ɒ] Jauhar /dʒɒhʌr/ 3. akhir Sampai  /sʌmpaɪ/ /ai/: [e] Sampai / sʌmpe / /ai/: [eɪ] Sampai /sʌmp eɪ/ Lampau  /lʌmpaʊ/ /au/: [ɒ ] Lampau /lʌmpɒ/ /au/: [aw] Lampau /lʌmpaw/ Konvoi / kɒnvɔɪ/ /v/:[ph] /oi/: [ɔy] Konvoi / kɒnphvɔy] /v/:[ph] /oi/: [ɔy] Konvoi / kɒnphvɔy] Tabel di atas menunjukkan bahwa ada beberapa perbedaan dalam pelafalan diftong baik pada pelafalan dengan aksen Jawa

(15)

Pengaruh Aksen Jawa dan Banjar dalam Pelafalan…(Azian Septianhardini A.R.) maupun dengan aksen Banjar. Pada diftong /au/ inisial, kata ‘aula’

yang seharusnya dibunyikan [aʊ], justru dibunyikan [aw]. Meskipun

diftong /au/ dibunyikan /aw/, perubahan bunyi pada kedua pelafalan yang terpengaruh dengan aksen daerah ini tidak berpengaruh pada

perubahan makna leksikal kata‘aula’ itu sendiri. Sehingga

perubahan bunyi diftong /au/ inisial di sini hanya merupakan alofon dari diftong itu sendiri.

Berbeda dengan diftong /au/ inisial yang dibunyikan [aw],

ketika diftong ini berada pada posisi tengah, justru dibunyikan [ɒ]

oleh kedua pelafalan berbeda aksen tersebut. Meskipun pelafalan beraksen Jawa dan Banjar tersebut tidak bermaksud mengubah

makna kata ‘jauhar’, namun jika dibunyikan sebagai [ɒ], justru akan

menimbulkan ambiguitas makna karena ‘jauhar’ dan ‘johar’ adalah dua leksikon yang berbeda. Menurut KBBI, jauhar berarti intan, sementara johar didefinisikan sebagai pohon yg tumbuh di daerah tropis, tingginya mencapai 20 m, biasa ditanam sbg pohon peneduh atau tanaman pagar, berbunga sepanjang tahun, bunganya malai, kuntumnya berwarna kuning, buahnya polong pipih dan panjang berwarna cokelat, daunnya dipergunakan sbg ramuan obat sakit

malaria. Sehingga, jika diftong /au/ dibunyikan [ɒ], perbedaan bunyi

yang ada termasuk dalam tataran fonemis.

Sementara pada posisi final, terdapat beberapa perbedaan pada pelafalan yang beraksen Jawa dan Banjar. Seperti pada

diftong /ai/ pada kata ‘sampai’, dilafalkan dengan bunyi [e] pada

pelafalan beraksen Jawa, sementara diftong ini dibunyikan dengan

bunyi [eɪ] pada pelafalan beraksen Banjar. Namun, meskipun kedua

pelafalan ini berbeda dengan pelafalan diftong bahasa Indonesia yang seharusnya, kedua perbedaan ini tidak mengubah makna kata

‘sampai’, sehingga perbedaan ini termasuk alofon dari diftong

/ai/. Begitu pula untuk diftong /au/ dalam kata ‘lampau’ yang

dilafalkan dengan bunyi [ɒ] pada pelafalan beraksen Jawa dan

dilafalkan dengan bunyi [aw] pada pelafalan beraksen Banjar. Namun kedua perbedaan bunyi ini tidak sampai mengubah makna kata ‘lampau’. Berbeda dengan pelafalan diftong /au/ dan /ai/ yang berbeda pada pelafalan beraksen Jawa dan Banjar, untuk diftong /oi/, meskipun berbeda dengan pelafalan diftong bahasa Indonesia yang seharusnya, tidak ada perbedaan pada keduanya. Namun,

(16)

perlu juga dilihat pada fonem konsonan /v/ yang dibunyikan sebagai

[ph], sementara diftong /oi/ sendiri dibunyikan [oy]. Namun sama

halnya dengan perbedaan pada kata ‘sampai’ dan ‘lampau’, kedua perbedaan ini tidak mengubah makna kata ‘konvoi’. Sehingga, perbedaan bunyi tersebut dikategorikan sebagai alofon fonem diftong /oi/ saja.

E. KESIMPULAN

Dari penelitian di atas, penulis menemukan beberapa hal yang dapat disimpulkan, yakni: pertama, terdapat perbedaan pelafalan, khususnya dalam tataran kata berbahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa aksen daerah lokal sangat berpengaruh dalam perbedaan pelafalan. Hal itu terbukti bahwa pelafalan yang diucapkan dengan adanya pengaruh dari aksen Jawa berbeda dengan pelafalan yang terpengaruh aksen Banjar. Perbedaan bunyi yang paling menonjol terdapat pada fonem-fonem vokal dan diftong, sementara pada fonem-fonem konsonan tidak terlalu nampak perbedaan yang menonjol. Kedua, perbedaan bunyi tersebut dapat menimbulkan dua kemungkinan, yaitu (1) menimbulkan ambiguitas karena perbedaan bunyi bersifat fonemis, dan (2) tidak menimbulkan perbedaan makna leksikal karena perbedaan hanya bersifat alofonis. Berbeda dengan bunyi-bunyi alofonis pada bahasa Inggris yang dapat diformulasikan, bunyi-bunyi alofonis dalam bahasa Indonesia cenderung sulit dirumuskan, sebab perbedaan yang benar-benar beragam dalam pelafalan sangat dipengaruhi oleh adanya aksen dan dialek daerah yang telah melekat pada diri seseorang.

Dari kesimpulan di atas, tampak bahwa perbedaan bunyi yang

dipengaruhi aksen-aksen daerah cenderung menimbulkan

perbedaan tidak hanya dalam tataran alofonis namun juga fonemis. Oleh karena itu, upaya standarisasi bunyi bahasa Indonesia tampaknya perlu dilakukan dalam upaya pencegahan ambiguitas makna bahasa itu sendiri.

(17)

Pengaruh Aksen Jawa dan Banjar dalam Pelafalan…(Azian Septianhardini A.R.) F. DAFTAR PUSTAKA

Bowern, Claire. 2008. Linguistic Fieldwork: A Practical Guide. New York: Palgrave Macmillan.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Chaer, Abdul and Leonie Agustina. 2010.Sosiolingusitik: Perkenalan

Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Davenport, Mike and S. J. Hannahs. 1998. Introducing Phonetics

and Phonology. New York: Oxford University Press.

Delahunty, Gerald Patrick. 2010. The English Language: From

Sound to Sense. Colorado: Parlor Press.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. http://www.kbbi.web.id

Kerswill, Paul, and Linda Shockey. 2007. Phonology in Context. New York: Palgrave Macmillan.

Odden, David. 2005. Introducing Phonology. New York: Cambridge University Press.

Owen, Collin J, and Harry van der Hulst. 2001. The Phonological

Structure of Words: An Introduction. New York: Cambridge

University Press.

Ratford, Andrew, et al. 2009. Linguistics: An Introduction. UK: Cambridge University Press.

Sampson, Geoffrey. 1980. School of Linguistics: Competition and

Evolution. London: Hutchinson & Co. Ltd

Wardhaugh, Ronald. 2006. Introduction to Sociolinguistics. UK: Blackwell Publishers Ltd.

(18)

Gambar

Tabel  di  atas  menunjukkan  bahwa  ada  beberapa  perbedaan  dalam  pelafalan  diftong  baik  pada  pelafalan  dengan  aksen  Jawa

Referensi

Dokumen terkait

Interaksi antara pemberian pupuk NPK dan pemangkasan buah berpengaruh nyata terhadap parameter jumlah daun pada umur 9 MST, produksi per tanaman, produksi per plot, persentase

Dari hal tersebut, arti dari kepemimpinan adalah proses seseorang yang mempunyai pengaruh pada suatu organisasi untuk dapat menggerakkan individu lain yang tujuannya

dan 30°-60° dapat digunakan secara kombinasi untuk menghasilkan garis dengan sudut kelipatan 15°. Lihat halaman 21. • Penggaris segitiga terbuat dari bahan akrilik yang

Masjid Al-Amin merupakan bentuk dan bukti nyata dari sebuah hidayah dan rahmat Allah kepada rakyat Punggur khususnya yang amat sangat terkenal dengan sebutan bangkreng.. Awalnya

sistem sleepingbag dapat menguji dengan metode fuzzy yang disimpulkan nilai sensor suhu tubuh, sensor suhu ruangan dan PWM pada sistem sleepingbag yang ditampilkan

[r]

Tidak seperti di madrasah, kurikulum pembelajaran bahasa Arab yang digunakan di perguruan tinggi Islam agaknya lebih fleksibel, karena pencapaian tujuan

Segala puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan berkatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul :“ PENGARUH KECANGGIHAN