• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYUSUNAN AWIG-AWIG PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI PESISIR SELATAN KABUPATEN LOMBOK TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYUSUNAN AWIG-AWIG PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI PESISIR SELATAN KABUPATEN LOMBOK TIMUR"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENYUSUNAN AWIG-AWIG

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI PESISIR

SELATAN KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Imam Bachtiar

FKIP Universitas Mataram

Lalu Husni

Fakultas Hukum Universitas Mataram

Romdiana

PMC Co-Fish Selong

1. Pendahuluan

Penggunaan kearifan lokal sebagai pondasi pengelolaan sumberdaya merupakan pendekatan yang relatif baru di Indonesia. Pengelolaan semacam ini biasanya diistilahkan dengan istilah pengelolaan partisipatif, pengelolaan kolaboratif atau kadang disebut juga pengelolaan berbasis masyarakat. Beberapa proyek yang mempromosikan pengelolaan sumberdaya perikanan atau kelautan secara partisipatif adalaf COREMAP, Proyek Pesisir, Proyek Co-Fish, dan Proyek MCRM. Sayangnya publikasi tentang keberhasilan atau kegagalan dari hasil-hasil kegiatan proyek tersebut sangat kurang. Karena itu, perlu dirintis penulisan ilmiah atau publikasi lain tentang pengelolaan sumberdaya perikanan secara partisipatif yang masih sulit ditemukan di Indonesia.

Di Kabupaten Lombok Timur, proyek yang mengupayakan pengelolaan sumberdaya perikanan secara partisipatif telah dimulai sejak tahun 1999, yaitu Proyek Fish (Wardi et al., 2004). Pada tahun ketiga, tahun 2001, Proyek Co-Fish mulai mengupayakan terbentuknya rencana pengelolaan secara partisipatif. Rencana pengelolaan yang terbentuk di akhir tahun 2001 kemudian dimplementasikan oleh masyarakat (secara partisipatif) dengan sebuah keberhasilan. Implementasi dari rencana pengelolaan yang disusun sebagai awig-awig tersebut telah banyak menurunkan angka pengeboman dan pemotasan ikan (Bachtiar, 2004). Awig-awig merupakan bagian dari produk hukum, maka awig-awig yang disusun dalam pengelolaan partisipatif ini mengacu pada ketentuan formal yakni Keputusan Presiden RI No. 44 Tahun 2000 tentang teknis penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga mempunyai validitas yang sempurna.

Makalah ini dimaksudkan untuk mendiseminasikan proses penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya perikanan pantai dalam bentuk awig-awig di Kabupaten Lombok Timur. Diharapkan tulisan ini bisa menyumbangkan pengalaman yang bisa diadaptasikan di lokasi lain dalam pengelolaan sumberdaya perikanan secara partisipatif.

In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Eds). “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 80-98.

(2)

2. Kondisi Geografis

Kawasan pesisir selatan Kabupaten Lombok Timur secara umum terdiri atas pantai yang berpasir dan pantai yang berbatu keras (rocky shores). Pantai yang berpasir terdapat di dalam tiga teluk dan di sekitarnya, sedangkan pantai yang berbatu keras terbentang di bagian selatan Desa Pemongkong, antara Bagian timur Teluk Ekas hingga Pantai Kaliantan dan di antara bagian timur Teluk Serewe hingga Tanjung Ringgit.

Perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan pantai didasarkan pada kawasan pengelolaan, misalnya teluk, yaitu Teluk Ekas, Teluk Serewe dan Teluk Jukung. Pada proyek sejenis lainnya di Indonesia, kawasan pengelolaan didasarkan pada desa (Fraser et al., 1999). Pemilihan kawasan teluk sebagai basis perencanaan sumberdaya perikanan pantai secara partsisipatif karena alasan kemudahan pengawasan dan tingginya intensitas penangkapan ikan. Ketiga teluk yang dipilih tersebut mempunyai karakteristik oseanografis yang berbeda karena posisi mulut teluk yang berbeda. Teluk Ekas dan Teluk Serewe menghadap ke Samudera Hindia, sedangkan Teluk Jukung menghadap ke Selat Alas (Gambar 1).

Gambar 1. Peta Lokasi Ketiga Teluk

Teluk Ekas, yang luasnya sekitar 6.350 hektar, dikelilingi oleh 6 (enam) buah desa, yaitu Desa Pemongkong, Desa Sukaraja, Desa Batunampar, Desa

In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Eds). “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 80-98.

(3)

Kelongkong, dan Desa Awang. Dua desa yang disebut terakhir di bawah administrasi Kabupaten Lombok Tengah. Teluk Ekas pernah menjadi sentra budidaya rumput laut. Tetapi dengan banyaknya kasus penyakit rontok (ais-ais), budidaya rumput laut sangat berkurang pada saat ini. Lokasi di Teluk Ekas yang masih banyak dilakukan budidaya rumput laut adalah Ekas dan Batunampar.

Teluk Serewe merupakan teluk kecil yang berada di dalam administrasi satu desa saja, Desa Pemongkong. Teluk Serewe dikelilingi oleh tiga buah dusun, yaitu Dusun Serewe, Dusun Pengoros dan Dusun Ketangga. Dusun Serewe dikenal oleh masyarakat luar kawasan sebagai tempatnya para pengebom ikan. Di sekeliling teluk banyak terdapat vegetasi mangrove dengan ketebalan yang rendah, antara 10-50 meter. Di dalam teluk terdapat padang lamun di perairan dangkal dan terumbu karang di lokasi yang lebih dalam. Teluk Serewe pernah menjadi sentra produksi rumput laut. Dengan banyaknya kasus penyakit rontok (ais-ais), budidaya rumput laut juga sangat berkurang.

Teluk Jukung merupakan teluk yang sangat terbuka. Di sebelah utara teluk terdapat PPI yang paling besar di Propinsi NTB, PPI Tanjung Luar. Tanjung Luar merupakan desa yang paling padat di kawasan ini, dan merupakan desa nelayan terbesar di Pulau Lombok. Di dalam teluk terdapat banyak teluk-teluk kecil lainnya, misalnya Teluk Jor, Teluk Kecibing, dan Teluk Telune. Teluk Jukung merupakan lokasi penangkapan ikan (fishing ground) yang ramai. Di bagian teluk yang dekat dengan Selat Alas terdapat budidaya kerang mutiara. Tidak ada budidaya yang rumput laut atau kerapu/lobster pada tahun 2000-2002. Di dalam teluk terdapat sekitar 6 (enam) gili (pulau sangat kecil), 3 (tiga) di antaranya berpenghuni yaitu Gili Maringke, Gili Kodek dan Gili Belek. Gili Maringke dan Gili Belek merupakan tempat tinggalnya beberapa pengebom ikan yang terkenal di kalangan nelayan.

3. Profil Masyarakat Nelayan

Sebelum dilakukan perencanaan pembuatan awig-awig dilakukan, proyek melakukan identifikasi awig-awig atau aturan lokal lain yang sudah ada, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis melalui pertemuan-pertemuan dengan masyarakat di sekeliling ketiga teluk, pada bulan April 2001. Pada saat itu diidentifikasi ada beberapa aturan yang sebagian besar tidak tertulis yang sudah ada pada masyarakat di tiga teluk.

Profil masyarakat nelayan di ketiga teluk sebelum proses penyusunan awig-awig dimulai sebagai berikut.

A. Profil Masyarakat Nelayan di Teluk Ekas

Teluk Ekas merupakan teluk yang dibatasi oleh tiga buah desa, yaitu Desa Batunampar, Desa Pemongkong dan Desa Sukaraja. Penelitian tentang profil masyarakat dilakukan dengan mengunjungi 3 (tiga) buah dusun, yaitu Batunampar, Ujung, Saung, dan Ekas. Di semua dusun yang dikunjungi

In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Eds). “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 80-98.

(4)

menempatkan pengeboman ikan dan pemotasan ikan merupakan masalah serius yang belum bisa diatasi.

1) Dusun Batunampar

Masyarakat nelayan di Batunampar diperkirakan sekitar 300 orang yang kebanyakan mengaku sebagai Suku Bajo. Tidak ada kapal nelayan yang mempunyai motor >5.5 PK. Sebagian besar dari mareka juga sebagai petani rumput laut. Beberapa orang di antara penduduk melakukan budidaya lobster.

Sebagian kecil masyarakat Dusun Batunampar pernah mendengar adanya awig-awig yang mengatur tentang larangan pengeboman, larangan pemotasan dan pengaturan penggunaan mini purse seine. Menurut mareka awig-awig tersebut dibuat oleh LSM YKR dengan dana dari Proyek Co-Fish. Awig-awig tersebut juga mengatur tentang perlindungan terumbu karang, pengaturan jumlah lampu pada bagan dan pengamanan laut. Tetapi awig-awig yang dibuat tahun 2000 ini tidak pernah diakui dan ditaati oleh masyarakat.

Awig-awig yang lama yang sangat dipatuhi masyarakat adalah tradisi “Selamatan Laut”. Pada saat diadakannya selamatan tersebut tidak diperbolehkan adanya penangkapan selama 3-4 hari dengan periode sekali dalam 3 (tiga) tahun.

Masyarakat Dusun Batunampar umumnya merasakan ada beberapa masalah dengan sumberdaya perikanan sebagai sumber pendapatan mareka yang utama. Masalah tersebut antara lain menurunnya jumlah ikan hasil tangkapan, menghilangnya beberapa sumberdaya perikanan seperti jenis ikan

cerubuk, dan cumi-cumi. Mareka berprasangka bahwa menurunnya ikan-ikan

tersebut akibat adanya jaring klitik yang biasanya dioperasikan oleh masyarakat dari Dusun Ujung (Desa Pemongkong). Karena itu, mareka mengusulkan kalau akan dibuat awig-awig maka perlu adanya pengaturan alat tangkap terutama dalam hal: ukuran mata jaring pada bagan, bekas bagan di teluk, ukuran mata

jaring klitik, pengurangan penggunaan jaring oros (pull-net) dan penggunaan

kompressor di dalam teluk.

Masyarakat Batunampar juga mengaku adanya konflik antar nelayan seperti antara nelayan pengguna jala oras (Danish seine) dengan nelayan purse

seine, nelayan pengguna pancing dan mini purse seine, nelayan pengguna jaring

dengan pembudidaya kerang mutiara.

Hasil-hasil lain dari diskusi dengan masyarakat Batunampar adalah:

Masa depan yang lebih baik menurut nelayan Batunampar adalah mempunyai alat tangkap sendiri (kondisi sekarang 45% masyarakat tidak mempunyai alat tangkap sendiri), mempunyai long line dan kapal yang lebih baik untuk penangkapan lepas pantai, dan mempunyai keramba untuk budidaya kerapu dan lobster.

Praktek penangkapan yang merusak lingkungan diatur dalam awig-awig dengan sanksi berat yang tidak hanya ditujukan untuk pengebom, pemotas In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Eds). “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 80-98.

(5)

dan yang menggunakan racun tetapi juga untuk penggunaan alat yang mengganggu seperti bagan dan kompressor.

Suaka perikanan mungkin dilakukan dan dapat diterima masyarakat, tetapi penangkapan ikan menggunakan pancing harus diperbolehkan.

Pengaturan ukuran minimum ikan tangkap sangat sulit dilakukan pada masyarakat, akan lebih baik jika dilakukan pengaturan ukuran mata jaring. Pengaturan mata jaring minimum akan dilakukan dalam awig-awig.

Penangkapan pengebom ikan pada awal tahun 2000, dan mantan pengebom tersebut berjanji akan menangkap pengebom ikan jika disediakan Speed boat dan HT.

2) Dusun Ujung

Dusun Ujung dihuni oleh sekitar 200 orang nelayan, yang sebagian besar dari Suku Sasak. Tidak ada nelayan yang mempunyai motor kapal >5.5 PK. Pada tahun 2001, baru ada seorang penduduk yang melakukan budidaya lobster. Di dalam Teluk Ekas, masyarakat nelayan Ujung mempunyai alat tangkap yang berbeda dengan masyarakat di lokasi lainnya, Batunampar dan Ekas. Masyarakat Ujung menggunakan alata tangkap kompresor dan jaring klitik. Kedua alat tangkap ini dikeluhkan oleh masyarakat Batunampar dan Ekas.

Masyarakat Dusun Ujung juga mengaku sebagian mengetahui adanya awig yang dibuat oleh YKR dan didanai oleh Proyek Co-Fish. Tetapi awig-awig tersebut juga tidak mendapat pengakuan masyarakat dan tidak bisa diimplementasikan. Di dusun ini juga ada tradisi “Selamatan Laut” yang sama dengan tradisi di Batunampar.

Masyarakat Ujung merasa masalah-masalah dengan sumberdaya perikanan yang utama adalah: penurunan hasil tangkap, menghilangnya beberapa jenis sumberdaya ikan seperti ikan lemuru, ikan julung-julung, ikan cerubuk, dan cumi-cumi, serta berkurangnya luas kawasan padang lamun. Menurut nelayan Ujung, menurunnya tangkapan ikan atau menghilangnya beberapa jenis ikan tertentu tersebut karena adanya budidaya kerang mutiara di ujung Teluk Ekas. Konstruksi budidaya kerang mutiara dianggap menghalangi masuknya ikan ke dalam teluk.

Di Dusun Ujung tidak ada nelayan pengebom, tidak ada penangkapan ikan dengan racun, sedangkan pengguna jaring oros tidak menyadari bahwa jaring mereka bisa mengganggu kelestarian penangkapan sumberdaya ikan.

Hasil-hasil yang lain sebagai berikut:

Nelayan Ujung memimpikan masa depan yang lebih baik sebagai nelayan dan pembudidaya kerapu dan lobster, memiliki alat tangkap yang labih banyak (40% nelayan tidak memiliki alat tangkap sendiri), memiliki long line

dan kapal yang lebih baik untuk penangkapan lepas pantai.

In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Eds). “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 80-98.

(6)

Suaka perikanan mungkin bisa dibentuk jika yang melakukannya adalah pemerintah dengan pengawasan yang efektif, akan tetapi hal ini bisa menimbulkan konflik baru antar nelayan.

Pengaturan waktu penangkapan mustahil untuk dilakukan karena mereka tidak mempunyai cukup makanan untuk hari esok.

3) Dusun Ekas

Jumlah nelayan di Dusun Ekas sekitar 200 orang yang sebagian besar adalah Suku Sasak. Tidak ada nelayan yang mempunyai kapal dengan motor >5.5 PK. Kebanyakan nelayan juga merupakan petani rumput laut. Sama dengan di dua dusun sebelumnya, di Dusun Ekas juga dijumpai sebagian masyarakat pernah mendengar adanya awig-awig yang dibuat oleh YKR dan tidak bisa diimplementasikan. Adanya tradisi “Selamatan Laut” juga sama dengan Dusun Batunampar dan Ujung.

Masyarakat nelayan Dusun Ekas mempunyai masalah sumberdaya perikanan yang sama dengan dua dusun lainnya, yaitu menurunnya hasil tangkapan, menghilangnya beberapa sumberdaya perikanan seperti ikan kembung, lemuru, dan cumi-cumi. Mareka juga menilai terjadinya kerusakan padang lamun akibat penangkapan ikan yang menggunakan potas. Biasanya pemotas datang dari luar Dusun Ekas.

Nelayan di Ekas menginginkan adanya pengaturan alat tangkap dengan menghentikan penggunaan bagan terapung di dalam teluk dan penggunaan kompressor yang dapat merusak terumbu karang, serta perlu adanya pembuatan aturan ukuran mata jaring. Masyarakat Ekas pernah ada konflik antara nelayan pengguna pancing dengan mini purse seine, nelayan dengan pengguna potassium, nelayan dengan pembudidaya kerang mutiara.

Hasil-hasil diskusi yang lain sebagai berikut:

Nelayan di Ekas mendefinisikan masa depan yang lebih baik sebagai memiliki lebih banyak alat tangkap (saat ini 30% nelayan tidak memiliki alat tangkap sendiri), memiliki sarana tangkap yang dapat digunakan menangkap ikan sampai ke Flores, dan memiliki keramba budidaya kerapu.

Kegiatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan seperti nelayan pengebom harus ditangkap, dipenjara dan didenda dengan uang dalam jumlah yang banyak.

Pembentukan suaka perikanan, beberapa orang menyatakan setuju tapi banyak masyarakat Dusun Ekas yang tidak setuju.

Pengaturan ukuran tangkap minimum menurut masyarakat tidak dapat dilakukan.

Pengaturan waktu tangkap hanya bisa dilakukan jika mereka tidak kekurangan makanan dalam waktu yang lama.

In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Eds). “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 80-98.

(7)

Masyarakat merasa bahwa pemerintah harus menghentikan pembuatan mata jaring yang berukuran kecil.

Penangkapan nelayan pengebom menurut Kadus terjadi tahun 1988 dan 1991.

B. Profil Teluk Jukung

Teluk Jukung merupakan kawasan teluk yang dikelilingi oleh 4 (empat) buah desa yaitu Desa Tanjung Luar, Desa Pijot, Desa Jerowaru, dan Desa Pemongkong. Desa Tanjung Luar dan Pijot termasuk dalam wilayah Kecamatan Keruak, sedangkan Desa Jerowaru dan Pemongkong termasuk dalam wilayah Kecamatan Pembantu Jerowaru.

Penelitian profil masyarakat dilakukan di dua dusun, Dusun Toroh Selatan (Desa Tanjung Luar) dan Dusun Telong-elong (Desa Jerowaru). Di semua dusun yang dikunjungi menempatkan pengeboman ikan dan pemotasan ikan merupakan masalah serius yang belum bisa diatasi.

1) Dusun Toroh Selatan

Dusun Toroh Selatan merupakan dusun yang sangat padat komunitas nelayannya. Sebagian besar mengaku sebagai Suku Bajo. Tidak ada kegiatan budidaya rumput laut atau biota lainnya, karena kondisi perairan di Teluk Jukung relatif terbuka sehingga sering datang gelombang besar.

Masyarakat Toroh Selatan telah mempunyai awig-awig sendiri yang dibuat oleh Desa Tanjung Luar, disamping awig-awig yang sama (oleh YKR) dengan di Teluk Ekas yang tidak berlaku. Awig-awig Desa Tanjung Luar tersebut dibuat dalam Keputusan Desa Nomor 04/LMD/1994, tanggal 14 Nopember 1994. Di dalam awig-awig diatur pembagian zona penangkapan antara nelayan tradisional dengan nelayan mini purse seine. Di Toroh Selatan juga dikenal tradisi “Selamatan Laut”. Disamping itu juga ada tradisi lain yaitu tidak ada penangkapan pada hari raya selama 2 hari setiap tahun.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan sumberdaya perikanan yang dirasakan adalah menurunnya hasil tangkapan dengan sangat cepat, hilangnya beberapa sumberdaya perikanan, seperti ikan lemuru (Sardine), cumi-cumi. Karena itu mareka menginginkan alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat perlu diatur terutama ukuran mata jaring pada bagan, dan bekas bagan di teluk. Konflik antar nelayan sering terjadi antara nelayan jaring bendera (gill net) dengan nelayan mini purse seine.

Hasil-hasil diskusi yang lain sebagai berikut:

Harapan masa depan yang lebih baik didefinisikan sebagai memiliki alat tangkap yang lebih banyak, memiliki long line dan kapal yang lebih baik untuk penangkapan ikan lepas pantai.

In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Eds). “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 80-98.

(8)

Pengebom ikan merupakan sumber dari semua masalah yang mengurangi hasil tangkapan nelayan.

Suaka perikanan tidak mungkin dilakukan jika hal ini mengurangi daerah tangkapan nelayan, tetapi beberapa nelayan lainnya setuju untuk memiliki satu lokasi suaka perikanan yang berukuran kecil.

Pengaturan ukuran tangkapan minimum dianggap tidak mungkin dilakukan, karena menurut masyarakat ikan kecil juga menghasilkan uang. Masyarakat merasa tidak mengkhawatirkan kondisi masa yang akan datang tetapi hanya mengkhawatirkan makanan mereka untuk hari ini.

Pengaturan ukuran minimum mata jaring juga tidak mungkin karena menurut masyarakat pengaturan tersebut mengurangi hasil tangkapan, kadang kala ikan yang muda lebih mahal dari ikan dewasa.

Penangkapan pengebom di Dusun Toroh Selatan dilakukan dua kali yaitu pada tahun 1997 dan tahun 2000.

Tidak ada patroli pengamanan sejak tahun 1998.

Bantuan atau dukungan pemerintah adalah mendesak dibutuhkan masyarakat untuk merevisi awig-awig.

2) Dusun Telong - elong

Telong-elong merupakan dusun yang terletak di mulut Teluk Jor. Di dusun ini terdapat sekitar 200 orang nelayan yang mempunyai spesialisasi menangkap ikan teri. Mareka tidak mempunyai alat tangkap lain selain untuk penangkapan ikan teri. Pada bulan April tahun 2001, tidak ada budidaya rumput laut atau budidaya ikan/lobster.

Masyarakat nelayan di sini juga pernah mendengar tentang awig-awig yang sama dengan yang di Teluk Ekas, dan juga tidak pernah diimplementasikan. Tradisi “Selamatan Laut” dimana selama 3 hari tidak ada kegiatan penangkapan ikan juga dikenal di kawasan ini.

Masalah-masalah perikanan yang dihadapi umumnya sama seperti penurunan hasil tangkapan, hilangnya beberapa sumberdaya perikanan seperti lemuru (sardine) dan cumi-cumi. Masalah yang khusus dihadapi nelayan Telong-elong adalah bagan yang dimiliki oleh masyarakat dari desa lain. Keberadaan bagan dianggap menurunkan penangkapan karena mengurangi wilayah penangkapan.

Tercatat pernah terjadi konflik antara nelayan pengguna jaring dengan

mini purse seine, nelayan pengguna bagan dengan nelayan jaring, pemilik bagan

dengan pemilik jaring oros (pull net). Karena itu mareka mengusulkan adanya pengaturan alat tangkap terutama jumlah bagan yang diijinkan dan penanganan bekas bagan di Teluk Jukung. Mareka merasa menghentikan penggunaan bagan sama pentingnya dengan menghentikan nelayan pengebom. Penggunaan bagan harus diatur oleh pemerintah di tingkat kabupaten.

In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Eds). “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 80-98.

(9)

Hal-hal lain yang terungkap dalam diskusi adalah:

Masyarakat mendefinisikan masa depan yang lebih baik dengan memiliki alat tangkap sendiri (15 % masyarakat tidak memiliki alat tangkap sendiri), memiliki perlengkapan penangkapan yang bisa digunakan untuk penangkapan pada wilayah lepas pantai yang lebih jauh.

Penangkapan ikan dengan bom merupakan sumber dari segala masalah yang dapat menurunkan hasil tangkapan nelayan.

Suaka perikanan mungkin bisa disepakati masyarakat jika pengebom ikan bisa dihentikan.

Pengaturan ukuran tangkapan minimum hanya dilakukan pada ikan tangkapan yang tidak mempengaruhi penghasilan mereka.

Pengaturan waktu penangkapan, hal ini disetujui jika nelayan dari desa lain yang memanfaatkan sumberdaya di wilayah tersebut juga setuju.

Pengaturan jumlah sarana penangkapan, menurut masyarakat sangat tidak mungkin karena tidak baik menghentikan seseorang mencari uang untuk kehidupannya.

Tidak pernah terjadi penagkapan pengebom ikan. C. Profil Teluk Serewe

Teluk Serewe merupakan teluk kecil yang dikelilingi oleh tiga dusun yang termasuk dalah satu wilayah administrasi Desa Pemongkong.

Peneliti hanya melihat profil Dusun Serewe sebagai wakil dari Teluk Serewe. Hal ini dilakukan karena kemiripan komunitas di ketiga dusun, dan transportasi yang lebih sulit ke kedua dusun lainnya.

Di Dusun Serewe terdapat sekitar 125 orang nelayan. Sebagian besar nelayan juga menanam rumput laut pada musim yang baik. Alat tangkap yang banyak digunakan nelayan di sini adalah kompresor, mini purse seine, dan jaring

tasik. Penggunaan kompresor disinyalir nelayan lain sebagai alat bantu

pengeboman ikan.

Di Teluk Serewe sudah ada awig-awig yang melarang penebangan mangrove di dalam teluk. Awig-awig ini tidak tertulis dan disepakati pertengahan tahun sembilan-puluhan. Di tahun 2001, juga sudah ada awig-awig yang melarang penggunaan potassium dan pengeboman ikan di dalam Teluk Serewe juga sudah berjalan baik. Karena itu, pengebom ikan dari Dusun Serewe biasanya beroperasi ke luar teluk atau ke teluk yang lain. Di sini juga ada tradisi “Selamatan Laut”, sebagaimana di lokasi yang lain.

Masalah-masalah perikanan yang utama menurut masyarakat adalah penurunan hasil tangkapan ikan seperti ikan layang, lemuru dan cumi-cumi, serta rusaknya terumbu karang akibat pengeboman di masa lampau.

In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Eds). “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 80-98.

(10)

Hasil-hasil identifikasi lainnya tentang profil masyarakat Dusun Serewe sebagai berikut:

Masa depan yang lebih baik dengan memiliki lebih banyak alat tangkap ( 50 % nelayan tidak memiliki alat tangkap sendiri), memiliki long line dan kapal yang lebih baik untuk penangkapan lepas pantai.

Dulu ada masalah kegiatan penangkapan ikan dengan bom tetapi sekarang kegiatan ini sudah berkurang di dalam teluk.

Suaka perikanan mungkin dibentuk di kawasan Teluk Serewe selama pembentukannya dilakukan oleh pemerintah.

Pengaturan ukuran tangkap minimum mungkin dilakukan jika pemerintah dapat mensosialisasikan dengan masyarakat bagaimana cara pengaturan yang baik.

Pengaturan waktu tangkap, ini mungkin dilakukan jika pemerintah mengirim aturan yang sama kepada masyarakat di teluk yang lain.

Pengaturan ukuran mata jaring minimum, ini mungkin dilakukan jika pemerintah dapat memperlihatkan pentingnya pengaturan tesebut.

Tidak pernah terjadi penangkapan para pengebom. 4. Penyusunan Awig-awig

Awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat untuk mengatur masalah tertentu dengan maksud untuk memelihara ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Penggabungan awig-awig desa menjadi awig-awig-awig-awig kawasan dimaksudkan untuk keseragaman aturan yang berlaku, hal ini sangat tepat karena pengelolaan sumberdaya perikanan telah didelegasikan kepada KPPL kawasan dan adanya kesamaan kepentingan antara masyarakat dalam kawasan untuk mengatur sumberdaya perikanan.

Proses penyusunan awig-awig pengelolaan sumberdaya perikanan di Lombok Timur dilakukan dengan beberapa tahapan yang berbeda metodenya yaitu:

A. Studi Dokumentasi

Pelaksanaan studi dilakukan dengan menghimpun awig-awig desa yang telah dibuat dan selanjutnya melakukan pengkajian untuk mengetahui ruang lingkup, kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kelompok masyarakat yang melaksanakan awig-awig dan bagaimana cara melakukannya (hukum acaranya).

Dari hasil studi ditemukan bahwa dari 6 (enam) desa yang ada di wilayah tiga kawasan (Teluk Jukung, Teluk Ekas, Teluk Serewe) ada 4 desa yang memiliki awig-awig yang dibuat tertulis yaitu desa Sukaraja, Pemongkong (Serewe), Batu Nampar (Saung), dan Tanjung Luar. Sedangkan desa yang lain memiliki awig-awig secara lisan yang isinya sama dengan desa yang memiliki

In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Eds). “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 80-98.

(11)

awig-awig tertulis. Awig-awig desa yang mempunyai substansi sama memuat tentang pengeboman, pemotasan, pelarangan perusakan dan penebangan bakau dan sanksinya. Dalam awig-awig tersebut tidak ada kejelasan siapa yang berwenang menjatuhkan sanksi pada setiap pelanggaran dan bagaimana prosesnya, serta tidak mengacu pada format penyusunan perundang-undangan dalam Keppres No.44 tahun 2000 tentang petunjuk penyusunan peraturan perundang-undangan.

B. Focused Group Discussion (FGD)

FGD merupakan metode studi dengan mengumpulkan masyarakat antara 25 sampai dengan 30 orang dari berbagai elemen seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, KPPL desa, KPPL kawasan, dan nelayan yang memiliki akses dalam memanfaatkan sumberdaya laut di wilayah tersebut. Jumlah pertemuan untuk FGD ini disesuaikan dengan permasalahan yang berkembang dari diskusi sebelumnya dan jumlah desa yang ada dalam masing-masing kawasan.

Fokus masalah yang dibahas dalam FGD khususnya ditingkat dusun/desa adalah:

1. Menyatukan pandangan dengan masyarakat tentang pentingnya penggabungan awig-awig desa menjadi awig-awig kawasan untuk memperoleh kesatuan hukum dan menghindari terjadinya konflik pengelolaan sumberdaya perikanan.

2. Memperoleh masukan dari masyarakat tentang masalah yang dipandang perlu diatur dalam awig-awig seperti wilayah tangkapan, jenis ikan dan alat tangkap. Budidaya laut, pengeboman, pemotasan dan bahan berbahaya lain, perlindungan mangrove, KPPL dan sanksi.

3. Tim pelaksana juga menawarkan hal-hal penting yang perlu diatur dalam awig-awig, seperti perlindungan pasir pantai, karang dan batu laut, sumberdaya pengelolaan dan prosedur penjatuhan sanksi.

4. Merumuskan isi atau norma dari ruang lingkup masalah yang sudah disepakati untuk dijabarkan pada pasal-pasal dalam awig-awig. Hal-hal yang dirumuskan dalam awig-awig meliputi; penggunaan jala oras yang bagi sebagian masyarakat masih menginginkan sebagai alat tangkap tradisional maka penggunaannya dibatasi dari Tanah Beak sampai dengan Ujung; pelarangan jenis ikan yang tidak boleh ditangkap seperti ikan lumba-lumba, penyu, duyung, napoleon, lobster yang bertelur sedangkan cumi-cumi masih masuk dalam pasal himbauan; pelarangan pengambilan pasir pantai dan batu laut; tentang pelaksanaan awig-awig yang menjadi tugas dari KPPL kawasan dibantu oleh KPPL desa dan unsur masyarakat; tentang sumberdaya pengelolaan yaitu dari iuran anggota KPPL, iuran nelayan, penjualan hasil budidaya pengelolaan suaka perikanan, dan dari pengenaan sanksi denda; dan tentang pembahasan sanksi dan prosedurnya bagi pelanggar awig-awig.

In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Eds). “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 80-98.

(12)

Secara umum rencana pengelolaan sumberdaya perikanan pantai yang telah disepakati di tiga kawasan di Lombok Timur mengatur:

• Pembagian wilayah penangkapan antara perikanan tradisional dan komersial. • Zonasi alat tangkap yang menimbulkan konflik: jala oros, kompresor.

• Penggunaan lokasi semi-permanen, misal budidaya keramba, bagan. • Penangkapan SDPi tertentu: lobster yang bertelur, ikan hias.

• Jumlah lampu yang digunakan dalam perahu dan bagan. Rencana pengelolaan tersebut melarang:

• Penggunaan alat tangkap merusak: bom dan potas. • Pengambilan pasir, batu dan karang dari pantai dan teluk. • Penebangan mangrove.

• Penangkapan satwa liar langka: duyung, lumba-lumba, penyu. • Perdagangan ikan hasil pengeboman ( di Teluk Jukung). C. Sosialisasi

Sosialisasi diperlukan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat di luar rapat KPPL untuk mengetahui tentang hasil-hasil setiap rapat KPPL. Jika ada masyarakat yang tidak bisa menerima hasil suatu rapat KPPL, maka ia bisa menyatakan keberatan kepada wakil kelompoknya di dalam KPPL.

Beberapa metode yang dipergunakan dalam sosialisasi awig-awig ini adalah :

1. Menempelkan pada papan sosialisasi, dilakukan di setiap dusun/desa sesuai dengan kebutuhan dan ditempatkan pada lokasi yang mudah dilihat masyarakat seperti tempat pelelangan ikan, pendaratan ikan, kantor desa dan lainnya.

2. Brosur/foto kopi hasil kesepakatan FGD, dilakukan dengan memperbanyak dan mengedarkan kepada masyarkat.

Setelah berjalan 14 hari, kedua cara tersebut dievaluasi dan dapatkan hasil bahwa cara pertama kurang efektif karena minat baca masyarakat yang rendah, karena itu pelaksana kegiatan memfokuskan pada cara kedua yakni dengan brosur/foto copy awig-awig.

Dihentikannya sosialisasi tertulis di papan pengumuman mendapat protes dari proyek karena masyarakat di luar KPPL tidak bisa mengetahui dengan cepat kesepakatan-kesepakatan yang diambil dalam rapat KPPL. Kurangnya sosialisasi tertulis ini membuahkan protes dari masyarakat Dusun Ujung yang salah paham tentang pelarangan penggunaan jaring klitik di dalam Teluk Ekas. Kurangnya sosialisasi tersebut membuat proyek harus bekerja keras pada awal tahun 2002 untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang awig-awig yang telah disepakati.

In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Eds). “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 80-98.

(13)

D. Penetapan Melalui Rapat/Diskusi Paripurna

Penetapan awig-awig kawasan yang telah disusun bersama masyarakat dilaksanakan dalam rapat/diskusi paripurna tingkat kawasan masing-masing. Rapat yang diadakan untuk menetapkan dan mengesahkan awig-awig tersebut dihadiri oleh aparat Pemda khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan), Polisi, Babinsa, dan kepala-kepala desa yang masyarakatnya ikut memanfaatkan sumberdaya perikanan di kawasan tersebut.

Dalam rapat tersebut, banyak masukan perbaikan isi awig-awig dari Dislutkan dan kepala-kepala desa. Awig-awig kawasan yang sudah dibahas dalam rapat/diskusi paripurna tersebut segera diadakan perbaikan sebagaimana saran yang berkembang dalam diskusi. Setelah revisi awig-awig bisa disepakati, awig-awig kemudian ditanda-tangani oleh Kepala Desa/Ketua Lembaga Musyawarah Desa masing-masing kawasan, dan diketahui oleh Camat. Pada awalnya direncanakan bahwa awig-awig juga akan diketahui oleh Bupati. Rencana ini kemudian dibatalkan karena ada pemikiran bahwa sebaiknya awig-awig dicoba diimplementasikan lebih dahulu sebelum disyahkan oleh Bupati. 5. Kegiatan Pendukung Penyusunan Rencana Pengelolaan

Pada saat masyarakat yang diwakili KPPL menyusun rencana pengelolaan yang kemudian diangkat sebagai awig-awig kawasan, ada dua kegiatan lain yang secara bersamaan dilaksanakan oleh proyek. Kedua kegiatan yang berperan sebagai pendukung utama implementasi rencana pengelolaan tersebut adalah pelatihan pengelolaan sumberdaya perikanan pantai (CFRM) dan MSE (monitoring, surveilance and enforcement), serta peningkatan kesadaran masyarakat (KIE=kampanye, informasi dan edukasi).

Pelatihan CFRM dan MSE dimaksudkan untuk memberikan arahan kepada KPPL sebagai penyusun dan pelaksana penegakan awig-awig dalam pemantauan, pengawasan dan penegakan hukum. Pada pelatihan MSE dibahas batas-batas kewenangan KPPL dan prosedur penanganan kasus pelanggaran. Pelatihan kini dilaksanakan untuk menghindari kecenderungan overacting dan over-confidence

para anggota KPPL dalam melaksanakan kewenangannya. Masyarakat pesisir selatan Lombok Timur terkenal sangat tinggi motivasinya dalam pengamanan swakarsa (Pamswakarsa). Hal ini membuat Kecamatan Jerowaru merupakan markas pusat dari 2 (dua) buah pamswakarsa terkenal di Pulau Lombok, yaitu Ampibi dan Ababil. Tingginya motivasi tersebut bisa mendorong KPPL untuk bertindak melebihi kewenangannya. Karena itu, pelatihan MSE ini sangat penting.

In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Eds). “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 80-98.

92

Kegiatan KIE (IEC) bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan dan penghentian pengeboman/pemotasan ikan, serta mensosialisasikan rencana pengelolaan yang telah disepakati. KIE dilaksanakan melalui khotbah Jum’at, pengajian umum, radio spot, artikel di koran lokal, penyuluhan guru-guru, serta informasi tertulis di papan pengumuman.

(14)

6. Kesimpulan dan Saran

Masyarakat pada umumnya mempunyai motivasi yang sangat tinggi untuk berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang partisipatif. Penyusunan awig-awig pengelolaan tersebut berjalan dengan sangat antusias, dan implementasinya juga menunjukkan hasil yang sangat baik. Kegiatan pendukung yaitu pelatihan MSE dan kegiatan KIE juga dianggap berperan penting dalam memberikan pengetahuan dan motivasi kepada masyarakat tentang pengelolaan partisipatif. Kegiatan ini telah dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk ikut mengelola sumberdaya perikanan dengan pemanfaatan yang bertanggung jawab.

Dalam penyusunan rencana pengelolaan partisipatif, sosialisasi memegang peranan yang sangat penting. Sosialisasi perlu dilaksanakan secara lisan dan tertulis, melalui jalur formal dan informal, melalui tokoh-tokoh pemerintahan maupun keagamaan.

Referensi

Bachtiar, I. 2004. Pengelolaan sumberdaya Perikanan Partisipatif di Lombok Timur. In: L. Wardi, S. Hardjo, M.A. Syahdan, M. Taufik, D. Supriyanto (eds.). “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 67-79.

Fraser, N., B.R. Crawford, A.J. Siahaimena, F. Pua, C. Rotinsulu. 1999. Transforming unsustainable and destructive coastal resource use practices in the villages of Tumbak and Bantenan, North Sulawesi, Indonesia. Phuket Marine Biological Center Special Publication 20:5-20.

Wardi, L., S. Hardjo, M.A. Syahdan, M. Taufik, D. Supriyanto (eds.). 2003. Proyek Co-Fish dalam pembangunan Kabupaten Lombok Timur. In: L. Wardi, S. Hardjo, M.A. Syahdan, M. Taufik, D. Supriyanto (eds.). “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 1-9.

Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 2000 tentang Teknis Penyusunan Peraturan Perundangan-undangan.

In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Eds). “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 80-98.

Gambar

Gambar 1. Peta Lokasi Ketiga Teluk

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan brainstorming dengan pihak perusahaan maka diperoleh pembagian insentif sebesar 30:70 dimana pembagian nantinya akan diberikan kepada Perusahaan dan karyawan,

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas berkah, rahmat, hidayah, serta segala kemudahan yang selalu diberikan, sehingga atas

Pada studi ini telah dikembangkan model empiris dengan analisa regresi untuk memprediksi daya dukung total pondasi tiang bor pada tanah ekspansif. khususnya di lingkungan laut

Agar penelitian ini mencapai sasaran yang sesuai dengan hasil penelitian yang di harapkan peneliti, maka tujuan penelitian ini secara umum yaitu untuk mengetahui

selain membutuhkan seorang staff atau assisten sebagai pendamping mereka dalam bekerja, tattoo artist juga harus mengetahui bagaimana mereka memilih individu yang

-Kandungan karbohidrat yang tercantum 74g per 100g (74%) maupun hasil analisa tim Satgas 81.45% masih masuk dalam kisaran kandungan karbohidrat beras -Penjelasan yang sama

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh guru serta pengamatan peneliti berdasarkan hasil observasi menjelaskan bahwa